Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

FIQH SIYASAH TENTANG SISTEM KETATANEGARAAN DAN SISTEM


POLITIK ERA NABI SAW
Tugas ini disusun untuk memenuhi mata kuliah fiqh siyasah
Dosen pengampu: Ismail Marzuki, M.A.Hk

Disusun oleh:
Imroatun Solekah (2002016011)
Muhammad Wildan Mubarok (2002016051)
Muhammad Hananza Rofianda (2002016063)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
UIN WALISONGO SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang
senantiasa mencurahkan rahmatnya kepada kita semua. Shalawat dan salam juga senantiasa
kiranya penulis limpahkan kepada nabi Muhammad SAW. Penulis juga mengucapkan banyak
terima kasih kepada dosen yang bersangkutan yang telah memberikan kesempatan waktu
untuk penyelesaian makalah ini dan dengan limpahan rahmat dan karunia Allah sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah fiqh munakahat yang berjudul
“SISTEM KETATANEGARAAN DAN SISTEM POLITIK ERA NABI SAW” guna
untuk
memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah fiqh munakahat.

Pemakalah meyakini bahwa di dalam penulisan makalah ini tentu masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan maupun penguasaan materi. kami sangat
mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun
kemajuan dalam berfikir untuk penulis agar makalah ini dapat dibuat dengan yang lebih
sempurna lagi.

Akhirnya kepada Allah juga lah penulis minta ampun, semoga dengan adanya
makalah ini dapat memberikan sedikit ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan dapat
menambah pengetahuan kita yang sudah ada sebelumnya. Amin.

Semarang, 20 Agustus 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan agama dan politik menjadi topik pembicaraan menarik, baik oleh golongan
yang berpegang kuat pada ajaran agama maupun oleh golongan yang berpandangan sekuler.
Munculnya masalah tersebut dipandang wajar disebabkan karena risalah islam yang dibawa
Nabi Muhammad SAW adalah agama yang penuh dengan ajaran dan undang-undang yang
bertujuan membangun manusia guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Permasalahan pertama yang dipersoalkan oleh generasi pertama umat islam sesudah
Rasulullah Wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti beliau.

Sistem politik Islam memang berbeda dengan sistem-sistem politik lainnya. Satu perkara
yang paling penting dalam sistem politik Islam adalah bahwa kedaulatan itu tidak di tangan
rakyat maupun Kepala Negara, melainkan ditangan syara’.1Hanya saja pesan-pesan syara’
yang sifatnya ilahiah itu tidak dimonopoli oleh Kepala Negara (Khalifah) dan tidak
dimanipulasi oleh tokoh agama karena kedudukan seluruh kaum muslimin di depan syara’
(baik dari segi hukum maupun kewajibannya) adalah sama. Oleh karena itu, meskipun
kekuasaan dan wewenang pelaksanaan politik itu terpusat kepada Khalifah, tidak
menyebabkan kelemahan negara Islam, malah justru memperkuatnya.

Eksistensi Madinah sebagai kekuatan ekonomi, agama, dan politik, dan perpaduan antara
keragaman ideologi adalah satu tradisi baru dalam peradaban manusia yang sebelumnya tidak
ada dan tidak dikenal, apalagi dalam konteks kebudayaan bangsa Arab. Kelahiran
pemerintahan Islam Madinah di jazirah Arab telah membawa revolusi rohani (mental) dan
pemikiran yang memproyeksikan pembangunan tata dunia baru yang dipijakkan pada
kekuatan moral dan ditumpukan pada kekuatan agama dalam membentuk etika baru di mana
kekuasaan dipandu oleh akhlak, persamaan, dan saling menghormati yang begitu mendalam.
Madinah dengan caranya sendiri telah berusaha dan menjelma menjadi negara baru yang
dihuni oleh penduduk egaliter yang semangat, spirit perjuangan dan cita-citanya masih terasa
sampai sekarang.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana sistem ketatanegaraan dan sistem politik zaman Nabi SAW
b. Bagaimana isi piagam Madinah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sistem pemerintahan pada zaman Nabi SAW
2. Untuk memahami dan mengetahui isi piagam Madinah
BAB II
PEMBAHASA
N

A. Sistem Ketatanegaraan Islam di Era Nabi Muh SAW


Dalam konteks politik dan kekuasaan, Islam selalu menekankan pentingnya kesadaran
kolektif bahwa kekuasaan tertinggi atau puncak segala kekuasaan dan politik adalah
“siyāsah ilāhiyyah wa inābah nabawiyyah” yang menunggalkan otoritas kekuasaan
hanya pada Allah Swt. Dalam bahasa Maududi, pandangan ini selaras dengan politik
keadilan (siyāsah ‘adilah) yang memberikan napas kepada pemerintahan Islam dari
zaman Nabi sampai sekarang. Sistem pemerintahan yang dibangun oleh Nabi Saw
berakar pada konsep “al-mujtama’ al-madani” yang bermuara pada sistem nilai yang
dikaitkan kepada tradisi “al-hanifiyyah al-samhah” sebagai tujuan siyasah syar’iyyah
yang meletakkan dasar-dasar politik Islam sebagai risalah universal.
Pemerintahan Nabi Saw melahirkan perspektif global untuk memupuk kesepahaman
di kalangan elite dan rakyat dalam bentuk tindakan bersama atas dasar muafakat yang
memperhitungkan aspek moral dan prinsip-prinsip hidup yang mulia dan bermartabat.
Pembangunan dasar-dasar politik pemerintahan Nabawi ini menyediakan ruang luas
bagi transformasi peradaban yang bersendikan ilmu dan pemikiran. Madinah dibangun
di atas sebuah konsorsium budaya IslamYahudi-Nasrani-Paganis, dan menjamin
kebebasan beragama serta memberi kesempatan kepada rakyat untuk memupuk
hubungan internasional.
Dalam konteks eksistensi pemerintahan Madinah jika dikaitkan dengan kekuatan
sosiopolitik, perspektif global dalam memanusiakan manusia dan membangun sumber
dayanya dengan landasan iman, ilmu, dan hikmah adalah tradisi tarbiyyah yang
menjamin kesejukan bagi semua lapisan masyarakat. Nabi Saw telah meletakkan
fondasi yang mengokohkan penghayatan Islam sebagai sistem hidup yang menyeluruh
(al-dīn) yang merangkumi bidang kemasyarakatan, ekonomi, politik, pendidikan, dan
kenegaraan.1
Secara sederhana, dari awal pembentukan negara, Nabi telah memikirkan dan
merancang fasilitas penggemblengan sumber daya manusia dan pembelajaran publik,
semisal sistem halaqah di masjid, kuttab, untuk mengajak masyarakat membaca dan
menulis. Di situlah berkumpul ulama dengan berbagai agenda diskusi pemikiran,

1
Khomeini, Ayatullah, (1979), An Islamic State Point of View, (Concept of Islamic State), Islamic Council,
London, hlm. 5
musyawarah, dan pendidikan umat. Kekuatan ini senantiasa konsisten untuk memulai
gerakan perubahan dan mempertahankan prinsip akidah, moral, dan akhlak. Tentu saja
semuanya dibingkai dalam frame solidaritas untuk pembangunan bangsa dan negara,
dalam atmosfer keragaman, pluralitas, dan kebebasan beragama.2
Di kalangan umat Islam dewasa ini terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam,
politik dan negara,3yaitu :
1) Aliran pertama berpendapat bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam
pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan,
sebaliknya Islam adalah agama yang sempuma (kaffah) dan lengkap (kamilah) yang
mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh
utama dari aliran ini antara lain Syaikh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad
Rasyid Ridla dan Abul A’la al-Maududi.
2) Aliran kedua berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang
tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Muhammad
hanyalah seorang Rasul biasaa seperti halnya Rasul- Rasul yang lain, dengan tugas
utama mengajak (dakwah) manusia kepada jalan Tuhannya dengan menjunjung
tinggi nilai moral dan Nabi tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai
suatu negara. Pendapat ini dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer diwakili
oleh seorang ulama Mesir, Ali Abd ar-Raziq dalam risalahnya yang sangat ramai
diperdebatkan, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-dasar Kekuasaan),
pernah mengemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang Rasul dan juru
dakwah, bukan seorang pemimpin negara.
3) Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba
lengkap (al-Islam huwa al-Din wa al-Daulah), tetapi juga menolak anggapan bahwa
Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan
antara manusia dengan Tuhannya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak
terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara. Di antara tokoh yang mendukung pendapat ini adalah Mohammad Husein
Haekal dan Fazlur Rahman.

2
Zuhdi, Mahmud Abdul Majid (1995), “Konsep Pemerintahan Islam dan Pendekatannya dalam Masyarakat
Majemuk – berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah”
3
Ibid., hlm. 16 - 17
B. Proses Pembuatan Piagam Madinah
Latar belakang Piagam Madinah dimulai karena adanya pertentangan antara
kaum-kaum masyarakat di Madinah. Piagam Madinah ditulis pada tahun 622 Masehi
di kota Madinah. Piagam ini pun diklaim sebagai konstitusi tertulis pertama yang ada
di dunia.

Naskah Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal, sebanyak 23 pasal


membicarakan tentang hubungan antara umat Islam yaitu antara kaum Anshat dan
kaum Muhajirin. Sementara 24 pasal lainnya membicarakan tentang hubungan antara
umat Islam dengan umat-umat lainnya, termasuk umat Yahudi. Piagam Madinah ini
juga mengandung peraturan-peraturan yang berasaskan syariat Islam bagi membentuk
sebuah negara yang menempatkan penduduk berbagai suku, ras dan agama yang
tinggal di kota Madinah saat itu, di antaranya yaitu kaum Arab Muhajirin Makkah,
Arab Madinah, dan masyarakat Yahudi.4

a) Isi dan Naskah Piagam Madinah

“Piagam Madinah”

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ini adalah piagam dari
Muhammad Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal dari)
Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan
berjuang bersama mereka.

(1) Sesungguhnya mereka (kaum Muhajirin dari Makkah, kaum Anshat dari Madinah dan
kaum yang menggabungkan diri dengan mereka dalam wilayah Madinah) itu merupakan satu
umat, di antara komunitas masyarakat lain.

(2) Kaum Muhajirin dari Quraisy tetap dalam kebiasaan mereka dalam bahu-membahu
membayar diyat (tebusan atas pembunuhan) di antara mereka dan mereka membayar tebusan
tawanan dengan cara baik dan adil di antara Mukminin.

(3) Banu ‘Auf tetap dengan kebiasaan mereka dan bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara kaum mukminin.

4
Mawdudi, Abul A’la (1979), Islamic State and Constitution, London: Islamic Council of Europe, hlm. 14
(4) Banu Sa’idah tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara kaum mukminin.

(5) Banu Al-Hars tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin.

(6) Banu Jusyam tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin.

(7) Banu An-Najjar tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin.

(8) Banu ‘Amr bin ‘Awf tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di
antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan
adil di antara mukminin.

(9) Banu Al-Nabit tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin.

(10) Banu Al-‘Aws tetap dengan kebiasaan mereka bahu-membahu membayar diyat di antara
mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di
antara mukminin.

Piagam Madinah mencakup urusan ibadah, kebijakan, dan toleransi, dan melahirkan
lambang kedaulatan Negara Madinah dan kekuasaan serta kematangan pemerintahan.
Urgensi piagam ini terlihat dalam pelembagaan keadilan sebagai media politik pemerintahan
Islam yang menampilkan gabungan tersendiri dengan kaum Yahudi dan Nasrani untuk
menggerakkan usaha-usaha peningkatan kualitas hidup, memelihara warisan agama dan
memajukan kebudayaan bangsa. Semua itu bertujuan untuk memerdekakan martabat rakyat
dan memberi jaminan kebebasan bersuara dan beragama; serta penetapan sistem kehakiman
yang adil dan bebas dari kezaliman. Piagam itu dibuat untuk menetapkan sendi utama negara
dan untuk mengumumkan kedaulatan muruah Islam di mata dunia. 5

Unsur penting dalam kajian fiqh siyasah dusturiyah terdiri dari tiga hal, yang terdiri
dari pertama, bentuk pemerintahan dan sendi-sendi berdirinya pemerintahan. Kedua,
penghargaan terhadap hak-hak pribadi, dan ketiga. mengenai kekuasaan dan sumbernya.6

Dalam periode pemerintahan Islam disepakati oleh ulama konstitusi tentang adanya
pembatasan lamanya seseorang penguasa berkuasa. Mereka meneliti al- Qur’an dan Sunnah
Nabi saw. bahwa pemerintahan itu dengan adanya konstitusi tidak tertumpu bahwa kekuasaan
pada seseorang saja, tetapi dipilih umat melalui kekuasaan lembaga al-halli wa-al-Aqdi. Hal
ini berdasarkan firman Allah swt. yang memerintahkan untuk melakukan musyawarah
dengan menetapkan kriteria yang disepakati, sebagaimana firmanNya surat Ali Imran (3)
surat 159 yang menyebutkan

‫م فى ا م “ ِر‬
ِ ْ ‫فَاعف ع ْن واس ْر ْ وشاور‬
‫ْْل‬ ‫ت َل م‬ ‫ُ ه ْم‬
‫غف‬
ِ
‫ه‬
Artinya: Dan bermusyarahlah dengan mereka dalam urusan itu

Banyak penjelasan dari sunnah Nabi saw. yang memerintahkan bermusyawarah baik
secara qauli maupun fi’li, begitu juga kebiasaan Khulafa al- Rasyidin yang memerintahkan
untuk melakukan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi sepeninggal
mereka.

Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara yang baru dibentuk ini, Nabi
Muhammad saw. segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. dasar-dasar
tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pembangunan masjid. Selain untuk tempat salat, juga sebagai sarana penting
untuk mempersatuka kaum Muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di
samping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang
dihadapi. Masjid pada masa Nabi Muhammad saw. juga berfungsi sebagai
pusat pemerintahan.

5
Qairuwani, Abdullah ibn Abd al-Rahman (1999), A Madinah view on the Sunnah, Courtesy, Wisdom Battles
and History, London: Taha Publishers, hlm. 12.
6
Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasah al-Syar’iyyah (Kairo: Dar Al-Anshar, 1977), h. 5 dan Abdurrahman Taj, al-
Siyasat alSyar’iyah wa al-Fikih al-Islamiy (Mishr: Dar al-Ta’lif, 1953), h. 32.
b. Ukhuwah Islamiyah. Nabi Muhammad saw. mempersaudarakan antara
golongan Muhajirin, (orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah), dan
Anshar (penduduk Madinah yang sudah masuk Islam dan ikut membantu
kaum Muahjirin) tersebut. Dengan demikian, diharapkan setiap muslim
merasa terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Apa yang
dilakukan Nabi Muhammad saw. ini berarti menciptakan suatu bentuk
persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama,
menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
c. Hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam.
Di Madinah, di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat masyarakat
Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang
mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad saw.
mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Perjanjian ini, dalam
pandangan ketatanegaraan sekarang, sering disebut Konstitusi
Madinah/Piagam Madinah.
C. Konsep Ketatanegaraan Pada Masa Nabi Muhammad saw.

Pemegang otoritas peradilan di zaman Nabi Muhammad saw. adalah Nabi Muhammad
saw. sendiri. Dilihat dari ketatanegaraan modern (trias politica), yakni fungsi yudikatif
(kehakiman), eksekutif (pemerintahan), dan legislatif (pembuat undangundang), Nabi
Muhammad saw. menjalankan ketiga fungsi institusi sekaligus. Di masa Nabi Muhammad
saw., ketiga konsep ketatanegaraan itu disebut dengan:

a. Sultah Tashriiyah (Fungsi Legislatif) Fungsi legislatif yang dijalankan Nabi saw.,
dikarenkan beliau sebagai seorang utusan Allah saw. yang menerima wahyu
(perintah) dari Allah. Karena itu, segala yang diperintahkan Rasul saw. bersumber
dari Al-Quran
(Al-Najm : 3-5), dan umat harus mengikutinya.

‫ع ٗ ش ِد ۡي ُد ا ۡلقُ ٰوى‬ ۡ ‫ِا‬ ‫وما َي ۡنطق عن ٰ ِا ۡن‬


‫ل ه‬ ‫اْل ح‬ ‫ا ۡل و ى‬
\‫ا‬ ‫و‬ ۡ ‫ي‬ ّ ‫و‬
‫م‬ ‫ى‬ ‫حى‬ ٰ ‫و‬ ‫ه‬
Terjemahnya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).
b. Sultah Tanfidziyah (Eksekutif) Kapasitas Nabi Muhammad saw. sebagai kepala
negara dapat dibuktikan dengan tugastugas yang beliau lakukan sebagaimana termuat
dalam berbagai literatur. Diantaranya adalah menunjuk para sahabat untuk menjadi
wali dan
hakim di daerah-daerah dan menunjuk wakil beliau di Madinah bila beliau bertugas
keluar dan melaksanakan musyawarah.
c. Sultah Qadlaiyah (Yudikatif) Nabi Muhammad saw. juga menjalankan fungsi
yudikatif dalam rangka menegakkan keadilan dan menjaga hak masyarakat yang
memerlukan sebuah resolusi lantaran dihantam oleh perselisihan dan konflik.
Selanjutnya, pelaksanaan dan eksekusi dari hukum tersebut, juga dipegang oleh Nabi
Muhammad saw. sebagai bentuk aplikasi dari fungsi eksekutif. Untuk mengadili
pelanggaran ketertiban umum, Nabi saw. membentuk lembaga hisbah. Lembaga ini
antara lain bertugas mengadakan penertiban terhadap perdagangan agar tidak terjadi
kecurangan- kecurangan yang dilakukan pedagang di pasar.7
Bahkan dalam kondisi tertentu, Nabi saw. langsung mengadakan inspeksi
mendadak ke pasar-pasar. Dalam hubungan internasional, kebijakan politik yang
ditempuh Nabi Muhammad saw. adalah menjalin hubungan diplomatik dengan
negaranegara sahabat. Nabi Muhammad saw, juga mengangkat duta-duta sahabat dan
menerima duta-duta negara lain dan melayaninya dengan baik.
D. DASAR HUKUM FIKIH SIYASAH

Prinsip-Prinsip dari Al-Qur’an


1. Kedudukan Manusia di Atas Bumi

‫س ُد ف‬
‫ْيها‬ ‫ُّي‬ ‫ِ َقالُ\ ْٓوا َاَتجعل ف‬ ‫خ ِل‬ ‫ِ ان جاعل ف\\ِى ا ْْل‬ ‫واِ\ ْذ َقال ر ِل‬
‫ْف‬ ‫ْيها‬ \˝‫ْيَفة‬ ‫ْر‬ ‫ي‬ ‫َكة‬ ‫ُّب ْل‬
‫من‬ ‫ض‬ ‫ك‬
‫م‬

ٰ
‫ل‬
‫ِى‬
‫عل مون‬
َ َ‫س َلك ِ قَا ِان ْٓ عَل ما ْل ت‬ ‫ح ِبحم ِدك‬ ‫َون ن‬ َ ‫وي س\ ال‬
‫ل ي ُم‬ ‫ونُ\َق ِّد‬ ‫ح ن \ُسب‬ ‫ف ِّد ك ء‬
‫ا‬

‫ٰا‬

‫م‬
Terjemahnya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui".(Q.S. Al-Baqarah : 30)

2. Prinsip Manusia sebagai Umat yang Satu


‫ب ِبا‬ ‫ر ْين ِ وا مع ُه ُم‬ ‫كان ال نا\ا س َدة ِ َفَبعث ّلُ\ال النا\ب مَبشر ْن‬
‫ْلحق‬ ‫ْنزل‬ ˝
‫ا ْلك ٰت‬ ‫ْين ِذ‬ ‫ّٖيّ\ن‬ ˝‫اُمة‬
‫وم‬ ‫واح‬
ٰۤ ²
‫ِد ج ا ء‬ ‫نا‬ ‫َخت ل فُ\ ْوا ِف يْ ه ِ َخ تلَف ال ا ِذ‬
َ ‫سف‬ ‫ِلَيحك َم ب ن‬
‫ما ْت ُه ُم‬ ‫ْوتُ\وه ْن‬ ‫ِف ْي ْي ه ِا‬ ‫وما ا‬ ‫يْ ما ا‬ ‫ْي النا\ا‬
‫ع‬ ‫م‬ ‫اْل‬

7
’Athiyah Musthafa Masyrifah, Al-Qadha fi al-Islam (beirut: Al-Syaq Ausath, 1966), h. 181
ِ
‫د‬ ‫ُّلال‬ ‫من ا ق ِباِ\ ْذن‬ ‫ن امن ما خَتلَفُ\ ْوا ف‬ ‫الا ِذ‬ ‫ِ ف َه‬ ‫ا ت غي˝\ا ِ َب يْ َن‬
‫ي‬ ‫َي‬ ‫ّٖه‬ ‫ْلح‬ ‫يْ ه‬ ‫ْوا ل ا‬ ‫ْي ّل ُال‬ ‫َدى‬ ‫ْم‬ ‫ْلبَي ب‬
‫ه‬ ‫و‬ ‫ّ ٰن‬
‫من يا\ ۤ ِا ٰلى صراط مستَِق ْي „م‬
‫ء‬ ‫ٰا‬
‫ش‬
Terjemahnya : Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah
mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah
menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu
melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada
mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang
mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu 17 memberi petunjuk orang
yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Q.S Al-Baqarah : 213)

3. Prinsip Persamaan

‫˝ْل‬
‫واح َدة وخلَق م زوجه وب م ْن‬ ‫خل ْ نا‬ ‫ا اتقُ\ ْوا ربا\ ُك ُم‬ ‫ْٓي َا\ يُّ ها‬
‫رجا‬
‫ا ث ُهما‬ ‫س ْن ه‬ ‫ق م ْف‬ ‫الا\ ِذي س‬ ‫النا\ا‬
‫ا‬ ‫من‬
‫ك‬
‫ي ۤ ءُلون َْْل حا َم ّ كان عَل رقِ ْيب˝ا‬ ‫ااتقُ\وا ّل َال‬ “ ‫كِث ْيرا ون‬
‫ْيك ْم‬ ‫ِان لَال‬ ‫ّٖه ْر وا‬ ‫ت ٰا‬ ‫الا\ ِذ و‬ ‫س‬
‫س‬
‫ٰاء‬
Terjemahnya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S An-Nisa : 1)

4. Prinsip Hidup Bertetangga atau Hubungan antar Negara Bertetangga


‫سك‬ ‫ش‬ ‫ُت و‬
\‫وا ْين‬ ‫وِب ِذى ا ْل ق ْليَ ٰت‬ ‫ْ وِبا َد ن س‬ ‫َ شر‬
‫ْل م‬ ‫ْر ٰبى ٰمى وا‬ ‫ي ـ ْل ْي اِح ان‬ ‫كو‬
‫˝ا‬ ِ‫وال‬ ˝ ‫ل اب‬
‫´ا‬ ‫ّٖه‬
‫ّلَال‬ ‫عب‬ ‫ُدوا‬
‫وا‬
ّ ‫و مَل َا ماُن ُك ْم‬ ‫لجنب وا صا ب ْ وا ن س‬ ُ ْ ‫وا ْل جار ذى ا ْل قُ\ ْر ٰبى وا ا‬
‫اِ\ن لَال‬ ‫ما َك ْي‬ ‫ر ل ح ِبا ْل ن ْب ال ِب‬ ‫ْلجا‬
‫ت‬ ‫ْي‬ ‫ب‬
‫ِل‬
‫ج‬
²
‫خور ا‬ ‫من ˝ْل‬ ‫ْل يُ\حب‬
‫كان مخَتا‬
Terjemahnya : Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karibkerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membangga-banggakan diri.” (Q.S An-Nisa :36)

5. Prinsip Bermusyawarah
‫ َفاعف ع ْن‬ª ‫ضوا ح‬ ‫ظ ا ْل‬َ ‫َفِبما رحمة ْنت َل ْم ك ْن ت َفظّ˝ا غ ِل ْي‬
‫ُ ه ْم ك‬ ‫من ول‬ َ ْ ‫ْلَق ْل‬
‫نف‬ ‫“ ّل ِالل‬ ‫من‬
‫ولَو‬
‫ب‬
‫ت عل ّل ِال ّ َلال ا م و ِّكل‬ ‫واست غِف ْر َل وشاور ُه ْم ِفى “ ِر َفاِ\ َذا‬
‫اِن يُ\ح ْل ت ْين‬ ‫َفَتوكل ى‬ ‫عزم م‬ ‫ا ْْل‬ ‫ُ ه ْم‬
‫ب‬
Terjemahnya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka 20 dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S Ali Imran : 159)

6. Prinsip Kepemimpinan
ٰۤ
‫ا‬ ‫ِا‬ ‫ْل ˝ ُ وا ما عِنُّت “ ْم‬ ‫ن َتتا\ ْل ُ وا اَنة دونِك ْم‬ ‫ْٓي َا\ يُّ ها الا‬
‫ْل ب َغ ء‬ ‫قَ ْد َب َد‬ ‫من يَأْلُ\\ون َك ْم ْل ّد‬ ˝ ‫ذ ب‬ ‫ِذ ْي امنُ\وا‬
‫ض‬ ‫خب َا و‬
‫خ‬
‫م وما ت خف \ ُد ْم اَ قَ ْد َبي اناا ك ُم ا ت ُْنت ْم عقُِل ْون‬ªْ ‫من اَ\ ْف وا‬
‫لَ ر ْ ْٰل ٰي اِن َت ك‬ َ ْ
‫كب‬ ‫هه ي ور‬
‫ص‬
Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang 19 yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-
hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati
mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika
kamu memahaminya.” (Q.S Ali Imran/3:118).
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Destinasi terakhir atau terminal politik pemerintahan negara Madinah adalah
untuk menampilkan Islam sebagai wadah perjuangan dengan dasar pemerintahan
yang berusaha menjamin prinsip kejujuran dan kebebasan yang bertanggung jawab
dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya, memacu pertumbuhan ekonomi dan
politik yang lebih rancak di Semenanjung Arab dan dunia secara umum, dengan
prinsip pembangunan yang memuliakan derajat manusia dan mendorong keadilan
bagi seluruh rakyat. Semuanya telah membuahkan hasil yang hebat dan cepat.
Kajian Politik Islam sangatlah sempurna dan merupakan hal yang sangat di
harapkan untuk di praktekkan. Diantara kajian Fiqh Siyasah (Politik Islam) ada
beberapa bagian yang mengatur masalah dalam negeri, luar negeri, keuangan negara,
serta keadaan perang atau darurat dalam negara.
Terlepas dari perbedaan pendapat para pakar politik dalam Islam di atas, yang
perlu diketahui saat ini adalah bahwa dalam kepustakaan Islam telah lama dikenal
Fiqh Politik (Fiqh al-Siyasah), yang mendasari pandangannya bahwa Syari’at Islam di
samping mengatur tentang ketuhanan, hubungan antara manusia dengan Tuhannya
(masalah-masalah ibadah) serta akhlak, tetapi juga mencakup hubungan individu
dengan daulah (Negara dan pemerintah), atau hubungan pemimpin dengan rakyat,
hubungan hakim dengar terdakwa, hubungan pejabat dengan penduduk, yang diatur
dalam Fiqh al-Daulah.
Politik menurut perspektif syari’at, ialah yang menjadikan syari’at sebagai
pangkal tolak, kembali dan bersandar kepadanya, mengaplikasikannya di muka bumi,
menancapkan ajaran- ajaran dan prinsip-prinsipnya di tengah manusia, sekaligus
sebagai tujuan dan sasarannya, sistem dan jalannya. Tujuannya berdasarkan syari’at
dan sistem yang dianut juga berdasarkan syari’at. Islam adalah aqidah dan syari’ah,
agama dan daulah, kebenaran dan kekuatan, ibadah dan kepemimpinan.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Rajab Muhammad, (2000) al-Masjid al-Nabawi bi al-Madinah alMunawwarah


wa Rusumaha fi al-Fann al-Islami, Dar Misry, Kairo
A.Khudori Soleh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, cet.1 Yogyakarta: Jendela,
2003.
Al-Maududi, Sistem-Sistem Politik Islam. Bandung: Mizan, 1775.
Bahadur, Muhammad al-Zarkasyi (1982), I’lam al-Sajid bi Ahkam alMasajid, Kairo:
Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyyah.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. Pengantar Siyasah Syar’iyah, Yogjakarta: Madah, t.th
Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Iqbal. Muhammad. Fikih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007.
Zada, Mujab ibnu Syarif dan Khamami. Fikih Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, Jakarta: Erlangga, 2008.

Anda mungkin juga menyukai