Diajukan Oleh:
Muhammad Taufiq
Muhammad Hatayatul Kamal
2021 M/1442 H
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada seluruh umat-Nya terutama
kepada kami atas pembuatan tugas ini sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas tentang Terminasi etika dan konseling. Selanjutnya ucapan terima kasih
kami sampaikan kepada ibu Wan Chalidaziah. yang telah membimbing pada
mata kuliah Psikologi Konseling. Sebagai manusia yang tak luput dari
kesalahan, kami minta maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
kesalahan baik dari segi penulisan maupun isi dari penulisan makalah.
Kami sangat membutuhkan kritik dan saran para pembaca yang bersifat
membangun demi penulisan makalah selanjutnya. Harapan kami semoga apa yang
telah disajikan dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi
seluruh pihak yang membaca. Dan semoga Allah senantiasa memberi hidayah
kepada setiap hamba-Nya yang mau selalu berusaha dan belajar.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................2
LATAR BELAKANG MASALAH..............................................................................2
RUMUSAN MASALAH................................................................................................3
BAB II.................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.................................................................................................................4
PENGERTIAN TERMINASI.......................................................................................4
FUNGSI TERMINASI..................................................................................................4
LANGKAH-LANGKAH TERMINASI.......................................................................5
PENYEBAB TERMINASI............................................................................................6
JENIS-JENIS TERMINASI KONSELING................................................................6
ETIKA DALAM KONSELING...................................................................................8
BAB III...............................................................................................................................8
PENUTUP..........................................................................................................................8
KESIMPULAN..................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................9
BAB I PENDAHULUAN
Etika merupakan standar tingkah laku seseorang, atau sekelompok orang yang
didasarkan atas nilai-nilai yang disepakati. Setiap kelompok profesi (termasuk konselor)
pada dasarnya merumuskan standar tingkah lakunya yang dijadikan sebagai pedoman
dalam menjalankan tugas dan kewajiban profesional. Terjemahan nilai- nilai sebagai
bentuk standar itu dirumuskan ke dalam ”kode etik profesi” (Hansen, 1982).
Konselor sebagai seorang professional juga tidak mudah mengintepretasikan panduan
etik dari organisasi profesinya, dan menerapkan dalam situasi-situasi tertentu. Hal ini
membutuhkan sensivitas etis yang memadai. Walaupun terdapat kode etik yang sudah
mengatur bagaimana konselor bertindak dalam menjalankan tugasnya terkadang juga
tidak dapat memberi jawaban terhadap dilema yang dihadapi konselor. Dengan
demikian konselor harus memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk kliennya
Rumusan Masalah
Terminasi juga merupakan pintu masuk bagi kontak selanjutnya yang akan datang.
Kita akui itu merupakan proses pemecahan masalah secara terus menerus. Terminasi sering
menjadi proses yang mengharukan. Hal ini disebabkan karena relasi yang baik dan cukup
mendalam diantara konselir dengan kliennya. Perpisahan dengan orang yang akrab,dekat
dalam pemecahan masalah dirasakan sangat berat dan memilukan hati, klien juga akan
merasa ragu dan kurang yakin akan kemampuannya dalam melaksanakan fungsi dan tugas
kehidupan
selanjutnya tanpa dukungan para konselor yang sudah membantunya untuk menemukan
solusi dari berbagai masalah yang dihadapinya. Oleh sebab itu para konselor perlu melakukan
tekanan psikologi dengan cermat dan mengamati menifestasi emosional klien dengan hati-
hati.
Maka dapat disimpulkan bahwa terminasi merupakan Tahapan dalam mengakhiri atau
menghentikan proses konseling. Dalam hal ini Terminasi sangat penting diperhatikan oleh
konselor untuk mengetahui apakah klien benar-benar sudah merasa puas dengan
konselingnya atau sebaliknya, baik terminasi ini dilakukan oleh konselor atau klien.
Fungsi Terminasi
Menurut Samuel T. Gladding terminasi memiliki beberapa fungsi diantaranya:
a. Terminasi adalah tanda bahwa sesuatu telah selesai dilakukan. Untuk memulai
pengalaman baru, pengalaman terdahulu harus diselesaikan dan dipecahkan.
b. Terminasi berarti mempertahankan perubahan yang telah dicapai dan
mengembangkan keahlian untuk memecahkan masalah yang telah didapat dari
konseling.
c. Terminasi bertindak sebagai pengingat bahwa klien adalah orang dewasa.
2. Langkah-langkah Terminasi
Menurut Lesmana, Langkah-langkah terminasi yang dilakukan adalah:
a. Persiapan Verbal
c. Pamit Secara Formal ( Formal Leave-Taking). Berpamitan kepada klien adalah hal
yang perlu diperlukan:
1) Konselor menyampaikan terima kasih kepada klien karena memberinya kesempatan
untuk membantu menyelesaikan masalah klien.
2) Menyampaikan permohonan maaf apabila ada kekeliuran yang dilakukan konselor
selama proses konseling berlangsung.
3) Memberi dukungan dan sugesti pada klien agar tetap mempertahankankemajuan yang
telah diperolehnya selama menjalani konseling.
1. Prinsip-prinsip prosedur terminasi agar positive
a. Terminasi hendaknya berdasarkan asesmen dan keputusan bersama.
b. Pengalaman terminasi hendaknya mengandung tujuan spesifik dan konkrit dengan
segala konsekuensinya.
c. Klien hendaknya dipersiapkan menghadapi terminasi sehingga tidakbergantung terus
kepada pekerja sosial dan dapat hidup mandiri.
d. Klien hendaknya dibantu mengembangkan kemampuan problem solving atau
pemecahan masalah agar dapat berperan aktif dalam proses pertolongan dan nantinya
akan dapat memecahkan masalahnya sendiri bila berhadapan lagi
dengan masalah.
e. Sistim intervensi hendaknya diberikan dengan mengkaitkan klien kepada sistem
sumber dan penguasaan akses agar tercipta pemecahan masalahan sehingga dapat
meningkatkan keberfungsian klien.
3. Penyebab Terminasi
a. Terminasi oleh Konselor
1) Sasaran konseling telah tercapai
2) Konselor merasa bahwa klien tidak mengalami kemajuan seperti yang diharapkan,
sehingga tidak ada manfaatnya bila konseling tetap dilanjutkan.
3) Konselor melihat bahwa klien terlalu bersikap dependen (bergantung terus kepada
konselor) sehingga tidak mau mengambil tanggungjawabnya terhadap hidupnya
sendiri.
b. Terminasi oleh Klien
1) Klien merasa bahwa dirinya telah sembuh walaupun sebenarnya hal tersebut hanya
berupa pengurangan simton.
2) Klien merasa telah berhasil sesuai dengan kesepakatan dalam konseling
3) Terjadinya premature termination
4) Klien menolak pengalaman rasa sakit yang terkait dengan konseling atau klien
menolak berhadapan dengan bagian dirinya yang tidak disenanginya.
5) Klien tidak memiliki komitmen yang cukup untuk berubah karena untuk berubah
klien harus melalui proses yang lama dan menyakitkan
6) Klien tidak memiliki cukup waktu atau keuangan yang tidak mendukung
7) Klien merasa bahwa dirinya tidak mengalami kemajuan sehingga menganggap bila
konseling dilanjutkan tidak akan bermanfaat.
Menurut Ward, terminasi prematur tidak bisa diukur berdasarkan jumlah sesi yang telah
diselesaikan konseli, melainkan lebih berhubungan dengan seberapa baik konseli telah
mencapai tujuan pribadi yang telah ditetapkan pada awal proses konseling dan seberapa baik
dia berfungsi secara umum. Gejala konseling ingin mengadakan terminasi prematur,
ditunjukkan dengan cara :
Terminasi atas inisiatif konselor adalah lawan dari terminasi prematur. Beberapa alasan
konselor mengakhiri proses konseling, diantaranya sakit, bekerja melalui countertransference,
relokasi ke arah lain, menyadari kebutuhan konseli dapat dipenuhi oleh orang lain. Ada juga
alasan buruk konselor untuk melakukan terminasi, diantaranya kemarahan, kebosanan atau
ansietas. Jika konselor mengakhiri hubungan karena perasaan semacam ini, konseli akan
merasa ditolak dan merasa lebih buruk lagi. Konseli dan konselor seharusnya mempersiapkan
diri sedini mungkin untuk menghadapi terminasi sementara dengan mendiskusikan secara
terbuka peristiwa yang akan terjadi dan mengatasi perasaan yang mendalam sehubungan
dengan perpisahan tersebut dengan cara mempersiapkan konseli lebih terstruktur dalam
menghadapi terminasi yang diinisiatifkan konselor. Pada situasi semacam ini sangatlah
penting memastikan bahwa konseli memiliki nama dan nomor telepon konselor lain untuk
membantunya dalam keadaan darurat.
1) Sadar akan kebutuhan dan keinginan konseli dan memberikan waktu pada konseli
untuk mengekspresikannya
2) Meninjau ulang peristiwa penting dalam konseling dan membawa hasil tindakan
tersebut ke saat ini.
3) Mengakui dan mendukung perubahan yang telah dilakukan oleh konseli
4) Meminta kontak lanjutan.
Kedua, tidak melanggar kode etik sebagai seorang konselor dan klien. Seorang
konselor profesional harus berusaha untuk menghindari resiko dari proses konseling yang
dilakukan, baik masalah fisik, emosi, dan psikologis, atau tingkah laku yang berpotensi
menyinggung diri klien. Konselor harus berhati-hati dalam memberikan bantuan (treatment)
kepada seorang klien.
Ketiga, dengan penuh kasih sayang. Prinsip ini menjelaskan bahwa melalui proses
konseling mampu menghasilkan kondisi yang lebih baik bagi seorang klien. Secara alami,
proses konseling profesional menghasilkan perubahan pada klien menggunakan
pendekatan budayanya.
Keempat, menggunakan prinsip keadilan. Keadilan ini berarti bahwa setiap proses
konseling yang dilakukan kepada setiap klien harus sama, tanpa membedakan faktor apapun
Kelima, dengan menggunakan kesetiaan.Kesetiaan berarti bahwa seorang konselor yang
profesional harus memberikan janji yang benar dan tidak memberikan janji palsu artinya
harus berkomitmen dalam pelayanannnya. Artinya dalam proses konseling yang dilakukan
dengan penuh keterbukaan antara konselor dan klien.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam menjalin hubungan konseling meliputi kemampuan mengadakan wawancara
awal dan mengeksplorasi serta identifikasi tujuan konseling. Dan dalam menjalin hubungan
konseling, dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: keseriusan maslah, struktur,inisiatif,
kualitas konseli dan kualitas konselor. Terminasi ini terjadi setelah tujuan konseling
tercapai.Kadang terminasi ini dapat terjadi sebelum tujuan tercapai atau disebut terminasi
prematur. Ada juga konselor dan konseli yang enggan mengakhiri hubungan konseling atau
menolak terminasi.Penolakan terminasi ini terjadi biasanya karena sudah ada hubungan yang
mendalam antara konseli dan konselor.
Seorang konselor yang professional tentunya memiliki etika dan sikap profesional.
Etika profesional konselor adalah kaidah-kaidah perilaku yang menjadi rujukan bagi konselor
dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawabnya memberikan layanan bimbingan dan
konseling kepada konseli, sedangkan sikap profesional konselor meliputi bertanggungjawab,
peduli terhadap identitas profesional dan pengembangan profesi, memiliki kesadaran atas
komitmen, terampil menggunakan teknik-teknik khusus yang dikembangkan atas dasar
wawasan yang luas dan kaidah-kaidah ilmiah, memahami dan mengelola kekuatan dan
keterbatasan personal dan profesional dan mempertahankan objektivitas dan menjaga agar
tidak larut dengan masalah konseli, dan etika profesional meliputi bekerja dalam suatu tim
bersama tenaga paraprofesional dan profesional lain, menyelenggarakan layanan sesuai
dengan kewenangan dan kode etik profesional konselor, melaksanakan referal sesuai dengan
keperluan, dan mementingkan konseli.
DAFTAR PUSTAKA
Mohd Ishak, N., Amat, S., & Abu Bakar, A. Y. (2012). Counseling professional
ethics from viewpoint of counselor educators. Journal of Educational
Psychology & Counseling, 5(March), 71–80. Retrieved from
http://eprints.utm.my/id/eprint/23003/
Nuzliah, N., & Siswanto, I. (2019). Standarisasi kode etik profesi bimbingan dan
konseling. Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling, 5(1), 64–75.
https://doi.org/10.22373/je.v5i1.8172
Faiz, A., Dharmayanti, A., & Nofrita, N. (2018). Etika bimbingan dan konseling
dalam pendekatan filsafat ilmu. Indonesian Journal of Educational
Counseling, 2(1), 1–12. https://doi.org/10.30653/001.201821.26