Anda di halaman 1dari 18

“TOLERANSI BERAGAMA MENURUT

PERSPEKTIF AL QUR’AN ANALISIS SURAH


AL BAQARAH AYAT 256”
Untuk memenuhi tugas mata kuliah tafsir tematis
Dosen Pengampu: Ibnu Khaldun, M. IRKH
Disusun Oleh: Azhar fadhlurrahman Alfarizy Pratama (2242115050)
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
2023

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah agama merupakan isu yang sangat prinsipil bagi setiap individu.
Para ahli menyebutnya sebagai masalah "of ultimate concern", yaitu masalah
yang berkaitan dengan kepentingan mutlak. Oleh karena itu, keberadaan agama
sangatlah penting, karena diakui sebagai kebutuhan dasar dan paling
fundamental bagi kehidupan manusia. Beberapa kajian, baik dari sudut pandang
keagamaan maupun pendekatan keilmuan, menunjukkan bahwa agama memiliki
kedudukan esensial yang dapat dibenarkan. Dalam pandangan Islam, misalnya,
kebutuhan terhadap agama merupakan bagian dari fitrah manusia yang melekat
pada dirinya dan terbawa sejak kelahirannya.1

Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari
agama, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Namun, pluralisme
agama menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dunia pada
era globalisasi saat ini. Agama, dengan kebenaran hakiki yang diyakini oleh
pemeluknya masing-masing, memiliki potensi untuk memicu fanatisme
keagamaan yang dapat menimbulkan konflik antar umat beragama. Oleh karena
itu, toleransi menjadi kata kunci bagi terciptanya kerukunan dan keserasian
hidup masyarakat beragama.

Dalam menyikapi masalah ini, penting bagi kita untuk membahasnya


secara mendalam dan mengaplikasikannya dalam kehidupan beragama. Hal ini
merupakan suatu keniscayaan sosial bagi seluruh umat beragama dan
merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama.2

1
Muhammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, terjemahan Eva Y. Nukam
dan Fathiyah Basri, (Bandung: Mizan, 1996), h. 120
2
Dewi Murni, “Toleransi Dan Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Al-Quran,” Jurnal
Syahadah 6, no. 2 (2018): 72–90.
1
Kandungan ayat-ayat Al-Qur'an membahas berbagai macam pokok ajaran
Islam dan aspek-aspek kehidupan seperti Tuhan, Rasul, alam raya, akhirat,
kejadian dan sikap manusia, nafsu, ilmu pengetahuan, amar ma'ruf nahi munkar,
pembinaan generasi muda, akhlak, kerukunan hidup antara umat beragama,
pembinaan masyarakat, dan penegakan disiplin. Namun, Al-Qur'an bukanlah
kitab ilmu pengetahuan dan bukan pula kitab suci yang siap pakai. Artinya,
berbagai konsep yang disampaikan dalam Al-Qur'an tidak dapat langsung
dihubungkan dengan berbagai masalah tersebut. Ajaran Al-Qur'an hadir dalam
sifatnya yang global, ringkas, dan umum. Oleh karena itu, pemahaman Al-
Qur'an perlu melalui penafsiran-penafsiran yang telah dilakukan oleh Rasul dan
para ulama hingga saat ini.

Salah satu tema dan pokok pikiran yang terdapat dalam Al-Qur'an adalah
tentang toleransi (tasamuh). Meskipun Al-Qur'an tidak secara langsung
menyebut kata tasamuh atau toleransi, terdapat ayat-ayat yang menjelaskan
konsep toleransi dengan jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang
menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan acuan dalam implementasi
toleransi dalam kehidupan.

Dalam ajaran Islam, toleransi merupakan sikap yang diajarkan oleh Rasul
saw. saat berinteraksi dengan masyarakat Madinah, baik sesama muslim
maupun non-muslim. Oleh karena itu, sikap toleran merupakan perwujudan dari
visi akidah Islam dan termasuk dalam kerangka sistem teologi Islam. Oleh
karena itu, toleransi beragama perlu dipelajari secara mendalam dan diterapkan
dalam kehidupan beragama karena merupakan kebutuhan sosial bagi seluruh
umat beragama dan merupakan jalan untuk menciptakan kerukunan antar umat
beragama.3

3
Ahmad Atabik, “Al Qur’an dan Tolerensai Beragama”, diakses dari https://ih.iainkudus.ac.id/
pada tanggal 25 Oktober 2023 pukul 01:22
2
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Toleransi Beragama?

2. Apa Definisi Toleransi Beragama dalam Al qur’an?

3. Bagaimana Toleransi dalam pandangan Al qur’an?

4. Bagaimana Moderasi dalam Islam?

5. Bagaimanakah tafsiran Toleransi Beragama menurut perspektif Al-qur’an


surah Al Baqarah ayat 256?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian Toleransi Beragama.

2. Mengetahui definisi Toleransi Beragama dalam Al qur’an.

3. Mengetahui Toleransi dalam pandangan Al qur’an

4. Mengetahui Moderasi dalam Islam

5. Mengetahui Toleransi Beragama menurut perspektif Al qur’an surah Al


Baqarah ayat 256.

PEMBAHASAN
3
A. Pengertian Toleransi dan Kebebasan Beragama
Secara etimologi, kata toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu kata
tolerare yang berarti menahan, menanggung, membetahkan dan tabah (sabar).
Dalam bahasa Inggris4, kata ini berubah menjadi tolerance yang berarti sikap
membiarkan, mengakui, dan menghormati keyakinan orang lain tanpa
memerlukan persetujuan. Istilah toleransi juga memiliki makna yang serupa
dengan beberapa pengertian di atas.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia5, istilah tersebut diartikan
sebagai bersikap atau bersikap toleran, yakni menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian
sendiri.
Dalam bahasa Arab, istilah toleransi ini biasa dikenal dengan istilah
tasamuh yang artinya antara lain: saling mengizinkan, saling memudahkan,
saling menghormati, ramah dan lapang dada. Menurut defenisi yang dirumuskan
A. Zaki Baidawiy, tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau sikap yang
termanifestasi pada kesedian untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian
yang beranekaragam, meskipun tidak sependapat dengannya. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa toleransi ini erat kaitannya dengan masalah kebebasan atau
kemerdekaan hak asasi dalam tata kehidupan bermasyarakat, sehingga
mengizinkan berlapang. dada terhadap adanya perbedaan pendapat dan
keyakinan dari setiap individu.
Sementara kebebasan beragama adalah prinsip yang mendukung
kebebasan individu atau masyarakat untuk menerapkan agama atau kepercayaan
dalam ruang pribadi atau umum, kebebasan beragama juga termasuk kebebasan
untuk mengubah agama dan tidak terikat pada setiap agama tertentu.
Kebebasan beragama pada hakikatnya merupakan dasar yang penting
dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama. Tanpa adanya kebebasan
beragama, kerukunan antar umat beragama tidak akan mungkin terwujud.
Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia yang tidak dapat dicabut oleh
siapapun.
Sebaliknya, toleransi antar umat beragama adalah cara yang efektif untuk
melindungi kebebasan beragama. Kebebasan dan toleransi tidak boleh
diabaikan. Namun, seringkali terjadi penekanan yang berlebihan pada salah satu
4
David G. Gularnic, Webster’s Webster World Dicitionary of Amarican Languange, (New York:
The World Publishing Company, 1959), H. 799
5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 702
4
aspek, misalnya penekanan pada kebebasan yang mengabaikan toleransi atau
upaya untuk memaksakan toleransi dengan membatasi kebebasan. Oleh karena
itu, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai bagaimana al-Quran memandang
toleransi dan kebebasan beragama.6
Toleransi dan kebebasan beragama merupakan topik yang menarik untuk
dibahas. Namun, pada saat ini, Islam sering mendapat kritikan dari orang-orang
yang tidak senang dengan agama tersebut. Mereka menganggap Islam sebagai
agama yang intoleran, diskriminatif, dan ekstrem. Hal ini membuat Islam
dianggap tidak memberikan kebebasan beragama dan berpendapat. Selain itu,
Islam juga dianggap sarat dengan kekerasan atas nama agama, sehingga jauh
dari perdamaian, kasih sayang, dan persatuan. Pandangan seperti ini sebenarnya
tidak dapat dielakkan, karena telah ada sejak lama. Namun, kesimpulan yang
dibuat oleh para pengkritik Islam seringkali salah karena hanya berdasarkan
pada tindakan sebagian kecil umat Islam yang melakukan tindakan yang
mengatasnamakan jihad Islam.
Di kalangan umat Islam sendiri, terdapat kelompok yang berpikiran
radikal dan sempit, yang memberikan makna jihad sebagai perang. Pemahaman
yang salah dan keliru tersebut dikarenakan keterbatasan pengetahuan mereka
tentang makna jihad dalam Islam. Namun, perilaku semacam ini mungkin ada
kaitannya dengan kesewenang-wenangan negara-negara adi daya terhadap
negara-negara miskin dan negara berkembang. Oleh karena itu, satu hal yang
harus menjadi kajian bagi umat Islam adalah standar ganda yang mereka
terapkan di beberapa negara miskin dan negara-negara berkembang. Ketika
terjadi kerjasama antara negara-negara berkembang, termasuk negara-negara
Islam, terlihat seolah-olah sebagai dewa penolong. Namun, di sisi lain, mereka
harus tunduk pada aturan-aturan yang mereka buat. Kenyataan ini menyebabkan
reaksi keras dari sebagian umat Islam yang memiliki paham keras dan radikal.
Perlu diketahui bahwa perlawanan semacam ini bukanlah cara-cara yang Islami
dan bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, kenyataan tersebut tidak dapat
dielakkan, sebagian umat Islam merasa tertantang dengan tindakan dan perilaku
negara-negara adidaya yang sewenang-wenang terhadap negara-negara miskin
dan berkembang, termasuk negara-negara Islam.
Umat Islam harus mampu mengembalikan hakikat toleransi dalam
pandangan Islam. Sebab, istilah toleransi pada dasarnya tidak terdapat dalam
Islam, tetapi merupakan istilah modern yang berasal dari Barat sebagai respons
6
Dewi Murni, “Toleransi Dan Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Al-Quran.” Syahadah:
Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Keislaman 6.2 (2018): 72-90.
5
terhadap sejarah yang melibatkan kondisi politik, sosial, dan budaya yang khas
dengan berbagai penyelewengan dan penindasan. Oleh karena itu, sulit untuk
menemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa Arab yang menggambarkan
arti toleransi dalam bahasa Inggris. Namun, beberapa kalangan Islam mulai
membahas topik ini dengan menggunakan istilah "tasamuh". Dalam kamus
Inggris-Arab, kata "tasamuh" ini diartikan sebagai "tolerance". Padahal, jika kita
merujuk pada kamus bahasa Inggris, makna asli dari "tolerance" adalah
"menahan perasaan tanpa protes".7
B. Definisi Toleransi Beragama dalam Al Qur’an
Toleransi Beragama Di dalam Al Qur’an disebut sebagai Tasamuh. Kata
Tasamuh berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti murah hati dan
lapang hati. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, tasamuh diartikan sebagai
lapang dada, keluasan pikiran, dan toleransi. Pengertian tasamuh adalah sikap
atau tindakan yang melapangkan dada dan memiliki tenggang rasa dalam
menghadapi perbedaan, baik itu pendapat, keyakinan, maupun agama.
Dalam konsep tasamuh terdapat unsur menghormati, menghargai, dan simpati.
Tasamuh ini memiliki peranan yang sangat penting, terutama dalam kehidupan
masyarakat yang heterogen atau majemuk, terutama dalam konteks kehidupan
beragama.8
Toleransi beragama merujuk pada toleransi yang meliputi isu-isu
keyakinan individu terkait dengan akidah atau kepercayaan pada Tuhan. Setiap
individu seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan
agama (atau keyakinan) yang diinginkannya, serta mendapatkan penghormatan
dalam menjalankan ajaran yang diyakini.9
Islam, adalah agama yang sangat menghargai perbedaan, dalam batasan
tertentu. Nabi Muhammad Saw. telah memberikan contoh dalam
hal tasamuh ini, yakni di saat ingin memajukan Madinah, yang di dalamnya
banyak suku dan agama. Dalam al-Qur’an dijelaskan pada surah ke-109, Al
Kafirun ayat 1-6:
Artinya: Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan
yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi

7
Abu Bakar, “Konsep Toleransi Dan Kebebasan Beragam, Jurnal Media Komunikasi Umat
Beragama,” UIN Syarif Kasim Riau 7, no. 2 (2015): 123–31.
8
Universitas Islam An Nur Lampung, “Pengertian Tasamuh, dalil, contoh perilaku dan
hikmahnya”, diakses dari https://an-nur.ac.id/ pada tanggal 25 Oktober 2023 pukul 23:20
9
J. Casanova, Public Religions In The Modern World (Chicago: Chicago University Press, 2008),
h. 87
6
penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku
sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku.” (QS. Al-Kaafirun [109]:1-6)
Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam sangat toleran terhadap
adanya perbedaan agama. Pada akhir ayat ditegaskan, bagimu agamamu, dan
bagiku agamaku. Apalagi, Islam sangat menghargai jalan berfikir seseorang,
sebagaimana ditegaskan pada surah Ali Imran (3) ayat 20:10
‫َف ْن َح ا ُّج و َك َف ُق ْل َأ ْس َل ْم ُت َو ْج َي ِل َّل ِه َو َم ا َّت َب َع ۗ َو ُق ْل‬
‫ِن‬ ‫ِن‬ ‫ِه‬ ‫ِإ‬
‫َّل َن ُأ ُت ْل َت َب َو ُأْل َن َأ َأ ْس َل ْم ُت ْم َف ْن َأ ْس َل ُم َف َق‬
‫وا ِد‬ ‫ۚ ِإ‬ ‫ِل ِذ ي و وا ا ِك ا ا ِّم ِّي ي‬
‫ْل‬ ‫َّل‬ ‫ْل اَل ُغ‬ ‫َل‬ ‫َت َّل َف‬
‫ا ْه َت َد ْو اۖ َو ِإ ْن َو ْو ا ِإ َّن َم ا َع ْي َك ا َب ۗ َو ال ُه َب ِص ي ٌر ِب ا ِع َب ِدا‬
Artinya: “Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam),
Maka Katakanlah: “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan
(demikian pula) orang-orang yang mengikutiku”. dan Katakanlah
kepada orang-orang yang Telah diberi Al Kitab dan kepada orang-
orang yang ummi[190]: “Apakah kamu (mau) masuk Islam”. jika
mereka masuk Islam, Sesungguhnya mereka Telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling, Maka kewajiban kamu hanyalah
menyampaikan (ayat-ayat Allah). dan Allah Maha melihat akan
hamba-hamba-Nya.”( QS. Ali Imran [3]:20)

C. Moderasi Dalam Islam


Moderasi sebenarnya telah diajarkan oleh Islam dan tergambar dalam al-
Quran melalui istilah Al-Wasathiyyah. Meskipun demikian, terdapat perdebatan
tentang pemahaman moderasi dalam konteks kekinian. Kata "al-wasathiyyah"
berasal dari kata kerja "wasatha" yang memiliki dua isim mashdâr yaitu "al-
wasth" dan "al-wasath". Secara terminologis, pengertian Wasathiyyah berasal
dari makna-makna etimologis yang menggambarkan suatu karakteristik terpuji
yang mencegah seseorang dari perilaku ekstrim.
Dari definisi dasar wasathiyyah dalam kamus-kamus bahasa Arab, dapat
disimpulkan bahwa konsep wasathiyyah memiliki dua pengertian utama.
Pertama, sebagai kata benda dengan pola zharf yang lebih konkret, yaitu sebagai
10
Universitas Islam An Nur Lampung, “Pengertian Tasamuh, dalil, contoh perilaku dan
hikmahnya”, diakses dari https://an-nur.ac.id/ pada tanggal 25 maret 2023 pukul 23:20
7
perantara atau penghubung antara dua hal atau dua kondisi yang berseberangan.
Kedua, pengertian ini lebih bersifat abstrak, yang berarti adil, pilihan, utama,
dan terbaik. Syekh Raghib al-Ashfahani memberikan makna wasathiyyah
sebagai titik tengah, tidak terlalu ekstrem ke kanan maupun ke kiri, yang
mengandung makna kemuliaan, persamaan, dan keadilan.11
Ulama terkemuka Syekh Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan konsep
wasathiyyah, yang juga dikenal sebagai at-tawâzun, sebagai upaya untuk
menjaga keseimbangan antara dua sisi atau sudut yang berlawanan atau
bertolak-belakang. Tujuannya adalah agar tidak ada satu sisi yang mendominasi
dan menekan sisi lainnya. Contohnya adalah keseimbangan antara spiritualisme
dan materialisme, individualisme dan sosialisme, paham yang realistik dan yang
idealis, serta hal-hal lainnya. Pendekatan yang seimbang dalam menghadapinya
adalah dengan memberikan porsi yang adil dan proporsional kepada setiap sisi
tanpa berlebihan, baik itu karena terlalu banyak maupun terlalu sedikit.12
Orang yang memiliki sifat adil akan selalu menjaga keseimbangan dan
berada di tengah dalam menangani atau menghadapi dua permalasalahan atau
keadaan. Kata "wasath" dalam bahasa Arab menunjukkan bagian tengah dari
kedua ujung sesuatu. Kata ini memiliki makna yang baik, sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis, "Sebaik-sebaik urusan
adalah yang pertengahan"13, hal ini disebabkan karena orang yang berada di
posisi tengah akan selalu terlindungi dari cacat atau aib yang biasanya terjadi
pada bagian ujung atau pinggir. Pada dasarnya, sifat-sifat baik merupakan
akomodasi dan juga pertengahan dari dua sifat buruk, contohnya sifat gemar
berbagi yang menengahi antara sifat boros dan kikir, serta sifat berani yang
menengahi antara sifat sembrono dan takut.
Jika diperhatikan dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
agama Islam tidak terdapat konsep ekstremisme dan radikalisme. Hal ini
disebabkan karena agama Islam mengajarkan nilai-nilai keadilan dan
keseimbangan. Dalam memandang hubungan dengan agama lain, Islam
menerapkan prinsip yang tegas namun tetap santun, yaitu "Agamamu untukmu,
agamaku untukku" sesuai dengan firman Allah SWT. :
‫َل ُك ْم ْي ُن ُك ْم َو َي ْي‬
‫ِل ِد ِن‬ ‫ِد‬

11
Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfazh Al-Quran (Beirut: Dar Al-Qalam, 1992), h. 513
12
Qardhawi, Al Khasais al-Ammah li al-Islam (Beirut: al Muassasah al-Risalah, 1983), h. 127
13
Abi Syaibah & Bakr, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, (1994), h. 479
8
Artinya : “Untuk kalianlah agama kalian, dan untukku lah agamaku”14

Agama Islam mengajarkan bahwa perbedaan antara manusia adalah fitrah


dan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Tuhan, baik dari segi budaya, etnis,
suku, maupun keyakinan. Tujuan utama dari perbedaan ini adalah untuk saling
mengenal dan berinteraksi satu sama lain. Keberagaman ini merupakan
kenyataan sosial yang tak dapat dipungkiri, terutama di Indonesia yang memiliki
dasar Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika: Walaupun berbeda-
beda tetapi tetap satu.
Moderasi beragama merupakan strategi kebudayaan yang penting dalam
menjaga keindonesiaan dan kebhinekaan. Sebagai sebuah negara yang sangat
beragam, para pendiri bangsa telah berhasil mewariskan kesepakatan dalam
berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, yang telah berhasil menyatukan
berbagai kelompok etnis, bahasa, suku, budaya, dan agama. Indonesia bukanlah
negara agama, namun juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari
warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan, dan disatukan dengan nilai-nilai
adat istiadat dan kearifan lokal. Bahkan, beberapa hukum agama telah
dilembagakan oleh negara untuk memastikan pelaksanaan ritual agama dan
budaya berjalan dengan damai dan rukun.15

D. Toleransi dalam Pandangan Al Qur’an


Istilah toleransi berasal dari bahasa Inggris yaitu, tolerance. Sedangkan
dalam bahasa Arab disebut dengan istilah tasamuh yang berarti bermurah hati,
atau tasahul yang bermakna bermudah-mudahan. Sementara itu, kata
"kerukunan" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diartikan sebagai "hidup bersama
dalam masyarakat melalui kesatuan hati dan bersepakat untuk tidak menciptakan
perselisihan dan pertengkaran". Kerukunan merupakan suatu kata yang memiliki
makna "damai" dan "baik". Intinya, menjalani kehidupan bersama dalam
masyarakat dengan bingkai kesatuan hati dan bersepakat supaya tidak
menciptakan permusuhan, pertengkaran, dan perselisihan. Jika pemaknaan ini
dijadikan sebagai pegangan, maka "kerukunan" merupakan sesuatu yang sangat
ideal serta akan didambakan oleh seluruh masyarakat.16

14
QS. al-Kafirun ayat 6
15
MHD. ABROR, “Moderasi Beragama Dalam Bingkai Toleransi,” RUSYDIAH: Jurnal
Pemikiran Islam 1, no. 2 (2020): 137–48, https://doi.org/10.35961/rsd.v1i2.174.
16
Options, N. L, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KBBI (Jakarta: Balai Pustaka, 1997),
h. 850
9
Dalam konteks Islam, istilah toleransi disebut sebagai tasamuh, meskipun
pada dasarnya tidak sepenuhnya sesuai dengan makna kata toleransi itu sendiri,
karena tasamuh mencakup tindakan pengarahan dan penerimaan dalam batasan
tertentu. Orang yang melakukan tasamuh dalam pandangan Islam disebut
sebagai mutasamihin, yang berarti "penerima, penyedia, murah hati, dan pemaaf
sebagai tuan rumah bagi tamunya". Secara nyata, mereka yang melakukan
tindakan tasamuh ini seharusnya tidak hanya menerima yang akan menekan
batasan hak dan kewajiban mereka sendiri. Dengan kata lain, tindakan atau
perilaku tasamuh dalam kehidupan beragama memiliki makna untuk tidak saling
melanggar atau melampaui batasan, terutama yang berkaitan dengan batasan
keimanan (aqidah).
Dalam ajaran Islam, toleransi bukan hanya terhadap sesama manusia,
tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan lingkungan hidup. Dengan
makna toleransi yang luas seperti ini, toleransi antar-umat beragama dalam
Islam mendapatkan perhatian penting dan serius karena toleransi beragama
merupakan masalah yang berhubungan dengan eksistensi keyakinan manusia
terhadap Allah SWT. Hal ini sangat sensitif dan primitif serta sangat mudah
memicu konflik yang dapat menarik perhatian besar dari Islam. Secara doktrinal,
toleransi sepenuhnya diwajibkan oleh Islam.
Kata Islam secara definisi diartikan sebagai "selamat" dan "damai" serta
"menyerahkan diri". Pengertian Islam yang demikian sering diformulasikan
dengan istilah "Islam agama rahmatal lil‟ālamîn" (agama yang menjadi rahmat
bagi seluruh alam). Ini menjelaskan bahwa kedatangan agama Islam bukanlah
untuk menghapus agama-agama yang telah ada, tetapi Agama Islam
menawarkan diskusi, dialog, dan toleransi dalam kerangka saling menghormati.
Secara jelas, Islam telah menyadari bahwa keragaman umat manusia.
Dalam al-Qur‟an Allah berfirman:
‫َو َل ْو َش ۤا َء َر ُّب َك ٰاَل َم َن َم ْن ى اَاْل ْر ُك ُّل ُه ْم َج ْيًع ۗا َاَف َا ْنَت ُت ْك ُه‬
‫ِر‬ ‫ِم‬ ‫ِض‬ ‫ِف‬
‫ُك ُن‬
99 ‫الَّن اَس َح ّٰت ى َي ْو ْو ا ُم ْؤ ِم ِن ْي َن‬
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya”17

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa jika Allah menghendaki agar seluruh
manusia beriman kepada-Nya, maka hal ini akan terwujud. Allah memiliki
17
QS. Yunus ayat 99
1
0
kemampuan yang sangat mudah untuk melaksanakan kehendak-Nya tersebut. Jika
Tuhan menghendaki agar manusia tidak diciptakan dalam keadaan siap untuk
melakukan kebaikan dan keburukan, serta untuk beriman atau kafir, dan dengan
kehendak-Nya sendiri, Dia lebih menyukai salah satu pilihan yang mungkin
dilakukan manusia dan meninggalkan yang lainnya, maka Allah pasti akan
melaksanakan semua itu. Namun, Allah dalam kebijaksanaan-Nya tetap
menciptakan manusia dengan kebebasan untuk memilih, apakah akan beriman
atau kafir. Oleh karena itu, ada sebagian manusia yang memilih untuk beriman
dan ada pula yang memilih untuk kafir.
Kemudian dalam surah Al Baqarah ayat 256 juga dijelaskan :

‫َن ْل َغ َف َم ْن َّي ْك ُف ْر َّط ُغ ْو َو ُي ْؤ ْۢن ّٰل‬ ‫ٓاَل ْك َر اَه ى ال ْي ِۗن َق ْد َّت َب َّي َن الُّر ْش ُد‬
‫ِب ال ا ِت ِم ِب ال ِه‬ ۚ ‫ِم ا ِّي‬ ‫ِف ِّد‬ ‫ِا‬
‫اْن ِف َص اَم َل َه اۗ َو الّٰل ُه َس ْيٌع َع ِل ْيٌم‬ ‫َف َق ْس َت ْم َس َك ْل ُع ْر َو ْل ُو ْث ٰق اَل‬
‫ِب ا ِة ا ى‬ ‫ِد ا‬
‫ِم‬
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”18.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa jika Allah menghendaki agar seluruh
manusia beriman kepada-Nya, maka hal ini akan terwujud. Allah memiliki
kemampuan yang sangat mudah untuk melaksanakan kehendak-Nya tersebut. Jika
Tuhan menghendaki agar manusia tidak diciptakan dalam keadaan siap untuk
melakukan kebaikan dan keburukan, serta untuk beriman atau kafir, dan dengan
kehendak-Nya sendiri, Dia lebih menyukai salah satu pilihan yang mungkin
dilakukan manusia dan meninggalkan yang lainnya, maka Allah pasti akan
melaksanakan semua itu. Namun, Allah dalam kebijaksanaan-Nya tetap
menciptakan manusia dengan kebebasan untuk memilih, apakah akan beriman
atau kafir. Oleh karena itu, ada sebagian manusia yang memilih untuk beriman
dan ada pula yang memilih untuk kafir.

18
QS. Al-Baqarah ayat 256
1
1
E. Tafsir Surah Al Baqarah ayat 256 perspektif Ibnu Katsir tentang
Toleransi Beragama
Berikut paparan Ibnu Katsir terkait dengan QS Al-Baqarah ayat 256 yang
dikutip dari kitab Lubaabut Tafsir Min Ibnui Katsiir yang ditahqiq (teliti) oleh Dr.
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh yang diterjemahkan
oleh M. Abdul Ghoffar E.M.
‫َن ْل َغ َف َم ْن َّي ْك ُف ْر َّط ُغ ْو َو ُي ْؤ ْۢن ّٰل‬ ‫ٓاَل ْك َر اَه ى ال ْي ِۗن َق ْد َّت َب َّي َن الُّر ْش ُد‬
‫ِب ال ا ِت ِم ِب ال ِه‬ ۚ ‫ِم ا ِّي‬ ‫ِف ِّد‬ ‫ِا‬
‫اْن ِف َص اَم َل َه اۗ َو الّٰل ُه َس ْيٌع َع ِل ْيٌم‬ ‫َف َق ْس َت ْم َس َك ْل ُع ْر َو ْل ُو ْث ٰق اَل‬
‫ِب ا ِة ا ى‬ ‫ِد ا‬
‫ِم‬
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS Al-Baqarah ayat 256)
‫ٓاَل ْك‬
Allah berfirman : ۗ ‫ ِا َر اَه ِف ى الِّد ْي ِن‬tidak ada paksaan untuk memasuki agama”
Maksudnya, janganlah kalian memaksa seseorang memeluk agama Islam.
Karena sesungguhnya dalil-dalil dan bukti-bukti sudah sedemikian jelas dan
gamblang, sehingga tidak perlu ada pemaksaan terhadap seseorang untuk
memeluknya. Dan barang siapa yang dibutakan hatinya oleh Allah Ta‟ala,
dikunci mati pendengaran dan pandangannya, maka tidak akan ada manfaat
baginya paksaan dan tekanan untuk memeluk agama Islam
Para ulama menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah
berkenaan dengan beberapa kaum anshar, meskipun hukumnya berlaku umum.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu „Abbas, ia menceritakan, ada seorang
wanita yang sulit mempunyai anak, berjanji kepada dirinya, jika putranya hidup,
maka ia akan menjadikan Yahudi. Dan ketia Bani Nadhir diusir, dan diantara
mereka terdapat anak-anak kaum Anshar, maka mereka berkata : “Kami tidak
mendakwahi anak-anak kami.” Maka Allah menurunkan ayat : 19
‫ْل َغ‬ ‫َق‬ ‫ٓاَل ْك‬
ِ ‫ِا َر اَه ِف ى الِّد ْي ِۗن ْد َّت َب َّي َن الُّر ْش ُد ِم َن ا ّي‬

19
Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan). Jakarta:
Lembaga Percetakan Al-Qur‟an Departemen Agama.
12
” (Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”

Ulama yang lainnya mengatakan : ”ayat tersebut telah dinaskh (dihapus)


dengan ayat qital (perang), dan bahwasanya kita diwajibkan mengajak seluruh
umat manusia memeluk agama yang lurus, yaitu Islam. Jika ada salah seorang
diantara mereka menolak memeluknya dan tidak mau tunduk kepadanya, atau
tidak mau membayar jizyah, maka ia harus dibunuh. Dan inilah makna
pemaksaaan.”
Allah berfirman :
‫َس ُتْد َع ْو َن َل ٰى َق ْو ُأ ۟و ى َب ْأ َش ي ُت َٰق ُل وَن ُه ْم َأ ْو ُي ْس ُم وَن‬
‫ِل‬ ‫ٍم ِل ٍس ِد ٍد ِت‬ ‫ِإ‬
"Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan
yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).
Dan dalam hadits shohih disebutkan: “Rabbmu merasa kagum kepada
kaum yang digiring ke dalam Surga dengan rantai.”
Maksudnya para tawanan yang dibawa ke negeri Islam, dalam keadaan
diikat dan dobelenngu, setelah itu mereka masuk Islam, lalu amal perbuatan
mereka dan hati mereka menjadi baik,sehingga mereka menjadi penghuni Surga.
Dan Firman-Nya:
‫َف َم ْن َّي ْك ُف ْر الَّط اُغ ْو َو ُي ْؤ ْۢن الّٰل َف َق اْس َت ْم َس َك اْل ُع ْر َو‬
‫ِة‬ ‫ِب‬ ‫ِت ِم ِب ِه ِد‬ ‫ِب‬
‫اْل ُو ْث ٰق ى اَل اْن ِف َص اَم َل َه اۗ َو الّٰل ُه َس ْيٌع َع ِل ْيٌم‬
‫ِم‬
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Artinya, barang siapa yang melepaskan diri dari sekutu-sekutu
(tandingan), berhala, serta apa yang diserukan oleh syaitan berupa penyembahan
selain Allah, mengesakan-Nya, serta menyembah-Nya, dan bersaksi bahwa tiada
‫ْل ْث‬ ‫ْل‬ ‫ّٰل َف َق‬
ilah yang haq selain Dia.( ۢ( ‫“ ِب ال ِه ِد اْس َت ْم َس َك ِب ا ُع ْر َو ِة ا ُو ق‬maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus.” Berarti ia telah benar-benar tegar dan teguh berjalan diajaln yang
13
tepat lagi lurus.20
„Umar Rodiallahu‟anhu mengatakan : “ Bahwa al-jibt itu berarti sihir dan
thaghut berarti syaitan. Bahwasanya keberanian dan sikap pengecut merupakan
tabiat yang melekat pada diri manusia. Orang yang berani akan memerangi orang-
orang yag tidak dikenalnya, sedangkan seorang pengecut lari meninggalkan
ibunya. Sesungguhnya kemuliaan seseorang adalah pada agama, kehormatan, dan
akhlaknya, meskipun ia orang Persia atau rakyat jelata.” Demikian yang
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari „Umar. Lalu, ia
menyebutkannya. Dan makna yang diberikan Umar bahwa Thagut berarti syaitan
mempunya landasan yang sangat kuat, ia mencakup segala macam kejahatan yang
dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah, yaitu berupa penyembahan berhala,
berhukum, dan memohon bantuan kepadanya. Sedangkan firman-Nya:
‫َف َم ْن َّي ْك ُف ْر َّط ُغ ْو َو ُي ْؤ ْۢن ّٰل َف َق ْس َت ْم َس َك ْل ُع ْر َو ْل ُو ْث ٰق اَل‬
‫ِب ا ِة ا ى‬ ‫ِب ال ا ِت ِم ِب ال ِه ِد ا‬
‫َل‬ ‫ْن‬
‫ا ِف َص اَم َه ا‬
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus.” Artinya, ia telah berpegang teguh kepada agama dengan
sarana yang sangat kuat. Dan Allah Ta‟ala menyerupakan hal itu dengan tali yang
sangat kuat yang tidak akan putus. Tali tersebut sangatlah kokoh, kuat, dan keras
ikatannya.
Mujahid mengatakan: “Yang dimaksud dengan al-„urwatu wutsqa adalah
iman.” Sedangkan as-Suddi mengemukakan: “Yaitu Islam.”Sedangkan Sa‟id bin
Jubair dan adh-Dhahhak mengatakan” “Yaitu kalimat Laa Ilaaha Illallah.” Dari
Anas bin Malik: “Yang dimaksud dengan al-„urwatu wutsqa adalah al-Qur‟an”.
Dan dari Salim bin Abi al-Ja‟ad, ia mengatakan: “yaitu cinta dan benci karena
Allah.” Semua ungkapan di atas benar, tidak bertentangan satu dengan yang
lainnya.21
Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Qais bin „Ubadah, ia
menceritaka, suatu ketika aku berada di dalam mesjid, lalu datang seseorang yang
20
Ibnu Katsir,. 2013. Al-Bidayah wa An-Nihayah. Terj. Lukman Hakim dkk. Jakarta: Pustaka
Azzam h. 56-67
21
Iqbal Amar Muzaki, “Pendidikan Toleransi Menurut Q.S. Al-Baqarah Ayat 256 Perspektif Ibnu
Katsier,” Wahana Karya Ilmiah 3, no. 2 (2019): 406–14,
https://journal.unsika.ac.id/index.php/pendidikan/article/view/2031.
14
terpancar kekhusyuan dari wajahnya. Kemudian orang itu mengerjakan shalat dua
raka‟at secara singkat. Orang-orang di masjid itu berkata: “Inilah seorang ahli
Surga.” Ketika orang itu keluar, aku mengikutinya hingga memasuki rumahnya.
Maka akupun masuk ke rumahnya bersamanya. Selanjutnya aku ajak ia bicara,
dan setelah sedikit akrab, maka akupun berkata kepadanya: “Sesungguhnya ketika
engkau masuk mesjid, orang-orang berkata ini dan itu.” Ia berujar: Subhanallah,
tidak seharusnya seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Akan
aku ceritakan kepadamu mengapa aku demikian: “Sesungguhnya pada masa
Rasulullah SAW, aku bermimpi dan mimpi itu pun aku ceritakan kepada beliau.
Aku pernah bermimpi seolah-olah berada disebuah taman yang sangat hijau.”
Ibnu Aun mengatakan: “Orang itu menyebutkan warna hijau dan keluasan taman
itu.” Di tengah-tengah taman itu terdapat tiang besi yang bagian bawahnya berada
di bumi dan yang bagian atas berada di langit. Di atasnya terdapat tali. Dikatakan
kepadaku: “Naiklah ke atasnya.” “Aku tidak sanggup,” jawabku. Kemudian
datang seorang pelayan kepadaku. – Ibnu „Aun mengatakan: yaitu seorang
pelayan muda – lalu ia menyingsingkan bajuku dari belakang seraya berkata:
“Naiklah.‟ Maka aku pun menaikannya hingga aku berpegangan pada tali itu. Ia
berkata” “Berpegan teguhlah pada tali itu!” Setelah itu aku bangun dari tidur dan
tali itu berada di tanganku. Selanjutnya aku menemui Rasulullah SAW dan
kuceritakan semuanya itu kepada beliau, maka beliau bersabda: “Taman itu
adalah taman Islam, dan tiang itu adalah tiang Islam, sedangkan tali itu adalah tali
yang sangat kuat. Engkau akan senantiasa memeluk Islam sampai mati.22
Imam Ahmad mengatakan: “Ia adalah „Abdullah bin Salam.” Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab ash-
Shahihain.

F. Kesimpulan

22
Ibnu Katsir. 2014. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1. Terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan. al-Atsari.
Jakarta: PUSTAKA IMAM SYAFI‟I h. 125-130
15
Toleransi merupakan sebuah keniscayaan, apalagi dalam konteks bangsa
Indonesia. Toleransi diyakini mampu memberikan kontribusi terhadap
kondusifitas/konstelasi kehidupan. Toleransi berarti memberikan kesempatan
kepada individu lain untuk meyakini keyakinannya tanpa ada paksaan dari orang
lain. Hal ini sesuai dengan spirit Islam yang termaktub dalam QS Al-Baqarah
ayat 256; yang menyatakan “tidak ada paksaan dalam beragama, karena
kebenaran sudah jelas” maka sangatlah keliru bila ada orang yang
mengasumsikan Islam sebagai agama intoleran. Pendidikan toleransi bisa
diterapkan dengan mengacu kepada beberapa hal, yakni: 1). mengikuti hak-hak
setiap orang 2). Menghormati keyakinan orang lain 3). Setuju dalam perbedaan
4). Saling mengerti 5). Kesadaran dan kejujuran. Bila hal ini kita ajarkan kepada
peserta didik mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi, disertai dengan
kerangka/program yang jelas dan terencana, maka harapan akan ketenangan
/ketentraman hidup akan terwujud.

DAFTAR PUSTAKA
16
ABROR, MHD. “Moderasi Beragama Dalam Bingkai Toleransi.” RUSYDIAH: Jurnal
Pemikiran Islam 1, no. 2 (2020): 137–48. https://doi.org/10.35961/rsd.v1i2.174.
Kamali, Muhammad Hashim, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, terjemahan Eva Y.
Nukam dan Fathiyah Basri, Bandung: Mizan, 1996.
Amar Muzaki, Iqbal. “Pendidikan Toleransi Menurut Q.S. Al-Baqarah Ayat 256
Perspektif Ibnu Katsier.” Wahana Karya Ilmiah 3, no. 2 (2019): 406–14.
https://journal.unsika.ac.id/index.php/pendidikan/article/view/2031.
Bakar, Abu. “Konsep Toleransi Dan Kebebasan Beragam, Jurnal Media Komunikasi
Umat Beragama.” UIN Syarif Kasim Riau 7, no. 2 (2015): 123–31.
Dewi Murni. “Toleransi Dan Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Al-Quran.” Jurnal
Syahadah 6, no. 2 (2018): 72–90.
Universitas Islam An Nur Lampung, “Pengertian Tasamuh, dalil, contoh perilaku dan
hikmahnya”, diakses dari https://an-nur.ac.id/ pada tanggal 25 Oktober 2023
Options, N. L. (1997). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Abi Syaibah, I., & Bakr, A. (1994). Mushannaf Ibnu Abi Syaibah. Cet. III.
Al-Ashfahani, A.-R. (1992). Mufradat Alfazh Al-Qur‟an. Beirut: Dar Al-Qalam.
Amin, R. (2014). Prinsip dan Fenomena Moderasi Islam dalam Tradisi Hukum Islam.
AlQalam, 20(3), 23–32.
Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan).
Jakarta: Lembaga Percetakan Al-Qur‟an Departemen Agama.
Katsir, Ibnu. 2013. Al-Bidayah wa An-Nihayah. Terj. Lukman Hakim dkk. Jakarta:
Pustaka Azzam
Katsir. Ibnu. 2014. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1. Terj. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan. al-
Atsari. Jakarta: PUSTAKA IMAM SYAFI‟I
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
Gularnic, David G, Webster’s Webster World Dicitionary of Amarican Languange, New
York: The World Publishing Company, 1959
Ahmad Atabik, “Al Qur’an dan Tolerensai Beragama”, diakses dari
https://ih.iainkudus.ac.id/ pada tanggal 25 Oktober 2023
Al qur’an, surat Al Baqarah ayat 256, Depag RI, Al qur’an dan terjemahannya, CV Toha
Putra, Semarang, 1989.
Al-Qur’an, surat Al-Kafirun ayat 6, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
17
Terjemahannya, CV. Toha Putra, Semarang, 1989
Kementerian Agama RI. (2019a). Al-Quran.
Casanova, J. (2008). Public religions revisited. na.

18

Anda mungkin juga menyukai