Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ISSUE-ISSUE ETIK DALAM PRAKTIK KONSELING


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pengembangan Pribadi konselor
Dosen Pengampu : IKKE YULIANI DHIAN P., M.Pd.

Oleh :
1. Adistiya Rahma (19.1.01.01.0017)
2. Sania Putri Salsabilla (19.1.01.01.0047)
3. Purna Sansastra (19.1.01.01.0039)

UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BIMBINGAN DAN KONSELING
TAHUN AJARAN 2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Penerapan Nilai
dan Isue dalam Proses Konseling ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen Ikke Yuliani
Dhian P., M.Pd.  Pada mata kuliah Pengembangan Pribadi Konselor. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang issue-issue etik dalam praktik konseling bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada  Ibu Ikke Yuliani Dhian P., M.Pd.
selaku dosen mata kuliah Pengembangan Pribadi Konselor yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang saya tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Kediri, 17 november 2021

Penulis
 

ii
DAFTAR ISI

COVER........................................................................................................i

KATA PENGANTAR................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................................1


B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan ...................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Penempatan Kepentingan Konseli di atas Kepentingan Konselor.......2


B. Pengambilan Keputusan yang Etis.......................................................3
C. Beberapa Tahap Pembuatan Keputusan yang Etis...............................5
D. Hak Informed Consent .........................................................................6
E. Dimensi-Dimensi Konfidensialitas.......................................................6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................8
B. Saran......................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................9

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Etika merupakan kaidah-kaidah atau norma-norma yang diberlakukan dalam suatu


organisasi atau asosiasi. Etika merupakan kebutuhan bagi organisasi dan para anggota yang
ada didalamnya. Anggota yang berada dalam organisasi tersebut akan leluasa melakukan
kinerjanya karena dilindungi oleh kerangkan etik yang diberlakukan. Etika dapat
dipengaruhi oleh budaya pada suatu lingkungan tertentu, serta dapat dipengaruhi oleh visi
dan misi organisasi tersebut.

Kode etik profesi merupakan salah satu aspek standarisasi profesi BK sebagai
kesepakatan profesional mengenai rujukan etika perilaku. Pekerjaan bimbingan dan
konseling tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang berlaku. Atas dasar nilai yang dianut oleh
pembimbing/konselor dan terbimbing/klien, maka kegiatan layanan bimbingan dapat
berlangsung dengan arah yang jelas dan atas keputusan-keputusan yang berlandaskan nilai-
nilai.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penempatan kepentingan konseli di atas kepentingan konselor ?
2. Bagaimana cara pengambilan keputusan yang etis ?
3. Apa saja tahap pembuatan keputusan yang etis ?
4. Apakah Hak Informed Consent itu. ?
5. Apakah Dimensi-dimensi konfidensialitas ?

C. Tujuan

1. Mengetahui penempatan kepentingan konseli di atas kepentingan konselor


2. Mengetahui cara pengambilan keputusan yang etis
3. Mengetahui tahap pembuatan keputusan yang etis
4. Mengetahui Hak Informed Consent
5. Mengetahui Dimensi-dimensi konfidensialitas

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penempatan Kepentingan Konseli di atas Kepentingan Konselor

Penempatan kepentingan konseli di atas kepentingan konselor


Konselor bertindak untuk kepentingan terbaik konseli. Hal ini tidak mudah untuk dilakukan
karena disebabkan oleh ketidakmampuan konselor dalam mengenali karakter, motif dan
kebutuhan konseli yang sesungguhnya atau disebabkan oleh ketidaksadaran konselor dalam
menggali dan mengelaborasi nilai-nilai konseli sendiri.
Konselor tidak dapat melepaskan kepentingan pribadinya saat menangani konseli.
Adakalanya konselor terjebak dalam pikirannya sendiri dan secara tidak sadar sebenarnya hanya
berupaya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya dan mengabaikan terpenuhinya kebutuhan
konseli. Hal ini tentu sangat mengganggu proses konseling secara keseluruhan karena tindakan
apapun yang dilakukan konselor semata-mata ditunjukkan untuk memuaskan kebutuhannya
sendiri dan melupakan kesejahteraan psikologis konseli.
Pada dasarnya kesadaran yang matang sangat diperlukan oleh konselor. Karena melalui
kesadaran, konselor memahami bahwa ada konflik, harapan dan kebutuhan pada dirinya yang
mungkin belum terselesaikan. Apabila dibiarkan secara tidak lansung konselor menghalangi
konseli, untuk itu konselor diharapkan mampu mengerti keadaan konseli. ( Corey,2009 ).
APA ( American Psychological Association ) menegaskan bahwa dalam hubungan
konseling, masalah pribadi tidak dibenarkan supaya tidak mengakibatkan pelayanan menjadi
buruk dan merugikan konseli, atau apabila konselor sadar atas masalahnya, maka konseli harus
mencari bantuan professional yang kompeten guna menentukan apakah konseli dapat
melanjutkan atau harus mengakhiri pelayanan terhadap konselinya.
Selain permasalahan pribadi yang telah dibahas, ada beberapa aspek dari kepribadian
konselor yang dapat mempengaruhi hubungan konseling dan merugikan konseli. Corey (2009)
menyebutkan aspek-aspek tersebut antara lain:
a) Kebutuhan akan kendali kekuasaan
b) Kebutuhan untuk membantu dan memlihara.
c) Kebutuhan untuk mengubah orang lain.

2
d) Kebutuhan untuk mengajari.
e) Kebutuhan untuk membujuk dan menasehati.
f) Kebutuhan untuk merasa mampu dan berguna
g) Kebutuhan untuk dihormati dan dihargai.

Seorang konselor yang masih mementingkan kepentingannya di atas kepentingan konseli


akan menimbulkan efek negatif yang seharusnya tidak perlu terjadi. Maka dalam menangani
konseli, seorang konselor harus menempatkan kepentingan konseli di atas kepentingan pribadi.
Karena konseli yang tidak terpenuhi kebutuhannya biasanya akan meninggalkan proses
konseling sebelum terminasi. Apabila ini terjadi maka konselor telah melakukan kekeliruan
dalam peranannya sebagai helping profession.
Contoh penempatan kepentingan konseli diatas kepentingan konselor yaitu misalnya
seorang konselor memiliki masalah tentang keluarga mengenai hubungannya dengan istrinya
yang mulai renggang, ia tidak tahu masalah apa yang menjadi penyebabnya sehingga
membuatnya terus memikirkannya sepanjang hari. Suatu ketika ia mendapat konseli yang perlu
ia berikan bantuan, ia harus dapat fokus dengan konseli tersebut supaya dapat membantu
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh konselinya. Ia harus membuang jauh-jauh pikiran
tentang masalah dengan istrinya. Ia tidak boleh mencapur adukkan antara masalah pribadinya
dengan masalah yang dihadapi konseli karena disetiap masalah pasti memiliki penyebab dan
penyelesaian yang berbeda-beda.

B. Pengambilan Keputusan yang Etis

Blocher (1996) menjelaskan bahwa kode etik dapat memberikan pedoman luas untuk
keputusan etis, namun jarang cukup rinci menerapkan secara sempurna untuk situasi etis tertentu.
Pengambilan keputusan etik tidak selamanya mudah, namun inilah yang menjadi tugas seorang
konselor (Gladding, 2012). Selanjutnya Welfel (dalam Gladding, 2012) menambahkan perlunya
karakter integritas, keberanian moral, serta pengetahuan dalam diri konselor untuk mengatasi hal
tersebut.

3
Hoose dan Kottler (dalam Gladding, 2012) memaparkan alasan pentingnya kode etik
dalam sebuah profesi:

a) Kode Etik melidungi profesi dari pemerintah. Poin ini menjelaskan bahwa sebuah
profesi diperbolehkan secara mandiri dalam independensinya untuk mengelola
profesi tersebut agar berfungsi sebagaimana mestinya.
b) Kode etik membantu mengontrol ketidaksepakatan internal dan pertengkaran,
sehingga memelihara kestabilan dalam profesi.
c) Kode etik melindungi praktisi dari publik, terutama untuk pengaduan malpraktik.
Jika konselor telah bertindak sesuai batas-batas kode etik, tingkah lakunya akan di
nilai telah mematuhi standar umum.

Berdasarkan penjelasan di atas, dengan demikian kode etik dapat membantu


meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas sebuah profesi, serta menjamin
perlindungan klien dari layanan yang dapat merugikan klien tersebut. Sementara itu ACA;
Herlihy dan Corey (dalam Gladding, 2012) memberikan contoh perilaku tidak etis yang paling
sering terjadi dalam bimbingan dan konseling:

a) Pelanggaran kepercayaan.
b) Melampaui tingkat kompetensi profesional seseorang.
c) Kelainan dalam praktik.
d) Mengklaim keahlian yang tidak dimiliki.
e) Memaksakan nilai-nilai konselor pada klien.
f) Membuat klien bergantung.
g) Melakukan aktivitas seksual dengan klien.
h) Konflik kepentingan, seperti hubungan ganda yaitu peran konselor bercampur
hubungan pribadi atau hubungan profesional yang menyimpang.
i) Persetujuan finansial yang kurang jelas.
j) Pengiklanan yang tidak pantas.
k) Plagiarisme.

4
Dipaparkannya perilaku tidak etis di atas diharapkan setidak-tidaknya konselor
menghindari perilaku-perilaku di atas dan lebih selektif dalam menjalankan profesi konselor.
Namun demikian, kode etik jarang terperinci dalam mengurai kasus yang lebih spesifik karena
kode etik itu sendiri lebih bersifat umum dan idealistik.

Dalam banyak kasus, konselor diminta untuk membuat keputusan etis yang kompleks.
Beymer, Corey dan Callanan, dan Talbutt (dalam Gladding, 2012) menjelaskan ada sejumlah
batasan spesifik dalam kode etik:

a) Beberapa masalah tidak dapat diputuskan dengan kode etik.


b) Pelaksanaan kode etik merupakan hal yang sulit.
c) Standar-standar yang diuraikan dalam kode etik ada kemungkinan saling
bertentangan.
d) Beberapa isu legal dan etis tidak tercakup dalam kode etik.
e) Kode etik adalah dokumen sejarah, artinya kode etik yang diterapkan dalam kurun
waktu tertentu bisa saja tidak lagi relevan di kemudian hari.
f) Terkadang muncul konflik antara peraturan etik dan peraturan legal.
g) Kode etik tidak membahas masalah lintas budaya.
h) Tidak semua kemungkinan situasi dibahas dalam kode etik
i) Seringkali sulit menampung keinginan semua pihak yang terlibat dalam
perbincangan etik secara sistematis.
j) Kode etik bukan dokumen proaktif untuk membantu konselor dalam memutuskan
apa yang harus dilakukan dalam suatu situasi baru.

C. Beberapa Tahap Pembuatan Keputusan yang Etis.

a. Model ethical problem-solving Bond


a) Menghasilkan deskripsi singkat tentang permasalahan atau dilemma
b) Mempertimbangakan siapa yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah
c) Mempertimbangkan semua ketika yang relevan dan bimbingan yang legal
d) Mengidentifikasi semua kemungkinan jalan tindakan
e) Mengevaluasi hasilnya

5
b. Model ethical decision-making Corey dan Corey
a) Mengidentifikasi permasalahan
b) Menerapkan pedoman etik
c) Menentukan sifat dan dimensi-dimensi dan mencari konsultasi
d) Menghasilkan berbagai kemungkinan rangkaian tindakan
e) Mempertimbangkan berbagai kemungkinan konsekuensi dari semua opsi dan
menentukan rangkaian tindakannnya.
f) Mengevaluasi rangkaian tindakan yang dipilih
g) Mengimplementasikan rangkaian tindakan tersebut.
D. Hak Informed Consent
Inform consent atau surat persetujuan adalah pernyataan persetujuan dari klien
yang akan menjalani proses konseling maupun terapi. Sehingga hal ini perlu menjadi
dasar hubungan profesional antara konselor dengan konseli, serta perlu dibicarakan
sebelum dimulainya sesi. Hal ini bertujuan untuk tetap menjunjung tinggi kode etik
profesi mengenai batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama sesi
berlangsung. Selain itu informed consent juga harus disepakati tanpa adanya paksaan
ataupun manipulasi salah satu pihak. Konselor akan memberikan pemahaman mengenai
proses yang akan dilakukan serta memberitahu bahwa konseli bisa menghentikan proses
sewaktu-waktu jika memang merasa tidak nyaman. Pada dasarnya ini adalah kesepakatan
awal yang dibentuk dan dibangun antara konselor – konseli.

E. Dimensi-Dimensi Konfidensialitas

Menrut Siti Hartinah (2006) mengemukakan masalah lain yang berkaitan dengan
kegiatan konseling adalah menyangkut soal konfidensial (kerahasiaann) klien.
Konfidensial ini berkaitan dengan apakah hal-hal yang di bicarakan dalam konseling
bersifat kerahasiaan atau tidak. Konfidensial iu berbeda dengan privasi yaitu sesuatu yang
bersifat pribadi dan tidak perlu diketahui atau dikemukakan kepada pihak lain.

Menurut Ruebhasen dan Brim (caroll, 1995) privasi adalah kebebasan individu
untuk memilih dan menentukan sikap keyakinan, tingkalh laku dan opini untuk dirinya,
baik yang akan di diskusikan atau di asampaikan keada orang lain. Dengan kata lain,
privasi itu berhubungan baik dengan hak untuk kehidupannya sendiri tanpa ikut campur

6
dengan pihak lain. Sementara konfidensialitas itu berhubungan dengan pengendalian
informasi yang diterima dari seseorang. Sebuah informasi dikatakan tidak di sampaikan
kepihak atau publik.

Secara umum dinyatakan bahwa informasi yang dibicarakan oleh klien baik
menyangkut diri bersifat konfidental, tidak dapat disampaikan secara terbuka oleh
konselor kepada siapapun, termasuk kolega-koleganya. Pada dasarnya klien melakukan
self-disclosure karena klien percaya bahwa konselor akan merahasiakan segalanya.

Menurut Monroe merahasiakan klien demikian hendaknya dihagai, dalam hal ini
konselor perlu memperhatikan hal-hal berikut ini :

a) Klien hendaknya mengetahui kidudukannya dalam hubungannya dengan


kerahasiaan.
b) Andai kata dalam usaha membantu klien mengatasi masalahnya diperlukan
konsultasi dengan orang tua.
c) Andai kata klien menghendaki agar keterangan tertentu dirahasiakan, maka
konselor menghargai permintaan itu dengan sebaik-baiknya.
d) Jika kerahasiaan suatu keterangan tidak lagi dapat dijamin yang disebabkan
karena adanya tuntutan hukum atau karena pertimbangan-pertimbangan lain
yang mungkin dapat membahayakan dirinya maka klien harus diberitahu
sesegera mungkin.

BAB III
PENUTUP

7
A. Kesimpulan
Dengan memperhatikan pengertian dan keterbatasan di atas, pekerjaan bimbingan dan
konseling memerlukan adanya kode etik profesional agar layanan bimbingan dapat
terlaksana secara pforesional. Kode etik profesional sebagai perangkat standar
berperilaku, dikembangkan atas dasar kesepakatan nilai-nilai dan moral dalam profesi
itu. Dengan demikian kode etik bimbingan dan konseling dikembangkan atas dasar nilai
dan moral yang menjadi landasan bagi terlaksananya profesi bimbingan dan konseling.

B. Saran

Kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing dan teman-teman atas
penulisan makalah ini. Karena kritik dan saran dari dosen pembimbing dan teman-teman
akan sangat membantu dan memberi motivasi dalam penulisan makalah selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA

http://konselingperkembangan.blogspot.com/2011/03/kode-etik-dan-isu-konselor.html

https://mahasiswabkmatoh.blogspot.com/2019/10/etik-dalam-konseling-1penempatan.html?m=1

8
9

Anda mungkin juga menyukai