Anda di halaman 1dari 15

HUBUNGAN NEGARA HUKUM DENGAN ISLAM DAN

PRINSIP NOMOKRASI ISLAM

Disusun oleh :

Nama : Kurniawan Dedy Permono

NIM : 20150610051

Kelas : A

Tugas Politik dan Ketatanegaraan Islam


Dosen : Anang Sya’roni, S.H., M.Hum.

FAKULTAS HUKUM JURUSAN ILMU HUKUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu karakteristik agama Islam pada masa awal penampilannya, ialah kejayaan

di bidang politik. Penuturan sejarah Islam dipenuhi oleh kisah kejayaan itu sejak nabi

Muhammad s.a.w sendiri (periode Madinah) sampai masa-masa jauh sesudah beliau wafat.

Terjalin dengan kejayaan politik itu ialah sukses yang spektakuler ekspansi militer kaum

muslimin, khususnya yang terjadi di bawah pimpinan sahabat nabi. Maxim rodinson seorang

Marxis ahli Islam, menegaskan bahwa agama Islam menyuguhkan kepada para pemeluknya

suatu proyek kemayarakatan, suatu program yan harus diwujudkan di muka bumi. Karena itu,

kata Rodinson, Agama Islam tidak bisa disamakan dengan agama kristen atau budhisme,

sebab Islam tidak hanya menampilkan dirinya sendiri sebagai penghimpunan kaum beriman

yang mempercayai kebenaran satu dan sama, melainkan juga sebagai suatu masyarakat yang

total.

Kenyataan historis tersebut menjadi dasar bagi adanya pandangan yang merata dikalangan

para ahli dan awam, baik muslim maupun bukan muslim, bahwa Islam adalah agama yang

terkait erat dengan dengan kenegaraan. Tapi Nurkhollis Madjid mengatakan bahwa agama

merupakan masalah spiritual-pribadi yang tidak dapat, tidak boleh dan tidak mungkin

mencapuri urusan kenegaraan yang merupakan masalah rasional-kolektif.

Diskursus mengenai Islam dan Negara ini menjadi suatu topik yang menarik untuk

dibicarakan. Pertanyaan mengenai apakah Islam mempunyai suatu tata aturan negara yang

khusus atau tidak, menjadi sorotan dalam masalah ini. Namun yang menjadi persoalan adalah

nabi tidak meninggalkan satu sunnah yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan negara

itu, misalnya bagaimana sistem pengangkatan kepala negara, siapa yang berhak menetapkan
undang-undang, kepada siapa kepala negara bertanggung jawab dan bagaimana bentuk

pertanggungjawaban tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan Islam dengan ketatanegaraan?

2. Apa saja prinsip-prinsip negara hukum Islam?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan Islam dengan Negara

Jika disebut negara, pasti ia sebuah teritorial kekuasaan (wilayah) dengan seperangkat

perundang-undangan (konstitusi) serta adanya penguasa dan rakyat. Dalam hubungannya

dengan agama, negara terasa penting sebagai wasilah pembumian konsepsi-konsepsi dalam

ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab dari situ akan dapat dikatakan sejauh mana

tingkat kebudayaan dan peradaban suatu bangsa, termasuk seberapa besar refleksi

keberagaman ter-ejawatah-kan dalam keseharian sebuah pemeritahan. Semua sangat

bergantung kepada kemauannya sebagai penguasa karena annasu ‘ala dini mulukihim/

masyarakat itu cenderung mengikuti pola dan perilaku pemimpinnya.

Hubungan Islam dengan negara menurut para sosiologi teotisi politik islam

merumuskan beberapa teori tentang hubungan Agama dan negara. Teori tersebut dapat

diketahui melalui 3 paradigma pemikiran yaitu :

1. Paradigma integralistik (unifed paradigm) Paradigma integralistik adalah suatu

paradigma yang menempatkan agama dan negara sebagai kesatuan yang utuh.

Wilayah agama meliputi politik atau negara sekaligus. Menurut paradigma ini, kepala

negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya

diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Illahi" (divine soveregnty), karena pendukung

paradigma ini menyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di "Tangan Tuhan".

Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishad fil I’tiqad halaman 199 berkata:

“dikatakanlah bahwa agama dan negara adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula

bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu

yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak
berpenjaga niscaya akan hilang lenyap.” Tokoh-tokoh pendukung paradigma ini

antara lain Imam khomeini, Mohammad Natsir, Zainal Abidin Ahmad. Menurut Imam

khomeini, “dalam negara Islam wewenang menetapkan hukum berada pada Tuhan.

Tidak seorang pun berhak menetapkan hukum. Dan yang boleh berlaku hanya hukum

Tuhan”. Abu al-A’la al-maududi menambahkan: “syarih adalah skema kehidupan

yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih

dan tidak ada yang kurang”. Menurut pandangan Mohammad Natsir tentang

hubungan agama (Islam) dan negara yang tercantum dalam bukunya yang berjudul

islam sebagai ideologie, natsir membahas masalah hubungan Islam dan negara

mendasarkan uraiannya pada ayat Al-Qur’an: “dan kami tidak jadikan manusia,

melainkan supaya mereka menyembah kepada Aku” (an-naml ayat 56) dari ayat ini

Natsir mengembangkan teorinya dengan mengatakan:..”seorang Islam hidup diatas

dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti

yang sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan

di akhirat. Dunia dan akhirat tidak mungkin dapat dipisahkan dari idiologi mereka.

Selanjutnya di dalihkan bahwa negara sebagai negara sebagai kekuatan dunia

merupakan sesuatu yang mutlak bagi al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah aturan-

aturan dan ajaran-ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi Natsir,

negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah demi

keselamatan dan kesentosaan manusia. Karena itu Natsir membela prinsip persatuan

agama dengan negara. Menurut pandangan Zainal Abidin Ahmad dalam pidatonya di

depan Majelis Konstituante, mengajukan dua alasan pokok mengapa Islam dipilihnya

sebagai dasar negara. Pertama, kelompok penguasa harus mendapat persetujuan dari

golongan rakyat mayoritas, dan kedua golongan minoritas haruslah terjamin hak-

haknya. Syarat pertama, menurutnya, sudah jelas, sebab mayoritas rakyat Indonesia
adalah penganut Islam, tetapi bila dilihat dari sudut pandang politik, alasan semacam

ini bersifat ilusif, Ahmad mengutip pendapat seorang penulis yang mengatakan bahwa

dalam Islam “..agama untuk tuhan, dan tanah air untuk manusia bersama”, dengan

tidak memandang agama, perbedaan ras, kecenderungan politik mereka dll. Adapun

tentang prinsip kedua, Ahmad menjamin bahwa dalam suatu negara Islam seperti

yang diciptakan Nabi di Madinah, warga negaranya tidak hanya terdiri dari umat

Islam, tetapi juga orang munafik dan yahudi. Mereka semua menikmati status yang

sama. Kaum non muslim tersebut dinamakan sebagai " Mu'ahad". Mereka ini adalah

orang-orang yang bukan muslim , yang telah berjanji setia kepada negara Islam , yaitu

golongan minoritas dalam negara Islam . Dan Allah SWT menjamin hak atas

keselamatan jiwa mereka. Hadits shahih dari bukhari: Dari Abdullah bin Amru r.a.

dari Nabi saw. beliau bersabda: " Siapa yang membunuh seorang mu'ahad tidak akan

membaui bau surga, sedang baunya itu tercium sejauh perjalanan empat puluh tahun”.

Contoh-contoh negara yang menggunakan idiologi ini ialah Arab Saudi, Malaysia,

Iran, Mauritania, Pakistan.

2. Paradigma Simbiotik, Paradigma ini menempatkan relasi Agama dan Negara bersifat

timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena

dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan

agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan

moral spiritual. Al Mawardy mengatakan: “kepemimpinan negara merupakan

instrumen untuk meneruskan misi kenabian dalam memelihara agama dan mengatur

dunia”. Argumen ini didukung oleh Ibnu Taimiyah: sesungguhnya adanya kekuasaan

yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban agama yang terbesar, sebab

tanpa kekuasaan negara, agama tidak bisa berdiri tegak”.


3. Paradigma Sekularistik, Paradigma ini mengajukan pemisahan agama atas Negara dan

pemisahan negara atas negara. Ali abd Ar-Raziq menjelaskan: “Islam tidak

menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum

muslim suatu sistem pemerintah tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tapi

Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara

sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita milki dan

dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman”.

Sedangkan menurut Nurcholis Madjid, agama merupakan masalah spiritual-pribadi

yang tidak dapat, tidak boleh, dan tidak mungkin mencampuri urusan kenegaraan yang

merupakan masalah rasional kolektif. Agama dan negara mempunyai dimensi sendiri-sendiri

dengan jalur pendekatan yang berbeda pula. Oleh karena itu, menurut Nurkholis Madjid

identitas Islam tidak mungkin diterapkan kepada negara, karena negara adalah salah satu segi

kehidupan duniawi yang dimensinya rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek

kehidupan lain (ukhrawi) yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi. Contoh Negara

sekuler adalah Amerika, inggris, dan sebagainya.

B. Prinsip-Prinsip Negara Hukum Islam (Nomokrasi Islam)

Prinsip-prinsip umum nomokrasi Islam menurut Al Qur’an dan As Sunnah adalah

sebgai berikut:

1. Prinsip Kekuasaan sebagai Amanah

Perkataan amanah tercantum dalam Al Qur’an, surah An Nisaa ayat 58. Apabila

ayat tersebut dirumuskan dengan menggunakan metode pembentukan garis hukum

sebagaimana diajarkan oleh hazairin dan dikembangkan oleh sayuti Thalib, maka dari itu

dapat ditarik dua garis hukum yaitu (1). Manusia diwajibkan menyampaikan amanah atau
amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan (2). Manusia diwajibkan menetapkan

hukum dengan adil.

Dalam nomokrasi Islam kekuasaan adalah suatu karunia atau ni’mat Allah artinya

ia merupakan rahmat dan kebahagiaan bak bagi yang menerima kekuasaan itu maupun

bagi rakyatnya. Ini dapat terjadi, apabila kekuasaan itu diimplementasikan menurut

petunjuk Al Qur’an dan tradisi nabi Muhammad, sebaliknya jika kekuasaan itu diterapkan

dengan cara yang menyimpang atau bertentangan dengan prinsip dasar Al Qur’an dan

Sunnah maka akan hilanglah makna hakiki kekuasaan yaitu merupakan karunia atau

nikmat Allah. Dalam keadaan begini kekuasaan bukan lagi merupakan karunia Allah dan

nikmat Allah melainkan kekuasaan yang semacam ini akan menjadi bencana dan laknat

Allah.

2. Prinsip Musyawarah.

Dalam sebuah hadist nabi digambarkan sebagai orang yang paling banyak

melakukan musyawarah. Beliau melakukan hal ini karena prinsip musyawarah adalah

merupakan suatu perintah Allah sebagaimana digariskan dalam ayat yang kedua yang

dengan tegas menyebutkan perintah itu dalam surat Ali Imron ayat 159. Yang artinya “…

bermusyawarahlah engkau hai Muhammad dengan mereka dalam setiap urusan

kemasyarakatan”. Ayat yang terakhir ini apabila dijadikan sebagai suatu garis hukum

maka ia dapat dirumuskan sebagai berikut: ”hai Muhammad engkau wajib

bermusyawarah dengan para sahabat dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan”.

Atau secara lebih umum ”umat islam wajib bermusyawarah dalam memecahkan setiap

masalah kenegaraan’. Kewajiban ini terutama dibebankan kepada setiap

penguasa/penyelenggara kekuasaan Negara dalam melaksanakan kekuasaannya.

3. Prinsip Keadilan
Perkataan keadilan bersumber dari Al Qur’an cukup banyak ayat Al qur’an yang

menggambarkan tentang keadilan. Dalam surat An Nisaa ayat 135, Dapat dtarik tiga garis

hukum dari ayat tersebut, yaitu: (1). Menegakkan keadilan adaah kewajiban orang-orang

yang berima; (2). Setiap mukmin apabila menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi

karena Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil; (3). Manusia dilarang mengikuti hawa

nafsu, dilarang menyelewenagkan kebenaran.

Dalam ayat lain Allah mengulangi lagi kewajiban manusia menegakkan keadilan

dan menjadi saksi yang adil. Ayat ini tercantum dalam surat Al maidah ayat 8. Marsel A

Boisard menegaskan bahwa dalam doktrin islam keadilan merupakan gerak dari nilai-

nilai yang pokok. Maka keadilan merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dalam

Al Qur’an. Apabila prinsip keadilan dikaitkan dengan nomokrasi islam, maka ia harus

selalu dilihat dari segi fungsi kekuasaan Negara. Fungsi itu mencakup tiga kewajiban

pokok bagi penyelenggara Negara atau suatu pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan

yaitu:

 kewajiban menerapkan kekuasaan Negara dengan adil, jujur dan bijaksana.

Seluruh rakyat tanpa kecuali harus mendapatkan nikmat.

 Keadilan yang timbul dari kekuasaan Negara dalam bidang politik dan

pemerintahan semua rakyat harus dapat memperoleh hak-haknya secara adil tanpa

diskriminasi.

 Kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya.

4. Prinsip Persamaan

Prinsip persamaan dalam nomokrasi islam mengandung aspek yang luas.

Mencakup persamaan dalam segala bidang kehidupan. Persamaan itu meliputi ika ada

sementara pihak bidang hukum, politik, ekonomi, social dan lainnya. Persamaan dalam

bidang hukum memberikan jaminan akan perlakuan dan perlindungan hukum yang sama
terhadap semua manusia tanpa memandang kedudukannya. Prinsip ini telah ditegakkan

oleh Rasul Muhammad sebagai kepala Negara Madinah, ketika ada pihak yang

menginginkan dispensasi karena tersangka berasal dari kelompok elit. Nabi berkata dalam

hal tersebut: Demi Allah seandainya Fatimah putriku mencuri tetap akan kupotong

tangannya:”

Hadist diatas menunjukkan bahwa hukum harus dilaksanakan terhadap siapa saja, tanpa

memandang latar belakang keturunan atau kedudukannya.

5. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.

Dalam nomokrasi islam hak-hak asasi manusia bukan hanya diakui tetapi juga

dilindungi sepenuhnya. Karena itu, dalam hubungan ini ada dua prinsip yang sangat

penting yaitu prinsip pengakuan hak-hak asasi manusia dan prinsip perlindungan terhadap

hak-hak tersebut.

Prinsip pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar yang dikaruniakan Allah

kepadanya. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi dalam nomokrasi islam

ditekankan pada tiga hal utama yaitu: (1). Persamaan manusia, (2). Martabat manusia (3).

Kebebasan manusia, dalam persamaan manusia sebagaimana ytelah dijelaskan dalam

paragraph yang lalu Al Qur’an telah menggariskan dan menetapkan suatu status atau

kedudukan yang sama bagi semua manusia. Karena itu Al Qur’an menentang dan

menolak setiap bentuk perlakuan dan sikap yang mungkin dapat menghancurkan prinsip

persamaan, seperti diskriminasi dalam segala bidang kehidupan, feodalisme,

kolonialisme, dan lain.lain.

6. Prinsip Peradilan Bebas

Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam

nomokrasi islam seseorang hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam makna setiap

putusan yang diambil bebas dari pengaruh siapapun. Hakim wajib menerapkan prinsip
keadilan dan persamaan terhadap siapapun. Al Qur’an menetapkan suatu garis hukum:’…

apabila kamu menetapkan hukum antara manusia hendaklah kamu tetapkan dengan adil”.

Putusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum terhadap siapapun. Seorang

yuris islam terkenal Abu hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman harus

memiliki kebebasan dari segala bentuk tekanan dan campur tangan kekuasaan eksekutif,

bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan

keputusan pada seorang penguasa apabila melanggar hak-hak rakyat. Prinsip peradilan

bebas dalam nomokrasi islam bukan hanya sekedar ciri bagi suatu Negara hukum, tetapi

juga merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap hakim. Peradilan

bebas merupakan persyaratan bagi tegaknya prinsip keadilan dan persamaan hukum.

Dalam nomokrasi islam, hakim memiliki kedudukan yang bebas dari pengaruh

siapapun. Hakim bebas pula menentukan dan menetapkan putusannya. Bahkan ia

memiliki suatu kewenangan untuk melakukan ijtihad dalam penegakan hukum. Ketika

muadz bin jabal diangkat oleh nabi sebagai hakim di yaman, nabi sebagai kepala Negara

madinah bertanya kepada muadz sebelum ia menempati posnya. Dengan apa engkau

mengadilik suatu perkara? Jawab muadz dengan Al Quran, jika didalamnya tidak engkau

jumpai ketentuan hukumnya ? kata nabi selanjutnya. Muadz menjawab dengan sunnah

Rasul, kalau dalam sunahku juga tidak ada? Saya akan berijtihad dengan menggunakan

akal pikiran saya.

7. Prinsip Perdamaian

Salah satu tugas pokok yang dibawa rasulullah melalui ajaran islam adalah

mewujudkan perdamaian bagi seluruh manusia dimuka bumi ini. Arti perkataan islam itu

sendiri kecuali penundukan diri kepada Allah, keselamatan, kesejahteraan dan pula ia

mengandung suatu makna yang didambakan oleh setiap orang yaitu perdamaian. Al
Qur’an dengan tegas menyeru manusia yang beriman agar masuk kedalam perdamaian;”

wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu semua dalam perdamaian”.

Nomokrasi islam harus ditegakkan atas prinsip perdamaian. Hubungan dengan

Negara-negara lain harus djalin dan berpegang pada prinsip perdamaian. Pada dasarnya

sikap permusuhan atau perang merupakan suatu yang terlarang dalam Al-Qur’an. Perang

hanya merupakan suatu tindakan darurat dan bersifat defensive atau membela diri. Al-

Qur’an hanya mengizinkan tindakan kekerasan atau perang apabila pihak lain memulai

lebih dahulu melancarkan. Al-Qur’an mengatur hukum perang dan menggariskan

sebagaimana digariskan dalam Surat Al Baqarah 194. Artinya: dan terhadap orang yang

menyerangmu, maka seranglah ia seperti ia menyerang kamu”. Begitu juga dalam surat

Al Baqarah ayat 190: Artinya: berperanglah demi Allah melawan orang-orang yang

memerangi kamu tetapi janganlah kamu memulai permusuhan. Sesungguhnya Allah tidak

menyukai orang yang memulai permusuhan. Apabila tindakan kekerasan atau perang

terpaksa dilakukan, maka nabi Muhammad Saw. Telah memberikan beberapa kaedah

dalam hukum perang. Dengan menggunakan prinsip kewajaran dan kasih sayang terhadap

sesama manusia.

8. Prinsip Kesejahteraan.

Prinsip kesejahteraan dalam nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan

keadilan social dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat. Tugas itu

dibebankan kepada penyelenggara Negara dan masyarakat. Pengertian keadilan social

dalam nomokrasi islam bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan materiil atau

kebendaan saja. Akan tetapi mencakup pula pemenuhan kebutuhan spiritual dari seluruh

rakyat. Negara berkewajiabn memperhatikan dua macam kebutuhan itu dan menyediakan

jaminan social untuk mereka yang kurang atau tidak mampu.


Al-Qur’an telah menetapkan sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan social

bagi anggota masyarakat yang memerlukannya dengan berpedoman pada prinsip keadilan

social dan keadilan ekonomi. Sumber-sumber dana tersebut antara lain adalah Zakat,

infaq Sodaqoh, hibah dan wakaf dengan tidak menutup kemungkinan bagi pendapatan

pendapatan Negara dari sumber-sumber lain, seperti pajak, bea dan lain-lain. Nomokrasi

islam keadilan social dan keadilan ekonomi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya

penimbunan harta ditangan seseorang atau sekelompok orang sementara anggota

masyarakat lainnya mengalami kemiskinan. Salah satu misi islam ialah memerangi

kemiskinan, sekurangnya menghilangkan kesenjangan antara golongan orang yang

mampu dan yang tidak mampu. Pendirian Al Qur’an mengenai kedudukan harta ialah

bahwa harta milik seseorang mempunyai fungsi social karena itu bukan merupakan

kepemilikan yang bersifat mutlak. Al Qur’an menegaskan bahwa didalam harta milik

golongan hartawan itu ada hak orang lain yang membutuhkannya, maka ada kewajiban

zakat sekurangnya 2 .1/2 % dari harta kekayaan.

9. Prinsip Ketaatan Rakyat.

Al-Qur’an telah menetapkan suatu prinsip yang dapat dinamakan sebagai prinsip

ketaatan rakyat prinsip itu ditegaskan didalam surah An Nisaa:59 yang artinya: hai orang-

orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulnya serta orang-orang

yang berwenang dianara kamu. Apabila kamu berbeda pendapat tentang suatu hal maka

kembalilah kepada Allah (Al Qur’an) dan rasulnya (sunah) jika kamu benar-benar

beriman kepada Allah dan hari kiamat, yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih

baik akibatnya.

Prinsip ketaatan rakyat mengandung makna bahwa seluruh rakyat tanpa kecuali

berkewajiban mentaati pemerintah. Kewajiban rakyat untuk mentaati penguasa atau

pemerintah adalah sepanjang penguasa atau pemerintah itu menerapkan prinsip-prinsip


nomokrasi, atau dengan perkataan lain penguasa atau pemerintah tidak bersikap dzalim

(tiran atau otoriter/dictator) selama itu pula rakyat wajib taat dan tunduk kepada penguasa

atau pemerintah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hubungan Islam dan negara menjadi suatu dasar pemikiran mengenai apakah Islam

harus menjadi landasan atau ideologi untuk diselenggarakannya sebuah tata negara terutama

dalam masyarakat muslim. Pandangan tentangnya menjadi bermacam-macam, dan

penerapannyapun di setiap negara berbeda, ada yang benar-benar menjadikan Islam sebagai

ideologi bangsa dan ada pula yang memisahkan antara keduanya. Sikap bangsa yang

demikian tentu karena lahir dari cara pandangannya mengenai relasi agama dan negara.

Nomokrasi islam adalah suatu Negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum

sebagai berikut:

1. Prinsip Kekuasaan sebagai amanah.

2. Prinsip Musyawarah,

3. Prinsip Keadilan;

4. Prinsip Persamaan;

5. Prinsip Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia,

6. Prinsip peradilan bebas;

7. Prinsip perdamaian,
8. Prinsip kesejahteraan;

9. Prinsip ketaatan rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Kafie, Jamaluddin. Islam, Agama, dan Negara. 1983. Surabaya : PT. Bina Ilmu

Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-

Liberal. 2005. Jakarta : Gema Insani

M. Hasbi Amirudin, 2000, Konsep Islam menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta : UII Press.

Misrawi, Zuhairi, 2004, Doktrin Islam Progresif : Islam Sebagai Ajaran Rahmat, Jakarta:

LSIP Jakarta.

http://www.voa-islam.com/islamia/aqidah/2011/09/13/16110/siapakah-pemimpin-muslim-

amirul-mukminin-itu/

http://reocities.com/capitolhill/embassy/4083/tarbiyah/konsepnegara.html

http://hilmanmuchsin.blogspot.co.id/2015/01/konsep-negara-hukum-menurut-syariah.html

Anda mungkin juga menyukai