Anda di halaman 1dari 4

AGAMA , SUFISME , KOMODIFIKASI

Oleh :
Achmad Abdul Syukur
NIM 07040620062

Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi


Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya

Pendahuluan

Indonesia adalah sebuah bangsa dengan kompisisi etnis yang sangat beragam. Begitu
pula dengan ras, agama, aliran kepercayaan, bahasa, adat istiadat, serta pandangan hidup. Setiap
kategori sosial memiliki budaya internal sendiri yang unik, sehingga berbeda dengan
kecenderungan budaya internal kategori sosial yang lain. Dari segi kultural maupun stuktural,
fenomena tersebut mencerminkan adanya tingkat keragaman yang tinggi. Tinggi pluralisme
bangsa Indonesia, membuat potensi konflik dan perpecahan serta kesalahpahaman juga memiliki
eskalasi yang cenderung tinggi.1

Pluralitas masyarakat Indonesia selain menjadi kekuatan juga dapat melahirkan berbagai
persoalan sosial. Pertentangan dan konflik sosial dapat saja muncul sewaktu waktu, manakala
perbedaan-perbedaan yang di masyarakat tidak dapat dikelola dengan baik. Masyarakat majemuk
memang rawan konflik. Konflik dalam masyarakat majemuk dapat berlangsung terus menerus di
setiap tempat dan waktu. Konflik bersumber pada perbedaan perbedaan. Setiap perbedaan pasti
mempertahankan eksistensinya. Apabila setiap pihak ingin mempertahankan eksistensi, berarti
ikut memperjuangkan kepentingannya agar tetap eksis dan diakui keberadaannya. Hal inilah
yang dapat melahirkan kerawanan.2

1
Umi Sumbulah, Pluralisme Agama Makna dan Lokalitas Pola Kerukunan Antarumat Beagama, (UIN Maliki Press:
Malang 2013) 1
2
P. Paul Nganggung, Pendidikan Agama Dalam Masyarakat Pluralistik, dalam Th. Sumartana,
Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Jakarta: Interpedei), hlm. 257
Isi

Agama merupakan sebuah konsep atau sistem kepercayaan atau keyakinan manusia
dengan sesuatu hal atau Zat yang disebut atau dianggap Tuhan. Kepercayaan terhadap sesuatu
zat yang dianggap Tuhan itu didapatkan dari sumber pengetahuan diri seperti yang dialami salah
satu Nabi yakni Nabi Ibrahim, ketika logikanya mencoba menelusuri ciptaan Tuhan, sampai pada
akhirnya menjumpai zat Allah sebagai Tuhan yang patut untuk disembah karena Maha pencipta.
Daya pengetahuan anusia juga bisa didapatkan berdasarkan sesuatu yang datang dari luar,
kemungkinan informasi dari guru, orang tua, atau dari tokoh yang memiliki ilmu pengetahuan.
Dengan sederhana dapat kita simpulkan bahwa orang yang beraga adalah orang yang percaya
adanya Tuhan. Siapapun Tuhannya adalah hak setiap manusia dengan background masing-
masing.3

Kemudian agama juga berarti sebagai sistem keyakinan/kepercayaan yang didalamnya


terkandung aspek-aspek moral, budaya dan hukum.
agama dijadikan sebagai sebuah bentuk kepercayaan manusia terhadap sesuatu yang sifatnya
adikodrati atau gaib atau supernatural dan seolah olah menyertai manusia dalam ruang kehidupan
yang begitu luas.

Agama mempunyai beberapa nilai bagi kehidupan secara pribadi maupun hubungannya
dengan kehidupan masyarakat. Selain itu agama pun memberikan dampak kehidupan sehari-hari.
Maka dari itu secara psikologi, afapat bisa berguna untuk motif intrinsik atau ( dalam ) dan motif
ekstrinsik ( luar ) dan motif yang didorong kepercayaan agama dijustifikasi mempunyai kekuatan
yang sangat mengangumkan dan susah untuk ditandingi oleh kepercayaan non agama baik
doktrik maupun ideologi. Beda hal nya dengan pengertian yang empiris. Sosiologi tak pernah
memberikan pengertian agama yang evaluatif ( menilai ).

Sosiologi tidak peduli mengenai hakikat agama, baik buruknya agama atau yang sedang
diamati. Dari observasi ini sosiologi hanya bisa memberikan pengertian gambaran apa adanya (
deskriptif ) yang menyebutkan apa yang dialami dan diketahui oleh para pemeluknya. Sesuai
dengan hasil merupakan suatu pandangan hidup yang wajib diterapkan di kehidupan kelompok
ataupun individu. Berdasarkan hasil studi para ahli sosiologi menyatakan bahwa agama

3
Abdulah Ali, Agama dalam perspektif Sosiologi Antropologi, STAIN Cirebon: 2005.
adalah suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan
individual ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling
mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua factor yang turut membentuk struktur social
di masyarakat manapun.4

Sufisme merupakan karakteristik dalam sastra persia. Pada karya abu hasan al kharqani
dan abu yazid al bustami nampak awal pada 10 M Tasawuf tumbuh di persia, namun pada abad
11 tasawuf disempurnakan dan dikembangkan oleh penyair abu said aba al-khair di khurasan
yang pada mulanya berbentuk syair dan puisi.dalam bentuk syair dan puisi mulai disempurnakan
dan berkembang. Sastra sufistik yang kemudian berkembang melalui para penyair persia
kemudian sinai, attar dan jalaluddin rumi yang berhasil membawa sastra mistik persia ke puncak
kejayaannya dengan karya besarnya matsani ma‟nawi.5

Penutup

Komodifikasi agama adalah kultural yang kompleks dan kontruksi historis, meski
demikian ciri komersialnya begitu real ( nyata ). Direproduksi dengan konteks budaya tertentu
dan mempersyaratkan kerangka kulturan agar signifikansi simbolik bisa lebih ditegasi dan
sosioekonomi mereka. Komodasi adalah proses yang diciptakan di dalam dunia ekonomi pasar
global dan lokal serta ledakan agama postmodern.6

komodifikasi agama membuat kita mendefinisikan ulang agama sebagai komoditas pasar
untuk dipertukarkan. Hal ini lebih jauh diperluas dengan koneksi transnasional organisasi
keagamaan dan jaringan pasar.7 Dalam perspektif Habermas, peningkatan komodifikasi hidup—
termasuk kebudayaan dan agama—oleh korporasi raksasa mengubah manusia dari masyarakat

4
Dr.Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009. hlm.15
5
Fahruddin Faiz, “SUFISME-PERSIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP
EKSPRESI BUDAYA ISLAM NUSANTARA”, Al-A‟raf Jurnal pemikiran islam dan filsafat, Vol 17, No. 1, April
2016. 3
6
Pattana Kitiarsa (ed.), Religious Commodification in Asia: Marketing
Gods, (London: Routledge, 2008), hlm. 1
7
Ibid., hlm 6
rasional menjadi masyarakat tidak- rasional. Ia benar-benar melihat hal ini sebagai sebagai
indikasi bahwa kehidupan kita sehari-hari telah dijajah oleh „system imperatives.8

Dalam bukunya Memhamai Hubungan Antaragama, Azyumardi Azra,9 menegaskan


bahwa konflik yang terjadi antara pemeluk agama saat ini adalah akibat dari kesalahan fatal
pengajaran dan sikap keagamaan yang ditunjukan oleh masing-maisng pemeluknya. Sebab
menurutnya, banyak faktor lain yang lebih mendukung terjadinya konflik dan kekerasan, seperti
faktor ekonomi, sosial, sikap elit agama, dan lain-lain. Namun jika pangatasnamaan agama
dalam konflik dan kasus-kasus kekerasan tersebut didasarkan pada kesalahan dalam
menginterpretasi dan memahami ajaran agama, maka jelas hal tersebut berhubungan dengan
pendidikan. Artinya pendidikan (dalam hal ini pendidikan agama) juga dapat dikatakan gagal
dalam memenuhi fungsi dan perannya untuk mencetak manusia yang beragama secara benar,
saling menghargai dan menghormati antarsesama.

Searah dengan pandangan di atas, Zainuddin menjelaskan, bahwa salah satu hal yang
perlu diperhatikan dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama di Indonesia adalah:
pertama, para tokoh agama perlu melakukan reorientasi pendidikan agama yang berwawasan
pada kerukunan umat dan keramahan (rahmah li al-„alamin); kedua, upaya elit agama untuk
terus meningkatkan kualitas pendidikan pada masing-masing umat. Pendidikan yang dimaksud
adalah pendidikan yang melahirkan akhlaq al-karimah dengan indikator, adanya sikap jujur,
tenggang rasa, dan cinta kasih antar sesama. Bukan pendidikan yang hanya sekedar
mengedepankan intelek.10

8
Chris Barker, Making Sense of Cultural Studies: Central Problems and Critical Debates, (London: Sage, 2002), h.
164-165
9
Azyumardi Azra, Memahami Hubungan Antaragama, (Jogjakarta: eLSAQ PRESS, 2007), hlm. 126
10
Zainuddin dalam Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan
Islam, Sosial dan Keagamaan, (Malang: UIN Malang Press, 2006), hlm. 194

Anda mungkin juga menyukai