Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembahasan tentang politik Islam tidak pernah kering dari kajian‐kajian yang

dilakukan oleh para akademisi baik dari kalangan Muslim maupun Barat. Perbedaan

pemahaman pun tak terelakkan lagi baik antara kalangan muslim sendiri atau bahkan

antara kalangan Barat sekalipun.  Ini menunjukkan bahwa kajian politik Islam

merupakan kajian yang cukup rumit akan tetapi tetap menarik dan menantang untuk

dikaji.

Kajian tentang hubungan Islam dan politik adalah suatu kajian yang tidak aka

nada habis‐habisnya sebagaimana diumpamakan oleh Nurcholis Madjid laksana

menimba air Zamzam di tanah suci. Kenapa? Pertama, disebabkan kekayaan sumber

bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman Dunia Islam

dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua, kompleksitas permasalahan,

sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya tergiring untuk memasuki satu atau

beberapa pintu pendekatan yang terbatas. Pembahasan yang menyeluruh akan

menuntut tidak saja kemampuan yang juga menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk

tidak membiarkan diri terjerembab ke dalam reduksionisme dan kecenderungan

penyederhanaan persoalan. Ketiga, pembahasan tentang agama dan politik dalam

Islam ini agaknya akan terus berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau‐tak‐mau

melibatkan pandangan ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan

kaum Muslim sendiri.1

1
Nurcholish Madjid, Islam dan Politik: “Suatu Tinjauan Atas Prinsip‐Prinsip Hukum dan Keadilan
dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina”, Volume I Nomor I, Juli Desember 1998 (Jakarta: Paramadina,
1998), h. 48.
Masih menurut pendapat Nurcholis Majdid pula bahwa usaha memahami

masalah politik dalam Islam memang bukan perkara sederhana. Hal itu karena ada

dua alasan. Pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah selama lebih dari empat

belas abad. Jadi akan merupakan suatu kenaifan jika kita menganggap bahwa selama

kurun waktu yang panjang tersebut segala sesuatu tetap stationer dan berhenti.

Kesulitannya ialah, sedikit sekali kalangan kaum Muslim yang memiliki pengetahuan,

apalagi kesadaran, tentang sejarah itu. Kedua, selain beraneka ragamnya bahan‐bahan

kesejarahan yang harus dipelajari dan diteliti kekuatan‐kekuatan dinamik di

belakangnya, juga terdapat perbendaharaan teoritis yang kaya raya tentang politik

yang hambpir setiap kali muncul bersama dengan munculnya sebuah peristiwa atau

gejala sejarah yang penting.2

Kesulitan dalam memahami masalah politik dalam Islam, berimplikasi pada

belum adanya kesepakatan pendapat mengenai konsep negara Islam. Musdah Mulia,

dalam karya disertasinya tentang pemikiran politik Islam Husain Haekal yang

mengutip pendapat John L. Esposito dalam Islam dan Politik (Jakarta: Bulan Bintang,

1990), menyebutkan beberapa faktor ketidaksepakatan itu: 1) negara Islam yang

didirikan Nabi Muhammad SAW di Madinah yang dipandang ideal ternyata tidak

memberikan suatu model terperinci, 2) pelaksanaan khilafah pada masa Bani

Umayyah dan Bani Abbas hanya memberikan suatu kerangka mengenai lembaga‐

lembaga politik dan perpajakan, 3) pembahasan mengenai rumusan ideal (hukum

Islam dan teori politik) hanya menghasilkan rumusan idealis dan teoritis dari suatu

masyarakat yang utopian, dan 4) hubungan agama dan negara dari masa ke masa

menjadi subyek bagi keragaman interpretasi.3

2
Nurcholish Madjid, “Kata Sambutan dalam Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran” (Jakarta: UI‐Press, 1993), h. vi‐vii.
3
Musdah Mulia,” Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal”, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 2‐
3.
Munawir Sadzali menyebutkan tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan

kenegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata‐ mata agama

dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan

Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan yang lengkap

dengan peraturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan

bernegara. Karena itu, Islam tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem negara

Barat. Sistem politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah

dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh empat al‐Khulafa al‐Rasyidin.

Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian

Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini

Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul‐rasul sebelumnya,

dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia, dan

Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara.

Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba

lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem negara. Tetapi aliran ini juga

menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya

mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya. Dalam Islam tidak terdapat sistem

ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.4

Berdasarkan ketiga aliran tersebut, Sukron Kamil, dalam tulisannya di Jurnal

Universitas Paramadina, melakukan tipologisasi pemikiran politik Islam: tradisional,

sekuler, dan moderat. Tipologi tradisional, memandang bahwa Islam adalah agama

dan negara. Hubungan Islam dan negara betul‐betul organic dimana negara

berdasarkan syariat Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif. Yang

termasuk tipologi ini adalah Rasyi Ridla, Sayyid Qutub, Al‐ Maududi, dan di

4
Munawir Sjadzali, “Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah, dan Pemikiran”, (Jakarta:
Penerbit  Universitas Indonesia, 1993), h. 1‐2.
Indonesia Muhammad Natsir. Tipologi Sekuler, memandang bahwa Islam adalah

agama murni bukan negara. Tipologi ini terbelenggu dan sangat terpesona oleh

pemikiran nation state Barat Modern. Pemikir yang termasuk tipologi ini adalah Ali

Abd al‐Raziq, A. Luthfi Sayyid, dan di Indonesia Soekarno. Tipologi Moderat,

memandang bahwa meskipun Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem

politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip‐prinsip moral atau etika dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk pelaksanaannya umat Islam bebas

memilih sistem manapun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhammad

Husein Haikal (1888‐ 1956), Muhammad Abduh (1862‐1905), Fazlurrahman,

Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid.5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, penulis merumuskan penelitian

ini sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah munculnya pemikiran politik Islam ?

2. Bagaimana corak pemikiran politik Islam dari berbagai tokoh ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan‐

pertanyaan yang telah diajukan dalam perumusan masalah. Lebih rinci, peneltian ini

bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan sejarah munculnya pemikiran politik Islam

2. Menjelaskan berbagai corak pemikiran politik Islam dari berbagai tokoh.

5
Sukron Kamil, “Peta Pemikiran Politik Islam Modern dan Kontemporer”, Jurnal Universitas
Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: h. 63‐76.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Pemikiran Politik Islam

1. Kekuasaan Mekah Pra Islam

Sebelum membahas lebih lanjut tentang komunitas politik Islam Pra-


Madinah, yaitu terkait permasalahan, aktivitas dan gerakan Nabi bersama umat
Islam Mekah.Pembicaraan lebih dahulu akan difokuskan pada kondisi masyarakat
Mekah sebelum Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Hal
ini penting untuk diketahui bagaimana gambaran situasi dan kondisi sosial pra
Islam, terutama dalam aspek-aspek yang terkait pengaturan kehidupan
masyarakat.

Kondisi masyarakat Mekah pra Islam atau biasa disebut dengan sebutan
masyarakat Jahiliyahdalam beberapa aspek sangat kacau, meskipun dalam
beberapa hal kehidupan yang lain mengalami kemajuan, misalnya dalam
kesusastraan, perangkatperangkat aturan dalam mengatur kehidupan masyarakat
karena pada dasarnya mereka sudah dapat mengatur kehidupan masyarakatnya
dan secara dinamis mereka mampu menjadikan Mekah sebagai salah satu pusat
kota transit perdagangan yang potensial, di mana para pedagang dari Yaman
singgah di kota Mekah sebelum mereka melanjutkan perjalanannya ke Syam
( Syria saat ini ). Dalam aspek sosial, masyarakat Jahiliyah Mekah
mempertahankan sistem kekerabatan (kelan, qabilah atau etnic ), di mana
kehormatan seseorang ditentukan berdasarkan keturunan, dan keturunan yang
tinggi adalah yang memiliki kedudukan tinggi di mata masyarakat. Jadi,
ketinggian martabat atau derajat seseorang bukan didasarkan pada pencapaian
prestasi, melainkan ditentukan oleh garis keturunan atau marga, qabilah. Implikasi
dari sistem ini memunculkan kelas-kelas dalam masyarakat, ada kelas atas, kelas
menengah dan kelas bawah, tidak jauh beda dengan pembagian kasta-kasta dalam
masyarakat penganut agama Hindu; yaitu Akibat dari praktik kehidupan seperti ini
menyebabkan sering terjadi konflik atau perselisihan, bahkan peperangan di antara
mereka, karena bisa dipastikan sering terjadi perlakuan yang tidak adil, kekerasan
dan sebagainya.
Nabi Muhammad saw. di Mekah selama kurang lebih 13 tahun lamanya
setelah kenabian, tidak menerima perintah ( melalui wahyu ) tentang berbagai hal,
baik yang terkait dengan kehidupan sosial keagamaan ataupun sosial
kemasyarakatan secara menyeluruh, melainkan baru sebatas hal-hal yang terkait
dengan keimanan atau akidah. Jadi, ketika Nabi Muhammad saw. masih di Mekah
belum ada perintah perang terhadap orang-orang Kafir yang mengganggu dan
merintangi perjuangannya, kecuali di hari-hari akhir menjelang hijrah ke
Madinah, perintah perang baru kemudian ditentukan.6 Dalam menyikapi sikap
orang-orang kafir Quraisy yang tidak mau menerima kebenaran yang dibawa Nabi
Muhammad saw. Ahmad Salabiy berpendapat setidaknya ada lima faktor yang
menyebabkan kenapa orang-orang Kafir Quraisy tidak menerima atau menentang
perjuangan Nabi Muhammad saw. yaitu;

1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.


Mereka menduga bahwa loyalitas ( tunduk dan patuh ) kepada seruan
dan ajakan Nabi Muhammad berarti loyal kepada kepemimpinan
keturunan Abdul Mutthalib (Kakek Nabi Muhammad ) dan ini sangat
tidak disukai oleh pemimpin-pemimpin Quraisy yang lain.
2. Nabi Muhammad saw. mendeklarasikan persamaan hak antara
bangsawan dan hamba sahaya atau budak. Hal ini sangat ditentang keras
oleh bangsawan Quraisy, karena sistem perbudakan sudah menjadi
tradisi berabad-abad lamanya.
3. Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran atau doktrin tentang
kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat, sementara Nabi
Muhammad saw. mengajarkan doktrin ini.
4. Taklid kepada nenek moyang, terutama dalam hal kepercayaan dan ritual
pemujaan adalah sudah menjadi tradisi yang mengakar pada bangsa
Arab, maka setiap upaya untuk menghapus tradisi ini akan ditentang
habishabisan oleh orang-orang kafir Quraisy.
5. Kemunculan salah paham dari kalangan para pemahat dan penjual
patung yang melihat bahwa Islam sebagai penghalang rezeki mereka.7

6
Muhammad Salim al-Awwa, “Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li alDaulah al-Islamiyah” ( Beirut: Dar al-
Syuruq, 1989 ), h.42.
7
A. Salabiy, Sejarah dan Kebudayaan Islam. h. 87 – 90.
Dari aspek lain secara politis sebenarnya orang-orang kafir Quraisy

merasa khawatir tentang kemunculan sebuah gerakan yang dipimpin Nabi

Muhammad saw. Gerakan ini dimungkinkan dapat menggeser dominasi

kepempimpinan orang-orang kafir Quraisy yang sudah sekian lama

terlembaga dalam kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah Mekah. Oleh karena

itu para pepimpin Quraisy melakukan berbagai upaya, termasuk melakukan

negosiasi kepada Nabi Muhammad dengan memberikan tiga tawaran; yaitu,

1). Kedudukan atau jabatan pimpinan, 2). Harta, dan 3). Wanita. Mereka akan

memberikan tawaran tersebut kepada Nabi Muhammad saw. asalkan Nabi

Muhammad menghentikan aktivitas pergerakannya. Sangat tragis ketiga-tiga

tawaran itu ditolak Nabi, dan bahkan Nabi bersumpah; Demi Allah, jika

mereka meminta aku untuk meletakkan mata hari di tangan kananku dan

bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti untuk melakukannya

sehingga agama ini ( Islam ) memperoleh kemenangan dan dianut oleh

masyarakat.8 Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad bukan tipe orang

yang ambisius terhadap kekuasaan atau jabatan, harta dan wanita. Tujuan

aktivitas pergerakannya satu, yaitu memberikan pencerahan melalui ajaran-

ajaran yang disampaikannya kepada masyarakat untuk membebaskan mereka

dari belenggu perbudakan, baik perbudakan dari manusia kepada manusia,

perbudakan kepercayaan tahayul atau pun perbudakan hawa nafsu dan

sebagainya, yang kesemuanya itu menyebabkan terjadinya kemiskinan moral,

kemiskinan akal budi pekerti, kemiskinan kreativitas, kemiskinan harta

kekayaan dan sebagainya.

8
Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam, h. 21 – 22.
2. Mengangkat Martabat Orang-orang Tertindas

Nabi Muhammad pada periode ini sebatas seorang pendakwah atau

da`i agama Islam yang disampaikannya secara diam-diam ( sirriyah ) pada

tahap awal. Meskipun dalam kondisi tertekan Nabi Muyhammad saw. terus

menerus berupaya menghimpun orang-orang yang sudah memeluk Islam

dalam satu komunitas yang masih ekslusif.9

Aktivitas Nabi Muhammad saw. ini berdampak munculnya situasi

yang sangat sulit dan mencemaskan. Tetapi Nabi Muhammad saw. tetap tegar

menggahadapi berbagai tantangan dan rintangan dari orang-orang kafir

Quraisy dalam berbagai bentuknya, penghinaan, penyiksaan, fitnah,

pemboikotan dan sebagainya.10 Nabi Muhammad saw. tidak patah arang terus

maju dengan perjuangannya untuk membebaskan orang-orang kecil

masyarakat Mekah dan orang-orang hamba sahaya yang tertindas, Nabi

Muhammad terus menyampaikan ajarannya agar mereka menjadi orang-

orang mukmin dan bertaqwa dan agar terciptanya kehidupan yang lebih baik

di kemudian hari. Orang-orang kafir Quraisy semakin beringas ketika mereka

melihat bahwa Nabi Muhammad terus melakukan manuver-manuver dan

pergerakannya yang dalam anggapan mereka orang-orang kafir Quraisy;

suatu gerakan menghimpun kekuatan. Hal inilah yang kemudian dinilai oleh

para pemuka kafir Quraisy sebagai tindakan propokasi atau menghasut

masyarakat yang menghawatirkan munculnya rongrongan terhadap

kekuasaan mereka.

Kondisi ini secara politis tidak menguntungkan perjuangan dan

dakwah Nabi, maka dalam rangka melindungi dan menyalamatkan akidah


9
Muhammad Salim al-Awwa, al-Nizam al-Siyasi Li al-Daulah al-Islamiyah, h. 43.
10
Ibnu Katsir, “al-Bidayah wa al-Nihayah”,( T.tpt: Darul Fikr al- `Arabiy, 1301 H./ 1933 M. ), Juz 3, h.
49 -60.
segelintir orang-orang yang sudah memeluk Islam, Nabi Muhammad saw.

melakukan beberapa langkah strategis, antaranya;

a. Nabi Muhammad saw. memerintahkan kepada beberapa orang

Islam Mekah untuk berhijrah atau mengungsi sementara ke negeri

Habsyah/Abesina (sekarang Ethopia ). Sebelumnya Nabi

Muhammad saw. sudah menginformasikan bahwa di sana ( negeri

Habsah ) ada seorang penguasa yang saleh meskipun dia beragama

Kristian, yaitu Raja Najjasyi yang dapat dimintai pertolongan

untuk memberikan suaka politik. Hal ini mengindikasikan

ketajaman kebijakan Nabi yang dibuktikan dengan keberhasilan

melakukan negosiasi melalui orang-orang muslim yang datang ke

negeri Habsah.11

b. Mengadakan kerja sama dengan suku-suku atau qabilah-qabilah

yang ada di luiar kota Mekah

c. Mengadakan bai`at( janji setia kepada Nabi ) dari orangorang

Qabilah Aus dan Khazraj.

d. Melindungi orang-orang tertindas,

e. Mengupayakan wujudnya kesejahteraan dan sebagainya.12

3. Orientasi Politik Era Madinah

a. Membangun Dasar-dasar Politik

Penghijrahan ( exodus ) umat Islam dari Mekah ke Madinah terjadi

pada hari Senen tanggal 12 Rabiul awal tahun pertama Hijriyah,

bertepatan dengan tahun 622 M. Peristiwa penghijrahan umat Islam

dari Mekah ke Yatsrib tersebut menandai dimulainya babak baru bagi

11
Ahmad Fadhali, Sejarah Peradaban Islam, h. 6.
12
Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-SiyasiyLi al-Daulah alIslamiyah, h. 46.
umat Islam. Umat Islam saat di Mekah berada dalam kondisi yang

tertekan, dimusuhi, dihina, disiksa, bahkan dikucilkan dan diimbargo,

dan tindakan-tindakan lain yang menyebabkan umat Islam tidak

berdaya, tidak bisa banyak berbuat untuk merencanakan kehidupan

masa depan merekayang lebih baik, hal ini berbeda dengan di Yatsrib

(Madinah). Periode Yatsrib Islam merupakan kekuatan politik, di mana

ajaran Islam yang terkait dengan peraturan kehidupan sosial

kemasyarakatan banyak turun di sini. Hal ini dapat ditegaskan bahwa

peristiwa hijrah Nabi bersama umat Islam dari Mekah ke Madinah

merupakan era baru dalam sejarah peradaban umat Islam.Sejak saat itu

muncul pemikiran politik Islam yang berbeda dari pemikiran politik

sebelumnya.13

Pada periode Madinah, kaidah-kaidah Islam yang dulunya

bersifat umum berhasil dirinci, dan ketentuan-ketentuan

(hukumhukum) yang diperlukan oleh sebuah negara ditetapkan, baik

yang berkaitan dengan urusan-urusan public ataupun yang menyangkut

urusan privat. Kaidah-kaidah umum berdasarkan wahyu yang menjadi

sumber rujukan hukum-hukum tafsili senantiasa turun. Semuanya ini

bertujuan untuk menyediakan perangkat-perangkat aturan atau tatanan

yang akan dipergunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat dan

negara baru.14

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa baiat Aqabah satu dan

kedua ternyata secara psikologis menjadikan umat Islam memiliki

kekuatan dan percaya diri, serta mendorong mereka segera melakukan

13
Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, h. 36.
14
Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasah Lid Daulah alIslamiyah, h. 47.
langkah-langkah strategis, yaitu hijrah ke Madinah. Maka penghijrahan

umat Islam ke Madinah merupakan rangkaian langkah-langkah yang

berorientasipada pembentukan masyarakat yang menerima

transformasi positif secara cepat. Dari dua langkah strategis itu ( baiat

pertama dan kedua ) memunculkan tiga landasan pokok yang

berimplikasi lahirnya dominasi politik bagi umat Islam. Tiga landasan

pokok tersebut, ialah :

1) Ikatan daerah atau wilayah.

Dengan menjadikan Madinah sebagai tempat tinggal bagi

umat Islam, baik Muhajirin atau Anshor, berarti umat

Islam telah memiliki tempat tinggal, yaitu tanah air yang

memungkinkan umat Islam beraktivitas dalam

membangun ekonomi yang dapat dipergunakan untuk

kepentingan bersama.

2) Jiwa kemasyarakatan.

Artinya pemikiran, idea dan persepsi umat Islam Madinah

dapat diorientasikan untuk tujuan yang sama sesuai dengan

yang dikehendaki.

3) Dominasi politik.

Dominasi politik dapat diraih setelah berhasil merubah

sikap masyarakat Islam dari masyarakat yang tidak terlibat

secara langsung dalam urusan-urusan politik menjadi

masyarakat yang aktif melibatkan diri secara langsung

dalam hal-hal yang berkaitan dengan politik.15

15
Muhammad Salim al-Awwa, Fiy al-Nizam al-Siyasah Lid Daulah alIslamiyah, h. 47.
Ketiga landasan tersebut telah terealisasi setelah umat Islam

seluruhnya berada di Madinah dan setelah penguasaan terhadaphalhal

yang terkait dengan politik berada di tangan mereka. Setelah

penghijrahan umat Islam Muhajirin ke Madinah, maka Madinah

membuka lahan subur untuk pengembangan pemikiran, wawasan dan

pembangunan masyarakat yang sesuai dengan harapan dan citacita

mulia ajaran Islam.Dalam kaitan ini Antony Black menegaskan bahwa

gagasan Islam merupakan dobrakan yang menentukan sejarah

pemikiran manusia tentang politik dan masyarakat.16

B. Corak Pemikiran Politik Islam Dari Berbagai Tokoh

1. Pemikiran Politik Ibnu Abi Rabi’

Sarjana muslim yang dianggap pertama yang menuangkan gagasan teori

politiknya adalah Ibnu Abi Rabi `17. Dalam karyanya; Sulukal-Malik Fiy Tadbir

al-Mamalik (Kebijakan Raja Dalam Mengelola Pemerintahan). Buku ini

dipersembahkan kepada al-Mu`tasim, Khalifah Dinasti Abbasiyyah ke delapan

yang memerintah pada abad ke IX Masehi untuk dipergunakan sebagai guiding

book dalam mentadbir atau mengelola pemerintahan. Oleh karena buku ini

diperuntukan oleh Ibnu Abi Rabi` kepada kepala negara yang sedang berkuasa

saat itu, Munawir Sjadzali menegaskan dapat dipastikan bahwa Ibnu Abi Rabi

tidak mempersoalkan sistem monarki sebagai suatu sistem pemerintahan yang

sedang berjalan, bahkan Ibnu Abi Rabi` memberikan dukungan penuh kepada

sistem pemerintahan ini.18 Hal ini mungkin Ibnu Abi Rabi` melihat bahwa sistem

monarki yang sedang berjalan saat itu cukup baik dalam menata kehidupan

16
Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, h. 36.
17
Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, alFikr al-Siyasi fiy al-Islam:
Syakhshiyyat wa Mazahib. h. 204.
18
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 42.
perpolitikan. Mengingat realitas yang ada saat itu bahwa pemerintahan Dinasti

Abbasiyah di masa pemerintahan al-Mu`tasim Billah berada pada puncak

kejayaan. Oleh karennya, wajar jika Ibnu Abi Rabi` tidak mempersoalkan sistem

pemerintahan monarchi saat itu.

2. Pemikiran Politik Al-Farabi

Sebagai seorang Ilmuan, al-Farabi dari segi pamor jauh lebih terkenal

(masyhur) dibanding Ibnu Abi Rabi. Al-Farabi tergolong tokoh Filsafat terkemuka

di Dunia Islam ( Kana akbaru Falasifah al-Muslimin `alal ithlaqhaytsu ansya`a

mazhaban falsafiyan kaamilan).

Latar belakang situasi dan kondisi politik pada masa hidupnya al-Farabi di era

kekuasaan Dinasti Abbasiyah sangat kacau dan tidak kondusif. Hal ini karena

banyaknya goncangan sebagai akibat dari berbagai gejolak, gesekan, konflik, dan

pemberontakan; suatu periode pemerintahan yang paling buruk dalam sepanjang

sejarah pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Situasi ini berdampak pada tidak adanya

stabilitas politik dalam kehidupan masyarakat dan penduduk wilayah kekuasaan

pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khususnya antara era pemerintahan Khalifah

alMu`tamid sampai Khalifah al-Mu`thi`.19

Al-Farabi menjadikan politik sebagai ilmu yang sangat penting, di mana ilmu-

ilmu lainnya melayaniilmu politik. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa

kecenderungan pada politik menguasai pemikiran al-Farabi, dan bahkan politik

mengarahkannya pada suatu pendirian bahwa masalah-masalah filsafat semuanya

tunduk (dalam arti melayani) pada politik.20

Dengan demikian, al-Farabi telah menghubungkan hal-hal yang ideal (al-

fadhail) dengan mazhab politiknya (bi mazahibihi alsiyasiy), di mana al-Farabi

19
Muhammad Jalal Syraf, et al. al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 250.
20
Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 250.
berpendirian bahwa untuk mencapai halhal ideal (al-fadhail) yang bermacam-

macam itu, baik aspek pemikiran, akhlak (moral, etika yang baik), wawasan,

pemberdayaan kinerja (al-shanaatu al-`amaliyah) pada umat, semuanya dapat

dicapai secara efektif melalui dua pola utama, yaitu; melalui pengajaran dan

praktek ( al-ta`lim wa al-ta`dib ). Pengajaran (alta`lim) adalah pola untuk

melahirkan pandangan-pandangan ideal tentang umat dan peradaban mereka.

Sementara praktek (al-ta`dib) adalah pola untuk menciptakan atau melahirkan

perilaku atau tindakan-tindakan ideal, pemberdayaan kinerja yang ideal bagi umat.

Pengajaran (al-ta`lim) dapat dilakukan melalui ucapan, sementara praktek bisa

melalui ucapan, dan bisa juga melalui tindakan atau perbuatan. Atas dasar inilah

gagasan-gagasan al-Farabi terkait dengan akhlak (perilaku yang baik) ada

hubungan yang sangat erat dengan mazhab filsafat al-Farabi, terutama mazhab

politiknya, Hal ini karena pengajaran dan praktek tidak dapat sempurna atau

efektif, melainkan harus ditangani oleh seorang pengajar dan pendidik (mu`allim

dan mu`addib). Seorang pengajar dan pendidik ini menurut al-Farabi adalah

sebenarnya kepala negara (Rais alMadinah)atau orang yang mewakili kepala

negara.21

Dengan demikian, al-Farabi telah menghubungkan politik dengan akhlak dan

filsafat. Namun demikian, sebenarnya hal yang sama sudah dilakukan oleh para

Failosof Yunani dahulu. Neo Platonisme sudah menghubungkan pandangan

politik mereka dengan akhlak dan filsafat.

3. Pemikiran Politik Al-Mawardi

Al-Mawardi seorang pemikir Islam terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi`i

dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada masa pemerintahan Dinasti

Abbasiyah, seorang politisi dan negarawan yang ulung (min abraz rijal al-Siyasah
21
Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 250-251.
fiy al-daulah al-`Abbasiyah). Al-Mawardi diangkat sebagai hakim (Qadhi )

beberapa kali di beberapa daerah, dan karena saking banyaknya dia menjabat

hakim, dia diangkat sebagai Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat) atau Ketua

Mahkamah Agung.22

Berdasarkan realitas bahwa pemerintahan sebagai lembaga negara, al-

Mawardi dalam hal ini berbeda dari al-Farabi. Pandangan al-Farabi dalam

teorinya tentang negara sangat utopis, hal ini karena dalam situasi politik tidak

stabil, dan gonjang ganjing, justeru alFarabi mengembangkan teori politik yang

serba sempurna sehingga tidak mungkin dapat dilaksnakan oleh dan untuk

manusia.23

Sementara al-Mawardi lebih realistis, karena pemikiran politiknya memenuhi

kebutuhan kondisi yang ada saat itu, sesuai dengan realitas politik yang tengah

berjalan, dan kemudian al-Mawardi menawarkan saran-saran perbaikan atau

reformasi, dan bahkan alMawardi disebut-sebut sebagai peletak dasar-dasar

bangunan sistem pemerintahan yang kokoh dan baik. Oleh karena itu, al-Mawardi

tetap mempertahankan status quo pemerintahan pada masa hidupnya, hal ini

bukan berarti tidak ada argumentasi, alasannya sangat kuat. Dalam konteks ini al-

Mawardi menegaskan bahwa;

a. Khalifah harus tetap dijabat oleh orang yang berbangsa Arab berketurunan

Quraisy,

b. Wazir Tafwidh( Pembantu utama Khalifah atau Perdana Menteri ) juga

harus dijabat oleh orang yang berkebangsaan Arab.24

22
Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 288 – 289.
23
Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 295 - 296.
24
Muhammad Jalal Syaraf et al. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 296.
Dua pandangan al-Farabi tersebut didasarkan pada realitas perpolitikan

yang tengah berjalan saat itu, dan sebagai solusi terhadap berbagai persoalan yang

mendera. Pada poin pertama; misalnya, kenapa al-Mawardi berpendapat begitu,

karena dalam rangka mengahadapi berbagai persoalan politik yang muncul di

beberapa wilayah, terutama di Persia (Iran) dan di wilayah Turkey, di mana di

kedua wilayah tersebut sering terjadi rusuhan dan menyebabkan tidak adanya

kestabilan politik, dengan Khalifah dijabat seorang berketurunan Arab dari ras

Quraisy diharapkan dapat mempertahankan kesatuan kekuasaan dunia Islam dari

ancaman disintegrasi wilayah. Poin kedua; Wazir Tafwidh ( Perdana Menteri)

memiliki posisi strategis, terutama di dalam merumuskan berbagai kebijakan

bersama Khalifah, dengan wazir tafwidh dijabat oleh orang yang berketurunan

Arab diharapkan tidak banyak terjadi perbedaan pendapat antara Khalifah dan

Wazir Tafwidh, dan ini dapat meminimalisisr konflik di kalangan decision makers

(para pemegang kebijakan).

Berdasarkan argumenatasi yang disampaikan al-Mawardi di atas,

menunjukan bahwa al-Mawardi sangat memahami kondisi dan situasi politik yang

berjalan saat itu, maka dapat ditegaskan bahwa negara yang dikonsepsikannya

adalah negara monarchi meskipun kepala negara menggunakan gelar khalifah,

karena dalam hal ini alMawardi tidak menawarkan bentuk lain selain sistem

pemerintahan yang sudah berjalan secara tradisi sejak masa Dinasti Umayah dan

dilanjutkan oleh Dinasti Abbasiyah. Kritikan-kritikan yang disampaikannya

terfokus pada perbaikan atau reformasi dalam berbagai aspeknya.

4. Pemikiran Politik Al-Ghazali

Berdasarkan tinjauan sosial dan politik, pada masa hidupnya al-Ghazali dunia

Islam sedang dihadapkan pada kondisi kemorosotan yang sangat parah


dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, carut marut dalam kehidupan sosial

politik, kebobrokan moral yang sudah begitu parah, para Ulama tidak lagi menjadi

rujukan karena tidak peduli dengan kondisi masyarakat, korupsi di kalangan para

pejabat negara sudah meluas, intrik-intrik politik yang seringkali berbenturan

dengan nilai-nilai Islam diperlihatkan secara vulgar oleh para pemimpin dan

pejabat pemerintah, pembunuhan antara sesama saudara dalam memperebutkan

kekuasaan menjadi hal yang lumrah. Dalam menyikapi kondisi carut marut ini, al-

Ghazali menyampaikan kritikannya yang bersifat membangun;

“ Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para


pemimpinnya, dan kerusakan para pemimpin disebabkan oleh kerusakan para
Ulama (para Intelektual), kerusakan para Ulama disebabkan oleh cinta harta
dan kedudukan.Siapa saja yang dikuasai oleh ambisi duniawi, dia tidak
mampu mengurus (mengelola) rakyat.”25
Ketika al-Ghazali menghubungkan politik dengan akhlak,sebagaimana

yang sudah menjadi tradisi para ilmuan muslim, maka politik harus diarahkan

kepada pembelajaran idukasi, mensucikan diri, dan bimbingan (al-ta`lim, al-

tazhib, wa al-irsyad). Oleh karena itu, politik menurut al-Ghazali menduduki

posisi yang tinggi dan istimewa (mumtaz). Dalam konteks ini, al-Ghazali

menegaskan bahwatujuan manusia hidup telah tersurat di dalam agama dan

pengelolaan dunia (siyasah al-dunya). Oleh karenanya, menurut al-Ghazali tidak

akan tercipta keteraturan dalam beragama, kecuali jika ada keteraturan pengaturan

duniapolitik,450karena sesungguhnya dunia adalah tempat menanam (mazra`ah)

untuk akhirat. Dengan demikian, dunia adalah tempatatau fasilitas yang dapat

dipergunakan untuk menghantarkan (al-musilah) manusia kepada Allah, bukan

menjadikannya tempat tinggal untuk selamalamanya (wathonan wa mustaqiman).

Urusan dunia, dalam arti pengelolaan dunia politik dapat tertata rapi

25
al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 2, h. 381.
melaluikebijakankebijakanmanusia bijaksana dengan dasar undang-undang atau

peraturan-peraturan (regulasi) yang diberlakukan secara adil dan konsekuen.

5. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah

kondisi sosial politik pada masa Ibnu Taimiyah hidup tidak jauh lebih baik

dibandingkan dengan kondisi sosial politik para pendahulunya, kondisinya sangat

parah, stabilitas politik tidak ada, disintegrasi politik tengah mengancam di

berbagai wilayah, dislokasi sosial, dekadensi moral dan akhlak melanda di tengah-

tengah masyarakat.26 Ini semua terjadi sebagai dampak dari permasalahan-

permasalahan yang melanda Dinasti Abbasiyah, baik karena faktor internal atau

pun eksternal, dan permasalahan ini bukan saja terjadi di pusat pemerintahan di

Baghdad, tetapi juga di wilayah kekuasaan yang terbentang luas di berbagai

wilayah.

Berdasarkan pandangannya tentang betapa pentingnya otoritas kekuasaan

atau pentingnya kewujudan sulthan bagi menjamin kehidupan yang nyaman, aman

dan tentram, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa keberadaan sulthan (kepala

negara) meskipun zalim lebih baik bagi umat manusia di bandingkan jika mereka

hidup tanpa sulthan (biduni Sulthan). Bahkan lebih dari itu, Ibnu Taimiyah

berpendapat bahwa hidup selama enam puluh tahun dengan sulthan (kepala

negara) yang zalim, itu lebih baik dari pada hidup satu malam tanpa sulthan.27

Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa jika otoritas kekuasaan

sudah berada di genggaman seorang penguasa (kepala negara), hendaknya dapat

menghindari sikap dan prilaku ambisius kekuasan dan harta kekayaan.

Menurutnya, manusia menjadi rusak karena hanya mengejar kekuasaan atau harta

kekayaan.525Ibnu Taimiyah menegaskan kembali bahwa ambisi manusia


26
Muhammad Jalal Syaraf, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 427.
27
Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar`iyah, h. 186.
terhadap harta kekayaan dan kekuasaan dapat merusak agamanya, bahkan lebih

berbahaya ketimbang mengirim dua ekor serigala lapar ke kandang kambing.28

Karena ambisi ini akan menutup hati nuraninya dan pemikiran objektifnya, yaitu

pemikiran yang berdasarkan pertimbangan akal sehat. Dengan ambisi ini

seseorang akan berupaya dengan berbagai cara, halal atau haram tidak peduli,

yang penting mencapai tujuan, yaitu kedudukan atau kekuasaan.Begitu juga

dengan ambisi untuk mencapai harta kekayaan sebanyakbanyaknya, tidak peduli

dengan cara apa yang dilakukan, tidak peduli halal atau haram, menipu,

memanipulasi,menggelapkan uang negara, dan bahkan korupsi.

Selanjutnya Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa dengan kewajiban para

pemimpin negara untuk merealisasikan amanah kepada pihak (rakyat) yang

berhak menerimanya dan bertindak adil dalam memutuskan sengketa atau konflik,

maka akan terjadi integrasi antara kebijaksanaan politik yang adil dan

pemerintahan yang baik.29 Dengan demikian politik yang dibangun Ibnu Taimiyah

berdasarkan agama (Syariah) yang bersumber kepada ajaran al-Qur`an dan

Sunnah Nabi.30

6. Pemikiran Politik Ibnu Khaldun

Tentang bagaimana sebuah negara berdiri, pemikiran Ibnu Khaldunmengenainya

tidak jauh berbeda dengan para pemikir politik muslim sebelumnya. Dalam

konteks ini Ibnu Khaldun menegaskan bahwa organisasi (ijtima`) kemasyarakatan

adalah merupakan kemestian(dharuriyyun) bagi kehidupan manusia. Hal ini lanjut

Ibnu Khaldun sebagaimana dideskripsikan oleh para Failasuf bahwa manusia

secara wataknya adalah makhluk sosial (insanun ijtimaiyyun). Dalam arti bahwa

28
Muhammad bin Shalih al-`Utsaimin, “Politik Islam: Penjelasan Kitab Siyasah Syar`iyah Ibnu
Taimiyah” ( Jakarta: Gria Ilmu, 2014 ), h. 371.
29
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara. h. 83.
30
Muhammad Jalal Syaraf, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam. h. 430.
manusia tabiatnya memang berkelompok, berkomunitas, berorganisasi yang

dalam istilah mereka adalah kota atau polis. Selanjutnya Ibnu Khaldun

menjelaskan teorinya ini berdasarkan perspektif agama bahwa Allah swt.telah

menjadikan manusia dalam bentuk kejadian yang tidak dapat hidup dan tidak

dapat mempertahankan kehidupannya tanpa makanan, dan Allah membimbing

manusia secara fitrah untuk mencapai kesempurnaan dan kemampuan

(kapabelitas).31

Ibnu Khaldun menegaskan bahwa organisasi kemasyarakatan adalah sesuatu

yang menjadi kemestian (dharuriy).Hal ini karena kodrat manusia tidak dapat

memenuhi semua kebutuhan hidupnya jika sendirianatau secara individuindividu,

oleh karenanya manusia membutuhkan orang lain untuk bekerja sama memenuhi

semua kebutuhan dan keperluan hidupnya. Contohnya; makanan yang ia makan

saja sudah melibatkan sekian banyak proses dan tenaga manusia, begitu juga

dengan pakaian. Oleh karena itu lanjut Ibnu Khaldun, organisasi kemasyarakatan

(ijtima` al-nas) merupakan sesuatu kemestian (la mahalata), tanpa organisasi ini

eksistensi manusia di bumi ini tidak akan lengkap atau sempurna, dari sinilah lahir

sebuah peradaban (al-`umran).Ketika manusia sudah dapat merealisasikan

organisasi kemaasyarakatan dan peradaban, maka mereka membutuhkan

seseorang yang berwibawa yang akan menghalangi dan mencegah mereka dari

permusuhan antar sesama, dari aspek lain Ibnu Khaldun melihat bahwa manusia

juga memiliki watak suka menyerang antara satu dengan yang lainnya, baik

terhadap fisik atau pemikiran.32

31
Ibnu Khaldun, Abdur al-Rahman, Muqaddimah ( Beirut: Dar alKitab al-`lmiyah. 2006 ), h. 272.
32
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 33-34.
DAFTAR PUSTAKA

al-Ghazali. Ihya Ulumuddin, Juz 2.

bin Shalih al-`Utsaimin, Muhammad. Politik Islam: Penjelasan Kitab Siyasah Syar`iyah Ibnu

Taimiyah, Jakarta: Gria Ilmu, 2014.

Black, Antony. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini.

Fadhali, Ahmad. Sejarah Peradaban Islam.

Jalal Syaraf, Muhammad ,Ali Abdul Mukthi Muhammad, alFikr al-Siyasi fiy al-Islam:

Syakhshiyyat wa Mazahib.

Jalal Syaraf, Muhammad. al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam.

Jalal Syraf, Muhammad. et al. al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam.

Kamil, Sukron. Peta Pemikiran Politik Islam Modern dan Kontemporer: Jurnal Universitas

Paramadina, 2003.

Katsir, Ibnu. al-Bidayah wa al-Nihayah,T.tpt: Darul Fikr al- `Arabiy, 1301 H./ 1933 M.

Khaldun, Ibnu. Abdur al-Rahman, Muqaddimah, Beirut: Dar alKitab al-`lmiyah. 2006.

Madjid, Nurcholish. Islam dan Politik: Suatu Tinjauan Atas Prinsip‐Prinsip Hukum dan Keadilan

dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Volume I Nomor I, Jakarta:1998.

Madjid, Nurcholish. Kata Sambutan dalam Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara:

Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI‐Press, 1993.

Mulia, Musdah. Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal. Jakarta: Paramadina, 2001.

Salabiy, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam.

Salim al-Awwa, Muhammad .al-Nizam al-Siyasi Li al-Daulah al-Islamiyah.

Salim al-Awwa, Muhammad. Fiy al-Nizam al-Siyasiy Li alDaulah al-Islamiyah, Beirut: Dar

al-Syuruq, 1989.

Salim al-Awwa, Muhammad. Fiy al-Nizam al-SiyasiyLi al-Daulah alIslamiyah.


Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah, dan Pemikiran. Jakarta:

Penerbit  Universitas Indonesia, 1993.

Taimiyah, Ibnu. al-Siyasah al-Syar`iyah.

Yatim, Badri .Sejarah Kebudayaan Islam.

Anda mungkin juga menyukai