Anda di halaman 1dari 12

BIMBINGAN DAN KONSELING SPIRITUAL

Makalah ini dibuat guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Bimbingan Konseling Klasik dan Kontemporer

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Nurjannah, M.Si.
NIP.19600310 198703 2 001

Oleh:
Rafi Bagus Adi Wijaya (19200012045)

PROGRAM STUDI INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES


KONSENTRASI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2019/2020

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bimbingan konseling pada awal kelahiranya bersifat sekularistik-
materialistik, hal tersebut sesuai dengan pandangan hidup orang-orang barat
sebagai pencetusnya dan sesuai dengan tempat kelahiranya yaitu amerika.
Bimbingan dan Konseling di Barat tidak dikaitkan dengan Tuhan ataupun ajaran
tertentu, padahal manusia mengakui kekuatan yang lebih tinggi dari dirinya,
layanan bimbingan dan konseling semata-mata dianggap sebagai masalah
keduniaan, padahal banyak diantara manusia yang mengakui adanya kehidupan
setelah mati, semua teori merupakan hasil kerja rasio atas dasar pengalaman masa
lalu, padahal ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dijangkau oleh otak dan
pemikiran manusia.1
Demikian pula masalah-masalah yang terjadi tidak pernah terkait dengan
dosa dan pahala sementara dalam batin manusia yang beragama selalu tertanam
makna dosa dan pahala. Karenanya bimbingan dan konseling pada saat itu belum
dapat menyantuni seluruh umat manusia di muka bumi. Dalam perkembangan
selanjutnya mulailah disadari bahwa pada diri manusia ada potensi lain yang turut
andil dalam menentukan seluruh aktivitas dan kehidupan manusia yaitu
spiritualitas.2
Dewasa ini berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang
berlandaskan nilai-nilai spiritual. Mereka makin menyadari bahwa suasana
keluarga yang harmonis di atas landasan nilai-nilai religi yang kuat pada dasarnya
merupakan situasi yang kondusif bagi terciptanya kehidupan. Suasana seperti itu
akan menumbuhkan kualitas manusia agamis yang memiliki ketahanan dan
keberdayaan yang mantap. Charlene E. Westgate, dikutip dalam Irzum Farihah,
menyebutkan kondisi seperti itu sebagai “spiritual wellness” yang dia artikan
sebagai suatu keadaan yang tercermin dalam keterbukaan terhadap dimensi

1
Lilis Satriah, Pendekatan Spiritual Dalam Konseling Spiritual (Konseling Spiritual).
(IRSYAD: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam, Vol. 1, No. 1, 2008)
h 5.
2
Ibid., h 5.

2
spiritual yang memungkinkan keterpaduan spiritualitas dirinya dengan dimensi
kehidupan lainnya, sehingga mengoptimalkan potensi untuk pertumbuhan dan
perwujudan diri. Selanjutnya Charlene E. Westgate mengemukakan ada empat
dimensi “spiritual wellness” ini yaitu: 1. Meaning of life, 2. Intrinsic value, 3.
Transcendence, 4. Community of shared values and support. Dengan kata lain
mereka yang telah memiliki “spiritual wellness” memiliki kemampuan untuk
mewujudkan dirinya secara bermakna dalam dimensi-dimensi hidup secara
terpadu dan utuh.3
Model bimbingan konseling spiritual merupakaan kombinasi antara ilmu
bimbingan konseling dengan agama. Pendidikan agama sangatlah penting dalam
membentuk karakter individu yang baik dan buruk. Dengan kondisi saat ini di era
digital mendorong berkembangnya konseling spiritual. Dalam kaitan ini Jakson,
dkk. Dalam Biyan, mengusulkan agar spiritualitas ini dijadikan sebagai angkatan
kelima dalam konseling dan psikoterapi. Selanjutnya dijelaskan bahwa:
“Spirituality includes concepts such as transcendence, self-actualization, purpose
and meaning, wholness, balance, sacredness, universality, and a sense of High
Power”. Berkaitan dengan isu-isu Agama dalam konseling, Hill dkk.
Mengemukakan ada empat pendekatan yaitu (1) rejectionist, yaitu yang menolak
campur aduk agama dengan konseling, (2) exclusivist, yang mengakui adanya
agama akan tetapi dipisahkan antara agama dengan konseling, (3) Constructivist,
yang memberikan peluang pendekatan agama dalam konseling dan konseli sendiri
yang membentuknya. (4) pluralis, yaitu pendekatan yang memungkinkan proses
konseling yang berlandaskan nilai-nilai agama.4

B. Rumusan masalah
3
Irzum Farihah, Bimbingan Keagamaan Bagi Masyarakat Perkotaan. (Konseling Religi:
Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2014) h 176-177.
4
Biyan Mezzaluna D, Model Bimbingan dan Konseling Dalam Menghadapi Era 5.0.
(Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2019) h 3. accesed November 10, 2020,
https://www.researchgate.net/deref/http%3A%2Fdx.doi.org%2F10.31219%2Fosf.io%2Fy8egu

3
Demi tercapainya tujuan pembahasan dari makalah yang berjudul
Bimbingan dan Konseling Spiritual, maka pemakalah merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apa pengertian Konseling Spiritual?
2. Apa tujuan dari Konseling Spiritual?
3. Apa saja metode dan model Konseling Spiritual?

C. Tujuan
Diharapkan dari penulisan makalah ini nantinya dapat mencapai tujuan
yang diharapkan antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian konseling spiritual.
2. Untuk mengetahui tujuan dari konseling spiritual
3. Untuk mengetahui apa saja metode dan model konseling spiritual.
4.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konseling Spiritual


Sebelum mendefinisikan makna konseling spiritual, tentunya yang perlu
diketahui adalah bahwa pada hakikatnya manusia terdiri dari empat komponen,
yaitu: fisik, sosial, psikologi, dan spiritual. Keempat komponen ini tidaklah berdiri
sendiri tetapi saling terkait dan terintegrasi pada diri seseorang. Gangguan pada
salah satu aspek akan mengakibatkan gangguan pada aspek lain, dan sebaliknya
kesehatan pada satu aspek akan mendukung aspek yang lain.
Munculnya istilah spiritual konseling tidaklah terjadi begitu saja,
melainkan melalui suatu evolusi yang cukup panjang dalam mendiskusikannya,
tetapi yang perlu diketahui bahwa konsep ini mulai manjadi trend dalam karya-
karya ilmiah sejak tahun 90 an. Terbukti dengan banyaknya hasil-hasil penulisan
yang berujung pada konsep verifikasi dimensi spiritual dalam perkembangan
individu.
Dr. Graham Wilson menyatakan bahwa konseling spiritual adalah proses
bantuan pada individu dalam mengungkap berbagai respon diri baik secara fisik,
emosi, maupun spiritual secara menyeluruh agar konseli mampu menemukan
dirinya kembali kearah diri yang lebih luhur, bagi seorang konselor konseling
spiritual merupakan bentuk pengembangan keterampilan diri.5
Pada dasarnya setiap orang mempunyai kemampuan menemukan dirinya
sendiri dan jawaban atas permasalahannya sendiri. Namun bila tidak demikian
maka yang diperlukan adalah penyadaran diri (self awareness) sebagaimana
tujuan konseling dalam pendekatan psikoanalisa. Pendekatan konseling spiritual
lebih beracuan pada penemuan diri kembali pada tingkat kesadaran, keyakinan
yang lebih tinggi, sebagai unsur dari spiritualitas.6
Spiritualitas (spirituality) berasal dari bahasa latin spiritus yang berarti
breath of life (nafas hidup). Spirit juga bisa diartikan sebagai yang menghidupkan
5
Agus Santoso, Konseling Spiritual, (buku perkuliahan program S1 Jurusan Bimbingan
dan Konseling Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), h 5.
6
Ibid., h 7.

5
kekuatan hidup, yang di presentasikan melalui berbagai citra, seperti nafas, angin,
kekuatan, dan kebearanian. Terdapat banyak pengertian tentang spiritualitas,
diantaranya sebagai berikut:
a. Ekspresi kegiatan spirit manusia.
b. Proses personal dan social yang merujuk pada gagasan, konsep, sikap, tingkah
laku yang berasal dari dalam individu sendiri.
c. Kesadaran transcendental yang ditandai dengan nilai-nilai tertentu, baik yang
terjadi dengan diri, orang lain, alam, kehidupan, dan segala sesuatu yang
dipandang menjadi tujuan akhir.
d. Pengalaman intra, inter dan transpersonal yang dibentuk dan diarahkan oleh
pengalaman individu dan masyarakat, dimana individu tersebut hidup.
e. Aktivitas manusia yang mencoba untuk mengekspresikan pengalaman-
pengalaman yang mendalam dan bermakna bagi dirinya.
f. Kapasitas dan kecenderungan yang bersifat unik dan bawaan dari semua orang.
g. Kecerdasan ketuhanan (devine intelegensi) yang membangun keharmonisan
dengan Tuhan dan alam.7
Dalam konteks bimbingan dan konseling islam, konseling spiritual dapat
diartikan sebagai “proses pemberian bantuan kepada individu agar memiliki
kemampuan untuk mengembangkan fitrahnya sebagai makhluk beragama (homo
religious), berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), dan
mengatasi masalah-masalah kehidupan melalui pemahaman, keyakinan, dan
praktik-praktik ibadah ritual agama yang di anutnya”.8
Seorang konselor tentunya harus mengetahui tingkat kesadaran dan
perkembangan setiap konseli yang dihadapi. Perkembangan dan kesadaran
keagamaan dan spiritual setiap individu tentunya berbeda. Untuk itu harus
menguasai kedua aspek tersebut secara maksimal. Ada tiga tahapan
perkembangan spiritual individu, yaitu: prepersonal, personal, dan transpersonal.
Kajian transpersonal inilah yang lebih tepat dalam membahas konseling spiritual.

7
Syamsu Yusuf L.N, Konseling Spiritual Teistik, (Bandung: Rizki Press, 2009), Hal. 6.
8
Ibid., h 36

6
B. Tujuan Konseling Spiritual
David Powell dalam Faiver yang mengatakan bahwa dimensi spiritual
dalam konseling membutuhkan dedikasi seorang konselor dalam kepedulian
peningkatan kapasitas diri akan tujuan dan misi dalam konseling. 9 Dengan
mengacu pada acuan tujuan dan misi yang sebenarnya, maka seorang konselor
dapat bertindak secara menyeluruh (holistic) dalam mengintervensi konseli.
Pernyataan ini sebenarnya bukan hanya membahas bagaimana tujuan konseling
spiritual semata, tetapi pada kebutuhan ketrampilan yang harus dimiliki oleh
seorang konselor.
Tujuan umum konseling spiritual adalah memfasilitasi dan meningkatkan
kemampuan klien untuk mengembangkan kesadaran spiritualitasnya dan
mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga dapat mencapai
kehidupan bermakna. klien yang baik diyakini akan berpengaruh secara positif
dan fungsional terhadap aspek-aspek kehidupan pribadi lainya.
Sedangkan secara khusus dalam memahami konseling spiritual bertujuan
sebagai berikut:
1. Pengalaman dan pemantapan identitas spiritual atau keyakinan kepada tuhan.
2. Memperoleh bimbingan dan kekuatan dari tuhan dalam mengatasi masalah dan
mengembangkan dirinya.
3. Memperoleh dukungan sosial dan emosional, sehingga memiliki kekuatan
untuk mengatasi masalah.
4. Menguji dan memperbaiki keyakinan dan praktik-praktik spiritualnya yang
tidak berfungsi dengan baik (disfungsional).
5. Menerima tanggung jawab dan memperbaiki kekeliruan sikap dan perilakunya
yang mementingkan diri sendiri (selfish)
6. Mengembangkan dirinya dalam kebenaran dan komitmen terhadap keyakinan,
nilai-nilai keyakinan atau spiritualitasnya.
7. Mengaktualisasikan nilai-nilai keyakinan atau spiritualitas keagamaan dalam
membangun kehidupan bersama yang sejahtera.10
9
Faiver, dkk. Explorations in counseling and spirituality. (Thomson Learning, Inc.
Canada, 2001). H 8.
10
Ibid., h 40.

7
Dengan demikian aktivitas konseling spiritual merupakan jenis
keterampilan yang pada intinya mengajak, membimbing, dan mengarahkan klien
kembali kepada fitrah, maka siapa saja yang akan mendalami profesi ini, dia harus
memiliki keimanan, kema’rifatan, dan ketauhidan yang berkualitas. Karena sudah
sangat jelas, bahwa profesi konseling adalah usaha sadar untuk memahami kondisi
klien baik secara jasmani maupun secara rohani yang kemudian mengantarkan
konseli untuk menemukan solusi.11
Tidak setiap individu yang mencari kesadaran diri, pemberdayaan diri dan
aktualisasi diri mencoba mengejar kepercayaan atau keyakinan agama tertentu.
Lebih jauh, dalam konteks lain spiritualitas tidak diberikan untuk mengartikan
sesuatu yang religious meskipun bisa berarti demikian. Juga tidak menyiratkan
bahwa seseorang berfokus pada tuhan atau Yang MahaTinggi, meskipun bagi
banyak orang hal itu mungkin juga berarti demikian.12

C. Metode dan Model Konseling Spiritual


1. Metode Konseling Spiritual
Ada tiga metode yang dapat dikembangkan dalam konseling spiritual,
yaitu: metode intrapsikis, metode interpersonal dan metode psikokultural.
a. Metode intrapsikis ini lebih menekankan pada proses internal psikologis
yang melibatkan ego yang dapat bersifat positif (egosyntonic) dan negative
(egodystonic) ataupun yang bersifat netral. Proses pembentukan egosyntonic
dapat dilakukan dengan cara memberikan pembelajaran yang lebih tinggi,
nilai-nilai luhur dan keyakinan disamping pembentukan dari lingkungan dan
budaya yang baik. Sedangkan egodystonic dapat tumbuh lantaran tekanan
ataupun konflik sosial. Sedangkan yang bersifat netral dapat dinyatakan
bawaan dari ego integrity yang dilabelkan dengan kepribadian. Konseling
spiritual dalam ranah ini lebih difokuskan pada psikologi dalam diri
individu.

11
Handani Bakran Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, (Al-Manar, 2008) h 23.
12
G. Hussein Rasool, Konseling Islami: Sebuah Pengantar Kepada Teori dan Praktik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019) h. 38.

8
b. Metode interpersonal, lebih menekankan pada hubungan antara individu
dengan yang lain. Keterkaitan ini dapat menjadi methode konseling spiritual
yang tepat dalam mengakomodasi hubungan komunikasi antar sesama.
c. Metode psikokultural yang merupakan ranah dengan istilah berbeda dari
intrapsikis dan interpersonal, metode ini lebih berfokus pada budaya yang
bersifat internal dan merepresentasikan ketiga strukur (id, ego dan
superego). Ketiga struktur ini yang disebut the tripartite intrapsychic dalam
ruang budaya yang lebih luas.13

2. Model-model Konseling Spiritual


Potensi positif pemanfaatan spiritualitas dalam proses konseling
seimbang dengan potensi kerawanan dan dampak negatifnya. Integrasi
spiritualitas dalam layanan konseling ketika dimanfaatkan dengan tepat dapat
menjadi pendekatan yang efektif dalam rangka memfasilitasi perubahan,
harapan, dan pencerahan dalam diri konseli. Pentingnya penyiapan kompetensi
spiritual konselor untuk mengurangi potensi negatif dari pelibatan dimensi
spiritual dalam proses konseling.14
Terkadang seseorang mengalami perlawanan dalam memenuhi tugas
perkembangannya. Untuk itu diperlukan model-model tertentu dalam konseling
spiritual yang dapat disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan diri. Salah satu
model yang diungkapkan oleh Burke yang telah merumuskan satu model
penggabungan spiritual dan agama dalam kurikulum inti the Counsel for
Accreditation of Counseling and Related Educational Programs (CACREP).
Sedangkan ada empat model pengajaran dalam materi spiritual dan konseling
yang didesain agar dapat membantu individu yaitu: 1. Meningkatkan keyakinan
individu terhadap isu-isu spiritual, 2. Memberitahukan pada mereka bagaimana
caranya membantu mereka dalam menyikapi isu-isu spiritual tersebut, 3.
Meningkatkan kesadaran konselor dalam berinteraksi terhadap konseli melalui
nilai-nilai spiritual yang mungkin juga berbeda dengan nilai-nilai spiritual yang
13
Agus Santoso, Konseling Spiritual…, h 54-55.
14
Aam Imaduddin, Spiritualitas Dalam Konteks Konseling (Journal of Innovative
Counseling: Theory, Practice & Research, vol. 1, no. 1, 2017) h 2.

9
konseli miliki, 4. Mengakses kemampuan konselor dalam membangun nilai-
nilai pribadi konseli.15
Dalam pembentukan nilai dan keyakinan yang sangat penting bagi
individu adalah agama. Oleh karena itu dalam proses pemberian bantuan
terhadap mereka hendaknya berfokus pada pandangan agama mereka (religious
worldviews). Ada tiga tawaran model yang dapat dijadikan kajian dalam
bidang konseling spiritual ini, yaitu:
a. Model konseling spiritual yang mengabungkan agama dengan berbagai
problema yang dihadapi.
b. Model konseling spiritual yang mengacu pada proses dan hasil terapi.
c. Model konseling spiritual yang berfokus pada keyakinan diluar tradisi
tertentu.16

BAB III
PENUTUP

15
Ibid., h 176.
16
Ibid., h 63-64

10
Konseling spiritual adalah proses bantuan pada individu dalam
mengungkap berbagai respon diri baik secara fisik, emosi, maupun spiritual secara
menyeluruh agar konseli mampu menemukan dirinya kembali kearah diri yang
lebih luhur, bagi seorang konselor konseling spiritual merupakan bentuk
pengembangan keterampilan diri. Dengan konseling spiritual, dapat mengatasi
masalah karena bertambahnya keyakinan terhadap kepercayaan konseli sehingga
memberikan ketenangan jiwa dan pikiran dalam mengambil keputusan yang
benar.
Adapun tujuan dari konseling spiritual adalah Tujuan umum konseling
spiritual adalah memfasilitasi dan meningkatkan kemampuan klien untuk
mengembangkan kesadaran spiritualitasnya dan mengatasi masalah-masalah yang
dihadapinya, sehingga dapat mencapai kehidupan bermakna. klien yang baik
diyakini akan berpengaruh secara positif dan fungsional terhadap aspek-aspek
kehidupan pribadi lainya.
Ada tiga metode yang dapat dikembangkan dalam konseling spiritual,
yaitu: metode intrapsikis, metode interpersonal dan metode psikokultural. Hal ini
juga disertai dengan model konseling spiritual yang mengabungkan agama dengan
berbagai problema yang dihadapi, mengacu pada proses dan hasil terapi, dan
berfokus pada keyakinan diluar tradisi tertentu. Sehingga setiap individu mampu
memiliki sistem keyakinan sebagai suatu nilai dalam proses terapeutik yang
efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Bakran Adz-Dzaky, Handani, (2008). Konseling dan Psikoterapi Islam, Al-Manar.

Faiver, dkk. (2001) Explorations in counseling and spirituality. Thomson Learning, Inc. Canada.

11
Farihah, Irzum, (2014). Bimbingan Keagamaan Bagi Masyarakat Perkotaan. Konseling Religi:
Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1.

G. Hussein Rasool, (2019) Konseling Islami: Sebuah Pengantar Kepada Teori dan Praktik,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Imaduddin, Aam, (2017). Spiritualitas Dalam Konteks Konseling. Journal of Innovative


Counseling: Theory, Practice & Research, Vol. 1, No. 1.

Mezzaluna D, Biyan, (2019). Model Bimbingan dan Konseling Dalam Menghadapi Era 5.0.
Universitas Sebelas Maret Surakarta. accesed November 10, 2020.
https://www.researchgate.net/deref/http%3A%2Fdx.doi.org%2F10.31219%2Fosf.io
%2Fy8egu

Santoso, Agus, (2014) Konseling Spiritual, buku perkuliahan program S1 Jurusan Bimbingan dan
Konseling Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Satriah, Lilis, (2008). Pendekatan Spiritual Dalam Konseling Spiritual (Konseling Spiritual).
(IRSYAD: Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam, Vol. 1, No. 1.

Yusuf L.N, Syamsu, (2009) Konseling Spiritual Teistik, Bandung: Rizki Press.

12

Anda mungkin juga menyukai