Anda di halaman 1dari 17

INKLUSIVISME DAN EKSKLUSIVISME SERTA PENGARUHNYA

TERHADAP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


Disajikan dalam
Diskusi Periodik LPM IAIN Jember

Oleh:
Khoirul Anwar

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
TAHUN 2018
INKLUSIVISME DAN EKSKLUSIVISME SERTA PENGARUHNYA
TERHADAP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia memiliki keragaman yang begitu banyak, tidak hanya
masalah adat istiadat atau budaya seni, bahasa dan ras, tetapi juga termasuk
masalah agama.Walaupun mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam,
ada beberapa agama dan keyakinan lain yang juga dianut penduduk ini. Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks, masyarakat
dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah masyarakat
multikultural.
Keragaman beragama adalah merupakan sunnatullah. Seperti halnya
keragaman dalam bahasa, suka dan budaya. Untuk itu, Al-Quran telah
memberikan petunjuk kepada umatnya dalam menyikapi keragaman beragama
dalam wujud dua sikap yang jelas dan tegas. Yaitu sikap eksklusif (al-inghilaq)
dalam hal-hal yang bersifat aqidah dan „ubudiah dan sikap Inklusif (al-infitah)
dalam ranah sosial interaktif. Dalam tataran aplikatif, ajaran Islam yang
bersumber kepada Al-Quran dan as-Sunnah telah mengajarkan kepada umatnya
bagaimana hidup berdampingan dengan anggota masyarakat yang berbeda
kenyakinan. Piagam Madinah adalah diantara bukti sejarah bagaimana Islam
sejak awal menginginkan terwujutnya kerukunan antarumat beragama. Dalam
konteks keindonesiaan, nilai-nilai luhur Al-Quran tersebut dapat dikembangkan
dalam rangka mengakkan berbagai pilar yang perlu disepakati bersamadan
diaktualisasikan untuk membangun kerukunan antarumat beragama. Diantara
pilar-pilar tersebut adalah dengan meningkatkan sikap toleran yang benar,
saling menghormati dengan penuh sikap kedewasan dalam beragama,
meningkatkan kerjasama dalam hal-hal yang menjadi tujuaan bersama dalam
beragama, tanpa harus saling mencurigai dan memperkokoh tiga pilar
kenegaraan (Pancasila, UUD 45 dan Bineka Tunggal Ika).1

1
Moh Abdul Kholiq Hasan, Merajut Kerukunan Dalam Keragaman Agama Di Indonesia
(Perspektif Nilai-Nilai Al-Quran) PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2013:
hal, 66-67.
Keanekaragaman agama yang dipeluk bangsa Indonesia menjadi bukti
bahwa bangsa Indonesia menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia. Karena
kebebasan beragama merupakan esensi dari hak kodrati manusia untuk berbakti
kepada penciptanya, Tuhan Yang Maha Esa menurut hati nuraninya. Setiap agama
tentu punya aturan masing-masing dalam beribadah. Namun perbedaan ini
bukanlah alasan untuk berpecah belah. Sebagai satu saudara dalam tanah air yang
sama, setiap warga Indonesia berkewajiban menjaga kerukunan umat beragama
di Indonesia agar negara ini tetap menjadi satu kesatuan yang utuh dan mencapau
tujuannya sebagai negara yang makmur dan berkeadilan sosial.
Tantangan pendidikan islam saat ini adalah merubah paradigma berpikir
manusia dari sikap-sikap eksklusif menuju inklusif. Permusuhan menjadi
persaudaraan, karena menurut Ahmad Ludjito dalam "Filsafat Nilai dalam Islam "
dalam Chabib Thoha et.al, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, pada
hakekatnya pendidikan adalah suatu proses dari "upaya memanusiakan manusia".
Hal Ini mengandung maksud bahwa tanpa adanya media berupa pendidikan
maka teologi plural akan sulit berkembang di bumi nusantara ini. Pendidikan dan
ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang agung karena dengan pendidikan kita,
dapat memiliki akar yang kuat dalam memahami perbedaan.2
Salah satu yang menonjol dari pendidikan di indonesia adalah kuatnya pola
adaptasi dengan budaya lokal. Sejalan dengan adaptasi tersebut, ajaran-ajaran
p e n d i d i k a n i s l a m yang dikembangkan di indonesia pada masa awal pun,
sarat dengan nilai-nilai toleransi. Atau setidaknya telah mampu menampilkan
wajah Islam yang moderat dan tidak suka dengan kekerasan. Namun demikian,
ahir-ahir ini, watak adaptif dan toleran lembaga ini, mulai dipertanyakan. Hal
ini disebabkan oleh adanya sejumlah aksi terror dan kekerasan yang marak
terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan ini, dilakukan oleh beberapa
pelaku yang nota bene alumni pesantren. Sebagian kemudian menggeneralisir
bahwa pesantren adalah the breeding ground yang mencetak santri yang tidak
toleran terhadap perbedaan. Persepsi dan pandangan inilah yang dirasa tidak

2
Ahmad Lutdjito, "Filsafat Nilai dalam Islam " dalam Chabib Thoha et.al, Reformulasi
Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan FT. IAIN Walisongo Semarang,
1996), Hlm, 21.
tepat karena islam dalam melihat keberagaman merupakan sesuatu yang
niscaya dan menjadi realita kehidupan manusia.Banyak ayat Al-Quran yang
menerangkan realitas sunnatullah tersebut. Disamping Al-Quran
menegaskan keniscayaan keberagaman manusia dalam SARA, Al-Quran juga
memerintahkan kepada semua pengikutnya untuk tetap berbuat baik dan adil
kepada sesama ma- nusia, meskipun diluar agamanya.

B. Pengertian Inklusif (Al-Infitah), Eksklusif (Al-Inghilaq)


Setiap agama pasti memiliki sisi-sisi eksklusif (al-inghilaq) dan inklusif (al-
infitah) yang sangat mempengaruhi dalam sikap keagamaan seseorang.Sisi
eksklusif (al-inghilaq) ini tercermin dalam masalah terutama aqidah dan ibadah.
Setiap agama memiliki kekhususan tersendiri yang tidak dimiliki agama lain dan
tidak boleh dicampur adukkan. Karena mencampuradukkan kedua hal tersebut
dengan kenyakinan lainnya dinyakini tidak hanya menjadikan tertolaknya aqidah
dan ibadah tersebut, namun juga dapat mengilangkan eksistensi agama itu
sendiri dan tentu akhirnya akan mempengaruhi kepada keharmonisan antarumat
beragama bahkan melahirkan kondisi sosial kemasyarakatan yang tidak
sehat.Sedangkan sisi Inklusif (al-infitah) tercermin dalam sikap sosial,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.3
1. Inklusif
Inklusif adalah sikap berfikir terbuka dan merhargai perbedaan, baik
perbedaan tersebut dalam bentuk pendapat, pemikiran, etnis, tradisi berbudaya
hingga perbedaan agama.4 Sikap terbuka kemudian menjadi prasyarat utama
terjadianya dialog antar agama, tradisi atau dialog antar peradaban
dengan tujuan tidak lagi ada pembenaran absholut dan ekstrim dalam
berpendapat ataupun beragama, namun bukan hal ini yang dimaksud oleh
penulis sebagai paradigma inklusiv, melainkan sebuah tujuan untuk
menemukan kebenaran universal dalam setiap perbedaan atau sekedar tidak
saling mencurigai. Sikap inklusif (al-infitah) akan melahirkan sikap untuk
menghormati dan menghargai keberadaan umat agama lain.

3
Moh Abdul Kholiq Hasan, Merajut Kerukunan Dalam Keragaman Agama Di Indonesia (Perspektif
Nilai Nilai Al-Quran) PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2013: hal, 70.
4
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan
Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), Hal, 34.
Karena dalam ajaran agamanya sendiri menuntut untuk menghormati
keberadaan agama lain yang diakui oleh penganutnya sebagai kebenaran juga,
maka ini merupakan manifestasi sikap inklusifisme. Sikap ini selalu diikuti
oleh pemberian kesempatan dan kebebasan terhadap penganut agama untuk
melakukan ritual dan peribadatannya sesuai apa yang mereka yakini. Di dalam
mengakui klaim orang lain atas kebenaran agamanya, apapun bentuk
pengakuan itu, seorang inklusif tidak pernah kehilangan karakter dan jati
dirinya sebagai seorang yang mentaati dan membela kebenaran agamanya.
Dia justru menunjukkan identitas agamanya sebagai pelaksanaan nilai luhur
agamanya sendiri atas pengakuan orang lain terhadap agamanya sendiri, dan
dengan semangat keberagamaanya dia dapat bergaul dan berkomunikasi
secara elegan dengan penganut agama lain dengan tetap memegang prinsip
kebenaran universal agamanya.5
Islam p a d a d a s a r n ya a d a l a h sebagai agama rahmatan lil‘ala-
min (rahamat bagi seluruh alam semesta), meskipun islam sendiri telah
menegaskan bahwa agama yang benar adalah Islam (Ali Imran/3: 19 dan 85):
   
   
   
   
   
   
   

Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab6 kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab-Nya.
   
     
  

Artinya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk
orang-orang yang rugi.

5
Iskandar Zukarnain, “Realitas Keagamaan di Indonesia dan Inklusifitas Islam”, makalah seminar,
di Lor In Solo, 18-20 Juni 2012.
6
Maksudnya ialah Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum Al Quran.
Namun secara prinsip dan kehidupan sosial bermasyarakat, Islam
mengakui entitas agama-agama lain dan membiarkan pemeluknya untuk
melakukan dan menjalankan peribadatan masing-masing. Islam tidak pernah
memaksa seseorang untuk masuk Islam. Karena keimanan seseorang dapat
diterima jika hal itu dilakukan dengan sukarela tanpa ada sedikitpun
pemaksaan.Tidak ada gunanya keimanan seseorang yang lahir dari
pemaksaan. Untuk apa Islam dipaksakan, padahal kebenaran dan
petunjuknya sudah sangat jelas bagi siapapun yang menginginkan kebenaran
Islam.7
Sikap inklusif ada karena Alquran mengajarkan paham religious
plurality. Bagi orang Islam, dianut suatu keyakinan bahwa sampai hari ini
pun didunia ini akan terdapat keragaman agama. Meskipun ada klaim bahwa
kebenaran agama ada pada Islam, sebagaimana tercantum dalam Q.S Ali
Imran:13,
     
    
   
  
   
     
  
 
Artinya: Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang
telah bertemu (bertempur)8 segolongan berperang di jalan Allah dan
(segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan)
orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan
bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.
Akan tetapi di dalam Alquran disebutkan pula adanya hak orang lain
untuk beragama dan agama tidak bisa di paksakan kepada orang lain
sebagaimana tercantum dalam Q.S Al Baqarah: 256:
     
    
  
  
 

7
Sayyid Thanthawi,Al-Tafsir al-Wasith, jilid 1, (Maktabah Syamilah,t.t), hlm. 473
8
Pertemuan dua golongan itu - antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin - terjadi dalam
perang Badar. Badar nama suatu tempat yang terletak antara Mekah dengan Madinah dimana
terdapat mata air.
    
   
Artinya: tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut9 dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus.
dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Sikap inilah yang menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam
sekaligus mendasari kebijakan politik kebebasan beragama.10 Inklusivisme
Islam tersebut juga memberikan formulasi bahwa Islam adalah agama terbuka.
Islam menolak eksklusivisme, absolutisme, dan memberikan apresiasi
yang tinggi terhadap pluralisme. Hal inilah yang perlu ditanamkan pada
peserta didik dalam pendidikan agama Islam agar dapat melahirkan sikap
inklusif sekaligus toleransi positif dikalangan umat beragama. Sejalan dengan
semangat Alquran agar fenomena lahiriyah tidak menghalangi usaha untuk
menuju titik temu (kalimatun sawa’) antara semuanya sebagaimana
tercantum dalam Q.S Ali Imran:6411
  
  
  
     
   
  
     
  
 
Artinya: Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa
tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada
mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah)".

Kalaupun rumusan linguistik dan verbal keyakinan keagamaan itu


berbeda-beda, dapat dipastikan bahwa eksternalisasi keimanan dalam dimensi
kemanusiaan tentu sama. Ajaran tauhid dalam Islam mengandung pengertian

9
Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
10
Yaya Suryana dan Rusdiana, Pendidikan Multikultural Suatu Upaya Penguatan Jti Diri
Bangsa,(Bandung: CV Pustaka Setia,2015), 329.
11
Ibid.
adanya suatu orde yang satu sekaligus menyeluruh. Dengan kata lain
terdapat hukum abadi yang universal.
Dalam tataran teologi, inklusif ini lawan dari eksklusif. Masalah
inklusif dan ekslusif dalam Islam merupakan kelanjutan dari pemikiran/
gagasan neomodernisme kepada wilayah yang lebih spesifik setelah
pluralisme, tepatnya pada bidang teologi.12 Agama seharusnya dapat menjadi
pendorong bagi umat manusia untuk selalu menegakkan perdamian dan
meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia dibumi ini.
Sayangnya, dalam kehidupan yang sebenarnya, agama justru seringkali
menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan kehancuran umat
manusia. Kenyataan pahit yang menyangkut kehidupan umat bergama ini
dialamai oleh berbagai macam pemeluk agama dan terjadi diseluruh belahan
dunia.
Dengan demikian seluruh manusia adalah bersaudara karena
sama-sama makhluk Tuhan. Adanya persamaan keyakinan sama-sama
makhluk Tuhan dan rasa persaudaraan tersebut sebagaimana menurut Harun
Nasutian dalam Yaya Suryana, dapat menjadi landasan toleransi13. Adanya
keyakinan itu mengasumsikan bahwa ciptaan-Nya juga pada hakikatnya
adalah suatu kesatuan. Pandangan ini membawa pada kesimpulan bahwa
seluruh jagat raya (universe) termasuk didalamnya seluruh umat manusia
apapun bangsa dan bahasanya adalah makhluk Tuhan juga meskipun agama
dan keyakinannya berbeda 14
Bukti empiris sejarah peradaban Islam di masa lalu, menunjukkan
Islam tampil secara inklusif dan sangat menghargai non-muslim.15Sikap
inklusif ini ada karena al-Qur'an mengajarkan paham religius plurality.16Bagi

12
Nurcholish Madjid. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Jakarta: Mizan. 1987), hal 70.
13
Yaya Suryana dan Rusdiana, Pendidikan Multikultural Suatu Upaya Penguatan Jti Diri
Bangsa,(Bandung: CV Pustaka Setia,2015), 330.
14
Ibid.
15
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992), hlm.
102.
16
Ajaran kemajemukan keagamaan itu menandaskan pengertian bahwa semua agama diberi
kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama itu
masing-masing, baik itu secara pribadi maupun kelompok. Sikap ini dapat ditafsirkan sebagai
suatu harapan kepada semua agama yang ada: yaitu karena semua agama pada mulanya
menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha
Esa, maka agama-agama itu, baik karena dinamika internalnya sendiri atau karena
orang Islam, dianut suatu keyakinan bahwa sampai hari ini pun di dunia ini
akan terdapat keragaman agama. Meskipun ada klaim bahwa kebenaran agama
ada pada Islam,17namun dalam al-Qur'an juga disebutkan adanya hak orang
lain untuk beragama. Dan agama tidak bisa dipaksakan kepada orang
lain.18Sikap inilah yang menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam sekaligus
mendasari kebijakan politik kebebasan beragama.
2. Eksklusif (al-inghilaq),
Orang yang memiliki sikap eksklusif akan selalu mengakui kebenaran
agamanya, bahkan hanya agamanya saja yang benar. Pandangan seperti
ini tidak bisa begitu saja dikatakan salah, karena dorongan intrinsik
agamanya yang melandasi pandangan seperti ini. Kebenaran agama yang
diyakini oleh penganutnya merupakan keharusan karena akan
membangkitkan spirit untuk membangun komitmen terhadap agamanya.
Kalau pandangan tersebut diikuti dengan sikap ke agamaan yang cenderung
ekstrim, dengan menjadikan yang lain sebagai musuh yang harus dieyahkan
maka eksklusifisme ini telah memasuki wilayah “eksklusifisme ekstrem”.
Yang tentunya akan sangat berakibat buruk dalam tatanan kehidupan sosial
bahkan akan mengaburkan makna agama itu sendiri. Karena agama hanya
dijadikan sebagai kedok untuk membuat keonaran dan kerusakan dimuka
bumi.
Akan lebih membahayakan lagi apabila sikap ekstrim itu
diaplikasikan pada aspek-aspek ajaran Islam yang menyangkut hubungan
sosial antar sesama manusia, misalnya tentang amar ma’ruf nahi munkar,
kewajiban berjihad, dan sebagainya. Implementasi semacam itulah yang pada
waktu belakangan ini sering menimbulkan konotasi Islam sebagai agama yang
kasar dan garang. Padahal citra tersebut sangat tidak sesuai dengan hakikat
islam yang lembut dan penuh kasih sayang (rahmatan lil’alamiin). Dengan
sikap iqtishaad ini, maka seorang muslim dapat terhindar dari perilaku yang
memberatkan/ mempersulit diri sendiri atau mengganggu (apalagi) mencelakai

persentuhan nilai satu sama lain, akan secara berangsur-angsur menemukan kebenaran asalnya
sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu pada satu titik pertemuan atau dalam termonologi al-
Qur'an disebut kalimah sawâ'.
17
QS. Âli Imrân : 13.
18
QS. al-Baqarah : 256.
orang lain19
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan agama masih
ada yang diajarkan secara eksklusif dengan cara menafikan hak hidup agama
yang lainnya, seakan-akan hanya agamanya sendirilah yang benar dan
mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam
hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat
pendidikan keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara
fundamental dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan
memperlemah persatuan bangsa. Karena itu, pendidikan agama Islam harus
direvitalisasi dan direaktualisasi secara kreatif dan berwawasan multikultural
sehingga tidak kehilangan jiwa dan semangatnya.
3. Pengertian Pendidikan Multikultural
Menurut Prof.M.Tholchah Hasan dalam pendidikan multikultural
sebagai opsi penanggulangan radikalisme, Multikulturalisme pada dasarnya
merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat
mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, ras, agama, dan
bahasa. Multikulturalisme menjadi gambaran dari keragaman yang terjadi dan
berkembang di tengah masyarakat atau di suatu bangsa di muka bumi ini.20
Multikulturalisme juga sebuah konsep yang memberikan pemahaman, bahwa
sebuah bangsa yang plural adalah bangsa terdiri dari beberapa etnis, budaya,
agama, tradisi dan bahasa yang bermacam-macam, yang dapat hidup
berdampingan dan saling menghormati dalam suasana damai dan rukun
(coexistence)
Pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi
siswa melalui penerapan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaat
keberagaman yang ada di lingkungan masyarakat, khususnya yang ada pada
siswa seperti keberagaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial,
gender, kemampuan, umur, suku dan ras.21

19
Hasan, Muhammad Tolhah. Agama Moderat: Pesantren dan Terorisme. (Jakarta: Listarafiska
Putra.2004), 23.
20
Muhammad Tolchah Hasan, Pendidikan Multikultural Sebagai Opsi Penanggulangan
Radikalisme.(Malang:Lembaga Penerbitan Universitas islam Malang(Unisma), 2016), hlm,9.
21
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi
dan Keadilan. (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm 5.
Pendidikan multikultural didefenisikan sebagai sebuah kebijakan
sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling
memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat.
Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan
bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan
kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya22
Menurut Callary Sada bahwa pendidikan multikultural itu mempunyai
empat makna:
1. Pengajaran tentang keragaman budaya sebuah pendekatan asimilasi
kultural
2. Pengajaran tentang berbagai pendekatan dalam tata hubungan sosial
3. Pengajaran untuk memajukan nilai pluralisme tanpa membedakan
status sosial dalam masyarakat
4. Pengajaran tentang refleksi keragaman untuk meningkatkan nilai
pluralisme dan nilai persamaan23
Pendidikan multikultural merupakan sebuah nilai penting dalam
pendidikan yang harus diperjuangkan. Karena dibutuhkan sebagai landasan
bagi tegaknya sebuah demokrasi di suatu wilayah, hak asasi manusia dan
kesejahteraan hidup masyarakat.
Indonesia termasuk salah satu negara multikultural terbesar di dunia.
Selain itu, Indonesia juga merupakan multireligius, karena penduduknya
menganut beragam agama, yakni Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu,
Budha, Konghuchu, serta berbagai macam aliran kepercayaan. Kemajemukan
bangsa Indonesia tersebut selain merupakan khazanah kekayaan budaya
nasional dan kekuatan bangsa, bisa juga menimbulkan berbagai
problematika atau persoalan. Korupsi, kolusi, nepotisme, konflik politik,
separatisme, kerusuhan antar etnis dan agama, merupakan bentuk nyata dari
fenomena multikulturalisme tersebut dan hal itu merupakan bukti empiris

22
Thobroni, Muhammad dan Mustafa, Arif, Belajar dan Pembelajaran: Pengembangan
Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional. (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), hlm, 396.
23
Clarry Sada. 2004. Multivultural Education in Kalimantan Barat, an Overview. Jurnal
Multicultural Education in Indonesia and South East Asia Edisi pertama. hlm. 85.
persoalan multikulturalisme24
Sedangkan terkait dengan muatan nilai-nilai multikultural dalam Islam,
Prof. Assegaf lebih lengkap dan terperinci membagi ke dalam tiga kategori.
Pertama, nilai-nilai utama yang meliputi: Tauhid (mengesakan Tuhan),
ummah (hidup bersama), rahmah (kasih sayang), al-musawah, taqwa
(egalitarianism). Kedua, nilai- nilai-nilai penerapan: Ta’aruf, ihsan (saling
mengenal dan berbuat baik), tafahum (saling memahami), takrim (saling
menghormati), fastabiqul khayrat (berlomba dalam kebaikan), amanah (saling
mempercayai), husnuzhan (berfikir positif), tasamuh (toleransi), ‘afw,
magfirah (pemberian/permohonan ampun), sulh (perdamaian), islah (resolusi
konflik). Ketiga: nilai-nilai tujuan: silah, salam (perdamaian), layyin (lemah
lembut atau budaya anti-kekerasan), dan ‘adl (keadilan)25
Pendidikan multikultural menunjukkan adanya keberagaman.
Pendidikan multikultural juga menekankan sebuah filosofi pluralisme budaya
ke dalam sistem pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
persamaan (equality), saling menghormati dan menerima serta memahami
dan adanya komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial yang nantinya
dapat dijadikan nilai utama agar mampu menjawab berbagai konflik
horizontal dan vertikal dalam dunia pendidikan di era globalisasi. Dalam
penerapan pendidikan multikultural, strategi pendidikan ini tidak hanya
bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajari di
dalam kelas, akan tetapi juga meningkatkan kesadaran siswa agar selalu
berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis yang menjadi nilai utama dalam
bersosial.

C. Inklusivisme Dan Eksklusivisme Serta Pengaruhnya Terhadap Pendidikan


Multikultural
Pada umumnya, pendidikan agama islam yang diberikan di sekolah-sekolah
belum sepenuhnya menghidupkan pendidikan multikultural yang baik, bahkan
cenderung berlawanan. Akibatnya, konflik sosial sering kali diperkeras oleh

24
Assegaf, Abd. Rahman. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hal, 205.
25
Assegaf, Abd. Rahman, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2011.), hal, 313-
314
adanya legitimasi keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama islam di
sekolah-sekolah daerah yang rawan konflik. Ini membuat konflik mempunyai akar
dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial dan
kekerasan semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan
agamanya26
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan agama masih ada
yang diajarkan secara eksklusif dengan cara menafikan hak hidup agama yang
lainnya, seakan-akan hanya agamanya sendirilah yang benar dan mempunyai
hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya,
baik di kalangan mayoritas maupun yang minoritas. Semangat pendidikan
keagamaan yang sempit ini, sudah barang tentu berlawanan secara fundamental
dengan semangat pendidikan multikultural, dan akan memperlemah persatuan
bangsa. Karena itu, pendidikan agama Islam harus direvitalisasi dan direaktualisasi
secara kreatif dan berwawasan multikultural sehingga tidak kehilangan jiwa dan
semangatnya.
Menurut Din Syamsuddin mengapa agama memiliki ambivalensi seperti itu,
salah satunya adalah agama memiliki kecenderungan absolutistik yaitu
kecenderungan untuk memutlakkan keyakinan keagamaannya sebagai kebenaran
tunggal. Akibatnya muncul rejeksionis yaitu penolakan terhadap kebenaran
agama lain27 yang dianggap berbeda dari dan berlawanan dengan yang lain.
Akar konflik keagamaan seperti ini kata Arthur D'Adamo karena para
pemeluk agama mengambil sikap untuk memandang agama dari sudut pandang
agamanya sendiri28 Sehingga yang lebih mencuat ke permukaan bukannya esensi
kebenaran yang hendak ditawarkan oleh agama, melainkan semangat untuk
menegasikan yang lain.
Disebabkan oleh truth claim itulah, maka setiap agama menyatakan
ajarannya merupakan totalitas sistem makn yang berlaku bagi seluruh
kehidupan, baik individual maupun sosial sehingga secara kodrati cenderung
menegaskan klaim kebenaran teologis yang dimilikinya. Namun ketika agama-
agama itu hadir secara historis, ia berhadapan dengan pluralisme keagamaan
sebagai realitas sosial yang hidup di tengah masyarakat, maka akan berimplikasi
pada prilaku sosial. Dalam konteks inilah pandangan inklusif sangat diperlukan

26
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm, 96.
27
M. Din Syamsuddin, "Mengelola Pluralitas Agama" dalam Jawa Pos, (12 Mei 1996), hlm. 4-5.
28
Budhy Munawar Rachman, “pengantar” dalam Komaruddin Hidayat dan Muhammad wahyuni
Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995),
hlm. xxiv-xxvii
untuk menerima kenyataan hidup pluralisme29 sebagai syarat mutlak bagi
para penganut agama apapun.
Pendidikan multikultural merupakan sebuah kebijakan sosial yang
didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa
hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pendidikan
multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar
komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan
demokrasi yang ideal bagi bangsa. Hal tersebut yang menjadikan sebuah negara
mempunyai identitas dan nilai-nilai tersendiri dalam menghadapi berbagai macam
tantangan di era global yang semakin kompleks, utamanya dalam bidang
pendidikan di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa praktik dan proses pendidikan terutama yang
berlangsung di lembaga pendidikan mempunyai peran dalam membentuk watak
dan perilaku setiap peserta didik. Karena itu, setiap proses pembelajaran, terlebih
pendidikan agama (Islam) seharusnya mempertimbangkan perlunya meng-insert
civic values dalam kegiatan pembelajaran sehingga mampu mencetak output yang
mempunyai kesadaran multikultural dan menerapkan dalam kehidupan sehari-
hari.

D. Kesimpulan
Pendidikan multikultural merupakan komponen penting dalam
menghadapi Era globalisasi. Untuk menghadapi tantangan tersebut diperlukan
pembinaan moral dan kemanusiaan bangsa yang didasarkan kepada ajaran agama.
Pendidikan agama berbasis multikultural merupakan proses penyadaran yang
bersendikan toleransi yang ditujukan sebagai usaha komprehensif dalam
mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah terjadinya radikalisme
agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap yang

29
Terdapat pengertian pluralitas yang belum tentu disertai pluralisme.Pluralitas adalah semata-
mata kenyataan majemuk, sedangkan pluralisme adalah faham yang menerima kenyataan
majemuk itu sebagai sesuatu yang positif. Pluralisme juga tidak semata-mata menunjukkan
pada kenyataan tentang adanya kemajemukan akan tetapi yang dimaksud adalah keterlibatan
aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Lihat Nurcholish Madjid, "Hak Asasi Manusia,
Pluralisme Agama, dan Integrasi Nasional (konsepsi dan aktualisasi)" dalam HAM dan
Pluralisme Agama, (Surabaya: PKSK, 1997), hlm. 71.
apresiatif positif terhadap pluralitas,inklusivisme dalam dimensi dan perspektif
apapun bukan mengedepankan eksklusivisme. Dengan demikian, titik tumpu
pendidikan multikultural inklusivisme ini sesungguhnya terletak pada adanya
pemahaman dan ikhtiar mujahadah untuk hidup bersama dalam konteks
perbedaan agama dan budaya.

E. Daftar Pustaka
Assegaf, Abd. Rahman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press

Hasan Moh Abdul Kholiq, 2013. Merajut Kerukunan Dalam Keragaman Agama Di Indonesia
(Perspektif Nilai-Nilai Al-Quran) PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 1

HasanMuhammad Tolchah,2016. Pendidikan Multikultural Sebagai Opsi Penanggulangan


Radikalisme.(Malang:Lembaga Penerbitan Universitas islam Malang(Unisma)

Lutdjito Ahmad, 1996. "Filsafat Nilai dalam Islam " dalam Chabib Thoha et.al, Reformulasi
Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan FT. IAIN Walisongo
Semarang

Madjid Nurcholish, 1992. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadina

Madjid Nurcholish. 1987. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan

Madjid, 1997. "Hak Asasi Manusia, Pluralisme Agama, dan Integrasi Nasional (konsepsi dan
aktualisasi)" dalam HAM dan Pluralisme Agama, Surabaya: PKSK.

Mahfud Choirul, 2013. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rachman Budhy Munawar, 1995. “pengantar” dalam Komaruddin Hidayat dan Muhammad
wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Yayasan
Paramadina

Rusdiana dan Yaya Suryana, 2015. Pendidikan Multikultural Suatu Upaya Penguatan Jti
Diri Bangsa,Bandung: CV Pustaka Setia

Sada Clarry. 2004. Multivultural Education in Kalimantan Barat, an Overview. Jurnal


Multicultural Education in Indonesia and South East Asia Edisi pertama

Syamsuddin M. Din, 1996. "Mengelola Pluralitas Agama" dalam Jawa Pos

Thanthawi Sayyid, t.t . Al-Tafsir al-Wasith, jilid 1, Maktabah Syamilah

Thobroni, Muhammad dan Mustafa, Arif, 2011. Belajar dan Pembelajaran:


Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Tolhah Hasan, Muhammad Tolhah. 2004. Agama Moderat: Pesantren dan Terorisme. Jakarta:
Listarafiska Putra.

Yaqin Ainul, M, 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk


Demokrasi dan Keadilan.Yogyakarta: Pilar Media

Yaqin M. Ainul, 2005. Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk


Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media

Yaya Suryana dan Rusdiana, 2015. Pendidikan Multikultural Suatu Upaya Penguatan Jti
Diri Bangsa Bandung: CV Pustaka Setia

Zukarnain Iskandar, 2012. “Realitas Keagamaan di Indonesia dan Inklusifitas Islam”, makalah
seminar, di Lor In Solo

Anda mungkin juga menyukai