Anda di halaman 1dari 6

Keutamaan Negara dalam Islam

Upaya sekularisasi sebuah negara diawali dengan desakralisasi politik


(desacralization of politics),1 yang bermakna bahwa politik tidaklah sakral. Dalam
artian, unsur-unsur rohani dan agama harus disingkirkan dari politik. Oleh karena
itu, peran agama terhadap institusi politik harus disingkirkan, karena menurut
mereka ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan sosial.2

Dengan demikian, maka segala bentuk kaitan antara politik dan agama
tidak boleh berlaku, karena bagi paham sekuler tidak seorangpun memerintah atas
otoritas kuasa suci atau kekuasaan yang berdasarkan unsur religious atau
kerohanian. Dari gagasan ini bisa dipahami, bahwa kaum sekuler menolak mati-
matian penerapan syariat Islam dalam kehidupan politik 3 dan bernegara. Dengan
pandangan bahwa pemerintahan agama hanya akan menghambat perubahan dan
kemajuan suatu negara. Didalam buku Religion and Political Development, yang
ditulis oleh Donal Eugen Smith, membagi pemikiran tentang hubungan agama
dan negara ke dalam tipologi perspektif organik dan perspektif sekuler. Para
pendukung perspektif organik, mengklaim perlunya kesatuan agama dan negara.
Mereka memahami bahwa agama meliputi seluruh aspek kehidupan. Sedangkan
para pendukung sekuler, mengklaim perlunya pemisahan, dengan tujuan menjaga
kemurnian agama.4

Gagasan sekularisasi ini ditolak oleh ulama-ulama Islam, salah satunya


Yusuf Qardhawi. Beliau menegaskan bahwa pengikisan agama dari politik berarti
terkikisnya dari nilai-nilai murni, penolakan terhadap kejahatan, membuang
unsur-unsur kebaikan dan ketakwaan, dan membiarkan masyarakat dikontrol oleh

1
Khalif Muammar, “Dewesternisasi dan Desekularisasi Politik Kontemporer,” Majalah Islamia,
2009, Volume V, Nomor 2, hlm. 100.
2
Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam and Secularism”, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hlm.
18.
3
Adnin Armas, “Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal”: Dialog Interaktif dengan
Aktifis Jaringan Islam Liberal, (Jakarta: GIP, 2003), hlm. 13.
4
Donal Eugene Smith, “Religion and Political Development”, (Boston: Little, Brown and
Company, 1978), hlm. 85.
unsur – unsur kejahatan.5 Maka dengan mendominasinya paham sekularisme akan
mengikis moralitas manusia karna pada dasarnya agama adalah untuk
meningkatkan moralitas manuisa, maka dengan kemenangan sekularisme
moralitas yang menjadi esensi dari agama akan ikut terkikis, Oleh karena itu,
dewasa ini kita banyak melihat manusia yang tidak bermoral walaupun mereka
berpendidikan tinggi, golongan ini disebut schooled and yet uneducated. Dengan
demikian, maka penolakan dan pemisahan politik dari agama menurut beliau
merupakan suatu kejahilan.6

Agama tidak dapat dipisahkan dari ranah politik atau Negara, karena
agama sangat berperan dalam urusan pemerintahan dan kepemimpinan.
Desakralisasi juga dengan jelas menafikan peranan ulama yang berwibawa dalam
sistem pemerintahan. Padahal, Rasulullah SAW sendiri telah mencontohkan
dirinya sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin negara. 7 Memisahkan Islam
dari politik hanya akan menghalangi peranan pandangan hidup Islam tersebar di
dalam masyarakat. Karena dengan begitu, agama menjadi urusan pribadi dan
bukan publik.8

Dalam Islam negara memiliki peran memelihara agama, mengurus rakyat,


menjaga keamanan dan keselamatan, serta menjaga keharmonisan agama-agama
lain.9 Negara juga berperan dalam merealisasikan akidah dan nilai-nilai ajaran Islam.
Serta menjalankan peran kekhalifahan10

Negara memiliki pengertian sebagaimana dirumuskan dalam kamus


bahasa Indonesia. Pertama, organisasi di suatu wilayah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat; Kedua, kelompok sosial
yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisir di bawah lembaga

5
Yusuf al-Qardhawi, “Al-Din wa al-Siyasah”, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2007), hlm. 82.
6
Khalif Muammar, “Politik Islam: Antara Demokrasi dan Teokrasi”, Majalah Islami, 2005, Tahun
II. Nomor 6, hlm. 99-102.
7
Sir Thomas Arnold, “The Caliphate”, (London: Oxford University Press, 1924), hlm. 30.
8
Adnin Armas, Op. Cit., hlm 20 – 21.
9
Wan Zahidi Wan Teh, “Pelaksanaan Siyasah Syar’iyyah dalam Pentadbiran Kerajaan”,
(Malaysia: Hazrah Enterprize, Cet. I, 2002), hlm. 9.
10
Hamid Abdul-Majid Quwaysi, “Al-Wazifah al-Aqidiyah li al-Dawlah al-Islamiyah, Dirasah
Minhajiyah fi al-Nazariyah al-Siyasiyah al-Islamiyah”, (Kairo: Da>r al-Tawzi’, 1993), hlm. 133.
politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat
sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.11 Berdasarkan pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa negara adalah sebuah wadah bagi Islam agar seluruh
sayari’atnya bisa terealisasi , sehingga Islam yang rahmatanlil’alamin bisa
terwujud. Negara, sebagaimana dikemukakan Mac Iver dalam bukunya The
Modern State, seperti dikutip Rumadi, menyatakan bahwa pada dasarnya, ide
pembentukan negara adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat guna
mewujudkan kehidupan masyarakat yang bahagia.12 Inilah mengapa Islam
membutuhkan negara sebaga sebuah wadah atau sarana untuk bisa mendatangkan
kabahagian bagi umatnya dalam sebuah negara, yang mana kebahagian ini bukan
berdasarkan standar nilai dari manusia melainkan berdasarkan kehendak dari
tuhan yang dituangkan melalui wahyunya, sebaga mana firman Allah SWT dalam
surah Al – Anbiya : 107

(١٠٧) ‫َو َم ٓا َاْر َس ْلٰن َك ِااَّل َر ْح َم ًة ِّلْلٰع َلِم ْيَن‬

Artinya: Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai


rahmat bagi seluruh alam.13

Menurut tafasir Ibnu Katsir pada ayat ini bahawa Allah Swt. berfirman,
memberitahukan tentang apa yang telah dipastikanNya dan apa yang telah
ditetapkan-Nya buat hamba-hamba-Nya yang saleh, yaitu kebahagiaan di dunia
dan akhirat; di dunia dipusakakan-Nya bumi ini kepada mereka, selain
kebahagiaan di akhirat nanti yang menjadi milik mereka, dan Melalui ayat ini
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia menjadikan Muhammad Saw. sebagai
rahmat buat semesta alam. Dengan kata lain, Dia mengutusnya sebagai rahmat
buat mereka. Maka barang siapa yang menerima rahmat ini dan mensyukurinya,

11
https://kbbi.lektur.id/. Di akses pada 22 September 2022, pukul 12:55 WIB.
12
Rumadi, “Agama dan Negara; Dilema Regulasi Kehidupan Beragama di Indonesia”, dalam
Istiqra’, Jurnal Penelitian Ditpertais, Volume 04, Nomor 01, 2005, hlm. 119.
13
https://quran.kemenag.go.id/. Di akses pada 22 September 2022, pukul 13:23 WIB.
berbahagialah ia di dunia dan akhiratnya. Dan barang siapa yang menolak serta
mengingkarinya, maka merugilah ia di dunia dan akhiratnya.14

Menurut Ibnu Khaldun, agama harus tetap menduduki posisi penting


sebagai kebenaran yang harus diwujudkan pada realitas. Agama merupakan
landasan pembangunan suatu negara sebagai pemersatu dan sumber legitimasi
kekuatan politik yang membuat negara tak terkalahkan. Tanpa agama kesatuan
kelompok hanya akan didasarkan atas rasa kesatuan alamiah yang terbentuk
karena kesamaan suku atau hubungan kekeluargaan.15

Muhammad Imarah menegaskan bahwa Islam adalah agama dan sekaligus


sistem pemerintahan. Selanjutnya, menjelaskan bahwa dalam aliran sekuler
(Barat), terdapat pemisah antara agama dan negara. Sementara Islam,
berpandangan adanya hubungan akidah, syariah, agama, dan pemerintahan
(dawlah). Islam bukan risalah spiritual semata-mata. Pemerintahan dalam Islam
berlainan sekali dengan pemahaman dalam pemikiran Barat.16

Islam secara konseptual sesungguhnya tidak mengakui pemisahan antara


agama dan negara, seperti konsep negara sekuler, dengan watak holistik yang
melekat padanya, Islam menganggap bahwa negara pada hakikatnya merupakan
bagian integral atau perluasan dari Islam itu sendiri, maka dari pandangan seperti
ini muncul adagium, al – Islamu din wa dawlah (Islam adalah agama sekaligus
negara).17 Islam bukan hanya sekedar agama melainkan sebagai sistem kehidupan,
Islam meliputi persoalan – persoalan yang menyeluruh dari berbagai bidang
kehidupan manusia.

Bagi Islam, keniscayaan hadirnya sebuah negara merupakan sebuah


konsekuensi logis dari adanya aturan aturan syari’at yang tidak mungkin
terlaksana tanpa hadirnya negara, dengan demikian kehadiran negara manjadi

14
http://www.ibnukatsironline.com/. Diakses pada 22 September 2022, pukul 13:32 WIB.
15
Abdurahman Ibnu Khaldun, “Muqaddimah Ibnu Khaldun”, (Beirut: Dar al-Kutub al - ‘Ilmiyyah.
Cet. VIII, 2003), hlm. 188.
16
Muhammad Imarah, “Al-Islam wa Darurah al-Taghyir”, (Kuwait: Majalah ‘Arobi, Cet. I, 15
Juli 1997), hlm. 34.
17
K.H. Afifuddin Muhajir, “Fiqh Tata Negara”, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), hlm. 16.
syarat dan istrumen wajib bagi terlaksananya aturan – aturan syari’at. 18 Hal ini
sesuai dengan kaidah Fiqh:

‫َم ا َال َيِتُّم الَو اِج ُب ِإَّال ِبِه َفُهَو َو اِج ٌب‬
Artinya: Sesuatu yang menjadi syarat terwujudnya perkara wajib adalah
wajib.

Berdasarkan kaidah fiqh tersebut keberadaan sebuah negara bagi


terwujudnya syari’at Islam adalah sesuatu hal yang wajib karena perkara
menegakkan syari’at Islam dalah perkara wajib, dan negara adalah instrumen bagi
terlaksananya kewajiban tersebut.

Salah satu ajaran Islam adalah kewajiban berislam secara kaffah. Berislam
secara kaffah memiliki makna mengamalkan syariat Islam dengan baik dan benar
sesuai dengan tuntunan yang diajarkan. Baik syariat yang mengatur hubungan
manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai Maha Pencipta, atau yang
mengatur hubungan manusia untuk kebutuhan dirinya sendiri seperti masalah
akhlak, makanan dan minuman, serta cara berpakaian. Termasuk juga syariat yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya (mu’amalah) seperti
masalah sosial kemasyarakatan, perekonomian, pendidikan, politik, pemerintahan,
dan tata cara bernegara.19 Pada hubungan agama dan negara, agama menduduki
posisi penting sebagai sebuah kebenaran yang harus diwjudkan dalam sebuah
realitas kehidupan, dan negara dalah sebuah sarana untuk mewujudkan kebenaran
yang dibawa oleh agama didalam realitas kehidupan.

Menurut Abul A’la Maududi, membagi tujuan negara menjadi dua dalam
Islam. Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan
menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang – wenangan. Kedua,
menegakkan sistem berkenaan dengan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat
melalui segala daya dan cara yang dimiliki oleh pemerintah. Sistem yang
membetuk sudut terpenting dalam kehidupan Islam, agar negara menyebarkan

18
Ibid., hlm.69.
19
Muhammad Imarah,Op. Cit., hlm. 32.
kebaikan dan kebajikan serta memerintahkan yang makruf, sebagai tujuan utama
kedatangan Islam ke dunia. Di samping itu agar negara memotong akar-akar
kejahatan, mencegah kemungkaran yang merupakan sesuatu yang paling dibenci
oleh Allah.20

Begitu juga halnya dengan Imam Al – Mawardi menegaskan bahwa


negara merupakan instrument untuk menegakkan misi kenabian guna memelihara
agama dan mengatur dunia.21 Walaupun pada dasarnya memelihara agama dan
mengatur dunia dalah dua aktivitas yang berbebda namun saling membutuhkan
satu sama lainnya. Akhirnya, sebagaimana yang disimpulkan oleh Schacht dalam
Encyclopedia of the Social Science yang dikutip oleh Cecep Supriadi bahwa Islam
tidak hanya sebuah agama, namun juga merupakan ideologi politik dan hukum
yang telah direalisasikan dalam sebuah kekuasaan terbesar dan meluas di berbagai
negara sampai pada hari ini. Islam menunjukan seluruh kebudayaan yang meliputi
agama dan negara yang bersumber pada konsep negara dan ajaran Islam yang
murni.22

Berdasarkan penjelasan di atas antara Islam dan negara tidak terpisahkan,


serta saling mendukung satu sama lainnya, Islam membutuhkan negara agar
syariah dapat diterapkan secara sempurna. Sedangkan negara membutuhkan
agama, karena agama dapat menjaga akhlak dan moral. Oleh sebab itu, agama
harus menjadi pijakan dalam bernegara dan Islam harus bernegara agra bisa
mejadi Kaffah.

20
Abul A’la Maududi, “Khilafah dan Kerajaan”. Terj. Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Mizan,
1996), hlm. 75-76.
21
Imam al-Mawardi, Al-Akam al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Terj. Abdul Hayyie dan
Kamaluddin Nurdin “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, (Jakarta:
GIP, Cet. I, 2000), hlm. 15.
22
Cecep Supriadi, “Relasi Islam dan Negara : Wacana Keislaman dan Keindonesiaan”, Jurnal
Kalimah, Volume 13 No 1, Maret 2015, hlm. 207.

Anda mungkin juga menyukai