Disusun Oleh :
Bhatari Astuti (1504617012)
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini diantaranya sebagai berikut :
1. Untuk menambah pengetahuan tentang keluarga dalam teori yang ada seperti,
teori struktur fungsional, teori konflik sosial, teori ekologi, teori pertukaran sosial,
teori feminisme, teori gender dan teori perkembangan didalam keluarga.
2. Untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang teori struktur fungsional,
teori konflik sosial, teori ekologi, teori pertukaran sosial, teori feminisme, teori
gender dan teori perkembangan didalam keluarga.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu :
1.Dari penulisan ini dapat menambah wawasan tentang teori keluarga yang ada
seperti teori struktur fungsional, teori konflik sosial, teori ekologi, teori pertukaran
sosial, teori feminisme, teori gender dan teori perkembangan didalam keluarga.
2. Hasil penulisan dapat digunakan untuk memberikan pengetahuan tentang teori
struktur fungsional, teori konflik sosial, teori ekologi, teori pertukaran sosial, teori
feminisme, teori gender dan teori perkembangan didalam keluarga.
BAB II
ISI
2.1 Teori struktural Fungsional
Teori struktural fungsional adalah sebuah norma, peran dan fungsi yang
terstruktur didalam keluarga. Menurut teori struktural fungsional seperti yang
dikemukakan Parsons bahwa suatu keluarga akan berada dalam kedaaan harmonis
dan stabil bila peran yang ada didalam keluarga dapat tersruktur dengan baik dan
sesuai peran yang sudah ditentukan (Purnomo, 2014). Untuk itu, teori struktural
fungsional lebih menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam sebuah
keluarga dan masyarakat.
Menurut (Kitchen, 2016) teori struktural fungsional menjelaskan bahwa
segala hal yang berkaitan dalam peran dan fungsi di dalam keluarga sangat
penting untuk dapat ditanamkan dan dipelihara serta dilakukan sesuai dengan
tugas masing-masing anggota keluarga agar tercipta keselarasan dan
keharmonisan dalam rumah tangga. Dalam teori struktutal fungsional terdapat
konsep yang dicanangkan oleh Talcott Parsons "Parsons (1951) sees families as
part of larger social systems that have four require-ments for functioning well
and progressing: adaptation, goal attainment, integration, and pattern
maintenance. According to Seidman’s (1998) discussion of Parsons’ work,
adapta-refers to the requirement for societies to provide for their material
needs." dari konsep AGIL penjelasannya seperti:
Adaptation (Adaptasi), yaitu bagaimana masing2 anggota keluarga dapat
beradaptasi untuk berkomunikasi dengan baik agar terjadi keselarasan dalam
rumah tangga.
Goal Attainment (Pencapaian Tujuan), yaitu bagaimana keluarga saling
berdemokrasi untuk menyatukan visi misi yang dibangun keluarga. Sehingga
masing-masing anggota keluarga dapat mencapai tujuan keluarga secara bersama-
sama.
Integration (integrasi), yaitu pengenalan dan penanaman nilai-nilai, norma
dan kebiasaan dalam keluarga.
Latency (lantensi), yaitu pemelihataan nilai-nilai, norma, dan kebiasaan
dalam keluarga agar tetap tertanam dengan baik dan menjadi warisan keluarga.
Jadi teori keluarga ialah terstrukturnya sebuah peran, hak, kewajiban dan
tugas dalam setaip anggota keluarga. Seperti norma-norma yang berlaku didalam
keluarga, peran individu masing-masing dalam keluarga. Berdasarkan pendekatan
teori struktural dalam (Puspitasari, Puspitawati, & Herawati, 2017) fungsional,
sebuah struktur keluarga yang kemampuannya untuk berfungsi secara efektif,
dengan tersusunnya peran antara ayah (seorang laki laki sebagai pencari nafkah)
dan ibu (seorang perempuan sebagai ibu rumah tangga seperti mengurus anak, dan
lainnya). Levi dalam Megawangi (1999) mengatakan bahwa tanpa adanya
pembagian tugas yang jelas pada masing masing aktor dengan status sosialnya
akan menyebabkan terganggunya fungsi keluarga. Dengan demikian, pentingnya
adanya pembagian peran dalam keluarga antara suami dan istri dalam segala hal
apapun didalam keluarga.
Dalam studi kasus yang saya bahas ialah ibu rumah tangga yang bekerja di
dosmetik selain dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, hal ini juga dapat
menjalankan peran ibu dalam rumah tangganya. Menurut (Musrifah 2009 dalam
Marlina Telaumbanua & Nugraheni, 2018) dalam penelitiannya yang berjudul
“Peranan Kepala Keluarga Wanita Di Pedesaan Dalam Upaya Memenuhi
Kebutuhan Hidup Keluarga (Kasus 5 Janda Cerai Desa Sidorejo, Grobogan)”
menyimpulkan bahwa secara umum di Desa Sidorejo secara keseluruhan peran
Ibu yang bekerja dapat menyeimbangkan perannya di dalam keluarga yaitu
sebagai ibu rumah tangga yang melaksanakan tugas domestik sekaligus sebagai
kepala keluarga yang mencari nafkah, menjaga keamanan keluarga, dan juga
mendidik anak. Seluruh responden dalam penelitian tersebut mengungkapkan
bahwa dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan sudah tercukupi
dengan baik dari hasil pekerjaan mereka menjadi petani, pedagang, dan buruh
tani. Selain itu, ibu rumah tangga yang bekerja disektor dosmetik juga dapat
meningkatkan kesejahteraan keluarga tanpa menghilangkan perannya dalam
keluarganya. Dari studi kasus tersebut, maka peran suami telah digantikan dengan
ibu sebagai pencari nafkah utama karena pasangan tersebut telah bercerai.
Sehingga secara tidak langsung peran ibu mengalami beban ganda antara pencari
nafkah utama dengan melakukan pekerjaan yang ada dirumah dan mengurus anak
di rumah. Dalam studi kasus tersebut, yang perlu diperhatikan ialah kekayaan
waktu yang dibangun antara ibu dengan anak. Karena waktu merupakan
komunikasi positif yang harus dibangun antara ibu dan anak agar dapat
menjalankan fungsi dan peran masing-masing anggota dalam keluarga sesuai
dengan tanggung jawabnya untuk dapat menjalankan nilai-nilai dan norma yang
dibangun dalam keluarga. Sehingga struktur fungsional yang ada didalam
keluarga tetap berjalan tanpa menghilangkan fungsi dan peran yang ada.
2.2 Teori Sosial Konflik
Teori konflik sosial muncul pada Abad ke-18 dan 19 sebagai respon dari
lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga
kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan
pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Mc
Quarrie 1995 dalam Puspitawati, 2013b). Teori konflik sosial mulai populer pada
Tahun 1960an sejalan dengan gelombang kebebasan individu di Barat, tetapi
sebetulnya telah berkembang sejak Abad 17. David Lockwood memberikan kritik
terhadap teori Parsons. Menurutnya, teori Parsons terlalu menekankan
keseimbangan dan ketertiban. Hal ini dianggap suatu pemaksaan bagi individu
untuk selalu melakukan konsensus agar kepentingan kelompok selalu terpenuhi.
Selanjutnya, individu harus selalu tunduk pada norma dan nilai yang melandasi
struktur dan fungsi sebuah sistem. Padahal menurut Lockwood, suasana konflik
akan selalu mewarnai masyarakat, terutama dalam hal distribusi sumberdaya yang
terbatas. Artinya, sifat dasar individu dianggapnya cenderung selfish
(mementingkan diri sendiri). Adapun perspektif konflik dalam melihat masyarakat
dapat dilacak pada tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx, Max Weber dan George
Simmel.
Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada asal-usul terjadinya
suatu aturan atau tertib sosial. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal
usulnya terjadinya pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang
berperilaku menyimpang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori
konflik adalah suatu fenomena sosial yang terjadi dimasyarkat yang artinya
masyarakat menyadari bahwa konflik itu terjadi didalam kehidupan sehari hari.
Seperti adanya perbedaan pendapat antara anggota keluarga dapat menyebabkan
konflik. Dan konflik juga dapat didefinisikan sebagai sebuah proses yang dimulai
ketika suatu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara
negative ataupun secara positif. Konfllik dipandang sebagai suatu proses sosial,
proses perubahan dari tatanan sosial yang lama ke tatanan sosial yang baru yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Perspektif konflik
dianggap sebagai “the new sociology” sebagai kritik terhadap teori struktural
fungsional yang berkaitan dengan sistem sosial yang terstruktur dan adanya
perbedaan fungsi dan diferensiasi peran (division of labor).
Teori konflik adalah teori yang muncul akibat ketidaksetujuan akan
adanya teori struktural fungsional. Di dalam teori konflik mengatakan bahwa
sesuatu permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat merupakan hal lumrah
yang terjadi. Karena pada hakikatnya manusia memang tidak lekang dari sebuah
pertikaian. Hal ini dilatarbelakangi karena "Humans are self-interested. Conflict
theorists believe that humans are self-oriented and have an unlimite capacity to
hope" yaitu manusia selalu mementingkan dirinya sendiri. Sehingga teori konflik
ini mengatakan bahwa manusia akan berorientasi pada diri sendiri dan memiliki
kapasitas yang terbatas dalam berharap akan sesuatu dalam hidup. Dengan adanya
konflik di dalam suatu masyarakat maka memunculkan adanya kekuatan,
negosiasi, kompromi, serta perubahan-perubahan sosial di dalam masyarakat.
Konflik di dalam keluarga dapat terjadi apabila peran dan fungsi dalam keluarga
tidak dapat berjalan dengan baik. Konflik dalam.keluarga diantaranya yaitu
konflik antar pasangan suami-istri, konflik antar orangtua-anak, konflik antar
kakak-adik dan konflik antar keluarga inti-keluarga luas (Hamon, 2016).
Adapun tahapan-tahapan perkembangan yang terjadinya dalam konflik
sebagai berikut (A. Wahyudi, 2015) :
1. Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan
tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum
mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti
timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts)
Munculnya akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang
ditimbulkannya, individu, kelompok atau organisasi cenderung berbagai
mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu
penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat
Selain itu teori gender menurut Squire, 1989 adalah teori yang
membedakan peran antara perempuan dan laki-laki yang mengakibatkan
petbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat, dalam
jurnal (Suhapti, 1995). Perbedaan ini tampaknya berawal dari adanya perbedaan
faktor biologis antara perempuan dan laki-Iaki. Perempuan memang berbeda
secara jasmaniah dari laki-Iaki, perempuan mengalami 3M (menstruasi,
melahirkan, menyusui) yang tidak dialami oleh laki laki sehingga masyarakat
berpendapat bahwa perempuan berhubungan dengan kodrat sebagai ibu. Menurut
Echols, 1993 dalam kamus bahasa Inggris, sex dan gender, sama-sama diartikan
sebagai “jenis kelamin” dalam (N. Aisyah, 2013). Akan tetapi antara keduanya
mempunyai pengertian yang berbeda. Seks adalah jenis kelamin biologis yang
merupakan pensifatan dua jenis kelamin manusia yang melekat pada jenis kelamin
tertentu. Seperangkat alat reproduksi yang secara biologis melekat pada masing-
masing jenis kelamin tertentu, untuk selamanya tidak dapat dipertukarkan karena
bersifat given, merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat. Sedangkan gender adalah
jenis kelamin sosial , yaitu suatu sifat yang melekat/dilekatkan pada kaum laki-
laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Ciri dari
sifat itu sendiri dapat dipertukarkan, dapat berubah dari waktu ke waktu, serta
berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain.
Dalam jurnal (West, Zimmerman, & Jun, 2007) gender dapat dikatakan
bahwa jenis kelamin dan gender merupakan dua hal yang berbeda namun saling
berhubungan. Jenis kelamin dapat diartikan bahwa sesuatu yang berhubungan
dengan perspektif antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari perbedaan
bentuk fisiologi tubuhnya. Dalam jurnal ini juga (West et al., 2007) mengatakan
The categorization of members of society into indigenous cate- gories such as
"girl" or "boy," or "woman" or "man," operates in a distinctively social way.
However, the use of any such source as a manual of procedure requires the
assumption that doing gender merely involves making use of discrete, well-
defined bundles of behavior that can simply be plugged into interactional
situations to produce recognizable enact- ments of masculinity and femininity.
The man "does" being masculine by, for example, taking the woman's arm to
guide her across a street, and she "does" being feminine by consenting to be
guided and not initiating such behavior with a man. Yang berarti gender adalah
peran antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan sosialnya, misalnya
seperti laki-laki seringkali digambarkan dengan sosok yang gagah, berani dan
maskulin. Sedangkan perempuan seringkali digambarkan dengan sosok yang
lembut, halus dan feminin. Teori gender seringkali dipandang dengan perspektif
masyarakat ke arah jenis kelamin, padahal gender merupakan gambaran sosial
yang dibangun oleh masyarakat akan lelaki ialah lelaki dan perempuan ialah
perempuan. Namun dalam hal ini, gender bukanlah ekspresi konvensional. Karena
di dalam teori gender mengatakan bahwa peran antara laki-laki dan perempuan
dalam kehidupan sosial dapat bertukar. Misalnya apabila dikaitkan di dalam
keluarga peran perempuan tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, namun dapat
menjadi pencari nafkah kedua ataupun pertama sesuai dengan kesepakatan yang
dibangun antara pasangan tersebut. Begitupun dengan peran laki-laki yang dapat
bertukar dengan perempuan, misalnya laki-laki mengambil peran rumah tangga
dalam keluarga menggantikan istri seperti membantu mengurus rumah.