Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH AGAMA ISLAM

Pluralisme dan Toleransi Beragama Islam

Disusun Oleh Kelompok IV :

Wazukni A 121 20 037

Lilis Indah Sari A 121 20 039

Zikrullah A 121 20 040

Deyana Tridolita A 121 20 041

Nur Afana A 121 20 042

Mohammad Vebriawan Listanto A 121 20 043

Dinda Rizkiyana A 121 20 044

Mutiara Oktarina A 121 20 045

Desti Sri Wahyuni A 121 20 046

Abdul Malik Fajri A 121 19 224

UNIVERSITAS TADULAKO

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PRODI BAHASA INGGRIS

2020
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Taufik dan
Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana yang berjudul “Pluralisme dan Toleransi Beragama Islam”.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman
bagi pembaca dalam dunia pendidikan.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………...................

DAFTAR ISI …………………………………………………………….................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………………..
B. Rumusan Masalah…………………………………………………...............
C. Tujuan ………………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pluralisme dan Toleransi………................


B. Sejarah Perkembangan Pluralisme dan Toleransi di
Indonesia………………………………..
C. Konsep Pluralisme dan Toleransi Dalam Islam.............................................
D. Pandangan Beberapa Tokoh Islam Mengenai Pluralisme dan
Toleransi………………………………..

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………..
B. Saran………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pluralisme dalam kajian keagamaan mempunyai banyak pengertian, tinggal dari sudut
pandang apa pluralisme itu didefinisikan. Dalam kajian keagamaan atau teologia, pluralisme
dapat diartikan dengan peletakkan kebenaran agama dan posisi parallel atau sejajar.

Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya (Hasan, 2010: 9)

Dalam masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila pertama, bertaqwa kepada tuhan
menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua agama menghargai
manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib saling menghargai. Dengan demikian
antar umat beragama yang lainnya akan terbina kerukunan hidup.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pluralisme dan toleransi?

2. Bagaimana pluralisme dan toleransi bisa berkembang di Indonesia?

3. Bagaimana konsep pluralisme dan toleransi dalam pandangan islam?

4. Siapa sajakah Tokoh islam yang terkait dalam pluralisme dan toleransi

C. Tujuan

Makalah ini saya buat bertujuan untuk memberi tahu kepada pembeca mengenai pluralisme dan
juga toleransi dalam pandangan islam dan juga untuk mengetahui perbedaan antara pluralism dan
juga toleransi serta mempelajari pandangan tokoh-tokoh yang terkait didalamnya.
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pluralisme dan Toleransi

Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris, “pluralism”. Apabila merujuk dari
Wikipedia bahasa Inggris, arti dari definisi pluralism adalah suatu kerangka interaksi tempat
setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleransi satu sama lain, berinteraksi tanpa
konflik atau asimilasi (pembauran atau pembiasan). Saat ini pluralisme, menjadi polemik di
Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya, pluralism;
perbedaan itu adalah:

a. Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial kultural.

b. Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar-ajaran

agama.

c. Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk merubah ajaran suatu agama agar sesuai dengan
ajaran agama lain (Subkhan; 2007: 28).

Istilah tersebut dalam kamus-kamus Bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama,
pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam
struktur kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat
kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berartisistem pemikiran yang
mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga,
pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok,
baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek
perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut. Ketiga pengertian
tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai
kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan
karakteristik masing-masing (Toha; 2005 : 11-12).

Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu
koeksistensi berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya
perbedaan-perbedaan dan karaketeristik masing-masing (Toha, 2005 : 14).

Ketika disandingan dengan agama, maka pengertian “pluralisme agama” adalah


koeksistensi (kondisi hidup bersama) antar-agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas,
dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama, seperti yang
dijelaskan sebelumnya.Dari segi konteks dimana pluralisme agama sering digunakandalam studi-
studi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern ini,
istilah ini telah menemukan definisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula.
John Hick, misalnya, menegaskan bahwa: “….

Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan
persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang
beragam terhadap Yang Real atau Yang MahaAgung dari dalam pranata kultural manusia yang
bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan
hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut dan
terjadi, sejauh yang dapat diamati, disamai pada batas yang sama”(Legenhausen M, 2010: 41).

Dalam sebuah kata pengantar Zainal Abidin Bagir dan kawan-kawan menyatakan bahwa
secara cukup luas pluralisme adalah sebagai penerimaan dan penghargaan keragaman dan upaya
bekerja bersama orang atau kelompok lain demi mencapai kebaikan bersama. Mereka juga
menuliskan bahwa pluralisme dipahami lebih dari sekedar toleransi, tapi upaya aktif untuk
memahami perbedaan. Salah satu cirri utama lain yang ditegaskan sejak awal adalah bahwa
pluralisme bukanlah relativisme, dan tak menuntut ditinggalkannya identitas-identitas yang
dimiliki seseorang atau kelompok. Dalam beberapa pemahaman juga pluralisme sering dipahami
sebagai upaya menemukan persamaan.

Secara luas, pluralisme merupakan paham yang menghargai adanya perbedaan dalam
suatu masyarakat dan memperbolehkan kelompok yang berbeda tersebut untuk tetap menjaga
keunikan budayanya masing-masing. Selain itu, dalam konsep pluralisme kelompok-kelompok
yang berbeda memiliki kedudukan yang sama.

Dalam kamus Bahasa Indonesia kata toleransi merupakan kata benda


(nomina).To·le·ran·si mempunyai beberapa pengertian, yaitu: 1) sifat atau sikap toleran; 2) batas
ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; 3) penyimpangan yang
masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. Ber·to·le·ran·si merupakan kata kerja (verb), jadi
bertoleransi berarti bersikap toleran. Demikian juga halnya dengan kata me·no·le·ran·si. Kata ini
juga merupakan kata kerja (verb) yang berarti mendiamkan; membiarkan.

Toleransi berasal dari kata “ tolerare ” yang berasal dari bahasa latin yang berarti dengan
sabar membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas adalah suatu sikap atauperilaku
manusia yang tidak menyimpang dari aturan, di mana seseorang menghargai atau menghormati
setiap tindakan yang orang lain lakukan.Dari beberapa pengertian di atas, baik yang dikutip dari
bahasa Indonesia, maupun bahasa Latin, maka dapat disimpulkan bahwa toleransi mempunyai
makna yang sangat luas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan toleransi adalah sifat atau sikap
toleran, yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)
pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri, misalnya toleransi agama (ideologi, ras, dan sebagainya).

Toleransi bisa berarti memberikan izin, membolehkan, legitimasi, lisensi, maaf,


kelapangan dada, murah hati dan kedermawanan. Olehnya itu, toleransi dalam beragama berarti
saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka
untuk mengikuti agamanya dan bahkan tidak mencampuri sesuatu apapun dalam urusan agama
masing-masing. Toleransi merupakan suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang
dari aturan agama, di mana seseorang saling menghargai, menghormati, dan memberikan ruang
gerak yang begitu luas bagi pemeluk agama untuk memeluk agamanya masing-masing tanpa
adanya unsur paksaan dari pemeluk agama lain. Dengan demikian, masing-masing pemeluk
agama dapat menjalankan ritual agamanya dengan rasa kedamaian dan pada tataran selanjutnya
akan menciptakan suasana kerukunan hidup antar umatberagama yang harmonis, jauh dari
pertikaian dan permusuhan. Sikap saling memberi maaf, memahami, dan menjunjung tinggi hak
orang lain untuk dapat beribadah sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya. Bahkan, dalam
konteks pergaulan antar umat beragama, Islam memandang bahwa sikap tidak menghargai, tidak
menghormati bahkan melecehkanpenganut agama lain, termasuk penghinaan terhadap simbol-
simbol agama mereka dianggap sebagai bentuk penghinaan ter hadap Allah swt.

B. Sejarah Perkembangan Pluralisme dan Toleransi di Indonesia

Sebenarnya, istilah pluralisme bukan muncul dari konteks agama Islam, kendatipun pada
agama inilah sekarang banyak bermunculan ide-ide tersebut (Azra, et.al, 2005; hlm.69).
Pemikiran pluralisme beragama muncul pada masa yang disebut pencerahan (enlightment)
Eropa, tepatnya pada abad 18 Masehi. Masa ini adalah masa yang diwarnai dengan wacana-
wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal
(rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama.

Awalnya yang muncul adalah paham liberalisme, dengan komposisi utama pada
kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme (Thoha, 2005; hlm. 17). Akan
tetapi, dari sisi substansi sebenarnya paham Pluralis (keberagaman) sudah dikenal sejak adanya
manusia, begitu juga dalam konteks masyarakat Islam. Hal ini terbukti dengan perbedaan
pendapat yang dialami oleh para Khalifah dan pemimpin setelah itu.
Hanya saja, munculnya gagasan pluralisme dalam bentuk istilah dan ajaran yang
terstruktur, dalam arti kata mulai disebarluaskan dan dipelajari secara sistematis, bisa dikatakan
sejak munculnya beberapa pemikir-pemikir dan ulama-ulama progresif. Hal ini bisa ditandai
dengan kehadiran pemikiran pembaharu seperti Hamka, M Natsir, Harun Nasution, Djohan
Effendi, Ahmad Wahid, hingga ke Cak Nur dan Gus Dur.

Paham awal yang muncul sebelum menggelindingnya ide pluralisme adalah konsep
Modernisme Islam, terutama konteks Indonesia. Menurut GregBarton (1999; hlm. 43). Dalam
pemikiran Islam, modernisme dimaknai sebagai sebuah pendekatan yang berwawasan terbuka
terhadap perkembangan-perkembangan modern dan telaah rasional serta merupakan kajian ulang
yang kritis pada pemikiran para sarjana sebelumnya. Modernisme Islam lebih mengarah pada
sarana memahami dan mewujudkan prinsip-prinsip yang diajarkan kitab suci untuk kepentingan
hidup di dunia modern.

Masuknya modernisme Islam di Indonesia berlangsung sekitar tahun 1920-an –1930-an,


terutama setelah banyaknya mahasiswa Indonesia yang pulang belajar dari Universitas Al Azhar
di Kairo. Diantaranya yang kemudian melahirkan gagasan dan organisasi Islam yang besar di
Indonesia adalah Kiyai Haji Ahmad Dahlan dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah
tahun 1912.

Ketika tahun 1945, dalam penyusunan pembukaan UUD 1945, kata-kata kunci yang
menjadi dasar negara Indonesia disahkan. Pemakaian kata-kata Ketuhanan Yang Maha Esa dan
menghapus kata-kata “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya,” adalah bukti
bahwa pengakuan terhadap keragaman dan menghindari terjadinya ekslusifitassudah lama
berlangsung dan disadari pendiri negara ini. Kompromi-kompromi harus diadakan sebagai wujud
keragaman masyarakat Indonesia.

Gagasan tentang modernisme Islam terus menggelinding, kendati tetap mendapat


tentangan dari kaum konservatis. Akibatnya, ulama-ulama terpolarisasi pada dua kelompok yaitu
kaum tua dan kaum muda. Hal ini menonjol sekali di tubuh NU. Ormas yang kemudian
berafiliasi dengan Partai Masyumi, juga menyimpan benih-benih pembaharuan. Kaum muda
yang bergabung dalam Masyumi mulai bersuara dan menyampaikan ide-ide pembaharuannya.
Hal ini kemudian memberikan pengaruh besar bagi dinamika di tubuh NU dan kemunculan ide-
ide perubahan. Tokoh-tokohnya bisa diidentifikasi seperti Mohammad Natsir, Hamka, Prawoto
Mangkusasmito, dan sebagainya. Masyumi kemudian jatuh dan hancur setelah mendapat tekanan
kuat dari pemerintah, sebaliknya NU tetap kuat dan bisa melakukan kompromi-kompromi
(Barton 1999; hlm. 52).

Perbedaan pandangan antara kalangan muda dan generasi tua di tubuh NU memang tidak
muncul menjadi pertikaian yang lebih dalam. Beberapa tokohnya seperti Natsir dan Hamka,
banyak menyuarakan perlunya memahami keragaman beragama dan melihat kondisi kekinian
dari masyarakat. Paham yang cenderung “baru” pada masa itu yang kemudian memunculkan
perbedaan pendapat. Kondisi ini setidaknya yang dapat disebut sebagai pembaharuan di tubuh
ormas. Ide pembaharuan ini yang kemudian bertemu pula dengan tekanan politik pemerintah,
yang banyak memberikan batasan-batasan pada kemunculan pemikiran dari masing-masing
ormas.

Setelah itu, lompatan besar pembaharuan pemikiran Islam, muncul di era 1970-an.
Tonggak ini dicatat sejak Nurcholish Madjid menyampaikan makalahnya berjudul “Keharusan
Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” tanggal 3 Januari 1970 (Barton,
1999; hlm. 54). Sejak itulah ide-ide dan wacana pluralisme beragama semakin banyak dibahas
dan dibicarakan. Pembahasannya berkembang tidak saja di kalangan ulama, namun juga ke
anggota masyarakat biasa. Tak heran jika dikatakan bahwa Cak Nur adalah pelopor gagasan
pluralisme beragama di Indonesia.

Pemahaman pluralisme agama sebagai sebuah gagasan pengakuan bahwa masing-masing


agama memiliki nilai kebenaran, dan oleh karena itu harus diberikan penghargaan yang setara,
merupakan inti dari paham ini. Gagasan inilah yang kemudian terus didengungkan oleh Cak Nur
bersama rekan-rekannya hingga ia wafat. Gagasan Cak Nur kemudian diteruskan oleh para
teman, sejawat, serta murid-muridnya di Paramadina, yang justru pada beberapa sisi terlihat
lebih ekstrem daripada Cak Nur sendiri. Para penerus Cak Nur inilah yang kemudian terus
menyuarakan pluralisme.

Bisa dikatakan, perkembangan Pluralisme beragama ini mengalami masa gemilang di


Indonesia pada lima tahun terakhir. Hal utama yang berpengaruh adalah iklim sosial politik di
Indonesia yang memungkinkan untuk berbeda pendapat dan adanya penghargaan yang tinggi
terhadap kebebasan pendapat.

Jika diamati lebih lanjut mengenai dinamika pemikiran pluralisme beragama di


Indonesia, akan tertuju pada beberapa tokoh kunci sebagai penggagasnya, yaitu Nurcholish
Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Tentu saja selain keempat
orang ini, masih banyak lagi penggagas berpengaruh, terutama di kalangan muda. Hanya saja,
penggagas awal atau tokoh utama adalah keempat orang tersebut.

Cak Nur merupakan tokoh utama penggagas pluralisme beragama di Indonesia.


Pidatonya tahun 1970 menciptakan kegegeran besar di kalangan muslim dan politik Indonesia.
Hal ini menunjukkan dinamika awal yang sangat bergairah dan luar biasa. Cak Nur sendiri
ternyata tidak menyangka akan menciptakan efek luar biasa, sehingga dalam sebuah tulisannya,
ia justru memperlihatkan nada sesal.

“Dengan menoleh pada pengalaman-pengalaman kami, saya ingin sekali untuk


tidak pernah melakukan blunder lagi, seperti yang terjadi pada peristiwa pidato saya
tanggal 2 Januari 1970. Sungguh hal itu sangat mahal sekali, dan kami menderita
kerugian yang tidak dapat diperbaiki menyangkut reputasi kami di dalam komunitas
muslim. Seandainya saya dapat kembali ke masa lalu itu, niscaya saya akan
menggunakan metode-metode yang telah saya lakukan sebelumnya, yaitu penetrasi
secara damai, “metode penyelundupan” dalam mengenalkan ide-ide baru. Inilah yang
saya lakukan saat menulis EDP” (Barton, 1999; hlm. 441).

Salah satu inti pemikiran Cak Nur yang kemudian menjadi dasar baginya dalam
memantapkan konsep pluralisme adalah keyakinan bahwa Al Qur’an berbicara dalam dua
wilayah, ukhrawi atau transedental dan wilayah duniawi. Wilayah ukhrawi adalah wilayahyang
tidak bisa diganggu gugat dan merupakan doktrin sifat Tuhan, sebaliknya wilayah duniawi bisa
dipahami dan dipelajari dalam konteks budaya sekarang (Barton, 1999; hlm. 433).

Cak Nur memberikan dasar dalam keberanian membuka pemikiran Al Qur’an, namun di
sisi lain tetap berpegang pada kebenaran hakiki Al Qur’an.Hal ini menunjukkan bahwa dinamika
pluralisme yang dilontarkan Cak Nur adalahpahaman yang memang menginginkan adanya
kontekstualisasi pemahaman ajaran agama. Ketika kontekstualisasi bisa dipahami maka pada
saat itu semestinya keragaman danpluralisme beragama juga bisa dimengerti.

Sementara itu, gagasan pluralisme yang kemudian juga dijalankan oleh Djohan Effendi,
lebih banyak berbicara soal dialog antar agama. Prinsipnya juga sama yaitu Pengakuan hak dan
kedudukan agama-agama pada posisi setara sehingga bisa dilaksanakan dialog yang egaliter.
Djohan Effendi banyak mencurahkan pemikirannya pada hubungan antar umat beragama dengan
menganalogikan bahwa masyarakat Indonesia memang sudah bervariasi, karena itu harus
dibangun suatu mekanisme dialog yang jelas dan terarah (Barton, 1999; hlm. 240).

Di sisi lain, Ahmad Wahib (Barton, 1999; 290) tampil sebagai pemikir yang berani
danmengembangkan ide-ide kontroversialnya yang terlihat jelas bertentangan dengan kondisi
zaman saat itu. Apa yang ditegaskan oleh Ahmad Wahib adalah sebuah keimanan yang tidak
takut untuk dipertanyakan, keimanan yang siap menghadapi dunia modern. Pemikiran Ahmad
Wahib bisa dikatakan tergolong lebih berani dan terbuka ketimbang pemikir lainnya. Salah satu
keberanian pemikirannya adalah pemakaian istilah sekularisasi ateistik sebagaimana kutipan
catatan hariannya berikut ini.

“Sejauh yang aku amati selama ini, agama telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah
dunia. Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampu kita sekularkan. Padahal sekularisasi ajaran-ajaran
Tuhan mutlak bagi kita kalau kita tidak ingin sekularistis. Agama Islam yang kita pahami selama
ini adalah agama sekularistis, agama yang tidak mampu meresapi masalah-masalah dunia, dus
terpisahnya agama dari masalah dunia”.
Nah, diam-diam kita menganut sekularisme, walaupun dengan lantang kita menentang
sekularisme! (Barton, 1999; hlm. 319)
Penggagas pluralisme yang tetap eksis sampai saat ini adalah Abdurrahman Wahid (Gus
Dur). Tokoh NU yang pernah menjabat sebagai Presiden RI ini memang terkenal kontroversial
dengan berbagai ide-ide pembaharuannya. Gus Dur adalah orang yang menginginkan perubahan
istilah Asslamu’alaikum dengan Selamat Pagi, Selamat Malam, Selamat Sore dan sebagainya.
Gus Dur bisa dikatakan sebagai pemikir dan politikus yang sangat menjunjung tinggi pluralisme.
Hal ini kemudian dipraktekkan dalam berbagai kebijakan politik saat ia menjadi Presiden.
Penghargaan yang tinggi terhadap keberagaman dan variasi umat, membuat Gus Dur senantiasa
mendukung terciptanya kehidupan dalam konsep keragaman. Hanya saja, Gus Dur yang masih
terikat dengan kekuatan pesantren tidak bisa melepaskan diri dari kultur pesantren yang
senantiasa melekat pada dirinya.Kiranya inilah dinamika pemikiran pluralisme Gus Dur yang
kerap berbenturan dengan budaya pesantren yang masih terpelihara.

Penjelasan di atas menegaskan bagaimana dinamika pemikiran pluralisme beragama di


Indonesia dengan melihat pemikiran para tokoh-tokoh penggagasnya. Kenyataan yang bisa kita
lihat bahwa pluralisme adalah paham yang akan selalu dinamis. Pada saatnya nanti akan muncul
pula gelombang-gelombang baru yang melahirkan konsep-konsep baru dalam memaknai ajaran
agama. Semakin banyak tentangan yang terjadi, maka semakin kuat pula paham pluralisme dan
liberalisme berkembang. Inilah bukti bahwa pemahaman keagamaan selalu dinamis.

Menurut Welzer ada beberapa tingakatan yang mengacu pada praktik toleransi dalam
sejarah. Pada tingkat pertama, praktik toleransi yang berlangsung di Eropa sejak abad ke-16 dan
ke-17 sebenarnya baru sekedar praktik penerimaan pasif terhadap perbedaan demi lahirnya
perdamaian. Pada tingkat kedua, ia menyebutkan sebagai ketidakpedulian yang lunak pada
perbedaan. Baru pada tingkat ketiga, kita melihat adanya pengakuan (recognition) terhadap yang
berbeda. Pada tahap ini kita mengakui orang lain memiliki hak-hak dasar yang tidak bisa
dilangkahi meski kita tidak menyetujui isi pandangan pihak lain itu. Pada tahap keempat, kita
tidak hanya mengakui adanya perbedaan tetapi juga bersikap terbuka pada yang lain.

Berdasarkan pernyataan tersebut toleransi sebagai proses inklusi sosial dalam masyarakat
Indonesia bisa saja ada dalam gradasi toleransi yang berbeda-beda. Meski belum ideal dan masih
memiliki banyak catatan kekurangan – konflik antaretnis dan tindakan kekerasan
mengatasnamakan agama masih terjadi dibeberapa diwilayah Indonesia – capaian proses inklusi
yang telah berlangsung mampu menyelamatkan keragaman Indonesia dalam satu komitmen
kesatuan yang luar biasa.

C. Konsep Pluralisme dan Toleransi dalam Islam


Pluralisme berasal dari kata plural yang bermakna banyak, lebih dari satu, pluralis
(bersifat Jamak). Pluralisme adalah ajaran yang menganut pemahaman bahwa secara realitas asas
masing-masing kelompok tidak berhubungan antara satu dengan yang lainnya.

Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dapat dihindari oleh
manusia. Tuhan telah menciptakan manusia dalam pluralisme dan manusia telah menjadi bagian
dari pluralisme itu sendiri, begitu pula dalam hal keagamaan. Setiap agama muncul dalam
lingkungan yang plural dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut.
Jika pluralisme agama tidak dipahami secara benar oleh pemeluk agama, agama akan
menimbulkan dampak negative berupa konflik antar umat beragama dan disintegrasi bangsa
(Coward, 1989).

Jika merujuk kepada kitab suci umat Islam yaitu al- Qur’an, akan didapatkan penjelasan
dalam kitab tersebut bahwa pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif yang dikehendaki oleh
Allah SWT dan menjadiketetapan-Nya. Pernyataan al-Qur’an bahwa manusia diciptakan
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal (QS. 49:13) menunjukkan
pengakuan terhadap hal itu. Al-Qur’an juga menyatakan bahwa perbedaan bahasa dan warna
kulit manusia harus diterima sebagai sebuah kenyataan yang postif yang merupakan salah satu
dari tanda-tanda kekuasan Allah (QS. 30:22). Lebih lanjut al-Qur’an meyatakan bahwa
perbedaan pandangan atau aturan manusia tidak harus ditakuti, tetapi harus menjadi titik tolak
untuk berkompetisi menuju kebaikan dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan,
di hari akhir nanti, alasan manusia berbeda satu dari yang lain dan jalan manusia berbeda-beda
dalam beragama. (QS. 5:48). Ada dua macam penafsiran tentang konsep toleransi, yakni
penafsiran negative dan penafsiran positif. Pertama menyatakan bahwa toleransi itu hanya
mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang/kelompok lain. Kedua
menyatakan bahwa toleransi itu membutuhkan lebih dari sekadar itu. Toleransi membutuhkan
adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang/kelompok lain.

Dengan demikian yang dimaksud pluralisme agama adalah terdapat lebih dari satu agama
yang mempunyai eksistensi hidup berdampingan, saling bekerja sama dan saling berinteraksi
antara penganut satu agama dengan penganut agama lainnya. Untuk itulah agar tidak terjadi
petaka atau konflik antar manusia, maka sangat dibutuhkan nilai-nilai toleransi. Al Qur’an, as
Sunnah, dan perilaku ulama telah menjadi alasan untuk menghargai perbedaan tersebut. Dengan
demikian, umat Islam haruslah menjadi umat yang paling siap menerima perbedaan dan paling
tinggi ruh toleransinya.
Pluralisme dalam perspektif islam dapat diartikan sebagai sebagai paham yang
mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya, maknanya islam
hanya mengakui adanya agama dan keyakinan diluar agama islam, dan secara tegas pluralisme
merupakan paham yang bertentangan dengan syariat islam. Kendati demikia, umat islam tetap
mengakui adanya paham pluralitas (keberagaman agama) dalam suatu kelompok masyarakat dan
dianjurkan tetap melakukan pergaulan sosialdengan agama lain sepanjang tidak bertentangan
dengan syariat islam.

Paham pluralisme sangat jauh berbeda dengan toleransi. Dalam pandangan liberalisme,
toleransi tidaklah cukup. Perlu ditanamkan paham pluralisme sebagai sebuah solusi untuk
kerukunan umat manusia. Dengan kata lain, toleransi beragama dalam pandangan liberal adalah
pluralisme agama. Pluralisme agama, sebagai bagian dari wacana barat postmodern, berupaya
untuk merelatifkan kebenaran agama-agama, sehingga tidak ada lagi kebenaran yang mampu
diakui dalam agama manapun, termasuk islam. Konsep ini sangat bertentangan dengan konsep
toleransi dalam islam yang mengakui keberadaaan agama lain dalam ranah sosial tanpa harus
adanya pemaksaan terhadap pengakuan kebenaran agama tersebut. Islam secara konseptual
mengakui pluralitas, namun menolak tegas pluralisme.

Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan
muslim itu sendiri. Solusi islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui
perbedaan dan identitas agama masing-masing. Walaupun ada sebagian berpendapat bahwa
solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus
menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Di Indonesia, salah satu
kelompok yang dianggap mendukung pluralisme agama adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Di
halaman utama situsnya tertulis : “Dengan nama Allah, Tuhan Pengasih, Tuhan Penyayang,
Tuhan segala agama”.

Secara doktrinal toleransi sepenuhnya diharuskan oleh islam. Islam secara definisi
adalah “damai” , “selamat”, dan ‘menyerahkan diri”. Definisi islam yang secara demikian yang
dirumuskan dengan istilah “islam agama rahmatan lil ‘alamin” (agama yang mengayomi seluruh
alam). Ini berarti bahwa islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam
menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati.

Toleransi dalam islam pada awalnya ditandai oleh perjanjian Hudaibiyah yang diprakarsai oleh
Nabi Muhammad SAW. Toleransi dalam islam adalah otentik. Artinya tidak asing dan bahkan
mengeksistensikan sejak islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi dalam islam
hanya persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikannnya secara konsisten.
Namun, toleransi beragama menurut islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan,
sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-kafirun ayat 5 yang artinya :”bagi kalian agama
kalian, dan bagi kami agama kami”. Ini merupakan ayat populer dari toleransi dalam islam.

D. Beberapa Pandangan Tokoh Islam Mengenai Pluralisme dan Toleransi

1. Syafi’I Ma’arif
Menurut pendapat, mantan ketua umum PP Muhammadiyah Syafi’I Ma’arif diterangkan
dalam “Pluralisme Agama Di Indonesia studi Komparasi Pemikiran Abdurrahman Wahid dan
Nurcholis Madjid” juga sependapat jika pluralisme agama itu merupakan suatu gagasan yang
mengkui kemajemukan realitas. Pluralisme agama menurutnya, merupakan suatu gagasan yang
mengkui adanya realita kemajemukan. Ia mendorong setiap orang untuk menyadari dan
mengenal macam-macam keberagaman di segala bidang kehidupan bermasyarakat, seperti
sosial, budaya, politik, ekonomi, tradisi lokal, etnisitas dan agama. Lebih lanjut Syafi’iMa’arif
dalam Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan Kaum Muda Muhammadiyah berpendapat jika
ada yang mengartikan bahwa pluralisme agama itu berarti paham yang mengakui semua agama
itu benar, atau semua agama itu salah maka tafsiran semacam itu ia sebut “kampungan” alias
tidak akademis.

2. Ahmad Najib Burhani

Pluralisme menurut Ahmad Najib Burhani merupakan paham yang mengajarkan cara
memahami kemajemukan sehingga melahirkan sikap terbuka terhadap kebenaran komunitas lain.
Pluralisme mengajarkan bahwa kebenaran ada dalam genggaman Tuhan. Kebenaran yang
ditangkap manusia bersikap relatif, karena itu tidak boleh ada klaim dan monopoli kebenaran.
Sedangkan menurut Moh. Shofan, pluralisme bermakna bahwa setiap orang dituntut mengakui
kebenaran agama lain dan terlibat dalam usaha memahami perbedaan agar tercipta kerukunan
dalam kebhinekaan. Pluralisme berkaitan dengan komitmen dan kesadaran terhadap adanya
perbedaan dan kesamaan. Menurutnya pluralisme harus dibedakan dari pluralitas. Karena tidak
boleh hanya berhenti pada pengakuan terhadap keragaman tanpa ada usaha memahami dan
membangun kerjasama.

3. Abdurrahman wahid dan Nurcholis Madjid

Dalam skripsi “Pluralisme Agama di Indonesia Studi Komparasi Pemikiran


Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid” karya Abdul Mukti, Adian Husaini mengatakan
pluralisme merupakan konsep yang khas dalam teologi yang mengajarkan kesamaan agama.
Pluralisme berarti paham yang menyamakan Islam dengan semua agama dan menolak kebenaran
eksklusif dalam islam. Lebih jauh ia menganggap bahwa pluralisme agama adalah bentuk
ideologi baru atau agama baru. Selayaknya agama, dia punya kitab sendiri, nabi sendiri, dan
bahkan Tuhan sendiri. Maka dari itu ia menyambut baik fatwa MUI yang mengharamkan
pluralisme agama dan bahkan menjadikannya legitimasi untuk menyerang orang-orang yang
setuju dengan ide pluralisme agama di Indonesia.

4. Sayyed Husein Nasr

dalam sebuah pengantarnya “Islam Filsafat Perenial” dijelaskan sebuah agama tidak bisa
dibatasi olehnya, melainkan oleh apa yang tidak dicakup olehnya, setiap agama pada hakekatnya
suatu totalitas. Cukup menarik untuk dikaji apa yang disampaikan Sayyed Husein Nasr tentang
pluralisme Agama secara lebih mendalam mengingat beliau merupakan salah satu tokoh yang
secara inten dan serius bergelut tentang masalah pluralisme dalam ranah filosofis.

6. Masdar F. Mas’udi

“sebagai jati diri manusia ada tiga aspek yang di tinjau dari master For. Mas'udi yaitu:
Pertama, agama sebagai kesadaran azali yang bersumber pada bisikan ilahiyah dalam nurani
setiap manusia. Kedua, agama sebagai konsep ajaran atau doktrin yang bersumber pada wahyu
kenabian. Ketiga, agama sebagai wujud aktualisasi dan pelembagaan dari yang kedua.

7. Azhar Basyir

Dalam bukunya yang berjudul “Akidah Islam” menyatakan bahwa toleransi beragama
dalam islam bukan dengan cara mengidentifikasi bahwa semua agama sama saja karena
semuanya mengajarkan kebaikan. Ajaran semacam ini menurut kacamata Islam sama sekali tidak
dapat diterima. Karena Islam secara tegas telah memberikan penegasan bahwa agama yang benar
di hadirat Allah hanyalah Islam.tetapi Islam juga mewajibkan kepada penganutnya bersikap
hormat terhadap keyakinan agama lain, dan berbuat baik serta berlaku adil terhadap penganut
agama lain.

8. Kiai Hasyim Muzadi

Menurut Kiai Hasyim, kerukunan dan toleransi antarumat beragama di RI harus diperkuat
dan terus dipupuk konstruksi toleransi agama harus dibangun melalui dialog dan keterbukaan
antaragama. Menurut beliau ada 5 fase atau tahap yang bisa dijadikan pijakan untuk menyemai
benih toleransi. Fase pertama, tiap-tiap agama berjalan sendiri-sendiri. Fase kedua, tiap-tiap
agama sibuk dengan urusannya sehingga tak ada ruang bagi umat beragama peduli urusan umat
lain. Fase ketiga, perjumpaan antara agama dan agama laim dengan menonjolkan perbedaan.
Fase keempat, agama berjumpa dengan agama lain dalam lingkup sosial, budaya, dan
kemanusiaan. Dan fase terakhir, tahapan perjumpaan agama dengan agama lain dengan niat
saling menghidupi.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan

Kesimpulan dari materi kami bahwa paham toleransi dan paham pluralisme sangat
berbeda. Jika Pluralisme berarti menyamaratakan semua agama, dimana agama sudah tidak
adanya batas dalam agama satu dengan lain selagi tidak menggangu agama tersebut dan tetap
saling menghargai. Sedangkan toleransi sangat jelas merupakan sikap dimana saling menghargai
antar umat namun tetap memberi batas yang harus dilampaui. Dan tidak bisa meleburkan semua
agama menjadi satu. Perkembangan toleransi dan pluralisme di Indonesia juga terjadi dengan
begitu cepat, karena paham tersebut sangat sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia yang kaya
akan keberagaman dan perbedaan sehingga membuat para ahli menarik mempelajari dan
mengembangkannya yang menjadikan paham tersbeut bisa berkembangan di tengah-tengah
masyarakat. Ada beberapa tokoh Islam juga yang ikut andil dalam perkembangan paham ini
seperti Nurcholis Madjid yang dikenal dengan pemikiran yang dituangkannya dalam buku
tentang pluralisme dan adapula Azhar Basyri dalam buku akidahnya yang membahas tentang
toleransi.

B. Saran

Saran kami ada baiknya kita harus memilih dan memilah dalam menerima pandangan dan
menjauhi organisasi ataupun birokrasi yang memakai paham pluralisme. Karena sesunggguhnya
kita tidak bisa menyatukan pluralisme dan toleransi dalam satu makna yang sama meskipun
sama-sama menunjukkan sikap menghargai keberagaman apalagi dalam agama. Kita juga harus
banyak mempelajari serta membaca untuk mendalami paham seperti ini agar tidak salah
memahami yang membuat kita menjadi sesat ataupun menjadi orang-orang yang rasis dan
intoleran.

DAFTAR PUSTAKA
o Yusalina, H. (2008). Pluralisme Beragama Di Indonesia (Studi Terhadap Pemikiran
Nurcholis Madjid). (Tesis Magister, Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah, 2008)
diakses dari http://repository.radenfatah.ac.id/
o Suyitno. (2014). Islam dan Pluralisme. 4(1). Diakses dari http://journal.umpo.ac.id/
o Mursyid, S. (2016). Konsep Toleransi (AL-SAMAHAH) Antar Umat Beragama
Perspektif Islam.1(2). Diakses dari http://garuda.ristekbrin.go.id/
o Bagir, Z A, AA GN Ari Dwipayana, Mustaghfiroh Rahayu, Trisno Sutanto, dan Farid
Wajidi. (2011). Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia.
Bandung: Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada dan
Mizan. Diakses dari http://crcs.ugm.ac.id/
o Simarmata, H T, Sunaryo, Arif Susanto, Fachrurozi, dan Chandra Saputra. (2017).
Indonesia Zamrud Toleransi. Jakarta Selatan: PSIK-Indonesia. Diakses dari
http://library.fes.de/
o Rahman, K. (2016). Strategi Perkembangan Nilai Toleransi dan Pluralisme dalam
Pendidikan Pesantren. Jakarta Selatan: STAI ALHIKMAH Jakarta. Diakses dari
http://journal.alhikmahjkt.ac.id/
o Rahman, M S. (2014). Islam dan Pluralisme. 2(1). Diakses dari http://media.neliti.com/

Anda mungkin juga menyukai