Anda di halaman 1dari 28

Mata Kuliah : Psikologi Konseling

Dosen Pengampu : Dr. Sitti Murdiana, S. Psi., M. Psi., Psikolog

Novi Yanti Pratiwi, S. Psi., M. Psi., Psikolog

MAKALAH

MENCIPTAKAN KONSELING YANG KONDUSIF

Disusun Oleh :

Kelompok 3

Muh. Irfan (1971041083)


Adelia Tahir (1971041034)
Aldiyanto (1971042006)
Nabilah Hafizhah Ahmad (1971042011)
Nurul Adha Adrianty (1971042024)
Nurbaiyana (1971042042)
Ade Risma Alfira Alfian (1971042052)
Muhammad Awaluddin Yusuf (1971042086)
Muh. Alif Ulil Absar Syukur (1971042113)
Kelas A

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, atas rahmat dan karunia-
Nya makalah Mata Kuliah Psikologi Konseling yang berjudul “Menciptakan
Konseling yang Kondusif” dapat diselesaikan secara tepat waktu. Tak lupa
shalawat serta salam kami haturkan pada Nabi Muhammad SAW.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Sitti
Murdiana, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan Ibu Novi Yanti Pratiwi, S.Psi., M.Psi.,
Psikolog. selaku dosen mata kuliah yang sudah memberikan kesempatan kepada
kami untuk menyelesaikan makalah ini sebagaimana mestinya.

Dengan selesainya makalah ini, kami menyadari bahwa ini masih jauh dari kata
sempurna. Referensi yang kami gunakan masih tergolong sedikit sehingga butuh
peninjauan, penelahaan, dan diskusi yang lebih jauh. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk masukan dan tanggapan dari berbagai pihak.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, 04 September 2021

Tim Penyusun,

Kelompok 3

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3

BAB I: PENDAHULUAN ................................................................................... 4

A. Latar Belakang .......................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5

C. Tujuan ....................................................................................................... 5

D. Manfaat ..................................................................................................... 6

BAB II: PEMBAHASAN .................................................................................... 7

A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konseling ........................................... 7

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konseling pada Anak Usia Dini ....... 10

C. Membangun Rapport antara Konselor dengan Klien ................................ 13

D. Cara Membuat Rapport ........................................................................... 16

E. Peranan Negosiasi dengan Klien dalam Sebuah Konseling ...................... 18

F. Permasalahan yang Dapat Terjadi dalam Sebuah Konseling .................... 19

G. Konseling yang kondusif ......................................................................... 24

BAB III: PENUTUP .......................................................................................... 27

A. Kesimpulan ............................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 28

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dikutip dari Samuel T. Gladding (2018), dalam bukunya yang berjudul
Counseling: A Comprehensive Profession 8th Edition, Konseling merupakan
profesi yang dinamis, terus berkembang, profesi yang menarik sebab berhubungan
dengan potensi manusia dan masalah secara intensif, pribadi, dan penuh perhatian.
Konseling adalah profesi yang didedikasikan untuk pertumbuhan, pencegahan,
pengembangan, eksplorasi, wawasan, pemberdayaan, perubahan, kesehatan, dan
remediasi di dunia yang semakin kompleks dan kacau. Di masa lalu, konseling
menekankan bimbingan dengan membantu orang membuat pilihan yang
bijaksana. Sekarang bimbingan hanyalah salah satu bagian dari multidimensi
profesi ini.

Diambil dari American Counseling Association (2016), dalam bukunya yang


diedit oleh Capuzzi & Stauffer berjudul Counseling and Psychotherapy: Theories
and Intervensions 6th edition, Helping relationship adalah landasan di mana
semua bantuan yang efektif bersandar (Bertolino & O'Hanlon, 2002; Seligman,
2001; Skovholt, 2005; Sommers-Flanagan, 2007, 2015). Kottler dan Brown
(1992), dalam Pengantar Konseling Terapeutik mereka, membuat komentar
mengenai pentingnya hubungan, bahwa terlepas dari pengaturan di mana Anda
berlatih konseling, baik di sekolah, agensi, rumah sakit, atau praktik pribadi,
hubungan yang Anda kembangkan dengan klien Anda sangat penting untuk
kemajuan apa pun yang mungkin Anda buat bersama. Tanpa derajat keintiman
yang tinggi dan kepercayaan antara dua orang, sangat sedikit yang akan bisa
dicapai.

Gladding (2018) menyebutkan bahwa proses konseling berkembang dalam


tahap-tahap yang dapat ditentukan dengan transisi yang dapat dikenali. Tahap
pertama melibatkan membangun hubungan dan berfokus pada keterlibatan klien

4
untuk dijelajahi masalah yang secara langsung memengaruhi mereka. Dua
perjuangan terjadi saat ini (Napier & Whitaker, 1978), salah satunya adalah
“battle for structure”, yang melibatkan masalah kontrol administratif (misalnya:
penjadwalan, biaya, dan partisipasi dalam sesi). Yang lainnya adalah “battle for
initiative”, yang menyangkut motivasi untuk perubahan dan tanggung jawab
klien. Faktor lain yang memeengaruhi kemajuan dan arah konseling adalah faktor
setting fisik, latar belakang klien, keterampilan konselor, dan kualitas hubungan
yang dibangun. Maka pada kesempatan ini, kelompok kami akan mencoba
memberi gambaran terkait materi yang diangkat, “Menciptakan konseling yang
kondusif (faktor-faktor yang memengaruhi proses konseling, membangun rapport,
negosiasi dengan klien, permasalahan dalam konseling, dan jenis-jenis konseling
yang kondusif).

B. Rumusan Masalah
1. Faktor apa saja yang dapat memengaruhi proses dalam sebuah konseling?
2. Bagaimana membangun rapport antara konselor dengan klien?
3. Bagaimana peranan negosiasi dengan klien dalam sebuah konseling?
4. Apa saja permasalahan yang dapat terjadi dalam sebuah konseling?
5. Bagaimana sebuah konseling dapat dikatakan kondusif?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui faktor apa saja yang dapat memengaruhi proses dalam
sebuah konseling
2. Untuk mengetahui bagaimana membangun rapport antara konselor dengan
klien
3. Untuk mengetahui bagaimana peranan negosiasi dengan klien dalam sebuah
konseling
4. Untuk mengetahui apa saja permasalahan yang dapat terjadi dalam sebuah
konseling
5. Untuk mengetahui bagaimana sebuah konseling dapat dikatakan kondusif

5
D. Manfaat
1. Secara teoritis, makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan para pembaca terkait bagaimana menciptakan lingkungan yang
kondusif dalam sebuah proses konseling;
2. Secara praktis, diharapkan makalah ini dapat menjadi sarana yang
bermanfaat dalam mengimplementasikan pengetahuan tim penulis terkait
bagaimana menciptakan lingkungan yang kondusif dalam sebuah proses
konseling.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konseling

Menurut Gladding (2009) menyebutkan ada lima faktor yang mendukung


konseling, yaitu: (1) Struktur, (2) inisiatif, (3) Setting fisik, (4) kualitas klien, (5)
kualitas konselor.
1. Struktur
Struktur tersebut digambarkan sebagai pemahaman bersama antara konselor
dan klien tentang karakteristik, kondisi, prosedur dan parameter konselor
oleh Gladding (2009). Struktur tersebut memberikan panduan yang
membantu memperjelas hubungan konselor-klien, melindungi peran dan
kewajiban masing-masing konselor dan klien, dan memastikan konsultasi
yang berhasil. Struktur memungkinkan klien untuk melihat rencana logis
dalam rute konsultasi, menggunakan peta untuk memperjelas tanggung
jawab dan mengurangi ambiguitas dalam resolusi. Pentingnya struktur
menjadi jelas ketika klien menetapkan harapan dan tanggal konsultasi yang
tidak realistis. Dalam hal ini, konselor harus segera membangun struktur.
Misalnya, ia tidak hanya memberikan informasi tentang proses konseling,
tetapi juga informasi tentang keahliannya. Lembaga ini juga menyediakan
kerangka kerja penasehat untuk memungkinkan proses konseling berjalan.
Jika konselor tidak memberikan struktur, itu tidak adil kepada klien karena
klien tidak tahu siapa yang disebut konselor. Klien merasa cemas, bingung
dan ia juga tidak bertanggung jawab untuk suksesnya konseling.

2. Inisiatif
Inisiatif dapat dilihat sebagai kekuatan pendorong untuk perubahan.
Sebagian besar konselor percaya bahwa klien datang sebagai mendukung.
Ini adalah fakta bahwa banyak pelanggan secara sukarela dan proaktif

7
datang untuk berkonsultasi. Beberapa dari mereka bersedia bekerja keras
untuk memecahkan masalah mereka, sementara yang lain ragu-ragu untuk
menghadiri sesi konseling. Kebanyakan klien ketika mereka melihat seorang
konselor memiliki semacam jijik. Salah satu kemungkinan hal ini terjadi
adalah karena komunikasi yang tidak aman (Lesmana, 2006). Individu
khawatir tentang pengiriman data pribadi. Dalam proses konseling, selalu
ada kekhawatiran dan kekhawatiran ketika setiap klien datang, baik sukarela
maupun tidak. Menurut Gladding (2009), ada berbagai jenis klien. Dengan
kata lain, pelanggan enggan (reluctant) dan pelanggan tangguh (resilient).
Pelanggan yang enggan adalah rujukan pihak ketiga dan seringkali tidak
memiliki insentif untuk mencari bantuan. Pelanggan yang tangguh, di sisi
lain, adalah mereka yang tidak menginginkan atau menolak perubahan.
Orang-orang ini mungkin ingin berkonsultasi sendiri, tetapi mereka tidak
ingin menanggung rasa sakit dari perubahan yang terjadi. Meskipun
perilaku ini tidak efektif dan disfungsional, mereka mempertahankan
perilaku mereka saat ini. Seringkali mereka tidak ingin membuat keputusan,
menghadapi masalah di permukaan dan tidak mengambil tindakan untuk
menyelesaikannya. Dia mengatakan bahwa dia tidak tahu jenis pelanggan
ini. Jenis respons ini membuat proses konseling selanjutnya lebih sulit bagi
konselor.

3. Setting fisik
Konseling dapat dilakukan di mana saja, tetapi lingkungan fisik yang
nyaman dapat meningkatkan prosesnya. Salah satu hal yang dapat
membantu atau mengganggu proses konseling adalah dimana konseling itu
berlangsung. Konseling biasanya dilakukan dalam satu ruangan. Penampilan
kantor menarik dan ada banyak hal yang dapat membantu menjauhkannya
dari klien. Misalnya pencahayaan yang lembut, warna yang kalem,
perabotan yang bersih dan nyaman. Suhu ruangan tidak terlalu dingin dan
tidak terlalu panas. Suasana tenang dan tidak bising. Semua ini membantu
menciptakan proses konsultasi yang lancar. Jarak antara konselor dan klien

8
dan kondisi spasial (proxemics) dapat mempengaruhi hubungan antara
konselor dan klien. Jarak yang dapat dianggap nyaman antara lain
dipengaruhi oleh latar belakang budaya, jenis kelamin, dan sifat hubungan.
Jarak 30-39 inci dianggap sebagai "jarak nyaman" dari hubungan konselor-
klien. Jarak optimal dapat bervariasi tergantung pada ukuran ruangan dan
penataan furnitur di ruang rapat (Gladding, 2009). Lingkungan fisik ini
dapat membantu menciptakan lingkungan psikologis yang berguna untuk
konseling dan harus diperhatikan. Alami lingkungan yang nyaman dan
aman yang dapat dengan mudah dibuka oleh klien kepada konselor.

4. Kualitas klien
Kualitas klien juga berperan penting dalam mendukung hubungan yang
produktif dan proses konseling. Kualitas terlihat pada keinginan pelanggan
untuk berubah. Konseling tidak dapat dimulai jika orang tidak menyadari
perlunya perubahan. Konseling hanya dapat dimulai ketika orang siap untuk
berpartisipasi dalam proses perubahan (Lesmana, 2006). Bahasa nonverbal
klien juga sangat penting dan klien tidak secara langsung mengungkapkan
apa yang dia pikirkan atau rasakan (pesan) kepada konselor, tetapi
mengungkapkan segala sesuatunya dalam bahasa nonverbal klien. Seperti
ekspresi wajah, intonasi kata. Oleh karena itu, konselor harus memahami
dan mempertimbangkan gerak tubuh, kontak mata, ekspresi wajah dan
kualitas suara sebagai hal yang penting dalam komunikasi lisan selama
hubungan konseling (Gladding, 2009).

5. Kualitas konselor
Konselor yang kompeten akan sangat membantu keberhasilan konselor. Ada
sejumlah karakteristik umum yang harus dipenuhi konselor untuk
membantu mengubah klien yang mereka hadapi. Gladding (2009) mengutip
pendapat banyak ahli. Misalnya, Okun (1997) berpendapat bahwa kesadaran
diri, kejujuran, integritas dan keterampilan komunikasi adalah sifat yang
harus dimiliki konselor. Selain itu, ahli lain seperti Strong (1968)

9
menyebutkan kompetensi, daya tarik dan keandalan sebagai persyaratan. Ini
berarti konselor harus berpengalaman, menarik dan dapat dipercaya.

6. Keseriusan masalah yang dipaparkan.


Konseling dipengaruhi oleh keseriusan masalah yang disajikan oleh klien.
“Bukti menunjukkan bahwa ada hubungan antara sebagian besar masalah
yang diharapkan klien dan jalannya pengobatan. Klien yang melaporkan
gangguan tinggi membuat kemajuan signifikan terhadap klien mereka
melalui beberapa sesi. Kami akan melaporkan tingkat interferensi yang
lebih rendah. ”(Leibert, 2006, hal.109). Secara umum, klien yang tampak
sehat pada awal pengobatan menunjukkan kemajuan tercepat dalam waktu
singkat dengan hasil jangka panjang terbaik.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konseling pada Anak Usia Dini


Terdapat beberapa faktor yang tentunya akan mempengaruhi proses konseling
pada anak usia dini (Izzaty, Astuti, & Cholimah, 2017), antara lain:

1. Usia
Perbedaan usia yang ada pada anak tentunya akan mempengaruhi berbagai
proses yang membantu dalam pelaksanaan konseling, seperti penerimaan
informasi atau persepsi anak yang sederhana dan akan berpengaruh pada
bahasa serta metode pendekatan. Contohnya, konseling unuk anak
prasekolah menggunakan pendekatan dengan berbagai metode pembelajaran
prasekolah seperti bercerita, menggunakan media gambar dan kontruksi,
atau berbagai alat permainan yang biasa digunakan.
2. Latar belakang
Latar belakang yang dimiliki oleh anak seperti halnya orang tua, gaya
pengasuhan, aturan atau norma keluarga, kebiasaan dalam keluarga, status
sosial ekonomi, budaya dan lingkungan, tingkat pendidikan, dan bakat serta
minat akan ikut mempengaruhi proses konseling yang terjadi pada anak usia
dini.

10
3. Keterbukaan dan kerjasama orang tua dalam memberikan infomasi
Keterbukaan dan kerjasama orang tua dalam memberikan informasi
merupakan faktor yang paling penting untuk melihat perubahan perilaku
pada anak.

Geldard dan Geldard (2012) dalam (Izzaty, Astuti, dan Cholimah. 2017)
mengemukakan bahwa beberapa faktor yang juga dapat mempengaruhi proses
jalannya konseling pada anak usia dini adalah:
A. Hubungan anak-konselor
Seperti halnya proses konseling pada orang dewasa, hubungan konselor
dengan klien anak usia dini juga merupakan penentu utama. Umumnya telah
disepakati bahwa pada terapi anak, hubungan anak dengan konselor sangat
penting dalam mempengaruhi keefektifan terapi. Hubungan konseling yang
berdasarkan pada kolaborasi, kepercayaan, komitmen yang terjalin dalam
proses konseling, perasaan saling menghormati, sikap genuin, emosi yang
positif, dan pemahaman holistik terhadap konseli akan mempengaruhi
perubahan konseli dalam rangka mencapai tujuan dari konseling itu sendiri
(Seligman, 2006) dalam (Izzaty, Astuti, dan Cholimah. 2017).
Terkait dengan faktor ini, Geldard dan Geldard (2012) dalam (Izzaty, Astuti,
dan Cholimah. 2017) mengungkapkan juga faktor-faktor yang perlu diikuti
agar konseling berjalan dengan lancar. Faktor-faktor yang dimaksud antara
lain:
a. Adanya keterkaitan dunia anak dengan konselor, hal ini dapat dibangun
konselor dengan cara memahami mengenai apa dan bagaimana dunia
anak, sehingga persepsi dan penghargaan serta sikap yang tidak
menghakimi akan keberadaan dunia anak akan terbentuk.
b. Eksklusif, konselor hendaknya membangun dan menjaga hubungan yang
baik dengan anak untuk membentuk kepercayaan diri anak pada
konselor.
c. Aman, konselor berusaha menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
anak-anak sehingga anak-anak dapat mengekspresikan emosi dan

11
perasaan mereka dengan bebas, seperti perasaan aman dalam bersikap
dan bertingkah lakum dan juga menimbulkan rasa percaya pada konselor.
d. Autentik, hubungan yang dibangun tentunya merupakan hubungan yang
dilandaskan dengan sikap jujur, terbuka, spontan, dan juga alamiah.
Sikap pura-pura atau faking dapat menghambat jalannya proses
konseling. Sikap konselor yang demikian akan membawa konselor
berinteraksi dan bermain dengan anak-anak dengan rasa senang.
e. Batasan rahasia, ketika bekerjasama dengan klien yang merupakan anak-
anak, konselor harus berusaha menciptakan suasana yang aman untuk
anak-anak membagi apa yang mereka fikirkan maupun rasakan. Konselor
mencoba mencari suasana yang disukai oleh klien.
f. Nonintrusif (tidak mencampuri), faktor ini artinya konselor sebaiknya
tidak menginterupsi apa yang dikatakan maupun dilakukan anak/klien
apabila tidak ingin anak/klien merasa terganggu. Konselor harus
membuat suasana terasa nyaman. Anak akan bingung bila konselor
menanyakan banyak pertanyaan dalam satu waktu. Hal ini akan
menimbulkan perasaan curiga pada anak sehingga memunculkan
perasaan takut berbagi.
g. Memiliki tujuan yang jelas, setiap hal yang dilakukan oleh konselor,
sebaiknya memiliki tujuan yang jelas. Konselor harus menyadari bahwa
anak memerlukan waktu lama untuk bisa bekerja sama dengan konselor,
dan terkadang diiringi dengan perasaan cemas. Bermain merupakan
sarana yang baik untuk mendekatkan diri pada anak-anak/klien usia dini.
Permainan yang dipilih sebaiknya mendukung dalam proses pemecahan
masalah yang dihadapinya.

B. Lingkungan (tempat konseling)


Agar konseling dapat berjalan dengan kondusif sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai, maka tempat dilaksanakannya konseling hendaknya juga
diperhatikan. Karakteristik anak usia dini yang identic dengan permainan
tentunya membutuhkan tempat konseling yang sesuai. Geldard (2012)

12
dalam dini (Izzaty, Astuti, dan Cholimah. 2017) menemukan bahwa
konseling anak akan berjalan dengan lebih mudah dan efektif jika
dilaksanakan di ruang yang ditata khusus untuk penggunaan media dan
terapi bermain. Ruang konseling anak sebaiknya dibuat kedap suara agar
tidak ada suara lain yang dapat mengalihkan perhatian anak/klien.

C. Membangun Rapport antara Konselor dengan Klien


Membangun rapport dengan klien adalah tujuan pertama terapis (Leach, 2005).
Membangun hubungan dijadikan langkah pertama dalam melakukan konseling
karena klien dan konselor harus saling mengenal dan menjalin kedekatan
emosional sebelum sampai pada pemecahan masalahnya. Pada tahapan ini,
konselor harus menunjukkan bahwa ia dapat dipercaya dan kompeten dalam
menangani masalah klien. Willis (2009) mengatakan bahwa, dalam hubungan
konseling harus berbentuk (a working relationship), yaitu hubungan yang
berfungsi, bermakna, dan berguna. Konselor dan klien saling terbuka satu sama
lain tanpa ada kepura-puraan. Selain itu, konselor dapat melibatkan klien terus
menerus dalam proses konseling. bimo walgito (2005:187) menjelaskan bahwa,
membangun hubungan konseling juga dapat dimanfaatkan konselor untuk
menentukan sejauh mana klien mengetahui kebutuhannya dan harapan apa yang
ingn dia capai dalam konseling. konselor juga dapat meminta klien agar
berkomitmen menjalani konseling dengan sungguh sungguh.
Tujuan dari rapport adalah: (1) Memenuhi kebutuhan klien, (2) Mencari tahu
latar belakang klien terutama persoalan yang sedang dihadapi, (3) Membantu
klien menemukan persoalan yang sesungguhnya terjadi, (4) Bersama klien
mencari solusi terbaik atas persoalan klien.

Terapi adalah proses yang terkadang tidak nyaman. Anda harus mendiskusikan
emosi dan pengalaman yang menyakitkan. Untuk melakukan ini, untuk
mengungkapkan informasi ini, bahkan untuk mencapai titik-titik ini dalam diri
Anda, Anda harus merasa aman. Saat menjalani terapi, cara Anda merasa aman
adalah dengan berada di hadapan seseorang yang dapat Anda percayai dan yang

13
dapat menjaga keamanan itu saat Anda sangat membutuhkannya. Ini terbentuk
dalam hubungan melalui pembangunan dan pengembangan hubungan. Beberapa
penelitian bahkan menyarankan bahwa hubungan terapeutik lebih efektif dalam
membuat kemajuan dalam terapi daripada teknik terapi spesifik lainnya. Jika
hubungan tidak terbentuk, hampir tidak mungkin untuk kemajuan ke depan dibuat
dalam terapi. Ini dikatakan, menemukan seorang konselor yang Anda dapat
membangun hubungan yang sehat dengan sangat penting untuk sukses dan tidak
setiap kombinasi klien/terapis akan bekerja. Jika hubungan tidak dibangun, itu
tidak berarti bahwa seorang terapis buruk, itu hanya berarti bahwa mereka tidak
cocok. Mencoba terapis yang berbeda sampai hubungan itu ditemukan adalah
salah satu langkah pertama dari perjalanan terapi yang sukses.
Young (2017), metode tambahan yang membantu psikolog membangun
hubungan meliputi:
1. Gunakan isyarat nonverbal yang menyampaikan kehangatan dan pengertian.
2. Pecahkan kebekuan dengan obrolan ringan.
3. Integrasikan humor ke dalam percakapan yang sesuai.
4. Tunjukkan empati dan kasih sayang, terutama ketika klien tertekan.
5. Hindari menghakimi.
6. Perlakukan klien sebagai partner/kolaborator dalam proses pengobatan.
7. Menumbuhkan rasa efikasi diri klien.
8. Perhatikan isyarat nonverbal klien.
9. Gunakan mendengarkan reflektif dan parafrase.
10. Terlibat dalam mendengarkan secara aktif sehingga klien merasa benar-
benar didengar.
11. Jangan biarkan gangguan atau gangguan selama sesi.
12. Pertahankan sikap positif, antusias, dan suportif.
13. Gunakan afirmasi positif.
14. Memperjelas kerahasiaan klien dan hak privasi.
15. Pastikan bahwa lingkungan klinis damai, pribadi, dan nyaman.
16. Hindari teknis.
17. Jadilah fleksibel dan berpikiran terbuka.

14
18. Gunakan pertanyaan terbuka untuk memperoleh informasi lebih lanjut.
19. Gunakan nada suara yang menenangkan.
20. Jangan pernah bergerak terlalu cepat, mulailah dengan ice breaking, dan
lanjutkan dengan kecepatan klien.

Menurut Wibowo (1986) dalam menciptakan rapport ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan oleh konselor, yaitu:
1. Penataan lingkungan fisik (ruang dan perabot konseling)
2. Sambutan terhadap kehadiran konseli
3. Penggunaan kontak mata
4. Penggunaan gerakan-gerakan, isyarat tubuh dan ekspresi wajah
5. Pengamatan terhadap penampilan konseli
6. Penggunaan nada dan suara
7. Ajakan agar konseli berpartisipasi aktif dalam proses konseling
8. Pengenalan latar belakang konselor
9. Penjelasan tentang maksud dan tujuan konseling
10. Penjelasan tentang batasan-batasan dalam konseling
11. Penjelasan fokus dalam konseling
12. Penjelasan peranan dan tanggung jawab dalam konseling
13. Pengorganisasian waktu.

Hubungan baik (rapport) lebih dari sekedar mengucapkan salam atau sekedar
mengenakkan hati klien, namun rapport merupakan kesatuan suasana hubungan
yang ditandai oleh adanya rasa kerasa, saling percaya mempercayai, kerjasama,
kesungguhan dan ketulusan hati serta perhatian. Keberhasilan dalam membangun
suatu rapport dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1. Adanya sikap hangat antara konselor dan klien.
2. Adanya perhatian dan penerimaan klien secara positif.
3. Adanya sambutan terhadap klien.
4. Adanya kepercayaan antara konselor dengan klien.
5. Adanya kerjasama yang baik antara konselor dengan klien.

15
6. Adanya penghargaan terhadap klien.

Rapport merupakan dasar untuk membentuk kepercayaan dan pengertian antara


konselor dengan klien. Tanpa rapport yang baik, tidak mungkin dilakukan kerja
sama antara konselor dank klien. Beberapa teknik yang digunakan untuk membina
suatu rapport adalah:

1. Pemberian salam yang menyenangkan.


2. Topik pembicaraan yang sesuai.
3. Penyusunan ruangan yang menyenangkan.
4. Penggunaan bahasa yang sesuai dengan bahasa klien.
5. Adanya penerimaan, sikap baik dan perlakuan yang baik dari konselor
kepada klien sebagai seorang pribadi.
6. Adanya kehangatan emosi dan realisasi tujuan bersama.

D. Cara Membuat Rapport


1. LISTEN, keterampilan mendengarkan secara aktif adalah dasar untuk
membangun hubungan yang sehat. Bahasa tubuh, gerakan dan komentar
yang meyakinkan, parafrase, dan mengingat apa yang mereka katakan
adalah cara untuk menunjukkan bahwa Anda mendengarkan. Meminta
klarifikasi saat Anda membutuhkannya juga penting untuk mengurangi
perasaan bahwa Anda hanya mendengarkan sebagian. Terkadang detail
terkecil yang memberi kita petunjuk terbesar tentang apa yang sebenarnya
terjadi dan tanpa mendengarkan secara aktif, Anda dapat melewatkan ini
dan secara signifikan merusak hubungan.
2. RESPECT, ingatlah bahwa ini adalah orang yang duduk di seberang Anda
dan mereka layak diperlakukan sebagai satu. Menunjukkan rasa hormat dan
memperlakukan mereka dengan rasa hormat yang sama seperti Anda
terhadap orang lain membentuk ikatan saling percaya. Jangan menilai

16
mereka dari apa yang mereka katakan kepada Anda dan terimalah mereka
apa adanya.
3. EMPATHY, memahami dan menunjukkan bahwa Anda memahami apa yang
mereka rasakan akan membantu mereka merasa didengar dan diperhatikan,
membangun dasar yang kuat untuk hubungan baik. Jangan hanya bersimpati
dengan mereka, tetapi benar-benar berusaha untuk melihat sesuatu dari sisi
mereka dan memahami bagaimana dan mengapa mereka merasakan hal itu.
Tempatkan diri Anda pada posisi mereka.
4. VALIDATION, memberi tahu mereka bahwa Anda mengerti dan bahwa
apa yang mereka rasakan baik-baik saja adalah salah satu langkah terpenting
dalam membangun hubungan. Mereka perlu tahu bahwa mereka diizinkan
untuk merasakan apa yang mereka rasakan dan bahwa mereka aman
mengungkapkannya kepada Anda.
5. HONESTY, ini tampak jelas, tetapi jangan berbohong kepada mereka. Tidak
apa-apa untuk tidak membagikan informasi Anda, tetapi jangan beri tahu
mereka bahwa Anda telah mengalami sesuatu yang belum pernah Anda
alami atau bahwa Anda akan melakukan sesuatu yang tidak akan atau tidak
akan Anda lakukan yang akan Anda lakukan. Ketidakpercayaan adalah cara
tercepat untuk memperburuk bahkan hubungan terapeutik yang solid.
Menjadi tulus dengan reaksi dan emosi Anda dan jujur dengan pikiran Anda
membantu Anda menjadi transparan dan dapat dipercaya.
6. COMPETENCY, pastikan bahwa Anda kompeten dan tunjukkan kompetensi
dalam apa yang Anda lakukan. Ini harus masuk akal tetapi masih layak
disebutkan. Jika Anda bingung harus berbuat apa, mencari bantuan atau
melakukan penelitian, buatlah diri Anda kompeten. Jangan membuat klaim
untuk menjadi kompeten ketika Anda tidak. Jika Anda tidak kompeten
untuk menangani masalah tertentu, jujurlah, dan rujuk jika perlu.
7. MEET AT THEIR LEVEL, Anda tidak dapat memaksa seseorang untuk
memulai pada level yang belum siap mereka hadapi. Bangun hubungan
dengan bertemu mereka di mana mereka membutuhkan Anda. Jika mereka
belum dapat mengatasi apa yang Anda tahu bahwa mereka perlu, temui

17
mereka beberapa langkah sebelum itu dan fokuslah untuk membangun
hubungan.
8. PEACE PROGRESS/TAKE SMALL STEPS, fokus pada semua langkah
bukan hanya hasil akhirnya. Bergerak dengan kecepatan yang nyaman tetapi
cukup mendorong untuk menjadi terapi. Mendorong terlalu cepat merusak
kepercayaan dan membangun perasaan tidak aman sementara tidak cukup
mendorong dapat membuat seseorang merasa terhenti dan menyebabkan
mereka tidak melihat Anda sebagai orang yang kompeten untuk membantu
mereka. Menemukan kecepatan yang tepat untuk Anda berdua dan
menetapkan tujuan kecil akan membantu menunjukkan kesuksesan dan
membangun hubungan baik.
9. SELF DISCLOSURE, bila perlu, pengungkapan diri menunjukkan bahwa
Anda adalah manusia dan membuat Anda dapat berhubungan. Perlu ada
keseimbangan yang sehat antara berbagi informasi yang cukup untuk
membuat Anda tampak seperti orang yang nyata dan untuk menunjukkan
bahwa Anda dapat berhubungan dengan mereka dan berbagi secara
berlebihan dan mengubah dinamika antara terapis dan klien. Ini mengambil
fokus dari mereka dan dapat menyebabkan campuran emosi dan masalah
batas.

E. Peranan Negosiasi dengan Klien dalam Sebuah Konseling


Negosiasi adalah metode dimana orang menyelesaikan perbedaan. Ini adalah
proses di mana kompromi atau kesepakatan dicapai sambil menghindari argumen
dan perselisihan. Keterampilan negosiasi dapat sangat bermanfaat dalam
menyelesaikan setiap perbedaan yang timbul antara Anda dan orang lain. Proses
di mana dua atau lebih individu atau kelompok yang memiliki tujuan yang sama
atau saling bertentangan menyatakan dan mendiskusikan proposal untuk
persyaratan tertentu dari kemungkinan kesepakatan.

Negosiasi didefinisikan oleh Macquarie Dictionary (1998) sebagai 'untuk


berunding (dengan orang lain) dengan maksud untuk mencapai kesepakatan'.

18
Tidak ada aturan formal yang mengatur bagaimana negosiasi ini Menjadi
dilakukan, meskipun ada gaya atau pendekatan yang diterima secara budaya untuk
melakukannya. Beberapa jenis negosiasi yaitu:

1. Distributif
Sering disebut sebagai pai tetap atau jumlah tetap. Juga dikenal sebagai
negosiasi tawar-menawar yang kompetitif atau keras. Kehilangan situasi.
Contoh: Membeli mobil atau rumah. Kepentingan kedua belah pihak adalah
melayani diri sendiri.
2. Integratif
Sering digambarkan sebagai situasi menang-menang (win to win). Para
pihak membentuk hubungan jangka panjang untuk keuntungan bersama.
Negosiasi yang efektif membantu Anda menyelesaikan situasi di mana apa
yang Anda inginkan bertentangan dengan apa yang diinginkan orang lain.
Tujuan negosiasi win to win adalah untuk menemukan solusi yang dapat
diterima kedua belah pihak, dan membuat kedua belah pihak merasa bahwa
mereka telah menang, dalam beberapa hal, setelah peristiwa tersebut.

F. Permasalahan yang Dapat Terjadi dalam Sebuah Konseling


Downing mengemukakan bahwa tujuan bimbingan di sekolah sama dengan
pendidikan terhadap diri sendiri yaitu membantu siswa agar dapat memenuhi
kebutuhan sosial psikologis, merealisasikan keinginan serta mengembangkan
kemampuan dan potensinya. Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan
nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan
kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan
instruktur (UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1 Ayat 6). Namun masih banyak
ditemukan hambatan-hambatan yang dihadapi konselor dalam melakukan layanan
bimbingan dan konseling. Cavanagh (1982) mengatakan bahwa ada tujuh
masalah yang umum dalam suatu hunbungan konseling : kebosanan, hostilitas,
berbagai kesalahan konselor, manipulasi, penderitaan , hubungan yang membantu
versus hubungan yang tidak membantu, dan mengakhiri konseling. Gladding

19
(1992) menyebutkan suatu fenomena lain yang juga menjadi masalah konsleor
yaitu burnout.

1. Kebosanan, Menurut Cavanagh (1982), konselor pemula jarang mengalami


kebosanan karena sifat baru dari pekerjaan mereka. Setiap hari ia bertemu
dengan orang-orang yang mempunyai problem berbeda, dan mencoba
ketermapilan dan tanggung jawab yang baru sebagai konselor. Masalah-
masalah yang mungkin timbul karena kebosanan adalah:

a. Konselor mengambil jarak dari kliennya, makin lama makin menjauh.


Klien dapat merasakan hal ini, ia akan kehilangan rasa aman dan rasa
diterima yang sangat penting untuk keberhasilan konseling.

b. Konselor terkadang mengambil cara negatif dalam menangani


kebosanannya. Ia mungkin akan daydreaming, atau berfantasi sendiri.

c. Kemungkinan konselor kehilangan informasi penting sangatlah besar,


kalau ia dikuasai oleh kebosanannya, karena ia menjadi kurang perhatian,
kurang konsentrasi dan mungkin malah memikirkan masalahnya sendiri.

2. Hostilitas, Konselor sering merasa dirinya nice people karena sudah


membantu orang lain dan ia mengharap akan dihargai karena hal ini. Tetapi
orang dalam konseling punya hostilitas terpendam yang harus durai dahulu
sebelum bisa melangkah maju. Sumber Hostilitas Berasal dari frustrated
needs. Orang yang lapar psikologis, mereka mempunyai resistensi rendah
terhadap stres. Karena ia hipersensitif, maka pertanyaan-pertanyaan yang
biasa sudah dirasakan sangat mengancam mereka. Hostiltas bisa juga
ditujukan kepada konselor yang merupakan simbolisasi dari konflik internal
dan eksternal yang dipunyai klien. Mungkin konselor adalah representasi
dari orangtua yang tidak disukai, pasangan atau mantan pasangan yang
dibenci, atau tokoh otoritas.

20
3. Manipulasi, klien memanipulasi konselor dengan tujuan berikut:

a. Untuk memenuhi kebutuhan, Klien yang datang untuk konseling


biasanya mempunyai kebutuhan yang tidak terpenuhi. Konseling bukan
tempat untuk memenuhi kebutuhan ini, karena menyebabkan klien tidak
bisa berkembang, karena ingin tinggal terus dalam konseling. Klien yang
mempunyai kebutuhan untuk dicintai mungkin akan berusaha
memanipulasi konselor agar kebutuhannya ini terpenuhi, sedikitnya ada
perasaan istimewa untuk klien ini. Konselor yang kebutuhan cintanya
tidak terpenuhi akan sangat rentan terhadap hal ini.

b. Untuk menetralisasi ancaman, Sangat perlu bagi konselor untuk


mengetahui dalam hal-hal apa saja dia rentan, sehingga bisa mengurangi
potensinya untuk dimanipulasi.

Klien yang berusaha memanipulasi konselor, Biasanya mereka tidak sadar


tentang apa yang mereka lakukan, karena dilandasi kebutuhan-kebutuhan,
perasaan dan motif yang tidak disadari. Bila dikonfrontasi biasanya bereaksi
dengan hurt, confusion, anger, denial. Tidak ada gunanya mengambil sikap
defensif. Akibatnya klien akan mengambil sikap defensif kembali yang
tidak bermanfaat. Tidak ada gunanya bersikap sinis pada orang yang
memanipulasi konselor, karena semua klien seperti itu.

4. Penderitaan (Suffering/Psychological/Bleeding), Seperti hanya pada


manipulasi, konselor bisa menderita dan sebaliknya klien juga bisa
menderita. Kedua situasi ini dapat menimbulkan masalah dalam hubungan
konseling bila tidak dikenali dan diatasi dengan efektif. Keinginan untuk
mencegah penderitaan yang merupakan sebab utama orang pergi kepada
konselor. Ironisnya, efek samping dari konseling adalah adanya penderitaan
ini, karean penderitaan adalah bagian inheren dari perkembangan
kepribadian. Klien harus merasakan penderitaan ini untuk dapat melangkah
kepada keadaan yang lebih positif. Konselor harus mampu untuk duduk dan
membiarkan kliennya berdarah-darah sehingga semua “racun” dalam

21
tubuhnya keluar. Saat yang tepat dan bagaimana menghentikan perdarahan
ini adalah suatu keterampilan yang didapat berdasarkan pengalaman.

5. Hubungan yang Membantu VS Hubungan yang Tidak Membantu, terdapat


dua tipe hubungan yang tidak membantu dalam konseling, yaitu:

a. Distansi emosional (emotionally detached), konselor yang distan secara


emosional tidak dapat “masuk” kedalam diri klien. Ia tidak dapat
menyatukan dirinya dengan pikiran, perasaan dan persepsiklien sehingga
bisa benar-benar berempati. Konselornya anonimus, sehingga sulit untuk
menciptakan rapport dan rasa percaya. Keterlibatannya bersifat
intelektual. Konselor berfungsi sebagai director, tutor atau mentor.
Tetapi, kadang-kadang ada pula konselor yang memang mengambil jarak
secara emosional.

b. Kelekatan emosional (emotionally attached), lekat emosional berarti


bahwa konselor dan/atau klien bergantung pada yang lain untuk
pemuasan kebutuhan dasar mereka. Kebutuhan dasar yang terpenuhi
dalam hubungan semacam ini merupakan kebutuhan untuk merasa aman,
untuk menerimadan memberi cinta, untuk dikagumi, dan dibutuhkan.
Konseling memang potensial untuk terbentuknya hubungan semacam ini.
Terjadi atau tidak tergantung pada pemenuhan kebutuhan diluar
konseling.

Hubungan yang membantu adalah, Keterlibatan emosional (emotionally


involved): Satu-satunya hubungan yang sehat antara konselor dan klien
adalah hubungan dimana ada keterlibatan emosional, bukan distansi dan
bukan pula kelekatan. Ada hubungan yang dekat, ada transparasi. Mereka
cukup saling mengenal untuk dapat saling percaya dan saling berempati.

6. Terminasi Konseling, berapa pun sesi konseling yang terjadi, pada suatu
waktu akan berakhir dalam salah satu dari tiga cara ini, yaitu bila sasaran
konseling telah tercapai, klien secara prematur ingin menghentikan
konseling, konselor ingin menghentikan konseling meskipun klien ingin

22
melanjutkan. Melakukan terminasi, membawa masalah bagi konselor dan
klien.

7. Burnout, menurut Gladding, tidak ada seorang pun yang terus menerus
selamanya dapat berfungsi secara bermakna. Tidak ada orang yang mampu
untuk berfungsi secara kuat kalau tidak pernah melangkah keluar dari peran
profesionalnya. Untuk mempertahankanp pendekatan yang sehat, konselor
yang sukses memakai cara-cara preventif untuk mencegah burnout.

(Winkel) Adapun masalah-masalah yang dihadapi seorang konselor yang dapat


menghambat keefektifan kerjanya diantaranya yaitu:

1. Memihak/ menitikberatkan pada informasi sepihak, Biasanya problema


yang didengar konselor merupakan salah satu aspek persoalan yang dilihat
dari sudut pandang konseli itu sendiri. Sebagai contoh, dalam konseling
pernikahan, suami maupun istri bisa mempunyai pandangan berbeda
mengenai satu persoalan. Tentunya konselor tidak dapat menyelesaikan
persoalan dengan baik jika problema hanya didengar dari satu pihak, apalagi
kalau sampai berpihak kepada salah satu konseli.

2. Mengambil kesimpulan yang premature/ tergesa-gesa/ ceroboh. Seringkali


yang dikemukakan oleh konseli hanya merupakan gejala atau akibat dari inti
persoalannya dan belum tentu merupakan persoalan yang sebenarnya. Oleh
karena itu seorang konselor harus menjadi pendengar yang baik dan cermat
tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan atau langsung memberi jalan
keluar.

3. Terlalu banyak ikut campur. Terjerat dan ikut campur dalam banyak hal
mengenai permasalahan konseli sering dialami oleh konselor. Hal ini
membuat konselor tidak obyektif terhadap inti persoalannya dan banyak
waktu maupun tenaga terkuras yang seharusnya digunakan untuk hal-hal
lain. Konseli biasanya menuntut perhatian penuh tanpa peduli bahwa
konselor mempunyai tanggung jawab kepada keluarga dan konseli lainnya.
Untuk menghindarinya, konselor harus dapat menemukan cara yang tepat

23
untuk mengatasinya tanpa merusak hubungan baik yang mungkin sudah
terbina.Di dalam membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
konseli dengan rasional, konselor tidak boleh bersikap otoriter dan menuduh
larangan-larangan yang sifatnya mengatur, sebaiknya dihindari.

G. Konseling yang kondusif


Menurut Gladding (2018) Proses konseling dimulai dengan sesi awal, dimana
pada sesi ini baik konselor maupun klien akan bekerja sama untuk memutuskan
apakah mereka ingin atau dapat melajutkan proses konseling. Pada sesi awal ini
Menurut Okun & Kantrowitz (Gladding, 2018 )konselor harus segera menilai
apakah ia mampu menangani dan mengelola masalah klien dengan bersikap jujur,
terbuka dan konfrontatif secara tepat. Lebih Lanjut Gladding membagi tipe tipe
dari sesi awal dalam konseling sebagai berikut :

1. Client versus Counselor Initiated Interviews (Wawancara awal yang


diprakarsai oleh Klien vs. Konselor)
Benjamin (Gladding, 2018) membedakan wawancara awal menjadi dua
yaitu:
a. Wawancara yag diprakarsai oleh klien, ketika wawancara awal diminta
oleh klien, konselor sering tidak yakin dengan tujuan klien.
Ketidakpastian ini dapat menimbulkan kecemasan pada konselor,
terutama jika informasi latar belakang tidak dikumpulkan sebelum sesi.
Jika terjadi hal seperti ini, konselor dapat mencari informasi denga
menanyakan apa hal yang membuat klien datang menemui konselor.
Karena akan lebih aman jika memulai dengan pertanyaan yang bersifat
terbuka.
b. Wawancara yang diprakarsai oleh konselor, ketika wawancara awal
diminta oleh konselor maka konselor harus segera memperkenalkan diri
dan menyatakan tujuannya menemui klien. Jika hal ini tidak segera
dilaksanakan maka, klien akan terus menerka alasan sehingga timbul

24
ketegangan dan akibatnya hubungan baik yang harusnya terbina akan
hilang.

2. Information Oriented First Interview (Wawancara awal yang berorientasi


pada informasi)
Jika tujuan wawancara pertama adalah untuk mengumpulkan informasi,
maka struktur sesi akan menjadi fokus pada setiap jawaban klien. Pada sesi
seperti ini Menurut Cormier (Gladding, 2018) konselor akan merespon klien
terutama melalui penggunaan probe, aksen, pertanyaan tertutup, dan
permintaan klarifikasi .Tanggapan ini ditujukan untuk memunculkan fakta.
Probing merupakan pertanyaan yang biasanya diawali oleh siapa, apa,
dimana atau bagaimana. Aksen merupakan highlight dari beberapa ujung
kalimat respon klien sebelumnya Pertanyaan tertutup merupakan pertanyaan
yang biasanya memiliki respon yang sedikit dan seringkali diawali oleh
apakah. Sedangkan permintaan klarifikasi adalah respon konselor terhadap
klien yang bersifat meminta penjelasan lebih atau lebih detail agar tidak
salah paham (Gladding, 2018).

3. Relationship Oriented First Interview (Wawancara awal yang berorientasi


pada hubungan)
Wawancara ini menurut Corier (Gladding, 2018) berfokus pada perasaan
atau dinamika hubungan lebih berkonsentrasi pada sikap dan emosi klien.
Tanggapan konselor pada wawancara ini meliputi pernyataan ulang, refleksi
perasaan, ringkasan perasaan, permintaan klarifikasi, dan pengakuan atas
perilaku nonverbal.
Pernyataan ulang merupakan simple mirror response agar klien merasakan
bahwa sebenarnya konselor mendengarkannya dengan baik. Refleksi
perasaan hampir sama dengan pernyataan ulang namun lebih menekankan
pada ekspresi verbal dan nonverbal. Ringkasan perasaan adalah sebuah
Tindakan paraphrase dari apa yang telah klien ungkapkan, hampir sama
dengan pernyataan ulang namun disini konselor menggunakan Bahasa

25
sendiri sebagai bentuk penangapannya dari ungkapan klien. Dan yang
terakhir adalah pengakuan atas perilaku nonverbal, berbeda dari yang
sebelumnya bagian ini merujuk kepada pengetahuan konselor yang
diungkapkan kepada klien misalnya konselor tahu arti dari melipat tangan
diatas meja sembari berbicara dan memberi tahu kepada klien mengenai hal
itu. Hal ini juga hanya sebatas respon dari konselor apabila dibutuhkan
(Gladding, 2018).

26
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Gladding (2009) menyebutkan ada lima faktor yang mendukung
konseling, yaitu: (1) Struktur, (2) inisiatif, (3) Setting fisik, (4) kualitas klien, (5)
kualitas konselor. Membangun hubungan dijadikan langkah pertama dalam
melakukan konseling karena klien dan konselor harus saling mengenal dan
menjalin kedekatan emosional sebelum sampai pada pemecahan masalahnya.
Peranan Negosiasi dengan Klien dalam Sebuah Konseling adalah metode dimana
orang menyelesaikan perbedaan. Ini adalah proses di mana kompromi atau
kesepakatan dicapai sambil menghindari argumen dan perselisihan. Cavanagh
(1982) mengatakan bahwa ada tujuh masalah yang umum dalam suatu hunbungan
konseling : kebosanan, hostilitas, berbagai kesalahan konselor, manipulasi,
penderitaan , hubungan yang membantu versus hubungan yang tidak membantu,
dan mengakhiri konseling. Gladding (1992) menyebutkan suatu fenomena lain
yang juga menjadi masalah konsleor yaitu burnout. Menurut Gladding (2018)
Proses konseling dimulai dengan sesi awal, dimana pada sesi ini baik konselor
maupun klien akan bekerja sama untuk memutuskan apakah mereka ingin atau
dapat melajutkan proses konseling.

27
DAFTAR PUSTAKA

Capuzzi, David & Mark D., Stauffer. (2016). Counseling and Psychotherapy:
Theories and Intervensions, 6th Edition. USA: American Counseling
Association.

Erawati, M. (2016). Pembentukan rapport di kelas: Analisis psikologi. Jurnal


Penelitian Psikologi, 1(1), 75-94.

Gladding, S., T. (2018). Counseling: A Comprehensive Profession, 8th Edition.


USA: Pearson Education, Inc.

Galdding, S., T. (2009). Counseling: a comprehensive profession sixth edition.


Upper Saddley River, New Jersey: Pearson Education.

Izzaty, R. E., Astuti, B., & Cholimah, N. (2017). Model konseling anak usia
dini. Bandung: Rosda Karya.

Lesmana, J., M. (2005). Dasar-dasar konseling. Jakarta: UI Press

Mulawarman., & Munawaroh, E. (2016). Psikologi konseling: Sebuah pengantar


bagi konselor pendidikan. Universitas Negeri Semarang.

Mulyadi, S., Fakhrurrozi, M., Rohayati, D., & Putri, D. E. Psikologi Konseling.
https://ipekajatim.files.wordpress.com/2017/03/rapport-in-clinical-setting.pdf

Willis, S., S. (2017). Konseling individual: Teori dan praktik.Yogyakarta:


Penerbit Alfabeta.

W.S. Winkel. (1991). Bimbingan Dan Konseling Di Institusi Pendidikan. Jakarta:


Gramedia Widiasarana Indonesia, 302-303.

Yusuf, S., & Nurihsan, J. (2011). Landasan bimbingan dan konseling. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

https://www.academia.edu/7204574/counselling_process

https://www.psychreg.org/effective-negotiations/

28

Anda mungkin juga menyukai