***
‘Perempuan mana yang akan tahan dengan sikapmu?’ kata Cia dengan mata
berkaca-kaca, kalimat terakhir yang kudengar darinya sekaligus penutup bagi
hubungan kami. Jangankan peka dengan segala kode yang ia berikan, yang
nembak pertamapun adalah Cia. Tapi, terima kasih telah menyadarkanku dengan
ucapanmu, kutahu pasti dengan kurangnya empati akan membuat orang pada
akhirnya akan kesulitan sendiri, entah dijauhi ataupun karena tidak dapat
mengelola tim jika suatu saat menjadi pemimpin. Lagi pula empati akan menjadi
skill yang penting di tahun-tahun mendatang.
Artikel ini mungkin benar, isinya ada beberapa cara untuk meningkatkan
empati, salah satunya menjadi sukarelawan. Kebetulan yang sangat kebetulan
telah terjadi banjir di beberapa titik di kota tempatku tinggal. Kata pemerintah
setempat ‘Bukan banjir, sekadar genangan,’ genangannya sampai perut orang
dewasa.
Mungkin dengan melihat korban bencana secara langsung akan memberiku
gambaran tentang empati itu bagaimana. Lagi pula tidak semua orang juga benar-
benar ingin membantu korban bencana, ada yang ingin kelihatan seperti aktivis
kemanusiaan lalu menuliskan di bionya ‘pejuang kemanuniasaan,’ ada yang hanya
ingin pamer di ig story, bahkan ada yang datang cuman foto, malah pakai caption
segala, ‘Mohon doanya untuk teman-teman kita,’ sambil memegang spanduk
bersama korban bencana. Cukup lihat-lihat saja, siapa juga yang mau ditolong
dengan badan sekecil ini, mungkin kalau saya menolong orang lain, orangnya
yang malah menolong saya. Diam dan amati.
Setiba di lokasi banjir kami hanya berkeliling, mencari orang-orang yang
mungkin tertinggal. Setelah menyusuri beberapa rumah, kami melihat sekeluarga
yang telah mengungsi di atap rumah, katanya mereka tidak mau pergi karena
menunggu kucingnya yang hilang entah kemana, siapa tahu ia kembali. Saat yang
lain membantu, saya hanya berpikir, kalau itu Tigger, jangankan kembali,
palingan ia akan mengungsi duluan dan mengeluarkan tatapan mautnya untuk
mencari majikan baru, seperti yang dia lakukan diawal pertemuan kami.
‘Ngeong,’ suara kucing, benar saja, itu adalah kucing. Karena tempatku yang
paling dekat untuk menggapainya maka secara otomatis tanpa berucap seolah
mereka menyuruhku menggapainya. Baiklah, kataku dalam hati, mungkin
keluarga tadi akan berterima kasih padaku, rasa terima kasih mungkin cukup
untuk membantuku.
Kucing itu malah menjauh, tapi ia tetap bersuara. Semakin kucoba meraihnya
semakin ia menjauh, sepertinya kucing itu tahu membantunya bukan tujuan
utamaku. Semakin jauh lenganku mencoba meraihnya hingga tak terasa badanku
ikut menjulur keluar perahu karet, dan ternyata benar, hal terburuk yang
kubayangkan terjadi. Kucing itu pergi dan saya terjatuh dari perahu karet. Karena
tidak tahu berenang saya pun diselamatkan dan keluarga tadi kupikir punya
kucing itu nyahut, ‘Biarin, Mas, kucing bakalan selamat sendiri, kok.’ Entah lebih
sakit mana antara memikirkan nasibku yang hampir mati karena kucing liar atau
karena dipanggil mas-mas.
Kebanyakan artikel lain juga membahas hal yang sama, ‘Sukarelawan dan
Empati.’ Adapula yang mirip dengan judul skripsi, ‘Makna Empati Bagi
Sukarelawan.’ Ada juga artikel, ‘Tujuh Cara Membangun Empati,’ tujuh-tujuhnya
jadi sukarelawan juga. Seruput kopi sedikit, lanjut membaca Ubur-ubur Lembur
karya Raditya DIka, tentang pilihan antara kerja kantoran atau menjadi penulis.
Cila datang dan masuk kerumahku, duduk tepat di seberang sofa ruang keluarga.
Cila dan Cilo memang sudah biasa masuk ke rumahku, mereka sudah
dianggap seperti keluarga. Biasanya mereka datang berdua, tapi hari ini hanya
Cila, sendirian. Saat seperti ini kutahu kalau Cila akan menceritakan sesuatu,
seperti sebelum-sebelumnya. Tiga minggu sejak kepergiaan orang tuanya, tapi
matanya masih terlihat sembap. Di rumah hanya ada aku seorang, untuk beberapa
menit kami terdiam, kulanjutkan dengan membaca novel. Hening.
‘Cow, tahu tidak, hal paling sakit ketika ditinggal?’ Kata Cila memecah
keheningan, dua detik dia terdiam, melanjutkan, ‘Tanpa pamit, Cow,’ pelan.
Tanpa ingin di judge tidak mendengarnya, aku membalas, ‘Iya.’
‘Pernah tidak, sih, berada di situasi yang sakit, saking sakitnya menangis pun
tidak.’ Cila melanjutkan, ‘Gakpapa, kan, kita merasa seperti ini?’
‘Iya, gakpapa, kok.’ Balasku. Ketika orang menceritakan kesialannya
sebenarnya mereka sudah tahu solusinya, dan sekadar ingin didengarkan.
‘Mungkin butuh waktu aja untuk hidup normal, seperti biasa,’ balas Cila,
sembari menyeka bulir air dimatanya, melanjutkan, ‘Bagaimanapun hidup harus
tetap berlanjut.’ Cila beranjak pergi setelah menumpahkan semua keluhnya
kepadaku. Kulihat perbedaan jelas dimukanya ketika pergi, lebih cerah.
Bukan kali pertama Cila curhat kepadaku, mungkin dikepalanya aku adalah
sosok yang mampu mendengarkan tanpa memotongnya, tanpa dia tahu
sebenarnya aku hanya tidak tahu harus bersikap seperti apa di situasi seperti itu.
Terakhir ia bercerita soal mantannya, kesedihan diputuskan malam tahun baru
tepat lewat satu menit, mengharap mantannya berkata, ‘Maaf, ini prank.’
Kulanjutkan membaca, katanya dengan berbagi secara tidak langsung akan
meningkatkan empati orang. Jurnal yang menarik, jangankan berbagi, ketika satu
kompleksku saja mengadakan bersih bersama, saya dengan sengaja begadang
hingga jam empat pagi untuk bangun kesiangan, agar ketika ditanya saya akan
menjawab ‘Maaf. Kesiangan.’ Alasan klasik orang terlambat. Lagian bukankah
membersihkan itu adalah tugas negara. Kita, kan, sudah bayar pajak.
Apakah ini adalah titik balikku dari orang yang dingin menjadi orang yang
dermawan. Keesokan paginya kuhubungi Cila, berhubung dia punya komunitas
yang rutin berbagi setiap minggu untuk orang yang membutuhkan, dan dia adalah
pendirinya.
Pekan depannya kami berdua mulai membagikan makanan kepada orang
yang membutuhkan. Komunitas ini bergerak per shift, kebetulan pekan ini Cila
yang bertugas bersama dua anggota yang lain, biasanya, setelah membeli
makanan mereka akan berpencar, karena baru pertama kali saya dan Cila bersama
membagikan makanan.
‘Iya, Nak,’ kata Bapak-bapak yang duduk di pinggir jalan.
‘Tuh, kan, kasihan. Kasih uang, gih,’ kata Cila setelah mendengar cerita dari
Bapak itu, katanya anaknya lagi sakit dan membutuhkan uang untuk obat dan
operasi, kebetulan waktu itu dompetnya ketinggalan. Otomatis uangku akan
menjadi korbannya.
‘Daftarin aja ke KitaBisa.com, kali,’ bisikku ke Cila, ‘Kalau cuman dikasih
dari kita gak mungkin juga bakalan bisa nanggung biaya operasinya.’ Mereka
yang mengawali kalimat dengan membawa orang lain terutama orang penting
baginya seperti anak kemungkinan besar adalah penipu, pikirku. Kata selanjutnya
dari Bapak ini pasti butuh uang cepat.
Cila terdiam, berpikir. ‘Lama, Mas. Anak saya butuh uang cepat,’ kata Bapak
itu mendengar bisikanku, seolah paling paham cara kerja KitaBisa.com, dan benar
saja, kata selanjutnya adalah uang dan cepat.
‘Benar juga, sih.’ Kata Cila, lalu mengambil dompetku dengan paksa dan
memberikan uang kepada Bapak itu, sembari berkata, ‘Semangat yah, Pak.’
Untuk pertama kalinya kuberikan uangku kepada orang yang sudah pasti
adalah penipu. ‘Tak apa, apapun yang dia katakan cukup kita sebagai pendengar
mempercayai,’ kata Cila menyela diamku, ‘Sebagai yang ‘beruntung’ hendaknya
kita memberi, urusan dia untuk memakai uang itu untuk apa.’
‘Walaupun sudah pasti penipu?’ balasku. Cila terdiam. Hening.
Parasnya rupawan, kulitnya sawo matang, rambut sebahu dikuncir satu
dengan lesung pipi dan gigi gingsul membuatnya tampak sempurna. Jika kami
bersama pasti akan seperti duet maut, dingin dan hangat, keduanya dibutuhkan
untuk keseimbangan.
Akankah semesta merestuiku? Atau yang lebih tepat, akankah Cilo
merestuiku? Kami berteman sejak lama, Cilo tahu kejelekanku, bahkan fantasiku.
Selalu kukirimi ia foto perempuan cantik di tengah malam dan kutambahkan
cerita fantasi liar bersamanya. Atau yang paling penting, akankah Cila
menerimaku. Tapi perasaan ini seperti pertemuanku dengan Cia, ingin
memberanikan diri tapi apakah ini adalah cinta atau sekadar nafsu lelaki bejat
sepertiku? Entahlah. Hanya Tuhan dan Mas-mas penjual cimol yang tahu.
Lagian tugas utamaku adalah menumbuhkan empati. Setelah berbagi ke orang
yang membutuhkan rasanya memang senang, tapi apakah senang itu? atau yang
lebih penting, apakah bahagia itu? apakah dia layak untuk dikejar? Seperti apa
mereka? Tanyalah ke orang-orang pertanyaan ini, kujamin pasti mereka akan sulit
mendeskripsikannya.
Untuk merayakan hari lahir komunitasnya, Cila mengundangku. Makan siang
di restoran kelas menengah. Cukup meriah bagi komunitas kecil, telah berdiri
sejak capek duduk, canda, dong. Sejak dua tahun lalu, menyalurkan lebih dari
seratus juta, tiap minggu tidak pernah absen membagikan bantuan. Dan saya
disini, duduk di ujung meja, kebanyakan diam dan hanya menjawab ketika
ditanya, singkat.
Selesai makan kuajak Cila menonton Spider Man terbaru. Setelah menonton
kami berdua kembali kelaparan, entah karena terlalu serius menonton Spider Man
atau tubuh kami yang banyak makan tapi tidak pernah kegemukan. Mungkin
cacing kami yang berkuasa. Selang menunggu makanan yang kami pesan, Cila
bergumam, ‘Keren.’
Kubalas Cila dengan anggukan, ‘Apalagi ketika Spider Man yang lain
muncul, keren abis,’ Tambahku.
‘Bukan, dong,’ Cila sedikit menunduk, ‘Kamu, kata teman aku, kamu keren.’
‘Jelas, dong,’ Angkuh. ‘Kamu juga, manis,’ tambahku.
Untuk beberapa saat kami terdiam. Udara terasa lebih hangat dari
sebelumnya. Yang kupikirkan hanyalah ekspresi Cilo ketika tahu kalau adeknya
telah kubilangi manis. Tapi… pramuniaga datang menghentikan pemikiranku.
Sebetulnya restoran ini kurang pas untuk kami berdua, karena restoran ini
adalah restoran keluarga. Di sebelah kiri, kanan, depan, dan belakang kami ada
keluarga yang lagi makan malam bersama. Dan tentu saja bersama dengan anak
mereka yang masih kecil. Mahluk yang paling kubenci di semesta ini. Tapi karena
makanan di sini enak maka biasanya rasa kesalku bisa terbayar.
‘Kamu tahu…’
Belum selesai Cila melengkapi kalimatnya, kupotong, ‘Tidak.’
Cila memandangiku, sedikit marah, ‘Ih, belum selesai.’
‘Jadi?’ Anak-anak keluarga tadi mulai berlarian dan teriak-teriak, membuatku
ingin menyumpal mulutnya.
‘Akhir-akhir ini aku berpikir tentang kepergian orang yang kucintai,’ kata
Cila, pelan ‘Tapi, baru akhir-akhir ini pula aku menyadari, disetiap fase kehidupan
akan selalu ada yang pergi dan yang tinggal.’
Sepertinya ini akan menjadi pembicaraan yang serius, pikirku.
‘Aku sadar, setiap kali bersedih, selalu ada orang yang kutumpahkan
segalanya.’ Cila menatapku, hangat, ‘Orang tuaku… dan kamu.’
‘Hehe,’ kataku membalasnya seperti pesan whatsapp.
‘Aku sayang kamu.’
Udara tadi yang terasa hangat tiba-tiba berubah menjadi lebih berat. Untuk
beberapa saat kami terdiam. Aku tidak mengeluarkan sepatah katapun. Siapa
sangka teman kecil merangkap tetangga menyukaiku. Sebulan setelah kepergian
orang tuanya, apakah Cila mencoba menjadikanku sebagai pelampiasan
kesepiannya.
‘Kenapa?’ kataku.
‘Tidak tahu, sayang aja,’ balas Cila.
Bukannya menjawab malah kulontarkan pertanyaan sulit, ‘Sayang itu apa?’
Cila terdiam sesaat. Matanya bergerak-gerak, seolah disekitarnya ada
jawaban. Belum sempat menjawab, kutimpali ia dengan pertanyaan sekali lagi,
‘Cinta itu apa?’ Raut mukanya terkejut, seperti tidak siap dengan pertanyaan yang
kulontarkan. Kujejali Cila dengan berbagai macam pertanyaan soal cinta,
‘Bagaimana kamu tahu rasanya sayang?’ tutupku.
Cila mulai terlihat takut. ‘Aku tidak tahu,’ pelan. Ia melanjutkan makannya
tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku pun melakukan hal yang sama. Ada
perasaan canggung yang merasuk. Makanan terasa hambar.
Setelah melihatnya telah menghabisi makanannya segera kuminta bill dan
buru-buru keluar restoran. Dekat pintu keluar, salah satu anak yang berlari dari
tadi menabrakku, orang tuanya segera datang, mewakili anaknya ia berkata,
‘Maaf, Mas.’ Kulihat Bapak itu dengan seksama. Ternyata Bapak yang kemarin,
dan anak tadi yang katanya sakit malah menabrakku, Bapak itu bergegas pergi
menaiki mobilnya setelah kutatap dia dengan tajam, menyiratkan, ‘Kampret,
kembalikan uangku.’
Selama di mobil kami hanya terdiam, ketercanggungan yang luar biasa.
Mungkin Cila diam karena tersadar kalau Bapak tadi telah menipu kami. Tapi
rasanya itu tidak akan membuat Cila secanggung ini. Sepertinya yang kulakukan
adalah sebuah kesalahan, Cila hanya mengutarakan perasaannya, apa yang salah
dengan itu? Kenapa dia justru kulontarkan berbagai pertanyaan?
Cila menunduk. Mungkin dengan berdeham akan mencairkan suasana,
‘Hmm… Hmm…’ malah lebih menjadi. Cila masih terdiam, menunduk. Sesekali
menggaruk kepala. ‘Rusa!’ kataku keras sambil menunjuk kearah samping,
mengagetkan Cila. Ia melihat keluar, menyadari tidak ada apa-apa. Suasana
menjadi lebih suram dari sebelumnya.
‘Terkadang ada beberapa hal yang cukup untuk dirasa, yang tidak dapat
terwakilkan oleh kata.’ Kata Cila sebelum menutup pintu mobil.
Rumah kami berhadapan, jadi setelah Cila menutup pintu aku keluar mobil
dan membuka pagar, selama itu dia masih di depan pagarnya juga,
memandingiku. Tidak seperti di film-film yang setelah menutup pintu maka si
cowoknya akan pergi melanjutkan perjalanan, terus memikirkan kalimat terakhir
dari si cewek yang telah menohoknya.
***
Setelah perjuangan yang melelahkan rasanya berubah itu adalah hal yang
sulit. Lebih tepatnya, mengerti tentang perasaan itu jauh lebih sulit. Menjadi
sukarelawan yang berakhir menjadi korban. Berbagi yang berakhir dibohongi.
Mungkin menerima diri lebih baik dibandingkan mengubahnya.
Berjalan di antara kerumunan orang. Berbaur dengan sekitar. Mementingkan
diri sendiri, jalan cepat menuju kesuksesan, persetan yang orang rasakan. Intinya
telah berjuang. Manusia sudah terlalu maju hingga lupa esensi manusia itu sendiri,
tak apa, demi kemajuan kusirnakan semua itu. Hidup seolah merasa hidup. Cukup
berpura-pura seperti yang lain. Lebih baik diriku yang memang kurang
memahami perasaan orang lain dibandingkan mereka yang paham tapi berperilaku
acuh terhadapnya. Hipokrit.
Tigger menghampiriku. Mengeong, menagih janji, betina!. Lantas kufoto ia,
dan kusebar di semua platform media sosial yang kumiliki sembari memberikan
caption, ‘Lepas. Adopsi.’ Tapi sebelum kupost ia kembali mengeong seperti tahu
bukan itu yang seharusnya kutulis, memandangku dengan tatapan mautnya.
‘Siap menghamili!’ kubenarkan captionku. Suara terakhirnya seperti berkata,
‘Good job.’ Ia kembali menuruni tangga, memandang keluar, berita telah
tersebar,. Betina mana yang kali ini akan menjadi korbanmu, tanyaku sembari
melihatnya.
Sudah tiga hari sejak perdebatanku dengan Cila, biasanya dia mengirimiku
video lucu di Instagram atau sekadar menanyakan kabar Tigger, basa-basi biasa
ala perempuan, tapi setelah kejadian itu kami tidak pernah berhubungan lagi.
‘Dring-dring, Instagram.’ Notifikasi yang kubuat sendiri dengan suaraku
berbunyi. Ternyata itu teman SD-ku, menawarkan betinanya untuk kuhamili.
Tigger hamili maksudku.
Ketika hari yang ditentukan telah tiba, telah kupersiapkan tempat ternyaman
bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama. Oreo, nama kucing temanku.
Kucing itu terlihat anggun, datang dan membuat Tigger kegirangan, langsung
mengendus Oreo di bagian pantat, memastikan apakah ia betina atau tidak.
Kubiarkan mereka berdua, memberikan privasi. Tentu saja dengan sedikit
mengintip dan merekam. Saat merekam terlintas pikiran tentang bagaimana
Tigger yang awalnya hanya kucing biasa, bahkan menurutku sangat egois
dibandingkan kucing domestik lainnya, hanya mengeong ketika lapar. Tapi ketika
Oreo datang, Tigger sangat berbeda, seperti bukan dia yang biasanya, seperti
paham cara memperlakukan kucing lain.
Tigger yang sebelumnya jarang berinteraksi dengan kucing lain mungkin
membuatnya kurang paham dengan bagaimana seharusnya kucing pada umumnya
bersikap. Dari kecil ia di rumah, tak satupun kucing lain pernah ia temani. Setiap
kami kecolongan, Tigger akan keluar rumah dan berkelahi dengan kucing lain,
yang penting hanyalah siapa yang kuat.
Selama ini kami selalu berusaha mengajari Tigger bagaimana untuk bersikap.
Mulai dari memperlihatkannya video youtube, dimana lima kucing sedang baring
santai tanpa saling terjang. Kami juga sampai memperagakan bagaimana menjadi
kucing yang baik, saya dan Kakak Kedua menjadi kucing, merangkak,
memperagakan kucing bersosialisasi, yang tidak berkelahi satu sama lain.
Walaupun akhirnya badan kami masuk angin karena tiduran di lantai.
Tapi hari ini kulihat dengan jelas bagaimana Oreo mengajarkan semuanya.
Cara bersikap, merespon, menunda keinginan, memahamkan bahwa di dunia ini
kuat tidak selalu menjadi solusi. Lengkap satu paket ia ajarkan. Selama ini yang
Tigger butuhkan hanyalah kucing yang tepat.
Masih merekam, telintas kalimat kalimat terakhir Cila,
‘Terkadang ada beberapa hal yang cukup untuk dirasa, yang tidak dapat
terwakilkan oleh kata.’
Kulihat Tigger yang masih mengendus Oreo, mengitarinya, kucing jantan
egois yang menemukan kucing lain, yang bisa mengajarkannya menjadi kucing
sejati. Seperti diriku yang menemukan Cila, mengerti tentang rasa dari kalimat
terakhirnya.
Saat itu juga kukirimi Cila video Tigger yang sedang asyik dengan Oreo.
‘Halo. Tigger punya betina?!’ kata Cila mengangkat teleponku, semangat.
‘Iya,’ lirih, kataku, ‘Aku sayang kamu.’