Anda di halaman 1dari 28

PSIKOLOGI KONSELING

TERMINASI DAN MASALAH ETIS DALAM KONSELING

Dosen Pengampu : Rahmia Dewi S.Psi., M.Psi.,

Kelompok 11 :

1. Masyitah (210620070)
2. Rizka Nidaul Khaira (210620068)
3. Fardhan Aprizal (210620128)

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran


Universitas Malikussaleh

2022/2023
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdullilah senantiasa kita panjatkan atas kehadirat Allah


SWT, karena atas berkah, rahmat, hidayah dan kesehatan dari-Nya, sehingga kita
bisa menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa shalawat dan salam kita kirimkan
untuk baginda Nabiyullah Muhammad Saw, Nabi yang telah membawa
ummatnya dari zaman jahiliah ke zaman yang terang-benderang, juga nabi yang
telah diutus oleh Allah SWT kemuka bumi ini sebagai rahmatan lilalamin.
Penghormatan kami kepada dosen pengampu ibu Rahmia Dewi S.psi., M Psi.
dan teman-teman seperjuangan.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah yakni Psikologi Konseling. Kami berharap dalam penyusunan
makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Tentunya kami sadari
bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu
saran dan kritik kami perlukan dalam hal yang bersifat membangun karena tidak
dipungkiri bahwa makalah ini masih terdapat kesalahan dalam penyusunanya.

Aceh Utara, 29 Maret, 2023

Kelompok 11

ii
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................................. iv
B.Rumusan Masalah ................................................................................................v
C.Tujuan Penulisan ..................................................................................................v
BAB II PEMBAHASAN
A. Terminasi .........................................................................................................1
B. Penyebab terjadinya Terminasi .........................................................................2
C. Jenis-jenis Terminasi.........................................................................................3
D. Langkah-langkah Terminasi .............................................................................4
E. Fenomena Overtreatment Dan Undertreatment ................................................7
F. Masalah Etis Dalam Konseling .......................................................................11
G. Tanggung Jawab Seorang konselor.................................................................13
H. Langkah-langkah Membuat Keputusan Etis ...................................................19
I. Kode Etik Di Indonesia ...................................................................................20

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .......................................................................................................22
B. Saran ..................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................23

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konseling adalah suatu proses yang dipandu oleh teori. Kegiatan konseling
terdiri atas serangkaian proses yang dilakukan antara konselor dan klien (konseli)
dan didasarkan pada teori-teori konseling sebagai landasan pemberian layanan.
Adakalanya dalam konseling terlaksana dengan baik dan adakalanya pula
konseling terlaksana tidak sesuai dengan yang direncanakan. Jadi, ada istilah
dalam konseling yang dinamakan dengan Terminasi konseling. Terminasi ini
dapat dikatakan sebagai pengakhiran atau menghentikan proses konseling, yang
dapat dilakukan baik di tahap awal, tahap pertengahan maupun tahap
pengakhiran(Pane.2017) Sementara kode etik profesi ialah suatu pedoman oleh
tiap-tiap tenaga kerja dibidang psikologi, salah satunya ialah profesi konselor,
kode etik profesi memiliki fungsi untuk menjamin kepercayaan masyarakat
bahwa masyarakat tidak akan dipermainkan sebagai sekedar sarana melainkan
tujuan layanan yang diselenggarakan.
Kehadiran kode etik menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan
sekaligus menjamin mutu moral profesi itu sendiri di mata masyarakat. Pada
hakekatnya kode etik memberikan identitas suatu profesi, mengkomunikasiakn
kepada para anggota profesi mengenai harapan profesi, dan membantu menjaga
kepercayaan masyarakat. Konselor, psikolog, dan para pekerja sosial lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan konseling dan psikologi perlu
memahami nilai-nilai, etika, moral, dan hukum. Hal ini disebabkan karena
konselor dan psikolog yang tidak memahami nilai-nilai, etika, dan tanggung
jawab legal mereka serta nilai-nilai, etika, dan tanggung jawab legal klien dapat
menyebabkan kerugian dari niat dan tujuan baik terhadap layanan yang
diselenggarakan (Pedhu.2020). pada kesempatan kali ini kita akan mengenal
lebih jauh tentang Terminasi juga masalah etis dalam Konseling.

iv
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Terminasi?

2. apakah peyebab Terjadinya terminasi?”

3. Apa sajakah jenis-jenis terminasi?

4. Bagaimanakah langkah-langkah Terminasi?

5. Apa itu fenomena overtretment dan undertretment?

6. Bagaimanakah yang dinamakan masalah Etis dalam konseling?

7. Apakah tanggung tanggung jawab seorang konselor?

8. Bagaimanakah langkah-langkah membuat keputusan etis?

9. Bagaimanakah kode etik di indonesia?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui tentang terminasi
2. Mengetahui penyebab terjadinya terminasi
3. Mengetahui jenis-jenis terminasi.
4. Mengetahui langkah-langkah Terminasi.
5.mengetahui fenomena overtreatment dan undertreatment.
6. Mengetahui Masalah etis dalam konseling
7. Mengetahui tanggung jawab seorang konselor.
8. Mengetahui langkah-langkah membuat keputusan etis.
9. Mengetahui kode etik di indonesia

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Terminasi
Terminasi adalah istilah yang kerap kali digunakan pada berupa penulisan buku-
buku konseling, Istilah ini digunakan sebagai kata ganti dari mengakhiri atau
menghentikan proses konseling. Willis (2009) mengatakan bahwa pada tahap
terminasi, konselor dan klien sebaiknya membuat kesimpulan umum yang
merupakan hasil dari proses konseling. Klien juga diberikan kesempatan untuk
melakukan penilaian terhadap konselor dan proses konseling yang telah dilaluinya.
Kesimpulan yang dibuat meliputi: apakah kecemasannya telah menurun, apakah
klien telah merasa lega, apakah rencananya telah jelas, dan apakah masih
diperlnkan pertemuan berikutnya. Hal lainnya yang perlu diketahui oleh pembaca
adalah bahwa tidak semua terminasi menyenangkan. Pada kenyataannya, beberapa
klien bahkan tidak mendapatkan apa-apa dari proses konseling sehingga dengan
terpaksa atau keinginannya sendiri, mereka berinisiatif melakukan terminasi
padahal sesi pertemuan yang harus dijalani masih ada. Konselor juga dapat
melakukan terminasi prematur terhadap kliennya. Misalnya, konselor melihat
bahwa klien sangat defensif sehingga konselor kewalahan dan tidak mampu
menghadapi klien. Maka langkah terminasi adalah langkah yang paling tepat untuk
ditempuh. Harus diakui secara jujur oleh konselor bahwa tidak semua klien yang
datang meminta bantuan dapat ditangani sampai tuntas. konselor yang profesional
sekalipun, pasti memiliki keterbatasan yang menghalanginya untuk membantu
semua kliennya.Misalnya, konselor yang tidak memiliki cukup informasi dan
kompetensi dalam meinahami suatu kasus tertentu. Untuk itulah kejujuran pada diri
sendiri dan kepada klien sangat penting. Terminasi prematur yang dilakukan
konselor tidak akan menyebabken ia kehilangan harga dirinya bahkan klien dapat
saia respek pada kejujuran konselor.

1
B. Penyebab Terminasi
Apabila proses konseling telah usai di mana tujuan-tujuanyang ingin
dicapai telah terjadi, maka pada saat itulah terminasi dilakukan. Hal yang berbeda
dinyatakan dalam APA (American PsychologicalAssociation) bahwa konselor
harus berusaha mengakhiri proses konseling apabila telan jelas klien tidak
memperoleh manfaat dari hubungan tersebut (Lesmana, 2005). Ada beberapa
penyebab lain yang memungkinkan terminasi dilakukan sebelum proses konseling
selesai sehingga beberapa tahap kerja belum dilalui. Hal yang perlu dipahami
menyikapi hal iniadalah baik konselor atau klien tidak akan melakukan terminasi
tanpa alasan yang jelas. Oleh karena itu, bila salahsatu pihak melakukan terminasi
prematur,ada baiknya pihak lain menghormati keputusan tersebut. Lesmana (2009)
mengatakan bahwa inisiatif melakukan terminasi dapat berasal dari konselor
maupun klien. Berikut penyebab terminasi yang dipandang dari sisi konselor dan
klien tersebut:
1. Terminasi oleh konselor:
a. Sasaran konseling telah tercapai.
b. Konselor merasa bahwa klien tidak mengalami kemajuan seperti yang
diharapkan, sehingga tidak ada mamfaatnya bila konseling tetap
dilanjutkan.
c. Konselor melihat klien terlalu bersikap dependen (bergantung terus pada
konselor) sehingga klien tidak mau mengambil tanggung jawab terhadap
hidupnya sendiri.

2. Terminasi oleh Klien


Apabilaterminasi dilakukan oieh klien, maka penyebabnya antara lain:
a.klien merasa bahwa dirinya telah sembuh walaupun sebenarnya hal tersebut
hanya berupa pengurangan simtom;
b.klien merasa telah berhasil sesuai dengan kesepakatan dalam konseling;
c.terjadinya premature termination yang disebabkan karena;

2
d. klien menolak pengalaman rasa sakit yang terkait dengan konseling atau
klien menolak berhadapan dengan bagian dirinya yang tidak disenanginya;
e. klien tidak memiliki komitmen yang cukup untuk berubah
karenauntukberuban klien harusmelalui proses yanglama dan menyakitkan;
f.klien tidak memiliki cukup waktu atau keuangan yang tidak mendukung:
g. klien merasa bahwa dirinya tidak mengalami kemajuan sehingga
menganggap bila konseling dilanjutkan tidak akan bermanfaat.

C. Jenis-jenis Terminasi
Secara garis besar,ada dua jenis terminasi yang terjadi dalam proses konseling.
Yaitu terminasi yang terjadi pada saat proses konseling berlangsung(akhir dari sesi
pertemuan) dan terminasi yang terjadi Ketika proses konseling selesai.
1. Terminasi pada akhir sesi
Lesmana(2009) mengemukakan poin-poin penting dalam terminasi pada akhir
sesi sebagai berikut:
a. Konselor biasanya yang bertindak melakukan terminasi. dalam hal ini
konselor akan menyatakan bahwa waktu .konseling telah habis. Konselor akan
menyampaikan durasi konseling diawal sesi. Apabila klien meminta terminasi,
biasanya karena klien memiliki urusan lain yang dirasakannya lebih penting.
b.Konselor akan membuat kesimpulan mengenai hal-hal penting yang terjadi
dalam sesi konseling.
c. Konselor harus menghindari munculnya materi baru pada saat konseling akan
berakhir. Hal ini dilakukan untuk mengefisienkan waktu sehingga materi baru
yang dimunculkan klien tidak terputus karena durasi telah habis.
2. Terminasi pada Akhir Proses Konseling
Terminasi pada akhir proses konseling memiliki poin-poin penting yang
berbeda dan lebih menyeluruh dibandingkan terminasi pada akhir sesi. Hal-hal
yang perlu dievaluasi dalam terminasi ini adalah:
∙ Apakah masalah dan simtom klien telah hilang atau berkurang?

3
∙ Apakah klien masih memiliki perasaan yang menimbulkan stres?
∙ Apakah klien telah memiliki kemampuan untuk mengatasi masalahnya?
∙ Sejauh apa pemahaman klien tentang dirinya sendiri dan orang lain?
∙ Apakah klien sudah mampu berelasi dengan baik dengan orang lain?
∙ Apakah klien sudah mampu mencintai dan bersedia dicintai orang lain?
∙ Apakah klien sudah memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan bekerja
dengan lebih baik?
∙ Apakah Klien telah dengan dapat menikmati hidup?
∙ Melalui evaluasi tersebut, konselor dan klien sama-sama dapat memahami
apakah proses konseling benar-benar telah memenuhi harapan dan tujuan yang
diharapkan oleh konselor dan klien. adapun tindak lanjut dari terminasi inu adalah
konselor harus dapat membantu klien, dan menjalin hubungan yang efektif
dengan orang-orang yang ada di hidup klien.

D. Langkah-langkah Terminasi
Terminasi tidak dapat terjadi hanya sekedarnya. konselor harus
mempertimbangkan perasaan klien. Beberapa klien menganggap bahwa
kebersamaannya dengan konselor membuatnya merasa lebih nyaman, sehingga
sulit meninggalkan kenyamanan tersebut. Konselor harus dapat meyakinkan klien
bahwa terminasi dilakukan karena sasaran konseling telah terlaksana sehingga
klien tidak merasa konselor meninggalkannya karena alasan pribadi. Ada langkah-
langkah yang harus dilakukan oleh konselor dalam melakukan terminasi. Berikut
ini adalah langkah-langkah yang dilakukan oleh Lesmana (2009):
1. Persiapar: Verbal
Persiapan verbal di sini maksudnya adalah konselor harus mempersiapkan diri
klien melalui ungkapan-ungkapan yang mengandung makna bahwa konseling
akan segera diakhiri. Apabila klien menolak dan mengatakan bahwa ia merasa
masih membutuhkan bantuan konselor, maka sekali lagi penulis ingatkan bahwa
konselor harus waspada terhadap kemungkinan tersebut. Mungkin saja ia takut
kehilangan saat-saatkebersamaan dengan konselor atau memang tujuan konseling

4
belum tercapai seluruhnya, sehingga klien masih bertahan dengan keluhan-
keluhannya. Tetapi, apabila konselor yakin semua tujuan konseling telah
terpenuhi, maka segera yakinkan klien bahwa terminasi memangharus dilakukan.
Berikut ini adalah conton-contoh ungkapan yang menyatakan akan dilakukan
terminasi pada klien.
∙ “Baiklah,saya telah menyaksikan sendiri kalau anda telah mengalami kemajuan
yang cukup signifikan dan perubahan perilaku ke arah yang lebih positif. Dan
dalam waktu yang tidak lama lagi saya rasa anda telah mampu mengatasi masalah
Anda sendiri."
∙"Saya salut sekali dengan perkembangan kepribadian Anda belakangan ini. Anda
telah dapat membuat rencana dan menentukan pilihan sesuai dengan yang anda
kehendaki. Saya rasa kita telah sukses dalam konseling ini dan siap untuk diakhiri,
bagaimana menurut anda? “
Hal penting lainnya yang harus dipersiapkan oleh konselor adalah
mempersiapkan ringkasan akhir yang menyimpulkan proses konseling secara
keseluruhan. Ringkasan tersebut meliputi kebutuhan dan harapan yang diinginkan
klien di awal sesi pertemuan, meliputi kebutuhan dan harapan yang diinginkan
klien di awal sesi pertemuan, sasaran yang akan dituju, dan strategi yang telah
dijalankan. Melalui ringkasan inilah klien dapat melihat sudah sejauh mana
perkembangan yang terjadipada dirinya. Hal ini akan membantu klien ketika
menyampaikan bahwa terminasi dapat dilakukan.
2. Membuka Jalur untuk Kemungkinan Follow-up
Kemungkinan follow-up harus tetap diberikan kepada klien. Karena beberapa klien
yang meskipun telah berusaha untuk mampu mengatasi masalahnya sendiri, tetap
masih membutuhkan dukungan dari konselor. Oleh karena itu, setelah
menyampaikan bahwa terminasi akan dilakukan, konselor harus menyampaikan
juga bahwa walaupun proses konseling telah berakhir, klien tetap dapat kembali
bila diperlukan. Konselor harus berhati-hati pada sikap dependen (ketergantungan)
yang dimunculkan klien. Berikanlah kata-kata penekanan yang menegaskan bahwa
kalaupun ada sesi pertemuan selanjutnya setelah terminasi, pertemuan tersebut

5
hanya berbentuk follow-up terhadap perubahan tingkah laku klien. Berikut ini
penulis berikan contoh pernyataan konselor untuk membuka jalur kemungkinan
follow-up.
Konselor: Saya telah melihat bahwa sepertinya tingkat kecemasan anda telah
menurun sehingga sepertinya tujuan dari konseling kecemasan ini telah
tercapai. Saya pikir kita siap untuk mengakhiri konseling ini. Bagaimana
menurut anda?
Klien : Ya, saya juga merasakan hal yang sama. Tapi saya masi ragu apakah
saya mampu mengatasi kecemasan saya tanpa bantuan ibu.
Konselor :Begini saja, saya sarankan anda untuk kembali lagi kesini ketika Anda
telah berusaha mengatasinya sendiri. Kemudian kita akan diskusikan
perkembangannya. Saya yakin Anda pasti bisa.
Pernyataan terakhir konselor merupakan penekanan diberlakukannya follow-
up dengan catatan bahwa sesi konseling selanjutnya adalah untuk mendiskusikan
kemajuan klien sesuai dergan strategi intervensi yang dilakukan. Apabila hal ini
dilakukan, klien akan semakin termotivasi untuk mengatasi masalahnya sendiri
karena telah mendapat kepercayaan dari konselor. Follow-up juga digunakan untuk
meyakinkan klien bahwa konselor tidak hanya ada di saat klien berada dalam
tekanan/masalah, tetapi konselor juga akan membantu klien untuk mendukung
kemajuan-kemajuan yang telah diperolehnya selama menjalani sesi konseling.
Lesmana (2009) mengatakan bahwa membuka jalur follow-up ini sangat diperlukan
pada konseling yang bersifat sangat terstruktur dan short-term.
3.Pamit Secara Formal (Formal Leave-Taking)
Berpamitan kepada klien adalah hal yang patut diperhatikan konselor. Poin-poin
yang dibicarakan di sini adalah:
∙ Konselor menyampaikan terima kasih kepada klien karena memberinya
kesempatan untukmembantu menyelesaikan masalah klien.
∙ Menyampaikan permohonan maaf apabila ada kekeliruan yang dilakukan
konselor selama proses konseling berlangsung.

6
∙ Memberikan dukungan dan sugesti pada klien agar tetap mempertahankan
kemajuan yang telah diperolehnya selama menjalani konseling.
Konselor harus mengupayakan agar terminasi terjadi dalam situasi yang
menyenangkan klien. Bagaimanapun, mempertimbangkan perasaan klien harus
menjadi prioritas utama. Hal ini dilakukan karena klien yang mengakhiri
konselingnya dengan sikap positif akan memandang konseling dan proses
konseling secara positif pula.

E. Fenomena Overtreatment Dan Undertreatment


Sebagai manusia biasa konselor juga memiliki kelemahan dan
keterbatasan. Walaupun berusaha untuk dapat bersikap profesional, tetapi
keinginan dan kebutuhan pribadi yang seharusnya tidak boleh terlibat dalam
hubungan konseling akhirnya mau tidak mau turut memengaruhi sikapnya dalam
menghadapi klien. Dalam hubungan konseling, kita dapat saja menemukan
terjadinya fenomena overtreatment dan undertreatment yang merupakan
kelemahan dari konselor tersebut. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Overtreatment
Brammer, Abrego, dan Shostrom (dikutip dari Lesmana, 2005) menjelaskan
mengenai konsep overtreatment antara lain:
∙ Konselor yang "menahan" klien untuk tetap menjalani konseling sehingga
melampaui batas-batas etis yang ditentukan.
∙ Konselor yang tetap "menahan" klien meskipun konselor tidak kompeten dalam
menanganinya.
Fenomena "menahan" klien dengan alasan yang sifatnya pribadi juga
diungkapkan oleh Corey (2009) yang mengatakan bahwa beberapa konselor yang
perannya sebagai "pemberi bantuan" cenderung menjadikan klien dalam posisi
dependen. Hal ini disebabkan karena kehausan emosional dan kebutuhan
psikologisnya akan kekuasaan. dan perasaan berguna dan berarti sehingga
membuat konselor melupakan kesulitan yang dialaimi klien. berbeda halnya
dengan Lesmana (2009) yang menyatakan bahwa konselor menjadikan klien

7
dependen karena konselor terlalu berhati-hati. Konselor selalu merasa bahwa kkien
masi membutuhkannkonseling lebih lama dan tidak memberikan kepercayaan pada
klien untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. sikap konselor seperti ini malah
akan berakibat negatif karena semakin menunjang ketergantungan klien kepada
konselor.
2. Undertreatment
Menurut Erammer,Abrego, shostrom (dikutip dari Lesmana, 2005) menuangkan
konsep undertretment sebegai berikut :
a. Therapeutic nihilism
Yang berarti konselor bersikap pesimistis, bahwa konseling yang dilakukannya
tidak memberi dampak positif. bagi klien sehingga konselor memutuskan menyerah
menangani masalah klien. Inti dari masalah yang dihadapi konselor dalam hal ini
adalah pesimis akan hasil konseling. Corey (2009) mengatakan bahwa jangan
pernah mengharapkan hasil-hasil seketika dalam proses konseling. Pernyataan ini
mengandung makna bahwa kemajuan klien dalam proses konseling tidak akan
terlihat pada beberapa pertemuan saja. Berat ringannya masalah klien akan
menentukan lamanya konseling berjalan. Seorang konselor seharusnya memiliki
semangat pantang menyerah sehingga semangat tersebut dapat ditularkan pada
kliennya. Untuk mengalami perubahan yang positif, klien harus melepaskan
defensenya. Ini akan menimbulkan penderitaan bagi klien. Konselor jangan pernah
beranggapan bahwa klien akan menjadi rapuh karena konseling, justru konselor
harus hadir memberikan penguatan di saat klien mengalami fase-fase kerapuhan
tersebut. Kerja sama yang baik antara konselor dan klien untuk mencapai tujuan
konseling akan menyebabkan munculnya kemajuan dan perkembangan pribadi
klien sesuai yang diharapkan.
b.Diagnostic failure
Artinya adalah konselor gagal menemukan atau menghadapi proses disfungsi
adekuat dan akhirnya menghentikan proses konseling sebelum waktunya. hal ini
sangat berkaitan erat dengan kompentensi seorang konselor. beberapa konselor
bersedia untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapai klien padahal ia sama

8
sekali tidak memiliki keahlian dan keterampilan dalam menangani masalah
tersebut. Menurut Corey (2009), pada prinsipnya para konselor diharapkan untuk
menyadari batas-batas kompetensi serta batasan pribadi dan profesinya. para
konselor yang efektif tidak akan menggunakan diagnostik atau prosedur treatment
yang berada di luar lingkup kapasitas mereka. Apabila konselor mengacu pada hal
ini, diagnostic failure seharusnya tidak akan terjadi.
c. Passive methods
Artinya adalah konselor gagal untuk secara aktif menghadapi masalah klien.
Maksudnya di sini adalah konselor sama sekalitidak mendapatkaninformasi penting
(isu sentral) yang menjadi permasalahan klien. Hal ini dapat terjadi pada klien yang
mengikuti proses konseling tetapi tidak bersedia membantu ketika konselor berusaha
mengeksplorasi masalahnya. Walaupun berbagai macam cara telah dilakukan
konselor melalui "konfrontasi, sugesti, atau memberikan respons potensi-
kemampuan" tetapi klien tetap tidak dapat bekerja sama. Akhirnya konselor
memutuskan untuk mengakhiri konseling karena gagal menghadapi masalah klien.
Hal lainnya adalah disebabkan karena konselor yang memang bersifat pasif. Corey
(2009) mengatakan bahwa konselor ini umum'nya hanya mendengarkan. Mereka
memiliki pemahaman, akan tetapi mempertimbangkannya terlalu lama sehingga
akhirnya mereka mundur dan menduga-duga apakah pemahaman merekabenar.
Untuk itulah, konselor disarankan untuk bersikap aktifkarenalebihbaik mengambil
risiko menjadi tidak layak daripada mengambil sikap pasif dan nondirektif.
d. Lack of confidence
Artinya adalah konselor tidak memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu
mengatasi kasus-kasus yang sulit pada kliem. seorang konselor terkadang memiliku
dinamika yang mengarahkannya pada perasaa ketidakmampuan menqngani klien.
Bila hal ini terus berlanjut, konselor tidak akan pernah belajar menangani masalah-
masalah klien yang lebih kompleks dan beragam. walaupun seorang konselor harus
kompeten dalam menangani masalah kliem. Tetapi bukan berartu konselor yang
merasa dirinya tidak mampu lantas tidak mau belajar. yang ingin penulis tekankan
dalam menyikapi hal ini adalah konselor harus berani menerima tantangan.

9
mempelajari kasus-kasus klien dari berbagai sumber tantangan. mengikuti berbagai
macam pelatihan serta sharing (berbagi) ilmu dengan konselor akan menjadikan
konselor kompeten dalam menangani klien.

e. Lenience
Artinya adalah konselor terlalu memberi kebebasan dan tidak persistenuntuk
terus-menerus mengikuti klien. Kesalahan yang dilakukanbeberapa konselor adalah
terus-menerus menuruti tuntutan-tuntutan klien. Hal ini dapat saja terjadi karena
konselor ingin menciptakan kenyamanan pada klien. Akan tetapi cara yang dilakukan
konselor ini akan berefek negatir pada proses konseling. Tanpa sadar, konselor telah
melahirkan tipe klien penuntut dalam konselingnya. Klien akan terus-menerus ingin
dituruti kemauannya sehingga katakata yang disampaikan konselor tidak lagi penting
bagi klien. Apabila hal ini terjadi, Corey (2009) memberikan saran menghadapi klien
penuntut yaitu:
1. Konselor perlu menyadari sifat tuntntan klien dan bagaimana bereaksi
terhadapnya.
2. Konselor harus berani untuk mengonfrontasikan klien pada persepsi konselor
tentang tingkah laku klien dan tuntutan konselor sendiri.
f. Overwork
Artinya adalah konselor memiliki banyak klien, sehingga terburu-buru dan
malah mengakibatkan burnout. Menangani banyak klien diluar kesanggupan
konselor akan berdampak negatif bagi konselor dan klien. Konselor sebaiknya
mempertimbangkan beberapa orang klien yang sanggup ia tangani dalam sehari
atau berapa lama waktu konseling yang dibutuhkan untuk menanganj masalah
klien. konselor yang terdesak karena banyaknya keluhan klien yang segera harus
ditangani akan membuatnya mengambil strategi yang tidak tepat dan malah
mengacaukan tujuan konseling. Yang lebih parah lagi adalah munculnya burnout
yang merupakan keadaan menurunnya produktivitas seseorang di tempat kerja
karena stres kerja yang terus-menerus. Demikianlah penjelasan mengenai
"Terminasi dalam Konseling" beserta permasalahan yang biasanya timbul berkaitan

10
dengan terminasi tersebut. Penjelasan ini mudah-mudahan dapat digunakan sebagai
gambaran bagi pembaca, bagaimana menciptakan situasi yang kondusif ketika
terminasi harus dilakukan dalam konseling.

F. Masalah Etis Dalam Konseling


Permasalahan etis akan selalu muncul pada setiap profesi, terlebih kepada
profesi yang berhubungan langsung dengan manusia yaitu konseling. Sebagai
tenaga profesional yang berkecimpungdalam dunia konseling, seorang konseler
memiliki "garis-garis batas" berupa standar etika yang wajib dipenuhi untuk
menunjukkan kredibilitasnya sebagai konselor profesional. Standar etika inilah
yang digunakan sebagai acuan untuk melakukan penilaian secara tegas ketika
muncul permasalahan etis dalam hubungannya dengan klien. Permasalahan etis
menjadi sangat penting karena akan memberikan jaminan perlindungan terhadap
klien atas kesediaannya mempercayakan masalahnya untuk ditangani seorang
konselor. Klien meriliki hak mendapatkan rasa aman dari konselor setelah ia
memberikan informasi mengenai masalahnya dengan tidak membuka rahasia klien
pada pihak-pihak yang tidak berkepentingan.
Klien juga memiliki hak mendapatkan penangananyang tepat dan sesuai
dari konselor yang berkompeten. Untuk menjamin perlindungan dan terpenuhinya
hak klien, maka dibuatlah suatu sistemetika yang mengatur hubungan konselor-
klien dan dijadikan pedoman dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai
tenaga profesional. Selain itu, sistem etika adalah ciri khas yang menandakanbahwa
bidang konseling merupakan pekerjaan profesional, karena carakerjanya
telahdiatur dalam kede etik yang jelas dan menjadi landasan kerja bagi konselor.
Sistem etika inilah yang menjadi standar tingkah laku yang didasarkan pada nilai-
nilai yang telah disepakati oleh badan yang menaunginya.
Hunsen (dikutip dari Latipun, 2001) mengatakan bahwa nilai-nilai dalam
sistema etika diperoleh dari nilai-nilai masyarakat dan diterjemahkan ke dalam
bentuk cita-cita yang terstruktur dalam hubungar .nya dengan klien dan masyarakat.
Terjemahan nilai-nilai tersebut dirumuskan dalam bentuk "Kode Etik Profesi".

11
Setiap negara memiliki standar etika yang berbeda dalam menjalankan profesi
konselingnya. Pelanggaran terhadap kode etik dianggap sebagai tindakan
malpraktik yang pelakunya dapat dikenai sanksi.
Perhimpunan Psikologi Amerika (American Psychological Association=
APA) telah merumuskan kode etik yang berisi petunjuk dan standar etika dalam
psikologi yang disebut Ethical Standards of Psychologist. Di Indonesia kita
memiliki standar kode etik yang dibuat oleh HIMPSI (Himpunan Psikologi
Indonesia) yang masih disempurnakan sampai saat ini. Menurut Latipun (2001) ada
dua bentuk kode etik yang berlaku di Indonesia yaitu Kode Etik Konselor (1975)
dan Kode Etik Sarjana Psikologi (1991). Kode etik berisikan pasal-pasal yang
berkenaan dengan bagaimana seorang konselor harus bertindak dalam praktiknya
(pembasahan lebih lengkap terdapat pada bagian "Kode Etik Profesi di Indonesia").
Redilick dan Pope (dikutip dari Latipun, 2001) mengungkapkan tujuh pokok uraian
yang harus terdapat dalam kode etik yaitu:
1. Pekerjaan itu di atas segalanya dan tidak merugikan orang lain.
2.Praktik profesi itu hanya dilakukan atas dasar kompetensi.
3.Tidak melakukan eksploitasi.
4. Memperlakukan seseorang dengan respek untuk martabatnya sebagai manusia
5.Melindungi hal yang konfidensial.
6. Tindakan, kecuali dalam keadaan yang sangat ekstrem, dilakukan hanya setelah
mendapat izin.
7.Praktik profesi merupakan kerangka pekerjaan sosial dan keadilan.
permasalahan etis juga menyangkut tentang tanggung jawab dalam hal ini, para
konselor bertanggung jswab mengemban kode etiknya. Tanggung jswab tersebut
meliputi tanggung jawab terhadap masyarakat, tanggung jawab terhadap profesi
dan terutama tanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Pembahasan lebih lanjut mengenai masalah etis dalam praktik konseling akan
diuraikan dalam empat bagian, yaitu tanggung jawab konselor, kompetensi
konselor, langkah-langkah membuat keputusan etis, dankode etik profesi di
Indonesia. Berikut penjelasannya.

12
G. Tanggung Jawab Konselor
konselor memikul tanggungjawab terhadap klien, keluarga klien,
masyarakat, profesi, dan dirinya sendiri. Tanggung jawab utama konselor terbagi
atas dua bagian, yaitu dalam konteks bantuan serta tanggung jawab moralnya dalam
pelaksanaan kode etik. Semua tanggung jawab tersebut diarahkan pada satu tujuan
yaitu memenuhi kebutuhan klien serta mensejahterakan klien secara psikologis.
Menurut Ivey, dkk. (dikutip dari Mappiare, 2002) tanggung jawab etis seorang
konselor adalah berbuat tanpa merugikan klien atau masyarakat. Adapun tanggung
jawab konselor antara lain:
1. Menjaga Kerahasiaan (Konfidensialitas)
Menurut Caroll (dikutip dari Latipun, 2001) kerahasiaan (konfidensialitas)
berhubungan dengan pengendalian informasi yang diterima dari seseorang.Sebuah
informasi dikatakan konfidensial jika dianggaptidak perlu diketahui pihak lain
sehingga seharusnya tidak disampaikan kepublik. Konselor bertanggung jawab
menjaga kerahasiaan ini untukmenjaga kepercayaan klien terhadapnya serta
menjamin Konselor perlindungan rasa aman klien. bertanggung jawab adalah
menentukan batas-batas kerahasiaan yang mencakup tingkat kerahasiaan yang
dapat dijanjikan.
Batas-batas kerahasiaan ini harus mempertimbangkan kepentingan lembaga
tempatnya bekerja dan kepentingan kliensendiri.Corey (2009) mengatakan bahwa
kerahasiaan tioak dapat dianggap mutlak karena adakalanya informasi yang
diberikan oleh klien harus diberitahukan kepada pihak lain, misalnya klien
membahayakan dirinya sendiri atau orang lain (pelajari kembali Bab 10 bagian
"Kerahasiaan dalam Kelompok"). Corey (2009) menambahkan bahwa penggunaan
tape recorder atau pita video adalah bagian dari menjamin kerahasiaan informasi
klien. Konselor harus meminta izin terlebih dahulu kepada klien sebelum
menggunakan peralatan tersebut Hasil rekaman tersebut hanya boleh didiskusikan
dengan rekan seprofesi yang membantu konselor mengatasi permasalahan klien.

13
Monro (dikutip dari Latipun, 2001) menegaskan bahwa dalam menjaga kerahasiaan
klien, seorang konselor harus memerhatikan hal-hal berikut:
a. Konselor perlu menyampaikan kedudukan klien dalem hubungannya dengan
kerahasiaan. Misalnya, klien mengetahui bahwa pada beberapa pembicaraan
tertentu, konselor akan melibatkan staf yang ada di tempat konselor bekerja.
b. Meminta izin klien ketika korselor memerlukan keterangan dari pihak
keluarganya atau pihak yang lain.
c. Apabila klien meminta agar informasi dirahasiakan, maka konselor harus
menghargai permintaan tersebut.
d. Apabila kerahasiaan tidak dapat dijamin karena adanya tuntutan hukum atau
pertimbangan lain, maka konselor harus memberitahukannya kepada klien.
e. Catatan hasil wawancara diusahakan sedikit mungkin. Dan setelah tidak
diperlukan hendaklah konselor memisahkannya.
f. Menciptakan suasana yang menjamin kerahasiaan informasi klien.
g. Kerahasiaan harus dihargai karena merupakan bagian dari kode etik profesional.

Aspek kerahasian ini telah tertuang dengan jelas pada rumusan kode etik konselor
indonesia tentang kegitan profesional. Adapun salah satu poin tersebut berbunyi
"Adalah kewajiban konselor untuk memegang kerahasian klien. Kewajiban ini
tetap berlaku walaupun dia tidak lagi menangani klien atau tidak lagi berdinas
sebagi konselor". Oleh karena itu, konselor tetap haris menjaga kerahasian
informasi klien. latipun (2001) mengungkapkan bahwa informasi klien hanya dapat
diberikan kepada:
a.Pihak yang berwenang yaitu berhubungan langsung dengan tujuan pemberian
jasa psikologis.
b. Berwenang secara langsung terhadap klien.
c. pihak ketiga apabila informasi klien diperlukan untuk kepetingan umum.

14
2. Memiliki Kompetensi
Latipun (2001) mengatakan bahwa kompetensi mengacu pada batas-batas
kewenangan dalam menjalankan tugas-tugas profesional. Artinya adalah konselor
yang efektif tidak akan menggunakan treatment yang berada di luar lingkup
kewenangan dan kemampuan yang dimilikinya. Kewenangan ini telah diatur dalam
kode etik dan menjadi kewajiban bagi konselor untuk menaatinya. Corey (2009)
mengatakan bahwa sampai sejauh ini belum ada standar yang jelas dan menegaskan
bagaimana seorang konselor dinyatakan kompeten terhadap profesinya. Setiap
negara memiliki perbedaan dalam menetapkan standar kompetensi ini. Masalah
yang muncul kemudian adalah apabila sertifikat, ijazah, dan gelar merupakan tanda
kompetensi konselor, mengapa masih ada ditemukan konselor yang tidak efektif
dalam praktiknya tetapimemiliki gelar dan sertifikat yang sah. Kompetenai
profesional di sesuaikan dengan bidang-bidang yang dipelajafi oleh konselor secara
formal. Jadi apabila konselor menghadapi klien di luar bidang yang dipelajarinya,
konselor harus merujuknya kepada konselor atau pihak lain yang dipandang lebih
berkompeten dan mengetahui permasalahan klien secara jelas dan mengerti
bagaimana mengatasinya. Konselor yang tetap memaksakan diri menangani klien
yang tidak sesuai dengan bidang yang dipelajari akandianggap melakukan tindakan
malpraktik meskipun ia dapat melakukan dan menyebut tindakannya sebagai
tindakan profesional.
Konselor harus menyadari bahwa tindakan malpraktik hanya akan
merugikan klien. Di satu sisi, permasalahan klien tidak akan dapat ditangani secara
efektif dan optimal dan di sisi yang lain konselortelah terjebak dalam rasa bersalah
karena tidak dapat membantu mengatasi masalah klien. Masalah yang lebih parah
adalah apabila klien berpandangan bahwa praktik konseling bukanlah alternatif
untuk memecahkan masalahnya. Hal ini dapa. saja terjadi pada klien yang tidak
merasakan manfaat konseling dari konselor yang tidak kompeten.
Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang dapat merugikan klien, maka
Durlop (dikutip dari Latipun) menyarankan bahwa seorang konselor harus terus-
menerus melihat dan mengevaluasi dirinya dengan status kemampuan dan

15
kompetensinya, karena salah satu ciri pekerjaan profesional adalah dapat
memonitor praktik profesinya.
Konselor sebaiknya juga melakukan konsultasi atau berbagi (sharing)
dengan rekan seprofesi yang berpengalaman. Melalui konsultasi dan sharing ini
diharapkan konselor memperoleh umpan balik dan pemahaman terhadap tindakan
apa yang seharusnya dilakukan untukmenangani klien. Selain itu, konselor juga
dapat mengikuti berbagai macam bentuk pelatihan, pendidikan dan supervisi yang
dapat melatih kemampuan dan menambah wawasannya. Latihan yang terus-
menerus akan semakin menumbuhkankematangan dantanggung jawab pada diri
konselor untuk memberikan penanganan yang baik pada kliennya. Hal ini juga akan
meningkatkan kepercayaan dirinya sebagai konselor yang berkompeten (Corey,
2009).
3. Nilai Hidup Konselor
Nilai-nilai hidup adalah permasalahan etis yang kerap muncul dalam
konseling apabila konselor tidak bijaksana dan bersikap kaku memegang nilai
hidupnya, maka ia akan tampil sebagai konselor yang selalu menyalahkan nilai
hidup klien. konselor terlalu fanatik terhadap nilai hidul yang dianutnya
mengantarkan kesulitan memahami masalah klien. Hal ini akan menemukan jalan
buntu yang akhirnya mau tidak mau harus mengakhiri konseling tanpa hasil yang
jelas.
Masing-masing individu memiliki nilai hidup yang khas dan berbeda satu
sama lain. Pertentangan nilai hidup konselor dan klien akan menyulitkan
pengambilan keputusan yang bersifat moral. Untuk itulah, konselor harus dapat
menyelaraskan niiai hidup klien dengan nilai hidup yang berlaku di masyarakat.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara membantu klien mengenalkan nilai-nilai yang
dianutnya melalui mengonfrontasikannya dengan kenyataan yang ada di
masyarakat. Hal ini akan menyadarkan klien bahwa kehidupan klien bukanlah
untuk dirinya sendiri, akan tetapi berhadapan dengan nilai sosial budaya yang
sangat luas.

16
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara sadar atau tidak konselor akan
memasukkan nilai-nilai bidupnya dalam proses konseling. Hal ini akan
memengaruhi pembuatan keputusan dan tingkah laku klien yang diharapkan terjadi.
Corey (2009) menyatakan bahwa konselor yang peka adalah konselor yang sadar
atas nilai-nilainya sendiri dan mendorong kliennya mengembangkan nilai-nilainya
sendiri. Konselor harus waspada terhadap tindakan memanipulasi klien karena hal
ini hanya akan menjadikan klien bersikap pasif tanpa berusaha menemukan nilai
hidupnya sendiri. Monro dkk. (dikutip dari Latipun, 2001) mengemukakan
beberapa pedoman umum yang dapat inembantu konselor mengatasi masalah yang
berkaitan dengan nilai-nilai hidup, antara lain:
∙ Setiap individu bernak menentukan arah hidupnya.
∙ Konselor harus jujur pasa dirinya sendiri dengan tidak meninghalkan nilai sosial,
moral dan agama yang dianutnya. konselor harus mengenal dirinya sendiri dan
mengukuti nilai tersebut secara jujur.
∙ Tugas konselor adalah membantu klien mengenal nilai hidupnya serta mengambil
keputusan dan menetapkan identitas dirinya.
∙ Konselor hendaknya membantu klien agar dapat menyalurkan pendapat atau sikap
mereka melalui cara yang baik. Setelah itu konselor menanggapi secara jujur
apakah pendapat dan sikap mereka tepat atau tidak.
∙Konselor tidak boich memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada klien.
∙ Konselor tidak menentukan sesuatu itu benar atau salah akan tetapi memberikan
dorongan agar klien dapat menilai sendiri sikap, norma dan tindakannya secara
objektif.
∙Konselor jangan mencoba untuk menghapus kenyataan yang dirasakan klien
dergan menyarankannya tidak memandang tingkah lakunya sebagai
penyimpangan.
∙ Konselor tidak melakukan konseling dalam pengasingan.
∙ Apabila diperkenankan memberi penilaian, maka penilaian konselor harus
mengarah pada tindakan dan bukan pada klien.

17
Melalui pedoman yang telah diuraikan tersebut, konselor diharapkan dapat
memenuhi tujuan konseling yaitu membantu klien menemukan prinsip nilainya
sehingga dapat bertindak sesuai dengan prinsip nilai tersebut.
4. Mengutamakan Kebutuhan Klien
Sama halnya dengan nilai hidup, konselor juga tidak dapat melepaskan
kebutuhan pribadinya saat menangani klien Adakalanya konselor terjebak dalam
pikirannya sendiri dan secara tidak sadar sebenarnya hanya berupaya untuk
memenuhi kebutuhan pribadinya dan mengabaikan terpenuhinya kebutuhan klien.
Hal ini tentu sangat mengganggu proses konseling secara keseluruhan karena
tindakan apa pun yang dilakukan konselor semata-mata ditujukan untuk
memuaskan kebutuhannya sendiri dan melupakan kesejahteraan psikologis
klien.Pada dasarnya diperlukan kesadaran yang matang pada diri seorang konselor
untuk melihat dan mengenal dirinya lebih dalam.Hal ini penting karena melalui
kesadaran inilah, konselor memahami bahwa ada konflik-konflik, harapan, dan
kebutuhan pada dirinya yang belum tercapai, dan terselesaikan. Apabila hal ini
dibiarkan, maka secara tidak langsunh konselor telag menghalangi klien mencapai
perubahan, karena terus menerus menggunakan klien menggunakan klien untuk
memuaskan kebutuhannya sendiri.
Untuk itulah konselor diharapkan mampu menangani masalah pribadinya
sehingga tidak memproyeksikan diri kepada klien. (Corey, 2009). Dalam hal ini
APA(American Psychological Association) menegaskan bahwa dalam hubungan
konseling, tidak dibenarkan masalah pribadi mengakibatkan pelayanan profesional
yang buruk dan merugikan klien, atau apabila konselor sadar atas masalah
pribadinya, maka ia harus mencari bantuan profesional yang kompeten guna
menentukan apakah ia dapat melanjutkan atau harus mengakhiri pelayanan
terhadap kliennya.
Selain permasalahan pribadi yang telah disebutkan di atas, ada beberapa
aspek lain dari kepribadian konselor yang dapat memengaruhi hubungan konseling
dan merugikan klien. Corey (2009) menyebutkan aspek-aspek tersebut antara lain:
∙ Kebutuhan akan kendali dan kekuasaan.

18
∙ Kebutuhan untuk membantu dan memelihara.
∙ Kebutuhan untuk mengubah orang lain.
∙ Kebutuhan untuk mengajari/berkhotbah.
∙ Kebutuhan untuk membujuk dan menasehati.
∙ Kebutuhan untuk inerasa mampu dan berguna.
∙ Kebutuhan untuk dihormati dan dihargai.
Kebutuhan-kebutuhan semacam ini sebenarnya hanya untuk mendapatkan
kepuasan pribadi dan perasa in berarti di hadapan klien. Kebutuhan ini tidak bersifat
neurotik atau destruktif. Akan tetapi, alangkah baiknya apabila konselor yang
menangani masalah klien telah terbebas dari permasalahan tersebut, sehingga
ketika memasuki hubungan konseling ia tampil menjadi pribadi yang terintegrasi
dan kebutuhannya telah terpenuhi. Hal ini akan membuatnya mampu
mengutamakan kebutuhan klien dan tidak membuat klien dependen terhadapnya.
Apabila hal ini dilakukan, maka munculnya masalah etis dalam konseling akan
dapat dicegah sehingga konselor fokus terhadap klien.

H. Langkah-langkah Membuat Keputusan Etis


Membuat keputusan dalam konseling adalah hal yang sangat menentukan
dan puncak dari pelaksanaan konseling. Untuk itulah konselor harus peka dalam
membuat keputusan. Ada langkah-langkah yang wajib dilalui oleh konselor untuk
sampai pada pengambilan keputusan. Coreydkk. (dikutip dari Lesmana, 2005)
mengidentifikasikan langkah-langkah yang dapat membantu konselor memahami
masalah etis yang muncul dalam proses konseling, yaitu:
1. Lakukan Identifikasi masalah melalui pengumpulan informasi yang dapat
memberi penjelasan tentang. masalah secara keseluruhan. Hal ini akan
mengarahkan konselor untuk menentukan apakah masalah ini merupakan masalah
etis, legal, profesional, klinis, atau moral.
2. Lakukan identifikasi terhadap isu-isu potensial. Konselor harus menilai hak,
kewajiban, dan kesejahteraan pihak-pihak yang terlibat dalam situasi konseling.

19
3. Lihatlah kode etik yang relevan dengan permasalah klien. Hal ini akan membantu
konselor menentukan apakah nilai dan etika yang dianut sejalan atau tidak sesuai
dengan kode etik.
4. Pahami hukum dan aturan yang berlaku apalagi yang berkaitan dengan dilema
etis.
5. Carilah referensi lebih dari satu sumber untuk mendapatkan gambaran perspektif
mengenai dilema tersebut. Selain itu lakukan konsultasi dengan para profesional
yang memahami isu yang terdapat pada permasalahan klien.
6. Lakukan brainstorming mengenai berbagai macam tindakan yang dapat
dijalankan. Kemudian lanjutkan dengan mengonsultasikannya dengan profesional
lain. Jangan lupa menyertakan klien dalam proses memilih tindakan tersebut.
7.Jelaskan pada klien tentang konsekuensi dari berbagai mavam tindakan yang
diambil.
8. Tentukan langkah yang kemungkinannya paling baik dan bisa dilakukan oleh
klien. Setelah tindakan dilaksananakan, maka lakukanlah evaluasi terhadap
hasilnya dan tentukan kembali apakah diperlukan tindakan selanjutnya.
Penyusunan langkah etis memerlukan pemikiran yang matang. Oleh karena
itu, konselor jangan terburu-buru mengambil keputusan dan hanya bersandarkan
pada penalaran pribadi semata. Jadikenlah kode etik sebagai alat bantu dan
pandangan rekan seprofesi sebagai sumber perspektif yang baru. Hal ini akan
menjadikan proses pengambilan keputusar menjadi lebih cermat, sehingga isu-isu
etis yang terkandung di dalamnya dapat disikapi secara bijaksana.

I. Kode Etik Profesi Di Indonesia


Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa konseling sebagai
wadah bantuan profesional memiliki kode etik yang wajib dipatuhi oleh para
konselor. Saat ini, di Indonesia para konselor mengacu pada kode etik yang dibuat
oleh HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) .Ada sanksi yang telah ditetapkan
oleh HIMPSI bagi pihak-pihak yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan
dalam kode etik ini. Akan tetapi,sampai saat ini sanksi tersebut belum ditegakkan

20
dengan tegas. Hal ini perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, kualitas konseling
sebagai media pemecah masalah masyarakat.

21
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Terminasi adalah istilah yang kerap kali digunakan sebagai kata ganti dari
mengakhiri atau menghentikan proses konseling. Penyebab terjadinya terminasi adalah
Apabila proses konseling telah usai di mana tujuan-tujuanyang ingin dicapai telah
terjadi, maka pada saat itulah terminasi dilakukan. Jenis-jenis terminasi yaitu terminasi
pada akhir sesi juga terminasi pada akhir proses konseling. Langkah-langkah terminasi
terdiri dari, persiapan: verbal, membuka jalur untuk kemungkinan follow-up, pamit
secara formal (formal leave taking). Juga kemungkinan terjadinya Fenomena
overtreatment dan undertreatment. Masalah etis yang muncul antar konselor dan klien
yang akan memberikan perlindungan terhadap klien atas kesediannya mempercayakan
masalahnya untuk ditangani. Juga tanggung jawab seorang konselor, benerapa
diantaranya yaitu, menjaga kerahasiaan, memiliki kompetensi, juga nilai hidup
konselor, dan mengutamakan kebutuhan klien. Juga sebagai seorang calon-calon
konselor, kita harus mematuhi aturan kode etik profesi yang telah kita pelajari
sebelumnya.

B. Saran

Semoga setelah dengan adanya penjelasan tentang terminasi dalam konseling serta
masalah etis dalam Konseling, bertambahlah pengetahuan kita tentang ranah psikologi
konseling ini. Semoga menambah mafaat bagi yang membaca dan memahaminya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Lubis, N. L. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik


(Pertama). Kencana.

Pane, Riem Malini. (2017). Terminasi Hubungan Konseling .Hikmah. 11(2)

Pedu, yoseph (2020). Isu-isu penggunaan Tes Psikologi Dalam Bimbingan Konseling.
Jakarta. Seminar Nasional Daring IIBKIN.

23

Anda mungkin juga menyukai