Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setiap manusia di dunia ini pasti memiliki agama atau kepercayaan yang dianut oleh
masing--masing individu sesuai dengan keyakinan hati dan nilai moral yang mereka patuhi
dan mereka lakukan sebagai pedoman hidup. contohnya dalam agama islam orang yang
percaya kepada Allah, maka ia harus melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya. aturan mengenai ''Perintah" dan "Larangan" yang mendasari antara hubungan umat
manusia dengan Allah,disebut ibadah,yaitu upaya seseorang dalam mendekatkan diri pada
Allah.

Sebenarnya memiliki keyakinan saja tidak cukup bagi umat beragama tanpa rasa
toleransi bagi umat beragama lainnya. hal ini dapat menimbulkan perpecahan bagi agama
satu dengan agama lainnya. Inklusivisme terbagi dalam dua model, yakni model In Spite of
dan model By Means of. Model In Spite of, walaupun melihat institusi agama lain sebagai
hambatan untuk menerima keselamatan, tidak menolak bahwa ada kemungkinan bahwa
orang-orang yang beragama lain dapat diselamatkan oleh anugerah atau rahmat dari Allah.
Sementara itu model By Means of bersikap lebih positif terhadap agama lain. Model yang
pertama : menjelaskan bahwa walaupun kita berbeda agama, kita akan tetap menerima
rahmat dari tuhan sesuai dengan agama yang kita anut. dan model yang kedua berarti fungsi
dari masing--masing agama mempunyai cara atau sebutan dalam mewujudkan doa--doanya.

Di Indonesia ini sendiri berkembang lima ajaran agama yang besar yaitu, Agama
Islam,Kristen,Katolik,Hindu dan Budha yang diakui secar resmi oleh Negara dan dianut oleh
berbagai kalangan warga dengan latar belakangan,suku dan budaya yang berbeda—beda.
Negara kita yang berdasarkan pancasila mengandung wujud agar kita memilih atau memeluk
agama yang kita yakini , supaya dapatkan diyakini,diimani dan diamalkan. Disamping itu
lebih dihadapkan pada seseorang agar menghindarkan seseorang tidak fanatic yang sempit
dan berlebihan.

Kendati begitu, para pemeluk agama tidaklah berdiri sendiri sebagai pribadi-pribadi
yang terpisah. Mereka membentuk masyarakat atau komunitas, dan setingkat dengan kadar
intensitas keagamaannya, masyarakat atau komunitas yang mereka bentuk bersifat dari sejak
yang sangat agamis sampai kepada yang kurang atau tidak agamis. Maka dari itu kita sebagai
masyarakat beragama setidaknya harus saling memiliki rasa toleransi dengan masyarakat
beragama lainnya agar meminimalisir kesalahpahaman yang terjadi agar tidak dapat
memecah belah dan menilai buruk agama satu dengan agama lainnya.
BAB II

B. ISI

Apa itu Inklusivisme? Inklusivisme itu adalah faham yang berbahaya bagi Islam. Berikut
ini penjelasan dari pihak kelompok liberal sendiri:

Yang dikembangkan dalam Islam Liberal adalah inklusivisme dan pluralisme.

Inklusivisme itu menegaskan, kebenaran setiap agama harus terbuka. Perasaan soliter sebagai
penghuni tunggal pulau kebenaran cukup dihindari oleh faksi inklusif ini. Menurutnya, tidak
menutup kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang tidak kita anut, dan sebaliknya
terdapat kekeliruan pada agama yang kita anut. Tapi, paradigma ini tetap tidak kedap kritik.
Oleh paradigma pluralis, ia dianggap membaca agama lain dengan kacamata agamanya
sendiri.

Sedang paradigma plural (pluralisme): Setiap agama adalah jalan keselamatan. Perbedaan
agama satu dengan yang lain, hanyalah masalah teknis, tidak prinsipil. Pandangan Plural ini
tidak hanya berhenti pada sikap terbuka, melainkan juga sikap paralelisme. Yaitu sikap yang
memandang semua agama sebagai jalan-jalan yang sejajar. Dengan itu, klaim kristianitas
bahwa ia adalah satu-satunya jalan (paradigma eksklusif) atau yang melengkapi jalan yang
lain (paradigma inklusif) harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis
(Rahman: 1996). Dari Islam yang tercatat sebagai tokoh pluralis adalah Gus Dur,
Fazlurrahman (guru Nurcholish Madjid, Syafi’I Ma’arif dll di Chicago Amerika, pen),
Masdar F Mas’udi, dan Djohan Effendi. (Abdul Moqsith Ghazali, Mahasiswa Pascasarjana
IAIN Jakarta, Media Indonesia, Jum’at 26 Mei 2000, hal 8). (Lihat Hartono Ahmad
Jaiz, Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan, Pustaka Al-Kautsar, Jakrta, cetakan pertama,
2001, hal 116-117).

Bagaimana bisa terjadi, MUI Bali kok pernah mengundang Eep Sefulloh Fatah untuk diangsu
(diambil) ilmunya, padahal anjuran darinya justru mengandung masalah yang sangat
berbahaya bagi Islam.

Ada ungkapan-ungkapan Eep yang berbahaya di antaranya:

1. MUI yang telah berfatwa Juli 2005 tentang haramnya faham sepilis (sekulerisme,
pluralisme agama alias menyamakan semua agama, dan liberalisme) –yang di antara
dedengkotnya adalah Ulil – malah Eep menyarankan agar MUI menghormati Ulil. Ini sama
dengan membiarkan MUI pusat mengeluarkan fatwanya, namun Eep cukup menggerilya
MUI daerah seperti yang ia lakukan terhadap MUI Bali itu.

2. Eep menganjurkan bersikap inklusif, dengan menagatakan: “Jadi menurut saya yang
terpenting adalah bersikap inklusif dengan ketegasan tertentu yang kita yakini, jangan
bersikap eksklusif dengan ketegasan yang kita yakini.” Perkataannya itu berbahaya,
karena inklusivisme itu adalah faham yang
berbahaya bagi Islam. (http://www.nahimunkar.com/eep-ajak-mui-bali-hormati-ulil/)

Inti faham inklusivisme: tidak menutup kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang
tidak kita anut, dan sebaliknya terdapat kekeliruan pada agama yang kita anut.
Bagi Islam, faham itu adalah faham kufur alias ingkar terhadap Islam, pelakunya disebut
kafir. Karena telah mengingkari mutlak benarnya Islam yang telah ditegaskan dalam Al-
Qur’an:

)٢( َ‫ْب فِي ِه ُهدًى ِل ْل ُمتَّقِين‬


َ ‫ذَلِكَ ْال ِكتَابُ ال َري‬

2. Itulah Al Quran yang tidak diragukan kebenarannya datang dari Allah, menjadi petunjuk
bagi orang-orang yang taqwa, taat kepada Allah dan bertauhid (QS Al-Baqarah:2).

Lebih dari itu, ketika inklusivisme meningkat jadi faham pluralism agama maka jelas sangat
bertentangan dengan Islam. Karena menurut faham pluralisme agama, klaim bahwa ia (suatu
agama, bagi muslim ya Islam) adalah satu-satunya jalan (paradigma eksklusif) atau yang
melengkapi jalan yang lain (paradigma inklusif) harus ditolak demi alasan-alasan teologis
dan fenomenologis.

Namun pada saat-saat ini sering kita jumpai kabar yang mengharukan seantereo dunia tentang
konflik agama. Sebut saja negara Myanmar yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama
Budha telah tega membumi hanguskan masyarakat Muslim di Rohingya sehingga
mengharuskan mereka melarikan diri dari kampung halamannya. Tidak jauh berbeda dengan
kasus pembakaran rumah ibadah orang Islam di Papua yang melibatkan kaum Nasrani.
Palestina-Israel yang bertikai, seolah-olah di negeri sana kericuhan antara Yahudi dan Islam
selalu menjadi pertengkaran yang tidak pernah usai. Dengan demikian secara tidak langsung
hal-hal yang demikian telah menggambarkan bahwa konflik yang terjadi sangat erat
keterkaitannya dengan hal-hal keagamaan. Berkaca pada negara Indonesia sendiri, konflik-
konflik yang mengatasnamakan agama terus bergeliat dan merambah di negeri ini. Dengan
alasan yang berbeda-beda mereka berdalih bahwa ajaran mereka itu yang paling benar.
Faham ekslusif itulah yang akhirnya membawa mereka ke dalam ranah perpecahan. Ini
tidaklah dibenarkan, karena setiap agama itu mengajarkan kebaikan. Tidak ada agama yang
berhak mengklaim bahwa ajarannya yang paling baik di masyarakat luas, terutama pada
masyarakat Indonesia yang majemuk yang setiap suku dan agama bercampur baur dalam
kedamaian. Lalu dengan demikian maka akan kita temukan masalah inti dan yang terbesar
adalah apakah setiap agama itu mengajarkan sikap intoleransi dan apakah setiap agama itu
menghendaki sebuah permusahan kepada yang bukan golongannya? Tentu hal ini tidak bisa
dibenarkan karena persepsi ajaran agama tentang intoleransi itu tidak jauh berbeda. Semua
agama sepakat bahwa tiada agama yang tidak toleran. Sebut saja agama Kristiani yang
mengajarkan tentang kasih sayang, agama Konghucu dan Budha pun demikian. Terlebih
Islam, sebuah agama yang kitab sucinya itu sangat menerima perbedaan dan toleransi. Maka
sebuah kekeliruan apabila setiap agama yang ada di Indonesia itu mengajarkan intoleransi,
karena ini akan berbenturan dengan ajaran penganut agama itu sendiri. Sebagai orang Islam
yang baik kita harus bijak dalam bertindak. Terutama kepada hal-hal yang bersifat
deskriminan. Toleransi harus dijunjung, karena sikap toleransi ini adalah salah satu
pemahaman yang diajarkan oleh Al-Qur'an. Ada kurang lebih 300 ayat yang mengajarkan
tentang toleransi dan tercantum pada kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Selain anjuran toleransi, penghargaan terhadap agama-agama lain juga terdapat padanya.
"Lakum Dienukum Waliadien" (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku) itulah sedikit
kutipan dalam surat Al-Kaafirun yang mengaskan bahwa Islam sangat menghargai segala
macam perbedaan termasuk perbedaan agama itu sendiri.
BAB III

PENUTUP

1.KESIMPULAN

Kesimpulan dari artikel ini adalah bahwa seluruh masyarakat beragama di Indonesia harus
menekankan sikap inklusivisme dan saling menghormati atas kepercayaan umat beragama
lainnya. Daripada kita salah kaprah dalam pemahaman dan penyampaian serta
menyombongkan atau kepercayaan kita. Cukuplah kita berbuat baik dan saling menghormati
perbedaan satu sama lain tanpa harus saling menjatuhkan dan jadilah kita masyarakat
beragama yang baik dengan sikap toleransi dan sikap gotong royong dalam hal kebaikan
untuk kehidupan yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

2. DAFTAR PUSTAKA

- https://id.wikipedia.org/wiki/inkusivisme

- https://www.nahimunkar.org/bahaya-faham-inklusivisme-pluralisme

- https://www.arrahmah.com/bahaya-faham-inklusivisme-pluralisme-agama-multikultural

Anda mungkin juga menyukai