Anda di halaman 1dari 5

Another Timeline, Another Mission, Another Loss

“Hari ini aku akan menemukannya”


Itulah hal pertama yang selalu ku ucapkan setiap kali aku bangun tidur. Aku ada
dalam sebuah “misi” untuk mencari dia. Aku hanya ingin mengerti apa yang
terjadi setelah kejadian itu. Saat itu, aku mulai mengambil tas ku dan mulai keluar
dari kamar apartemenku. Saat aku berjalan menuju lift, seseorang memanggilku.
“Rei! Kau ingin kemana? Jangan bilang kau akan mencarinya lagi.”.
”Kau benar Kyo, aku tidak akan berhenti mencarinya sampai aku
menemukannya”.
”Menyerahlah, kau tidak akan menemukannya.”
Aku sudah mulai meragukan pilihanku dari awal. Apakah di benar-benar ada?
Atau di hanya sebuah imajinasi? Namun, aku sudah keras kepala dari awal jadi
aku hanya akan mendengarkan jika aku mau.
“Lebih baik tidak, aku hanya akan berjalan-jalan hari ini.” Kataku pada kyora.
“Baiklah kalo begitu, Aku duluan saja. Hati-hati di jalan Rie!”
Aku bergegas menuju lift yang sayangnya sedang diperbaiki. Dengan ini cara lain
adalah menuruni tangga. Aku berlari menuruni tangga dan karena kurang berhati-
hati, aku terjatuh.
“Kau baik-baik saja?”
Seorang wanita menghampiriku setelah aku jatuh. Dia terlihat sangat khawatir
setelah melihat aku jatuh
“Ya, Aku tidak apa-apa…sepertinya tidak..”
Pada saat itulah aku melihat darah, kemungkinan terbentur pinggiran tangga yang
lancip. Wanita itu menawarkan ku untuk masuk ke apartemennya. Dia berkata
bahwa ia memiliki perban untuk luka ku. Aku spontan menolaknya dan bergegas
pergi. Aku keluar dari gedung apartemenku dengan bersenandung kecil. Hatiku
masih acak-acakan pagi itu.
Suasana Luar apartemen terasa aneh saat itu. Walaupun di luar menunjukkan
bahwa sebentar lagi akan hujan, Girimis tak kunjung datang. Aku pun berlari
menuju pertengahan kota. Dan saat itu, aku menekmukanya. Dia seperti tak kasat
mata di mata orang lain. Bahkan bisa di bilang bahwa dia seperti tidak ada. Di
tengah kerumunan ter sebut aku mencoba untuk memanggil namanya. Rasanya
ada yang menghalingu untuk mengucapkan namanya. Aku mulai tersedak dan
mulutku terasa berbusa saat itu juga. Berlari menuju dia juga tidak akan
membantu. Kaki selalu terasa dirantai dimanapun aku menemukannya. Entah itu
di mimpi, angan-angan, bahkan dunia nyata, aku masih bisa mengingat perasaan
tersebut. Aku tersandung dan berusaha mencari tempat yang tenang setelah itu.
Dan itu bukan kejadian pertamaku bertemu dengannya. Sudah berkali-kali aku
menemuinya. Aku rasa dia tidak memiliki nama namun, aku memanggilnya Eins.
Aku rasa diriku sedikit pusing pada saat itu. Dan aku mulai mengeluarkan 1 batang
rokok dan menyalakannya. Aku merasa sedikit tenang, namun pikiranku masih
tertuju pada “Eina” yang sedang memberi makan burung merpati. Dan anehnya,
Aku sudah tidak terasa pusing lagi. Rasanya tidak ada yang menghambatku dan
mulutku sudah bisa terbuka. Dengan gayaku yang sedikit kekanak-anakan aku
berlari menuju “Eins”. Para merpati yang ada di sekitarku mulai terbang. “Eins”
pun lantas kaget.
“Eins!. Hey! Ini aku Rei! Kita pernah bertemu kan?. Hey..Eins?”.
Eina tidak bergeming dan hanya diam terpaku melihatku
“Maaf, Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Walaupun belum, bagaimana
kau mengerti namaku? Sepertinya kita mungkin pernah bertemu sebelumnya.”.
“Ah! Maaf jika aku kurang sopan, Namaku Rei. Reiyu lebih tepatnya. Senang
bertemu dengan mu Eins!”.
Rasanya lega sudah menemukan dia. Namun ada yang terasa janggal. Namun aku
tetap menghiraukannya. Eina pun bergegas pergi setelah mengobrol dengan ku.
Dan aku pun meneruskan jalan-jalan di taman sejak aku tidak mempunyai
kegiatan lain di rumah. Aku melihat orang-orang mulai berhenti melakukan
kegiatan seolah-olah mereka berhenti. Jam arloji ku pun berhenti bekerja.
Segerombolan merpati pun berheti terbang. Mereka hanya bisa berdiam di langit
yang medung ini. Gerimis sudah turun, namun mereka pun tidak bergerak.
Kejadian ini sudah membuat ku berpeikir bahwa aku sedang berhalusinasi. Aku
mulai berlari secepat mungkin menuju apartemenku. Menuju lift tidak akan
membantu saat ini karena jika dipikirkan lagi, Listrik juga akan mati. Aku segera
Berlari menuju tangga yang sepertinya tidak ada akhirnya. Tapi sepertinya akan
jauh lebih baik jika aku menjadi gila dan meninggal di kamar apartrmen ku
daripada menjadi orang terakhir yang menjadi gila di dunia yang sudah berhenti
ini. Dugaan ku memang benar, Tangga ini sepertinya tidak aka pernah habis.
Padahal aku menyangka bahwa kamar apartemen ku berada di lantai bawah. Dan
ada suara yang menggema di ujung tangga. Dan itu adalah Eins.
“Hey..Reiyu bukan? Apa yang kau lakukan disini?”
Teriaknya dari bawah tangga. Aku yang sudah terlalu lemas, mulai membalas
dengan nada yang agak kasar
“Apa maksudmu aku ada di sini? Ini adalah salah satunya rumah yang aku miliki
disini!”
“Oh.”
“Apa maksudmu dengan kata ‘Oh.’!? Kita sudah seperti terjebak di kota mati!”
“Aku minta maaf ini semua adalah salahku..”
Perasaan bersalah mulai mengaliri tubuhku
“Dan..uhmm..Aku juga minta maaf karena sudah membentakmu tadi.”.
“Kurasa itu saja..Lalu apa sekarang?”. Eins juga kebingungan dalam situasi seperti
ini. Aku pun begitu. Jika dunia ini berhenti, kemungkinan kita akan hidup
selamanya sampai semua ini terulang dari awal lagi.
“Kau tau mengapa aku mengetahui nama mu..Eins?”
Aku dengan acak berusaha mencairkan suasana dengan melontarkan pertanyaan
tersebut.
“Sepertinya tidak, dan aku tidak begitu memikirkannya”. Ucap Eins dengan
santainya
“Kau tau, Aku sudah berkali-kali berada di tempat ini. Suasananya sudah tidak
familiar lagi. Gedung-gedunya, Toko yang ada di pinggir jalan, orang-orangnya,
bahkan semua dimulai oleh scenario yang sama. Namun, Akhirnya akan berbeda.
Di Timeline lain aku akan putus asa dan menjadi gila, Di Timeline berikutnya aku
akan meninggal karena infeksi.. Dan di Timeline ini.. aku tidak tahu tentang yang
ini”
Sepertinya Eins terdiam terpaku menatapku. Dia kehabisan kata-kata
“Oh..uhmm..Wow.. aku.. tidak tahu harus berkata apa”.
“Ya aku tahu itu. Semua orang bereaksi seperti itu setelah aku memberitahukan
mereka tentang itu”.
“Bisa kah kau menceritakan tentang ini.. Atau lebih tepatnya Timeline ini lebih
detail lagi?”.
“Ya, dengan senang hati. Jadi aku di tugaskan untuk mencari sumber masalah di
Timeline ini. Tentang mengapa dunia ini tiba-tiba berhenti. Aku pun menemukan
sumber masalahnya. Namun, ini akan menjadi berbahaya jika di musnahkan.
Taruhan terbaikmu adalah nyawa mu sendiri.”.
“Benarkah? Apa yang harus dimusnahkan?.”
“Yang di musnahkan adalah ‘White Purify Crystal’. Itu adalah semacam Kristal
saktral yang di lindungi sebuah kelompok kultus bernama ‘Immortality death’
yang dipimpin oleh Garry Schmith. Setauku kultus tersebut sudah pecah dan
hilang, namun kekuatan tetua kultus masih tersimpan di sana, dan akan menjadi
sangat bahaya bila di musnahkan. Itu seperti men-nuklir kota ini namun 10 kali
lebih bahaya dari nuklir.”
“Apa yang kita tunggu? Ayo, Segera hancurkan Kristal itu!”
Aku sedikit kaget mendengar tanggapan Eins tentang hal tersebut. Dia seperti
tidak memiliki rasa takut sama sekali.
“Hey, Tenang dulu! Kita bahkan belum mengetahui lokasi tersebut”
“Tapi, Mungkin aku mengetahuinya.”
Rasa kaget, Bahagia, dan emosi-emosi lain yang tidak bisa aku deskripsikan
tercampur aduk menjadi satu.
“Benarkah?! Dimana itu?! Segera beritahukan itu padaku!”
Eins pun mengeluarkan sebuah liontin kecil dari tasnya.
“Garry Schmith bukan? Itu adalah nama ayah tiri-ku Garry Michele Schmith. Dia
memberikan liontin ini kepadaku saat aku menginjak usia 6 tahun. Ia mengatakan
bahwa aku dapat merasakan arwahnya di sana saat ia meninggal nanti. Dan
kurasa ia memang benar. Dan-“
Tanpa berpikir panjang aku segera melempar liontin ke tanah dan menginjak nya
sampai hancur berkeping-keping. Aku segera mengambil salah satu potongan
Kristal tersebut dan melemparkannya ke Eins.
Dengan begini, Terjadi ledakan dasyat dan seluruh kota berubah menjadi putih.
Rasa yang aneh mulai menyelimutiku, Nostalgia. Ruangan putih, Dengkingan
keras, Semuanya terasa nyaman bagiku. Kurasa aku akan berada di sini sampai
aku menjadi gila dan siapa tahu sampai aku meninggal sampai saat itu aku akan
sendirian disini. Aku meminta maaf terhadap Eins, Rekan kerja ku, Dan semua
orang yang pernah aku temui.

Anda mungkin juga menyukai