Anda di halaman 1dari 20

LANGKAH-LANGKAH DAN TEKNIK-TEKNIK BIMBINGAN

KONSELING
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah
Bimbingan Konseling
Dosen Pengampu: Bapak Selamet, S.Pd.I., M.Pd.I

Disusun Oleh Kelompok 5:

M. Hilmi Fauzan Rahmat Triadi (2103004043)


Nadilla Noor Fitriyani (2103003896)

SEMESTER 5-A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)
CIAMIS-JAWA BARAT
TAHUN 2023
Jln. Kyai Haji Ahmad Fadlil 1, Cijeungjing, Dewasari, Kec. Ciamis, Kab. Ciamis, Jawa Barat
46271
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang paling indah selain puji syukur kepada Allah Swt. atas
segala rahmat, hidayah, dan inayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Langkah-langkah dan
Teknik-teknik Bimbingan Konseling” dengan tepat waktu. Selawat dan salam
semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw. Rasul Allah yang
telah menyebarkan agama Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Selamet, S.Pd.I., M.Pd.I.
selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Bimbingan Konseling (BK) yang telah
memberikan tugas ini, sehingga penyusun dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait Langkah-langkah dan Teknik-teknik Bimbingan Konseling. Selain
itu, ucapan terimakasih juga penyusun sampaikan kepada berbagai pihak yang telah
berkontribusi demi terselesaikannya makalah ini.
Terlepas dari itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan penyusunan
makalah di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi bagi pembaca.

Ciamis, 18 Oktober 2023

Penyusun,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penyusunan ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Menciptakan Hubungan Baik dengan Konseli............................................. 3
B. Komunikasi dan Jenis Komunikasi Nonverbal ............................................ 5
C. Penampilan Konselor dalam Proses Konseling............................................ 9
D. Senyum dan Empati dalam Ranah Konseling .............................................11
E. Kriteria Keberhasilan Konseling ................................................................ 13
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 15
A. Kesimpulan ................................................................................................ 15
B. Saran........................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bimbingan konseling pada hakikatnya berkaitan dengan usaha konselor
dalam membantu konseli, baik itu menyangkut masalah pribadi atau pun terkait
potensi yang dimilikinya. Dalam melakukan pelayanan, konselor akan
dihadapkan pada karakteristik serta latar belakang konseli yang berbeda-beda.
Begitu pula dalam lingkup konseling, seorang konselor akan memberikan
penyelesaian masalah yang berbeda pula karena disesuaikan dengan kebutuhan
dan tugas-tugas perkembangan konselinya. Dengan demikian agar konselor
mampu memberikan bantuan secara optimal, maka ia harus mengetahui
langkah-langkah serta teknik-teknik dalam bimbingan konseling. Melalui
uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam bimbingan dan konseling terdapat
langkah-langkah serta berbagai teknik, namun fokus pembahasan dalam
makalah ini lebih menitikberatkan pada ranah konseling.
Dalam proses konseling, langkah-langkah serta teknik-teknik yang
dimaksud salah satunyua mengenai teknik rapport atau bagaimana konselor
menciptakan hubungan baik dengan konseli. Selanjutnya, perlu diperhatikan
juga aspek komunikasi dalam layanan konseling yang mencakup komunikasi
verbal dan nonverbal. Antara kedua jenis komunikasi ini, yang banyak
digunakan orang-orang serta berpengaruh besar dalam proses konseling adalah
komunikasi nonverbal. Pada komunikasi ini terdapat berbagai jenis dengan
makna yang berbeda pula.
Selain teknik rapport, ada yang dinamakan dengan teknik empati. Teknik
ini bekerja bersamaan dengan salah satu tingkah laku nonverbal, yaitu
“senyum”. Senyum dan empati dikatakan bekerja bersamaan karena keduanya
sama-sama berperan dalam setiap tahapan konseling, mulai dari tahap awal
sampai pada tahap akhir konseling.
Setelah diketahui beberapa langkah serta teknik yang harus diperhatikan
konselor, selanjutnya masuk pada bagian akhir konseling, yaitu mengenai
“kriteria keberhasilan konseling”. Kriteria keberhasilan konseling diartikan

1
sebagai tolak ukur dari pengaruh konseling yang dilakukan antara konselor
dengan konseli. Terkait kriteria tersebut dapat diketahui melalui perubahan
tingkah laku konseli setelah melakukan layanan konseling. Namun, faktor ini
bukan merupakan satu-satunya tolak ukur keberhasilan konseling, karena
kriteria keberhasilan konseling tidak hanya dipandang dari sisi konseli.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana menciptakan hubungan baik dengan konseli?
2. Bagaimana komunikasi dan jenis komunikasi nonverbal?
3. Bagaimana penampilan konselor dalam proses konseling?
4. Bagaimana senyum dan empati dalam ranah konseling?
5. Bagaimana kriteria keberhasilan konseling?
C. Tujuan Penyusunan
1. Untuk mengetahui menciptakan hubungan baik dengan konseli.
2. Untuk mengetahui komunikasi dan jenis komunikasi nonverbal.
3. Untuk mengetahui penampilan konselor dalam proses konseling.
4. Untuk mengetahui senyum dan empati dalam ranah konseling.
5. Untuk mengetahui kriteria keberhasilan konseling.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Menciptakan Hubungan Baik dengan Konseli


Dalam bimbingan konseling, seorang konselor harus mempertimbangkan
teknik yang digunakan. Hal ini sejalan dengan pendapat E.G Williamson yang
memiliki pandangan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan (Loekmono,
2016 dalam Tarigin, 2021: 68). Salah satu teknik yang harus diperhatikan dalam
bimbingan konseling adalah bagaimana seorang konselor mampu menciptakan
hubungan baik dengan konseli. Istilah yang biasa digunakan dalam konteks
membangun hubungan pada konseling adalah rapport.
Menurut Willis, rapport adalah hubungan yang ditandai dengan
keharmonisan, kecocokan, dan saling tarik-menarik yang dilandasi oleh
persetujuan, kesejajaran, kesukaan dan persamaan (Lubis, 2011: 76). Rapport
juga berkaitan dengan kehangatan dan penerimaan yang ditujukan agar konseli
tidak merasa terancam ketika berhubungan dengan konselor (Hirmaningsih,
2015: 75). Penggunaan istilah konselor dalam lingkup pendidikan ditujukan
bagi guru BK sedangkan konseli merupakan siswa atau peserta didik.
Seperti yang telah diketahui, rapport berkaitan erat dengan keharmonisan
dan kehangatan. Oleh karena itu, seorang konselor (guru BK) harus bersikap
ramah, hangat, serta menghindari sikap penerimaan yang negatif terhadap
konseli (Tarigan, 2021: 68). Hal demikian harus dilakukan konselor karena
apabila diibaratkan, konselor merupakan tuan rumah dan konseli merupakan
tamu yang diharapkan kedatangannya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya sang
tuan rumah menyambut tamunya dengan hangat dan akrab untuk memberikan
kenyamanan kepada tamu tersebut. Sama halnya dalam hubungan konseling,
konseli merupakan tamu istimewa yang harus disambut dan diperlakukan
dengan baik, karena sikap tersebut merupakan pondasi bagi terbangunnya
hubungan antara konselor dengan konseli (rapport) (Lubis, 2011: 77).
Secara umum proses konseling memiliki empat tahapan sebagaimana
dinyatakan Brammer, Abrego, dan Shostrom (Ulfiah, 2020 dalam Wulaisfan,
dkk, 2023: 70). Empat tahapan tersebut diantaranya: membangun hubungan,

3
identifikasi dan penilaian masalah, memfasilitasi perubahan terapeutik, serta
evaluasi dan terminasi. Melalui tahapan tersebut, dapat diketahui bahwa
langkah awal dalam bimbingan konseling adalah keterampilan konselor dalam
membangun hubungan dengan konseli (Wulaisfan, dkk, 2023: 70). Oleh karena
itu, seorang konselor harus memperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Reputasi konselor. Dalam hal ini, konselor harus memperhatikan bagaimana
pendapat dirinya di mata konseli, apakah termasuk kategori baik atau buruk
dalam segi pelayanannya.
2. Penghargaan dan perhatian konselor kepada konseli. Seorang konselor
diharapkan dapat menghargai dan memberikan perhatian kepada konseli.
Hal tersebut ditujukan agar konseli merasa nyaman ketika melakukan
konseling.
3. Kemampuan konselor dalam menyimpan rahasia, termasuk hasil-hasil
konseling dengan konseli sebelumnya. Seperti yang telah diketahui, bahwa
salah satu asas dalam bimbingan konseling adalah asas kerahasiaan, yang
berarti setiap konselor harus amanah dalam mengemban tugasnya (Tarigan,
2021: 68-69).
Penyelenggaraan konseling dapat dilakukan atas inisiatif konselor, yang
diawali dengan kegiatan pendahuluan oleh konselor itu sendiri. Kegiatan
tersebut dilakukan dalam bentuk aplikasi instrument dengan maksud
menemukan individu bermasalah. Berkaitan dengan hal ini terdapat tahapan
proses konseling yang sedikit berbeda dengan tahapan sebelumnya. Tahapan-
tahapan tersebut antara lain:
a. Identifikasi masalah
b. Pengumpulan data
c. Analisis data
d. Diagnosis (penetapan masalah yang dihadapi anak serta latar belakangnya)
e. Prognosis (penetapan jenis bantuan yang dilakukan)
f. Terapi (pelaksanaan bantuan itu sendiri)
g. Evaluasi dan follow up (penilaian atau mengetahui sejauh mana terapi yang
dilakukan mencapai hasilnya) (Wulaisfan, dkk, 2023: 70).

4
Selanjutnya dalam melakukan konseling dengan konseli, seorang konselor
harus mengetahui langkah-langkah dalam menciptakan hubungan baik dengan
konseli agar permasalahan dapat terpecahkan. Hal tersebut meliputi:
1) Menerima konseli secara ikhlas tanpa membeda-bedakannya. Konselor
harus menerima konseli secara ikhlas dan menerima apa adanya. Dalam hal
ini, konselor harus menunjukan sikap yang ramah dan bersahabat.
2) Menumbuhkan kepercayaan konseli. Menumbuhkan kepercayaan konseli
kepada konselor merupakan bagian penting dalam menciptakan hubungan
yang baik dengan konseli. Dalam diri konseli harus tertanam pandangan
bahwa konselor dapat membantu memecahkan masalah konseli, serta
konseli harus percaya bahwa segala rahasianya terjamin.
3) Mewujudkan keterbukaan diri. Dalam konseling, kadang-kadang konseli
tidak terbuka dan menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya. Apabila hal
tersebut terjadi, maka proses konseling menjadi sulit serta menimbulkan
kesalahan diagnosis (Saam, 2014: 13).
Dengan demikian, penyusun simpulkan bahwa konselor yang dapat
membangun atau menciptakan hubungan baik dengan konseli akan mencapai
proses konseling dengan hasil yang baik pula.
B. Komunikasi dan Jenis Komunikasi Nonverbal
1. Pengertian Komunikasi
Kehidupan ini tidak dapat lepas dari yang namanya komunikasi.
Manusia yang merupakan makhluk sosial, hanya dapat hidup berkembang
dan menjalin hubungan dengan sesamanya melalui komunikasi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hampir semua kegiatan manusia berkaitan
dengan komunikasi (Kurniati, 2016: 3).
Richard West dan Lynn H. Turnur menyatakan bahwa komunikasi
merupakan proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-
simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam
lingkungan mereka (West, tanpa tahun: 200 dalam Kurniati, 2016: 3-4).
Komunikasi juga berkaitan dengan proses memberi dan menerima berbagai
makna di antara dua orang (Al- ‘Aththar, 2012 dalam Kurniati, 2016: 4).

5
Berdasarkan uraian di atas, menurut penyusun komunikasi dimaknai
sebagai proses pertukaran informasi antara komunikator dengan komunikan
yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung (melalui media) dengan
tujuan memberikan pengaruh komunikasi serta umpan balik informasi.
Dalam prosesnya, komunikasi itu sendiri memiliki beberapa unsur, yang
meliputi: pengirim pesan (komunikator), penerima pesan (komunikan),
saluran/media, pesan itu sendiri, serta timbal balik terhadap pesan yang
diterima. Hal ini sejalan dengan pendapat David K. Berlo yang membuat
formula komunikasi dengan sebutan “SMCR” yang berarti: Source
(pengirim), Message (pesan), Channel (saluran media) dan Receiver
(penerima) (Fajar, 2009 dalam Kurniati, 2016: 4).
a. Komunikator, merupakan orang yang menyampaikan pesan kepada
seseorang atau sejumlah orang (Efendi, 2006 dalam Kurniati, 2016: 4).
Komunikator bisa berjumlah satu orang atau lebih (massa).
b. Komunikan adalah orang yang menerima pesan dari komunikator
(Efendi, 2006 dalam Kurniati, 2016: 4). Peran antara komunikator dan
komunikan bersifat dinamis, dalam artian mereka bisa saling bergantian
memberikan pesan.
c. Pesan. Pesan yang disampaikan oleh pengirim kepada penerima dapat
dikemas secara verbal (kata-kata/lisan) atau pun nonverbal
(sandi/simbol) (Hardjana, 2003 dalam Kurniati, 2016: 4-5).
d. Saluran komunikasi. Merupakan alat yang digunakan untuk
memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Dalam hal ini dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) Non mediated communication
(secara langsung), (2) melalui media. Pada komunikasi secara langsung
(face to face), akan terjadi aktifitas komunikasi antara komunikan
dengan komunikator, seperti diskusi panel, rapat, ceramah, dan lain-lain.
Sedangkan komunikasi dengan media, dapat dilakukan melalui media
massa dan non media massa. Komunikasi melalui media massa dapat
dilakukan secara periodik melalui elektronik berupa radio, TV, film atau
pun melaui media cetak seperti surat kabar dan majalah. Komunikasi

6
secara non periodik dapat dilakukan melalui manusia seperti SPG dan
juru kampanye (Kurniati, 2016: 5).
e. Efek komunikasi. Efek komunikasi merupakan pengaruh yang
ditimbulkan pesan dari komunikator dalam diri komunikan, yang berupa
efek kognitif (seseorang menjadi tahu sesuatu), afektif (sikap seseorang
terbentuk) dan konatif (tingkah laku, hal yang membuat seseorang
bertindak melakukan sesuatu) (Bahanan, 2005 dalam Kurniati, 2016: 5-
6).
f. Umpan Balik. Umpan balik dapat diartikan sebagai jawaban dari
komunikan terhadap pesan yang telah disampikan komunikator. Pada
komunikasi yang dinamis, komunikator dan komunikan terus menerus
saling bertukar peran (Kurniati, 2016: 6).
2. Pengertian dan Jenis Komunikasi Nonverbal
Manusia berkomunikasi menggunakan kode verbal dan nonverbal.
Kode nonverbal disebut juga sebagai isyarat (silent language). Melalui
komunikasi nonverbal kita bisa mengetahui suasana emosional seseorang,
apakah ia sedang bahagia, marah, bingung, atau sedih. Kesan awal kita
mengenal seseorang sering didasarkan pada perilaku nonverbalnya, yang
mendorong kita untuk mengenal lebih jauh. Komunikasi nonverbal adalah
semua isyarat yang bukan kata-kata. Pesan-pesan nonverbal sangat
berpengaruh terhadap komunikasi. Pesan atau simbol-simbol nonverbal
sangat sulit ditafsirkan daripada simbol verbal. Bahasa verbal sealur dengan
bahasa nonverbal, contohnya ketika kita mengatakan “ya” pasti kepala kita
mengangguk. Komunikasi nonverbal lebih jujur mengungkapkan hal yang
ingin diungkapkan karena bersifat spontan (Nugroho, 2010 dalam Kurniati,
2016: 12).
Komunikasi nonverbal jauh lebih banyak dipakai daripada komunikasi
verbal. Komunikasi nonverbal memiliki beberapa jenis, diantaranya:
a. Sentuhan
Sentuhan (tactile message) adalah bentuk pesan nonverbal, nonvisual,
dan nonvokal. Kulit yang merupakan alat penerima sentuhan, dikatakan
mampu menerima dan membedakan berbagai emosi yang disampaikan

7
orang (melalui sentuhan). Salah satu contoh komunikasi melalui
sentuhan adalah kasih sayang (mothering) (Kurniati, 2016: 13-14).
b. Komunikasi Objek
Penggunaan komunikasi objek yang paling sering yaitu dalam
penggunaan pakaian. Biasanya, penilaian terhadap seseorang dilihat
(dinilai) melalui jenis pakaian yang digunakan, walaupun penilaian ini
hanya berdasarkan persepsi. Contohnya dapat kita lihat pada
penggunaan seragam oleh pegawai perusahaan, yang menyatakan
identitas perusahaan tersebut (Kurniati, 2016: 14).
c. Kronemik
Kronemik merupakan bagian komunikasi nonverbal yang berkaitan
pada penggunaan waktu, serta peranan budaya dalam konteks tertentu.
Contohnya sikap mahasiswa dalam menggunakan waktu. Melalui aspek
tersebut, kita dapat menilai bagaimana mahasiswa memanfaatkan dan
menggunakan waktunya secara tepat dan efektif (Kurniati, 2016: 14).
d. Gerakan Tubuh (Kinestetik)
Gerakan tubuh biasanya digunakan untuk menggantikan suatu kata atau
frasa. Beberapa bentuk dari kinestetik yaitu:
1) Emblem (Gerakan yang dapat diterjemahkan langsung secara
verbal).
2) Illustrator (Gerakan sebagai gambaran/memperkuat pesan).
3) Affect Display (ekspresi wajah yang memperlihatkan ekspresi dan
emosi).
4) Regulator (gerakan nonverbal sebagai respon terhadap pembicaraan
orang).
5) Adaptor (Gerakan tubuh untuk memuaskan kebutuhan fisik dan
mengendalikan emosi) (Kurniati, 2016: 14-15).
e. Proxemik
Proxemik atau dikatakan sebagai bahasa ruang, merupakan jarak yang
digunakan ketika berkomunikasi dengan orang lain, termasuk juga
tempat atau lokasi. Dalam hal ini, pengaturan jarak menentukan

8
seberapa dekat tingkat keakraban seseorang dengan orang lain
(Kurniati, 2016: 16).
f. Lingkungan
Lingkungan dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
tertentu. Diantaranya adalah penggunaan ruang, jarak, temperatur,
penerangan, dan warna (Kurniati, 2016: 17).
g. Vokalik
Vokalik atau paralanguage adalah unsur nonverbal dalam sebuah
ucapan, yaitu cara berbicara. Misalnya: nada bicara, nada suara, keras
atau lemahnya suara, kecepatan berbicara, kualitas suara, intonasi, dan
lain-lain (Kurniati, 2016: 17).
C. Penampilan Konselor dalam Proses Konseling
Proses konseling tidak lepas dari bahasa tubuh yang disampaikan konselor.
Hal ini berkaitan dengan penampilan konselor itu sendiri. Berikut adalah
beberapa dimensi dari bahasa tubuh yang meliputi ekspresi wajah, fokus
pandangan, kontak mata, gerakan, posisi tubuh, kedekatan (jarak), serta
pakaiannya (Mulawarman, 2020: 15).
1. Konselor mengemas ekspresi wajah yang sesuai ketika memberikan respon
terhadap konseli. Ekspresi wajah merupakan sarana utama dalam
menyampaikan pesan dari bahasa tubuh. Melalui ekspresi wajah, dapat
dilihat emosi seseorang, misalnya bahagia, terkejut, takut, sedih, marah, dan
sebagainya (Mulawarman, 2020: 15).
2. Konselor harus memiliki fokus pandangan yang tepat (ke arah konseli). Hal
demikian sebagai gambaran bahwa konselor memiliki perhatian terhadap
konseli, sehingga konseli merasa dihargai. Selain itu, dengan meletakkan
fokus perhatian ke arah konseli, konselor akan mengumpulkan banyak
informasi. Dalam mengumpulkan informasi, konselor tidak terbatas pada
pengamatan bahasa verbal, tetapi juga harus mampu mengamati dari bahasa
nonverbal yang ditunjukkan (Mulawarman, 2020: 15-16).
3. Konselor diharapkan melakukan kontak mata dengan konseli. Ketika
melakukan konseling, kontak mata perlu dilakukan. Kontak mata juga dapat
dimaknai sebagai bagian dari perhatian. Kontak mata yang dilakukan secara

9
tepat menunjukkan bahwa konselor hadir sepenuhnya (attending) untuk
konseli. Begitu juga, tatapan mata konseli dapat memberikan informasi
penting dalam proses konseling (Mulawarman, 2020: 16).
4. Konselor menunjukkan gerakan dalam porsi yang tepat. Gerakan tubuh
diberikan dengan tujuan untuk mendukung atau memperjelas kalimat yang
disampaikan. Misalnya ada konseli yang mengalami kesulitan dalam
menangkap makna atau maksud dari kalimat yang disampaikan, maka
konselor dapat membantunya dengan gerakan sebagai isyarat. Namun perlu
diperhatikan ketika melakukan gerakan, konselor tidak boleh berlebihan.
Misalnya melakukan gerakan yang tidak perlu dan justru membuat konseli
bingung, risih, atau bahkan terganggu (Mulawarman, 2020: 16).
5. Konselor mengatur posisi tubuh yang mendukung kenyamanan proses
konseling. Konselor perlu menata tempat duduk yang dapat membantunya
menunjukkan sikap penerimaan. Tempat duduk akan membantu konselor
dalam mengekspresikan kecondongan tubuh. Kecondongan tubuh konselor
juga merupakan isyarat yang dapat dimaknai oleh konseli. Misalnya, apabila
konselor duduk dengan menyandarkan punggung dan meletakkan
kepalanya di bagian belakang kursi, maka konselor terkesan tidak tertarik
atau tidak perhatian pada konseli (Mulawarman, 2020: 16-17).
6. Konselor harus mengatur dan menentukan kedekatan (jarak) yang tepat
dengan konseli. Jarak ini ditentukan dengan beberapa pertimbangan, salah
satunya adalah memungkinkan melakukan sentuhan (jika diperlukan).
Apabila jarak antara konselor dan konseli terlalu jauh, maka suasana akan
menjadi kaku. Bahkan kemungkinan akan terjadi beberapa kendala saat
sedang melakukan komunikasi, misalnya suara tidak terdengar dengan baik.
Dengan demikian, konselor harus pandai dalam mengatur jarak dengan
konseli (Mulawarman, 2020: 17).
7. Konselor mengenakan pakaian yang sesuai dengan konseli. Pakaian yang
digunakan oleh konselor merupakan sarana penyampaian pesan nonverbal,
karena di luar sesi konseling sekalipun, beberapa jenis pakaian memang
memiliki kegunaan dan makna masing-masing. Misalnya, baju takwa
identik digunakan pada acara keagamaan, baju batik identik dipakai untuk

10
menghadiri acara resmi, dan sebagainya. Dengan demikian, konselor harus
kritis dalam memilih baju yang akan dikenakan ketika memberikan layanan
kepada konseli (Mulawarman, 2020: 17).
8. Konselor mengemas penampilan dirinya agar enak di pandang dan menarik.
Penampilan juga dapat menjelaskan bagaimana karakter individu.
Penampilan ini dilihat secara keseluruhan, mulai dari tatanan rambut sampai
dengan ujung kakinya. Setidaknya konselor harus terlihat bersih, rapi, dan
teratur (Mulawarman, 2020: 17).
Selain dari aspek fisik (luar), penampilan konselor juga berkaitan dengan
kualitas pribadi konselor. Kualitas pribadi konselor merupakan faktor yang
sangat penting dalam konseling. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
kualitas pribadi yang dimiliki seorang konselor menjadi faktor penentu bagi
pencapaian konseling yang efektif. Kualitas pribadi konselor yang dimaksud
yakni berkaitan dengan beberapa karakteristik sebagai berikut: (a) pemahaman
diri, (b) kompeten, (c) memiliki kesehatan psikologis yang baik, (d) dapat
dipercaya, (e) jujur, (f) bersikap hangat, (g) responsif, (h) sabar, (i) sensitif/peka,
dan (j) memiliki kesadaran holistik atau mampu menyadari secara akurat
dimensi-dimensi yang kompleks (Hanifa, 2017: 13).
D. Senyum dan Empati dalam Ranah Konseling
Senyum merupakan salah satu bentuk tingkah laku nonverbal yang perlu
dibiasakan dalam kehidupan. Dalam realitas kehidupan, biasanya tersenyum
merupakan gambaran dari rasa senang, gembira, suka, dan bahagia. Dalam
tinjauan medis, menurut Darwin (Hodgkinson, 1991 dalam Saam, 2014: 37-38),
gerakan otot zigomatic major atau otot yang dapat menarik sudut bibir ke atas
sampai ke tulang pipi merupakan pusat ekspresi pengalaman emosi yang positif.
Otot tersebut menyebabkan aliran darah ke otak meningkat sehingga semua sel
dan jaringan menerima oksigen.
Sebuah penelitian juga menyimpulkan, bahwa bahagia karena tersenyum
merupakan obat semua penyakit. Sebaliknya, ekspresi sedih yang menjadi suatu
kebiasaan akan mengakibatkan kerutan pada wajah. Pernyataan tersebut cocok
dengan kata-kata orang bijak di Indonesia menyatakan bahwa orang yang selalu

11
gembira dan bahagia akan awet muda, sedangkan orang yang selalu sedih akan
cepat tua (Saam, 2014: 38-39).
Dalam proses konseling, senyuman yang tulus merupakan bagian terpenting
yang harus dilakukan konselor. Senyuman yang tulus dan ikhlas dari konselor
merupakan salah satu bagian dari teknik berempati terhadap konselinya.
Dengan senyuman, hubungan antara konselor dengan konseli akan terjalin
dengan baik sehingga memudahkan dalam proses konseling itu sendiri (Hanifa,
dkk, 2017: 18).
Selanjutnya berkaitan dengan empati, secara bahasa empati berarti
“merasakan ke dalam”. Empati berasal dari kata Yunani yaitu empatheia artinya
kasih sayang atau perasaan yang mendalam. Empati mengacu pada keadaan
identifikasi kepribadian yang lebih mendalam kepada seseorang sehingga orang
yang berempati, sesaat akan melupakan atau kehilangan identitas dirinya sendiri
(May, 2010: 71-72 dalam Amrina, 2020: 16). Menurut Kathryn yang dikutip
Gibson (2011) dalam Amrina (2020: 16) mengatakan bahwa “empati berkaitan
dengan memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.”
Berdasarkan uraian di atas, penyusun simpulkan bahwa empati adalah
sebuah rasa atau perasaan mendalam antara konselor dan konseli yang berfokus
pada sudut pandang konselor, dimana konselor memahami perasaan yang
dirasakan oleh konseli.
Empati merupakan salah satu teknik dalam konseling. Teknik ini berperan
dalam mewarnai proses berjalannya konseling mulai dari proses awal hingga
proses akhir konseling. Secara umum tahapan konseling terbagi menjadi 3 (tiga)
yaitu:
1. Tahap Awal Konseling
Tahap ini dimulai pada saat konseli bertemu konselor hingga berjalannya
proses konseling dan menemukan definisi masalah konseli. Tahap ini
merupakan fase dalam menciptakan hubungan dengan konseli (Amrina,
2020: 24). Kedudukan empati dalam tahap ini dilakukan bersamaan dengan
menciptakan hubungan dengan konseli. Dengan demikian, apabila
keduanya dijalankan, maka konseli akan terlibat serta lebih terbuka dalam
hubungan konseling (Amrina, 2020: 27).

12
2. Tahap Pertengahan Konseling
Tahap pertengahan atau tahap inti merupakan proses penelaahan masalah
secara keseluruhan disertai pemberian solusi. Pada tahap ini, peran empati
berkaitan dengan sikap konselor yang menunjukkan kepedulian terhadap
permasalahan konseli. Bentuk kepedulian tersebut berupa bantuan yang
diberikan kepada konseli setelah proses penelaahan masalah (Amrina, 2020:
29).
3. Tahap Akhir Konseling
Tahap ini dikatakan sebagai berakhirnya (selesai) proses konseling, dengan
beberapa tindak lanjut, atau berakhir karena konseli sudah menemukan jalan
keluarnya. Pada tahap ini, empati terlibat dalam bagaimana konselor
mengakhiri konseling. Tentunya, akhir dari konseling yang diharapkan
adalah konseling yang menyenangkan serta berkesan bagi konseli (Amrina,
2020: 30).
Dengan demikian penyusun simpulkan bahwa senyum dan empati bekerja
secara bersamaan (saling berkaitan), karena senyum merupakan bagian dari
teknik empati. Keduanya sama-sama berperan dalam tahapan konseling, baik
pada tahap awal, pertengahan, maupun tahap akhir. Perlu diketahui juga,
senyum dan empati merupakan modal utama konselor dalam membangun
hubungan serta penelaahan terhadap permasalahan konseli.
E. Kriteria Keberhasilan Konseling
Menurut Partowisastro (1982: 97 dalam Hia, tanpa tahun: 84) keberhasilan
layanan konseling adalah perubahan tingkah laku atau sikap siswa yang telah
mendapat layanan. Konseling merupakan suatu proses antara konselor dan
konseli secara tatap muka untuk membantu konseli dalam menghadapi,
menjelaskan, memecahkan dan menanggulangi masalah penyesuaian diri.
Mengenai keberhasilan pelayanan konseling di sekolah dapat dilihat dari
perubahan tingkah laku konseli tersebut. Dengan demikian, setelah menerima
konseling diharapkan siswa/konseli dapat:
1. Menerima Diri Sendiri
Individu mampu menerima kekurangan dan kelebihan pada dirinya
sehingga mampu mengembangkan potensinya dengan baik. Selain itu

13
individu tersebut memiliki kepercayaan diri yang baik karena sudah
mengenal kemampuan yang ada pada dirinya.
2. Menyesuaikan Diri
Individu tersebut dapat beradaptasi secara baik dengan lingkungan tempat
tinggalnya, serta mampu bergaul dan menunjukkan sikap simpati dengan
orang yang baru dia kenal.
3. Memahami dan Memecahkan Masalahnya Sendiri
Individu mampu menemukan jalan keluar yang terbaik bagi pemecahan
masalahnya dengan segera.
4. Mengambil Keputusan
Individu mampu mengambil keputusan dengan pikiran jernih tanpa ada
paksaan serta merasa yakin akan keputusannya tersebut. Selain itu individu
mampu menerima resiko dari keputusan yang telah diambilnya (Hia, tanpa
tahun: 84-85).
Selain itu, perlu diketahui bahwa keberhasilan konseling juga dipengaruhi oleh
peran guru, diantaranya:
a. Guru mengetahui dan memahami program BK yang dilaksanakan di sekolahnya
b. Guru berpartisipasi dalam program BK, dengan perannya dalam
mengidentifikasi para siswa yang memerlukan bantuan, mengkomunikasikan
keadaan siswanya pada konselor, dan sebagainya (Hanifa, 2017: 21).
Dengan demikian, jika konseling dapat dilakukan dengan lancar dan dikatakan
berhasil, maka sekolah pun akan mengalami peningkatan keberhasilan dalam
proses pembelajaran.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menciptakan hubungan baik dengan konseli merupakan salah satu teknik
dalam bimbingan konseling dan dikenal dengan istilah “rapport”. Teknik
rapport berkaitan dengan keharmonisan, kehangatan dan penerimaan yang
ditujukan agar konseli tidak merasa terancam ketika berhubungan dengan
konselor. Dalam teknik ini, seorang konselor harus memperhatikan hal-hal
berikut: (1) reputasi konselor atau pandangan konselor di mata konseli, (2)
penghargaan dan perhatian konselor kepada konseli, serta (3) kemampuan
konselor dalam menyimpan rahasia, termasuk hasil konseling dengan konseli
sebelumnya.
Komunikasi merupakan proses pertukaran informasi antara komunikator
dengan komunikan yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung
(melalui media) dengan tujuan memberikan pengaruh komunikasi serta umpan
balik informasi. Adapun komunikasi nonverbal yang berarti komunikasi
melalui isyarat atau simbol dengan berbagai jenisnya yang meliputi: sentuhan,
komunikasi objek, kronemik, gerakan tubuh (kinestetik), proxemik,
lingkungan, dan vokalik.
Penampilan konselor dalam bimbingan konseling dapat dilihat dari bahasa
tubuh (aspek fisik) yang meliputi ekspresi wajah, fokus pandangan, kontak
mata, gerakan, posisi tubuh, kedekatan (jarak), serta pakaiannya. Selain dari
aspek fisik (luar), penampilan konselor juga berkaitan dengan kualitas pribadi
konselor yang mengharuskan konselor memiliki karakteristik berikut:
pemahaman diri, kompeten, memiliki kesehatan psikologis yang baik, dapat
dipercaya, jujur, bersikap hangat, dan sebagainya.
Senyum dan empati dalam bimbingan konseling dapat dikatakan bekerja
secara bersamaan (saling berkaitan), karena senyum merupakan bagian dari
teknik empati. Keduanya sama-sama berperan dalam tahapan konseling, baik
pada tahap awal, pertengahan, maupun tahap akhir. Selain itu, perlu diketahui

15
juga bahwa senyum dan empati merupakan modal utama konselor dalam
membangun hubungan serta penelaahan terhadap permasalahan konseli.
Kriteria keberhasilan konseling berkaitan dengan perubahan tingkah laku
atau sikap siswa yang telah mendapatkan layanan. Sebagai tolak ukur
keberhasilan konseling, terdapat kriteria tertentu yang dapat dilihat dari
perubahan tingkah laku siswa (konseli) serta peranan guru dalam
memperhatikan siswanya. Keberhasilan konseling juga berpengaruh terhadap
peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah.
B. Saran
Demikianlah pembahasan mengenai Langkag-langkah dan Teknik-teknik
Bimbingan Konseling yang diuraikan penyusun. Bagi pendidik dan calon
pendidik PAI (khususnya), diharapkan memahami materi terkait karena sebagai
landasan dalam mencapai keberhasilan konseling.
Selain itu, berkenaan dengan keterbatasan penyusun dalam pembahasan
materi ini, diharapkan para pembaca memperbanyak referensi dalam rangka
memperluas wawasan sehingga didapatkannya pemahaman yang mendalam.

16
DAFTAR PUSTAKA
Amrina. 2020. “Empati dalam Layanan Konseling Menurut Beberapa Hadis
Rasulullah SAW”. Aceh: Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Skripsi.
Hanifa, Nadya Shilfi. 2017. “Langkah-langkah dan Teknik-teknik Konseling”.
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Makalah
Hia, Novita dan Fransisca Mudjijanti. Tanpa tahun. “Keberhasilan Konseling
Ditinjau dari Sikap Responsif Konselor dan Keterbukaan Diri Konseli”.
Universitas Katholik Widya Mandala Madiun. Artikel.
Hirmaningsih dan Indah Damayanti. 2015. Psikologi Konseling. Pekanbaru: Al-
Mujtahadah Press.
Kurniati, Desak Putu Yuli. 2016. “Komunikasi Verbal dan Nonverbal”. Universitas
Udayana. Modul.
Lubis, Namora Lamongga. 2011. Memahami Dasar-dasar Konseling dalam Teori
dan Praktik. Jakarta: Kencana.
Mulawarman dan Eni Rindi Antika. 2020. Mind Skill: Konsep dan Aplikasinya
dalam Praktik Konseling. Kencana: Jakarta.
Saam, Zulfan. 2014. Psikologi Konseling. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Tarigan, Joy Maranatha. 2021. Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Menengah Pertama. Sukabumi: CV. Jejak (Jejak Publisher).
Wulaisfan, Randa, dkk. 2023. Komunikasi Interpersonal & Praktek Konseling di
Era Modern. Sumatera Barat: PT. Mafy Media Literasi Indonesia.

17

Anda mungkin juga menyukai