PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang beragam,dari mulai perbedaan ras, warna kulit, bahasanya,
cara bersosialnya dan budayanya, namun meski banyak keanekaragaman, Indonesia tetap
tidak secara mentah mengkotak-kotakkan suatu golongan tertentu. Justru masyarakat
Indonesia selalu berpegang teguh kepada semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Adanya rasa
persatuan ini Indonesia dikenal dengan identitas yang unik, maka keberagaman menjadi
identitas dan ciri khas tersendiri.
Manusia adalah makhluk berbudaya yang mampu mengembangkan ide dan gagasan dalam
bentuk kegiatan-kegiatan yang menghasilkan benda-benda kebudayaan. Namun sebaliknya
manusia sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh kebudayaan yang melingkupinya. Sebagai
makhluk sosial, dalam hidupnya manusia selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
manusia lain.
Dengan pendapat di atas dapat di artikan bahwa simbol pula merupakan realitas dari hasil
logika yang bisa diterima oleh berbagai kalangan yang relevan dengan sebuah norma yang
dianutnya. simbol juga diartikan sebagai makna yang memilki hikmah di dalamnya, hal ini
tak lepas dari sebuah kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat tentang sesuatu yang
dianggapnya bermakna. Dari penjelasan tentang simbol di atas, masyarakat secara individual
dan sosial, tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan yang terdapat pada
setiap simbol. Sedangkansistem kepercayaan menjadi kajian antropologi budaya yang sangat
menarik, karena semenjak manusia diciptakan, manusia memiki kecenderungan untuk
mempercayai hal-hal yang gaib, hal-hal yang memiliki kekuatan supranatural.
Sesudah melihat dari sisi budaya setiap masyarakat, tidak bisa kita nafikan ada suatu hal
yang mengandung hikmah atau sebuah nilai keislaman. Hal ini tidak lepas Islam merupakan
Agama yang Rahmatan Lil’alamin. Islam sendiri didalamnya terdapat nilai-nilai yang biasa
disebut nilai Sufistik, yaitu sebuah nilai yang bersifat batiniyah dalam hubungannya antara
hamba dengan Tuhan,sebagaimana mengutip dari Alwi Shihab dalam bukunya “Islam
Sufistik”, pada hakikatnya tasawuf didasarkan pada dua hal. Pertama, pengalaman batin
dalam hubungan langsung antara hamba dengan Tuhan yaitu melalui cara tertentu di luar
logika akal, yakni bersatunya antara subjek dan objek yang menyebabkan yang bersangkutan
“dikuasai” gelombang kesadaran seakan dilimpahi cahaya yang menghanyutkan perasaan
sehingga tampak baginya suatu kekuatan gaib menguasai diri dan menjalar di segenap raga
jiwanya. Oleh karena itu dia menamakan cahaya itu “tiupan-tiupan” transendental yang
menyegarkan jiwa. Kedua, bahwa dalam tasawuf “kesatuan” Tuhan dengan hamba adalah
sesuatu yang memungkinkan sebab jika tidak, tasawuf akan berwujud sekedar moralitas
keagamaan. Pandangan ini didasarkan pada keyakinan terhadap wujud mutlak yang
merupakan satusatunya wujud yang riil. Komunikasi dan hubungan langsung dengan Tuhan
berlaku taraf-taraf yang berbeda hingga mencapai “kesatuan paripurna”, yaitu tidak ada yang
terasa kecuali Yang Maha Esa. Dari sini tasawuf dikatakan sebagai tangga transendental yang
tingkatan-tingkatannya berakhir pada dzat yang transenden. Ia adalah perjalanan pendakian
hingga mencapai puncak. Tasawuf pula sebagai wahana pengembangan jiwa dalam
pendekatnnya kepada Tuhan yang maha Rohman, tasawuf juga sebagai simbol etika seorang
hamba kepada Tuhannya, sesama manusia dan etika kepada Alam sebagai ciptaan dari
Tuhannya. Dengan demikian manusia sebagai makhluk Tuhan yang lebih sempurna daripada
makhluk lainnya dibekali kelebihan-kelebihan oleh Allah SWT, diantaranya Hati sebagai
wahana rasa dan akal sebagai alat berfikir, keduanya mengkafer perilaku manusia yang
mencitakan sebuah budaya.
Madura terkenal dengan kekhasan dan keunikan nilai-nilai budayanya. Budaya tersebut
merupakan suatu set dari sikap, prilaku, dan simbol-simbol yang dimiliki bersama oleh
manusia dan biasanya dikomunikasikan dari suatu generasi-kegenerasi berikutnya. Manusia
tidak lahir dengan membawa budayanya, melainkan budaya tersebut diwariskan dari
generasikegenerasi. Misalnya, orang tua kepada anak, guru kepada murid, pemerintah kepada
rakyat, dan sebagainya.Terbukti dengan adanya budaya-budaya yang menjadi ciri khas
masyarakat Madura, diantaranya budaya suguhan makanan Ngakan Nase’ kepada Tamu
keluarga. Budaya ini menggambarkan keunikan Masyarakat Madura yang apabila ada Tamu
dari sanak-keluarga pasti pihak tuan rumah akan menyiapkan hidangan makanan nasi bukan
sekedar jajan-jajanan, dan apabila di rumahnya sedang tidak ada makanan, maka pasti akan
direpotkan masak, bahkan Tamu dicegah pulang selagi belum makan. Budaya ini sudah
mengakar di kalangan masyarakat Madura.
Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa entitas etnik Madura memiliki
kekhususan-kultural yang tidak serupa dengan etnografi lain. Kekhususan kultural itu tampak
antara lain pada ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan mereka secara hierarkis kepada empat
figur utama dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam praksis keberagamaan. Keempat figur itu
adalah Buppa’, Babbu, Guru, ban Rato (ayah,ibu,guru,dan pemimpin pemerintahan).9Dengan
demikian, rasa takdzim yang dimiliki madura terhadap empat figur di atas merupakan simbol
kekhasan masyarakat Madura.
Masyarakat Madura Dengan ini, warisan dari nenek moyang masyarakat ini akan terus
dilestarikan sebagai bentuk ta’dzim terhadap figur yang telah mewariskan. Madura terdapat
beraneka ragam pula budaya yang masih dilestarikan. Tak kalah banyaknya dengan budaya
yangada di jawa, dengan kekhasan tersendiri Madura memiliki rasa persaudaraan yang kuat
dan kental. hal ini dikuatkan dengan fahamnya silsilah keturunan, seperti mulai garis silsilah
kekerabatan baik kerabat jauh dan dekat yang akan menyambung pada nenek moyang yang
sama, demikian pula dengan budaya penghormatan, kasih sayang dan cinta yang berbeda
dengan yang namanya kerabat dan keluarga. Ketakdziman yang ditujukkan masyarakat
Madura inilah mengandung nilai-nilai moral yang sudah menjadi akar dan landasan dalam
beretika (tengka), berperilaku dan bersikap.
Budaya yang seperti ini terlihat berbeda dengan budaya yang terdapat yang kental akan
rasa kasih sayang sesama manusia, kerabat pada umumnya dan keluarga khususnya terjadi
selain karena kekentalannya masyarakat Madura pada nilai-nilai keagamaan, juga merupakan
aktualisasi dari norma keagamaan yang mereka yakini. Demikian halnya yang terjadi di Desa
Pakandagan Barat Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep masyarakat ini secara turun-
temurun bisa dikatakan masih berpegang teguh pada budaya nenek moyang madura. Di desa
Sumber Nangka terdapat budaya yang terus dilestarikan dari generasi kegenerasi yakni
suguhan makanan (ngakan Nase’) kepada setiap Tamu kerabat yang berkunjung ke
rumahnya. Ada aroma nilai nilai Sufistik yang dijadikan pijakan dalam setiap tindakan dalam
budaya tersebut. Meskipun budaya Ngakan Nase’ bermuatan lokal, budayaini sudah lama
dipraktekkan dan dilestarikan di era moderenisasi ini.
Budaya yang masih selalu mengakar dalam diri generasi ke generasi berikutnya,
mencerminkan norma dan nilai kebersamaan dan kekerabatan yang kental.Budaya yang
jarang terdapat pada desa-desa lainnya, membuat penulis tertarik meneliti kajian ini. Terlebih
adanya pepatah Madura “Toan Roma Ngampoeng rajekeh ka tamui” yang artinya “tuan
rumah sebenarnya numpang rejeki lewat adanya tamu” dan banyak pula peribahasa yang
menjadi landasan berfikir danbertindak masyarakat dalam melestarikan budaya ini, seperti
“mon beles makah ekabelesin” yang artinya “kalau belas kasih maka akan dibelaskasih juga”.
B. Fokus Penelitian
Budaya suguhan makanan (ngakan nase’) bagi kunjungan tamu keluarga sudah ada sejak
dahulu dan sekarang masihdilaksanakan secara turun menurun. Oleh karena itu, pembahasan
budaya suguhan makanan (ngakan nase’) bagi kunjungan tamu keluarga yang terjadi di
tengah-tengah kehidupan masyarakat di Desa Pakandangan Barat dirasa penting untuk
ditelusuri dalam analisis keilmiahan. Hal ini sepenuhnya dimaksudkan dalam rangka
mengungkapkan secara baik tentang nilai-nilai Sufistik yang terdapat dalam budaya suguhan
makanan (ngakan nase’) bagi kunjungan tamu keluarga beserta maknanya dan juga untuk
mengungkap keyakinan masyarakat terhadap budaya suguhan makanan (ngakan nase’) bagi
kunjungan tamu keluarga.Dalam hal ini yang menjadi objek penelitian adalah masyarakat di
Desa Pakandangan Barat Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep Madura Jawa timur.Fokus
penelitian ini diarahkan kepada nilai-nilai Sufistik yang terdapat pada budaya suguhan
makanan (ngakan nase’) bagi kunjungan tamu keluarga, serta bagaimana keyakinan
masyarakat Desa Pakandangan Barat Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep Madura Jawa
timur terhadap budaya suguhan makanan (ngakan nase’) bagi kunjungan tamu keluarga
dalam keberagamaannya.
C. Rumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang masalah dan beberapa hal yang telah dikemukakan di atas
maka beberapa rumusan masalah berikut akan memfokuskan kajian penelitian ini, 1. Apa
saja nilai-nilai Sufistik yang termuat dalam budaya suguhan makanan (ngakan nase’) bagi
kunjungan tamu keluarga, masyarakat Desa Pakandangan Barat Kecamatan Bluto
Kabupaten Sumenep Madura Jawa timur? 2. Bagaimana keyakinan masyarakat Desa
Pakandangan Barat Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep Madura Jawa timurterhadap
budaya suguhan makanan (ngakan nase’) bagi kunjungan tamu keluargadalam
keberagamaannya?
D. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga dengan adanya tujuan
tersebut dapat dicapai suatu solusi atau jawaban atas masalah yang dihadapi. Adapun
tujuan penelitian diatas sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui nilai-nilai sufistik yang terdapat dalam budaya suguhan makanan
(ngakan nase’) bagi kunjungan tamu keluargabagi masyarakat Desa Pakandangan Barat
Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep Madura Jawa timur
2. Untuk mengetahui keyakinan masyarakat Desa Pakandangan Barat Kecamatan Bluto
Kabupaten Sumenep Madura Jawa timur terhadap budaya suguhan makanan (ngakan nase’)
bagi kunjungan tamu keluargadalam keberagamaannya
E. Manfaat Penelitian
Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari
penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis Untuk menambah wawasan kita tentang nilai-nilai sufistik yang terdapat
dalam budaya suguhan makanan (ngakan nase’) bagi kunjungan tamu keluarga dan
keyakinan masyarakat terhadap tradisi suguhan makanan (ngakan nase’) bagi kunjungan
tamu keluargadalam keberagamaannyaBaik dari khazanah kepustakaan maupun dari
masyarakat Desa Pakandangan Barat Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep Madura Jawa
timur.
2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini dapat memberi pemahaman kepada peneliti
sendiri maupun pembaca tentang nilai-nilai sufistik dan keyakinan masyarakat Desa
Pakandangan Barat Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep Madura Jawa timur terhadap
budaya suguhan makanan (ngakan nase’) bagi kunjungan tamu keluargadalam
keberagamaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Asas merdeka
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, karena itu kehidupan pribadi/ keluarga,
masyarakat, dan bangsa yang bebas itu mempunyai tanggung jawab
dan kewajiban bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi kemerdekaan itu.[1]
3. Asas persatuan dan kesatuan
Bangsa Indonesia terdiri atas aneka ragam suku, budaya, bahasa, adat
istiadat daerah dan sebagainya telah membentuk Negara Republik Indonesia yang
meletakkan persatuan dan kesatuan sebagai asas sosial budayanya.[1]
4. Asas kedaulatan rakyat
Kehidupan pribadi atau keluarga dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
selalu mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam rangka mengutamakan
kepentingan umum di atas kepentingan golongan/pribadi.[1]
5. Asas adil dan makmur
Setiap pribadi atau keluarga dalam kehidupan harus mempunyai kehidupan yang
layak dan adil
sehingga pekerjaan, pendidikan, profesi, kesehatan, pangan, pakaian, perumahan,
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadi hak yang
dipertanggungjawabkan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pola Pikir, Pola Tindak, dan Fungsi Sistem Sosial Budaya Indonesia
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, yang hidup tersebar diseluruh tanah air,
yang memiliki berbagai macam ragam budaya. Sehingga menimbulkan keanekaragaman
institusi dalam masyarakat. Institusi adalah suatu konsep sosiologi yang paling luas
digunakan, walau memiliki pengertian yang berlainan:
Wujud idiil
Wujud kelakuan
Wujud fisik dari kebudayaan
Koentjaraningrat mengatakan, bahwa seluruh total dari kelakuan manusia yang berpola
tertentu bisa diperinci menurut fungsi-fungsi khasnya dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia dalam bermasyarakat. Maka pola pikir, pola tindak dan fungsi sistem sosial budaya
Indonesia merupakan institusi sosial, yaitu suatu sistem yang menunjukkan bahwa peranan
sosial dan norma-norma saling berkait, yang telah disusun guna memuaskan suatu kehendak
atau fungsi sosial. Komponen-komponen dari pranata social adalah: Sistem Norma, Manusia,
dan Peralatan fisik.
4. Kesatria
Persatuan dan kesatuan, maupun keadilan sosial tidak dapat terwujud tanpa
keberanian, kejujuran, kesetiaan, pengabdian, dan perjuangan yang tidak mengenal
menyerah demi kehidupan bersama.
5. Dinamis
Kehidupan pribadi/keluarga, bangsa dan negara juga bersifat dinamis sesuai dengan
zaman, sehingga waktu sangat penting dalam rangka persatuan dan kesatuan, maupun
keadilan sosial bagi seluruh rakya.
Jadi, struktur system sosial budaya indonesia dapat merujuk pada nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila yang terdiri atas:
Tata nilai
Tata nilai ini meliputi:
Nilai agama; * Nilai kebenaran; * Nilai moral; * Nilai vital; * Nilai material.[4]
Tata sosial
NKRI adalah Negara hukum, semua orang adalah sama di mata hukum. Tata hukum di
Indonesia adalah sistem pengayoman yang mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruhu rakyat Indonesia
Tata laku
Dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka tata laku harus berpedoman
pada norma-norma yang berlaku, yaitu: norma agama, norma kesusilaan/kesopanan, norma
adat istiadat, norma hukum setempat, norma hukum Negara.
3. Tidak merasa tunduk pada alam, sebaliknya juga tidak merasa mampu menguasainya.
Hidup harus selaras dengan alam sekelilingnya.[1]
4. Memiliki rasa kehidupan bersama.[1]
5. Pada hakikatnya manusia tidak berdiri sendiri melainkan selalu membutuhkan
bantuan dari sesamanya. Hanya saja sisi negatifnya adalah jangan dengan sengaja
berusaha menonjolkan diri di atas orang lain.[1]
Mentalitas yang tidak cocok dengan jiwa pembangunan
1. Tidak bersumber kepada suatu nilai yang berorientasi terhadap hasil karya manusia
itu sendiri, tetapi hanya terhadap amal dari karya ibarat orang sekolah, tidak
mengejar pengetahuan dan ketrampilan, melainkan mengejar ijazahnya saja.[1]
2. Masih terdapat rasa sentimen yang agak berlebihan terhadap benda-benda pusaka
nenek moyang, mitologi dan banyak hal mengenai masa lampau.[1] Hal ini bukannya
melemahkan mentalitas, hanya saja suatu orientasi yang terlampau banyak terarah ke
zaman dulu akan melemahkan kemampuan seseorang untuk melihat masa depan.[1]
3. Berspekulasi tentang masalah hubungan antarmanusia dengan alam, serta terlalu
menggantungkan diri pada nasib. Dalam menghadapi kesulitan hidup cenderung
berlari ke alam kebatinan (klenik).[1]
4. Mentalitas yang orientasinya mengarah pada orang yang berpangkat tinggi, senior,
dan orang-orang tua, sehingga hasrat untuk berdiri sendiri dan berusaha sendiri masih
lemah.[1] Seperti rendahnya disiplin pribadi yang murni, orang cenderung taat jika ada
pengawasan dari atas. Juga mentalitas yang selalu menunggu restu dari atasan.[1]
5. Sifat -sifat kelemahan yang bersumber pada kehidupan keragu-raguan dan hidup
tanpa orientasi yang tegas antara lain:
1. Mewajibkan sebagai syarat suatu nilai budaya yang berorientasi ke masa depan
2. Sifat hemat dan hasrat untuk bereksplorasi dan berinovasi
3. Pandangan hidup yang menilai tinggi hasil karya
1. Keberagaman suku bangsa Suku bangsa merupakan suatu kelompok masyarakat yang
memiliki asal-usul, tempat asal, dan kebudayaan yang sama. Dengan bentuk negara yang
sangat luas, yang terdiri atas berbagai macam pulau maka tak heran terdapat banyak sekali
suku bangsa di Indonesia.
2. Keberagaman bahasa Sama halnya seperti suku bangsa, tiap-tiap daerah memiliki
bahasanya sendiri yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Terdapat banyak sekali bahasa
daerah di Indonesia, yakni: bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Padang, dan lain
sebagainya.
3. Keberagaman rumah adat Contoh keragaman sosial budaya di Indonesia juga bisa
dilihat dari rumah adatnya. Biasanya rumah adat dibuat sesuai dengan letak geografis suatu
daerah dan juga nilai-nilai pada kelompok tersebut. Jenis rumah adat yang ada di Indonesia:
rumah Joglo, rumah Gadang, rumah Limas, rumah Badui, dan lain-lain.
4. Keberagaman pakaian adat Pakaian adat daerah merupakan salah satu unsur
kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang merupakan ciri khas dan identitas diri dari
tiap daerah. Tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki baju adatnya masing-masing.
5. Keberagaman tarian daerah Keberagaman tarian dalam setiap daerah juga dipengaruhi
oleh unsur budaya dan nilai kebudayaan yang berbeda satu dengan lainnya. Contoh tarian
daerah adalah sebagai berikut: tari Seudati, tari Zapin, tari Piring, tari Jaipong, dan tari Yapong.
6 Keberagaman alat musik Tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki keragaman alat musik
tradisional. Alat musik ini biasanya digunakan pada saat ada pementasan tari atau upacara adat.
Contoh dari alat musik tradisional: Angklung, Calung, Kecapi, Sasando, Kolintang, dan Gamelan.
Dalam keberagaman ini, antar masyarakat sangat perlu dan wajib untuk hidup
harmoni supaya mencegah terjadinya konflik atau hal semacamnya.
Mengutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), hidup
harmoni berarti hidup dengan menjaga kerukunan, senantiasa bertoleransi, saling
menghormati antar masyarakat serta saling bekerja sama dalam menyelesaikan
permasalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Zainal Muttaqin. 2010. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Banten: Universitas Serang Raya.
hal 15,16,17,18,19,20,21,22,23,24,25,26,27,28,29,30
Paul B. Horton. 1987. "Sosiologi". Jakarta:Erlangga. Hal 246,247,248,249,250
George Ritzer. 2012. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Hal 505, 506, 507, 508, 509,
550,558,559, 560