Anda di halaman 1dari 20

TEORI KELUARGA

Disusun Oleh :
Bhatari Astuti (1504617012)

PROGRAM STUDI PVKK


ILMU KESEJAHTERAAN KELUARGA
FAKULTAS TEKNIK
JULI, 2019
RANGKUMAN
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak. Terbentuknya sebuah keluarga ialah dari ikatan perkawinan antara
dua insan yang memiliki latar belakang yang berbeda. Dalam setiap anggota
keluarga pasti terdapat peran dan kewajiban yang berbeda Didalam keluarga ada
beberapa teori seperti teori struktur fungsional, teori konflik, teori ekologi, teori
pertukaran sosial, teori feminisme, teori gender, teori perkembangan. Teori
struktuf fungsional ialah teori yang membahas tentang pembagian peran, hak dan
kewajiban yang terstruktur didalam keluarga. Teori konflik muncul karena adanya
ketidaksetujuan adanya teori fungsional. Teori ekologi ialah teori yang membahas
tentang lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan anak. Teori pertukaran
sosial ialah teori yang membahas tentang pentingnya untung rugi dalam sebuah
hubungan. Teori feminisme ialah teori yang membahas tentang gerakan sosial
yang menuntut patriarki menjadi egaliter untuk kesetaraan kedudukan antara
perempuan dan laki laki. Teori gender ialah teori yang membahas tentang
perbedaan peran, tanggung jawab dan hak antara perempuan dan laki laki didalam
masyarakat. Teori perkembangan ialah teori yang membahas tentang tahapan
tahapan yang ada didalam keluarga.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari
suami istri atau suami, istri, dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan
anaknya Mongid, 1995 dalam (Marlina Telaumbanua & Nugraheni, 2018).
Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah
yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah karena
perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah disebut keluarga batih. Keluarga
menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam
masyarakat.
Terbentuknya keluarga yaitu karena adanya perkawinan antara dua
individu yang berlainan jenis. Jadi, keluarga yang baru dibentuk hanya terdiri dari
suami dan istri, yang selanjutnya akan melahirkan oleh anggota lain yaitu anak.
Seseorang yang belum berkeluarga mempunyai kedudukan dan fungsinya sebagai
anak dari orang tuanya. Namun setelah mereka berkeluarga sendiri maka mereka
mempunyai hak dan kewajiban yang baru yaitu hak dan kewajiban sebagai suami
istri (Pujosuwarno, 1994) dalam (Marlina Telaumbanua & Nugraheni, 2018).
Adapun tujuan terbentuknya keluarga Menurut konsep sosiologi, tujuan keluarga
adalah mewujudkan kesejahteraan lahir (fisik, ekonomi) dan batin (sosial,
psikologi, spiritual, dan mental) (Puspitawati, 2013b).
Dalam kehidupan berkeluarga, setiap anggota keluarga mempunyai hak
dan kewajiban, serta peran masing-masing. Seperti peran ayah dalam keluarga
sebagai kepala keluarga bertanggung jawab penuh pada keadaan keluarganya dan
pencari nafkah dalam keluarga. Tidak hanya ayah saja yang mempunyai peran
dalam keluarga, seorang ibu juga mempunyai peranan yang penting dalam
kehidupan suatu keluarga, baik peranannya bagi suami maupun anaknya. Di
dalam kehidupan rumah tangga, seorang ibu berkewajiban untuk melayani suami
dan anaknya dalam semua aspek yang ada dalam kehidupan keluarganya. Salah
satu aspek kewajiban seorang ibu dalam peran keluarga ialah pendidikan yang
dapat mencerdaskan anak dengan mengajarkan anak kebiasaan yang baik, sopan
santun, pendidikan keagamaan dan lain sebagainya. Dalam peran ibu rumah
tangga tidak hanya pada pendidikan anak, tetapi juga meliputi peranannya
terhadap kondisi kesejahteraan keluarga. Membentuk keluarga sejahtera pada
dasarnya adalah menggerakkan proses dan fungsi manajemen dalam kehidupan
rumah tangga.
Didalam keluarga ada beberapa teori seperti teori struktur fungsional, teori
konflik, teori ekologi, teori pertukaran sosial, teori feminisme, teori gender, teori
perkembangan. Teori struktuf fungsional ialah teori yang membahas tentang
pembagian peran, hak dan kewajiban yang terstruktur didalam keluarga. Teori
konflik muncul karena adanya ketidaksetujuan adanya teori fungsional. Teori
ekologi ialah teori yang membahas tentang lingkungan dapat mempengaruhi
perkembangan anak. Teori pertukaran sosial ialah teori yang membahas tentang
pentingnya untung rugi dalam sebuah hubungan. Teori feminisme ialah teori yang
membahas tentang gerakan sosial yang menuntut patriarki menjadi egaliter untuk
kesetaraan kedudukan antara perempuan dan laki laki. Teori gender ialah teori
yang membahas tentang perbedaan peran, tanggung jawab dan hak antara
perempuan dan laki laki didalam masyarakat. Teori perkembangan ialah teori
yang membahas tentang tahapan tahapan yang ada didalam keluarga.

1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini diantaranya sebagai berikut :
1. Untuk menambah pengetahuan tentang keluarga dalam teori yang ada seperti,
teori struktur fungsional, teori konflik sosial, teori ekologi, teori pertukaran sosial,
teori feminisme, teori gender dan teori perkembangan didalam keluarga.
2. Untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang teori struktur fungsional,
teori konflik sosial, teori ekologi, teori pertukaran sosial, teori feminisme, teori
gender dan teori perkembangan didalam keluarga.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu :
1.Dari penulisan ini dapat menambah wawasan tentang teori keluarga yang ada
seperti teori struktur fungsional, teori konflik sosial, teori ekologi, teori pertukaran
sosial, teori feminisme, teori gender dan teori perkembangan didalam keluarga.
2. Hasil penulisan dapat digunakan untuk memberikan pengetahuan tentang teori
struktur fungsional, teori konflik sosial, teori ekologi, teori pertukaran sosial, teori
feminisme, teori gender dan teori perkembangan didalam keluarga.
BAB II
ISI
2.1 Teori struktural Fungsional
Teori struktural fungsional adalah sebuah norma, peran dan fungsi yang
terstruktur didalam keluarga. Menurut teori struktural fungsional seperti yang
dikemukakan Parsons bahwa suatu keluarga akan berada dalam kedaaan harmonis
dan stabil bila peran yang ada didalam keluarga dapat tersruktur dengan baik dan
sesuai peran yang sudah ditentukan (Purnomo, 2014). Untuk itu, teori struktural
fungsional lebih menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam sebuah
keluarga dan masyarakat.
Menurut (Kitchen, 2016) teori struktural fungsional menjelaskan bahwa
segala hal yang berkaitan dalam peran dan fungsi di dalam keluarga sangat
penting untuk dapat ditanamkan dan dipelihara serta dilakukan sesuai dengan
tugas masing-masing anggota keluarga agar tercipta keselarasan dan
keharmonisan dalam rumah tangga. Dalam teori struktutal fungsional terdapat
konsep yang dicanangkan oleh Talcott Parsons "Parsons (1951) sees families as
part of larger social systems that have four require-ments for functioning well
and progressing: adaptation, goal attainment, integration, and pattern
maintenance. According to Seidman’s (1998) discussion of Parsons’ work,
adapta-refers to the requirement for societies to provide for their material
needs." dari konsep AGIL penjelasannya seperti:
Adaptation (Adaptasi), yaitu bagaimana masing2 anggota keluarga dapat
beradaptasi untuk berkomunikasi dengan baik agar terjadi keselarasan dalam
rumah tangga.
Goal Attainment (Pencapaian Tujuan), yaitu bagaimana keluarga saling
berdemokrasi untuk menyatukan visi misi yang dibangun keluarga. Sehingga
masing-masing anggota keluarga dapat mencapai tujuan keluarga secara bersama-
sama.
Integration (integrasi), yaitu pengenalan dan penanaman nilai-nilai, norma
dan kebiasaan dalam keluarga.
Latency (lantensi), yaitu pemelihataan nilai-nilai, norma, dan kebiasaan
dalam keluarga agar tetap tertanam dengan baik dan menjadi warisan keluarga.
Jadi teori keluarga ialah terstrukturnya sebuah peran, hak, kewajiban dan
tugas dalam setaip anggota keluarga. Seperti norma-norma yang berlaku didalam
keluarga, peran individu masing-masing dalam keluarga. Berdasarkan pendekatan
teori struktural dalam (Puspitasari, Puspitawati, & Herawati, 2017) fungsional,
sebuah struktur keluarga yang kemampuannya untuk berfungsi secara efektif,
dengan tersusunnya peran antara ayah (seorang laki laki sebagai pencari nafkah)
dan ibu (seorang perempuan sebagai ibu rumah tangga seperti mengurus anak, dan
lainnya). Levi dalam Megawangi (1999) mengatakan bahwa tanpa adanya
pembagian tugas yang jelas pada masing masing aktor dengan status sosialnya
akan menyebabkan terganggunya fungsi keluarga. Dengan demikian, pentingnya
adanya pembagian peran dalam keluarga antara suami dan istri dalam segala hal
apapun didalam keluarga.
Dalam studi kasus yang saya bahas ialah ibu rumah tangga yang bekerja di
dosmetik selain dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, hal ini juga dapat
menjalankan peran ibu dalam rumah tangganya. Menurut (Musrifah 2009 dalam
Marlina Telaumbanua & Nugraheni, 2018) dalam penelitiannya yang berjudul
“Peranan Kepala Keluarga Wanita Di Pedesaan Dalam Upaya Memenuhi
Kebutuhan Hidup Keluarga (Kasus 5 Janda Cerai Desa Sidorejo, Grobogan)”
menyimpulkan bahwa secara umum di Desa Sidorejo secara keseluruhan peran
Ibu yang bekerja dapat menyeimbangkan perannya di dalam keluarga yaitu
sebagai ibu rumah tangga yang melaksanakan tugas domestik sekaligus sebagai
kepala keluarga yang mencari nafkah, menjaga keamanan keluarga, dan juga
mendidik anak. Seluruh responden dalam penelitian tersebut mengungkapkan
bahwa dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan sudah tercukupi
dengan baik dari hasil pekerjaan mereka menjadi petani, pedagang, dan buruh
tani. Selain itu, ibu rumah tangga yang bekerja disektor dosmetik juga dapat
meningkatkan kesejahteraan keluarga tanpa menghilangkan perannya dalam
keluarganya. Dari studi kasus tersebut, maka peran suami telah digantikan dengan
ibu sebagai pencari nafkah utama karena pasangan tersebut telah bercerai.
Sehingga secara tidak langsung peran ibu mengalami beban ganda antara pencari
nafkah utama dengan melakukan pekerjaan yang ada dirumah dan mengurus anak
di rumah. Dalam studi kasus tersebut, yang perlu diperhatikan ialah kekayaan
waktu yang dibangun antara ibu dengan anak. Karena waktu merupakan
komunikasi positif yang harus dibangun antara ibu dan anak agar dapat
menjalankan fungsi dan peran masing-masing anggota dalam keluarga sesuai
dengan tanggung jawabnya untuk dapat menjalankan nilai-nilai dan norma yang
dibangun dalam keluarga. Sehingga struktur fungsional yang ada didalam
keluarga tetap berjalan tanpa menghilangkan fungsi dan peran yang ada.
2.2 Teori Sosial Konflik
Teori konflik sosial muncul pada Abad ke-18 dan 19 sebagai respon dari
lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga
kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan
pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Mc
Quarrie 1995 dalam Puspitawati, 2013b). Teori konflik sosial mulai populer pada
Tahun 1960an sejalan dengan gelombang kebebasan individu di Barat, tetapi
sebetulnya telah berkembang sejak Abad 17. David Lockwood memberikan kritik
terhadap teori Parsons. Menurutnya, teori Parsons terlalu menekankan
keseimbangan dan ketertiban. Hal ini dianggap suatu pemaksaan bagi individu
untuk selalu melakukan konsensus agar kepentingan kelompok selalu terpenuhi.
Selanjutnya, individu harus selalu tunduk pada norma dan nilai yang melandasi
struktur dan fungsi sebuah sistem. Padahal menurut Lockwood, suasana konflik
akan selalu mewarnai masyarakat, terutama dalam hal distribusi sumberdaya yang
terbatas. Artinya, sifat dasar individu dianggapnya cenderung selfish
(mementingkan diri sendiri). Adapun perspektif konflik dalam melihat masyarakat
dapat dilacak pada tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx, Max Weber dan George
Simmel.
Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada asal-usul terjadinya
suatu aturan atau tertib sosial. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal
usulnya terjadinya pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang
berperilaku menyimpang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori
konflik adalah suatu fenomena sosial yang terjadi dimasyarkat yang artinya
masyarakat menyadari bahwa konflik itu terjadi didalam kehidupan sehari hari.
Seperti adanya perbedaan pendapat antara anggota keluarga dapat menyebabkan
konflik. Dan konflik juga dapat didefinisikan sebagai sebuah proses yang dimulai
ketika suatu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara
negative ataupun secara positif. Konfllik dipandang sebagai suatu proses sosial,
proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang baru yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Perspektif konflik
dianggap sebagai “the new sociology” sebagai kritik terhadap teori struktural
fungsional yang berkaitan dengan sistem sosial yang terstruktur dan adanya
perbedaan fungsi dan diferensiasi peran (division of labor).
Teori konflik adalah teori yang muncul akibat ketidaksetujuan akan
adanya teori struktural fungsional. Di dalam teori konflik mengatakan bahwa
sesuatu permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat merupakan hal lumrah
yang terjadi. Karena pada hakikatnya manusia memang tidak lekang dari sebuah
pertikaian. Hal ini dilatarbelakangi karena "Humans are self-interested. Conflict
theorists believe that humans are self-oriented and have an unlimite capacity to
hope" yaitu manusia selalu mementingkan dirinya sendiri. Sehingga teori konflik
ini mengatakan bahwa manusia akan berorientasi pada diri sendiri dan memiliki
kapasitas yang terbatas dalam berharap akan sesuatu dalam hidup. Dengan adanya
konflik di dalam suatu masyarakat maka memunculkan adanya kekuatan,
negosiasi, kompromi, serta perubahan-perubahan sosial di dalam masyarakat.
Konflik di dalam keluarga dapat terjadi apabila peran dan fungsi dalam keluarga
tidak dapat berjalan dengan baik. Konflik dalam.keluarga diantaranya yaitu
konflik antar pasangan suami-istri, konflik antar orangtua-anak, konflik antar
kakak-adik dan konflik antar keluarga inti-keluarga luas (Hamon, 2016).
Adapun tahapan-tahapan perkembangan yang terjadinya dalam konflik
sebagai berikut (A. Wahyudi, 2015) :
1. Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan
tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum
mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti
timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts)
Munculnya akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang
ditimbulkannya, individu, kelompok atau organisasi cenderung berbagai
mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu
penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat

Seiring berjalannya waktu sudah banyak wanita yang menuntut kesetaraan


gender sehingga banyak ibu yang bekerja. Demi membantu suatu perekonomian
keluarga. Tetapi perubahan tersebut dapat mempengaruhi peran ganda ibu dalam
keluarga. Dan banyak persoalan yang dialami oleh para wanita ibu rumah tangga
yang bekerja di luar rumah, seperti bagaimana mengatur pembagian alokasi waktu
antara sektor publik dengan sektor domestik dengan baik. Ada yang bisa
menikmati peran gandanya, namun ada yang merasa kesulitan hingga akhirnya
persoalan-persoalan rumit semakin berkembang dalam hidup sehari-hari
(Yulia,2007 dalam Aisyah, Gede Putri, & Mulyati, 2017). Sehingga peran ibu
memiliki keterbatasan waktu untuk menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga
yang mengurus suami dan terutama anak yang masih butuh waktu kebersamaan
atau quality time dengan ibu dan perhatian yang intens dari seorang ibu. Dengan
keterbatasan waktu tersebut dapat menimbulkan konflik sosial yang terdapat
dikeluarga. Itulah salah satu implikasi konflik sosial yang terdapat didalam
keluarga.

2.3 Teori Ekologi


Teori ekologi dalam perkembangan anak menekankan pada interaksi
antara orang dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Manusia dipandang sebagai
makhluk yang berkembang dan beradaptasi melalui interaksi dengan semua
elemen lingkungannya. Teori ekologi memperhatikan faktor internal maupun
eksternal yang mempengaruhi masalah perkembangan anak. Penekanan penting
model ini adalah pada konsep “the person‐in‐environment” (Zastrow,2000 dalam
Tri Na’imah, 2012). Teori ekologi perkembangan anak diperkenalkan oleh Uri
Bronfenbrenner,seseorang ahli psikologi dari Cornell University Amerika Serikat.
Teori ekologi memandang bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh
konteks lingkungan. Hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan
yang akan membentuk tingkah laku individu tersebut. Informasi lingkungan
tempat tinggal anak untuk menggambarkan, mengorganisasi dan mengklarifikasi
efek dari lingkungan yang bervariasi (Mujahidah, 2015). Hal yang penting dalam
teori ekologi adalah bahwa pengkajian perkembangan anak dari sub sistem
manapun, harus berpusat pada anak, artinya pengalaman hidup anak yang
dianggap menjadi penggerak perkembangan anak (Bronfenbrenner & Morris,
1998).
Berdasarkan gambar di atas, teori ekologi memandang perkembangan anak dari
tiga sistem lingkungan yaitu mikrosistem, eksosistem, dan makrosistem yang
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Mikrosistem adalah lingkungan dimana individu tinggal, konteksi ini meliputi
keluarga individu, teman sebaya, sekolah dan lingkungan tampat tinggl. Dalam
sistem mikro terjadi banyak interaksi secara langsung dengan agen sosial, yaitu
orang tua, teman dan guru. Subsistem keluarga khususnya orangtua dalam
mikrosistem dianggap agen sosialisasi paling penting dalam kehidupan seorang
anak sehingga keluarga berpengaruh besar dalam perkembangan anak-anak.
2. Mesosistem adalah lingkungan yang terjadi didalam keluarga besar, sekolah
dan tetangga.
3. Eksosistem adalah sistem sosial yang lebih besar dimana anak tidak terlibat
interaksi secara langsung, tetapi begitu berpengaruh terhadap perkembangan
karakter anak. Seperti sub sistemnya terdiri dari lingkungan keluarga besar atau
saudara lainnya. Adapun sub sistem eksosistem lain yang tidak langsung
menyentuh pribadi anak lingkunan tempat kerja orang tua.
akan tetapi besar pengaruhnya adalah koran, televisi, game online, dan lain-lain.
4. Makrosistem adalah sistem lapisan terluar dari lingkungan anak. Sub sistem
makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat
istiadat, budaya, dan lain sebagainya.
5. Chronosistem adalah sistem sosial yang dapat berubah dalam seiring
berjalannya waktu, seperti alam semesta.
Dalam jurnal (Melton, Larson, & Boccia, 2019) “The ecology of family
experience” (EFE), ialah penelitian yang mendukung kinerja keluarga terkait
dengan pengalaman-pengalaman yang terjadi di dalam rumah tangga, dimana
untuk mengidentifikasi akan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas keluarga
dalam rumah tangga. Misalnya berkaitan dengan bentuk kegiatan keluarga dan
waktu keluarga untuk dapat menyelaraskan keluarga di dalamnya. Faktor keluarga
dapat terdiri dari karakteristik tingkat individu atau pasangan yang menjalankan
aktivitas keluarga tersebut. Dalam hubungan kesejahteraan keluarga hal ini dapat
mengidentifikasi perbedaan yang signifikan antara waktu luang inti dengan
keseimbangan tetkait fungsi keluarga, kohesi keluarga, adaptasi kemampuan dan
kehidupan yang mencapai kepuasan keluarga. Studi kasus tersebut menjelaskan
bahwa dalam hubungan keluarga, masing2 anggota keluarga harus dapat
meluangkan satu waktunya untuk dapat berekreasi bersama atau dengan kumpul
keluarga bersama. Karena dengan meluangkan waktu untuk berekreasi bersama
keluarga dapat memunculkan dampak positif, baik bagi orangtua maupun bagi
anak. Contoh rekreasi bersama diantanya yaitu:
1. Pergi ke musemu bersama
2. Pergi ke taman bersama
3. Mudik bersama.
Dalam perkembangangan lingkungan anak dapat dipengaruhi dari
lingkungan teman ataupum lainnya. Studi kasus yang saya bahas ialah tentang
“Pengaruh teman sebaya terhadap tingkat kenalakan remaja”. Yang dimana teman
sebaya adalah faktor tingkatan dasar (mikrosistem) dalam perkembangan
lingkungan. Teman sebaya juga sangat berpengaruh dalam perkembangan anak
dengan hal positif ataupun negatif. Remaja adalah masa di mana seorang
individu mengalami peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Sebelum
dewasa individu akan mengalami masa dimana terjadi peralihan untuk benar-
benar mematangkan dirinya menuju masa dewasa. Pada masa ini sebagian besar
remaja mengalami gejolak dimana terjadi perubahan pada dirinya baik secara
fisik, psikis, maupun secara sosial (Sudarsono, 2004 dalam Zuvin Natul Ummah ,
Sitti Nursetiawati, 2016) Oleh karena itu masa remaja di sebut-sebut masa yang
paling rawan dihadapi individu sebagai anak. Di masa ini seorang anak mulai
mencari jati diri. Pada masa peralihan, status remaja tidaklah jelas karena pada
masa ini juga seseorang masih labil dalam menentukan keputusan. Berdasarkan
fenomena kenakalan remaja yang terjadi di kota besar Indonesia, serta faktor yang
mempengaruhi kenakalan remaja dapat mempengaruhi perkembangan anak. Jadi
dapat disimpulkan bahwa teman sebaya dapat mempengaruhi perkembangan anak
seperti perilaku dan kenakalan yang ditunjukkan pada anak. Walaupun lingkungan
keluarga juga dapat mempengaruhi perkembangan anak, tetapi teman sebaya lebih
dapatt mempengaruhi perkembangan anak. Hal ini diperkuat dengan penilitian
(Zuvin Natul Ummah , Sitti Nursetiawati, 2016) yang menyimpulkan bahwa
terdapat pengaruh positif yang signifikan antara pergaulan teman sebaya terhadap
tingkat kenakalan remaja. Pergaulan teman sebaya memiliki sumbangan sebesar
5,52% terhadap tingkat kenakalan remaja, sehingg semakin tinggi pergaulan
teman sebaya maka semakin tinggi pula tingkat kenakalan remaja. Sehingga
teman sebaya menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi dalam
perkembangan anak.
2.4 Teori Pertukaran /sosial exchange
Dalam teori pertukaran sosial adapun tokoh-tokoh yang mengembangkan
teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley
(1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau
(1964). Salah satu tokoh George Homans (1958; 1961) dalam (Puspitawati,
2013a) adalah orang yang dikenal membawa Teori Social Exchange ke disiplin
Ilmu Sosial. Homans fokus pada hubungan interpersonal diantara orang-orang di
keluarga dan masyarakat. Konsep pemikiran George Homans adalah adanya
karakteristik sifat manusia yang universal di seluruh dunia, yaitu bahwa perilaku
manusia (konsep behaviorism di psychology) ada yang “Positive Reinforcement
and Negative Reinforcement”. Homans juga menyatakan adanya “ The rule of
distributive justice “ artinya : adanya harapan bahwa rewards pada masing-masing
orang yang berhubungan akan “proporsional“ dengan biaya yang dikeluarkan oleh
masing-masing orang tersebut, sehingga net result dari masing-masing orang itu
akan proporsional dengan investasinya dalam hubungan tersebut. Teori ini
didasari paham utilitarianisme (individu dalam menentukan pilihan secara rasional
menimbang antara imbalan (rewards) yang akan diperoleh, dan biaya (cost) yang
harus dikeluarkan. Para sosiolog penganut teori ini berpendapat bahwa seseorang
akan berinteraksi dengan pihak lain jika dianggapnya menghasilkan keuntungan
ataupun seperti selisih antara imbalan yang diterima dengan biaya yang
dikeluarkan (Puspitawati, 2013b).
Berdasarkan teori ini, dapat kita hubungkan kedalam pertukaran yang ada
pada orang lain karena darinya kita dapat memperoleh imbalan. Dengan kata lain
hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi
kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial pun melihat
antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi
(reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka
kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling
mempengaruhi. Sehingga, dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan
(reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala
hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua
hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh
pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran sosial paling sedikit antar
dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi dalam segi apapun. seperti,
percintaan, dan perkawinan hanya akan langgeng jika semua pihak yang terlibat
merasa teruntungkan. Selain itu, adapun pola perilaku yang ada didalam
pendidikan dengan adanya beasiswa yang termasuk kedalam pertukaran sosial
karena pertukaran sosial dalam pendidikan ini antara lain, mengenai pertukaran
sosial prestasi siswa untuk dijadikan bahan pertukaran sosial. Pertukaran sosial
hanya ingin mendapatkan keuntungan yang dimiliki oleh individu untuk
kemudian siswa memberikan timbal balik yang berupa pelayanan. Dengan begitu
beasiswa dapat menjadi salah satu faktor dari pertukaran sosail yang ada. Hal ini
diperkuat oleh penelitian (A. M. Wahyudi, 2018) Perilaku sosial penerima
bantuan sosial pendidikan yang muncul biasanya merupakan perilaku sosial yang
dilakukan untuk mendapatkan reward dari orang-orang yang memberikan
bantuan. Dan untuk meraih reward tersebut siswa harus butuh pengorbanan
dahulu dengan cara belajar. Sehingga setelah adanya pengorbanan maka akan
adanya keuntungan yang didapatkan oleh individu. Keuntungan-keuntungan yang
didapatkan oleh individu menjadi bagian dari adanya imbalan yang diinginkan
oleh individu untuk mendapatkan keuntungan. Pokok terpenting dalam
pertukaran sosial ialah mempunyai makna tentang yang dipertukarkan.
Adapun sumberdaya exchange menurut (Foa dan Foa 1974, 1980 dalam
Cropanzano & Mitchell, 2005) resource theory presents six types of resources in
exchange: “ love, status, information, money, goods, and services”. Jadi dalam
jurnal ini menjelaskan bahwa ada 6 jenis sumber pertukaran sosial, salah satunya
dengan cinta yang artinya adanya pertukaran sosial melalui perkawinan yang ada.
Seperti “Politik Perkawinan Sebagai Agensi” di daerah Minangkabau dan
didalam politik perkawinan ini tidaklah dilakukan untuk kepentingan pribadi atau
satu kelompok kerabat saja, tetapi ditunjukkan untuk kepentingan bersama (dua
kelompok kekerabatan yang menjalin perkawinan tersebut). Artinya, politik
perkawinan tidak lain adalah sebuah proses pertukaran sosial (social exchange)
anatara dua kelompok kerabat yang menjalin perkawinan tersebut, yang
didalamnya selalu terkandung nilai-nilai reciprocity (arus timbal balik) dan nilai-
nilai norma (morality) tertentu. Oleh sebab itu, pertukaran sosial dalam konteks
ini lebih sebagai upaya untuk menciptakan keharmonisan hubungan anatar dua
kerabat yang menjalin perkawinan tersebut. Sehingga dalam perkawinan politik
tersebut menciptakan reward dengan adanya keharmonisan yang ada (Arifin,
2012).
2.5 Teori Feminisme
Gerakan feminisme merupakan gerakan konflik sosial yang didasari oleh
para pelopor feminisme dengan tujuan mendobrak nilai-nilai lama (patriarkhi)
yang selalu dilindungi oleh kokohnya tradisi struktural fungsional. Gerakan
feminism modern di Barat dimulai pada Tahun 1960-an yaitu pada saat timbulnya
kesadaran perempuan secara kolektif sebagai golongan yang tertindas. Menurut
Skolnick dalam (Puspitawati, 2013a) : Some feminists denounced the family as a
trap that turned women into slaves (beberapa feminis menuduh keluarga sebagai
perangkap yang membuat para perempuan menjadi budak-budak). Gerakan
feminisme yang berdasarkan model konflik berkembang menjadi gerakan-gerakan
feminisme liberal, radikal, dan sosialis. Berdasarkan filsafat feminism sangat tidak
setuju dengan budaya patriarkhi. Budaya patriarkhi yang berawal dari keluarga
yang menjadi penyebab adanya ketimpangan gender di tingkat keluarga yang
kemudian mengakibatkan ketimpangan gender di tingkat masyarakat. Laki-laki
yang sangat diberi hak istimewa oleh budaya patriarki menjadi sentral dari
kekuasaan di tingkat keluarga. Hal inilah yang menjadikan ketidaksetaraan dan
ketidakadilan bagi kaum perempuan dalam kepemilikian properti, dan kontrol
terhadap sumberdaya dan akhirnya kurang memberikan manfaat secara utuh bagi
eksistensi perempuan. Para feminis menganggap bahwa kesetaraan gender tidak
akan pernah tercapai kalau sistem patriarki masih terus belaku. Jadi teori
feminisme adalah gerakan sosial yang dilakukan oleh para feminis untuk
kesetaraan atau keadilan peran gender yang berawal patriarki menjadi egaliter.
Untuk itu para feminis melakukan gerakan sosial yang bertujuan untuk menuntut
egaliter dalam peran gender yang disebut dengan feminisme.
Terdapat beberapa kasus mengenai ketidaksetaraan gender yang terjadi
dilingkungan politik. Misalnya dalam sejarah pemilihan umum (pemilu),
anggapan masyarakat Indonesia terhadap pilihan perempuan politik masih sebagai
pilihan kedua untuk menduduki posisi dalam politik (jabatan politik) (Nimrah,
2015). Hal tersebut disebabkan karena masyarakat indonesia masih menganut
sistem patriarki yang beranggapan bahwa derajat perempuan masih dibawah
derajat laki laki. Untuk itu dalam pemilu perempuan masih berada pada
kedudukan kedua setelah laki laki. Walaupun perempuan mempunyai kemampuan
yang setara dengan laki laki, akan tetapi perempuan masih dianggap tidak dapat
dipercaya untuk memimpin. Hal tersebut yang dianggap tidak adil oleh para
feminis. Para feminis menuntut keadilan hak dan peran antara laki-laki dan
perempuan yang dituangkan dalam gerakan feminisme. “Feminist theories
promulgate and bolster the goals of feminist political action” yang berarti para
feminis menyebarluaskan dan mendukung tindakan politik untuk para perempuan
(Bibby, 2016).

2.6 Teori Gender


Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan
perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan
dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak
kecil. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering sekali mencampur
adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati
(gender). Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan
peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya
gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan
ruang tempat dimana manusia beraktivitas (Puspitawati, 2013a). Kata „gender‟
dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada
laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya
yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Selain itu teori gender menurut Squire, 1989 adalah teori yang
membedakan peran antara perempuan dan laki-laki yang mengakibatkan
petbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat, dalam
jurnal (Suhapti, 1995). Perbedaan ini tampaknya berawal dari adanya perbedaan
faktor biologis antara perempuan dan laki-Iaki. Perempuan memang berbeda
secara jasmaniah dari laki-Iaki, perempuan mengalami 3M (menstruasi,
melahirkan, menyusui) yang tidak dialami oleh laki laki sehingga masyarakat
berpendapat bahwa perempuan berhubungan dengan kodrat sebagai ibu. Menurut
Echols, 1993 dalam kamus bahasa Inggris, sex dan gender, sama-sama diartikan
sebagai “jenis kelamin” dalam (N. Aisyah, 2013). Akan tetapi antara keduanya
mempunyai pengertian yang berbeda. Seks adalah jenis kelamin biologis yang
merupakan pensifatan dua jenis kelamin manusia yang melekat pada jenis kelamin
tertentu. Seperangkat alat reproduksi yang secara biologis melekat pada masing-
masing jenis kelamin tertentu, untuk selamanya tidak dapat dipertukarkan karena
bersifat given, merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat. Sedangkan gender adalah
jenis kelamin sosial , yaitu suatu sifat yang melekat/dilekatkan pada kaum laki-
laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Ciri dari
sifat itu sendiri dapat dipertukarkan, dapat berubah dari waktu ke waktu, serta
berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain.
Dalam jurnal (West, Zimmerman, & Jun, 2007) gender dapat dikatakan
bahwa jenis kelamin dan gender merupakan dua hal yang berbeda namun saling
berhubungan. Jenis kelamin dapat diartikan bahwa sesuatu yang berhubungan
dengan perspektif antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari perbedaan
bentuk fisiologi tubuhnya. Dalam jurnal ini juga (West et al., 2007) mengatakan
The categorization of members of society into indigenous cate- gories such as
"girl" or "boy," or "woman" or "man," operates in a distinctively social way.
However, the use of any such source as a manual of procedure requires the
assumption that doing gender merely involves making use of discrete, well-
defined bundles of behavior that can simply be plugged into interactional
situations to produce recognizable enact- ments of masculinity and femininity.
The man "does" being masculine by, for example, taking the woman's arm to
guide her across a street, and she "does" being feminine by consenting to be
guided and not initiating such behavior with a man. Yang berarti gender adalah
peran antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan sosialnya, misalnya
seperti laki-laki seringkali digambarkan dengan sosok yang gagah, berani dan
maskulin. Sedangkan perempuan seringkali digambarkan dengan sosok yang
lembut, halus dan feminin. Teori gender seringkali dipandang dengan perspektif
masyarakat ke arah jenis kelamin, padahal gender merupakan gambaran sosial
yang dibangun oleh masyarakat akan lelaki ialah lelaki dan perempuan ialah
perempuan. Namun dalam hal ini, gender bukanlah ekspresi konvensional. Karena
di dalam teori gender mengatakan bahwa peran antara laki-laki dan perempuan
dalam kehidupan sosial dapat bertukar. Misalnya apabila dikaitkan di dalam
keluarga peran perempuan tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, namun dapat
menjadi pencari nafkah kedua ataupun pertama sesuai dengan kesepakatan yang
dibangun antara pasangan tersebut. Begitupun dengan peran laki-laki yang dapat
bertukar dengan perempuan, misalnya laki-laki mengambil peran rumah tangga
dalam keluarga menggantikan istri seperti membantu mengurus rumah.

2.7 Teori Perkembangan


Dalam jurnal (Rago, 2010) dijelaskan bahwa teori perkembangan
keluarga merupakan perspektif konseptual terkait dengan studi kasus dalam
keluarga baik secara internal maupun eksternal melalui pendekatan dan peristiwa
kritis seperti emosiona, psikologis, relasional, biologis, dan perubahan sosial yang
menjadi ciri masing-masing anggota keluarga dalam kehidupan sehari-harinya.
Hal ini juga berkaitan dengan perkembangan tahapan dan pergeseran yang
memengaruhi keluarga, diantaranya yaitu vital, dinamis, sosial organisme yang
kurang lebih terintegrasi dalam lingkungan tertentu dan yang bisa diamati oleh
model sistemik sepanjang waktu. Teori perkembangan ialah “family development
theory looks at how couples and family members deal with various roles and
developmental tasks wthin the marriage and the family as they move through
each stage of the life cycle” yang berarti teori pengembangan keluarga melihat
bagaimana pasangan dan anggota keluarga dengan berbagi peran dan tugas
perkembangan dalam pernikahan dan keluarga disetiap tahap siklus hidup
(DeFrain & Brand, 2012) . Dalam teori perkembangan keluarga juga merupakan
kerangka kerja yang mengacu pada analisis evolusi hubungan antara anggota
keluarga yang berbeda. Setiap anggota keluarga dalam perkembangan memiliki
perasaan, kebutuhan, pengalaman dan tindakan yang mempengaruhi timbal balik.
Dengan begitu perkembangan keluarga ada delapan tahapan keluarga yang
menurut Duvall, yaitu :
1. Menikah yaitu, penyatuan dua insan yang memiliki latar belakang yang
berbeda.
2. Mempunyai anak yaitu, sepasang suami istri yang melahirkan seorang anak
yang bertujuan untuk melanjutkan generasi selanjutnya dalam perkembangan teori
keluarga.
3.Keluarga dan anak prasekolah yaitu, sepasang suami istri yang sudah
mempunyai seorang anak yang memasuki usia sekitar 4-5 tahun .
4. Keluarga dan anak sekolah yaitu, sepasang suami istri yang sudah mempunyai
seorang anak yang memasuki usia sekitar 6-12 tahun.
5. Keluarga dan anak remaja yaitu, sepasang suami istri yang sudah mempunyai
seorang anak yang memasuki usia sekitar 13-20 tahun.
6. Keluarga dan anak dewasa yaitu, orang tua dan anak yang sudah ingin berpisah
oleh orang tua dengan menikahkan anak.
7.Keluarga dengan usia orang tua pertengahan yaitu, orang tua yang pada tahap
ini sudah berusia 40-60 tahun.
8. Keluarga dengan orang tua lanjut usia yaitu, tahapan orang tua yang sudah
memasuki usia lanjut.
Dalam tahapan orang tua lanjut usia ini merupakan perkembangan pada
tahap terakhir dalam keluarga. Usia lanjut ini dapat menjadi seseorang yang
despresi karena merasa kesepian dan kurang kasih sayang untuk itu, walaupun
anak sudah berumah tangga sendiri hendaknya tetap menyempatkan waktyu untuk
berkunjung kerumahnya. Lanjut usia merupakan masa perkembangan terakhir
dalam hidup manusia yang ditandai dengan perubahan fungsi fisik, psikologis,
maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain (Kuntjoro, 2002) dalam
(Fadillah, Mulyati, & Muhariati, 2017). Seiring bertambahnya usia, maka
seseorang akan menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidupnya
yang disebut penyesuaian diri. Penyesuaian diri pada masa perkembangan ini
dinilai sulit karena lansia masih berorientasi pada tahapan perkembangan sebelum
pensiun.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Keluarga adalah sebuah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak. Didalam keluarga ada beberapa teori seperti teori struktur
fungsional, teori konflik, teori ekologi, teori pertukaran sosial, teori feminisme,
teori gender, teori perkembangan. Teori struktur fungsional ialah teori yang
membahas tentang pembagian peran, hak dan kewajiban yang terstruktur didalam
keluarga. Tokoh yang paling terkenal dalam teori struktul fungsional adalam
Talcott Parsons yang mempunyai skema AGIL (Adaptation, Goal Attainment,
Integration, Latency).
Teori konflik muncul karena adanya ketidaksetujuan adanya teori
fungsional. Selain itu didalam teori konflik mengatakan bahwa sesuatu
permasalahan yang terjadi didalam masyarakat merupakan hal lumrah yang
terjadi. Karena pada hakikatnya manusia memang tidak lekang dari sebuah
pertikaian. Hal ini dilatarbelakangi karena "Humans are self-interested. Conflict
theorists believe that humans are self-oriented and have an unlimite capacity to
hope" yaitu manusia selalu mementingkan dirinya sendiri. Konflik dapat terjadi
didalam keluarga jika terdapat pergeseran peran, hak dan kewajiban yang ada.
Teori ekologi ialah teori yang membahas tentang lingkungan yang dapat
mempengaruhi perkembangan anak. Dalam perkembangan anak dapat dilihat dari
tiga sistem lingkungan yaitu mikrosistem (seperti teman sebaya dan keluarga),
mesosistem (seperti sekolah dan keluar luas), eksosistem (seperti lingkungan
tempat pekerjaan orangtua), makrosistem(seperti pemeintah, ideologi negara) dan
chronosistem (seperti alam semesta).
Teori pertukaran sosial ialah teori yang membahas tentang pentingnya
untung rugi dalam sebuah hubungan. Dalam teori pertukaran sosial pun melihat
antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi
(reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang lain, maka kita
dan orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling
mempengaruhi. Sehingga, dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan
(reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit).
Teori feminisme ialah teori yang membahas tentang gerakan sosial yang
menuntut patriarki menjadi egaliter untuk kesetaraan kedudukan antara
perempuan dan laki laki. Para feminis menganggap bahwa kesetaraan gender tidak
akan pernah tercapai kalau sistem patriarki masih terus belaku. Untuk itu para
feminis melakukan gerakan sosial yang bertujuan untuk menuntut egaliter dalam
peran gender yang disebut dengan feminisme.
Teori gender ialah teori yang membahas tentang perbedaan peran,
tanggung jawab dan hak antara perempuan dan laki laki didalam masyarakat. Kata
„gender‟ dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan
tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan
(konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Adapun perbedaan faktor biologis antara
perempuan dan laki-Iaki. Seperti perempuan yang mengalami 3M (menstruasi,
melahirkan, menyusui) yang tidak dialami oleh laki laki sehingga masyarakat
berpendapat bahwa perempuan berhubungan dengan kodrat sebagai ibu. Dan laki
laki dengan kodrat sebagai ayah.
Teori perkembangan ialah teori yang membahas tentang tahapan tahapan
yang ada didalam keluarga. Dalam jurnal (Rago, 2010) dijelaskan bahwa teori
perkembangan keluarga merupakan perspektif konseptual terkait dengan studi
kasus dalam keluarga baik secara internal maupun eksternal melalui pendekatan
dan peristiwa kritis seperti emosional, psikologis, relasional, biologis, dan
perubahan sosial yang menjadi ciri masing-masing anggota keluarga dalam
kehidupan sehari-harinya..
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, N. (2013). Relasi Gender Dalam Institusi Keluarga Dalam Pandangan
Teori Sosial Dan Feminis. Muwazah, 5(2), 203–224.
Aisyah, S. N., Gede Putri, V. U., & Mulyati, M. (2017). Pengaruh Manajemen
Waktu Ibu Bekerja Terhadap Kecerdasan Emosional Anak. JKKP (Jurnal
Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 3(1), 33.
https://doi.org/10.21009/jkkp.031.08
Arifin, Z. (2012). Dualitas Praktik Perkawinan Minangkabau. Jurnal Humaniora,
21(2), 150–161. https://doi.org/10.22146/jh.v21i2.963
Bibby, L. (2016). Feminisms. Year’s Work in Critical and Cultural Theory, 24(1),
43–66. https://doi.org/10.1093/ywcct/mbw003
Cropanzano, R., & Mitchell, M. S. (2005). Social exchange theory: An
Interdisciplinary review. Journal of Management, 31(6), 874–900.
https://doi.org/10.1177/0149206305279602
DeFrain, J. D., & Brand, G. L. (2012). Families across the lifespan: The next.
NebGuide, 2–5. Retrieved from
http://extensionpublications.unl.edu/assets/pdf/g2124.pdf
Fadillah, F., Mulyati, M., & Muhariati, M. (2017). Perbedaan Penyesuaian Diri
Terhadap Hilangnya Pasangan Hidup Pada Lansia Di Rumah Dengan Lansia
Di Panti Wedha. JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan),
3(2), 32. https://doi.org/10.21009/jkkp.032.07
Hamon, R. R. (2016). Conflict Theory. Encyclopedia of Family Studies, 1–5.
https://doi.org/10.1002/9781119085621.wbefs504
Kitchen, D. P. (2016). Structural Functional Theory. Encyclopedia of Family
Studies, 1–7. https://doi.org/10.1002/9781119085621.wbefs273
Marlina Telaumbanua, M., & Nugraheni, M. (2018). Peran Ibu Rumah Tangga
Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Keluarga. In Sosio Informa (Vol. 4).
https://doi.org/10.33007/inf.v4i2.1474
Melton, K. K., Larson, M., & Boccia, M. L. (2019). Examining Couple
Recreation and Oxytocin via the Ecology of Family Experiences Framework.
Journal of Marriage and Family, 81(3), 771–782.
https://doi.org/10.1111/jomf.12556
Mujahidah. (2015). Implementasi Teori Ekologi Bronfenbrenner Dalam
Membangun Pendidikan Karakter Yang Berkualitas. Implementasi Teori
Ekologi, IXX(2), 171–185. Retrieved from
http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=400630&val=8781&title=IMPLEMENTASI TEORI EKOLOGI
BRONFENBRENNER DALAM MEMBANGUN PENDIDIKAN
KARAKTER YANG BERKUALITAS
Nimrah, siti. (2015). Perempuan Dan Budaya Patriarki Dalam Politik (Studi
Kasus Kegagalan Caleg Perempuan Dalam Pemilu Legislative 2014 ). The
POLITICS: Jurnal Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 1(2),
2407–9138.
Purnomo, S. (2014). Krisis Karakter the Crisis of Characters. Jurnal
Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi, 2(1), 72–81.
Puspitasari, N., Puspitawati, H., & Herawati, T. (2017). Peran Gender, Kontribusi
Ekonomi Perempuan, dan Kesejahteraan Keluarga Petani Holtikultura.
Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen, Vol. 6, pp. 10–19.
https://doi.org/10.24156/jikk.2013.6.1.10
Puspitawati, H. (2013a). Konsep, Teori Dan Analisis Gender. Ekologi Manusia, 2,
1–13. https://doi.org/10.1017/S0033583501003705
Puspitawati, H. (2013b). KONSEP DAN TEORI KELUARGA Oleh : Herien
Puspitawati Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi
Manusia- Institut Pertanian Bogor Indonesia . PT IPB Press . Bogor .
Komunikasi Pembangunan, 4(Zeitlin 1995), 1–16.
https://doi.org/10.1249/01.mss.0000074580.79648.9d
RAGO, M. (2010). Family Development Theory. Istituto Degli Innocenti, Italy,
9(6), 54–59. https://doi.org/10.1097/00006205-198406000-00015
Suhapti, R. (1995). Gender Dan Permasalahannya. Buletin Psikologi, 3(1), 44–50.
https://doi.org/10.22146/bpsi.13386
Tri Na’imah. (2012). Pendidikan karakter: Kajian dari Teori Ekologi
Perkembangan. Prosiding Seminar Nasional Psikologi Islami, 159–166.
Wahyudi, A. (2015). Pernyataan diatas diungkapkan oleh Leonard Greenhalgh
sebagaimana dikutip oleh A. Dale Timpe dalam bukunya. Jurnal Publiciana,
1–15.
Wahyudi, A. M. (2018). PERTUKARAN SOSIAL PENERIMA BEASISWA
PROGRAM PENDIDIKAN. Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Dan
Hukum, Universitas Negeri Surabaya, 6(1), 1–10.
West, C., Zimmerman, D. H., & Jun, N. (2007). No Title. Gender and Society,
1(2), 125–151.
Zuvin Natul Ummah , Sitti Nursetiawati, V. U. G. P. (2016). PENGARUH
PERAN TEMAN SEBAYA TERHADAP TINGKAT KENAKALAN
REMAJA DI LAPAS ANAK WANITA KELAS II B TANGERANG.
JKKP: Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan, 28–32.

Anda mungkin juga menyukai