Pepetek tidur diatas lantai. Kami tahanan tingkat atas tidur diatas pelbed
besi jang dialas dengan tikar rumput setebal karton. Makanannja
makanan pepetek nasi merah dengan sambal. Segera setelah aku masuk,
rambutku dipotong pendek sampai hampir botak dan aku disuruh
memakai pakaian tahanan berwarna biru pakai nomor dibelakangnja.
Rumahku adalah Blok F. Suatu petak jang terdiri dari 36 sel menghadap
kepekarangan jang kotor. 32 buah masih tetap kosong. Mulai cari
udjung maka empat buah nomor jang berturut-turut telah terisi. Aku
tinggal dinomor lima. Gatot tudjuh. Esok paginja Maksum dan
Supriadinata, dua orang wakil P.N.I. lainnja, dimasukkan berturut-turut
kenomor sembilan dan sebelas.
Tempat itu gelap, lembab dan melemaskan. Memang, aku telah lebih
seribu kali menghadapi hal ini semua dengan diam-diam djauh dalam
kalbuku sebelum ini akan tetapi ketika pintu jang berat itu tertutup rapat
dihadapanku untuk pertama kali, aku rasanja hendak mati. Pengalaman
jang meremukkan. Aku adalah seorang jang biasa rapi dan pemilih. Aku
adalah seorang jang suka memuaskan perasaan. Aku menjukai pakaian
bagus, makanan enak, mentjintai sesuatu dan tak dapat menahankan
pengasingan, kekotoran, kekakuan, penghinaan-penghinaan kedji jang
tak terhitung banjaknja dari kehidupan tawanan. Aku berdjingkat
diudjung djari kaki mengintip melalui tjelah itu dan berbisik, ,,Engkau
terkurung, Sukarno. Engkau terkurung."
Ada diantara petugas bangsa Belanda jang merasa, bahwa kami tidak
patut dipersalahkan melakukan kedjahatan, karena mentjintai
kemerdekaan. Merekapun bersikap rarnah kepada kami. Disamping itu,
ia mau melakukan sesuatu asal diberi uang. Apa sadja. Bahkan tidak
perlu diberi banjak-banjak. Mula-mula aku menjangka, bahwa mereka
sangat takut pada djabatannja untuk mau menerima suap, tapi ternjata
mereka ini termasuk dalam djenis jang rendah, jang mau mengchianati
prinsip-prinsip mereka dengan sangat murah. Seharga sebotol bir.
hari jang lalu aku bertjintaan dengan seorang pelatjur. Dan pada waktu
aku selesai aku menghapus badanku dengan saputangan."
,,Apa hubungannja dengan matamu ?"
Gatot kusuruh membatja buku ini. Aku sudah hafal semua kisah-kisah
itu. Semendjak ketjil aku mengagumi tjerita wajang. Sewaktu masih di
Modjokerto aku menggambar-gambar wajang dibatu-tulisku. Di
Surabaja aku tidak tidur semalam suntuk sampai djam enam esok
paginja mendengarkan dalang mentjeritakan kisah kisah jang
mengandung peladjaran dan sedikit bersamaan dengan dongeng kuno di
Eropa. Setelah Gatot dengan tekun mempeladjari buku itu, aku
menjuruhnja, ,,Sekarang letakkan buku itu dan tjeritakan kembali
dengan suara keras apa jang sudah kau batja tanpa melihat kebuku."
,,Ja," aku berteriak jakin. "Tapi itu hanja untuk sekali. Dia akan bangkit
lagi. Dia akan menang sekali lagi. Engkau tidak bisa membiarkan
pahlawan djatuh. Tunggulah saatnja."