Dengan demikian, maka segala bentuk kaitan antara politik dan agama
tidak boleh berlaku, karena bagi paham sekuler tidak seorangpun memerintah atas
otoritas kuasa suci atau kekuasaan yang berdasarkan unsur religious atau
kerohanian. Dari gagasan ini bisa dipahami, bahwa kaum sekuler menolak mati-
matian penerapan syariat Islam dalam kehidupan politik 3 dan bernegara. Dengan
pandangan bahwa pemerintahan agama hanya akan menghambat perubahan dan
kemajuan suatu negara. Didalam buku Religion and Political Development, yang
ditulis oleh Donal Eugen Smith, membagi pemikiran tentang hubungan agama
dan negara ke dalam tipologi perspektif organik dan perspektif sekuler. Para
pendukung perspektif organik, mengklaim perlunya kesatuan agama dan negara.
Mereka memahami bahwa agama meliputi seluruh aspek kehidupan. Sedangkan
para pendukung sekuler, mengklaim perlunya pemisahan, dengan tujuan menjaga
kemurnian agama.4
1
Khalif Muammar, “Dewesternisasi dan Desekularisasi Politik Kontemporer,” Majalah Islamia,
2009, Volume V, Nomor 2, hlm. 100.
2
Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam and Secularism”, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hlm.
18.
3
Adnin Armas, “Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal”: Dialog Interaktif dengan
Aktifis Jaringan Islam Liberal, (Jakarta: GIP, 2003), hlm. 13.
4
Donal Eugene Smith, “Religion and Political Development”, (Boston: Little, Brown and
Company, 1978), hlm. 85.
unsur – unsur kejahatan.5 Maka dengan mendominasinya paham sekularisme akan
mengikis moralitas manusia karna pada dasarnya agama adalah untuk
meningkatkan moralitas manuisa, maka dengan kemenangan sekularisme
moralitas yang menjadi esensi dari agama akan ikut terkikis, Oleh karena itu,
dewasa ini kita banyak melihat manusia yang tidak bermoral walaupun mereka
berpendidikan tinggi, golongan ini disebut schooled and yet uneducated. Dengan
demikian, maka penolakan dan pemisahan politik dari agama menurut beliau
merupakan suatu kejahilan.6
Agama tidak dapat dipisahkan dari ranah politik atau Negara, karena
agama sangat berperan dalam urusan pemerintahan dan kepemimpinan.
Desakralisasi juga dengan jelas menafikan peranan ulama yang berwibawa dalam
sistem pemerintahan. Padahal, Rasulullah SAW sendiri telah mencontohkan
dirinya sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin negara. 7 Memisahkan Islam
dari politik hanya akan menghalangi peranan pandangan hidup Islam tersebar di
dalam masyarakat. Karena dengan begitu, agama menjadi urusan pribadi dan
bukan publik.8
5
Yusuf al-Qardhawi, “Al-Din wa al-Siyasah”, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2007), hlm. 82.
6
Khalif Muammar, “Politik Islam: Antara Demokrasi dan Teokrasi”, Majalah Islami, 2005, Tahun
II. Nomor 6, hlm. 99-102.
7
Sir Thomas Arnold, “The Caliphate”, (London: Oxford University Press, 1924), hlm. 30.
8
Adnin Armas, Op. Cit., hlm 20 – 21.
9
Wan Zahidi Wan Teh, “Pelaksanaan Siyasah Syar’iyyah dalam Pentadbiran Kerajaan”,
(Malaysia: Hazrah Enterprize, Cet. I, 2002), hlm. 9.
10
Hamid Abdul-Majid Quwaysi, “Al-Wazifah al-Aqidiyah li al-Dawlah al-Islamiyah, Dirasah
Minhajiyah fi al-Nazariyah al-Siyasiyah al-Islamiyah”, (Kairo: Da>r al-Tawzi’, 1993), hlm. 133.
politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat
sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.11 Berdasarkan pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa negara adalah sebuah wadah bagi Islam agar seluruh
sayari’atnya bisa terealisasi , sehingga Islam yang rahmatanlil’alamin bisa
terwujud. Negara, sebagaimana dikemukakan Mac Iver dalam bukunya The
Modern State, seperti dikutip Rumadi, menyatakan bahwa pada dasarnya, ide
pembentukan negara adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat guna
mewujudkan kehidupan masyarakat yang bahagia.12 Inilah mengapa Islam
membutuhkan negara sebaga sebuah wadah atau sarana untuk bisa mendatangkan
kabahagian bagi umatnya dalam sebuah negara, yang mana kebahagian ini bukan
berdasarkan standar nilai dari manusia melainkan berdasarkan kehendak dari
tuhan yang dituangkan melalui wahyunya, sebaga mana firman Allah SWT dalam
surah Al – Anbiya : 107
Menurut tafasir Ibnu Katsir pada ayat ini bahawa Allah Swt. berfirman,
memberitahukan tentang apa yang telah dipastikanNya dan apa yang telah
ditetapkan-Nya buat hamba-hamba-Nya yang saleh, yaitu kebahagiaan di dunia
dan akhirat; di dunia dipusakakan-Nya bumi ini kepada mereka, selain
kebahagiaan di akhirat nanti yang menjadi milik mereka, dan Melalui ayat ini
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia menjadikan Muhammad Saw. sebagai
rahmat buat semesta alam. Dengan kata lain, Dia mengutusnya sebagai rahmat
buat mereka. Maka barang siapa yang menerima rahmat ini dan mensyukurinya,
11
https://kbbi.lektur.id/. Di akses pada 22 September 2022, pukul 12:55 WIB.
12
Rumadi, “Agama dan Negara; Dilema Regulasi Kehidupan Beragama di Indonesia”, dalam
Istiqra’, Jurnal Penelitian Ditpertais, Volume 04, Nomor 01, 2005, hlm. 119.
13
https://quran.kemenag.go.id/. Di akses pada 22 September 2022, pukul 13:23 WIB.
berbahagialah ia di dunia dan akhiratnya. Dan barang siapa yang menolak serta
mengingkarinya, maka merugilah ia di dunia dan akhiratnya.14
14
http://www.ibnukatsironline.com/. Diakses pada 22 September 2022, pukul 13:32 WIB.
15
Abdurahman Ibnu Khaldun, “Muqaddimah Ibnu Khaldun”, (Beirut: Dar al-Kutub al - ‘Ilmiyyah.
Cet. VIII, 2003), hlm. 188.
16
Muhammad Imarah, “Al-Islam wa Darurah al-Taghyir”, (Kuwait: Majalah ‘Arobi, Cet. I, 15
Juli 1997), hlm. 34.
17
K.H. Afifuddin Muhajir, “Fiqh Tata Negara”, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), hlm. 16.
syarat dan istrumen wajib bagi terlaksananya aturan – aturan syari’at. 18 Hal ini
sesuai dengan kaidah Fiqh:
َم ا َال َيِتُّم الَو اِج ُب ِإَّال ِبِه َفُهَو َو اِج ٌب
Artinya: Sesuatu yang menjadi syarat terwujudnya perkara wajib adalah
wajib.
Salah satu ajaran Islam adalah kewajiban berislam secara kaffah. Berislam
secara kaffah memiliki makna mengamalkan syariat Islam dengan baik dan benar
sesuai dengan tuntunan yang diajarkan. Baik syariat yang mengatur hubungan
manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai Maha Pencipta, atau yang
mengatur hubungan manusia untuk kebutuhan dirinya sendiri seperti masalah
akhlak, makanan dan minuman, serta cara berpakaian. Termasuk juga syariat yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya (mu’amalah) seperti
masalah sosial kemasyarakatan, perekonomian, pendidikan, politik, pemerintahan,
dan tata cara bernegara.19 Pada hubungan agama dan negara, agama menduduki
posisi penting sebagai sebuah kebenaran yang harus diwjudkan dalam sebuah
realitas kehidupan, dan negara dalah sebuah sarana untuk mewujudkan kebenaran
yang dibawa oleh agama didalam realitas kehidupan.
Menurut Abul A’la Maududi, membagi tujuan negara menjadi dua dalam
Islam. Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan
menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang – wenangan. Kedua,
menegakkan sistem berkenaan dengan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat
melalui segala daya dan cara yang dimiliki oleh pemerintah. Sistem yang
membetuk sudut terpenting dalam kehidupan Islam, agar negara menyebarkan
18
Ibid., hlm.69.
19
Muhammad Imarah,Op. Cit., hlm. 32.
kebaikan dan kebajikan serta memerintahkan yang makruf, sebagai tujuan utama
kedatangan Islam ke dunia. Di samping itu agar negara memotong akar-akar
kejahatan, mencegah kemungkaran yang merupakan sesuatu yang paling dibenci
oleh Allah.20
20
Abul A’la Maududi, “Khilafah dan Kerajaan”. Terj. Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Mizan,
1996), hlm. 75-76.
21
Imam al-Mawardi, Al-Akam al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Terj. Abdul Hayyie dan
Kamaluddin Nurdin “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, (Jakarta:
GIP, Cet. I, 2000), hlm. 15.
22
Cecep Supriadi, “Relasi Islam dan Negara : Wacana Keislaman dan Keindonesiaan”, Jurnal
Kalimah, Volume 13 No 1, Maret 2015, hlm. 207.