Kami mandi menurut waktu. Aku diberi waktu enam menit untuk
rnembersihkan seluruh badan, penuh dengan minjak dari kepaia sampai
kekaki jang melekat ditangan, kaki dan pipi. Setiap enam menit giliran
jang lain. Dan kami ada setengah lusin orang jang berebut air dibawah
satu pantjoran.
Ibu dan bapakku tidak pernah datang. Mereka tidak akan sanggup
memandangi sianak-sajang terkurung dalam kandang jang sempit, jang
pandjangnja hanja limabelas ubin dan lebar duabelas ubin itu. Mereka
tidak akan sanggup melihat aku dikeluarkan seperti binatang jang
digiring untuk diangin-anginkan. Kakakku Sukarmini datang dua kali,
ia bekerdja dengan semangat jang bernjala-njala untuk P.N.I. Kami
menggunakan gerakan tangan atau lain-lain sebagai tanda pemberitaan.
Kalau ia menarik telinganja, menjilangkan djarinja
,,Memang," aku tersenjum lesu. ,,Aku sudah djauh lebih hitam dari
biasa."
Kawanku jang paling rapat ialah seorang Indo, bapaknja Belanda totok
dan ibunja seorang Indonesia dari Priangan. Setiap kali mendekatiku ia
selalu mentjoba memperlihatkan keramahannja. ,,Kawan" ini jang
sangat sajang kepadaku dihukum karena membunuh ajahnja jang selalu
menjiksa ibunja.
Ternjata bahwa masuk bui disuatu saat sama sadja dengan jang lain.
Otakku menderita kekurangan darah. Kepalaku lekas sekali penuh dan
selalu lelah. Sekalipun mereka mentjoba untuk menghantjurkan otak
kami sampai tak seorangpun jang mempunjai kemauan sendiri, namun
aku tidak mau mentalku dirobek-robek oleh pendjara. Bagaimanapun
djuga aku membikin hari-hariku sendiri. Orang dapat melakukan hal ini
kalau kuat mentalnja. Djikalau orang menggantungkan tjita-tjitanja
setinggi bintang-bintang dilangit. Aku memaksakan diriku untuk
menjadari bahwa tjita-tjita jang besar datangnja pada saat-saat jang sepi,
lalu aku mentjoba membuktikan kebenaran dari kata-kata
mutiara, ,,Tjita-tjita jang besar dapat membelah dinding pendiara."
Ketika membangkitkan diri setjara mental, aku tidak sadja mendjadi
biasa dengan keadaanku, akan tetapi djuga kupergunakan keadaan itu
untuk menjusun rentjana-rentjana dimasa jang akan datang.
Djadi aku adalah orang jang takut kepada Tuhan dan tjinta kepada
Tuhan sedjak dari lahir dan kejakinan ini telah bersenjawa dengan
diriku. Aku tak pernah mendapat didikan agama jang teratur karena
bapak tidak mendalam dibidang itu. Aku menemukan sendiri agama
Islam dalam usia 15 tahun, ketika aku menemani keluarga Tjokro
mengikuti organisasi agama dan sosial bernama Muhammadijah.
Gedung pertemuannja terletak diseberang rumah kami di Gang Peneleh.
Sekali sebulan dari djam delapan sampai djauh tengah malam 100 orang
berdesak-desak untuk mendengarkan peladjaran agama dan ini disusul
dengan tanja
Tak pernah orang meragukan adanja Jang Maha Esa kalau orang
bertahun-tahun lamanja terkurung dalam dunia jang gelap. Seseorang
merasa begitu dekat kepada Tuhan pada waktu ia mengintip melalui
lobang ketjil dalam selnja dan melihat bintang-bintang, kemudian
merunduk disana selama berdjam-djam dalam kesunjian jang sepi
memikirkan akan suatu jang tidak ada batasnja dan segala sesuatu jang
ada. Pengasingan jang sepi mengurung seseorang samasekali dari dunia
luar. Karena pengasingan jang sepi inilah aku semakin lama semakin
pertjaja. Tengah malam kudapati diriku dengan sendirinja
bersembahjang dengan tenang.
Sesaat sebelum aku dibebaskan, ada sebuah tulisan dengan djudul ,,Saja
Memulai Kehidupan Baru" jang menguraikan tentang diriku dan
disebarkan setjara luas. Dipagi hari tanggal 31 Desember 1931, pada
waktu aku dalam pakaian preman untuk pertamakali selama dua tahun,
Direktur Pendjara mengir:ngkanku kepintu keluar dan bertanja, .