Anda di halaman 1dari 7

TUGAS I

KONSELING TRAUMATIK
“KONSEP KONSELING TRAUMATIK DAN KONSELING ADIKSI
(ADDICTION)”

SOFIA PILOSUSAN

16006055

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
KONSELING TRAUMATIK
DAN KONSELING ADIKSI (ADDICTION)

A. Pengertian dan Tujuan Konseling Traumatik


Menurut Rosada (2017) konseling traumatik adalah upaya konselor dalam
merencanakan konseling untuk membantu klien yang mengalami trauma melalui
proses hubungan pribadi. Dapat dikatakan bahwa konseling traumatik adalah konseling
yang membantu klien sehingga klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah
trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik mungkin. Senada
dengan pendapat Rosada, Sutirna (2013: 29) mengatakan konseling traumatic adalah
upaya konselor untuk membantu klien yang mengalami trauma melalui proses hubungan
pribadi sehingga klien dapat memahami diri sehubungan dengan masalah trauma yang
dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaiknya mungkin.
Menurut Saragi (2017: 94) konseling traumatik yaitu konseling yang
diselenggarakan dalam rangka membantu konseli yang mengalami peristiwa traumatik,
agar konseli dapat keluar dari peristiwa traumatik yang pernah dialaminya dan dapat
mengambil hikmah dari peristiwa trauma tersebut. Konseling traumatik membantu klien
untuk mengentaskan masalah terkait trauma yang dihadapinya dan nantinya klien harus
memaknai pelajaran positif yang bisa diambil dari kejadian yang dialaminya.

Tujuan konseling traumatik lebih menekankan pada pulihnya kembali klien pada
keadaan sebelum trauma dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan
yang baru. Menurut Muro dan Khotman (dalam Rosada, 2017) tujuan konseling
traumatic ialah:

1. Berpikir realistis, bahwa trauma adalah bagian dari kehidupan


2. Memperoleh pemahaman tentang peristiwa dan situasi yang menimbulkan trauma
3. Memahami dan menerima perasaan yang berhubungan dengan trauma, serta
4. Belajar ketrampilan baru mengatasi trauma.
Jadi pada dasarnya, konseling traumatik bertujuan untuk mengubah pemikiran yang
Irasional menjadi rasional dan nantinya klien akan dapat memaknai bahwa trauma
merupakan bagian dari kehidupan yang harus dihadapi.
B. Pengertian dan Tujuan Konseling Adiksi (Addiction)
Dalam kamus psikologi oleh Chaplin (2011:11) addiction (kecanduan, ketagihan)
adalah keadaan bergantung secara fisik pada suatu obat bius. Menurut Sudarsono
(2004:34) kecanduan (adiksi=ketergantungan) adalah suatu keadaan fisik maupun
psikologis seseorang yang mengakibatkan badan dan jiwa selalu memerlukan obat
tersebut untuk dapat berfungsi normal. Pengertian konseling adiksi yaitu hubungan
antara konselor dengan klien penyalahgunaan dalam rangka membantu meningkatkan
kesadaran akan masalah yang dialaminya serta kekuatan-kekuatan yang dimilikinya yang
dapat digunakan untk melakukan perubahan perilaku,mengatasi kesulitan dan
menentukan keputusan.
Tujuan konseling narkoba/adiksi yaitu menyediakan fasilitas untuk melakukan
perubahan perilaku penyalahguna, meningkatkan keterampilan penyalahguna untuk
menghadapi segala sesuatu seperti membantu memberikan motivasi untuk mengikuti
proses detoksifikasi/VCT dan proses pertolongan lainnya.
C. Jenis- jenis Adiksi
Budhi (2013: 14) menyatakan beberapa bentuk adiksi yaitu:
1. Psychological Dependency (ketergantungan psikologis) : Kebutuhan emosional yang
tinggi untuk terus kembali menggunakan napza dalam upaya merasakan efeknya atau
untuk menghilangkan ketagihan secara psikis.
2. Physical Dependency (ketergantungan fisik) Setelah jangka waktu pemakaian tertentu
dan tubuh sudah menyesuaikan terhadap napza yang biasa dikonsumsi, maka akan
timbul reaksi ekstrim ketika pemakaian dihentikan. Efek toleransi yang terjadi dalam
diri penyalahguna membuat dirinya harus menambah dosis pemakaiannya untuk
mendapatkan “rasa” yang sama, sehingga lama kelamaan tubuh mmbutuhkan dosis
semakin tinggi untuk dapat berfungsi secara “normal’.
Jenis adiksi ini terdiri dari ketergantungan psikologis dan fisik. Contoh dari
ketergantungan psikologis yaitu pengguna napza memiliki emosional yang tinggi
untuk terus menggunakan napza apabila tidak ada rehabilitas. Biasanya pengguna
napza tidak lagi memperdulikan orang disekitarnya. Ketergantungan fisik maksudnya
seseorang pecandu merasa fisiknya tidak baik jika tidak menggunakan napza seperti
terasa pusing jika tidak menggunakannya.
D. Mengidentifikasi Kondisi Traumatik dan Adiksi (Pemanfaatan Berbagai
Instrument)
Mengidentifikasi Kondisi Traumatik
Menurut Rosmalina (2017) upaya untuk dapat mengidentifikasi kondisi traumatik
dapat dilakukan dengan melihat ciri-ciri dari trauma diantaranya disebabkan oleh kejadia
dahsyat yang mengguncang di luar rencana dan kemauan kita, kejadian itu sudah
berlaku, terjadi mekanisme psikofisik: kalau tidak melawan maka saya akan binasa,
sensitive terhadap stimulus yang menyerupai kejadian asli.
Untuk mengidentifikasi kondisi traumatik, dapat dilihat dari gejala-gejala yang
sering dialami yaitu :

1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa


yang menyedihkan yang telah dialami itu, reaksi emosional dan fisik yang
berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.

2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan pengalaman traumatik atau mati


rasa dalam responsivitas.

3. Ketegangan yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur atau mempertahankan


tidur, mudah marah atau tidak dapat mengendalikan marah, sulit berkonsentrasi,
kewaspadaan yang berlebih, respon kejut yang berlebihan atas segala sesuatu
(Jeffrey, 2005)

Mengidentifikasi Kondisi Adiksi


Untuk mengidentifikasi adiksi ini dapat dilakukan melalui berbagai instrumen
seperti wawancara, observasi. Wawancara dapat dilakukan dengan orang disekitar
tempat tinggal pecandu. Adapun penanganan terhadap korban adiksi atau pecandu
dimana seiring dengan perkembangannya, pemerintah telah memberlakukan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam Undang-Undang ini
disebutkan bahwa setiap pengguna narkoba yang setelah vonis pengadilan terbukti tidak
mengedarkan atau memproduksi narkotika, dalam hal ini mereka hanya sebatas
pengguna saja, maka mereka berhak mengajukan untuk mendapatkan pelayanan
rehabilitasi.
E. Peranan Konselor dalam Kegiatan Konseling Traumatik di Indonesia
Menurut Winkel dan Hastuti (2006) Peran konselor sangat dibutuhkan dalam
menangani korban terutama bencana alam, konselor dapat membantu para korban bencana
menata kestabilan emosinya sehingga mereka dapat menerima kenyataan hidup
sebagaimana adanya meskipun dalam kondisi yang sulit. Konselor juga berperan untuk
membantu para korban untuk lebih mampu mengelola emosinya secara benar dan berpikir
realistik.

F. Pendekatan dan Keterampilan Dasar Konseling Traumatik dan Adiksi


Menurut Menurut Yoseph & Sriati, A. (2009) strategi konseling traumatik adalah
upaya konselor dalam merencanakan konseling untuk membantu klien yang mengalami
trauma melalui proses hubungan pribadi sehinga klien dapat memahami diri sehubungan
dengan masalh trauma yang dialaminya dan berusaha untuk mengatasinya sebaik
mungkin. Ada empat keterampilan yang harus dimiliki oleh konselor dalam strategi
konseling traumatik yaitu: (a) pandangan yang realistik, (b) orientasi yang holistik, (c)
fleksibilitas, dan (d) keseimbangan antara empati dan ketegasan.
Menurut Windyaningrum, (2014) jika konselor memberikan solusi untuk pemecahan
masalah klien, klien yang notabene seorang pecandu yang memiliki pribadi adiksi tidak
akan memiliki kemampuan untuk mencari jalan keluar untuk permasalahan klien sendiri.
Klienpun tidak terlatih bersikap dewasa dalam memutuskan sesuatu. Selain itu, dengan
memaksakan kehendak pribadi konselor bagi klien telah menyalahi kode etik. Terkait
dengan itu, menurut Corey (1988: 429) konselor membantu klien menemukan
penyelesaian-penyelesaiannya sendiri dan membantu klien agar menyadari kebebasannya
untuk bertindak, bukan menjauhkan klien dari kesempatan mengambil resiko
melaksanakan kebebasannya. Tugas konselor adalah membantu klien agar secara mandiri
membuat pilihan-pilihan dan agar memiliki keberanian untuk menerima konsekuesi-
konsekuensi dari pilihan-pilihannya (Corey, 1988: 430).
Menurut Menurut Yoseph & Sriati, A. (2009) metode terapi komunikasi yang
dilakukan konselor adiksi di Rumah Palma Therapeutic Community berupa metode
konseling. Konseling di Rumah Palma Therapeutic Community merupakan terapi dasar
dari program pemulihan korban penyalahgunaan narkoba. Terapi konseling tersebut terdiri
dari konseling group (static group) dan konseling individu (individual counseling).
Konseling terkait dengan proses komunikasi konselor dengan klien untuk menggali isu
pada diri klien, dan memahami permasalahan klien baik permasalahan adiksi hingga
permasalahan hidup yang menyebabkan klien ketergantungan narkoba. Metode konseling
konselor adiksi tidak terlepas dari adanya komunikasi terapeutik. Hibdon, S (dalam
Suryani 2006: 6) menyatakan bahwa pendekatan konseling yang memungkinkan klien
menemukan siapa dirinya merupakan fokus dari komunikasi terapeutik. Melalui konseling,
konselor adiksi Rumah Palma Therapeutic Community dapat menggali permasalahan dan
isu diri klien serta perilaku klien, sehingga konseling dijadikan cara untuk menentukan
pemberian treatment plan.
KEPUSTAKAAN

Budhi, Esther. 2013. Konseling Narkoba. Handbook.


Chaplin, J.P.. 2011. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.
Corey, G. (1988). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Terjemahan E. Koeswara.
Bandung: Eresco.
Jeffrey, Nevid, S. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta : Erlangga
Rosada. 2017. Layanan Konseling Traumatik Bagi Korban Bencana Banjir Di Jakarta.
Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling. Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 381-389.
Rosmalina, A. (2017). Pendekatan Bimbingan Konseling Islam Dalam Menangulangi
Konflik, Stres, Trauma Dan Frustasi. ORASI: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 6(2).
Saragi. (2017). Konseling Traumatikitle. Consilium: Berkala Kajian Konseling Dan Ilmu
Keagamaan, 4 (4), 94.
Sudarsono. 2004. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta.
Suryani. (2006). Komunikasi terapeutik teori dan praktek. Jakarta: EGC
Sutirna. (2013). Bimbingan Konseling: Pendidikan Formal, Nonformal, dan Informal.
Yogyakarta: Andi OFFSET.
Windyaningrum. (2014). Komunikasi Terapeutik Konselor Adiksi pada Korban
Penyalahgunaan Narkoba di Rumah Palma Therapeutic Community Kabupaten Bandung
Barat. Jurnal Kajian Komunikasi, 2(2), 173-185.
Winkel & Hastuti. 2006. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yoyakarta :
Media Abadi
Yoseph, I., Puspowati, N. L. N. S., & Sriati, A. (2009). Pengalaman Traumatik Penyebab
Gangguan Jiwa (Skizofrenia) Pasien di Rumah Sakit Jiwa Cimahi. Majalah Kedokteran
Bandung, 41(4).

Anda mungkin juga menyukai