MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Lokal
Dosen Pengampu : Ayu Faiza Algifahmy, M.Pd
Disusun oleh :
1. Muhammad Azilil Husna (1801016046)
2. Vanessa Umdatul Masalik (1801016080)
3. Anilifa Thoniah (1801016081)
4. Saffana Maulidia ( 1901016138)
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, cet.3, hlm.
438
2
Pangulu Abdul Karim. 2016. Interelasi Agama dan Budaya. Nizhamiyah,VI (02). Medan, hlm : 100
secara berangsur-angsur, sebagaimana yang dilihat dan dilafalkan Islam berbahasa
Arab menjadi fenomena Jawa. 3
Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada
kehidupan yang baik dan seimbang. Islam tidaklah datang untuk menghancurkan
budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan
Islam menginginkan agar umat manusia jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang
tidak bermanfaat dan membawa madharat di dalam kehidupan. Islam meluruskan
dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan
yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Islam dan budaya memiliki interelasi atau keterkaitan antara yang satu dengan
yang lain. Ajaran Islam memberikan aturan-aturan yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT, sedangkan kebudayaan adalah realitas keberagamaan umat Islam
tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa wujud nyata dari pengamalan ajaran
agama islam itu mampu dilihat dari kebudayaan dan kehidupan nyata para pemeluk
agama Islam tersebut. 4
Ketika Islam masuk dan menyebar ke Indonesia, maka tidak dapat terlepas dari
budaya yang sudah ada dalam masyarakat. Dalam hal ini budaya yang berwujud
dalam tradisi dan adat masyarakat setempat, tetap dapat dilakukan tanpa melukai
ajaran Islam,. Kemudian Islam tetap dapat diajarkan tanpa mengganggu harmoni
tradisi masyarakat. Persentuhan antara tiga hubungan kepercayaan pra Islam
(animisme, Hindu dan Budha) tetap hidup mewarnai Islam dalam pengajaran dan
aktivitas ritual pemeluknya. Hal ini disebabkan karena praktek keagamaan orang-
orang Indonesia banyak dipengaruhi oleh agama India (Hindu dan Budha) yang telah
lama hidup di kepulauan Nusantara. Bahkan lebih dari itu dipengaruhi agama-agama
penduduk asli yang memuja nenek moyang dan dewa-dewa serta roh-roh halus.
Kemudian antara Islam dan budaya terjadilah suatu proses transformasi
kultural sehingga menghasilkan suatu keterpaduan antara dua entitas, yaitu Islam dan
budaya. Adapun bentuk-bentuk interrelasi dan Islam dan budaya, yaitu:
3
Abdul Jamil, dkk, Islam dan Budaya Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm.123
4
Nata Abdullah, Metodologi Studi Islam, hlm. 49
1) Dalam Bidang Sastra Jawa
Setelah Islam masuk ke Indonesia, secara otomatis nilai-nilai Islam
dihadapkan pada kondisi masyarakat lokal Indonesia terutama Jawa yang
memiliki berbagai kebudayaan dengan corak yang berbeda-beda. Dalam bidang
ini, karya sastra jawa dalam perkembangannya mengalami perpaduan dengan
nilai-nilai keIslaman sehingga karya-karya sastra yang lahir baik itu dalam bentuk
puisi maupun lainnya telah diwarnai oleh nilai-nilai Islam. Karya-karya sastra
jawa yang lahir dari para pujangga sebelum Islam masuk ke Indonesia di dominasi
oleh aspek-aspek yang bercorak mistis. Namun setelah masuknya pengaruh
budaya Islam, karya-karya sastra yang lahir dari para pujangga jawa telah di
bumbui dengan ajaran-ajaran Islam yang tersurat dalam bait-bait sajak, puisi dan
bentuk-bentuk karya sastra lainnya.
5
Chairuelamien.blogspot.co.id/2011/06/islam-dan-budaya-lokal-html?m=1, di akses pada tanggal
30 0ktober 2017, pukul 14.00 WIB
6
M. Fakhrul Irfan Syah dan Abdul Muhid. Telaah Kritis Pemikiran Clifford Geertz Tentang Islam Dan
Budaya Jawa (Literature Review)
http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/sumbula/article/view/3978/2945 diakses tanggal 25
februari jam 8.39 WIB
sangat tidak memberI manfaat atau penyelesaian. Malah menimbulkan masalah yang
lebih kompleks di dalam masyarakat yaitu kehilangan jati diri sebagai orang Jawa
atau Indonesia.
Suku-suku bangsa Indonesia, khususnya suku Jawa sebelum kedatangan
pengaruh hinduisme telah hidup teratur dengan animisme-dinamisme sebagai akar
religiositasnya, dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka. Adanya warisan
hukum adat menunjukkan bahwa nenek moyang suku bangsa Indonesia asli telah
hidup teratur di bawah pemerintahan atau kepala adat, walaupun masih dalam bentuk
yang sangat sederhana. Religi animisme-dinamisme yang menjadi akar budaya asli
Indonesia (khususnya Jawa) cukup memiliki daya tahan yang kuat terhadap pengaruh
kebudayaankebudayaan yang telah berkembang maju. Keadaan ini memancing
timbulnya teori kekenyalan dan ketegaran kebudayaan asli pribumi Indonesia.
Teori kekenyalan dan ketegaran kebudayaan dapat dilihat dari pernyataan
J.W.M. Baker. Dia menyimpulkan bahwa walaupun bagian terbesar orang Indonesia
mengaku beragama Islam, namun sikap keagamaan sehari-hari yang mereka hayati
dijiwai dalam batinnya oleh agama asli Indonesia yang kaya raya isinya, yang
dipelihara dengan khusyuk, yang tidak mau dirombak oleh agama asing.
Hal tentu tidak dapat diselesaikan dengan mensyirikkan atau membid’ahkan
secara membabi buta. Islam dalam bahasa Baker harus melakukan evaluasi teologis
terhadap keruhanian bangsa dan agama lain. Ulama awal-awal di Indonesia telah
melakukan hal yang tepat, dan merupakan prestasi yang sangat besar dengan
melakukan akulturasi budaya. Adanya kenduri, tujuh hari, empat puluh hari, haul,
nyewu dan sebagainya tentu dengan pertimbangan yang mendalam. Hasilnya dapat
kita lihat sekarang mayoritas orang Indonesia beragama Islam. Sangat mungkin
Islam akan tetap menjadi kecil danminoritas jika ulama-ulama awal penyebar Islam
di Indonesia mengkafir dan mensyirikkan tradisi menghormati arwah leluhur. 7
Islam ketika bersentuhan dengan budaya bersifat akomodatif meskipun
dengan catatan, Islam memberi muatan nilai. Tidah heran jika ritual-ritual ibadah di
dalam islam seperti tawaf dalam ibadah haji sesungguhnya perbuatan yang sudah
7
Erwin Arsadani Ms. 2012. Islam Dan Kearifan Budaya Lokal: Studi Terhadap Tradisi Penghormatan Arwah
Leluhur Masyarakat Jawa. Esensia : XIII (02). Yogyakarta, hlm 285
dikenal sebelumnya. Masyarakat jahiliyah juga melakukan tawaf, tetapi dengan cara
yang berbeda yaitu mereka berkeliling dengan membuka auratnya.
Ketika islam datang, ritual semacam itu diakomodasi, tetapi dengan
memberikan nilai yang berbeda. Islam tidak lagi membenarkan tawaf dengan
membuka aurat, tetapi dengan mengenakan penutup aurat yang kemudian disebut
dengan pakaian ihram. Bagitu juga dengan perkembangan Islam di Indonesia, antara
agama dan budaya lokal terjadi akulturasi. Di dalam kehidupan masyarakat juga
dikenal berbagai prosesi kehidupan yang dapat menunjukkan telah terjadinya
persentuhan antara agama dan budaya. Proses akulturasi antara islam dan budaya
lokal terjadi dan kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu
kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap
pengaruh kebudayaan asing (diluarnya), sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru
yang unik, yang tidak terdapat pada wilayah bangsa yang membawa pengaruh
budayanya. (Soejanto Poespowardojo, 1986. )
2. Respon Budaya Lokal (Jawa)Terhadap islam
Terhadap Islam Perkembangan Islam di pulau Jawa bila ditelaah lebih
dalam lagi maka tidak terlepas dari peranan Walisongo, Walisongo adalah tokoh-
tokoh penyebar agama Islam di pulau Jawa yang berkisar antara abad 15 sampai 16
yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam
memperkenalkan Islam pada pada masyarakat jawa sendiri tentunya. Mereka secara
berturut-turut adalah; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Sunan Drajad, Sunan Giri, Sunan Kudus sunan Muria, Sunan Gunung Jati.
Wali dalam bahasa Inggris pada umumnya diartikan saint, sementara songo dalam
bahasa Jawa berarti sembilan. Diduga wali yang dimaksud lebih dari sembilan, tetapi
agaknya bagi masyarakat Jawa angka sembilan mempunyai makna tersendiri yang
cukup istimewa. Para santri Jawa berpandangan bahwa walisongo adalah pemimpin
umat yang sangat saleh dan dengan pencerahan spiritual religius mereka, bumi Jawa
yang tadinya tidak mengenal agama monotheis menjadi daerah yang masyarakatnya
mengenal agama monotheis.
Pulau Jawa selalu terbuka bagi siapapun yang masuk. Orang Jawa terkenal
ramah sejak dulu dan siap menjalin kerjasama dengan siapapun. Termasuk ketika
pedagang dan alim ulama` yang bertubuh tinggi besar, hidung mancung dan berkulit
putih kemerahan. Mereka adalah para pedagang dan ulama` dari tanah timur tengah.
kedatangan mereka ternyata membawa sejarah baru yang hampir merubah Jawa
secara keseluruhan.
Agama Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam datang ke Malaka,
Sumatra dan Kalimantan. Bukti berupa adanya nisan raja-raja Aceh yang beragama
Islam menunjukkan bahwa Islam telah barkembang di Kesultanan Aceh pada abad
ke13 M, jadi bisa diperkirakan mungkin Islam telah datang ke Indonesia sejak abad
itu bahkan sebelumnya.
Agama tauhid ini telah berkembang di Jawa, kaum pedagang dan nelayan
banyak terpikat oleh ajaran yang mengenalkan Tuhan Allah Swt. ini. Salah satu
benda yang baru bagi orang Jawa adalah nisan berukir kaligrafi seperti pada batu
nisan di Leran, Gresik dimana pada batu nisan ini tertulis nama Fatimah binti
Maimun wafat tahun 1082 M. Orang Jawa sendiri pada zaman itu masih jarang
memberi petanda batu nisan bagi orang ynag meninggal, apalagi yang mewah. Islam
di Jawa semakin meluas lagi seiring dengan para ulama yang selalu giat
menyebarkan agama Islam.
Bagi orang Jawa hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara
yang berkaitan dengan lingkungan. Hidup manusia sejak dari keberadaannya dari
rahim ibu, lahir, anak-anak, remaja, dewasa, sampai saat kematiannya atau upacara-
upacara dalam kegiatan sehari-hari dalam mencari nafkah. Secara luwes Islam
memberikan warna baru pada upacaraupacara itu, di antaranya kenduren atau kenduri
atau selametan, mitoni (memperingati tujuh hari setelah kematian), sunatan dan lain
sebagainya.
Di Jawa penyebaran agama Islam harus berhadapan dengan dua jenis
lingkungan budaya kejawen, yaitu lingkungan budaya istana yang telah menjadi
canggih dengan mengolah unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik)
yang tetap hidup dalam animisme dan dinamisme dan hanya lapisan kulitnya saja
yang terpengaruh oleh Hinduisme, dari perjalanan sejarah pengalaman di Jawa
tampak bahwa Islam sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana
yang telah canggih dan halus itu. Namun ternyata Islam diterima secara penuh oleh
masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka. 8
C. Cakupan Interelesasi Islam lokal
Interelasi antara Islam dan Jawa mencakup begitu banyak aspek, bahkan
hampir seluruh aspek-aspek kehidupan Jawa berinteraksi dan berinterelasi dengan
Islam. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa aspek kehidupan, antara lain sebagai
berikut:
1. Aspek kepercayaan dan ritual
a) Aspek kepercayaan,
Keyakinan dan kepercayaan merupakan aspek fundamental dalam setiap
agama. Oleh karena itu masing-masing agama berusaha memurnikannya agar
tidak terkontaminasi dengan ajaran-ajaran yang berseberangan. Dalam agama
Islam masalah tersebut adalah wilayahnya akidah dan keimanan sehingga kita
kenal adanya konsep rukun iman dan rukun Islam. Sementara itu dalam budaya
Jawa pra Islam yang lebih merupakan asimilasi dari kepercayaan Hindu-Budha di
samping adanya aliran kepercayaan terhadap dinamism eanimisme. Orang-orang
Jawa Hindu memaknai adanya dewa-dewa seperti dewa brahmana, Wisnu, Siwa
dan dewa-dewa yang lain. Adanya kepercayaan terhadap upaya sufi/penyucian
diri seperti kehidupan para resi, samsara, moksa, karma. Sedangkan dalam paham
Budha dikenal adanya kasunyatan, dukha, samudaya, nirodha, marga serta konsep
mencapai Nirwana.
Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha maupun
kepercayaan dinamisme-animisme itulah yang dalam perkembangan berikutnya
berinterelasi dan diislamkan oleh agama Islam, contoh istilah-istilah akidah
kejawen : Hyang Maha Agung (Allahu Akbar), Gusti kang murbeng Dumadi (al-
Khaliq), konsep wasilah (perantara), keramat, rajah kekuatan sampai ada yang
namanya Qur’an stanbul (Qur’an kecil yang mempunyai aji kekuatan), adanya
memedi gentayangan, thuyul dan masih banyak lagi.
b) Aspek ritual
8
http://digilib.uinsby.ac.id/6413/9/Bab%204.pdf, Diakses tanggal 25 Februari 2021 pukul 9:02 WIB
Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan ritual-ritual
tertentu. Meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam
rukun islam, yakni syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Intisari dari shalat
adalah doa, sedangkan puasa dalam budaya Jawa ada yang namanya puasa
badalah yang berfungsi dalam pengendalian nafsu dan penyucian rohani. Menurut
Rangga Warsito, puasa dapat ditukar dengan kata tapa, karena praktek tapa pada
umumnya dibarengi dengan puasa. Dalam Islam kejawen tapa itu merupakan
bentuk latihan untuk menguatkan batin dalam pengekangan nafsu dunia secara
konsisten dan terarah. Tujuan dari bertapa adalah untuk mendapatkan kesaktian
dan mampu berkomunikasi dengan makhluk ghaib.
Aspek doa dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang sangat luas,
mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa. Bagi orang Jawa,
hidup ini penuh dengan upacara-upacara, baik yang berkaitan dengan lingkaran
hidup manusia sejak dari keberadaannya dalam perut sang Ibu, lahir, kanak-kanak,
sampai upacara saat kematiannya, atau juga upacara-upacara yang berkaitan
dengan perilaku sehari-hari. Upacara tersebut semula dilakukan dalam rangka
untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan-kekuatan ghaib yang tidak
dikehendaki yang akan membahayakan kelangsungan kehidupan manusia.
Agama Islam mengajarkan ibadah-ibadah yang berdimensi ritualistik
yakni berbagai bentuk ibadah sebagai penjabaran konsep rukun Islam dan rukun
iman. Contoh-contoh ibadah ritual yang sudah diakomodasi adalah tradisi
kenduren/selametan dengan berbagai perangkatnya . Di samping itu berbagai
upacara keagamaan juga telah identik dengan kehidupan Jawa yang di Islamkan
seperti :
Upacara tingkeban (mitoni) => perjanjenan (berjanjenan)
Upacara kelahiran => Nyepasar, kekah
Upacara Sunatan => selam/nyelamaken
Upacara perkawinan => ijab kobul, ngunduh manten, nduwe gawe,
selametan gelar kloso mbalik kloso
Upacara kematian => mitung dino, matang puluh, nyatus, nyewu, mendak
Upacara hari-hai besar => suranan, saparan, ruwahan, muludan,
syawalan.9
Secara halus Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu
dengan sebutan kenduren atau selamatan. Di dalam upacara selamatan ini yang
pokok adalah pembacaan doa (dalam istilah Jawanya dongo) yang dipimpin oleh
orang yang dipandang memiliki pengetahuan Islam, apakah itu kaum lebai atau
kiayi. Selain itu, terdapat seperangkat makanan yang dibawa pulang ke rumah
peserta selamatan, yang disebut berkat. Makanan-makanan itu disediakan oleh
penyelenggara upacara atau shohibul hajat, dalam bentuknya yang khas, makanan
inti adalah nasi tumpeng, lingkung ayam dan ditambah umbarampe yang lain.
2. Aspek Pendidikan
Aspek pendidikan Sebuah institusi pendidikan, pesantren adalah wujud
kesinambungan budaya Hindu Budha yang di Islamkan secara damai. Sistem
pendidikan yang ada pada masa Hindu Budha kemudian berlanjut pada masa
Islam. Sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antar
sistem pendidikan Hindu Budha dengan pendidikan Islam yang telah mengenal
uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang
mengikuti kaum agamawan Hindu Budha, yaitu pada saat guru dan murid berada
dalam satu lingkungan pemukiman. Pada masa Islam sistem pendidikan itu
disebut dengan pesantren atau pondok pesantren.
Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan
dengan sistem pendidikan pada masa Hindu Budha yang disebut dengan Mandala.
Mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan.
Sebuah kawasan atau pengikutnya. Menurut IP Simanjuntak menyebutkan bahwa
pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam telah mengambil model
dan tidak mengubah struktur organisasi dari lembaga pendidikan Mandala pada
masa Hindu. Pesantren hanya mengubah isi agama yang dipelajari, bahasa yang
9
Muhammad Ali Mustofa Kamal. 2016. Interelasi Nilai jawa dan Islam Dalam Berbagai Aspek Kehidupan.
Kalam Jurnal: Studi Agama Dan Pemikiran Islam. 10 (01). Wonosobo, hlm 31
menjadi sarana bagi pemahaman pelajaran agama dan latar belakang para
santrinya.10
Asal usul pesantren tidak dapat dipisahkan dari sejarah Walisongo.
Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa pada abad 15-16 yang
telah berhasil mengombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam
memperkenalkan Islam dalam masyarakat. Mereka yaitu Maulana Malik Ibrahim,
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Derajat, Sunan Giri, Sunan
Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati. 11
Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik (W. 1419 H) merupakan
orang pertama yang membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan
menggembleng para santri. Dengan tujuan agar para santri dapat menjadi juru
dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung di masyarakat luas. 12
Pendekatan dan kebijakan Walisongo terlembaga dalam satu esensi
budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejahteraannya.
Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara
taqlid dan modeling bagi masyarakat santri, melalui konsep modeling keagungan
Nabi Muhammad Saw. Jika dalam dunia Islam. Rasulullah adalah pemimpin dan
panutan sentral yang tidak perlu diragukan lagi, maka dalam masyarakat Jawa
kepemimpinan Rasulullah diterjemahkan dan diteruskan oleh para Walisongo.
Bagi Walisongo mendidik adalah tugas dan panggilan agama, mendidik
murid sama halnya dengan mendidik anak kandung sendiri. Ajaran-ajaran
Walisongo tidak dapat dipisahkan dari ajaran dasar sufisme. Sufisme sebagai
elemen aktif dalam penyebaran Islam di Jawa yaitu dengan adanya kehadiran
tariqat Qadariyyah, Naqsabandiyah serta Suhrowardiyyah. Tariqat dan supremasi
ilmu agama sebagaimana yang telah terukir dalam sejarah merupakan ciri lain dari
kehidupan pesantren.13
3. Aspek politik
10
Mark R. Woodward, Islam Jawa, Kesalahan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: LKIS, 2004, cet.2,
hlm 34
11
Abdul Jamil, dkk, Islam dan Budaya Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm.48
12
Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren, Jakarta: Indo Press, 2004, hlm. 14
13
Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, Yogyakarta: LKIS, 2004, hlm. 45
Kebudayaan umumnya dikatakan sebagai proses atau hasil karya, cipta,
rasa, dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal
dari alam sekelilingnya. Orang yang mengutamakan nilai ekonomi, akan selalu
mengedepankan nilai ekonomi serta keuntungan materi. Sedangkan yang lebih
mengutamakan nilai politik, perilakunya diwarnai oleh nilai politik. Ia akan
menerapkan moral politik seperti yang diajarkan oleh Niccolo Machravelli, yang
menghalalkan segala cara. Ini terlihat jelas dalam sejarah perilaku golongan
priyayi Jawa dalam kerajaan-kerajaan Jawa hingga zaman Mataram. Artinya
apabila kekuasaan politik yang mereka pandang sebagai sumber kejayaan ini
diganggu, mereka akan membela mati-matian seperti ungkapan: “pecahing dhadha
wutahe ludiro”.
Penyebaran agama islam yang pada mulanya terpusatkan di daerah-
daerah pesisir, akhirnya mendapat sambutan baik dari para kepala daerah atau
bupati. Dukungan umat Islam pun memperluas kekuasaan para bupati itu hingga
berhasil membentuk kesultanan-kesultanan lokal. Di antara kesultanan Jawa Islam
yang kemudian meluas kekuasaan politiknya adalah kesultanan Demak. Karena
itu, sejak abad ke 15 dan abad ke 16 M, penyebaran agama islam telah didukung
berbagai kesultanan di daerah pesisiran.
4. Aspek sastra
Salah satu elemen yang menonjol adalah Islam sebagai agama yang
berkembang di Jawa memperoleh banyak pengikut semenjak di perkenalkan oleh
para pendatang melalui kawasan pesisiran dan kemudian masuk ke pedalaman
berinteraksi dengan elemen lama. Pertemuan antara etika Jawa (warisan Hindu
Budha) yang telah ada sebelumnya dengan ajaran Islam yang menganggapnya
terseret kepada kebatinan yang banyak dalam hal menyalahi syari'at Islam. Lepas
dari persoalan tentang kapan masuknya Islam ke Jawa, masalah lain yang tak
kalah penting adalah proses inkulturasi, di antara elemen-elemen Islam yang
sangat menonjol dalam kebudayaan lokal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Interelasi adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan
Islam dari aspek kepercayaan. Sebelum Islam datang, masyarakat Jawa telah mempunyai
kepercayaan yang bersumber pada ajaran Hindu yang ditandai dengan adanya para
dewata, kitab-kitab suci, orang-orang suci, roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara),
hukum karma dan hidup bahagia abadi (moksa).
Interelasi nilai Jawa dan Islam dalam berbagai aspek kehidupan, Ini mengkaji
proses akulturasi budaya Jawa dan Islam dengan mengeksplorasi berbagai aspek
interelasi nilai dari berbagai segi kehidupan melalui pendekatan antropologi budaya.
Penyatuan antara budaya Jawa dengan Islam nampak jelas dalam kecenderungan
masyarakat Muslim Jawa yang taat agama namun tetap tidak bisa meninggalkan tradisi
ke Jawanya.
Interelasi antara Islam dan Jawa mencakup begitu banyak aspek, bahkan hampir
seluruh aspek-aspek kehidupan Jawa berinteraksi dan berinterelasi dengan Islam. Hal
tersebut dapat dilihat dalam beberapa aspek kehidupan, antara lain sebagai berikut:
1. Aspek kepercayaan dan ritual
2. Aspek Pendidikan
3. Aspek Politik
4. Aspek Sastra
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim,Pangulu. 2016. Interelasi Agama dan Budaya. Nizhamiyah,VI (02). Medan
Ali Mustofa Kamal, Muhammad. 2016. Interelasi Nilai jawa dan Islam Dalam Berbagai Aspek
Kehidupan. Kalam Jurnal: Studi Agama Dan Pemikiran Islam. 10 (01). Wonosobo.
Arsadani, Erwin Ms. 2012. Islam Dan Kearifan Budaya Lokal: Studi Terhadap Tradisi
Penghormatan Arwah Leluhur Masyarakat Jawa. Esensia: XIII (02). Yogyakarta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
cet.3.
Haedari, Amin dkk. 2004.Masa Depan Pesantren, Jakarta: Indo Press
http://digilib.uinsby.ac.id/6413/9/Bab%204.pdf
http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/sumbula/article/view/3978/2945
Irfan Syah, M. Fakhrul dan Abdul Muhid. Telaah Kritis Pemikiran Clifford Geertz Tentang
IslamDan Budaya Jawa (Literature Review)
Jamil, Abdul dkk. 2000. Islam dan Budaya Jawa, Yogyakarta: Gama Media.
Mark R. Woodward. 2004.Islam Jawa, Kesalahan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta:
LKIS, cet.2
Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren, Yogyakarta: LKIS
Nata Abdullah, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004