Anda di halaman 1dari 2

19 April 2005.

Saya melihat kipas angin, putarannya seperti mau mengikat leher saya dan
anginnya ingin membuat mati saja. Saya sudah lelah. Untuk pertama kalinya saya ingin mengakhiri
hidup saya. Saya sudah berada di mulut jurang. Selangkah saja saya berjalan, saya dapat mengakhiri
semuanya. Saya sudah mencoba yoga, meditasi, diet dan lari, tapi tidak satu pun membuat saya
merasa baik. Saya tidak berani hidup. Kematian lebih mujarab dari keberanian untuk hidup berapa
tahun lagi. Saya percaya Albert Camus, saya lebih berani mati dibandingkan hidup. Saya sudah coba
banyak hal, tapi saya melihat kegelapan. Tidak ada bayang kehidupan, setiap melihat putaran kipas
angin leher saya seperti mau dicekik, banyak jenis kelelawar merobek-robe dada saya, tapi saat-saat
itu juga imajinasi seksual saya meningkat.

***

Pagi tadi, anak Fakultas Hukum UGM tiba di Syantikara untuk rekoleksi. Aku tidak tau dalam
rangka apa, dan sepertinya aku tidak akan tau seperti segala hal yang masih kupertanyakan dalam
kepala, salah satunya adalah tentang bahan asli Sang Saka Merah Putih yang ternyata seprai dan
kain tukang soto. Aku diminta untuk menyiapkan kamar, menyiapkan makanan dan mengantarnya
tiga kali sehari selama tiga hari berturut-turut di kamar wanita itu. Aku juga yang akan menyapu
lantai kamarnya setiap pukul satu siang, membersihkan ranjangnya dan barangkali harap-harap
segala kemungkinan yang paling kuharapkan akan terjadi karena wanita itu cukup menarik.

Namun, aku harus hati-hati. Di Syantikara ini, lagi-lagi tidak jauh dari patung besar dengan
kaki dililit naga dan tangannya ngacung seperti ingin membuat perhitungan, kerap sekali ada suara-
suara menakutkan pada tengah malam. Maka, tugasku bertambah satu lagi yaitu memastikan wanita
itu khusyuk dalam tidurnya. Ia tidak boleh diganggu dan tidak boleh ketakutan.

***

25 Mei 2007. Saya sudah baik, tapi belum benar-benar pulih. Saya masih sangat cemas. Saya
takut kalau tiba-tiba beton meratakan saya dengan tanah jika saya sedang duduk untuk makan
malam. Sampai saat ini, sepertinya saya terbentuk dari obat. Saya mengonsumsi obat tidur,
diazepam dan prozac. Sudah banyak sekali, tapi keinginan untuk mati masih saja belum hilang. Saya
melihat dunia ini semacam chiaroscuro, seperti lukisan Renaissance yang menggambarkan Yesus
dengan bayangan gelap untuk tujuan tidak lain adalah mempertegas Yesus disinari cahaya. Saya
melihat kematian sudah ada di dunia, di tubuh saya, dan ia sendiri yang menawarkan saya untuk
segera menjemputnya mengingat hidup saya harus dipertegas secepat mungkin (saya bingung ketika
memikirkan ini).

Saya ini aneh. Penyakit saya lebih aneh lagi. Ibu saya bilang, saya akan baik-baik saja. Ayah
juga demikian, tapi saya tidak percaya. Saya cemas, lelah dan takut. Dada saya terasa sesak, masa
depan saya hitam semua, tidak ada harapan dalam hidup saya, atau mungkin apa yang saya lihat
sekarang adalah hal-hal yang membuat saya gila dua tahun lagi. Makan? Saya tidak bisa. Bernapas
rasanya menghirup udara yang sangat tipis, saya cemas oksigen akan habis, diri saya tidak berguna.
Banyak hal-hal yang seolah-olah seperti kenangan, tapi sebenarnya sama sekali belum terjadi. Saya
selalu mencoba mengikat leher dengan selimut.

***

Wanita itu sangat aneh. Aku ingin menemuinya dan bertanya mengapa ia sangat aneh untuk
ukuran kecantikan seperti itu. Waktu rekoleksi selama satu hari kemarin, kuperhatikan cara
berjalannya sangat cepat, seperti takut sekali padahal tidak ada apa-apa. Setiap melihat kipas angin,
ia seperti melihat setan. Di kamar, waktu aku mengantar makan siangnya tadi, ada banyak coretan-
coretan di dinding. Sulit dibaca, ketika aku berusaha menghapusnya, ia lekas menyuruhku keluar.

Biasanya, mahasiswa yang rekoleksi di Syantikara ini tidak pernah sendiri. Bisa sampai
ratusan. Aku sendiri, tahun 2019 kemarin, rekoleksi di tempat ini bersama 300 orang teman yang
lain. Rasanya lucu kalau sendiri, meskipun itu hal yang wajar. Aku dilanda seribu penasaran tentang
wanita itu. Bagaimana ia melihat kipas angin seperti ingin mencekik lehernya? Bagaimana bisa beton
tiba-tiba roboh dan meretakkan tulangnya? Bagaimana hasrat seksualnya meningkat?

***

1 Desember 2010. Tuhan telah menolong saya. Ratusan kali saya memikirkan untuk bunuh
diri, tapi saat ini saya masih hidup. Puji Tuhan. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, saya
merasa hidup saya berguna. Saya juga sudah tidak memikirkan untuk bunuh diri. Saya sudah bebas.
Puji Tuhan. Setiap hari Minggu saya gereja. Nafsu makan saya pulih. Tidak lagi cemas. Hidup saya
berguna. Hidup saya berguna. Saya tidak jadi gila.

Tadi saya menghabiskan waktu di rumah paman. Ayah saya mengajak saya ke sana, karena
paman akan disunat. Saya senang bisa menikmati semangka dan daging di rumah paman tanpa
khawatir kabel-kabel listrik menyedot nyawa saya. Puji Tuhan. Betapa baiknya Tuhan itu. Saya tidak
kelelahan lagi.

***

Diary itu kutemukan di pintu kamarnya waktu dia berusaha menyeret kopernya ketika ia
datang pertama kali. Aku ingin mengembalikan padanya waktu itu juga, tapi aku ingin membacanya
dulu sampai ia selesai rekoleksi. Aku membuka dengan tidak teratur, halaman-halaman tertentu
yang sekiranya menarik, aku tulis ulang untuk kuceritakan. Selain jadi mahasiswa, tukang bersih-
bersih di Syantikara, aku menghabiskan banyak waktu untuk membaca dan menulis. Aku juga
menghabiskan banyak waktu untuk menunggu kabar dari beberapa penerbit yang padanya
kukirimkan naskah-naskahku.

Sampai pada halaman 112, aku sangat bahagia membaca pengakuan bahwa dia sudah
sembuh. Itu artinya saat ini dia tidak merasa tidak berguna lagi. Aku turut bahagia, tidak peduli
mengapa. Kalau waktu –pada level terbaiknya- memberiku nasib sejengkal untuk menjadi apa saja
yang paling kudambakan, maka sebentar saja aku ingin menjadi petugas administrasi Rumah
Pembinaan Carolus Borromeus Syantikara dengan tujuan tidak lain adalah untuk mendapatkan
identitas lengkap wanita itu. Dengan kata lain, aku ingin mengenalnya lebih dalam lewat cara
tradisional.

***

Anda mungkin juga menyukai