Anda di halaman 1dari 3

Masuk Tahanan

SEPANDJANG hari dan malam senantiasa melekat dikepala kami


antjaman masuk pendjara. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana telah dinjatakan, bahwa: ,,Seseorang jang kedapatan
mengeluarkan perasaan-peraeaan kebentjian atau permusuhan setjara
tertulis maupun lisan—atau seseorang jang berhubungan langsung
maupun tidak langsung dengan kegiatan-kegiatan jang menghasut untuk
mengadakan pengatjauan atau pemberontakan terhadap pemerintah
Belanda, dapat dikenakan hukuman setinggi

tingginja tudjuh tahun pendjara." Dengan semakin pesatnja


pertumbuhan dari P.P.P.K.I., maka pengawasan terhadap Sukarno
semakin diperkeras pula. Aku sudah mendapat peringatan dan aku
menjadari sungguh sungguh akibat dan peringatan ini. Semua orang
revolusioner bertindak demikian. Ini adalah bagian dari peperangan
hebat jang kami djalankan. Dalam perdjalanan ke Solo dengan salah
seorang wakil dari P.N.I., Gatot Mangkupradja, aku menjinggung soal
ini. ,,Bung, setiap agitator dalam setiap revolusi tentu mengalami nasib
masuk pendjara," aku menegaskan.

,,Disuatu tempat, entah dengan tjara bagaimana, suatu waktu tangan


besi dari hukum tentu akan djatuh pula diatas pundakku. Aku
mempersiapkanmu sebelumnja.",,Apakah Bung Karno takut ?" tanja
Gatot. ,,Tidak, aku tidak takut," djawabku dengan djudjur. ,,Aku sudah
tahu akibatnja pada waktu memulai pekerdjaan ini. Akupun tahu, bahwa
pada satu saat aku akan ditangkap. Hanja soal waktu sadja lagi. Kita
harus siap setjara mental." ,,Kalau Bung, sebagai pemimpin kami, sudah
siap, kamipun siap." katanja. ,,Seseorang hendaknja djangan melibatkan
dirinja kedalam perdjuangan mati-matian, djika ia sebelumnja tidak
insjaf akan akibatnja. Musuh akan mengerahkan segala alat-alatnja
berulang-ulang kali supaja dapat terus-menerus memegang
tjengkeramannja jang mematikan. Tapi, sekalipun berabad-abad mereka
mendjerumuskan puluhan ribu rakjat masuk bui dan masih sadja
melemparkan kita kedalam pembuangan ditempat-tempat jang tidak
berpenduduk, djauh dari masjarakat manusia, saatnja akan tiba pada
waktu mana mereka akan musnah dan kita memperoleh kemenangan.
Kemenangan kita adalah suatu keharusan sedjarah—tidak bisa
dielakkan.",,Kata-kata itu memberikan keberanian padaku, Bung
Karno." kata Gatot. ,,Dalam perdjalanan diatas gerobak-sampah
menudju ketiang-gantungan, Pemimpin Revolusi Perantjis berkata
kepada dirinja sendiri: 'Aurlace, Danton Toujours de l'audace'. Ia terus-
menerus mengulangi kata kata itu: 'Beranikan dirimu, Danton. Djangan
kau takut !' Karena ia jakin, bahwa perbuatan-perbuatannja akan dilukis
dalam sedjarah dan tantangan terhadapnjapun merupakan saat jang
bersedjarah.

Dia tidak pernah meragukan akan datangnja kemenangan jang terachir


dan gilang-gemilang. Djadi, akupun begitu.",,Ada diantara pedjuang
kita jang selalu keluar masuk bui setjara tetap," kata Gatot
menerangkan. ,,Seorang pemimpin jang di Garut. Dia sudah masuk 14
kali. Pembesar disana menamakannja sebagai pengatjau. Dalam djangka
waktu enam tahun dia meringkuk selama enam bulan didalam pendjara,
setelah itu bebas selama dua bulan, lalu masuk selama enam bulan dan
keluar lagi tiga bulan, kemudian delapan bulan dibelakang djeradjak
besi. Setelah itu dia bebas lagi selama satu setengah tahun dan
hukumannja jang terachir adalah dua tahun."Kami berangkat dengan
taksi. Supir kami, Suhada, tergolong sebagai simpatisan. Dia sudah
terlalu tua untuk dapat mengikuti kegiatan kami. Dia turut dengan kami
tjuma untuk mendengarkan dan menjaksikan sadja. Sedjak permulaan
perdjalanan Suhada tidak membuka mulutnja, tapi kini dia bertanja
dengan ramah, ,,Berapa banjak saudara-saudara kita jang meringkuk
dalam pembuangan ?"Aku tidak perlu berpikir mendjawabnja. Aku tahu
djumlahnja diluar kepala. ,,Lebih dari duaribu dibuang di Tanah Merah,
ditengah-tengah hutan Boven Digul di Nieuw Guinea jang keadaannja
masih seperti di Djaman Batu. Dan pada waktu pembawa-pembawa
obor kemerdekaan ini diusir masuk kedalam hutan lebat, mereka pergi
dengan tersenjum. Ketika mereka tidak mau mundur setapakpun dari
kejakinannja, maka 300 orang diantaranja dibawa ketempat jang lebih
menjedihkan, jaitu kamp konsentrasi di Tanah Tinggi. Disitu
bertaburanlah kuburan mereka.

Dari jang 300 orang itu hanja 04 orang jang masih


hidup.",,Pengorbanan seperti itu telah pula terdjadi dipulau Muting dan
pulau Banda," kataku melandjutkan. ,,Tapi ingatlah, tidak ada
pengorbanan jang sia-sia. Ingatkah engkau tentang keempat pemimpin
jang digantung di Tjiamis ?"Mereka menganggukkan kepala.,,Salah
seorang dari mereka berhasil menjusupkan surat kepadaku dimalam
sebelum mendjalani hukumannja. Surat itu berbunji: 'Bung Karno,
besok saja akan mendjalani hukuman gantung. Saja meninggalkan
dunia jang fana ini dengan hati gembira, menudju tiang-gantungan
dengan kejakinan dan kekuatan batin, oleh karena saja tahu bahwa
Bung Karno akan melandjutkan peperangan ini jang djuga merupakan
peperangan kami. Teruslah berdjuang, Bung Karno, putarkan djalannja
sedjarah untuk semua kami jang sudah mendahului sebelum
perdjuangan itu selesai.'"Keadaan dalam mobil mendjadi sunji. Tak
seorangpun jang hendak mengutjapkan sesuatu. Suhada terus
mengemudikan kendaraan dengan air mata berlinang. Satu-satunja
suara ialah denjutan djantung kami jang menderap-derap serentak
dalam satu pukulan irama. Di Solo dan dekat Djogjakarta kami
mengadakan beberapa rapat umum. Malam itu aku berbitjara untuk
pertamakali tentang ,,Perang Pasifik" jang akan berkobar. Tahun ini
adalah 1929. Setiap orang mengira aku ini gila. Dengan darahku jang
mengalir tjepat karena golakan perasaan jang gembira dan hampir tak
tertahankan, keluarlah dari mulutku utjapan jang sekarang sudah
terkenal: ,,Imperialis, perhatikanlah !

Apabila dalam waktu jang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek
dan menjambar-njambar membelah angkasa, apabila dalam waktu jang
tidak lama lagi Samudra Pasifik mendjadi merah oleh darah dan bumi
disekelilingnja menggelegar oleh ledakan-ledakan bom dan dinamit,
maka disaat itulah rakjat Indonesia melepaskan dirinja dari belenggu
pendjadjahan dan mendjadi bangsa jang merdeka." Utjapan ini
bukanlah ramalan tukang-tenung, iapun bukan pantulan daripada
harapan berdasarkan keinginan belaka. Aku melihat Djepang terlalu
agressif. Bagiku, apa jang dinamakan ramalan ini adalah hasil daripada
perhitungan berdasarkan situasi revolusioner jang akan datang. Rapat
ini bubar pada waktu tengah malam. Kami bermalam dirumah Sujudi,
seorang pengatjara dan anggota kami di Djogja jang tinggal pada djarak
kurang dari dua kilometer dari situ. Kami memasuki tempat-tidur pada
djam satu.Djam lima pagi, ketika dunia masih gelap dan sunji, kami
terbangun oleh suara jang keras. Ada orang menggedor pintu. Aku
terbangun begitu tiba-tiba, sehingga pada detik itu aku mengira ada
tetangga jang berkelahi. Gedoran itu masih terus terdengar. Ia semakin
lama semakin keras, semakin lama semakin mendesak Gedoran ini
diiringi oleh suara jang kasar disekitar rumah Sujudi. ,,Inikah rumah
tempat pemimpin revolusioner menginap ?" satu suara bertanja. ,,Jah,
inilah tempatnja," suara garang jang lain mendjawab. Kemudian lebih
banjak suara terdengar meneriakkan perintah-perintah. ,,Kepung rumah
ini—halangi pintu—." Sementara itu bunji jang meremukkan dari
pukulan gada dipintu ............... semakin lama semakin keras, kian lama
kian tjepat. Dengan gemetar aku menjadari, bahwa inilah saatnja.
Nasibku sudah pasti. Gatot Mangkupradja jang pertama pergi kepintu.
Ia membukanja dan masuklah seorang inspektur Belanda dengan
setengah lusin polisi bangsa Indonesia. Kami menamakannja ,,reserse".
Semua berpakaian seragam. Semua memegang pistol ditangan. Mereka
ini adalah pemburu. Kami binatang buruan. Rentak sepatu jang
menundjukkan kekuasaan terdengar menggema keseluruh daerah
sebelah-menjebelah, rentak sepatu pada waktu mereka menderap
sepandjang rumah.

Orang kulitputih jang bertugas itu berteriak, ,,Dimana kamar tempat


Sukarno tidur ?"Kamarku sebelah menjebelah dengan kamar Sujudi.
Ketudjuh orang itu berbaris melalui kamar Sujudi dan terus kekamarku.
Aku keluar dari tempat-tidur dan berdiri disana dengan pakaian pijama.
Aku tenang. Sangat tenang. Aku tahu, inilah saatnja. Inspektur itu
berhadap-hadapan denganku dan berkata, ,,Atas nama Sri Ratu saja
menahan tuan." Aku telah mempersiapkan diri selalu untuk menghadapi
kesulitan. Betapapun, pada waktu tiba saatnja timbul djuga perasaan
jang tidak enak.,,Kenakan pakaian tuan," ia memerintahkan. ,,Dan ikut
dengan saja." Ia berdiri dalam kamar itu dan menungguku berpakaian.
Aku tidak diizinkan membawa barang-

barangku. Bahkan tas dengan pakaian penggantipun tidak boleh. Hanja


jang lekat dibadanku.Diluar, dengan senapan dalam sikap sedia, berdiri
50 orang polisi mengepung rumah dengan sekitarnja dan djalan jang
menudju kesana. Tiga buah mobil telah siap. Jang tengah adalah
kendaraan chusus dimana kami, pendjahat pendjahat jang berbahaja,
dimasukkan dan diiringkan kekantor polisi. Kedalam mobil itu
dimasukkan pula Gatot dan supir taksi itu, jang samasekali tidak
bersalah dalam menghasut rakjat. Kesalahannja hanjalah karena ia
terlalu mentjintai.

Ia mentjintai negerinja, dan ia mentjintai pemimpinnja. Suhada


dibebaskan segera, akan tetapi sementara itu mereka mentjatat namanja,
karena orang inipun kelihatan seperti pendjahat besar dimata mereka.
Beberapa tahun kemudian ia meninggal. Permintaannja jang terachir
ialah, ,,Tolonglah, saja ingin mempunjai potret Bung Karno didada
saja." Permintaannja itu dipenuhi. Ia lalu melipatkan tangannja jang
kerisut memeluk potretku dan kemudian berlalu dengan tenang. Dengan
pendjagaan jang kuat, diiringkan dikiri-kanan oleh sepeda motor dan
dengan sirene meraung-raung dan lontjeng berdentang-dentang,
Sukarno, Gatot dan sopir tua itu dibawa ke Margangsan, pendjara untuk
orang gila.Kami diperiksa satu demi satu dan dimasukkan kedalam sel.
Ketika pintu besi terkuntji rapat dimuka kami, seluruh dunia kami
tertutup. Kami berada dalam kesunjian. Segala sesuatu terdjadi begitu
tjepat, sehingga kami tidak punja kesempatan untuk menjelundupkan
sepatah kata kepada pengikut kami. Tidak seorangpun jang mengetahui
dimana kami berada. Mereka bahkan tidak memberi kesempatan
kepadaku untuk mengadakan kontak dengan Inggit. Tidak ada
pertjakapan. Kami tidak diperbolehkan apa-apa. Sekalipun demikian,
apa hendak dikata. Kami tahu apa artinja ini dan masing-masing
tenggelam dengan pikirannja sendiri. Apa jang terlintas dalam pikiranku
ialah, bahwa aku tidak memperoleh firasat. Tidak ada tanda-tanda
bahaja.

Aku dengan mudah tertidur malam itu tanpa mengalami sesuatu sensasi,
bahwa pada tanggal 9 Desember 1929 bagi kami akan mendjadi hari
nahas. Semua ini mengedjutkanku. Seluruh gerakan telah mereka
rentjanakan dengan baik. Djam dua siang kami diberi nasi. Sebelum dan
sesudah itu tidak ada hubungan dengan seorangpun. Setelah satu hari
satu malam penuh esok paginja seperti dipagi sebelumnja tepat djam
lima polisi datang. Mereka tidak berkata apa-apa. Pun tidak
menjampaikan kemana kami akan dibawa. Begitupun tentang apa jang
akan diperbuat terhadap kami. Dua buah kendaraan membawa kami
kestasiun. Empat orang polisi dengan uniform dan pistol duduk ditiap
kendaraan itu. Pengangkutan ini direntjanakan sampai kepada menit dan
detiknja. Begitu kami sampai, sebuah kereta-api hendak berangkat.
Kami diperintahkan naik. Sebuah gerbong istimewa telah tersedia buat
kami. Pintu-pintu pada kedua udjungnja dikuntji, setiap djendela ditutup
rapat. Kami dilarang berdjalan-djalan atau berdiri untuk maksud apapun
djuga. Kalau kami akan pergi kebelakang seorang sersan mengiringkan
kami.

Dengan diapit oleh polisi duduklah kami ditempat jang berhadap-


hadapan. Selama 12 djam tidak boleh buka mulut. Satu-satunja jang
dapat kukerdjakan sehari penah ialah memandangi Belanda jang pandir
itu. Djam tudjuh malam kami diperintahkan turun di Tjitjalengka jang
letaknja 30 kilometer dari Bandung. Mereka dengan sengadja
menurunkan kami disitu untuk menghindarkan ketegangan jang
mungkin timbul. Disana satu pasukan barisan pengawal telah
menantikan kami. Lima Komisaris, dua pengendara sepedamotor,
setengah lusin inspektur beserta arak-arakan kami jang terdiri dari
sedan-sedan hitam meluntjur ke Bandung.Perdjalanan itu tidak lama.
Kami hanja sempat menggetar gugup sesaat ketika sampai dirumah
kami jang baru. Di-depannja tertulis: Rumah Pendjara Bantjeuj.

Anda mungkin juga menyukai