PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan tentang politik Islam tidak pernah kering dari kajian‐kajian yang
dilakukan oleh para akademisi baik dari kalangan Muslim maupun Barat. Perbedaan
pemahaman pun tak terelakkan lagi baik antara kalangan muslim sendiri atau bahkan
merupakan kajian yang cukup rumit akan tetapi tetap menarik dan menantang untuk
dikaji.
Kajian tentang hubungan Islam dan politik adalah suatu kajian yang tidak aka
menimba air Zamzam di tanah suci. Kenapa? Pertama, disebabkan kekayaan sumber
bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam
sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau
menuntut tidak saja kemampuan yang juga menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk
Islam ini agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau‐tak‐mau
1
Nurcholish Madjid, Islam dan Politik: “Suatu Tinjauan Atas Prinsip‐Prinsip Hukum dan Keadilan
dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina”, Volume I Nomor I, Juli Desember 1998 (Jakarta: Paramadina,
1998), h. 48.
Masih menurut pendapat Nurcholis Majdid pula bahwa usaha memahami
masalah politik dalam Islam memang bukan perkara sederhana. Hal itu karena ada
dua alasan. Pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah selama lebih dari empat
belas abad. Jadi akan merupakan suatu kenaifan jika kita menganggap bahwa selama
kurun waktu yang panjang tersebut segala sesuatu tetap stationer dan berhenti.
Kesulitannya ialah, sedikit sekali kalangan kaum Muslim yang memiliki pengetahuan,
apalagi kesadaran, tentang sejarah itu. Kedua, selain beraneka ragamnya bahan‐bahan
belakangnya, juga terdapat perbendaharaan teoritis yang kaya raya tentang politik
yang hambpir setiap kali muncul bersama dengan munculnya sebuah peristiwa atau
belum adanya kesepakatan pendapat mengenai konsep negara Islam. Musdah Mulia,
dalam karya disertasinya tentang pemikiran politik Islam Husain Haekal yang
mengutip pendapat John L. Esposito dalam Islam dan Politik (Jakarta: Bulan Bintang,
didirikan Nabi Muhammad SAW di Madinah yang dipandang ideal ternyata tidak
Umayyah dan Bani Abbas hanya memberikan suatu kerangka mengenai lembaga‐
Islam dan teori politik) hanya menghasilkan rumusan idealis dan teoritis dari suatu
masyarakat yang utopian, dan 4) hubungan agama dan negara dari masa ke masa
2
Nurcholish Madjid, “Kata Sambutan dalam Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran” (Jakarta: UI‐Press, 1993), h. vi‐vii.
3
Musdah Mulia,” Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal”, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 2‐
3.
Munawir Sadzali menyebutkan tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan
kenegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata‐ mata agama
dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan
Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan yang lengkap
bernegara. Karena itu, Islam tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem negara
Barat. Sistem politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah
dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh empat al‐Khulafa al‐Rasyidin.
Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini
Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul‐rasul sebelumnya,
dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia, dan
Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara.
Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba
lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem negara. Tetapi aliran ini juga
menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya
mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya. Dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.4
sekuler, dan moderat. Tipologi tradisional, memandang bahwa Islam adalah agama
dan negara. Hubungan Islam dan negara betul‐betul organic dimana negara
berdasarkan syariat Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif. Yang
termasuk tipologi ini adalah Rasyi Ridla, Sayyid Qutub, Al‐ Maududi, dan di
4
Munawir Sjadzali, “Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah, dan Pemikiran”, (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1993), h. 1‐2.
Indonesia Muhammad Natsir. Tipologi Sekuler, memandang bahwa Islam adalah
agama murni bukan negara. Tipologi ini terbelenggu dan sangat terpesona oleh
pemikiran nation state Barat Modern. Pemikir yang termasuk tipologi ini adalah Ali
politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip‐prinsip moral atau etika dalam
memilih sistem manapun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhammad
B. Rumusan Masalah
pertanyaan yang telah diajukan dalam perumusan masalah. Lebih rinci, peneltian ini
bertujuan untuk:
5
Sukron Kamil, “Peta Pemikiran Politik Islam Modern dan Kontemporer”, Jurnal Universitas
Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: h. 63‐76.
BAB II
PEMBAHASAN
Kondisi masyarakat Mekah pra Islam atau biasa disebut dengan sebutan
masyarakat Jahiliyahdalam beberapa aspek sangat kacau, meskipun dalam
beberapa hal kehidupan yang lain mengalami kemajuan, misalnya dalam
kesusastraan, perangkatperangkat aturan dalam mengatur kehidupan masyarakat
karena pada dasarnya mereka sudah dapat mengatur kehidupan masyarakatnya
dan secara dinamis mereka mampu menjadikan Mekah sebagai salah satu pusat
kota transit perdagangan yang potensial, di mana para pedagang dari Yaman
singgah di kota Mekah sebelum mereka melanjutkan perjalanannya ke Syam
( Syria saat ini ). Dalam aspek sosial, masyarakat Jahiliyah Mekah
mempertahankan sistem kekerabatan (kelan, qabilah atau etnic ), di mana
kehormatan seseorang ditentukan berdasarkan keturunan, dan keturunan yang
tinggi adalah yang memiliki kedudukan tinggi di mata masyarakat. Jadi,
ketinggian martabat atau derajat seseorang bukan didasarkan pada pencapaian
prestasi, melainkan ditentukan oleh garis keturunan atau marga, qabilah. Implikasi
dari sistem ini memunculkan kelas-kelas dalam masyarakat, ada kelas atas, kelas
menengah dan kelas bawah, tidak jauh beda dengan pembagian kasta-kasta dalam
masyarakat penganut agama Hindu; yaitu Akibat dari praktik kehidupan seperti ini
menyebabkan sering terjadi konflik atau perselisihan, bahkan peperangan di antara
mereka, karena bisa dipastikan sering terjadi perlakuan yang tidak adil, kekerasan
dan sebagainya.
Nabi Muhammad saw. di Mekah selama kurang lebih 13 tahun lamanya
setelah kenabian, tidak menerima perintah ( melalui wahyu ) tentang berbagai hal,
baik yang terkait dengan kehidupan sosial keagamaan ataupun sosial
kemasyarakatan secara menyeluruh, melainkan baru sebatas hal-hal yang terkait
dengan keimanan atau akidah. Jadi, ketika Nabi Muhammad saw. masih di Mekah
belum ada perintah perang terhadap orang-orang Kafir yang mengganggu dan
merintangi perjuangannya, kecuali di hari-hari akhir menjelang hijrah ke
Madinah, perintah perang baru kemudian ditentukan.6 Dalam menyikapi sikap
orang-orang kafir Quraisy yang tidak mau menerima kebenaran yang dibawa Nabi
Muhammad saw. Ahmad Salabiy berpendapat setidaknya ada lima faktor yang
menyebabkan kenapa orang-orang Kafir Quraisy tidak menerima atau menentang
perjuangan Nabi Muhammad saw. yaitu;
6
Muhammad Salim al-Awwa, “Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li alDaulah al-Islamiyah” ( Beirut: Dar al-
Syuruq, 1989 ), h.42.
7
A. Salabiy, Sejarah dan Kebudayaan Islam. h. 87 – 90.
Dari aspek lain secara politis sebenarnya orang-orang kafir Quraisy
1). Kedudukan atau jabatan pimpinan, 2). Harta, dan 3). Wanita. Mereka akan
tawaran itu ditolak Nabi, dan bahkan Nabi bersumpah; Demi Allah, jika
mereka meminta aku untuk meletakkan mata hari di tangan kananku dan
masyarakat.8 Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad bukan tipe orang
yang ambisius terhadap kekuasaan atau jabatan, harta dan wanita. Tujuan
8
Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam, h. 21 – 22.
2. Mengangkat Martabat Orang-orang Tertindas
tahap awal. Meskipun dalam kondisi tertekan Nabi Muyhammad saw. terus
yang sangat sulit dan mencemaskan. Tetapi Nabi Muhammad saw. tetap tegar
pemboikotan dan sebagainya.10 Nabi Muhammad saw. tidak patah arang terus
orang mukmin dan bertaqwa dan agar terciptanya kehidupan yang lebih baik
suatu gerakan menghimpun kekuatan. Hal inilah yang kemudian dinilai oleh
kekuasaan mereka.
negeri Habsah.11
11
Ahmad Fadhali, Sejarah Peradaban Islam, h. 6.
12
Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-SiyasiyLi al-Daulah alIslamiyah, h. 46.
umat Islam. Umat Islam saat di Mekah berada dalam kondisi yang
masa depan merekayang lebih baik, hal ini berbeda dengan di Yatsrib
merupakan era baru dalam sejarah peradaban umat Islam.Sejak saat itu
sebelumnya.13
negara baru.14
13
Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, h. 36.
14
Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasah Lid Daulah alIslamiyah, h. 47.
langkah-langkah strategis, yaitu hijrah ke Madinah. Maka penghijrahan
transformasi positif secara cepat. Dari dua langkah strategis itu ( baiat
kepentingan bersama.
2) Jiwa kemasyarakatan.
yang dikehendaki.
3) Dominasi politik.
15
Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasah Lid Daulah alIslamiyah, h. 47.
Ketiga landasan tersebut telah terealisasi setelah umat Islam
politiknya adalah Ibnu Abi Rabi `17. Dalam karyanya; Sulukal-Malik Fiy Tadbir
book dalam mentadbir atau mengelola pemerintahan. Oleh karena buku ini
diperuntukan oleh Ibnu Abi Rabi` kepada kepala negara yang sedang berkuasa
saat itu, Munawir Sjadzali menegaskan dapat dipastikan bahwa Ibnu Abi Rabi
sedang berjalan, bahkan Ibnu Abi Rabi` memberikan dukungan penuh kepada
sistem pemerintahan ini.18 Hal ini mungkin Ibnu Abi Rabi` melihat bahwa sistem
monarki yang sedang berjalan saat itu cukup baik dalam menata kehidupan
16
Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, h. 36.
17
Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, alFikr al-Siyasi fiy al-Islam:
Syakhshiyyat wa Mazahib. h. 204.
18
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 42.
perpolitikan. Mengingat realitas yang ada saat itu bahwa pemerintahan Dinasti
kejayaan. Oleh karennya, wajar jika Ibnu Abi Rabi` tidak mempersoalkan sistem
Sebagai seorang Ilmuan, al-Farabi dari segi pamor jauh lebih terkenal
(masyhur) dibanding Ibnu Abi Rabi. Al-Farabi tergolong tokoh Filsafat terkemuka
Latar belakang situasi dan kondisi politik pada masa hidupnya al-Farabi di era
kekuasaan Dinasti Abbasiyah sangat kacau dan tidak kondusif. Hal ini karena
banyaknya goncangan sebagai akibat dari berbagai gejolak, gesekan, konflik, dan
sejarah pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Situasi ini berdampak pada tidak adanya
Al-Farabi menjadikan politik sebagai ilmu yang sangat penting, di mana ilmu-
ilmu lainnya melayaniilmu politik. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa
19
Muhammad Jalal Syraf, et al. al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 250.
20
Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 250.
berpendirian bahwa untuk mencapai halhal ideal (al-fadhail) yang bermacam-
macam itu, baik aspek pemikiran, akhlak (moral, etika yang baik), wawasan,
dicapai secara efektif melalui dua pola utama, yaitu; melalui pengajaran dan
perilaku atau tindakan-tindakan ideal, pemberdayaan kinerja yang ideal bagi umat.
melalui ucapan, dan bisa juga melalui tindakan atau perbuatan. Atas dasar inilah
hubungan yang sangat erat dengan mazhab filsafat al-Farabi, terutama mazhab
politiknya, Hal ini karena pengajaran dan praktek tidak dapat sempurna atau
efektif, melainkan harus ditangani oleh seorang pengajar dan pendidik (mu`allim
dan mu`addib). Seorang pengajar dan pendidik ini menurut al-Farabi adalah
negara.21
filsafat. Namun demikian, sebenarnya hal yang sama sudah dilakukan oleh para
dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah, seorang politisi dan negarawan yang ulung (min abraz rijal al-Siyasah
21
Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 250-251.
fiy al-daulah al-`Abbasiyah). Al-Mawardi diangkat sebagai hakim (Qadhi )
beberapa kali di beberapa daerah, dan karena saking banyaknya dia menjabat
hakim, dia diangkat sebagai Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat) atau Ketua
Mahkamah Agung.22
Mawardi dalam hal ini berbeda dari al-Farabi. Pandangan al-Farabi dalam
teorinya tentang negara sangat utopis, hal ini karena dalam situasi politik tidak
stabil, dan gonjang ganjing, justeru alFarabi mengembangkan teori politik yang
serba sempurna sehingga tidak mungkin dapat dilaksnakan oleh dan untuk
manusia.23
kebutuhan kondisi yang ada saat itu, sesuai dengan realitas politik yang tengah
bangunan sistem pemerintahan yang kokoh dan baik. Oleh karena itu, al-Mawardi
tetap mempertahankan status quo pemerintahan pada masa hidupnya, hal ini
bukan berarti tidak ada argumentasi, alasannya sangat kuat. Dalam konteks ini al-
a. Khalifah harus tetap dijabat oleh orang yang berbangsa Arab berketurunan
Quraisy,
22
Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 288 – 289.
23
Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 295 - 296.
24
Muhammad Jalal Syaraf et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 296.
Dua pandangan al-Farabi tersebut didasarkan pada realitas perpolitikan
yang tengah berjalan saat itu, dan sebagai solusi terhadap berbagai persoalan yang
kedua wilayah tersebut sering terjadi rusuhan dan menyebabkan tidak adanya
kestabilan politik, dengan Khalifah dijabat seorang berketurunan Arab dari ras
bersama Khalifah, dengan wazir tafwidh dijabat oleh orang yang berketurunan
Arab diharapkan tidak banyak terjadi perbedaan pendapat antara Khalifah dan
Wazir Tafwidh, dan ini dapat meminimalisisr konflik di kalangan decision makers
menunjukan bahwa al-Mawardi sangat memahami kondisi dan situasi politik yang
berjalan saat itu, maka dapat ditegaskan bahwa negara yang dikonsepsikannya
karena dalam hal ini alMawardi tidak menawarkan bentuk lain selain sistem
pemerintahan yang sudah berjalan secara tradisi sejak masa Dinasti Umayah dan
Berdasarkan tinjauan sosial dan politik, pada masa hidupnya al-Ghazali dunia
politik, kebobrokan moral yang sudah begitu parah, para Ulama tidak lagi menjadi
rujukan karena tidak peduli dengan kondisi masyarakat, korupsi di kalangan para
dengan nilai-nilai Islam diperlihatkan secara vulgar oleh para pemimpin dan
kekuasaan menjadi hal yang lumrah. Dalam menyikapi kondisi carut marut ini, al-
yang sudah menjadi tradisi para ilmuan muslim, maka politik harus diarahkan
posisi yang tinggi dan istimewa (mumtaz). Dalam konteks ini, al-Ghazali
akan tercipta keteraturan dalam beragama, kecuali jika ada keteraturan pengaturan
untuk akhirat. Dengan demikian, dunia adalah tempatatau fasilitas yang dapat
Urusan dunia, dalam arti pengelolaan dunia politik dapat tertata rapi
25
al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 2, h. 381.
melaluikebijakankebijakanmanusia bijaksana dengan dasar undang-undang atau
kondisi sosial politik pada masa Ibnu Taimiyah hidup tidak jauh lebih baik
berbagai wilayah, dislokasi sosial, dekadensi moral dan akhlak melanda di tengah-
permasalahan yang melanda Dinasti Abbasiyah, baik karena faktor internal atau
pun eksternal, dan permasalahan ini bukan saja terjadi di pusat pemerintahan di
wilayah.
atau pentingnya kewujudan sulthan bagi menjamin kehidupan yang nyaman, aman
negara) meskipun zalim lebih baik bagi umat manusia di bandingkan jika mereka
hidup tanpa sulthan (biduni Sulthan). Bahkan lebih dari itu, Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa hidup selama enam puluh tahun dengan sulthan (kepala
negara) yang zalim, itu lebih baik dari pada hidup satu malam tanpa sulthan.27
Menurutnya, manusia menjadi rusak karena hanya mengejar kekuasaan atau harta
Karena ambisi ini akan menutup hati nuraninya dan pemikiran objektifnya, yaitu
seseorang akan berupaya dengan berbagai cara, halal atau haram tidak peduli,
dengan cara apa yang dilakukan, tidak peduli halal atau haram, menipu,
berhak menerimanya dan bertindak adil dalam memutuskan sengketa atau konflik,
maka akan terjadi integrasi antara kebijaksanaan politik yang adil dan
pemerintahan yang baik.29 Dengan demikian politik yang dibangun Ibnu Taimiyah
Sunnah Nabi.30
tidak jauh berbeda dengan para pemikir politik muslim sebelumnya. Dalam
secara wataknya adalah makhluk sosial (insanun ijtimaiyyun). Dalam arti bahwa
28
Muhammad bin Shalih al-`Utsaimin, “Politik Islam: Penjelasan Kitab Siyasah Syar`iyah Ibnu
Taimiyah” ( Jakarta: Gria Ilmu, 2014 ), h. 371.
29
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 83.
30
Muhammad Jalal Syaraf, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 430.
manusia tabiatnya memang berkelompok, berkomunitas, berorganisasi yang
dalam istilah mereka adalah kota atau polis. Selanjutnya Ibnu Khaldun
menjadikan manusia dalam bentuk kejadian yang tidak dapat hidup dan tidak
(kapabelitas).31
yang menjadi kemestian (dharuriy).Hal ini karena kodrat manusia tidak dapat
oleh karenanya manusia membutuhkan orang lain untuk bekerja sama memenuhi
saja sudah melibatkan sekian banyak proses dan tenaga manusia, begitu juga
dengan pakaian. Oleh karena itu lanjut Ibnu Khaldun, organisasi kemasyarakatan
(ijtima` al-nas) merupakan sesuatu kemestian (la mahalata), tanpa organisasi ini
eksistensi manusia di bumi ini tidak akan lengkap atau sempurna, dari sinilah lahir
seseorang yang berwibawa yang akan menghalangi dan mencegah mereka dari
permusuhan antar sesama, dari aspek lain Ibnu Khaldun melihat bahwa manusia
juga memiliki watak suka menyerang antara satu dengan yang lainnya, baik
31
Ibnu Khaldun, Abdur al-Rahman, Muqaddimah ( Beirut: Dar alKitab al-`lmiyah. 2006 ), h. 272.
32
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 33-34.
DAFTAR PUSTAKA
bin Shalih al-`Utsaimin, Muhammad. Politik Islam: Penjelasan Kitab Siyasah Syar`iyah Ibnu
Black, Antony. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini.
Jalal Syaraf, Muhammad ,Ali Abdul Mukthi Muhammad, alFikr al-Siyasi fiy al-Islam:
Syakhshiyyat wa Mazahib.
Kamil, Sukron. Peta Pemikiran Politik Islam Modern dan Kontemporer: Jurnal Universitas
Paramadina, 2003.
Katsir, Ibnu. al-Bidayah wa al-Nihayah,T.tpt: Darul Fikr al- `Arabiy, 1301 H./ 1933 M.
Khaldun, Ibnu. Abdur al-Rahman, Muqaddimah, Beirut: Dar alKitab al-`lmiyah. 2006.
Madjid, Nurcholish. Islam dan Politik: Suatu Tinjauan Atas Prinsip‐Prinsip Hukum dan Keadilan
Madjid, Nurcholish. Kata Sambutan dalam Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara:
Mulia, Musdah. Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal. Jakarta: Paramadina, 2001.
Salim al-Awwa, Muhammad. Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li alDaulah al-Islamiyah, Beirut: Dar
al-Syuruq, 1989.