Anda di halaman 1dari 2

REFLEKSI DIRI Pendidikan Agama

PLURALITAS DAN PLURALISME

Dalam masalah pluralitas dan pluralisme saya mmpelajari banyak hal, seperti bagaimana kita memahami dan mengetahui
beragam agama yang ada di Indonesia ini. Dimana kita harus menerima berbagai keragaman dalam beragama. Di satu sisi lain saya
tidak menyetujui dalam hal pluralisme ini, karna dari pluralitas bisa mengancam kemurnian ajaran suatu agama. Ini disebabkan
karena pada dasarnya setiap agama memiliki ajaran masing masing yang berbeda dari agama lain. Dan ketakutan para kelompok
kontra pluralitas ini adalah bahwa nantinya ajaran setiap agama akan saling bercampur baur dengan ajaran agama lain. Selain itu
jika dilihat dari praktek dilapangan, sangat jelas bahwa pengaplikasian toleransi masih belum dapat dilaksanakan dengan baik.
Kerukunan antar umat beragama bisa dibilang masih jauh dari yang diharapkan. Dan di satu sisi yang lain saya menyetujui untuk
keberagaman di Indonesia ini bisa menjadikan Indonesia sebagai contoh yang baik bagaimana kehidupan kerukunan antar agama.
Dan keberagaman agama di Indonesia memang berasal dari masa lalu yang tidak bisa dirubah. Sehingga keberagaman ini memang
harus dipertahankan dan setiap umat agama harus bisa menghormati umat agama lain.
Pluralisme memang sudah selayaknya ditanamkan pada diri setiap manusia. Hal ini mengingat bahwa kedua hal tersebut
merupakan hal pokok yang mendasari sikap kerukunan dalam masyarakat. Terlebih jika ditambah kata "agama" dibelakangnya, yang
sebagian orang tidak memahami hal tersebut. Sehingga yang ada hanyalah mengakui bahwa agama mereka yang paling benar dan
cenderung merendahkan (bahkan kekerasan sik) agama lain. Memang, meyakini bahwa agama kita yang paling benar itu tidaklah
salah, karena itu merupakan kayakinan yang tidak dapat diganggu gugat. Akan tetapi, menganggap remeh agama orang lain, sampai-
sampai merendahkan pemeluknya, adalah sesuatu yang fatal.

SEKULARISASI

Dalam Sekularisasi, saya mempelajari tentang pemisahan antara nilai - nilai keagamaan dan nilai - nilai duniawi. Tapi
tentu terdapat pro dan kontra di dalamnya. Seperti dalam Islam, sekularisasi-sekularisme adalah hal yang tidak dapat diterima.
Politik dalam Islam tetap bagian dari agama. Maka, tidak adalah istilah pemisahan politik dari agama. Beberapa pemikir Muslim
liberal, seperti Gamal Al-Banna (adik kandung Hasan Al-Banna) menolak konsep ini. Dalam bukunya al-Islâm Dîn wa Ummah, wa
Laysa Dînan wa Dawlatan (Dâr al-Fikr al-Islâmiy, 2004) menyatakan bahwa Islam hanya membicarakan konsep keumatan, bukan
konsep kenegaraan. Karena di dalam negara terdapat pembahasan politik. Kristen dan Bible mungkin mendukung konsep ini.
Sementara dalam Islam dan Al-Qur’an (juga Sunnah) sangat tidak mungkin untuk dicarikan justikasinya. Maka, dalam Kristen
muncul slogan Bible, ‘Berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan, dan berikan kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar’.
Islam menolak sekularisasi-sekularisme, karena keduanya menolak peran Tuhan dalam kehidupan dunia (profan). Tuhan hanya
berperan dalam hal-hal yang ‘berbau agama’ (sakral). Ini adalah konsep pemikiran Barat. Karen Amstrong, mantan biarawati dan
penulis simpatik tentang Islam, mencatat hal ini dengan apik.
Konsep umat menggambarkan suatu masyarakat beriman adalah umat yang bercorak universal. Setiap
muslim yang sadar merasakan benar bahwa ia adalah sebagai anggota umat. Identitasnya sebagai muslim
banyak ditentukan oleh keterikatan spritualnya dengan persaudaraan universal itu. Secara teori umat percaya
bahwa ajaran Islam meliputi seluruh dimensi kemanusiaan. Dengan kata lain apa yang disebut sekuler, di mata
seorang muslim tidak dapat dilepaskan dari persoalan imannya. Dari sudut pandang ini cita-cita kekuasaan
(politik) menyatu dengan wawasan moral sebagai pencaran iman seseorang muslim. Politik dengan demikian
tidak dapat dipisahkan dari ajaran etika yang bersumber dari wahyu. Bahkan kekuasaan politik merupakan
kenderaan untuk merealisasikan pesan-pesan wahyu.
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan merobah kaum muslimin menjadi kaum
sekularis. Tapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan
melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowi- kannya.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menghampiri kita dalam pluralisme agama ini adalah apakah seluruh
agama dan aqidah dalam dalam satu kebenaran? Tidak diragukan lagi bahwa tesa faham pembatasan merupakan
awal yang dihadapi oleh seorang pemikir ketika bersinggungan dengan seluruh agama yang ada. Setiap agama
meyakini bahwa kebahagiaan dan kebenaran terbatas dalam aqidahnya saja.

Arrazi Nozomi - 150116058


REFLEKSI DIRI Pendidikan Agama

Klaim-klaim seperti di atas sebenarnya lahir dari perasaan superior. Ini sebenarnya alami. Karena setiap pemeluk
satu agama, pasti menganggap agamanya paling benar, dan yang lain salah. Klaim kebenaran dan keutamaan,
misalnya, terdapat di dalam tiga agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam). Umat Yahudi sendiri diakui oleh Allah
sebagai umat yang dimuliakan. Kaum Yahudi mengklaim diri mereka sebagai bangsa Allah yang terpilih. Klaim ini
lah yang disebut oleh Roger Garaudi sebagai “mitos” tak berdasar.
Saat ini kita perlu membuka kembali gagasan sekularisasi dan pluralisasi karena banyaknya sikap fobia yang
diidap kaum muslim terhadap terminologi sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Fobia yang berlebihan itu
berbuah maklumat “pengharaman sekularisme, liberalisme dan pluralisme” oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
pada sekitar Juli 2005 lalu. Fatwa haram itu banyak menuai kritik pula dari kalangan yang justru meyakini bahwa
sekularisme, liberalisme, dan pluralisme merupakan aspek penting bagi kehidupan bernegara di masa modern.

Arrazi Nozomi - 150116058

Anda mungkin juga menyukai