Anda di halaman 1dari 24

PROSEDUR DAN STRATEGI KONSELING KELOMPOK

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Bimbingan Konseling Kelompok

Dosen Pengampu: Dra. Mariyatul Kibtiyah, M.Pd

Disusun oleh :

Ayu Wulandari (1901016137)

Saffana Maulidia (1901016138)

BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGOSEMARANG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Prosedur kelompok merupakan salah satu strategi dalam memberikan layanan
bimbingan dan konseling. Tujuan dari proses kelompok adalah membantu
mengembangkan kepribadian, menngembangkan kemampuan interaksi social dan
mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi dengan melakukan sharing dengan orang
lain. Tujuan akhir dari proses kelompok adalah adanya perubahan perilaku berdasarkan
hasil interaksi dan diskusi dalam kelompok. Strategi kelompok berimplikasi pada
pemenuhan kebutuhan social anggota kelompok untuk dapat eksis di masyarakat. Hal-hal
penting yang merupakan pertimbangan utama dalam kelompok adalah ; pertama,
memiliki perspektif multibudaya dan lintas budaya karena akan membantu memahami
konseli dari latar belakang budaya. Kedua, penguasaan kompetensi konselor menjadi
salah satu instrumen penting dalam proses konseling kelompok. Pada akhirnya, konseling
kelompok merupakan salah satu pilihan strategis untuk membantu mengembangkan
potensi dan kemampuan anggota kelompok.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana tahap pembukaan dalam konseling kelompok?
2. Bagaimana tahap transisi dalam konseling kelompok?
3. Bagaimana tahap penanganan dalam konseling kelompok?
4. Bagaimana tahap penutupan dalam konseling kelompok?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tahap pembukaan dalam konseling kelompok
2. Untuk mengetahui tahap transisi dalam konseling kelompok.
3. Untuk mengetahui tahap penanganan dalam konseling kelompok.
4. Untuk mengetahui tahap penutupan dalam konseling kelompok
BAB II

PEMBAHASAN

Berikut dikemukakan prosedur pemberian bantuan kepada individu melalui


prosedur kelompok. Prosedur ini dititikberatkan pada konseling kelompok yang
ditekankan pada konseling kelompok. Proses pemberian bantuan melalui teknik
kelompok menempuh empat langkah utama yaitu (1) pembentukan atau pembukaan
kelompok, (2) transisi, (3) penanganan (tahap inti), (4) penutupan,

A. Tahap Pembukaan
Tahap pembukaan merupakan tahap yang paling kritical, artinya keberhasilan
pada tahap pembukaan akan menentukan tahap penanganan dan tahap penutupan
kelompok, bahkan akan menentukan tercapai tidaknya tujuan bimbingan kelompok.
Tahap pembukaan merupakan tahap penciptaan suasana kelompok yang kondusif bagi
para anggota, yang tujuan intinya adalah para anggota melibatkan diri secara aktif
dalam proses kelompok. Tahap awal dalam kelompok memperhatikan karakteristik
anggota yang tidak sama, hal ini akan berpengaruh pada mekanisme pelaksanaan proses
kelompok pada tiap-tiap tahap. Karakteristik yang Nampak pada tahap awal adalah
mempunyai perhatian yang terlalu dini, memiliki kepentingan yang tersembunyi,
beresiko sebagai awal konflik, ada konflik antara diri dengan orang lain, konflik antara
keperntingan saat ini dengan masa datang, ada perasaan percaya tetapi juga muncul
kecurigaan. Salah satu strategi dalam membangun kepercayaan adalah keteladanan dan
sikap serta tindakan untuk percaya. Pemimpin kelompok pada tahap awal diharapkan
mampu mengidentifikasi dan menjelaskan tujuan umum pada anggota, disamping itu
membantu anggota mendefinisikan tujuan pribadi. Perhatian utama pada tahap ini
adalah pembagian tanggung jawab, kesepakatan bersama, membuka dan menutup sesi
kelompok. Tahap pembukaan merupakan tahap penciptaan suasana kelompok yang
kondusif bagi para anggota, yang tujuan intinya adalah para anggota melibatkan diri
secara aktif dalam proses kelompok. Pada tahap ini konselor perlu menggunakan teknik-
teknik membuka komunikasi yang baik dan teknik memperkenalkan anggota yang
memungkinkan dapat mencairkan kebekuan suasana kelompok. Suasana hangat,
terbuka, dan bebas untuk setiap anggota dalam mengungkapkan dirinya merupakan
indikator keberhasilan yang amat penting. Kadang-kadang tahap ini baru bisa dicapai
setelah dua sesi pertemuan. Tergantung pada karakteristik dan dinamika interaksi para
anggota kelompok yang bersangkutan. Salah satu strategi dalam membangun
kepercayaan adalah keteladanan dan sikap serta tindakan untuk percaya. Pemimpin
kelompok pada tahap awal diharapkan mampu mengidentifikasi dan menjelaskan tujuan
umum pada anggota, disamping itu membantu anggota mendefinisikan tujuan pribadi.
Perhatian utama pada tahap ini adalah pembagian tanggung jawab, kesepakatan
bersama, membuka dan menutup sesi kelompok.
Dalam konseling kelompok, pembentukan kelompok merupakan tahap awal
yang sangat berpengaruh dalam taham konseling selanjutnya. Karena tahap ini
mempunyai pengaruh besar terhadap keberlangsungan proses konseling, maka sebelum
pembentukaan kelompok dilakukan, menurut Kurnanto (2014: 136) ada beberapa
persiapan yang harus dilakukan oleh seorang konselor sebagai berikut:
a. Fungsi dan Peranan Konselor Kelompok
1) Fungsi konselor kelompok
Ada beberapa yang harus dilakukan oleh konselor kelompok pada
tahap awal, yaitu (Corey dalam Kurnanto, 2014: 137):
a) Mengajarkan cara-cara dan garis besar secara umum untuk
berpartisipasi aktif guna meningkatkan kesempatan mereka dalam
memperoleh hasil dari kelompok
b) Mengembangkan dasar hukum dan tatanan norma
c) Mengajarkan dasar-dasar proses kelompok
d) Menjelaskan pembagian tanggung jawab
e) Membantu anggota dalam mengembangkan kepercayaan
f) Berhubungan terbuka dengan kepedulian dan pertanyaan-pertanyaan
konseli
g) Membagi harapan-harapan dan keinginan-keinginan kepada kelompok
h) Membantu konseli untuk berbagi tentang apa yang mereka pikirkan
dan rasakan mengenai apa yang terjadi dalam kelompok
i) Berusaha untuk mengurangi ketergantungan konseli terhadap konselor
kelompok
j) Mengajarkan keterampilan-keterampilan dasar dalam berhubungan
dengan orang lain
2) Peranan konselor kelompok
Prayitno (dalam Kurnanto, 2014: 139) mengemukakan bahwa
peranan konselor kelompok pada tahap awal konseling kelompok adalah
sebagai orang yang benar-benar dapat dan bersedia melakukan hal-hal; (1)
membantu para konseli mencapai tujan mereka, (2) merangsang dan
memantapkan partisipasi anggota-anggota dalam suasana kelompok seperti
yang diharapkan, (3) menumbuhkan sikap kebersamaan dan perasaan
sekelompok, (4) menjelaskan asas-asas yang perlu diikiuti konseli, (5)
enumbuhkan rasa saling mengenal antara sesama konseli, (6)
menumbuhkan sikap saling percaya dan saling menerima antar sesama
konseli, (7) memulai pembahasan tentang tingkah laku dan suasana
perasaan anggota-anggota dalam kelompok.
b. Tujuan dan kegiatan

Tujuan Kegiatan
1. Anggota memahami tujuan, 1. Menciptakan suasana saling
manfaat dan peranannya di mengenal, hangat dan rileks;
dalam bimbingan/ konseling 2. Memberi penjelasan singkat
kelompok; tentang tujuan, manfaat dan
2. Tumbuhnya minat anggota peranan klien anggota dan
untuk mengikuti kegiatan guru di dalam bimbingan/
kelompok; konseling kelompok;
3. Tumbuhnya suasana saling 3. Menjelaskan aturan
mengenal dan saling kelompok dan mendorong
memberi respon yang anggota untuk berperan
dibutuhkan oleh anggota dalam kegiatan kelompok;
4. Terumuskannya tujuan 4. Memotivasi anggota untuk
bersama yang ingin dicapai. saling mengungkapkan diri
5. Disepakatinya sesi secara terbuka;
pertemuan berikutnya 5. Mendorong setiap anggota
untuk mengungkapkan
harapannya dan membantu
merumuskan tujuan bersama;
6. Mereviu hasil yang dicapai
dan menentukan agenda
pertemuan selanjutnya.

c. Keterampilan Konselor Pada Tahap Awal Konseling Kelompok


Menurut Jacobs et al (dalam Kurnanto, 2014: 141) ada beberapa
keterampilan yang harus dikuasai konselor untuk menyelenggarakan konseling
kelompok pada tahap awal dan mungkin juga sebagian untuk tahap berikutnya.
Keterampilannya antara lain:
1) Memulai kegiatan kelompok
2) Membantu konseli mengenal anggota yang lain
3) Mengatur dinamika kelompok secara positif
4) Mengajak/mendorong konseli untu berbicara
5) Menjelaskan tujuan kelompok
6) Menjelaskan peran konselor kelompok
7) Menggambarkan keadaan kelompok yang dipimpin
8) Membantu konseli mengungkapkan harapannya
9) Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan
10) Memfokuskan pada isi

B. Tahap Transisi
Tahap transisi merupakan masa setelah proses pembentukan dan sebelum tahap
kerja. Tahap ini merupakan proses dua bagian, yang ditandai dengan ekspresi
sejumlah emosi dan interaksi anggota. Masa transisi ditandai dengan adanya tahapan
storming dan norming. Pada tahap transisi akan terjadi masa badai/ periode pancaroba/
kacau yaitu masa terjadinya konflik dalam kelompok, yang mana adanya kekhawatiran
anggota kelompok dalam memasuki proses konseling. Kekhawatiran ini biasanya
berkaitan dengan rasa takut akan kehilangan kontrol, salah pengertian, terlihat bodoh,
atau ditolak. Beberapa anggota menghindari resiko dengan bersikap diam. Sementara
anggota lain yang ingin mendapat posisi dalam kelompok bersifat lebih terbuka dan
mempengaruhi anggota kelompok yang lain. Oleh karena itu,tahap ini bertujuan
membebaskan anggota dari perasaan atau sikap enggan, ragu, malu atau saling tidak
percaya untuk memasuki tahap berikutnya, makin mantapnya suasana kelompok dan
kebersamaan, makin mantapnya minat untuk ikut serta dalam kegiatan kelompok
(Kurnanto, 2014: 157).
Tahap transisi merupakan masa setelah proses pembentukan dan sebelum masa
bekerja (kegiatan). Dalam suatu kelompok, tahap transisi membutuhkan 5% sampai
20% dari keseluruhan waktu kelompok (Gladding, dalam Mungin Eddy Wibowo,
2005:89). Tahap ini yang merupakan proses dua bagian, yang ditandai dengan ekspresi
sejumlah emosi dan interaksi anggota.
Transisi mulai dengan masa badai, yang mana anggota mulai bersaing dengan
yang lain dalam kelompok untuk mendapatkan tempat, kekuasaan dalam kelompok.
Aspek yang bersifat tidak tentu dari kelompok tersebut meliputi perjuangan untuk
mendapatkan kekuasaan dan kontrol baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat
(Carroll dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:89). Masa badai adalah masa munculnya
perasaan-perasaan kecemasan, pertentangan, pertahanan, ketegangan, konflik,
konfrontasi, transferensi. Selama masa ini, kelompok berada diambang ketegangan
dan mencapai keseimbangan antara terlalu banyak dan terlalu sedikitnya ketegangan.
Dalam keadaan seperti itu banyak anggota yang merasa tertekan ataupun resah yang
menyebabkan tingkah laku mereka menjadi tidak sebagaimana biasanya. Keengganan
atau penolakan (resistensi) yang muncul dalam suasana seperti itu dapat berkembang
menjadi bentuk-bentuk penyerangan (dengan kata-kata) terhadap anggota lain, atau
kelompok secara keseluruhan atau bahkan terhadap konselor. Bentuk-bentuk lain dari
keengganan itu dapat berupa salah paham terhadap tujuan dan cara-cara kerja yang di
kehendaki, menolak untuk melakukan sesuatu, dan menginginkan pengarahan yang
lebih banyak dari pemimpin. Begitu diketahui dengan jelas apa yang diharapkan oleh
konselor maupun anggota lain, seseorang menjadi ambivalen tentang keanggotaannya
dalam kelompok, dan merasa enggan bila harus membuka diri.
Masa badai adalah masa munculnya konflik atau kegelisahan saat kelompok
beralih dari ketegangan primer (kejanggalan dalam situasi yang aneh) ke ketegangan
sekunder (konflik antar kelompok). Selama masa ini, kelompok berada diambang
ketegangan dan mencapai keseimbangan antara terlalu banyak dan terlalu sedikitnya
ketegangan. Anggota kelompok dan pemimpin kelompok mengupayakan penyelesaian
masalah yang berkaitan dengan struktur, arah, kontrol, dan hubungan antar pribadi
(Hershenson & Power; Maples dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:90). Meskipun
frustrasi dan kegaduhan meningkat selama sub-tahap ini, saat ini merupakan saat yang
produktif bagi anggota kelompok untuk memperbaiki sosialisasinya di masa lalu yang
tidak produktif, membuat pengalaman-pengalaman baru dan menetapkan tempatnya
dalam kelompok tersebut.
Setiap kelompok mengalami proses pertentangan/ badai secara berbeda.
Beberapa orang mungkin menemukan semua masalah yang diasosiasikan dengan masa
ini, sementara yang lainnya mungkin hanya mendapati sedikit kesulitan. Kelompok
mungkin terjebak dalam tahap ini atau mungkin tidak merighiraukannya dan tidak
pernah bergerak ke tahap perkembangan. Pemimpin kelompok harus membantu
anggotanya mengenali dan mengatasi kegelisahan serta keengganannya pada saat ini.
Selama masa badai, anggota kelompok lebih terlihat gelisah dalam
interaksinya dengan sesama anggota. Kegelisahannya berkaitan dengan ketakutan
untuk lepas kontrol, salah persepsi, terlihat bodoh atau ditolak (Corey & Corey, dalam
Mungin Eddy Wibowo, 2005:91). Beberapa anggota menghindari mengambil resiko
dengan tetap diam. Sebaliknya, anggota yang lain mencari tempat di kelompok
tersebut untuk mengatasi kegelisahannya dengan lebih terbuka. Sebagai contoh,
Bambang mungkin tetap diam selama masa tersebut dan hanya mengamati interaksi
anggota kelompok. Sedangkan Joko mungkin secara verbal bersifat agresif dan
menunjukkan pendapatnya di setiap peristiwa yang terjadi dalam kelompok tersebut.
Masa transisi dari masa dari tahap permulaan ke tahap berikutnya menurut
Yalom dalam Mungin Eddy Wibowo (2005:92) merupakan saat "perebutan
kekuatan" di antara anggota kelompok dengan pemimpin
kelompok. Perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan/kekuatan terjadi setelah
anggota kelompok mengorientasikan dirinya ke dalam formasi kelompok.

Ada beberapa bentuk kekuasaan dan kekuatan dalam suatu kelompok,


sebagai contoh, kekuasaan dan kekuatan yang bersifat memberi informasi,
mempengaruhi dan mengatur. Kekuasaan dan kekuatan yang bersifat memberi
informasi muncul atas dasar bahwa mereka yang tahu banyak, bisa mengontrol
situasi, termasuk orang-orang yang berpengaruh. Kekuasaan dan kekuatan yang
bersifat mempengaruhi didasarkan atas persuasi dan manipulasi melalui
pernyataan bahwa suatu tindakan tertentu adalah benar. Kekuasaan dan kekuatan
yang bersifat mengatur dikaitkan dengan posisi sosial atau tanggung jawab dalam
suatu organisasi.

Prinsip-prinsip yang berlaku berkenaan dengan kekuasaan dan kekuatan


hampir sama tanpa memperhatikan tipe kekuasaan dan kekuatan yang sedang
ditunjukkan. Pada awalnya, anggota akan berusaha mengatasi masalah kekuasaan
dan kekuatan, dengan cara yang mirip dengan yang digunakan di luar kelompok,
sebagai contoh dengan berkelahi. Jika strategi-strategi ini dianggap baik dan
efektif, strategi tersebut akan terus dipakai, tetapi apabila tidak, cara-cara baru
akan dirumuskan. Sebagai contoh, jika Hasan mengetahui bahwa berteriak kepada
anggota kelompok tidak mempengaruhi mereka untuk menghormatinya. la
mungkin akan mencoba bercakap-cakap secara langsung atau mungkin mencoba
membujuk kelompok bahwa ia seharusnya dihargai dengan bercerita pada
anggota-anggota tersebut tentang apa yang telah ia lakukan di masa lalu.
Yang berkaitan dengan masalah kegelisahan, kekuasaan dan kekuatan, dan
kepercayaan antara anggota kelompok merupakan masalah yang berkaitan dengan
interaksi verbal. Komentar-komentar negatif, penilaian dan kritik, sering muncul
pada tahap ini, saat anggota kelompok menghadapi masalah kontrol dan
sejenisnya. Selama masa ini anggota berfokus pada masalah isi pesan. Jika semua
berjalan dengan baik pada tahap ini,anggota kelompok bisa memahami diri dan
bisa memahami satu sama lain dengan lebih baik. Mereka mulai mengembangkan
perasaan empati satu sama lain. Bagaimanapun juga, untuk mendapatkan
kemajuan, kelompok harus bekerja secara kolektif untuk membuat suatu
perubahan yang baik dan berarti.

Pada masa ini sebenarnya terjadi awal pembentukan suatu hubungan sosial
yang dicirikan dengan adanya tanggapan yang negatif dan kritik dari anggota baik
terhadap sesama anggota maupun terhadap konselor. Ini terjadi karena untuk
pertama kali seseorang bisa berprasangka buruk-kepada orang lain dan enggan
untuk terbuka. Hal ini diperkuat oleh Corey dalam Mungin Eddy Wibowo
(2005:89) bahwa masa peralihan ini secara umum ditandai dengan meningkatnya
rasa kecemasan dan defensif. Perasaan-perasaan ini dianggap normal dan akan
membuka jalan ke arah keterbukaan yang sesungguhnya dan kepercayaan
terhadap anggota kelompok pada tahapan selanjutnya. Pada tahap ini
dimungkinkan anggota kelompok akan menolak untuk mengekspresikan perasaan
negatifnya karena belum terjadi saling hubungan satu sama lain, dan mungkin
juga akan membentuk suatu kelompok lain yang disebut sub-kelompok. Gejala
perilaku tersebut muncul sebagai reaksi negatif sehingga para anggota membuat
klik di luar kelompok dan mereka akan pasif dalam pertemuan kelompok yang
sedang dibangun oleh konselor.
Rochman Natawidjaya dalam Mungin Eddy Wibowo (2005:93)
menyatakan bahwa hal-hal yang muncul tidak diinginkan merupakan resiko
psikologis dari kegiatan kelompok, dan hal itu merupakan hal yang wajar,
mengingat bahwa dalam konseling kelompok itu secara sengaja dipancing
munculnya emosi-emosi yang terpendam pada diri setiap peserta. Resiko
psikologis itu dalam kelompok tidak mungkin dihindari sepenuhnya, tetapi
pimpinan kelompok perlu berusaha untuk mengurangi sampai batas yang paling
kecil. Lebih lanjut Rochman Natawidjaya menyatakan bahwa untuk mencapai
maksud tersebut, maka salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu membuat
semacam kontrak antara konselor dengan anggota kelompok. Kontrak itu
menyangkut batas tanggung jawab konselor dalam kegiatan kelompok itu dan
komitmen peserta terhadap kelompoknya mengenai apa yang ingin dijajahinya
dalam kegiatan kelompok. Tugas konselor adalah membantu para anggota untuk
mengenali dan mengatasi halangan, kegelisahan, keengganan, sikap
mempertahankan diri, dan ketidaksabaran yang timbul pada saat ini (Gladding
dalam Mungin Eddy Wibowo, 2005:94). Apabila memang terjadi, unsur-unsur
ketidaksabaran itu dikaji, dikenali, dan dihadapi oleh seluruh anggota kelompok,
konselor membantu usaha tersebut sehingga diperoleh suasana kebersamaan dan
semangat bagi dicapainya tujuan kelompok.

Masa ini merupakan masa yang produktif bagi anggota untuk memperbaiki
sosialisasinya di masa lalu yang tidak produktif, membuat pengalaman-
pengalaman baru dan menetapkan tempatnya dalam kelompok tersebut. Untuk itu,
dibutuhkan kemampuan dan keterampilan konselor dalam beberapa hal, yaitu
kepekaan waktu, kemampuan melihat perilaku anggota, dan mengenal suasana
emosi di dalam kelompok. Konselor harus peka kapan harus melakukan
konfrontasi terhadap anggota, dan kapan harus memberikan dukungan, oleh
karena itu konselor perlu memperhatikan pola perilaku anggota dalam kelompok
Untuk melakukan intervensi selain ketepatan waktu disertai pengamatan yang
akurat, konselor perlu mengenal suasana emosi di dalam kelompok.
Beberapa cara umum untuk mengatasi bentuk-bentuk masalah
intrapersonal dan interpersonal selama masa ini adalah: (1) menggunakan proses
peningkatan dimana anggota diminta berinteraksi secara bebas dan mantap, (2)
meminta anggota mengetahui apa yang sedang terjadi, (3) mendapatkan umpan
balik dari anggota tentang bagaimana mereka melakukan sesuatu dan apa yang
menurut mereka perlu.

Berikut adalah beberapa tugas utama pemimpin kelompok (konselor) yang


perlu dilakukan selama periode transisi yang penting dalam pengembangan
sebuah kelompok (Corey, 2012:118):

1.      Mengajarkan anggota kelompok pentingnya mengenali dan mengekspresikan


kekhawatiran mereka, penolakan/ keengganan, dan reaksi terhadap apa yang
terjadi dalam sesi tersebut.

2.      Membantu peserta mengenali cara di mana mereka bereaksi membela diri dan
menciptakan iklim di mana mereka dapat menangani dengan resistansi mereka
secara terbuka.

3.      Mengajar para anggota nilai mengenali dan menangani konflik yang terjadi dalam
kelompok secara terbuka.

4.      Menunjukkan perilaku yang merupakan manifestasi dari perjuangan untuk kontrol,


dan mengajar anggota bagaimana mereka menerima berbagi tanggung jawab
untuk arah kelompok.

5.      Membantu anggota kelompok dalam berurusan dengan hal-hal yang akan


mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjadi mandiri dan saling bergantung.

6.      Mendorong anggota untuk menjaga dalam pikiran apa yang mereka inginkan dari
kelompok dan meminta untuk itu.

7.      Menyediakan model untuk para anggota dengan berurusan langsung dan jujur
dengan tantangan apapun kepada pemimpin kelompok (konselor) sebagai orang
atau sebagai seorang profesional.
8.      Terus memantau reaksi-reaksi pemimpin kelompok (konselor) sendiri untuk
anggota yang menampilkan perilaku bermasalah. Eksplorasi potensi pemimpin
kelompok (konselor) melalui pengawasan atau terapi pribadi.1
Menurut Prayitno (dalam Kurnanto, 2014:158) kegiatan yang dilakukan dalam
tahap ini adalah menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya,
menawarkan atau mengamati apakah para anggota sudah siap menjalani kegiatan pada
tahap berikutnya, membahas suasana yang terjadi, dan meningkatkan keikutsertaan
anggota.
Pada masa transisi juga terjadi tahap pembentukan norma (norming) sebagai
aturan-aturan dan standar yang digunakan dalam menjalankan konseling kelompok.
Dengan adanya norma, anggota kelompok dapat belajar mengatur, mengevaluasi, dan
mengkoordinasikan tindakan-tindakan mereka. Dalam prakteknya kelompok biasanya
menerima dua jenis norma, yakni norma preskriptif yang menggambarkan tentang
perilaku yang harus dilakukan, dan norma proskriptif yang menggambarkan perilaku
yang harus di hindari. Bila proses norming ini berjalan dengan baik, maka kelompok
akan siap melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu tahap kerja (Rusmana, 2009: 95).
Tahap transisi dalam proses kelompok, pemimpin kelompok bertanggung jawab untuk
membantu anggota kelompok keluar dari situasi dan kondisi krisis yang dialami.
Situasi krisis tergambar dalam krakteristik anggota yang menampakkan ;
1. Munculnya kecemasan; perasaan cemas anggota kelompok baik yang berasal
dari factor internal maupun eksternal berpengaruh pada efektivitas anggota
kelompok. Kecemasan dapat diakibatkan karena merasa tidak mampu untuk
berinteraksi dan berpendapat dalam kelompok.
2. Kepercayaan diri; anggota kelompok memiliki tingkat kepercayaan diri yang
berbeda sehingga bagi anggota kelompok yang kurang percaya diri maka
tugas utama pada awal konseling kelompok adalah membangun kepercayaan
diri anggota kelompok.
3. Perilaku yang defensive dan resisten; kesulitan awal seorang konselor adalah
mendapatkan partisipasi dari anggota. Anggota kelompok dapat
menunjukkan perilaku defensive dan cenderung melawan terhadap topic

1
Mungin Eddy Wibowo. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: UNNES Press. 
diskusi, terhadap anggota kelompok maupun kepada pemimpin kelompok.
Gejala perilaku defensive dan resisten dapat terlihat melalui pola hubungan
emosional dengan anggota kelompok, gaya bicara yang singkat dan
langsung, tidak berpendapat, dan memperlihatkan ekspresi terhadap perasaan
yang sedang dialaminya.
4. Ketakutan yang biasanya dialami anggota kelompok; anggota kelompok
yang sering diliputi oleh perasaan takut diantaranya takut kelihatan bodoh,
takut ditolak, takut dianggap tidak bisa, takut kurang control, takut dianggap
menutup diri karena mereka merasa diminta terbuka sebelum mereka secara
mental siap untuk berpendapat.
5. Berusaha untuk mengontrol diri sehingga partisipasi dalam kelompok
menjadi kurang karena anggota bersikap pasif.
6. Konflik; konflik pribadi yang berkaitan dengan jenis kelamin, umur, bahasa,
status social ekonomi, rasial, dan latar belakang pendidikan. Konflik
disebabkan karena kurangnya attending yang dilakukan oleh konselor.
7. Konfrontasi; selama proses kelompok akan terjadi pertentangan diantara
anggota kelompok, pemimpin harus bertanggung jawab untuk menjadikan
konfrontasi sebagai upaya konstruktif untuk membangun proses kelompok.
8. Pergantian pimpinan kelompok; dalam proses konseling kelompok seorang
leader diganti disebabkan oleh factor kepribadian dan profesionalitas, karena
pemimpin kelompok tidak memiliki kompetensi dan keterampilan yang
memadai.
Dalam proses kelompok sering ditemukan beberapa perilaku dan
kesulitan yang dialami oleh anggota kelompok. Pemimpin kelompok bertanggung
jawab untuk meminimalisir perilaku problematic secara rasional sehingga akan
menjadikan kepemimpinan yang efektif. Pemimpin yang efktif ditunjukkan
melalui sebagian perilaku berupa ; tidak menyalahkan konseli, mendidik konseli
bagaimana berinteraksi dalam kelompok, tidak merespon sarkasme dengan
sarkasme. Beberapa perilaku anggota kelompok yang terlihat dalam proses
kelompok adalah sebagai berikut ;
a. Diam dan kurang berpartisipasi; konseli cenderung berdiam diri dan
tidak partisipatif. Perilaku yang tampak adalah menunjukkan sikap
menunggu, merasa tidak mempunyai bahan untuk dikatakan, merasa
tidak penting membicarakan sesuatu, takut ditolak, kurang percaya
dengan kelompok, dan takut tentang kerahasiaannya.
b. Perilaku monopoli; pemimpin kelompok harus peka terhadap anggota
yang memonopoli dalam aktivitas kelompok.
c. Bercerita dan menutup diri; merupakan perilaku yang menunjukkan
ketidaktahuan anggota kelompok. Pemimpin kelompok dapat
memulai diskusi dengan menceritakan hal-hal yang mendorong
anggota kelompok untuk dapat terbuka dan mau berpendapat.
d. Bertanya; pertanyaan yang diajukan antar anggota kelompok harus
dikontrol agar tidak terjebak pada model interogasi. Diusahakan
untuk tidak bertanya tetapi dengan membuat pernyataan yang
kemudia dapat direspons oleh anggota kelompok yang lain.
e. Memberi nasehat; problem perilaku yang berhubungan dengan
bertanya adalah member nasehat. Kecenderungan dari anggota
kelompok adalah memberikan nasehat kepada anggota lain yang
menyampaikan pendapat/permasalahan.
f. Dependensi; berperilaku bebas tidak selalu menjadikan masalah
apalagi jika dilihat dalam perspektif cultural. Dukungan yang palsu;
hal ini berkaitan dengan pemberian nasehat yang dilakukan oleh
anggota kelompok yang lain karena dimungkinkan nasehat dan
support yang diberikan belum sepenuhnya sesuai dengan kata hati.
g. Perilaku memusuhi diantara angota kelompok; dapat muncul perilaku
yang memusuhi anggota kelompok lain, gejala ini dapat disebabkan
oleh banyak factor.
h. Berperilaku superior; ada anggota kelompok yang memiliki perilaku
superior sehingga ketika berinteraksi akan menunjukkan
superioritasnya dan bahkan mengundang untuk bermusuhan.
i. Sosialisasi; kemampuan bersosialisasi dapat menjadikan kendala bagi
anggota kelompok karena jika tidak terbangun kohesifitas dapat
membantuk klik diantara anggota kelompok.
j. Intelektualitas; dalam proses konseling seorang pemimpin kelompok
dituntut peka untuk memperhatikan aktivitas anggota kelompok
karena mekanisme pertahanan diri dapat dilakukan melalui
rasionalisasi dan kemampuan intelektualnya.
k. Menjadikan anggota sebagai assistance leaders; anggota kelompok
yang memiliki interpersonal bagus dapat berperan sebagai asisten
bagi pimpinan kelompok2

Tahap eksperimen atau transisi.


a) Konflik merupakan hal yang biasa terjadi pada tahap ini. Pada
tahap ini konflik terjadi sebagai akibat dari interaksi yang
berlangsung diantara para anggota. Salah satu sebab timbulnya
konflik ini akibat dari salah faham atau salah persepsi atas suatu
perilaku yang ditampilkan seorang anggota.
b) Anggota mulai menilai/ mengetes kelompok dan mencari kekuatan
dan membuka diri seluas-luasnya.
c) Anggota yang lain mungkin masih mencoba untuk menutup diri
disebabkan oleh perasaan-perasaan terancam atau perasaan tidak
nyaman.
d) Anggota mungkin melakukan tindakan sementara dan
bereksperimen, mengetes reaksi-reaksi orang lain.
e) Pemimpin kelompok mencontohkan cara-cara membuka diri.
f) Pemimpin kelompok menunjukkan respons-respons bahwa dirinya
sungguh-sungguh, konkrit, dan selanjutnya menunjukkan
keterbukaan diri.

Perubahan dari tahap eksperimen atau transisi:


Anggota siap untuk maju pada tahap berikutnya manakala:
2
Sigit Sanyata. 2010. Teknik dan strategi konseling kelompok. Jurnal Paradigma, no 05.
a. Anggota merasa dekat terhadap anggota yang lain.
b. Kepercayaan dan keberanian mengambil risiko sudah meningkat.
c. Anggota menunjukkan perhatian terhadap anggota yang lain.3

C. Tahap Penanganan
Kedua, tahap penanganan (working) merupakan tahap inti atau tahap kegiatan
inti karena langsung berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
pada tahap pembukaan. Tahap ini konselor harus berperan sebagai pengatur
pembicaraan anggota, sabar, aktif tapi tidak banyak bicara, memberikan dorongan dan
penguatan serta empati. Tahap penanganan (working) merupakan kegiatan inti, karena
terkait langsung dengan upaya-upaya perubahan sikap dan tingkah laku tertentu yang
diperlukan untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan pada tahap pembukaan.
Pada tahap ini guru harus berperan sebagai pengatur pembicaraan anggota, sabar, aktif
mengeksplorasi berbagai kemungkinan sudut pandang atau alternatif tapi tidak
mendominasi anggota kelompok, memberikan motivasi, penguatan serta penilaian
keberhasilan mereka.

Tujuan Kegiatan
1. Terungkapnya masalah atau topik 1. Mendorong tiap anggota untuk
yang relevan dengan kebutuhan mengungkapkan masalahnya/topik
anggota kelompok yang perlu dibahas
2. Terbahasnya topik/masalah 2. Menetapkan topik/masalah yang
secara mendalam /tuntas sesuai akan ditangani sesuai dengan tujuan
dengan kesepakatan kelompok; bersama;
3. Keterlibatan aktif (pikiran dan 3. Mendorong setiap anggota untuk
perasaan) seluruh anggota terlibat aktif saling membantu
kelompok dalam 4. Kegiatan selingan yang bersifat
pembahasan/pemecahan; menyenangkan mungkin perlu
4. Disepakatinya sesi pertemuan diadakan;

3
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBINGAN/198308292010121004%20-%20Eka
%20Sakti%20Yudha/Konseling%20Kelompok%20yang%20Efektif%20new.doc
berikutnya 5. Mereviu hasil yang dicapai dan
menetapkan pertemuan selanjutnya.

Tahap inti ini biasanya dilakukan dalam beberapa sesi pertemuan. Setiap sesi
pertemuan dilaksanakan sesuai dengan jadwal waktu dan tempat yang disepakati
bersama. Untuk kasus atau masalah tertentu, anggota diberi kegiatan yang harus
dilakukan di luar kelompok kemudian melaporkannya di dalam kelompok. Indikator
keberhasilan tahap ini adalah pemahaman yang baik dari setiap anggota tentang
masalah/topik tertentu. Indikator utama keberhasilan tahap inti adalah tuntasnya
pemecahan masalah yang dihadapi oleh anggota tertentu atau setiap anggota.
- Keterampilan dan teknik kepemimpinan pada tahap kegiatan
Natawijaya (dalam Kurnanto, 2014: 162) menjelaskan beberapa
keterampilan yang harus dimiliki konselor pada tahap kegiatan ini dengan uraian
sebagai berikut:
1. Merangsang pikiran anggota
Seorang konselor perlu mempersiapkan untuk merangsang pikiran
anggota dalam diskusi karena ia tidak selalu dapat menggantungkan diri pada
anggota untuk saling berbagi ide. Untuk melakukan hal ini, konselor dapat
menggunakan latihan dan aktivitas yang bervariasi.Dia juga bisa
menggunakan beberapa pertanyaan yang umum atau komentar yang
mendorong dan memudahkan terjadinya berbagi rasa dan diskusi. Contoh
pertanyaan yang dapat memunculkan pikiran para anggota:Coba ungkapkan
satu atau dua hal apa yang menarik bagi anda dalam pembicaraan kelompok
ini?Apakah orang lain juga merasakan begitu?Apakah ada orang lain yang
ingin mengomentari hal tersebut?
2. Menggunakan intonasi suara untuk meminta angota berpikir
Kualitas suara konselor dan langkah pembicaraannya dapat
mempengaruhi nada pembicaraan kelompok tersebut.Suara nada yang
termodulasi dan lebih lembut disertai dengan langkah pelan dan tidak tergesa-
gesa cenderung menolong anggota memfokuskan pikiran mereka lebih
dalam.Pertanyaan yang diajukan dengan sikap seperti itu dapat membuat para
anggota lebih berpikir, dan tidak hanya menjawab secara umum dan
dangkal.Dalam hal ini, semakin mempribadi pikiran yang mereka berikan,
maka semakin banyak energy yang mereka keluarkan ketika mereka berbagi
rasa.
3. Memperkenalkan topik
Untuk menjaga minat para anggota agar tetap tinggi, konselor harus
secara berkesinambungan mendengarkan pandangan atau tema yang
dibicarakan oleh para konseli disaat mereka mendiskusikan bermacam-
macam subjek. Bila konselor melihat energi mereka mulai berkurang, ia perlu
memperkenalkan topik baru untuk diskusi. Konselor dapat melakukan hal ini
dengan beralih dari apa yang telah dibicarakan dengan memfokuskan kepada
topik yang muncul secara emergent pada saat diskusi.
4. Mengubah bentuk pertemuan
Pada beberapa kelompok , bentuk pada setiap sesi bisa tetap sama
karena para anggotanya tampak menyukainya dan memperoleh manfaat
darinya. Misalnya, suatu kelompok mungkin selalu dimulai dengan
perkenalan anggota baru, berpindah pada pengulangan pertanyaan-
pertanyaan, dan diikuti dengan film dan diskusi. Pada kelompok lain,
konselor mungkin perlu mengubah bentuk pertemuan jika ia melihat para
anggota kelompok telah bosan dengan agenda yang sama.
5. Menggunakan laporan kemajuan
Pada kelompok terapi, kelompok pertumbuhan, dan kelompok
dukungan seringkali para anggota berbagi rasa tentang aspek hidup meraka
yang biasanya terus dilanjutkan pada sesi-sesi berikutnya. Salah satu cara
terbaik untuk melakukan hal ini adalah memulai tiap sesi dengan laporan
kemajuan dari beberapa anggota. Hal ini tidak hanya membantu anggota yang
berbagi kemajuan, tetapi berbagi rasa seperti ini juga membantu kekohesifan
dalam kelompok.
6. Menemui anggota secara individual
Pada kelompok tertentu, konselor mungkin perlu bertemu dengan setiap
konseli secara individual untuk mendiskusikan perasaan mereka terhadap
kelompok.Pertemuan tersebut dapat memeberikan suatu kesempatan kepada
konseli untuk berbagi pendapat dan bereaksi terhadap kelompok dan konselor
karena konseli mengetahui bahwa perhatian konselor cukup tercurah
kepadanya.
7. Mengubah gaya kepemimpinan jika diperlukan
Kadang pada tahap pertengahan, konselor merasakan adanya kebutuhan
untuk mengubah gaya kepemimpinannya. Pengubahan gaya kepemimpinan
tersebut sering dilakukan dengan cara lebih sedikit mengarahkan dan
mendorong anggota untuk lebih banyak bertanggung jawab. Namun dalam
situasi yang lain, mungkin saja lebih menuntut konselor untuk mengambil
peranan yang lebih aktif, khususnya jika kelompok telah berkembang menjadi
kelompok terapi.
8. Menginformasikan sebelumnya kepada anggota bila kelompok berakhir
Karena kadang-kadang para anggota mempunyai perasaan tertentu
terhadap berakhirnya kelompok, sangat perlu bagi konselor untuk
memberitahukan kepada konseli tentang kapan dan dalam kondisi apa
kelompok itu berakhir.
9. Mengubah bentuk kelompok jika diperlukan
Mungkin ada beberapa kesempatan tertentu dalam tahap pertengahan
yang pada saat itu konselor melihat adanya kebutuhan untuk mengubah
kelompok. Perubahan tersebut bisa dengan cara menambah anggota baru,
pertemuan yang semakin jarang, atau memperpanjang pertemuan. Sebelum
memutuskan salah satu perubahan ini, konselor biasanya terlebih dahulu
memperkenalkan ide diskusi.
10. Merancang topik tahap pertengahan
Akan sangat menolong bila mengambil sejumlah topik umum untuk
kelompok dan membuat rancangan kunci permasalahan yang memungkinkan
untuk dibicarakan. Seringkali konselor tidak tahu cara mengembangkan topik
yang penting menjadi berarti bagi anggota kelompok, sehingga topik menjadi
sia-sia.
D. Tahap Penutupan
Jika pemahaman atau ketuntasan pemecahan masalah sudah dicapai, maka
tahap penutupan harus dilakukan. Indikator utama keberhasilan tahap ini adalah para
anggota mengungkapkan perubahan tingkah laku (pemahaman atau ketuntasan) yang
dicapai dan memberi isyarat verbal atau non-verbal yang mengindikasikan kegiatan
harus ditindaklanjuti atau munculnya keinginan dan harapan baru.
Jika guru sudah melihat adanya indikator yang cukup jelas mengenai
keberhasilan tahap penanganan terutama pemahaman anggota terhadap masalah/topik
tertentu, atu berupa perubahan sikap dan tingkah laku anggota dalam hal tertentu,
maka tahap pengakhiran atau penutupan harus dilakukan dengan tujuan dan kegiatan
seperti berikut.

Tujuan Kegiatan
1. Anggota mengungkapkan kesan- 1. Mengungkap kesan dan
kesan tentang kegiatan kelompok keberhasilan yang dicapai oleh
2. Anggota mengungkapkan setiap anggota
keberhasilan (pemahaman atau 2. Merangkum proses dan hasil
pemecahan masalah) yang dicapai yang dicapai
3. Terumuskannya rencana kegiatan 3. Mengungkapkan kegiatan
lebih lanjut. lanjutan yang penting bagi
4. Suasana hubungan yang baik antar anggota kelompok.
anggota tetap terpelihara sekalipun 4. Menyatakan bahwa kegiatan
kegiatan hampir diakhiri akan segera berakhir.
5. Menyampaikan pesan dan
harapan

Indikator utama keberhasilan tahap ini adalah para anggota mengungkapkan


perubahan tingkah laku (pemahaman atau ketuntasan) yang dicapai dan memberi
isyarat verbal atau non-verbal yang mengindikasikan bahwa kegiatan kelompok telah
membantu anggota. Para anggota juga perlu didorong untuk mengungkap upaya atau
kegiatan yang harus ditindak lanjuti atau serta memunculkan keinginan/harapan baru.
Sebagaimana tahapan konseling kelompok lainnya, pada tahap penutupan ini
diperlukan keterampilan-keterampilan bagi konselor. Natawijaya (dalam Kurnanto,
2014: 175) menjelaskan beberapa keterampilan yang mesti dimiliki oleh konselor
pada tahap penutupan konseling kelompok sebagai berikut:

1) Harapan, teknik ini berguna untuk membentuk perasaan-perasaan positif dan


saling membantu bagi sesama anggota kelompok.
2) Mengatasi kritikan dalam pertemuan, konselor kelompok hendaknya sudah
mempersiapkan dirinya terhadap kritik yang dilontarkan saat pertemuan akan
berakhir. Untuk hal ini penting sekali diingat bahwa konselor tidak melakukan
pertahanan diri. Banyak terjadi konselor yang tidak mau di kritik.
3) Menghargai anggota baru, konselor bisa sedikit memvariasikan cara penutupan
di saat terdapat anggota baru dalam sesi itu. Pada kesempatan seperti itu,
konselor bisa memberikan fokus tersendiri pada anggota baru jika ia merasa
cukup senang untuk diberi perhatian khusus.
4) Menghargai anggota yang keluar, kadang-kadang terjadi adanya anggota
kelompok yang meninggalkan kelompoknya meskipun aktivitas kelompok
sedang berlangsung. Ketika hal itu terjadi konselor hendaknya memberi
tambahan waktu pada saat akhir sesi di lakukan untuk membicarakan anggota
yang menghilang tersebut. Banyak persoalan-persoalan yang mungkin dapat
teratasi saat ini, misalnya konselor mencoba mengubah programnya,
memberikan umpan balik, dan kemudian bisa saja menutup dengan ucapan
“Selamat berpisah, dan minggu depan kita berjumpa lagi” atau sejenisnya.
Menurut Prayitno (dalam Kurnanto, 2014: 178) mengungkapkan peran
pemimpin kelompok pada tahap ini yaitu; tetap mengusahakan suasana hangat,
bebas, dan terbuka, memberikan pernyataan dan megucapkan terima kasih atas
keikutsertaan anggota, memberikan smangat untuk kegiatan lebih lanjut, dan penuh
rasa persahabtan serta empati.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Tahapan dalam konseling kelompok terdiri dari tahap tahap pembukaan (beginning a
group), tahap transisi (transition stage), tahap kerja atau penanganan (performing stage),
dan tahap terminasi atau penutup (termination stage)
2. Tahap pembukaan (beginning a group) merupakan tahap yang sangat berpengaruh dalam
keberlangsungan proses konseling. Pada tahap ini dilakukan upaya untuk menumbuhkan
minat bagi terbentuknya kelompok yang meliputi pemberian penjelasan tentang adanya
layanan konseling kelompok bagi para siswa, penjelasan pengertian, tujuan dan kegunaan
konseling kelompok, ajakan untuk memasuki dan mengikuti kegiatan, serta kemungkinan
adanya kesempatan dan kemudahan bagi penyelenggaraan konseling kelompok.
3. Tahap transisi (transition stage) atau peralihan merupakan jembatan antara tahap pertama
dengan ketiga yang bertujuan agar anggota kelompok tidak memiliki rasa malu, enggan,
ragu atau saling tidak percaya untuk memasuki tahap selanjutnya. Kegiatannya yaitu
dengan menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya, menawarkan
atau mengamati apakah para anggota sudah siap menjalani kegiatan pada tahap berikutnya.
4. Tahap kerja atau penanganan (performing stage) ditandai dengan adanya perasaan empati,
keharuan, perhatian penuh, dan kedekatan emosional kelompok berangsur-angsur tumbuh.
Hal ini sebagai akibat interaksi antar anggota kelompok dan pemahaman masing-masing
anggota kelompok yang lebih baik.Anggota kelompok memusatkan perhatian terhadap
tujuan yang akan dicapai, mempelajari materi-materi baru, mendiskusikan berbagai topik,
menyelesaikan tugas, dan mempraktekkan perilaku-perilaku baru.
5. Tahap terminasi atau tahap penutupan (termination stage) terjadi pada dua tingkatan dalam
kelompok, yaitu pada akhir masing-masing sesi, dan pada akhir dari keseluruhan sesi
kelompok. Selama masa penghentian, para anggota kelompok memahami diri mereka
sendiri pada tingkat yang lebih mendalam. Penghentian memberi kesempatan pada anggota
kelompok untuk memperjelas arti dari pengalaman mereka, untuk mengkonsolidasi hasil
yang mereka buat, dan untuk membuat keputusan mengenai tingkah laku mereka yang
ingin dilakukan di luar kelompok dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kurnanto, Edi. 2014. Konseling Kelompok. Bandung: Alfabeta


2. Wibowo, Eddy Mungin. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: Unnes
Press.
3. Rusmana, Nandang. 2009. Bimbingan dan Konseling Kelompok Di Sekolah (Metode,
Teknik, dan Aplikasi). Bandung: Rizqi Press.
4. Sigit Sanyata. 2010. Teknik dan strategi konseling kelompok. Jurnal Paradigma, no 05.
5. http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBINGAN/198
308292010121004%20-%20Eka%20Sakti%20Yudha/Konseling%20Kelompok
%20yang%20Efektif%20new.doc
6. Tjalla Awaludin dan Herdi. 2013. MODEL KONSELING KELOMPOK UNTUK
MENINGKATKAN SELF-EFFICACY MAHASISWA. Jurnal Perspektif Ilmu
Pendidikan - Vol. 27 Th. XVIII.
7. Taufik Agus. 2007. Bimbingan Kelompok di Sekolah Dasar. Dosen Jurusan Psikologi
Pendidikan dan Bimbingan (PPB) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan
Indonesia
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBINGAN/195808161
985031-AGUS_TAUFIQ/BIMBINGAN_KELOMPOK_DI_SD.pdf

Anda mungkin juga menyukai