Anda di halaman 1dari 12

BAB X

SISTEM POLITIK ISLAM

A. Pengertian Politik Dalam Islam

Politik disebutkan berasal bahasa Arab yang berarti siyasah. Dalam kamus
Lisanul Arab disebutkan bahwa kata siyasah memiliki makna mengurus sesuatu
dengan sesuatu yang membuatnya baik atau berarti mengurusi suatu perkara
sampai pada akhirnya menjadi baik. Politik dijelaskan menurut Ibnu Qayyim
dibagi menjadi dua macam, yaitu  politik yang diwarnai dengan suatu kezaliman
sehingga politik tersebut diharamkan dan yang kedua ialah politik yang diwarnai
dengan keadilan yang mana merupakan bagian dari suatu syariat Islam. Politik
jika kita lihat dari sisi yang buruk bisa membuat masyarakat memberikan
kesimpulan bahwa politik tersebut itu kejam dan para  politikus oleh masyarakat
dianggap sebagai ahli tipu muslihat yang sangat kental dengan perbuatan makar,
dusta, dan licik. Namun, bila ditinjau dari sudut pandang yang berbeda, ada pula
politik yang syar’i.
Para pakar Siyasah berbeda pendapat tentang kedudukan politik dalam
Syari’at Islam. Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam adalah suatu agama
yang serba lengkap; di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan
atau politik.
Kedua, kelompok yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat. Artinya agama tidak ada hubungannya dengan urusan
kenegaraan. Menurut kelompok ini, Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang
Rasul, seperti Rasul-Rasul yang lain yang bertugas menyampaikan risalah tuhan
kepada segenap alam. Nabi Muhammad saw tidak mendapatkan tugas untuk
mendirikan dan memimpin suatu negara.
Aliran ketiga menolak bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap
yang terdapat di dalamnya segala sistem kehidupan termasuk sistem
ketatanegaraan. Tetapi juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa Islam

214
215

sebagaimana pandangan Barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan


Tuhan. Aliran berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan, tetapi terdapat sistem tata nilai (etika) bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Idealisme moral dari teori politik tentang khilafah dibuktikan lagi secara
khusus oleh kualifikasi jabatan tersebut. Seorang khalifah haruslah: (1) memiliki
keadilan, (2) mempunyai cukup ilmu bagi penafsiran dan pelaksanaan hukum, (3)
berwatak, (4) memiliki keberanian untuk memimpin perang, (5) sehat secara fisik,
dan (6) turunan Quraisy, yakni ada nasab kepaada suku golongan Quraisy. Tugas
khalifah yang paling utama adalah menjaga dan melaksanakan syari’ah,
mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan.
B. Ruang lingkup Sistem Politik Islam

Pada garis besarnya, obyek pembahasan sistem politik Islam meliputi:1

1. Siyasah dusturiyah atau dalam fikih modern disebut Hukum Tata Negara.
Siyasah dusturiyyah secara global membahas hubungan pemimpin politik
dengan rakyatnya serta institusi-institusi yang ada di negara itu sesuai
dengan kebutuhan rakyat untuk kemaslahatan dan pemenuhan rakyat itu
sendiri.
2. Siyasah dauliyah atau biasa disebut Hukum Internasional dalam Islam.
Siyasah dauliyah adalah sistem politik yang mengatur hubungan antar
negara dalam berbagai aspeknya; ekonomi, politik, budaya, militer, dan
lain-lain. Bisa juga disebut sebagai hukum internasional dalam Islam.
3. Siyasah maaliyah yaitu hukum yang mengatur tentang pemasukan,
pengelolaan, dan pengeluaran uang milik negara.
Siyasah maaliyah adalah sistem politik yang mengatur sumber-sumber
keuangan negara, cara pendistribusian, dan penggunaannya, pertanggung
jawaban, dan lembaga yang mengurus dan mengawasinya. Sebagaimana
dalam rumah tangga muslim tidak boleh ada sumber-sumber kehidupan
yang tidak halal, demikian juga di negara Islam tidak boleh ada sumber-
1
Zainuddin Ali,dkk. Pendidikan Agama Islam Kontemporer, (Ciputat: YAMIBA, 2015),
hlm. 179
216

sumber kekayaan negara yang tidak halal. Barang yang tidak halal akan
membawa ketidakberkahan.
C. Nilai-nilai Dasar Sistem Politik Islam dalam Al-qur’an
Al-qur’an sebagai sumber ajaran utama dan pertama agama Islam
mengandung ajaran tentang nilai-nilai dasar yang harus diaplikasikan dalam
pengembangan sistem politik Islam. Nilai-nilai dasar tersebut adalah:2
1. Keharusan mewujudkan persatuan dan kesatuan umat sebagaimana
tercantum dalam Q.S Al-mu’minuun: 52:

        

Terjemahnya:

“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama


yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku (Q.S
Al-mu’minuun [23]: 52)”.

2. Keharusan bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah


ijtihadiyah.

Seseorang tidak hanya dituntut untuk mengeluarkan pendapatnya, tapi ia


juga dituntut untuk melakukan segala keputusan yang telah diambil dalam
musyawarah tersebut3.

Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Q.S Al-Imran: 159:

           
        
           
 
Terjemahnya:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut


terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
2
Zainuddin Ali,dkk. Pendidikan Agama Islam Kontemporer, hlm. 183
3
Hammudah Abdalati, Islam Suatu Kepasian, (Jakarta: Media Dakwah, 1983), hlm. 299
217

ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan


bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya (Q.S Al-Imran [3]: 159)”.

3. Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil. (Q.S


An-Nisaa:5) :
         
         
        

Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat (Q.S An-
Nisaa [4]:5)”.

Didalam kata khalifah, tersirat adanya amanah. Yakni amanah dari pihak
yang di gantikan yang mengharuskan adanya pertanggung jawaban kepada
pemberi amanah.4

4. Keharusan menaati Allah, Rasulullah, dan uli al-Amr (pemegang


kekuasaan) Q.S An-Nisaa:59 :
      
          
        
   

Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
4
Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, harapan dan kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press,
2007), hlm. 17
218

tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan


Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya (Q.S An-Nisaa [4]:59)”.
5. Keniscayaan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat
Islam. Q.S Al-hujuraat:9:
     
        
         
        

Terjemahnya:
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu
melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,
dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-
orang yang Berlaku adil (Q.S Al-hujuraat [49] :9)”.
6. Keharusan mempertahankan kedaulatan negara dan larangan melakukan
agresi dan invasi. Q.S Al-baqaarah: 190:
        
     
Terjemahnya:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (Q.S Al-
baqaarah[2] :190)”.
7. Keharusan mementingkan perdamaian daripada permusuhan. Q.S al-
Anfaal : 61 :
           
  

Terjemahnya:
219

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah


kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang
Maha mendengar lagi Maha mengetahui (Q.S al-Anfaal [8]: 61)”.

8. Keharusan meingkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan


keamanan. Q.S Al-Anfaal: 60:
        
        
          
     
Terjemahnya:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu
dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah
niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan) Q.S Al-Anfaal [8] : 60)”.

9. Keharusan menepati janji. Q.S An-Nahl : 91 :


        
          
 

Terjemahnya:
“Dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan
janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah
meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu
(terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat (Q.S An-Nahl [16]: 91)”.

10. Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa. Q.S Al-Hujuraat :


13:
220

       


        
     
Terjemahnya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal (Q.S Al-Hujuraat [49] : 13)”.
11. Keharusan peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat. Q.S Al-
Hasyr : 7:
         
      
         
          
  
Terjemahnya :
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah
untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya (Q.S Al-Hasyr [59] : 7)”.
12. Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum, dalam hal :
a. Menyedikitkan beban,
b. Berangsur-angsur dalam penetapan hukum,
c. Tidak menyulitkan.
D. Demokrasi dan Musyawarah
Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa yunani, demos yang
artinya rakyat dan cratos artinya cratein yang artinya kekuasaan atau kedaulatan.
Jika digabungkan dua kata tadi menjadi democ-cratos atau demos-cratein
221

(demokrasi) mengandung makna sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakya dan
unuk rakyat.
Secara terminologi demokratis adalah sistem pemerintahan yang
menjadikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Dengan kata lain
demokrasi adalah pemerintahan ditangan rakyat, dengan pengertian, pemerintahan
dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat.
Sebuah pemerintahan dipandang demokratis jika terpenuhi beberapa syarat
sebagai berikut:
1. Terselenggaranya Pemilihan Umum yang bebas dan rahasia.
2. Perlindungan konstitusi.
3. Badan kehakiman yang independen (bebas dan tidak memihak).
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat melalui lisan, tulisan, dam
kegiatan.
5. Kemerdekaan untuk berserikat, berorganisasi dan beroposisi.
6. Supremasi hukum.
Di al-Qur’an telah dijelaskan dalam Q.S An-Nisaa : 59:
      
          
        
   

Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya (Q.S An-Nisaa [4] : 59)”.

Dalam tradisi politik Islam dikenal dengan kata syura atau musyawarah
yang artinya bahwa untuk menyelesaikan urusan yang besar harus melibatkan
semua warga negara.
222

Secara teoritis terdapat tiga pendapat mengenai hubungan Islam dan


demokrasi. Pendapat pertama, demokrasi dan Islam adalah dua sistem yang
berbeda. Islam adalah sistem politik tersendiri yang berbeda dengan sistem
demokrasi yang berasal dari barat. Umat Islam mempunyai sistem demokrasi
tersendiri yakni musyawarah. Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi jika
demokrasi diartikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktekkan di barat.
Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem
politik demokrasi seperti dipratekan negara-negara maju. Islam di dalam dirinya
demokratis tidak hanya karena prinsip musyawarah, tetapi juga karena adanya
konsep ijtihad dan ijma’.

E. DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM


Esposito dan Piscatori mengidentifikasi ada tiga pemikiran mengenai
hubungan Islam dan demokrasi. Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi,
karena konsep shura, ijtihad, dan ijma’merupakan konsep yang sama dengan
demokrasi. Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi.
Menurut pandangan ini kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan
Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara muslim dan nonmuslim dan antara laki-
laki dan perempuan. Hal ini  bertentangan dengan equalitynya demokrasi. Ketiga,
sebagaimana  pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi.
Meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan tetapi
perlu diakui, bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum
Tuhan. Terma ini dikenal dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-
Maududi. Jika yang dimaksud dengan demokrasi itu terkait dengan adanya dasar-
dasar  politik atau sosial tertentu, misalnya asas persamaan di hadapan undang-
undang, kebebasan berfikir dan berkeyakinan, keadilan sosial dan sebagainya,
maka sebenarnya hak-hak tersebut semuanya ada dalam Al-Qur’an.
Begitu pula jika demokrasi yang dimaksud sebagaimana dikatakan
Abraham Lincoln adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat (from people by
people and for people), pengertian ini  juga terdapat dalam Islam, dengan
223

pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif. Dengan


melihat sudut pandang seperti ini maka akan mudah, dari pintu mana akan melihat
hubungan Islam dan demokrasi. Jika dilihat dari seluruh pintu, Islam dan
demokrasi memiliki latar  belakang yang berbeda. Sebagaimana dikatakan oleh
Ibn Khaldun,Islam berupa ajaran Tuhan yang penuh dengan nilai-nilai  profetik
sementara demokrasi adalah hasil ijtihad manusia yang sarat dengan profanistik
Identifikasi Esposito dan Piscatori tersebut khususnya  pandangan Islam identik
dengan nilai-nilai demokrasi bukanlah tanpa alasan.
Setidaknya melihat, bahwa pertama Islam tetap memelihara tradisi ijtihad
(berfikir secara bebas dan benar) untuk mendapatkan dan menyelesaikan suatu
persoalan. Ijtihad dimaksud sejalan dengan kebebasan berfikir manusia untuk
mendapatkan sesuatu yang terbaik bila terbelenggu oleh ketidakjelasan hukum.
Kedua, persamaan (al-musawa), Islam tidak membedakan suku, ras, golongan,
warna kulit, kaya-miskin, dsb. Kenyataan lain, bahwa tujuan-tujuan demokrasi
hanya bersifat lahiriah dan materil. Demokrasi diarahkan sepenuhnya untuk
kesejahteraan rakyat dan pemenuhan atas segala kebutuhan manusia. Lain halnya
dengan demokrasi Islam yang sangat transenden. Islam mendasari semua
aktivitasnya pada akhirat, dengan dasar bahwa akhirat merupakan tujuan akhir.
Jadi negara Islam harus mendasari semua aktivitasnya pada akhirat, dengan dasar
bahwa akhirat merupakan tujuan final. Islam dan demokrasi tidak selalu berjalan
beriringan dan juga tidak selalu berlawanan. Yang diinginkan Islam adalah
demokrasi yang disemangati oleh nilai-nilai syariah dan kemasyarakatan.

F. Implementasi Politik Islami dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara


Islam sebagai sebuah agama yang mencakup persoalan spiritual dan politik
telah memberikan konstribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di
Indonesia. Pertama ditandai dengan munculnya partai-partai yang berasaskan
Islam serta para nasionalis yang berbasis umat Islam. Kedua ditandai dengan
sikap proaktifnya tokoh-tokoh politik Islam dan umat Islam terhadap keutuhan
224

negara. Negara Republik Indonesia sejak proses kemerdekaan, masa-masa


mempertahankan kemerdekaan, masa pembangunan hingga sekarang masa
reformasi.
Dalam Islam, untuk mencapai tujuan tidak menghalalkan segala cara.
Tujuan yang baik dan mulia harus diraih dengan cara-cara yang baik dan mulia
pula. Itulah sebabnya, di dalam kajian ruang lingkup siyasah Islam, mencakup di
dalamnya etika berpolitik. Untuk mewujudkan budaya politik etis dalam
kehidupan masyarakat, perlu dihidupakan pendidikan politik dan pembelajaran
politik bagi masyarakat. Di sini peran para ulama dan para intelektual menjadi
satu keniscayaan, dan terutama peran pemerintah dan partai politik. Nilai
universal dalam berpolitik adalah amanah, jujur, adil, toleransi dan tanggung
jawab.
Nilai-nilai universal tersebut harus menjadi materi penting dalam
pendidikan politik masyarakat. Pelaksanaan pendidikan politik bisa melalui
pendekatan budaya, agama maupun lembaga formal. Semua sarana harus
dipergunakan secara seimbang terpadu dan maksimal agar demokrasi dan
masyarakat madani segera terwujud di muka bumi indonesia. Demokrasi ditengah
kebodohan politik masyarakat hanya melahirkan tirani mayoritas dan anarkisme
minoritas. Masyarakat madani akan lahir ditengah masyarakat yang tercerahkan
secara keilmuan.

DAFTAR PUSTAKA

Zainuddin Ali,dkk.Pendidikan Agama Islam Kontemporer.Ciputat: YAMIBA,


2015.
Hammudah Abdalati..Islam Suatu Kepasian. Jakarta: Media Dakwah, 1983.
225

Ridwan..Fiqih Politik: Gagasan, harapan dan kenyataan. Yogyakarta: FH UII


Press, 2007.

Anda mungkin juga menyukai