Apabila dalam waktu jang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek
dan menjambar-njambar membelah angkasa, apabila dalam waktu jang
tidak lama lagi Samudra Pasifik mendjadi merah oleh darah dan bumi
disekelilingnja menggelegar oleh ledakan-ledakan bom dan dinamit,
maka disaat itulah rakjat Indonesia melepaskan dirinja dari belenggu
pendjadjahan dan mendjadi bangsa jang merdeka." Utjapan ini
bukanlah ramalan tukang-tenung, iapun bukan pantulan daripada
harapan berdasarkan keinginan belaka. Aku melihat Djepang terlalu
agressif. Bagiku, apa jang dinamakan ramalan ini adalah hasil daripada
perhitungan berdasarkan situasi revolusioner jang akan datang. Rapat
ini bubar pada waktu tengah malam. Kami bermalam dirumah Sujudi,
seorang pengatjara dan anggota kami di Djogja jang tinggal pada djarak
kurang dari dua kilometer dari situ. Kami memasuki tempat-tidur pada
djam satu.Djam lima pagi, ketika dunia masih gelap dan sunji, kami
terbangun oleh suara jang keras. Ada orang menggedor pintu. Aku
terbangun begitu tiba-tiba, sehingga pada detik itu aku mengira ada
tetangga jang berkelahi. Gedoran itu masih terus terdengar. Ia semakin
lama semakin keras, semakin lama semakin mendesak Gedoran ini
diiringi oleh suara jang kasar disekitar rumah Sujudi. ,,Inikah rumah
tempat pemimpin revolusioner menginap ?" satu suara bertanja. ,,Jah,
inilah tempatnja," suara garang jang lain mendjawab. Kemudian lebih
banjak suara terdengar meneriakkan perintah-perintah. ,,Kepung rumah
ini—halangi pintu—." Sementara itu bunji jang meremukkan dari
pukulan gada dipintu ............... semakin lama semakin keras, kian lama
kian tjepat. Dengan gemetar aku menjadari, bahwa inilah saatnja.
Nasibku sudah pasti. Gatot Mangkupradja jang pertama pergi kepintu.
Ia membukanja dan masuklah seorang inspektur Belanda dengan
setengah lusin polisi bangsa Indonesia. Kami menamakannja ,,reserse".
Semua berpakaian seragam. Semua memegang pistol ditangan. Mereka
ini adalah pemburu. Kami binatang buruan. Rentak sepatu jang
menundjukkan kekuasaan terdengar menggema keseluruh daerah
sebelah-menjebelah, rentak sepatu pada waktu mereka menderap
sepandjang rumah.
Aku dengan mudah tertidur malam itu tanpa mengalami sesuatu sensasi,
bahwa pada tanggal 9 Desember 1929 bagi kami akan mendjadi hari
nahas. Semua ini mengedjutkanku. Seluruh gerakan telah mereka
rentjanakan dengan baik. Djam dua siang kami diberi nasi. Sebelum dan
sesudah itu tidak ada hubungan dengan seorangpun. Setelah satu hari
satu malam penuh esok paginja seperti dipagi sebelumnja tepat djam
lima polisi datang. Mereka tidak berkata apa-apa. Pun tidak
menjampaikan kemana kami akan dibawa. Begitupun tentang apa jang
akan diperbuat terhadap kami. Dua buah kendaraan membawa kami
kestasiun. Empat orang polisi dengan uniform dan pistol duduk ditiap
kendaraan itu. Pengangkutan ini direntjanakan sampai kepada menit dan
detiknja. Begitu kami sampai, sebuah kereta-api hendak berangkat.
Kami diperintahkan naik. Sebuah gerbong istimewa telah tersedia buat
kami. Pintu-pintu pada kedua udjungnja dikuntji, setiap djendela ditutup
rapat. Kami dilarang berdjalan-djalan atau berdiri untuk maksud apapun
djuga. Kalau kami akan pergi kebelakang seorang sersan mengiringkan
kami.