MAKALAH
Disusun Oleh :
Kelompok 3
FAKULTAS PSIKOLOGI
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, atas rahmat dan karunia-
Nya makalah Mata Kuliah Psikologi Konseling yang berjudul “Menciptakan
Konseling yang Kondusif” dapat diselesaikan secara tepat waktu. Tak lupa
shalawat serta salam kami haturkan pada Nabi Muhammad SAW.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Sitti
Murdiana, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan Ibu Novi Yanti Pratiwi, S.Psi., M.Psi.,
Psikolog. selaku dosen mata kuliah yang sudah memberikan kesempatan kepada
kami untuk menyelesaikan makalah ini sebagaimana mestinya.
Dengan selesainya makalah ini, kami menyadari bahwa ini masih jauh dari kata
sempurna. Referensi yang kami gunakan masih tergolong sedikit sehingga butuh
peninjauan, penelahaan, dan diskusi yang lebih jauh. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk masukan dan tanggapan dari berbagai pihak.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Tim Penyusun,
Kelompok 3
2
DAFTAR ISI
C. Tujuan ....................................................................................................... 5
D. Manfaat ..................................................................................................... 6
A. Kesimpulan ............................................................................................. 27
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dikutip dari Samuel T. Gladding (2018), dalam bukunya yang berjudul
Counseling: A Comprehensive Profession 8th Edition, Konseling merupakan
profesi yang dinamis, terus berkembang, profesi yang menarik sebab berhubungan
dengan potensi manusia dan masalah secara intensif, pribadi, dan penuh perhatian.
Konseling adalah profesi yang didedikasikan untuk pertumbuhan, pencegahan,
pengembangan, eksplorasi, wawasan, pemberdayaan, perubahan, kesehatan, dan
remediasi di dunia yang semakin kompleks dan kacau. Di masa lalu, konseling
menekankan bimbingan dengan membantu orang membuat pilihan yang
bijaksana. Sekarang bimbingan hanyalah salah satu bagian dari multidimensi
profesi ini.
4
untuk dijelajahi masalah yang secara langsung memengaruhi mereka. Dua
perjuangan terjadi saat ini (Napier & Whitaker, 1978), salah satunya adalah
“battle for structure”, yang melibatkan masalah kontrol administratif (misalnya:
penjadwalan, biaya, dan partisipasi dalam sesi). Yang lainnya adalah “battle for
initiative”, yang menyangkut motivasi untuk perubahan dan tanggung jawab
klien. Faktor lain yang memeengaruhi kemajuan dan arah konseling adalah faktor
setting fisik, latar belakang klien, keterampilan konselor, dan kualitas hubungan
yang dibangun. Maka pada kesempatan ini, kelompok kami akan mencoba
memberi gambaran terkait materi yang diangkat, “Menciptakan konseling yang
kondusif (faktor-faktor yang memengaruhi proses konseling, membangun rapport,
negosiasi dengan klien, permasalahan dalam konseling, dan jenis-jenis konseling
yang kondusif).
B. Rumusan Masalah
1. Faktor apa saja yang dapat memengaruhi proses dalam sebuah konseling?
2. Bagaimana membangun rapport antara konselor dengan klien?
3. Bagaimana peranan negosiasi dengan klien dalam sebuah konseling?
4. Apa saja permasalahan yang dapat terjadi dalam sebuah konseling?
5. Bagaimana sebuah konseling dapat dikatakan kondusif?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui faktor apa saja yang dapat memengaruhi proses dalam
sebuah konseling
2. Untuk mengetahui bagaimana membangun rapport antara konselor dengan
klien
3. Untuk mengetahui bagaimana peranan negosiasi dengan klien dalam sebuah
konseling
4. Untuk mengetahui apa saja permasalahan yang dapat terjadi dalam sebuah
konseling
5. Untuk mengetahui bagaimana sebuah konseling dapat dikatakan kondusif
5
D. Manfaat
1. Secara teoritis, makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan para pembaca terkait bagaimana menciptakan lingkungan yang
kondusif dalam sebuah proses konseling;
2. Secara praktis, diharapkan makalah ini dapat menjadi sarana yang
bermanfaat dalam mengimplementasikan pengetahuan tim penulis terkait
bagaimana menciptakan lingkungan yang kondusif dalam sebuah proses
konseling.
6
BAB II
PEMBAHASAN
2. Inisiatif
Inisiatif dapat dilihat sebagai kekuatan pendorong untuk perubahan.
Sebagian besar konselor percaya bahwa klien datang sebagai mendukung.
Ini adalah fakta bahwa banyak pelanggan secara sukarela dan proaktif
7
datang untuk berkonsultasi. Beberapa dari mereka bersedia bekerja keras
untuk memecahkan masalah mereka, sementara yang lain ragu-ragu untuk
menghadiri sesi konseling. Kebanyakan klien ketika mereka melihat seorang
konselor memiliki semacam jijik. Salah satu kemungkinan hal ini terjadi
adalah karena komunikasi yang tidak aman (Lesmana, 2006). Individu
khawatir tentang pengiriman data pribadi. Dalam proses konseling, selalu
ada kekhawatiran dan kekhawatiran ketika setiap klien datang, baik sukarela
maupun tidak. Menurut Gladding (2009), ada berbagai jenis klien. Dengan
kata lain, pelanggan enggan (reluctant) dan pelanggan tangguh (resilient).
Pelanggan yang enggan adalah rujukan pihak ketiga dan seringkali tidak
memiliki insentif untuk mencari bantuan. Pelanggan yang tangguh, di sisi
lain, adalah mereka yang tidak menginginkan atau menolak perubahan.
Orang-orang ini mungkin ingin berkonsultasi sendiri, tetapi mereka tidak
ingin menanggung rasa sakit dari perubahan yang terjadi. Meskipun
perilaku ini tidak efektif dan disfungsional, mereka mempertahankan
perilaku mereka saat ini. Seringkali mereka tidak ingin membuat keputusan,
menghadapi masalah di permukaan dan tidak mengambil tindakan untuk
menyelesaikannya. Dia mengatakan bahwa dia tidak tahu jenis pelanggan
ini. Jenis respons ini membuat proses konseling selanjutnya lebih sulit bagi
konselor.
3. Setting fisik
Konseling dapat dilakukan di mana saja, tetapi lingkungan fisik yang
nyaman dapat meningkatkan prosesnya. Salah satu hal yang dapat
membantu atau mengganggu proses konseling adalah dimana konseling itu
berlangsung. Konseling biasanya dilakukan dalam satu ruangan. Penampilan
kantor menarik dan ada banyak hal yang dapat membantu menjauhkannya
dari klien. Misalnya pencahayaan yang lembut, warna yang kalem,
perabotan yang bersih dan nyaman. Suhu ruangan tidak terlalu dingin dan
tidak terlalu panas. Suasana tenang dan tidak bising. Semua ini membantu
menciptakan proses konsultasi yang lancar. Jarak antara konselor dan klien
8
dan kondisi spasial (proxemics) dapat mempengaruhi hubungan antara
konselor dan klien. Jarak yang dapat dianggap nyaman antara lain
dipengaruhi oleh latar belakang budaya, jenis kelamin, dan sifat hubungan.
Jarak 30-39 inci dianggap sebagai "jarak nyaman" dari hubungan konselor-
klien. Jarak optimal dapat bervariasi tergantung pada ukuran ruangan dan
penataan furnitur di ruang rapat (Gladding, 2009). Lingkungan fisik ini
dapat membantu menciptakan lingkungan psikologis yang berguna untuk
konseling dan harus diperhatikan. Alami lingkungan yang nyaman dan
aman yang dapat dengan mudah dibuka oleh klien kepada konselor.
4. Kualitas klien
Kualitas klien juga berperan penting dalam mendukung hubungan yang
produktif dan proses konseling. Kualitas terlihat pada keinginan pelanggan
untuk berubah. Konseling tidak dapat dimulai jika orang tidak menyadari
perlunya perubahan. Konseling hanya dapat dimulai ketika orang siap untuk
berpartisipasi dalam proses perubahan (Lesmana, 2006). Bahasa nonverbal
klien juga sangat penting dan klien tidak secara langsung mengungkapkan
apa yang dia pikirkan atau rasakan (pesan) kepada konselor, tetapi
mengungkapkan segala sesuatunya dalam bahasa nonverbal klien. Seperti
ekspresi wajah, intonasi kata. Oleh karena itu, konselor harus memahami
dan mempertimbangkan gerak tubuh, kontak mata, ekspresi wajah dan
kualitas suara sebagai hal yang penting dalam komunikasi lisan selama
hubungan konseling (Gladding, 2009).
5. Kualitas konselor
Konselor yang kompeten akan sangat membantu keberhasilan konselor. Ada
sejumlah karakteristik umum yang harus dipenuhi konselor untuk
membantu mengubah klien yang mereka hadapi. Gladding (2009) mengutip
pendapat banyak ahli. Misalnya, Okun (1997) berpendapat bahwa kesadaran
diri, kejujuran, integritas dan keterampilan komunikasi adalah sifat yang
harus dimiliki konselor. Selain itu, ahli lain seperti Strong (1968)
9
menyebutkan kompetensi, daya tarik dan keandalan sebagai persyaratan. Ini
berarti konselor harus berpengalaman, menarik dan dapat dipercaya.
1. Usia
Perbedaan usia yang ada pada anak tentunya akan mempengaruhi berbagai
proses yang membantu dalam pelaksanaan konseling, seperti penerimaan
informasi atau persepsi anak yang sederhana dan akan berpengaruh pada
bahasa serta metode pendekatan. Contohnya, konseling unuk anak
prasekolah menggunakan pendekatan dengan berbagai metode pembelajaran
prasekolah seperti bercerita, menggunakan media gambar dan kontruksi,
atau berbagai alat permainan yang biasa digunakan.
2. Latar belakang
Latar belakang yang dimiliki oleh anak seperti halnya orang tua, gaya
pengasuhan, aturan atau norma keluarga, kebiasaan dalam keluarga, status
sosial ekonomi, budaya dan lingkungan, tingkat pendidikan, dan bakat serta
minat akan ikut mempengaruhi proses konseling yang terjadi pada anak usia
dini.
10
3. Keterbukaan dan kerjasama orang tua dalam memberikan infomasi
Keterbukaan dan kerjasama orang tua dalam memberikan informasi
merupakan faktor yang paling penting untuk melihat perubahan perilaku
pada anak.
Geldard dan Geldard (2012) dalam (Izzaty, Astuti, dan Cholimah. 2017)
mengemukakan bahwa beberapa faktor yang juga dapat mempengaruhi proses
jalannya konseling pada anak usia dini adalah:
A. Hubungan anak-konselor
Seperti halnya proses konseling pada orang dewasa, hubungan konselor
dengan klien anak usia dini juga merupakan penentu utama. Umumnya telah
disepakati bahwa pada terapi anak, hubungan anak dengan konselor sangat
penting dalam mempengaruhi keefektifan terapi. Hubungan konseling yang
berdasarkan pada kolaborasi, kepercayaan, komitmen yang terjalin dalam
proses konseling, perasaan saling menghormati, sikap genuin, emosi yang
positif, dan pemahaman holistik terhadap konseli akan mempengaruhi
perubahan konseli dalam rangka mencapai tujuan dari konseling itu sendiri
(Seligman, 2006) dalam (Izzaty, Astuti, dan Cholimah. 2017).
Terkait dengan faktor ini, Geldard dan Geldard (2012) dalam (Izzaty, Astuti,
dan Cholimah. 2017) mengungkapkan juga faktor-faktor yang perlu diikuti
agar konseling berjalan dengan lancar. Faktor-faktor yang dimaksud antara
lain:
a. Adanya keterkaitan dunia anak dengan konselor, hal ini dapat dibangun
konselor dengan cara memahami mengenai apa dan bagaimana dunia
anak, sehingga persepsi dan penghargaan serta sikap yang tidak
menghakimi akan keberadaan dunia anak akan terbentuk.
b. Eksklusif, konselor hendaknya membangun dan menjaga hubungan yang
baik dengan anak untuk membentuk kepercayaan diri anak pada
konselor.
c. Aman, konselor berusaha menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
anak-anak sehingga anak-anak dapat mengekspresikan emosi dan
11
perasaan mereka dengan bebas, seperti perasaan aman dalam bersikap
dan bertingkah lakum dan juga menimbulkan rasa percaya pada konselor.
d. Autentik, hubungan yang dibangun tentunya merupakan hubungan yang
dilandaskan dengan sikap jujur, terbuka, spontan, dan juga alamiah.
Sikap pura-pura atau faking dapat menghambat jalannya proses
konseling. Sikap konselor yang demikian akan membawa konselor
berinteraksi dan bermain dengan anak-anak dengan rasa senang.
e. Batasan rahasia, ketika bekerjasama dengan klien yang merupakan anak-
anak, konselor harus berusaha menciptakan suasana yang aman untuk
anak-anak membagi apa yang mereka fikirkan maupun rasakan. Konselor
mencoba mencari suasana yang disukai oleh klien.
f. Nonintrusif (tidak mencampuri), faktor ini artinya konselor sebaiknya
tidak menginterupsi apa yang dikatakan maupun dilakukan anak/klien
apabila tidak ingin anak/klien merasa terganggu. Konselor harus
membuat suasana terasa nyaman. Anak akan bingung bila konselor
menanyakan banyak pertanyaan dalam satu waktu. Hal ini akan
menimbulkan perasaan curiga pada anak sehingga memunculkan
perasaan takut berbagi.
g. Memiliki tujuan yang jelas, setiap hal yang dilakukan oleh konselor,
sebaiknya memiliki tujuan yang jelas. Konselor harus menyadari bahwa
anak memerlukan waktu lama untuk bisa bekerja sama dengan konselor,
dan terkadang diiringi dengan perasaan cemas. Bermain merupakan
sarana yang baik untuk mendekatkan diri pada anak-anak/klien usia dini.
Permainan yang dipilih sebaiknya mendukung dalam proses pemecahan
masalah yang dihadapinya.
12
dalam dini (Izzaty, Astuti, dan Cholimah. 2017) menemukan bahwa
konseling anak akan berjalan dengan lebih mudah dan efektif jika
dilaksanakan di ruang yang ditata khusus untuk penggunaan media dan
terapi bermain. Ruang konseling anak sebaiknya dibuat kedap suara agar
tidak ada suara lain yang dapat mengalihkan perhatian anak/klien.
Terapi adalah proses yang terkadang tidak nyaman. Anda harus mendiskusikan
emosi dan pengalaman yang menyakitkan. Untuk melakukan ini, untuk
mengungkapkan informasi ini, bahkan untuk mencapai titik-titik ini dalam diri
Anda, Anda harus merasa aman. Saat menjalani terapi, cara Anda merasa aman
adalah dengan berada di hadapan seseorang yang dapat Anda percayai dan yang
13
dapat menjaga keamanan itu saat Anda sangat membutuhkannya. Ini terbentuk
dalam hubungan melalui pembangunan dan pengembangan hubungan. Beberapa
penelitian bahkan menyarankan bahwa hubungan terapeutik lebih efektif dalam
membuat kemajuan dalam terapi daripada teknik terapi spesifik lainnya. Jika
hubungan tidak terbentuk, hampir tidak mungkin untuk kemajuan ke depan dibuat
dalam terapi. Ini dikatakan, menemukan seorang konselor yang Anda dapat
membangun hubungan yang sehat dengan sangat penting untuk sukses dan tidak
setiap kombinasi klien/terapis akan bekerja. Jika hubungan tidak dibangun, itu
tidak berarti bahwa seorang terapis buruk, itu hanya berarti bahwa mereka tidak
cocok. Mencoba terapis yang berbeda sampai hubungan itu ditemukan adalah
salah satu langkah pertama dari perjalanan terapi yang sukses.
Young (2017), metode tambahan yang membantu psikolog membangun
hubungan meliputi:
1. Gunakan isyarat nonverbal yang menyampaikan kehangatan dan pengertian.
2. Pecahkan kebekuan dengan obrolan ringan.
3. Integrasikan humor ke dalam percakapan yang sesuai.
4. Tunjukkan empati dan kasih sayang, terutama ketika klien tertekan.
5. Hindari menghakimi.
6. Perlakukan klien sebagai partner/kolaborator dalam proses pengobatan.
7. Menumbuhkan rasa efikasi diri klien.
8. Perhatikan isyarat nonverbal klien.
9. Gunakan mendengarkan reflektif dan parafrase.
10. Terlibat dalam mendengarkan secara aktif sehingga klien merasa benar-
benar didengar.
11. Jangan biarkan gangguan atau gangguan selama sesi.
12. Pertahankan sikap positif, antusias, dan suportif.
13. Gunakan afirmasi positif.
14. Memperjelas kerahasiaan klien dan hak privasi.
15. Pastikan bahwa lingkungan klinis damai, pribadi, dan nyaman.
16. Hindari teknis.
17. Jadilah fleksibel dan berpikiran terbuka.
14
18. Gunakan pertanyaan terbuka untuk memperoleh informasi lebih lanjut.
19. Gunakan nada suara yang menenangkan.
20. Jangan pernah bergerak terlalu cepat, mulailah dengan ice breaking, dan
lanjutkan dengan kecepatan klien.
Menurut Wibowo (1986) dalam menciptakan rapport ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan oleh konselor, yaitu:
1. Penataan lingkungan fisik (ruang dan perabot konseling)
2. Sambutan terhadap kehadiran konseli
3. Penggunaan kontak mata
4. Penggunaan gerakan-gerakan, isyarat tubuh dan ekspresi wajah
5. Pengamatan terhadap penampilan konseli
6. Penggunaan nada dan suara
7. Ajakan agar konseli berpartisipasi aktif dalam proses konseling
8. Pengenalan latar belakang konselor
9. Penjelasan tentang maksud dan tujuan konseling
10. Penjelasan tentang batasan-batasan dalam konseling
11. Penjelasan fokus dalam konseling
12. Penjelasan peranan dan tanggung jawab dalam konseling
13. Pengorganisasian waktu.
Hubungan baik (rapport) lebih dari sekedar mengucapkan salam atau sekedar
mengenakkan hati klien, namun rapport merupakan kesatuan suasana hubungan
yang ditandai oleh adanya rasa kerasa, saling percaya mempercayai, kerjasama,
kesungguhan dan ketulusan hati serta perhatian. Keberhasilan dalam membangun
suatu rapport dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:
1. Adanya sikap hangat antara konselor dan klien.
2. Adanya perhatian dan penerimaan klien secara positif.
3. Adanya sambutan terhadap klien.
4. Adanya kepercayaan antara konselor dengan klien.
5. Adanya kerjasama yang baik antara konselor dengan klien.
15
6. Adanya penghargaan terhadap klien.
16
mereka dari apa yang mereka katakan kepada Anda dan terimalah mereka
apa adanya.
3. EMPATHY, memahami dan menunjukkan bahwa Anda memahami apa yang
mereka rasakan akan membantu mereka merasa didengar dan diperhatikan,
membangun dasar yang kuat untuk hubungan baik. Jangan hanya bersimpati
dengan mereka, tetapi benar-benar berusaha untuk melihat sesuatu dari sisi
mereka dan memahami bagaimana dan mengapa mereka merasakan hal itu.
Tempatkan diri Anda pada posisi mereka.
4. VALIDATION, memberi tahu mereka bahwa Anda mengerti dan bahwa
apa yang mereka rasakan baik-baik saja adalah salah satu langkah terpenting
dalam membangun hubungan. Mereka perlu tahu bahwa mereka diizinkan
untuk merasakan apa yang mereka rasakan dan bahwa mereka aman
mengungkapkannya kepada Anda.
5. HONESTY, ini tampak jelas, tetapi jangan berbohong kepada mereka. Tidak
apa-apa untuk tidak membagikan informasi Anda, tetapi jangan beri tahu
mereka bahwa Anda telah mengalami sesuatu yang belum pernah Anda
alami atau bahwa Anda akan melakukan sesuatu yang tidak akan atau tidak
akan Anda lakukan yang akan Anda lakukan. Ketidakpercayaan adalah cara
tercepat untuk memperburuk bahkan hubungan terapeutik yang solid.
Menjadi tulus dengan reaksi dan emosi Anda dan jujur dengan pikiran Anda
membantu Anda menjadi transparan dan dapat dipercaya.
6. COMPETENCY, pastikan bahwa Anda kompeten dan tunjukkan kompetensi
dalam apa yang Anda lakukan. Ini harus masuk akal tetapi masih layak
disebutkan. Jika Anda bingung harus berbuat apa, mencari bantuan atau
melakukan penelitian, buatlah diri Anda kompeten. Jangan membuat klaim
untuk menjadi kompeten ketika Anda tidak. Jika Anda tidak kompeten
untuk menangani masalah tertentu, jujurlah, dan rujuk jika perlu.
7. MEET AT THEIR LEVEL, Anda tidak dapat memaksa seseorang untuk
memulai pada level yang belum siap mereka hadapi. Bangun hubungan
dengan bertemu mereka di mana mereka membutuhkan Anda. Jika mereka
belum dapat mengatasi apa yang Anda tahu bahwa mereka perlu, temui
17
mereka beberapa langkah sebelum itu dan fokuslah untuk membangun
hubungan.
8. PEACE PROGRESS/TAKE SMALL STEPS, fokus pada semua langkah
bukan hanya hasil akhirnya. Bergerak dengan kecepatan yang nyaman tetapi
cukup mendorong untuk menjadi terapi. Mendorong terlalu cepat merusak
kepercayaan dan membangun perasaan tidak aman sementara tidak cukup
mendorong dapat membuat seseorang merasa terhenti dan menyebabkan
mereka tidak melihat Anda sebagai orang yang kompeten untuk membantu
mereka. Menemukan kecepatan yang tepat untuk Anda berdua dan
menetapkan tujuan kecil akan membantu menunjukkan kesuksesan dan
membangun hubungan baik.
9. SELF DISCLOSURE, bila perlu, pengungkapan diri menunjukkan bahwa
Anda adalah manusia dan membuat Anda dapat berhubungan. Perlu ada
keseimbangan yang sehat antara berbagi informasi yang cukup untuk
membuat Anda tampak seperti orang yang nyata dan untuk menunjukkan
bahwa Anda dapat berhubungan dengan mereka dan berbagi secara
berlebihan dan mengubah dinamika antara terapis dan klien. Ini mengambil
fokus dari mereka dan dapat menyebabkan campuran emosi dan masalah
batas.
18
Tidak ada aturan formal yang mengatur bagaimana negosiasi ini Menjadi
dilakukan, meskipun ada gaya atau pendekatan yang diterima secara budaya untuk
melakukannya. Beberapa jenis negosiasi yaitu:
1. Distributif
Sering disebut sebagai pai tetap atau jumlah tetap. Juga dikenal sebagai
negosiasi tawar-menawar yang kompetitif atau keras. Kehilangan situasi.
Contoh: Membeli mobil atau rumah. Kepentingan kedua belah pihak adalah
melayani diri sendiri.
2. Integratif
Sering digambarkan sebagai situasi menang-menang (win to win). Para
pihak membentuk hubungan jangka panjang untuk keuntungan bersama.
Negosiasi yang efektif membantu Anda menyelesaikan situasi di mana apa
yang Anda inginkan bertentangan dengan apa yang diinginkan orang lain.
Tujuan negosiasi win to win adalah untuk menemukan solusi yang dapat
diterima kedua belah pihak, dan membuat kedua belah pihak merasa bahwa
mereka telah menang, dalam beberapa hal, setelah peristiwa tersebut.
19
(1992) menyebutkan suatu fenomena lain yang juga menjadi masalah konsleor
yaitu burnout.
20
3. Manipulasi, klien memanipulasi konselor dengan tujuan berikut:
21
tubuhnya keluar. Saat yang tepat dan bagaimana menghentikan perdarahan
ini adalah suatu keterampilan yang didapat berdasarkan pengalaman.
6. Terminasi Konseling, berapa pun sesi konseling yang terjadi, pada suatu
waktu akan berakhir dalam salah satu dari tiga cara ini, yaitu bila sasaran
konseling telah tercapai, klien secara prematur ingin menghentikan
konseling, konselor ingin menghentikan konseling meskipun klien ingin
22
melanjutkan. Melakukan terminasi, membawa masalah bagi konselor dan
klien.
7. Burnout, menurut Gladding, tidak ada seorang pun yang terus menerus
selamanya dapat berfungsi secara bermakna. Tidak ada orang yang mampu
untuk berfungsi secara kuat kalau tidak pernah melangkah keluar dari peran
profesionalnya. Untuk mempertahankanp pendekatan yang sehat, konselor
yang sukses memakai cara-cara preventif untuk mencegah burnout.
3. Terlalu banyak ikut campur. Terjerat dan ikut campur dalam banyak hal
mengenai permasalahan konseli sering dialami oleh konselor. Hal ini
membuat konselor tidak obyektif terhadap inti persoalannya dan banyak
waktu maupun tenaga terkuras yang seharusnya digunakan untuk hal-hal
lain. Konseli biasanya menuntut perhatian penuh tanpa peduli bahwa
konselor mempunyai tanggung jawab kepada keluarga dan konseli lainnya.
Untuk menghindarinya, konselor harus dapat menemukan cara yang tepat
23
untuk mengatasinya tanpa merusak hubungan baik yang mungkin sudah
terbina.Di dalam membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
konseli dengan rasional, konselor tidak boleh bersikap otoriter dan menuduh
larangan-larangan yang sifatnya mengatur, sebaiknya dihindari.
24
ketegangan dan akibatnya hubungan baik yang harusnya terbina akan
hilang.
25
sendiri sebagai bentuk penangapannya dari ungkapan klien. Dan yang
terakhir adalah pengakuan atas perilaku nonverbal, berbeda dari yang
sebelumnya bagian ini merujuk kepada pengetahuan konselor yang
diungkapkan kepada klien misalnya konselor tahu arti dari melipat tangan
diatas meja sembari berbicara dan memberi tahu kepada klien mengenai hal
itu. Hal ini juga hanya sebatas respon dari konselor apabila dibutuhkan
(Gladding, 2018).
26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Gladding (2009) menyebutkan ada lima faktor yang mendukung
konseling, yaitu: (1) Struktur, (2) inisiatif, (3) Setting fisik, (4) kualitas klien, (5)
kualitas konselor. Membangun hubungan dijadikan langkah pertama dalam
melakukan konseling karena klien dan konselor harus saling mengenal dan
menjalin kedekatan emosional sebelum sampai pada pemecahan masalahnya.
Peranan Negosiasi dengan Klien dalam Sebuah Konseling adalah metode dimana
orang menyelesaikan perbedaan. Ini adalah proses di mana kompromi atau
kesepakatan dicapai sambil menghindari argumen dan perselisihan. Cavanagh
(1982) mengatakan bahwa ada tujuh masalah yang umum dalam suatu hunbungan
konseling : kebosanan, hostilitas, berbagai kesalahan konselor, manipulasi,
penderitaan , hubungan yang membantu versus hubungan yang tidak membantu,
dan mengakhiri konseling. Gladding (1992) menyebutkan suatu fenomena lain
yang juga menjadi masalah konsleor yaitu burnout. Menurut Gladding (2018)
Proses konseling dimulai dengan sesi awal, dimana pada sesi ini baik konselor
maupun klien akan bekerja sama untuk memutuskan apakah mereka ingin atau
dapat melajutkan proses konseling.
27
DAFTAR PUSTAKA
Capuzzi, David & Mark D., Stauffer. (2016). Counseling and Psychotherapy:
Theories and Intervensions, 6th Edition. USA: American Counseling
Association.
Izzaty, R. E., Astuti, B., & Cholimah, N. (2017). Model konseling anak usia
dini. Bandung: Rosda Karya.
Mulyadi, S., Fakhrurrozi, M., Rohayati, D., & Putri, D. E. Psikologi Konseling.
https://ipekajatim.files.wordpress.com/2017/03/rapport-in-clinical-setting.pdf
Yusuf, S., & Nurihsan, J. (2011). Landasan bimbingan dan konseling. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
https://www.academia.edu/7204574/counselling_process
https://www.psychreg.org/effective-negotiations/
28