Anda di halaman 1dari 34

KONSEP DASAR KONSELING

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan dan Konseling
yang dibina Amalia Fitriana, M. Pd

Disusun Oleh :
Sahiyatul Mahbubah 200102110033

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua. Berkat rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Rasa terima kasih
juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyusunan makalah ini.
Makalah dengan judul “Konsep Dasar Konseling” ini sengaja penulis susun
dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bimbingan dan
Konseling yang telah Ibu berikan beberapa waktu yang lalu. Disamping dapat
memenuhi tugas yang telah Ibu berikan, penulis juga berharap agar makalah ini
dapat membawa manfaat serta menambah khazanah pengetahuan bagi siapapun
yang membacanya.
Penulis menyadari jika makalah ini belum sepenuhnya sempurna atau
sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat
kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini kedepannya.

Blitar, 1 Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN................................................................................................... 4
A. Latar Belakang Masalah............................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
C. Tujuan .......................................................................................................... 5

BAB II ..................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6
A. Pengertian Konseling ................................................................................... 6
B. Konseling Individu ....................................................................................... 8
C. Konseling Kelompok ................................................................................. 18
D. Masalah-masalah Siswa di Sekolah ........................................................... 26

BAB III.................................................................................................................. 33
PENUTUP ............................................................................................................. 33
A. Kesimpulan ................................................................................................ 33

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Seiring perkembangan zaman, problematika peserta didik di sekolah


semakin beragam. Jalan pikiran mereka menjadi terbagi dengan masalah
diluar sekolah dan di dalam sekolah. Suatu tindak layanan sekolah pada
peserta didik dengan bimbingan konseling yang mengarahkan para para
peserta didik untuk mengetahui bakat dan potensi dalam diri mereka.
Bimbingan konseling biasanya berbicara mengenai aspek psikologis, ini
akan sangat penting jika ada banyak gangguan psikis pada peserta didik
yang biasanya tertekan masalah dan tidak mampu menangkap pelajaran
dengan baik. Bimbingan konseling juga sangat penting posisinya untuk
membimbing siswa untuk memotivasi diri bahwa mereka adalah suatu
pribadi yang unik dan mampu bersaing.
Perlunya bimbingan konseling dapat berfungsi sebagai pemantau
masalah-masalah siswa yang berkaitan tentang masalah kelainan tingkah
laku dan adaptasi. Sulitnya salah satu siswa untuk bergaul dan cenderung
mengasingkan diri dari teman-temannya memiliki akar permasalahan yang
biasanya beruntun. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu
komponen dalam keseluruhan sistem pendidikan khususnya di sekolah;
guru merupakan salah satu pendukung unsur pelaksana pendidikan yang
mempunyai tanggung jawab sebagai pendukung pelaksana layanan
bimbingan pendidikan di sekolah, dituntut untuk memiliki wawasan yang
memadai terhadap konsep-konsep dasar bimbingan dan konseling di
sekolah.
Peserta didik tidak hanya memerlukan materi-materi pelajaran sekolah,
materi bimbingan konseling pun perlu, karena pada dasarnya setiap
kehidupan pasti ada masalah. Memang sebagian orang bisa mengatasi
masalahnya sendiri, tetapi tidak sedikit juga orang yang memerlukan
bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Jadi
apabila peserta didik tetap dibiarkan memiliki masalah tanpa dibantu,
bagaimana mungkin peserta didik bisa berkonsentrasi untuk memahami
atau berfikir mengenai pelajarannya. Kalau ia masih punya beban fikiran
yang lain. Maka dari itu bimbingan dan konseling disekolah sangatlah
diperlukan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian konseling?


2. Bagaimana konseling individu?
3. Bagaimana konseling kelompok?
4. Bagaimana masalah-masalah siswa di sekolah?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian konseling


2. Mengetahui konseling individu
3. Mengetahui konseling kelompok
4. Mengetahui masalah-masalah siswa di sekolah
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Konseling

Dalam bahasa Latin, istilah konseling disebut "Counsilium" yang


berarti "dengan" atau “bersama”. Dalam kamus Bahasa Indonesia, untuk
istilah itu mengandung pengertian kurang lebih sama dengan “penyuluhan”.
Namun demikian penggunaannya sehari-hari telah sangat meluas, dan lebih
bersifat non konseling.
Sebagaimana dengan istilah bimbingan, istilah konseling juga telah
didefinisikan oleh banyak ahli, antara lain adalah:
1. Proses dalam mana konselor membantu klien membuat interpretasi-
interpretasi tentang fakta-fakta yang berkaitan dengan suatu pilihan,
rencana, atau penyesuaian-penyesuaian yang perlu dibuatnya
(Glenn e. Smith, dalam Shertzer and Stone, 1974: 18)
2. Proses yang terjadi dalam hubungan-hubungan seseorang dengan
seseorang antara individu yang berkesulitan karena masalah-
masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja
yang karena latihan dan pengalaman yang dimilikinya mampu
membantu orang lain memperoleh pemecahan-pemecahan berbagai
jenis masalah pribadi (Milton E. Hann and Malcolm S.O Maclean,
dalam Shertzer and Stone, 1974: 18).
3. Interaksi yang (a) terjadi antara dua individu yang masing-masing
disebut konselor dan klien; (b) diadakan dalam suasana profesional;
(c) diciptakan dan dikembangkan sebagai alat untuk memudahkan
perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien (Pepinsky and
Pepinsky, dalam Bruce and Shertzer).

Definisi di atas disajikan untuk melihat perubahan dan pengertian dari


konseling. Beberapa perbedaan yang lebih tampak ditampilkan di sini
adalah:
1. Definisi konseling yang lebih awal menekankan pada masalah
kognitif (membuat interpretasi-interpretasi tentang fakta-fakta)
sementara definisi yang belakangan menekankan pengalaman-
pengalaman afektif (menetapkan beberapa pemahaman pribadi bagi
tingkah laku) di samping segi-segi kognitif
2. Definisi yang lebih awal mengenal konseling sebagai hubungan
antara seorang konselor dengan seorang klien (one to one
relationship), sedangkan definisi-definisi yang belakangan biasanya
menunjuk pada lebih dari satu orang klien.
3. Semua definisi menyatakan atau mengandung pengertian--bahwa
konseling adalah suatu prows. Prows mengandung pengertian
bahwa konseling bukan kejadian atau peristiwa yang tunggal,
melainkan melibatkan tindakan-tindakan dan praktek yang
berangkai (sequential) serta maju ke arah suatu tujuan.
4. Definisi-definisi itu pada umumnya menyatakan bahwa hubungan
adalah ruwet, dan ditandai oleh suasana hangat, permisif,
pemahaman, dan penerimaan.
5. Kebanyakan definisi ini menggambarkan orang-orang yang terlibat
dalam konseling, yaitu konselor sebagai seorang yang profesional,
lebih tua atau lebih matang; dan klien sebagai orang yang
mengalami masalah, kebingungan atau. frustrasi.

Patterson (1967: 219-227) menyatakan bahwa sewaktu-waktu perlu


mendekati suatu definisi dengan mengenyampingkan atau menunjuk hal-hal
spa yang tidak termasuk dalam konseling. Dengan pengenyampingan itu,
banyak kesalahan konsepsi yang ads di sekitar konseling dapat dikenali, di
antaranya adalah:

a. Konseling bukanlah pemberian informasi, kendatipun


informasi dapat diberikan dalam konseling.
b. Konseling bukanlah pemberian nasihat, saran-saran, dan
rekomendasi-rekomendasi (nasihat hendaklah dipandang
sebagaimana adanya dan bukan ditafsirkan sebagai konseling).
c. Konseling bukanlah mempengaruhi sikap-sikap, kepercayaan-
kepercayaan, atau tingkah laku dengan cara-cara mengajak
mengarahkan atau meyakinkan.
d. Konseling bukanlah mempengaruhi tingkah laku dengan jalan
memberi teguran, peringatan, atau paksaan.
e. Konseling bukanlah pemilihan atau penugasan individu untuk
berbagai pekerjaan atau kegiatan.
f. Konseling bukanlah wawancara (kendatipun wawancara itu
dilibatkan).

Hakikat konseling menurut Patterson, menampilkan ciri-ciri di bawah


ini:
a. Konseling adalah usaha untuk menimbulkan perubahan
tingkah laku secara sukarela pada diri klien (klien ingin
mengubah tingkah lakunya dan meminta bantuan kepada
konselor).
b. Maksud dan tujuan konseling adalah menyediakan kondisi-
kondisi yang memudahkan terjadinya perubahan secara
sukarela (kondisi yang memberi hak individu untuk membuat
perilaku, untuk tidak tergantung pada pembimbing).
c. Usaha-usaha untuk memudahkan terjadinya perubahan
tingkah laku dilakukan melalui wawancara (walaupun
konseling selalu dilakukan dalam wawancara, tetapi tidak
semua wawancara dapat diartikan konseling).
d. Mendengarkan merupakan suatu hal yang berada dalam
konseling tetapi tidak semua konseling adalah mendengarkan.
e. Konseling dilaksanakan dalam suasana hubungan pribadi
antara konselor dan klien. Hasil pembicaraan yang dilakukan
itu bersifat rahasia.

Berdasarkan definisi di atas, dapat diartikan bahwa konseling adalah


proses pemberian bantuan yang dilakukan dalam suasana hubungan tatap
muka antara seorang ahli (yaitu orang yang telah mengikuti pendidikan
khusus dan terlatih secara baik dalam bidang bimbingan dan konseling) dan
seorang individu yang sedang mengalami suatu masalah atau kesulitannya
sendiri. Disamping mengatasi masalahnya dengan segera, melalui
hubungan itu individu juga dibantu untuk dapat meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi.

B. Konseling Individu

1. Pengertian Konseling Individu


Konseling individu merupakan layanan konseling yang
diselenggarakan oleh konselor terhadap konseli untuk
mengentaskan suatu masalah yang dihadapi konseli. Ada beberapa
pendapat mengenai konseling individu yang akan dipaparkan
dibawah ini:
Dewa Ketut Sukardi dan Nila Kusmawati mendefinisikan
konseling individu/perorangan adalah layanan bimbingan dan
konseling yang memungkinkan klien mendapatkan layanan
langsung secara tatap muka dengan konselor dalam rangka
pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi yang
dideritanya.
Prayitno dan Erman Amti mengatakan konseling individu
adalah sebagai pelayanan khusus dalam hubungan langsung tatap
muka antara konselor dan klien. Dalam hubungan itu dicermati dan
diupayakan pengentasan masalahnya, semampu dengan kekuatan
klien itu sendiri. Dalam kaitan itu, konseling dianggap sebagai upaya
layanan yang paling utama dalam pelaksanaan fungsi pengentasan
masalah klien. Bahkan dikatakan bahwa konseling merupakan
“jantung hatinya” pelayanan bimbingan secara menyeluruh. Apabila
layanan konseling telah memberikan jasanya, maka masalah klien
akan teratasi secara efektif dan upaya-upaya bimbingan lainnya
tinggal mengikuti atau berperan sebagai pendamping.
Menurut Tolbert yang dikutip oleh Syamsu Yusuf mengatakan
bahwa konseling individual adalah sebagai hubungan tatap muka
antara konselor dengan klien, dimana konselor sebagai seseorang
yang memiliki kompetensi khusus memberikan suatu situasi belajar
kepada klien sebagai seorang yang normal, klien dibantu untuk
mengetahui dirinya, situasi yang dihadapi dan masa depan sehingga
klien dapat menggunakan potensinya untuk mencapai kebahagiaan
pribadi maupun sosial, dan lebih lanjut klien dapat belajar tentang
bagaimana memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan di masa
depan.
Alfred Adler menjelaskan bahwa konseling individual
memandang bahwa setiap manusia pada dasarnya mempunyai
perasaan rendah diri (inferiority), yaitu perasaan lemah dan tidak
berdaya yang timbul sebagai pengalaman dalam interaksinya
dengan orang dewasa atau lingkungannya. Perasaan tersebut dapat
bersumber kepada perbedaan-perbedaan kondisi fisik, psikologis,
maupun ataupun sosial. Namun, justru kelemahan-kelemahan ini
yang membuat manusia lebih unggul dari makhluk-makhluk
lainnya, karena mendorong manusia untuk memperoleh kekuatan,
kekuasaan, kebebasan, keunggulan, dan kesempurnaan, atau rasa
superioritas melalui upaya-upaya kompensasi. Perkembangan
perilaku dan pribadi manusia selalu digerakkan dari kondisi serba
kekurangan (inferirority) kearah kelebihan (superiority). Namun
demikian konsep superioritas ini tidak berarti harus lebih kuat atau
lebih pintar dari orang lain, tetapi lebih kepada superior dalam
dirinya sendiri (superior within himself atau superiroity over self).
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
konseling individu merupakan suatu layanan konseling yang
diselenggarakan oleh konselor terhadap konseli untuk
mengentaskan suatu masalah yang dihadapi konseli. Jadi konseling
individu adalah proses pemberian bantuan yang mana konseli
bertemu dengan konselor secara langsung (face to face) dan di
dalamnya terjadi interaksi. Hubungan konseling bersifat pribadi
yang menjadikan konseli nyaman dan terbuka untuk
mengungkapkan permasalahan yang terjadi.
2. Tujuan Konseling Individu
Konseling individu memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum
dan tujuan khusus. Secara umum tujuan konseling adalah supaya
klien dapat mengubah perilakunya ke arah yang lebih maju, melalui
terlaksananya tugas-tugas perkembangan secara optimal,
kemandirian, dan kebahagiaan hidup. Secara khusus, tujuan
konseling tergantung dari masalah yang dihadapi oleh masing-
masing klien.
Adapun menurut Prayitno tujuan umum layanan konseling
individu adalah mengentaskan masalah yang dialami klien. Apabila
masalah klien itu dicirikan sebagai:
a. Sesuatu yang tidak disukai adanya
b. Suatu yang ingin dihilangkan
c. Suatu yang dilarang
d. Sesuatu yang dapat menghambat proses kegiatan
e. Dapat menimbulkan kerugian
Layanan konseling tidak hanya bersifat penyembuhan atau
pengentasan (curative) masalah saja, melainkan konseling juga
bertujuan agar klien setelah mendapatkan pelayanan konseling,
diharapkan ia dapat mengghindari masalah-masalah dalam hidupnya
(preventive), memperoleh pemahaman diri dan lingkungannya,
dapat melakukan pemeliharaan dan pengembangan terhadap kondisi
dirinya yang sudah baik agar tetap menjadi baik, dan dapat juga
dapat melakukan diri ke arah pencapaian semua hak-haknya sebagai
pelajar maupun sebagai warga negara (advokasi).
Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
dari konseling individu adalah mengentaskan permasalahan klien
agar ia dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya dan membuat klien
menjadi mandiri serta dapat mengantisipasi permasalahan yang
sama sehingga dapat dicegah.
3. Fungsi Konseling Individu
Layanan konseling mempunyai beberapa fungsi yang dipenuhi
melalui pelaksanaan kegiatan konseling. Adapun fungsi-fungsi
konseling tersebut adalah:
a. Fungsi pemahaman
Fungsi pemahaman adalah fungsi konseling yang menghasilkan
pemahaman bagi klien tentang dirinya (seperti bakat, minat,
pemahaman kondisi fisik), lingkungannya (seperti lingkungan alam
sekitar), dan berbagai informasi (misalnya informasi tentang
pendidikan dan informasi karir).
b. Fungsi pencegahan
Fungsi pencegahan adalah fungsi konseling yang menghasilkan
kondisi bagi tercegahnya atau terhindarnya klien dari berbagai
permasalahan yang mungkin timbul, yang dapat mengganggu,
menghambat, dan kerugian-kerugian tertentu dalam kehidupan dan
proses perkembangannya.
c. Fungsi pengentasan
Fungsi ini menghasilkan kemampuan klien untuk memecahkan
masalah-masalah yang dialami klien dalam kehidupan dan
perkembangannya.
d. Fungsi pemeliharaan dan pengembangan
Fungsi pemeliharaan dan pengembangan adalah fungsi konseling
yang menghasilkan kemampuan klien untuk memelihara dan
mengembangkan berbagai potensi atau kondisi yang sudah baik
tetap menjadi baik untuk lebih dikembangkan secara mantap dan
berkelanjutan.
e. Fungsi advokasi
Fungsi konseling ini menghasilkan kondisi pembelaan terhadap
berbagai bentuk pengingkaran atas hak-hak atau kepentingan
pendidikan dan perkembangan yang dialami klien.
Beberapa fungsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi
konseling individu adalah dimana koselor dapat memberikan
pemahaman kepada klien tentang permasalahan yang dihadapinya,
ketika klien telah memahami maka permasalahan tersebut dapat
dientaskan dan dicegah dampak dari permasalahan klien serta kllien
juga dapat memelihara dan mengembangkan potensi agar tetap
dalam keadaan menjadi lebih baik lagi.
4. Asas-Asas Konseling Individu
Asas-asas konseling memperlancar pengembangan proses
yang ada didalam layanan konseling individu. Konselor memasuki
pribadi klien dan klien memasuki pribadinya. Proses layanan
konseling dikembangkan sejalan dengan suasana yang demikian,
sambil di dalamnya dibangun kemampuan khusus klien untuk
keperluan kehidupannya. Ada beberapa asas-asas di dalam
konseling diantaranya sebagai berikut:
a. Kerahasiaan
Hubungan interpersonal yang amat intens sanggup membongkar
berbagai isi pribadi yang paling dalam sekalipun, terutama pada sisi
klien. Segenap rahasia pribadi klien yang terbongkar menjadi
tanggung jawab penuh konselor untuk melindunginya. Keyakinan
klien akan adanya perlindungan yang demikian itu menjadi jaminan
untuk suksesnya pelayanan.
b. Kesukarelaan
Dalam pelayanan konseling, seorang klien secara suka rela tanpa
ragu meminta bantuan kepada konselor. Klien adalah individu yang
membutuhkan konseling tanpa adanya paksaan dari pihak lain. Jadi
sebagai konselor harus memberikan bantuan dengan ikhlas tanpa
memaksa klien dalam proses konseling.
c. Keterbukaan
Keterbukaan artinya adanya perilaku yang terus terang, jujur tanpa
ada keraguan untuk membuka diri baik pihak klien maupun
konselor. Asas keterbukaan hanya bisa diwujudkan jika konselor
dapat melaksanakan asas kerahasiaan, dan klien percaya bahwa
konseling bersifat rahasia
d. Kekinian
Masalah klien yang langsung dibahas dalam konseling adalah
masalah-masalah yang sedang dirasakan/dialami sekarang, bukan
masalah lampau, dan juga bukan masalah yang mungkin akan
dialami di masa mendatang.
e. Kemandirian
Pelayanan konseling bertujuan menjadikan klien memiliki
kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan masalahnya
sendiri, sehingga ia dapat mandiri, tidak tergantung pada orang lain
ataupun konselor. Kemandirian konseling sebagai hasil konseling
menjadi fokus dari pelayanan konseling yang harus disadari baik
oleh konselor maupun klien, dengan demikian pelayanan konseling
dapat memberikan kontribusi nyata dalam kehidupan klien di
masyarakat.
f. Kegiatan
Kegiatan adalah seperangkat aktivitas yang harus dilakukan klien
untuk mencapai tujuan konseling. Aktivitas itu dibangun klien
bersama konselor dalam proses konseling, dengan demikian pada
diri konseli dapat mengalami kemajuan-kemajuan yang berarti
sesuai dengan harapan.
g. Kedinamisan
Usaha pelayanan konseling menghendaki terjadinya perubahan pada
diri klien, yaitu perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.
Perubahan perilaku itu bersifat maju (progressive) bukan perubahan
kearah kemunduran dengan demikian klien akan mengalami
perubahan ke arah perkembangan pribadi yang dihendeki.
h. Keterpaduan
Layanan konseling berusaha memadukan aspek kepribadian klien,
supaya mampu melakukan perubahan ke arah lebih maju.
Keterpaduan antara minat, bakat, intelegensi, emosi, dan aspek
kepribadian lainnya akan dapat melahirkan suatu kekuatan (potensi)
pada diri klien.
i. Kenormatifan
Dalam layanan konseling individu adalah normatif, sebab tidak ada
satupun yang boleh terlepas dari kaidah-kaidah norma yang berlaku,
baik norma agama, adat, hukum, ilmu, dan kebiasaan harus serasi
dengan norma-norma yang berlaku.
j. Keahlian
Konselor haruslah seorang yang ahli dan professional dalam
pengembangan konseling individu untuk kepentingan klien.
Keahlian konselor itu diterapkan dalam suasana yang sukarela,
terbuka dan aktif agar klien mampu mengambil keputusan sendiri
dalam kondisi kenormatifan yang tinggi.
k. Alih Tangan Kasus
Tidak semua masalah yang dialami konseli menjadi wewenang
konselor. Artinya konselor memiliki keterbatasan kewenangan, bila
klien mengalami masalah emosi yang berat seperti stress berat, sakit
jiwa, maka kasus ini di luar kewenangan konselor dan harus dialih
tangankan kepada pihak lain, misalnya klien mengalami gangguan
kepribadian berat maka menjadi wewenang psikiater, gangguan fisik
(medis) maka menjadi wewenang dokter, dan sebagainya.
l. Tut Wuri Handayani
Asas ini memberikan makna bahwa layanan konseling merupakan
bentuk pengaruh konselor kepada klien dalam arti positif, dan
konselor juga mempengaruhi klien untuk dapat memahami dirinya,
lingkungannya, serta menggunakan lingkungan sebagai aspek yang
dapat berperan aktif dalam upaya mencapai tingkat perkembangan
optimal.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa asas-asas
konseling sangat diperlukan dalam menyelenggarakan pelayanan
konseling, dan asas-asas juga dianggap sebagai suatu rambu-rambu
dalam pelaksanaan konseling yang harus diketahui dan diterapkan
oleh konselor dan klien agar konseling dapat berjalan dengan baik.
kasus ini di luar kewenangan konselor dan harus dialih tangankan
kepada pihak lain, misalnya klien mengalami gangguan kepribadian
berat maka menjadi wewenang psikiater, gangguan fisik (medis)
maka menjadi wewenang dokter, dan sebagainya.
5. Tahap-tahap Konseling Individu
Setiap tahapan proses konseling inidividu membutuhkan
keterampilan-keterampilan khusus. Oleh karena itu konselor
seyogyanya harus dapat menguasai berbagai teknik konseling.
Namun keterampilan-keterampilan itubukanlah utama jika
hubungan konselor dan klien tidak mencapai rapport. Dengan
demikian proses konseling individu ini tidak dirasakan oleh peserta
konseling (konselor klien) sebagai hal yang menjamukan. Maka dari
itu keterlibatan mereka (konselor klien) dalam proses konseling
sangat dibutuhkan sejak awal hingga akhir supaya proses konseling
dapat dirasakan, bermakna dan berguna. Sehingga bantuan yang
diberikan oleh konselor kepada klien dalam rangka pengentasan
masalahnya dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Secara umum proses konseling individu dibagi menjadi tiga
tahapan yang terdiri dari tahap awal, tahap pertengahan (kerja), dan
tahap akhir.
a. Tahap Awal Konseling
Tahapan ini sejak klien menemui konselor hingga
berjalan proses konseling sampai konselor dan klien
menemukan definisi masalah klien atas dasar isu,
kepedulian, atau masalah klien. Adapun proses konseling
tahap awal sebagai berikut:
1) Membangun hubungan konseling yang melibatkan
klien
Hubungan konseling bermakna ialah jika klien
terlibat berdiskusi dengan konselor. Hubungan
tersebut dinamakan a working realitionship, yakni
hubungan yang berfungsi, bermakna, dan berguna.
Keberhasilan proses konseling individu amat
ditentukan oleh keberhasilan pada tahap awal ini.
Kunci keberhasilan terletak pada:
a) Keterbukaan konselor
b) Keterbukaan klien, artinya dia dengan jujur
mengungkapkan isi hati, perasaan, harapan,
dan sebagainya. Namun, keterbukaan
ditentukan oleh faktor konselor yakni dapat
dipercayai klien karena dia tidak berpura-
pura, akan tetapi jujur, asli, mengerti, dan
menghargai.
c) Konselor mampu melibatkan klien terus
menerus dalam proses konseling. Karena
dengan demikian, maka proses konseling
individu akan lancar dan segera dapat
mencapai tujuan konseling individu.
2) Memperjelas dan mendefinisikan masalah
Sering klien tidak begitu mudah menjelaskan
masalahnya, walaupun mungkin klien hanya
mengetahui gejala-gejala yang dialaminya. Karena
itu amatlah penting peran konselor untuk membantu
memperjelas masalah klien. Demikian pula klien
tidak memahami potensi apa yang dimilikinya, maka
tugas konselorlah untuk membantu mengembangkan
potensi, memperjelas masalah, dan membantu
mendefinisikan masalahnya bersama-sama.
3) Membuat penafsiran dan penjajakan
Konselor berusaha menjajaki atau menaksir
kemungkinan mengembangkan isu atau masalah, dan
merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu
dengan membangkitkan semua potensi klien, dan dia
proses menentukan berbagai alternatif yang sesuai
bagi antisipasi masalah.
4) Menegosiasikan kontrak
Kontrak artinya perjanjian antara konselor dan
klien. Adapun kontrak ini meliputi:
a) Kontrak waktu, artinya berapa lama
diinginkan waktu pertemuan oleh klien dan
apakah konselor tidak keberatan.
b) Kontrak tugas, yaitu tugas apa saja yang
harus dilakukan konselor dan klien.
c) Kontrak kerjasama dalam proses konseling.
Kontrak menggariskan kegiatan konseling,
termasuk kegiatan klien dan konselor.
Artinya mengandung makna bahwa
konseling adalah urusan yang saling
ditunjang, dan bukan pekerjaan konselor
sebagai ahli. Disamping itu juga mengandung
makna tanggung jawab klien, dan ajakan
untuk kerja sama dalam proses konseling.
b.Tahap Pertengahan (Tahap Kerja)
Pada tahap pertengahan memfokuskan pada
penjelajahan masalah klien dan bantuan apa yang akan
diberikan berdasarkan penilaian kembali apa-apa yang telah
dijelajah tentang msalah klien. Menilai kembali masalah
klien akan membantu klien memperolah prespektif baru,
alternatif baru, yang mungkin berbeda dari sebelumnya,
dalam rangka mengambil keputusan dan tindakan. Dengan
adanya prespektif baru, berarti ada dinamika pada diri klien
menuju perubahan.Tanpa prespektif maka klien sulit untuk
berubah. Adapun tujuan-tujuan dari tahap kerja ini yaitu:
1) Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah, isu, dan
kepedulian klien lebih jauh. Dengan penjelajahan ini,
konselor berusaha agar kliennya mempunyai
prespektif dan alternatif baru terhadap masalahnya.
Konselor mengadakan reassessment (penilaian
kembali) dengan melibatkan klien, artinya masalah
itu dinilai bersama-sama. Jika klien bersemangat,
berarti dia sudah begitu terlibat dan terbuka. Dia akan
melihat masalahnya dari perspektif atau pandangan
yang lain yang lebih objektif dan mungkin pula
berbagai alternatif.
2) Menjaga agar hubungan konseling selalu terpelihara.
Hal ini bisa terjadi apabila
a) Klien merasa senang terlibat dalam
pembicaraan atau wawancara konseling, serta
menampakkan kebutuhan untuk
mengembangkan potensi diri dan
memecahkan masalahnya.
b) Konselor berupaya kreatif dengan
keterampilan yang bervariasi, serta
memelihara keramahan, empati, kejujuran,
keikhlasan dalam memberi bantuan.
Kreativitas konselor dituntut pula untuk
membantu klien menemukan berbagai
alternatif sebagai upaya untuk menyusun
rencana bagi penyelesaian masalah dan
pengembangan diri.
3) Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak.
Kontrak dinegosiasikan agar betul-betul
memperlancar proses konseling. Karena itu konselor
dan klien agar selalu menjaga perjanjian dan selalu
mengingat dalam pikirannya. Pada tahap
pertengahan konseling ada lagi beberapa strategi
yang perlu digunakan konselor yaitu:
a) Mengkomunikasikan nilai-nilai inti, yakni
agar klien selalu jujur dan terbuka, dan
menggali lebih dalam masalahnya. Karena
kondisi sudah amat kondusif, maka klien
sudah merasa aman, dekat, terundang dan
tertantang untuk memecahkan masalahnya.
b) Menantang klien sehingga dia mempunyai
strategi baru dan rencana baru, melalui
pilihan dari beberapa alternatif, untuk
meningkatkan dirinya.
c. Tahap Akhir Konseling (Tahap Tindakan)
Adapun pada tahap akhir konseling ditandai dengan
beberapa hal sebagai berikut:
1) Menurunya kecemasan klien. Hal ini diketahui
setelah konselor menanyakan keadaan kecemasanya.
2) Adanya perubahan perilaku klien kearah yang lebih
positif, sehat, dan dinamis.
3) Adanya rencana hidup masa yang akan datang
dengan program yang jelas.
4) Terjadinya perubahan sikap positif, yaitu mulai dapat
mengoreksi diri dan meniadakan sikap yang suka
menyalahkan dunia luar, seperti orang tua, guru,
teman, keadaan tidak menguntungkan dan
sebagainya. Jadi klien sudah berpikir realistik dan
percaya diri.
Adapun tujuan-tujuan tahap akhir adalah sebagai
berikut:
1) Memutuskan perubahan sikap dan perilaku yang
memadahi. Klien dapat melakukan keputusan
tersebut karena sejak awal sudah menciptakan
berbagai alternatif dan mendiskusikannya dengan
konselor, kemudian klien putuskan alternatif mana
yang terbaik. Pertimbangan keputusan itu tentunya
berdasarkan kondisi objektif yang ada pada diri dan
di luar diri. Saat ini dia sudah berpikir realistik dan
dia tahu keputusan yang mungkin dapat dilaksanakan
sesuai tujuan utama yang ia inginkan.
2) Terjadinya transfer of learning pada diri klien. Klien
belajar dari proses konseling mengenai perilakunya
dan hal-hal yang membuatnya terbuka untuk
mengubah perilakunya diluar proses konseling.
Artinya, klien mengambil makna dari hubungan
konseling untuk kebutuhan akan suatu perubahan.
3) Melaksanakan perubahan perilaku. Pada akhir
konseling klien sadar akan perubahan sikap dan
perilakunya. Hal ini dikarenakan klien datang minta
bantuan atas kesadaran akan perlunya perubahan
pada dirinya.
4) Mengakhiri hubungan konseling. Mengakhiri
konseling harus atas persetujuan klien. Sebelum
ditutup klien memiliki beberapa tugas yaitu:
a) Membuat kesimpulan-kesimpulan mengenai
hasil proses konselingMengevaluasi jalanya
proses konseling
b) Membuat perjanjian untuk pertemuan
berikutnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka tahapan-tahapan konseling
sangat penting diketahui oleh konselor, karena tahapan- tahapan ini
harus dilalui untuk sampai pada pencapaian keberhasilan dan
kesuksesan konseling. Dibalik itu semua peran konselor dan klien
juga dibutuhkan untuk memiliki hubungan timbal balik yang baik
agar mampu merumuskan solusi yang tepat secara bersama.

C. Konseling Kelompok

1. Pengertian Konseling Kelompok


Konseling kelompok adalah salah satu bentuk teknik
bimbingan. Dilihat dari segi suasana hubungan dalam batasan
individual-kelompok, secara garis besar teknik-teknik bimbingan
dan konseling dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar,
yakni bimbingan dan konseling individual serta bimbingan dan
konseling kelompok. Bimbingan dan konseling individual adalah
pelayanan-pelayanan bimbingan yang memanfaatkan suasana
interaksi atau komunikasi individual antara seorang konselor dengan
seorang konseli, sedangkan bimbingan dan konseling kelompok
memanfaatkan suasana kelompok. Yang menjadi sasaran bimbingan
dan konseling kelompok tetap konseli-konseli secara individual,
namun dengan memanfaatkan suasana kelompok sebagai cara
treatment dan sarana remedial dan atau perkembangan konseli.
Konseling kelompok, menurut Pauline Harrison (2002) adalah
konseling yang terdiri dari 4-8 konseli yang bertemu dengan 1-2
konselor. Dalam prosesnya, konseling kelompok dapat
membicarakan beberapa masalah, seperti kemampuan dalam
membangun hubungan dan komunikasi, pengembangan harga diri,
dan keterampilan-keterampilan dalam mengatasi masalah.
Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Juntika Nurihsan
yang mengatakan bahwa konseling kelompok adalah suatu bantuan
kepada individu dalam situasi kelompok yang bersifat pencegahan
dan penyembuhan, serta diarahkan pada pemberian kemudahan
dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
Gazda (1984:7) menjelaskan pengertian konseling kelompok
sebagai berikut: “Konseling kelompok merupakan suatu proses
interpersonal yang dinamis yang memusatkan pada usaha dalam
berpikir dan tingkah laku, serta melibatkan pada fungsi-fungsi terapi
yang memungkinkan, serta berorientasi pada kenyataan-kenyataan,
membersihkan jiwa, saling percaya mempercayai, pemeliharaan,
pengertian, penerimaan dan bantuan. Fungsi-fungsi dari terapi itu
diciptakan dan dipelihara dalam wadah kelompok kecil melalui
sumbangan perorangan dalam anggota kelompok sebaya dan
konselor. Konseli-konseli dalam anggota kelompok-kelompok
adalah individu normal yang mempunyai berbagai masalah yang
tidak memerlukan penanganan perubahan kepribadian lebih lanjut.
Konseli-konseli konseling kelompok menggunakan interaksi
kelompok untuk meningkatkan pengertian dan penerimaan terhadap
nilai-nilai dan tujuan-tujuan tertentu dan untuk mempelajari atau
menghilangkan sikap-sikap serta perilaku tertentu.
Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
layanan konseling kelompok pada hakikatnya adalah suatu proses
antar pribadi yang dinamis, terpusat pada pikiran dan perilaku yang
disadari, dibina dalam suatu kelompok kecil yang mengungkapkan
diri kepada sesama anggota dan konselor, dimana komunikasi antar
pribadi tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
pemahaman dan penerimaan diri terhadap nilai-nilai kehidupan dan
segala tujuan hidup serta untuk belajar perilaku tertentu ke arah yang
lebih baik dari sebelumnya.”
Konseling kelompok bersifat memberikan kemudahan dalam
pertumbuhan dan perkembangan individu, dalam arti bahwa
konseling kelompok memberikan dorongan dan motivasi kepada
individu untuk membuat perubahan-perubahan dengan
memanfaatkan potensi secara maksimal sehingga dapat
mewujudkan diri.
Layanan konseling kelompok mengikutkan sejumlah peserta
(konseli) dalam bentuk kelompok dengan konselor sebagai
pemimpin kegiatan kelompok. Layanan konseling kelompok
mengaktifkan dinamika kelompok untuk membahas berbagai hal
yang berguna bagi pengembangan pribadi dan pemecahan masalah
individu (konseli) yang menjadi peserta layanan. Dalam konseling
kelompok dibahas masalah pribadi yang dialami oleh masing-
masing anggota kelompok. Masalah pribadi dibahas melalui suasana
dinamika kelompok yang intens dan konstruktif, diikuti oleh semua
anggota kelompok di bawah bimbingan pemimpin kelompok
(konselor).
Dengan memperhatikan pendapat di atas maka dapat
disimpulkan bahwa konseling kelompok adalah suatu proses
konseling yang dilakukan dalam situasi kelompok, dimana konselor
berinteraksi dengan konseli dalam bentuk kelompok yang dinamis
untuk memfasilitasi perkembangan individu dan atau membantu
individu dalam mengatasi masalah yang dihadapinya secara
bersama-sama.

2. Fungsi Konseling Kelompok


Dengan memperhatikan definisi konseling kelompok
sebagaimana telah disebutkan di atas, maka kita dapat mengatakan
bahwa konseling kelompok mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi
layanan kuratif; yaitu layanan yang diarahkan untuk mengatasi
persoalan yang dialami individu, serta fungsi layanan preventif;
yaitu layanan konseling yang diarahkan untuk mencegah terjadinya
persoalan pada diri individu. Juntika Nurihsan mengatakan bahwa
konseling kelompok bersifat pencegahan dan penyembuhan.
Konseling kelompok bersifat pencegahan, dalam arti bahwa
individu yang dibantu mempunyai kemampuan normal atau
berfungsi secara wajar di masyarakat, tetapi memiliki beberapa
kelemahan dalam kehidupannya sehingga mengganggu kelancaran
berkomunikasi dengan orang lain. Sedangkan, konseling bersifat
penyembuhan dalam pengertian membantu individu untuk dapat
keluar dari persoalan yang dialaminya dengan cara memberikan
kesempatan, dorongan, juga pengarahan kepada individu untuk
mengubah sikap dan perilakunya agar selaras dengan
lingkungannya. Ini artinya, bahwa penyembuhan yang dimaksud di
sini adalah penyembuhan bukan persepsi pada individu yang sakit,
karena pada prinsipnya, objek konseling adalah individu yang
normal, bukan individu yan sakit secara psikologisnya.
3. Tujuan Konseling Kelompok
Tujuan mengacu pada mengapa kelompok mengadakan
pertemuan dan apa tujuan serta sasaran yang hendak dicapai. Brown,
mengatakan bahwa ketika pemimpin sepenuhnya memahami tujuan
dari kelompok, lebih mudah baginya untuk memutuskan hal-hal
seperti ukuran, keanggotaan, panjang sesi, dan jumlah sesi dalam
kelompok. Sementara itu bagi Hulse-Killacky & Donigian, tujuan
dari kelompok berfungsi sebagai peta bagi pemimpin. Anggota dan
pemimpin harus jelas tentang kedua tujuan umum dan tujuan
spesifik setiap sesi kelompok.
Bagi konseli, konseling kelompok dapat bermanfaat sekali
karena melalui interaksi dengan anggota-anggota kelompok, mereka
akan mengembangkan berbagai keterampilan yang pada intinya
meningkatkan kepercayaan diri (self confidence) dan kepercayaan
terhadap orang lain. Dalam suasana kelompok mereka merasa lebih
mudah membicarakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi
daripada ketika mereka mengikuti sesi konseling individual. Dalam
suasana kelompok mereka lebih rela menerima sumbangan pikiran
dari seorang rekan anggota atau dari konselor yang memimpin
kelompok itu dari pada bila mereka berbicara dengan seorang
konselor dalam konseling individu. Dalam konseling kelompok
konseli juga dapat berlatih untuk dapat menerima diri sendiri dan
orang lain dengan apa adanya serta meningkatkan kepercayaan diri
(self confidence) dan kepercayaan pada orang lain serta
meningkatkan pikirannya.
Tujuan pelaksanaan konseling kelompok ini adalah untuk
meningkatkan kepercayaan diri konseli. Kepercayaan diri dapat
ditinjau dalam kepercayaan diri lahir dan batin yang
diimplementasikan ke dalam tujuh ciri yaitu: cinta diri dengan gaya
hidup dan perilaku untuk memelihara diri, sadar akan potensi dan
kekurangan yang dimiliki, memiliki tujuan hidup yang jelas,
berpikiran positif dengan apa yang akan dikerjakan dan bagaimana
hasilnya, dapat berkomunikasi dengan orang lain, memiliki
ketegasan, penampilan diri yang baik dan memiliki pengendalian
perasaan.
Selanjutnya menurut Prayitno secara khusus, oleh karena
fokus layanan konseling kelompok adalah masalah pribadi individu,
maka layanan konseling kelompok yang intensif dalam upaya
pemecahan masalah tersebut, konseli memperoleh dua tujuan
sekaligus yaitu: pertama, terkembangnya perasaan, pikiran,
persepsi, wawasan dan sikap terarah kepada tingkah laku khususnya
dan bersosialisasi dan berkomunikasi. Kedua, terpecahnya masalah
individu yang bersangkutan dan diperolehnya imbas pemecahan
masalah tersebut yang individu-individu lain yang menjadi peserta
konseling kelompok.
Sedangkan dalam literature professional mengenai konseling
dalam kelompok adalah sebagai berikut:
a. Masing-masing konseli memahami dirinya dengan lebih baik
dan menemukan dirinya sendiri. Berdasarkan pemahaman itu
dia lebih rela menerima dirinya sendiri dan lebih terbuka
terhadap aspek-aspek positif dalam kepribadiannya.
b. Para konseli mengembangkan kemampuan berkomunikasi
satu sama lain, sehingga mereka dapat saling memberikan
bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan
yang khas untuk fase perkembangan mereka.
c. Para konseli memperoleh kemampuan mengatur dirinya
sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri, mula-mula dalam
kontak antarpribadi di dalam kelompok.
d. Para konseli menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain
dan lebih mampu menghayati perasaan orang lain. Kepekaan
dan penghayatan ini akan membuat mereka lebih sensitive
juga terhadap kebutuhan psikologis dan alam perasaan sendiri.
e. Masing-masing konseli menetapkan suatu sasaran yang ingin
mereka capai, yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang
lebih konstruktif.
f. Para konseli lebih menyadari dan menghayati makna dari
kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama, yang
mengandung tuntutan menerima orang lain dan harapan akan
diterima orang lain.
g. Masing-masing konseli semakin menyadari bahwa hal-hal
yang memprihatinkan bagi dirinya kerap juga menimbulkan
rasa prihatin dalam hati orang lain. Dengan demikian, dia tidak
akan merasa terisolir lagi, seolah-olah hanya dialah yang
mengalami ini dan itu.
h. Para konseli belajar berkomunikasi dengan seluruh anggota
kelompok secara terbuka, dengan saling menaruh perhatian.
Pengalaman bahwa komunikasi yang demikian dimungkinkan,
akan membawa dampak positif dalam kehidupan dengan
orang lain yang dekat padanya.
i. Belajar memercayai diri sendiri dan orang lain.
j. Mengklasifikasikan nilai-nilai seseorang dan menentukan cara
memodifikasinya.
k. Membuat perencanaan khusus untuk mengubah perilaku
tertentu dan untuk membuat komitmen diri sendiri dalam
mengikuti rencana tersebut.
l. Belajar tentang cara menghadapi orang lain dengan perhatian,
kepedulian, kejujuran dan keterarahan.

Sedangkan tujuan konseling kelompok menurut Gibson &


Mitchell adalah pencapaian satu tujuan, pemenuhan kebutuhan dan
pemberian suatu pengalaman nilai bagi setiap anggota kelompok.

4. Asas-asas Konseling Kelompok


a. Kerahasiaan
Segala sesuatu yang dibahas dan muncul dalam kegiatan
kelompok hendaknya menjadi rahasia kelompok yang hanya
boleh diketahui anggota kelompok dan tidak disebarluaskan ke
luar kelompok. Seluruh anggota kelompok hendaknya
menyadari benar hal ini dan bertekad untuk melaksanakannya
lebih dirasakan pentingnya dalam konseling kelompok
mengingat pokok bahasan adalah masalah pribadi yang
dialami anggota kelompok. Di sini posisi asas kerahasiaan
sama posisinya seperti layanan konseling individu. Seorang
pemimpin kelompok dengan sungguh-sungguh hendaknya
memantapkan asas ini sehingga seluruh anggota kelompok
berkomitmen penuh untuk melaksanakannya.
b. Kesukarelaan
Kesukarelaan anggota kelompok dimulai sejak awal
rencana pembentukan kelompok oleh konselor.
Kesukarelaan terus-menerus dibina melalui upaya pemimpin
kelompok mengembangkan syarat-syarat kelompok yang
efektif dan penstrukturan tentang layanan konseling
kelompok. Dengan kesukarelaan itu anggota kelompok akan
dapat mewujudkan peran aktif diri mereka masing-masing
untuk mencapai tujuan layanan.
c. Asas-asas Lain.
Dinamika kelompok dalam konseling kelompok
semakin intensif dan efektif apabila semua anggota
kelompok secara penuh menerapkan asas kegiatan dan
keterbukaan. Mereka secara aktif dan terbuka menampilkan
diri tanpa rasa takut, malu ataupun ragu. Dinamika kelompok
semakin, berisi dan bervariasi. Masukan dan sentuhan
semakin kaya dan terasa. Para peserta layanan konseling
kelompok semakin dimungkinkan memperoleh hal-hal yang
berharga dari layanan ini. Asas kekinian memberikan isi
aktual dalam pembahasan yang dilakukan, anggota
kelompok diminta mengemukakan hal-hal yang terjadi dan
berlaku sekarang ini. Hal-hal atau pengalaman yang telah
lalu dianalisis dan disangkut-pautkan kepentingan
pembahasan hal-hal yang terjadi dan berlaku sekarang. Hal-
hal yang akan datang direncanakan sesuai dengan kondisi
yang ada sekarang.
Asas kenormatifan dipraktekkan berkenaan dengan
cara-cara berkomunikasi dan bertatakrama dalam kegiatan
kelompok, dan dalam mengemas isi bahasan. Sedangkan
asas keahlian diperlihatkan oleh pemimpin kelompok
(konselor) dalam mengelola kegiatan kelompok dalam
mengembangkan proses dan isi pembahasan secara
keseluruhan.
5. Tahap-tahap konseling kelompok
Tahap-tahap pelaksanaan konseling kelompok terdapat 5
tahapan anatar lain sebagai berikut:
1) Tahap pembentukan.
Tahap ini merupakan tahap pengenalan, tahap pelibatan diri
kedalam suatu kelompok. Pada umumnya dalam tahapan ini
para anggota saling memperkenalkan diri, mengungkapkan
tujuan, cara, asas-asas, dan permainan untuk mengakrabkan
suasana kelompok.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pembentukan dalam
bimbingan kelompok adalah sebagai berikut:
a) Mengungkapkan pengertian dan tujuan bimbingan
kelompok
b) Menjelaskan cara-cara dan asas-asas yang berlaku
dalam bimbingan kelompok
c) Saling memperkenalkan dan mengungkapkan diri
d) Permainan (Ice breaking) agar anggota kelompok
saling mengenal dan merasa nyaman dengan
lingkungan barunya.
2) Tahap peralihan
Yaitu tahapan untuk mengalihkan kegiatan awal kelompok
ke kegiatan berikutnya yang lebih terarah pada pencapaian
tujuan kelompok. Kegiatan yang dilakukan pada tahap
peralihan adalah sebagai berikut:
a) Menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada
tahap berikutnya.
b) Menawarkan sambil mengamati apakah para anggota
sudah siap menjalani kegiatan pada tahap selanjutnya
(tahap ketiga)
c) Membahas suasana yang terjadi.
d) Meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota.
jika perlu kembali ke beberapa aspek tahap pertama
(tahap pembentukan)
3) Tahap kegiatan/pembahasan
Yaitu tahapan “kegiatan inti” mengentaskan masalah pribadi
anggota kelompok. Kegiatan yang dilakukan oleh anggota
kelompok pada tahap kegiatan inti adalah sebagai berikut :
a) Setiap anggota kelompok mengungkapkan masalah
pribadi yang perlu mendapat bantuan untuk
pengentasannya.
b) Kelompok memilih masalah mana yang hendak
dibahas dan dientaskan pertama, kedua, ketiga, dan
seterusnya.
c) Klien (anggota kelompok yang masalahnya dibahas)
memberi gambaran yang lebih rinci masalah yang
dialaminya.
d) Seluruh anggota kelompok ikut membahas masalah
klien melalui berbagai cara, seperti bertanya,
menjelaskan, mengkritisi, memberi contoh,
mengemukakan pengalaman pribadi, menyarankan.
e) Klien setiap kali diberi kesempatan untuk merespon
hal-hal yang ditampilan oleh rekan kelompok.
f) Kegiatan selingan.
4) Tahap penyimpulan
Yaitu tahapan kegiatan untuk melihat kembali apa yang
sudah dilakukan dan dicapai oleh kelompok. Peserta
kelompok diminta melakukan refleksi berkenaan dengan
kegiatan pembahasan yang baru saja diikuti.
a) Pemimpin kelompok meminta anggota kelompok
mengemukakan kesan dan hasil-hasil kegiatan
(refleksi).
b) Mengemukakan pesan dan harapan
5) Tahap penutupan/pengakhiran, yaitu merupakan tahapan
akhir dari seluruh kegiatan. Kelompok merencanakan
kegiatan bimbingan kelompok dan konseling kelompok
selanjutnya. Kegiatan yang dilakukan oleh peserta kelompok
pada tahap kelima adalah sebagai berikut :
a) Membahas kegiatan lanjutan
b) Kelompok mengakhiri kegiatan

D. Masalah-masalah Siswa di Sekolah

Masalah adalah sesuatu yang tidak luput dari diri setiap manusia.
Menurut KBBI masalah diartikan sebagai sesuatu yang harus diselesaikan
(dipecahkan), karena masalah yang menimpa sesorang bila dibiarkan
berkembang dan tidak segera dipecahkan dapat mengganggu kehidupan,
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Dalam menjalani aktivitas di sekolah baik kegiatan belajar mengajar
maupun kegiatan pergaulan sehari-hari tak dipungkiri selalu didapati
berbagai masalah yang dilakukan oleh para siswa. Salah satunya adalah
siswa sekolah menengah yang berada dalam fase masa remaja. Pada fase ini
individu mengalami perubahan yang besar yang dimulai sejak datangnya
fase masa pubertas.
Sikap dan perilaku anak yang berbeda dalam masa pubertas tersebut
sering mengganggu perkembangan anak pada fase berikutnya yakni fase
remaja yang akibatnya anak akan mengalami gangguan dalam menjalani
kehidupan pada fase remajanya. Beberapa masalah yang sering terjadi
terhadap para siswa tersebut antara lain :
1. Masalah Emosi
Akibat dari perubahan fisik dan kelenjar, emosi remaja
seringkali sangat kuat, tidak terkendali, dan kadang tampak
irasional. Hal ini dapat dilihat dari gejala yang tampak pada mereka,
misalnya mudah marah, mudah dirangsang, emosinya meledak-
ledak dan tidak mampu mengendalikan perasaannya. Keadaan ini
sering menimbulkan berbagai permasalahan bagi remaja.
Dari itu sekolah sebagai lembaga formal yang diberi tugas
dan tanggung jawab untuk membantu para peserta didik menuju arah
kedewasaan harus mempunyai langkah-langkah konkrit untuk
mencegah dan mengatasi masalah emosional tersebut. Penulis
beranggapan bahwa masalah emosi ini merupakan salah satu
masalah yang terkadang tidak terlihat secara kasat mata oleh para
pendidik di lingkungan sekolah karena kebanyakan dari para siswa
menimbulkan sifat emosionalnya ketika berhadapan dengan
rekannya yang lain. Hal ini tentu menjadi tugas penting bagi para
pendidik untuk lebih peka dan aktif dalam mengamati keadaan
setiap peserta didik guna memecahkan masalah tersebut.
2. Masalah Penyesuaian Diri
Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi, remaja harus
membuat banyak penyesuaian baru. Pada fase ini remaja lebih
banyak di luar rumah bersama rekan-rekannya sebagai kelompok,
maka dapatlah dimengerti kalau pengaruh teman sebaya dalam
segala pola perilaku, sikap, minat, dan gaya hidupnya lebih besar
daripada pengaruh dari keluarga. Perilaku remaja sangat tergantung
dari pola-pola perilaku kelompok. Yang menjadi permasalahan
apabila mereka keliru dalam bergaul maka remaja cenderung akan
mengikuti pergaulan yang salah tersebut tanpa mempedulikan
berbagai akibat yang akan menimpa dirinya karena kebutuhan akan
penerimaan dalam kelompok sebaya dianggap paling penting.
Dari itu penulis berpandangan bahwa perlu diadakannya
pemahaman-pemahaman di sekolah terkait wawasan pergaulan ini
supaya diharapkan para siswa dapat memilah dan memilih
lingkungan pergaulan yang sesuai dan memberikan dampak positif
bagi dirinya bukan sebaliknya.
3. Masalah Perilaku Seksual
Pada masa pubertas, remaja sudah mulai tertarik pada lawan
jenis sehingga timbul keinginan yang kuat untuk memperoleh
dukungan dan perhatian dari lawan jenis. Sebagai akibatnya, remaja
mempunya minat yang tinggi terhadap seks. Seharusnya mereka
mencari atau memperoleh informasi tentang seluk-beluk seks dari
orang tua, tetapi kenyataannya mereka lebih banyak mencari
informasi dari sumber-sumber yang kadang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Sebagai akibat dari informasi yang tidak
tepat tersebut dapat menimbulkan perilaku seks remaja yang apabila
ditinjau dari segi moral dan kesehatan tidak layak untuk dilakukan.
Dalam menanggulangi dan mangatasi masalah tersebut, sekolah
dapat melakukan tindakan nyata yang mampu membantu para
siswanya untuk mendapatkan informasi mengenai seks tersebut
dengan lebih aman dan bertanggungjawab, misalnya melalui
pendidikan seks.
Sejauh ini, kemajuan teknologi menjadi salah satu faktor
yang memberikan dampak terhadap masalah perilaku seksual. Tak
dipungkiri bahwa dampak negatif dari teknologi dewasa ini terlihat
lebih dominan apabila dibandingkan dengan dampak positifnya
terhadap masalah perilaku seksual para siswa, hal ini biasanya
disebabkan karena kurang adanya pengawasan dan perhatian dari
orang dewasa dalam setiap penggunaan teknologi oleh para siswa.
Hal ini tentu menjadi sebuah tanggung jawab besar bagi para
orangtua yang harus mampu melaksanakan pengawasan dan
perhatian terhadap anak yang kemudian memberikan pemahaman
akan pendidikan perilaku seksual terhadap anak-anaknya sebelum
sang anak mencari pemahamannya melalui media internet yang
dianggap kurang aman bila dilakukan tanpa pengawasan, hal
tersebut dikarenakan pendidikan seks yang biasanya dijelaskan di
sekolah tidaklah terlalu merujuk terhadap seluk beluk yang lebih
dalam dan kebanyakan menerangkan seks sejauh ranah ilmiah saja.
Dari itu peran orangtua akan sangat diharapkan untuk menunjang
pengetahuan anak yang lebih luas dan aman dalam masalah perilaku
seks ini.
4. Masalah Perilaku Sosial
Adanya diskriminasi terhadap mereka yang berlatar
belakang ras, agama, atau sosial ekonomi yang berbeda dapat
melahirkan kelompok remaja yang pembentukannya berdasarkan
atas kesamaan latar belakang agama, suku, dan sosial ekonomi, hal
ini tak sedikit dapat memicu terjadinya permusuhan antar kelompok
tersebut. Untuk mencegah dan mengatasi masalah tersebut, sekolah
dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kelompok dengan tidak
memperhatikan latar belakang suku, agama, ras dan sosial ekonomi.
Langkah ini telah banyak diaplikasikan oleh kebanyakan sekolah
yakni dengan diadakannya kegiatan siswa berbentuk kegiatan
intrakurikuler maupun kegiatan ekstrakurikuler. Dampak yang
dihasilkan cukup signifikan dimana terlihat munculnya pergaulan
positif dari para siswa yang tanpa memperhatikan perbedaan mampu
bergaul dengan baik.
Meskipun sekolah telah mengadakan beragam kegiatan bagi
para siswa seperti tersebut diatas, namun permasalahan tidak
berhenti sampai disana saja. Permasalahan yang muncul adalah
karena tidak semua siswa dalam satu sekolah itu bersedia dan
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler ataupun intrakurikuler yang
telah difasilitasi oleh pihak sekolah. Penulis beranggapan perlu
adanya hal yang mampu menjadi sarana pendorong bagi setiap siswa
di sekolah untuk sama-sama aktif dan mengikuti kegiatan tersebut
demi meningkatkannya sikap sosial para siswa. Rasa malas, sikap
apatis, perasaan minder, ataupun sikap individualis inilah yang
menjadi tugas para guru ataupun konselor di sekolah untuk sesegera
mungkin dicari dan diterapkan solusinya.
5. Masalah Moral
Masalah moral yang terjadi pada remaja ditandai oleh
ketidak mampuan remaja membedakan mana yang benar dan mana
yang salah. Hal ini disebabkan oleh ketidak konsistenan dalam
konsep benar dan salah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari. Maka, sekolah sebaiknya menyelenggarakan berbagai kegiatan
keagamaan serta meningkatkan pendidikan budi pekerti bagi para
siswa.
Selain yang telah tersebut diatasa, masalah moral ini dapat
muncul pula dikarenakan pola pergaulan yang kurang baik. Sikap
yang selalu merasa benar dikarenakan dikerjakan secara kolektif
dalam ranah pergaulan menjadi salah satu faktor yang mendorong
timbulnya masalah moral.
6. Masalah Perbedaan Individu
Keunikan individu mengandung arti bahwa tidak ada 2 orang
individu yang sama persis dalam aspek pribadinya,baik aspek
jasmani maupun rohani. Individu yang satu berbeda dengan individu
lainya. Timbulnya perbedaan individu ini dapat dikembalikan
kepada faktor pembawaan dan lingkungan sebagai komponen utama
bagi terbentuknya keunikan individu. Perbedaan pembawaan akan
memungkinkan perbedaan bagi setiap individu, meskipun dengan
lingkungan yang sama, sebaliknya lingkungan yang berbeda akan
memungkinkan timbulnya perbedaan individu, meskipun
pembawaannya sama.
Di sekolah sering kali tampak masalah perbedaan individu
ini, misalnya ada siswa yang sangat cepat dan ada yang sangat
lambat belajar. Ada yang menonjol dalam kecerdasan tertentu tapi
kurang cerdas pada bidang yang lain. Kenyataan ini akan membawa
konsekuensi bagi pelayanan pendidikan, khususnya yang
menyangkut bahan pelajaran, metode mengajar, alat-alat pelajaran,
serta pelayanan lainnya. Siswa akan menghadapi kesulitan dalam
penyesuaian diri antara keunikan dirinya dengan tuntutan dalam
lingkungannya. Hal ini di sebabkan karena pada umumnya program
pendidikan memberikan pelayanan atas dasar ukuran pada
umumnya atau rata-rata.
Mengingat bahwa yang menjadi tujuan pendidikan adalah
perkembangan yang optimal dari setiap individu, maka masalah
perbedaan individu ini perlu mendapat perhatian dalam pelayanan
pendidikan. Dengan kata lain sekolah hendaknya memberikan
pelayanan kepada para siswa secara individual sesuai dengan
keaunikan masing-masing. Usaha melayani siswa secara individual
ini dapat diselenggarakan melalui program bimbingan dan
konseling.
Beberapa segi perbedaaan individual yang perlu mendapat
perhatian diantaranya ialah perbedaan dalam :
a. Kecerdasan
b. Prestasi belajar
c. Sikap dan kebiasaan belajar
d. Motivasi belajar
e. Temperamen
f. Karakter
g. Minat
h. Ciri- ciri fisik
i. Cita- cita
j. Kemampuan dalam komunikasi atau berhubungan
interpersonal
k. Kemandirian
l. Kedisiplinan, dan
m. Tangung jawab

Untuk memahami karakteristik diatas, dapat dilakukan


melalui teknik tes dan non tes. Teknik tes meliputi psikotes dan tes
prestasi belajar. Sementara teknik non-tes meliputi angket,
wawancara, observasi, sosiometri, autobiografi dan catatan anekdot.
Data tentang keragaman atau perbedaan tersebut akan besar sekali
manfaatnya bagi usaha layanan bimbingan dan konseling.

7. Masalah Keluarga
Sebab-sebab umum pertentangan keluarga selama masa
remaja antara lain adalah standar perilaku, metode disiplin,
hubungan dengan saudara kandung, sikap yang sangat kritis pada
remaja, dan masalah palang pintu.
Remaja sering menganggap standar perilaku orang tua yang
kuno dan modern berbeda. Keadaan inilah yang sering menjadi
sumber perselisihan di antara mereka. Yang dimaksud dengan
masalah palang pintu adalah peraturan keluarga tentang penetapan
waktu pulang dan mengenai teman-teman remaja yang dapat
berhubungan terutama teman-teman lawan jenis. Untuk itu sekolah
harus meningkatkan kerjasama dengan orang tua melalui
komunikasi yang baik mengenai para siswanya masing-masing, hal
ini dapat dilakukan terutama oleh para wali kelas.
8. Masalah Belajar
Dalam seluruh proses pendidikan, belajar merupakan
kegiatan inti. Pendidikan itu sendiri dapat diartikan sebagai bantuan
perkembangan melalui kegiatan belajar. Secara psikologis belajar
dapat diartikan sebagai proses memperoleh perubahan tingkah laku
untuk memperoleh respon yang diperlukan dalam interaksi dengan
lingkungan secara efisien.
Dalam kegitatan belajar dapat timbul berbagai masalah baik
bagi pelajar itu sendiri maupun bagi pengajar. Misalnya bagaimana
menciptakan kondisi yang baik agar berhasil, memilih metode dan
alat-alat sesuai dengan jenis dan situasi belajar, membuat rencana
belajar bagi siswa, menyesuaikan proses belajar dengan keunikan
siswa, penilaian hasil belajar, diagnosis kesulitan belajar, dan
sebagainya. Bagi siswa sendiri, masalah-masalah belajar yang
mungkin timbul misalnya pengaturan waktu belajar, memilih cara
belajar, menggunakan buku-buku pelajaran, belajar berkelompok,
mempersiapkan ujian, memilih mata pelajaran yang cocok, dan
sebagainya.
Keberhasilan belajar siswa itu sendiri dipengaruhi oleh
berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.
a. Faktor Internal
Ada beberapa faktor yang harus dipenuhi agar
tercapainya keberhasilan dalam proses belajar. Faktor-faktor
tersebut meliputi faktor fisik dan psikis. Yang termasuk
faktor fisik, di antaranya nutrisi (gizi makanan), kesehatan
dan keberfungsian fisik (pancaindera). Kekurangan nutrisi
dapat mengakibatkan kelesuan, mudah mengantuk, mudah
lelah, dan kurang bisa berkonsentrasi. Penyakit juga dapat
mempengaruhi keberhasilan belajar, apabila penyakit itu
bersifat kronis atau terus menerus dan mengganggu
kenyamanan. Pancaindera pun sangat berpengaruh terhadap
proses pembelajaran, dikarenakan pancaindera merupakan
pintu gerbang masuknya informasi dari luar. Oleh karena itu,
pemeliharaan yang intensif sangat penting bagi setiap
individu. Sementara yang termasuk faktor psikis di
antaranya adalah kecerdasan, motivasi, minat, sikap dan
kebiasaan belajar, dan suasana emosi. Apabila kedua faktor
tersebut tidak terpenuhi atau mengalami gangguan, maka
kemungkinan besar individu akan mengalami kesulitan
belajar.
b. Faktor Eksternal
Faktor ini meliputi aspek-aspek sosial dan nonsosial.
Yang dimaksud dengan faktor sosial adalah faktor manusia,
baik yang hadir secara langsung yakni bertatap muka atau
berkomunikasi secara langsung, maupun kehadirannya
secara tidak langsung, seperti berupa foto, suara dalam radio,
TV, dan telepon. Sedangkan yang termasuk faktor nonsosial
adalah keadaan suhu udara, waktu (pagi, siang, malam),
suasana lingkungan (sepi, bising atau ramai), keadaan
tempat (kualitas gedung, luas ruangan, kebersihan, ventilasi,
dan kelengkapan mebeler), kelengkapan alat-alat atau
fasilitas belajar (ATK, alat peraga, buku-buku sumber, dan
media komunikasi belajar lainnya).

Jelas bahwa dalam kegiatan belajar ini banyak masalah-


masalah yang timbul terutama yang dirasakan oleh siswa sendiri.
Sekolah mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membantu
siswa agar mereka berhasil dalam menjalani kegiatan belajar. Untuk
itu hendaknya sekolah memberikan bantuan kepada siswa dalam
mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan belajar
tersebut. Di sinilah penting dan perlunya program bimbingan dan
konseling untuk membantu agar mereka berhasil dalam belajar.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan dalam
suasana hubungan tatap muka antara seorang ahli (yaitu orang yang
telah mengikuti pendidikan khusus dan terlatih secara baik dalam
bidang bimbingan dan konseling) dan seorang individu yang sedang
mengalami suatu masalah atau kesulitannya sendiri.
2. Konseling individu merupakan suatu layanan konseling yang
diselenggarakan oleh konselor terhadap konseli untuk mengentaskan
suatu masalah yang dihadapi konseli. Jadi konseling individu adalah
proses pemberian bantuan yang mana konseli bertemu dengan konselor
secara langsung (face to face) dan di dalamnya terjadi interaksi.
3. Konseling kelompok adalah suatu proses konseling yang dilakukan
dalam situasi kelompok, dimana konselor berinteraksi dengan konseli
dalam bentuk kelompok yang dinamis untuk memfasilitasi
perkembangan individu dan atau membantu individu dalam mengatasi
masalah yang dihadapinya secara bersama-sama.
4. Masalah-masalah yang sering terjadi terhadap siswa yaitu masalah
emosi, penyesuaian diri, perilaku seksual, perilaku sosial, moral,
perbedaan individu, keluarga dan belajar
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, B. (2012). Modul konseling individual. Program Studi Bimbingan dan


Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, FIP UNY, Jakarta.
Jabbar, A. A., Purwanto, D., Fitriyani, N., Marjo, H. K., & Hanim, W. (2019). Konseling
Kelompok Menggunakan Pendekatan Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk
Meningkatkan Kematangan Karir. Jurnal Selaras: Kajian Bimbingan Dan
Konseling Serta Psikologi Pendidikan, 2(1), 35-46.
Putri, F. R., & Hanifah, H. (2018). PERMASALAHAN SISWA DITINJAU DARI
BIMBINGAN KONSELING DAN PEMBELAJARAN
MATEMATIKA. TRIADIK, 17(1).
Wahyuni, S. (2018). Konsep Dasar Konseling Kelompok. Hikmah, 12(1), 78-97.
Yusuf L. N., Syamsu. 2014. Program Bimbingan dan Konseling di sekolah. Bandung:
Rizqi Press
Wahyuni, S. (2018). Konsep Dasar Konseling Kelompok. Hikmah, 12(1), 78-97.
Winkel, W.S. 1982. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah Menengah. Jakarta: PT
Gramedia
A’yunin, Qurrota. 2014. Layanan Konseling Individual. http://etheses.uin-
malang.ac.id/788/5/10410023%20Bab%202.pdf
(Diakses pada tanggal 02 Mei 2023)
Kusmawati, Ati. 2019. Modul Konseling.
http://repository.umj.ac.id/4233/2/MODUL%20KONSELING_ATI%20KUSMA
WATI_KESOS%20.pdf
(Diakses pada tanggal 02 Mei 2023)
Sri Rahayu, Tammy. 2020. Masalah-masalah Siswa di Sekolah.
https://www.academia.edu/63293819/Masalah_Masalah_Siswa_di_Sekolah
(Diakses pada tanggal 11 Mei 2023)

Anda mungkin juga menyukai