Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH MATA KULIAH STUDI AGAMA-AGAMA

“Sikap Keberagaman Inklusivisme”

Disusun Oleh :

Natasya Nur Fatiha Sugianto (2120301012)

Dosen Pengampuh

Sofia Hayati M,Ag

PROGRAM STUDI AGAMA- AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UIN RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2023/2024

i
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Berkat rahmat dan karunia
Allah SWT, penulis mampu menyelesaikan makalah berjudul “ Sikap
Keberagaman Inklusivisme” Penulis menghadapi banyak tantangan saat
menulis makalah ini, tetapi berkat bantuan, dorongan, dan arahan dari berbagai
orang, makalah ini akhimya dapat diselesaikan dengan baik

Penulis percaya bahwa makalah ini adalah karya terbaik yang


penulis dapat persembahkan Di luar itu, penulis, sebagai orang biasa, sangat
menyadari banyak tata bahasa, struktur kalimat, dan berbagai kekurangan yang
masih ada dalam makalah ini. Dengan kerendahan hati penuh, saya menerima
semua saran dan kritik konstruktif dari pembaca. Melalui makalah ini, saya
berharap dapat membantu pemerintah dalam mendidik masyarakat Indonesia
Jadi, itulah yang bisa saya katakan, Saya berharap makalah ini akan menambah
ilmu pengetahuan dan bermanfaat nyata bagi masyarakat umum.

Palembang ,21 Oktober 2023

Penulis

ii
Daftar Isi

Halaman Judul .................................................................................. i

Kata Pengantar ................................................................................. ii

Daftar Isi .......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ....................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................... 3

A. Pengertian Inklusivisme .......................................................... 3


B. Tokoh-Tokoh Inklusivisme ..................................................... 6
C. Inklusivisme Dalam Pandangan Islam dan Kristen ................. 7

BAB III PENUTUP .......................................................................... 12

A. Kesimpulan ............................................................................ 12

BAB IV DAFTAR PUSTAKA ......................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sikap merupakan kecenderungan atau disposisi mental yang
mendorong individu untuk merespons objek atau situasi tertentu secara
konsisten. Dalam bidang psikologi, sikap melibatkan aspek-aspek
seperti keyakinan, perasaan, dan perilaku yang terkait dengan suatu
objek.

Keberagaman merujuk pada variasi atau perbedaan yang ada dalam


suatu kelompok atau lingkungan tertentu. Keberagaman dapat muncul
dalam berbagai bentuk, termasuk keberagaman budaya, keberagaman
ras, keberagaman agama, keberagaman gender, dan variasi dalam
berbagai aspek kehidupan sosial.

Inklusivisme mengacu pada suatu pendekatan atau sikap yang


menerima dan memahami keberagaman, perbedaan, atau keragaman
dalam suatu kelompok atau masyarakat, inklusivisme merujuk pada
sikap yang menerima dan menghargai keragaman keyakinan
keagamaan tanpa mengabaikan atau mengecualikan yang lain. Ini
berbeda dengan eksklusivisme, yang cenderung menekankan eksklusi
atau pengecualian terhadap kelompok atau keyakinan yang berbeda.

Sikap inklusivisme terhadap keberagaman menggambarkan


pendekatan yang menerima dan menghargai keragaman dalam konteks
keyakinan keagamaan. Dalam konteks ini, inklusivisme keberagaman
mencerminkan pengakuan dan penerimaan terhadap berbagai keyakinan
keagamaan tanpa melakukan pengecualian atau menilai rendah terhadap
kelompok atau keyakinan tertentu.

1
B. Rumusan Masalah
1) Jelaskan Pengertian dari Inklusivisme?
2) Apa Saja Tokoh-tokoh dari Inklusivisme?
3) Bagaimana Cara Pandang Islam dan Kristen tentang
Inklusivisme?

C. Tujuan Masalah
1) Untuk mengetahui pengertian dari Inklusivisme.
2) Untuk mengetahui apa saja tokoh-tokoh dari Inklusivisme.
3) Untuk mengetahui pandangan Islam dan Kristen tentang
Inklusivisme.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Inklusivisme
Inklusivisme memiliki asal-usul dari kata "inklusi," yang secara
linguistik berarti termasuk.1 Istilah inklusivisme pertama kali muncul
setelah Konsili Vatikan II, di mana diakui keuniversalan kebenaran agama-
agama lain. 2 Pemakaian istilah ini dikaitkan dengan Alan Race, seorang
teolog Gereja Anglikan yang dikenal karena tipologinya yang terkenal.
3
Selain Alan, pandangan teologi inklusivis juga secara khusus dikaitkan
dengan Karl Rahner, seorang teolog dan teoretisi Kristen yang menolak
ide bahwa Tuhan mengutuk mereka yang belum memiliki kesempatan
untuk mengimani kitab suci. Pandangan ini menyatakan bahwa mereka
yang menerima petunjuk, meskipun bukan berasal dari ajaran Yesus,
masih dapat mencapai keselamatan dalam hidup mereka4. Gagasan yang
diajukan adalah "The Anonymous Christian," di mana agama lain atau
bahkan agama yang tidak memiliki nama (anonim) memiliki kesempatan
untuk memperoleh keselamatan dari Tuhan5
Teori ini mengemukakan suatu pandangan tentang kebenaran
agama yang lebih fleksibel. Pada dasarnya, seorang yang inklusif meyakini
kebenaran agamanya sendiri dengan memberikan ruang bagi kebenaran
agama lain. Dengan kata lain, dalam inklusivisme, ditekankan pendekatan
harmonis dalam hubungan antar agama, yang bertujuan untuk mencegah
timbulnya kesenjangan sosial dalam kehidupan beragama.

1
Tri Kembara, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris (Surabaya: Pustaka
Dua, tth.), hlm. 185.
2
Imam Hanafi, “Eksklusivisme, Inklusivisme, Dan Pluralisme: Membaca Pola
Keberagamaan Umat Beriman,” Al-Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman 10, no. 2 (2017), hlm.
395
3
Ahmad Zamakhsari, “Teologi Agama-Agama Tipologi Tripolar; Eksklusivisme, Inklusivisme
Dan Kajian Pluralisme,” Tsaqofah 18, no. 1 (2020): hlm. 43-44
4
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung: Mizan,
1999). Hlm. 84
5
Gavin D’Costa, “Theology of Religions,” Dalam David F. Ford, The Modern Theologians:
An Introduction to Crhistian Theologyin the Twentieth Century (New York: Basil Blackwell,
n.d.), hlm. 279

3
Prinsip-prinsip yang mendasari konsep inklusivisme melibatkan
keterbukaan terhadap agama lain dan mengutamakan berbaik sangka
daripada berburuk sangka. 6 Keyakinan bahwa cara atau agama yang
diikuti oleh orang lain memiliki kebenaran sendiri untuk memberikan
kesejahteraan dan keselamatan bagi penganutnya menjadi pijakan
utama. Hal ini menekankan prinsip kemanusiaan. 7
Penting untuk dicatat bahwa Islam memiliki dasar yang cukup
skriptural terkait dengan teologi inklusivis, memperkuat ide bahwa
keberagaman dan toleransi antaragama dapat bersumber dari ajaran
Islam itu sendiri.

Islam memiliki dasar yang cukup skriptural terkait teologi


inklusivis. Hal ini telah termaktub dalam Quran Surat Al Baqarah ayat
62:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,


orang-orang Nasrani dan orang-orang sabi'in, siapa saja (di antara
mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan
kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut
pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.8

6
Zamakhsari, “Teologi Agama-Agama Tipologi Tripolar; Eksklusivisme, Inklusivisme Dan
Kajian Pluralisme,” hlm. 395.
7
Amir Gufron, “Inklusivisme Islam Di Indonesia,” Al-A’raf: Jurnal Pemikiran Islam Dan
Filsafa 11, no. 1 (2011): hlm. 12
8
Kementerian Agama RI, Mushaf Al Quran Terjemah (Bandung: Sygma, 2007), hlm. 10

4
Pesan yang serupa dengan kutipan di atas tersirat dalam Al-Quran pada
Surat Al-Maidah ayat 69:

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang


Yahudi, shabiin dan orang-orang Nasrani, barangsiapa beriman kepada
Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat kebajikan, maka tidak ada
rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.

Kesimpulan dari kedua ayat tersebut adalah bahwa anugerah


keselamatan masih tersedia bagi mereka yang meyakini keesaan Tuhan,
penghakiman hari kemudian, dan berupaya melibatkan diri dalam amal
kebajikan, baik dalam agama Kristen, Yahudi, maupun Shabi'in. 9

Perspektif Islam terhadap agama-agama lain adalah sebagai


perbedaan dan keragaman yang melekat pada realitas atau ontologis
serta merupakan bagian dari sunnatullah, yaitu aturan atau hukum alam
yang ditetapkan oleh Allah.

Teologi Islam yang inklusif menunjukkan sifat terbuka, di mana


umat Muslim menerima dengan terbuka kritik dan masukan dari siapa
pun. Selain itu, pendekatan ini bersifat fleksibel, siap berhubungan dan
berinteraksi dengan pihak manapun, tanpa memandang latar belakang
kepercayaan atau asal-usul mereka. Ketiga, pendekatan ini bersifat
toleran, menghormati keberagaman yang ada.

9
Suhandano Rofiq Nuhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I.M, “Dialektika Inklusivisme Dan
Eksklusivisme Islam Kajian Semantik Terhadap Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan
Antaragama,” Jurnal Kawistara 3, no. 1 (2013): hlm. 60

5
Dampak dari teologi ini adalah pengungkapan hakikat Islam yang
sebelumnya dianggap secara doktrin-dogmatis. Dalam konteks ini,
doktrin ajaran Islam tidak hanya dianggap sebagai simbol semata, tetapi
juga menekankan nilai-nilai dan implementasinya. Karena pemahaman
yang hanya terbatas pada simbol seringkali tidak selaras dengan hakikat
agama itu sendiri, bahkan bisa menimbulkan konflik antar agama. 10

B. Tokoh-Tokoh Inklusivisme
Beberapa figur yang terkait dengan inklusivisme, terutama dalam
konteks teologi dan pengertian agama, meliputi:

1. Alan Race : Seorang teolog dari Gereja Anglikan, Alan Race terkenal
atas kontribusinya dalam pemahaman inklusivisme. Partisipasinya
dalam mengembangkan tipologi keberagaman dan mendorong dialog
antaragama menjadi ciri khasnya.

2. Karl Rahner : Seorang teolog Katolik asal Jerman, Karl Rahner


memiliki pengaruh signifikan dalam pemikiran Katolik pasca-Konsili
Vatikan II. Ia menyumbang pada gagasan "Kristen Tanpa Nama" atau
"The Anonymous Christian," yang menyiratkan bahwa keselamatan
dapat ditemukan oleh mereka yang menerima petunjuk ilahi, bahkan jika
bukan melalui ajaran Kristen.

3. John Hick : Seorang filsuf dan teolog, John Hick terkenal karena
pandangan inklusifnya. Konsep pluralisme agama yang
dikembangkannya mengakui nilai kebenaran dalam berbagai tradisi
keagamaan dan menganggap bahwa semua agama mencari kebenaran
yang mutlak.

10
Zainal Abidin, “Teologi Inklusif Nurcholish Madjid: Harmonisasi Antara Keislaman,
Keindonesiaan, Dan Kemoderenan,” Humaniora 5 , no. 2 (2014): hlm. 68

6
4. Wilfred Cantwell Smith : Seorang pakar agama dan profesor, Smith
menyajikan konsep "agama tertutup" dan "agama terbuka." Dalam
pandangannya, agama terbuka adalah pendekatan inklusif yang
mengakui nilai-nilai spiritual dan kebenaran dalam berbagai tradisi
keagamaan.

5. Paul Knitter : Sebagai seorang teolog Kristen, Knitter


mempromosikan pandangan inklusivisme dengan menekankan
pentingnya dialog antaragama dan penghargaan terhadap keberagaman.
Fokusnya juga mencakup pemahaman Kristus sebagai sumber inspirasi
yang dapat diakui dalam beragam bentuk keberagaman.

Perlu diperhatikan bahwa pandangan inklusivisme dari tokoh-tokoh ini


mungkin bervariasi, tetapi mereka semua memberikan kontribusi dalam
menggalakkan pemahaman dan kerjasama antaragama.

C. Pandangan Islam dan Kristen Tentang Inklusivisme


 Inklusivisme Agama Islam
Dalam Islam, terdapat pandangan inklusif yang memberikan
kebebasan yang sangat luas kepada individu di luar keyakinannya, tanpa
menilai atau menganggap agama lain sebagai yang keliru atau sesat.
Sesuai dengan ajaran al-Quran, Islam menekankan pentingnya
kerukunan dan tidak mendorong paksaan kepada non-Muslim agar
meninggalkan keyakinannya. Allah SWT telah menjelaskan ajaran
agama dengan jelas, menunjukkan kebenaran, namun memberikan
keleluasaan kepada setiap individu untuk memilih sesuai dengan
keyakinan pribadinya.11
Tuhan menciptakan manusia dalam berbagai bentuk, dan
keragaman tersebut bukanlah untuk menyebabkan konflik di antara
mereka. Sebaliknya, tujuannya adalah agar manusia dapat saling

11
H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis, Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan
Antaragama (Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 229-231

7
mengenal dan menghargai eksistensi satu sama lain. Keanekaragaman
agama yang diberikan oleh Tuhan tidak dimaksudkan sebagai dasar
untuk mendukung diskriminasi satu kelompok atas kelompok lainnya,
melainkan untuk mendorong setiap individu untuk bersaing dalam
kebaikan. Agama bukanlah tujuan utama, tetapi merupakan alat yang
membimbing penganutnya menuju Tuhan, yang sejati. 12

Pandangan ini sesuai dengan pemahaman tentang kebenaran


universal, di mana kebenaran itu menunjukkan beragam manifestasi
dalam kehidupan manusia yang berasal dari satu kebenaran yang
mendasar. Namun, perbedaan penafsiran terhadap kebenaran tersebut
muncul karena kemampuan dan keterbatasan individu, yang kemudian
dapat mengakibatkan perbedaan pandangan yang lebih tajam karena
adanya kepentingan pribadi yang terlibat, yang muncul akibat dorongan
untuk memenangkan persaingan.13

Dengan demikian, perspektif Islam terhadap agama-agama lain


dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap perbedaan dan keragaman
dalam hakikat ontologis (haqiqah wujudiyah/kauniyah) serta
sunnatullah. Hal ini mencakup klaim kebenaran (truth-claim) yang
bersifat absolut dan eksklusif, yang menjadi pondasi penting bagi
identitas sebuah agama. Tanpa klaim kebenaran ini, identitas agama
dapat menjadi samar, tidak jelas, atau bahkan hilang sama sekali.
Dengan kata lain, Islam menghargai agama-agama lain sebagaimana
adanya (as the way they are) dan memberi kebebasan kepada mereka
untuk mempertahankan jati diri mereka tanpa reduksi atau manipulasi.
Apapun kondisinya, klaim kebenaran agama diakui dan dihargai, tidak
boleh diabaikan. Dalam pandangan Islam, klaim kebenaran bagi sebuah
agama dianggap sebagai sesuatu yang alami dan bersifat natural. Lebih
dari itu, klaim kebenaran ini merupakan esensi dari identitas sejati

12
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis
al- Quran (Depok: KataKita, 2009), h. 4
13
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 17

8
sebuah agama. Dalam ajaran Islam, terdapat ayat-ayat yang mendukung
pandangan inklusivisme.

a) QS al-Baqarah ayat 62 : “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-


orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja
diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian
dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.”

b) QS al-Baqarah ayat 48: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al


Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, Yaitu Kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu
ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-
lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.”

c) QS al-Baqarah ayat 148: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya


(sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah
(dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

9
d) QS al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan
yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.”

e) QS al-Baqarah ayat 6: “Untukmu agamamu, dan untukkulah,


agamaku."

 Inklusivisme Agama Kristen


Ketika membahas inklusivisme dalam konteks agama Kristen,
dapat kita pahami bahwa pandangan Karl Rahner mengenai
"Anonymous Christian" pada dasarnya sejalan dengan kategori
inklusivisme tradisional. Meskipun demikian, jika kita melakukan
analisis yang lebih mendalam, terdapat perbedaan signifikan dalam
konsep Kristen Anonim yang diusungnya. Konsep Kristen Anonim
terkesan lebih ketat karena, meskipun mengakui kebenaran dalam
agama-agama non-Kristen, Rahner menegaskan bahwa keselamatan
yang terdapat dalam agama-agama tersebut sebenarnya diberikan atau
dipenuhi oleh Yesus Kristus. Rahner menyatakan, "Agama saya benar,
sedangkan agama-agama yang lain sebenarnya menjalankan nilai-nilai
kekristenan, tapi menggunakan nama-nama yang lain," sehingga tetap
menganggap agamanya (Kristen) sebagai yang paling benar.

Dalam penjelasan lebih rinci mengenai Kristen Anonim, Rahner


menyatakan bahwa agama-agama lain di luar Kristen juga menerima
rahmat dari Allah. Menurutnya, Allah memberikan rahmat-Nya
melalui Kristus dalam konteks kepercayaan dan ritual agama-agama
tersebut. Meskipun orang yang belum mengenal Kristus dapat
merasakan kasih penyelamatan Allah, Rahner menekankan bahwa
mereka mungkin tidak dapat melihat arah atau tujuan hidup mereka. Ia

10
menyatakan bahwa orang-orang ini telah menerima rahmat Allah dan
terorientasi pada Kristus, dan kehadiran Kristus dapat dirasakan dalam
setiap agama, sehingga mereka terarah ke dalam kekristenan. Orang-
orang ini disebut sebagai "Kristen Anonim" atau "Kristen tanpa
nama," dan meskipun belum mengenal Injil Kristen, Rahner percaya
bahwa mereka dapat diselamatkan melalui Kristus, bukan karena
moralitas, tetapi karena mereka telah mengalami kasih karunia dari
Yesus Kristus tanpa menyadarinya.

Beberapa inklusivis lain melihat Yesus sebagai perwakilan kasih


dan kebenaran Allah yang menyelamatkan. Mereka memandang
Yesus bukan sebagai penyebab adanya kasih Allah, melainkan sebagai
manifestasi dan pernyataan konkret dari kasih tersebut. Meskipun
mungkin ada kehati-hatian dalam menyebut umat Buddha sebagai
Kristen Anonim, beberapa inklusivis cenderung menganggap mereka
sebagai "Kristen potensial," yaitu bahwa apa yang diperoleh umat
Buddha melalui kebenaran transformatif paling tepat diwakili dan
dipenuhi oleh Yesus Kristus. Sebagaimana disampaikan oleh Schubert
Ogden, baik eksklusivisme maupun inklusivisme dapat dianggap
sebagai kelompok "monis" dalam hal keselamatan, yaitu pandangan
bahwa anugerah keselamatan Allah ditemukan secara jelas, cukup,
dan penuh hanya dalam Yesus Kristus.14

14
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab
Global, diterjemahkan oleh Nico A. Likumahuwa (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003), h.
39- 40.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sikap inklusivisme terhadap keberagaman menggambarkan
pendekatan yang menerima dan menghargai keragaman dalam konteks
keyakinan keagamaan. Dalam konteks ini, inklusivisme keberagaman
mencerminkan pengakuan dan penerimaan terhadap berbagai keyakinan
keagamaan tanpa melakukan pengecualian atau menilai rendah terhadap
kelompok atau keyakinan tertentu. Beberapa figur yang terkait dengan
inklusivisme, terutama dalam konteks teologi dan pengertian agama,
meliputi: Alan Race ,Karl Rahner,John Hick,Wilfred Cantwell Smith
dan Paul Knitter. Memiliki pandangan Islam dan Kristen tentang
Inklusivisme ini.

12
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Tri Kembara, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris


(Surabaya: Pustaka Dua, tth.)
Imam Hanafi, “Eksklusivisme, Inklusivisme, Dan Pluralisme: Membaca
Pola
Ahmad Zamakhsari, “Teologi Agama-Agama Tipologi Tripolar;
Eksklusivisme, Inklusivisme Dan Kajian Pluralisme,” Tsaqofah 18, no. 1
(2020)
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama
(Bandung: Mizan, 1999)
Zamakhsari, “Teologi Agama-Agama Tipologi Tripolar; Eksklusivisme,
Inklusivisme Dan Kajian Pluralisme,”
Amir Gufron, “Inklusivisme Islam Di Indonesia,” Al-A’raf: Jurnal
Pemikiran Islam Dan Filsafa 11, no. 1 (2011)
Kementerian Agama RI, Mushaf Al Quran Terjemah (Bandung: Sygma,
2007)
Suhandano Rofiq Nuhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I.M, “Dialektika
Inklusivisme Dan Eksklusivisme Islam Kajian Semantik Terhadap Tafsir
Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama,” Jurnal Kawistara 3, no. 1
(2013)
Zainal Abidin, “Teologi Inklusif Nurcholish Madjid: Harmonisasi Antara
Keislaman, Keindonesiaan, Dan Kemoderenan,” Humaniora 5 , no. 2 (2014)
H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis, Mereda Dialektika Idealita dan
Realita Hubungan Antaragama (Yogyakarta: LkiS, 2004)

13

Anda mungkin juga menyukai