Abstract
The recent discourse on democracy has become increasingly widespread. This is evident
from the stage of contemporary politics, where Islamic movements are increasingly involved
in issues of democratization and civil society. Meanwhile, there are still many parties who
question whether the teachings of the Quran and the values of democracy can be harmonious
and compatible. There is even a claim that the definition of democracy is often formulated
narrowly from a Western point of view alone.
The problem is that if democracy is viewed in accordance with the teachings of Islam, why do
most of the Muslim countries do not choose their system of government based on
democracy? Is not this an attitude of ambivalence?
This paper tries to elaborate critically on the basic principles of Islam in governing the
system of government, and then compare with the basic principles that exist in the concept
of democracy.
Keywords: Qur’an, Sura and Democracy
D
emocracy is a rare and menggugat bahwa definisi demokrasi
desirable political form, seringkali dirumuskan secara sempit dari
vulnerable in theory and sudut pandang Barat semata.
practice and always incomplete Dalam konteks keidonesiaan, isu
in certain respects.1 demokrasi juga tampak semakin kondang
Diskursus tentang demokrasi akhir- dibicarakan, terutama ketika gerakan
akhir ini semakin marak dibicarakan orang. reformasi berhasil menggulingkan
Hal ini tampak dari panggung politik pemerintahan rezim Orde Baru. Sebagai
kontemporer, di mana gerakan-gerakan implikasinya, di era reformasi ini, “kran”
Islam makin banyak melibatkan diri dalam untuk menggulirkan dan menerapkan
isu demokratisasi dan civil society. demokrasi semakin lebar. Selama ini
Sementara itu, masih banyak pihak yang demokrasi yang telah digulirkan di masa
mempertanyakan, apakah ajaran al-Qur'an ORBA, masih cenderung demokrasi “seolah-
dan nilai-nilai demokrasi bisa selaras dan olah”, sebab kebebasan individu untuk
compatible. Bahkan ada pula yang mengemukakan pendapat nampaknya
belum mendapatkan porsi yang semestinya,
1 Graeme Duncan (ed.), Democratic Theory hak-hak individu dan pluralisme dipasung
and Practice, (Cambridge: Cambridge University sedemikian rupa, sehingga nyaris orang
Press, 1983), h. 3.
1
Jurnal Samawat. Volume 02 Nomor 01 Tahun 2018
tidak berani mengemukakan pendapat yang sebagai al-dîn wa al-dawlah (agama dan
berbeda dari pandangan pemerintah yang negara). Banyak cendikiawan muslim
hegemonik dan otoriter. seperti, Hasan al-Bannâ, Sayyid Quthb,
Dengan populernya isu demokrasi, Muhammad Rasyîd Ridhâ, Abû al-A’lâ al-
sebagian tokoh muslim yang bisa jadi Maududî yang menyatakan bahwa Islam
dihinggapi sikap apologetis, seringkali merupakan cara hidup yang menyeluruh3
dengan “gagah” dan bangga menyatakan dan tidak mengenal sistem kependetaan
bahwa Islam juga sesuai dengan (rahbâniyyah) atau kelembagaan “gereja”.
demokrasi. Seolah-olah mereka takut jika Berangkat dari asumsi dasar itulah maka
dikatakan Islam tidak demokratis. Padahal tentunya Islam juga telah mengatur
sikap semacam itu mestinya didukung masalah kehidupan bernegara atau sistem
dengan penelitian yang serius, apa politik.
sebenarnya prinsip-prinsip demokrasi, dan Namun demikian, nampaknya
bagaimana jika diparalelkan dengan prinsip pandangan tersebut bukan satu-satunya,
dasar dalam pemerintahan Islam (baca: sebab sebagian pakar seperti ‘Alî ‘Abdur
Islam ideal-normatif). Râziq dan Thâhâ Husayn berpendapat
Persoalannya adalah jika demokrasi bahwa Islam tidak ada kaitannya sama
dipandang sesuai dengan ajaran Islam, sekali dengan urusan kenegaraan, karena
mengapa kebanyakan negara yang Nabi Muhammad diutus tidak pernah
penduduknya beragama Islam tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan
memilih sistem pemerintahannya mengepalai suatu negara. 4 Atas dasar
berdasarkan demokrasi? Bukankah hal ini asumsi ini, maka menurut mereka, Islam
merupakan sikap ambivalensi? tidak punya urusan dengan soal
Benar bahwa demokrasi dipandang pemerintahan atau politik.
oleh sebagian orang sebagai sistem yang Agaknya kedua pandangan di atas
paling—walaupun tidak seratus persen— sama-sama “ekstrim”, yang pertama
berhasil untuk menciptakan kerangka bagi cenderung ingin menggabungkan antara
kehidupan masyarakat di mana orang agama dan negara secara totalitas,
dapat merasa diperlakukan sebagai sedangkan yang kedua cenderung
manusia.2 Namun apakah lalu dengan serta memisahkan sama sekali secara rigid.
merta seluruh nilai-nilai demokrasi sesuai Dalam hal ini, penulis cenderung memilih
dengan prinsip-prinsip “Islam”? Bukankah sintesis, yaitu bahwa secara normatif, Islam
isu demokrasi itu munculnya dari Barat (baca: al-Qur’an dan sunnah) memang tidak
yang sistem kultur dan budayanya berbeda memberikan ketentuan yang tegas (sharîh)
dengan dunia Timur (Islam)? Jika demikian, dan rinci (tafshîl) bagaimana sistem
haruskah konsep demokrasi yang notabene pemerintahan suatu negara dibentuk,
lahir dari Barat—yang sarat dengan apakah sistem republik, sistem
kesiapan kondisi sosio-kultural— kekhalifahan, atau imamah, monarkhi-
dipaksakan secara utuh seratus persen di otoriter atau demokrasi. Agaknya Islam
dunia Timur (Islam) yang kondisinya lebih menekankan bagaimana sebuah
berbeda? sistem itu mampu melahirkan dan
Prinsip-prinsip Dasar dalam Sistem mengantarkan suatu bangsa ke dalam
Politik Islam suasana adil dalam kemakmuran, dan
Politik Islam sering dipandang
sebagai penggabungan antara agama dan 3 Lihat Munawir Syadzali, Islam dan Tata
politik. Dalam gerakan Islam modern, Islam Negara; Ajaran dan Sejarah Pemikirannya,
seringkali dinyatakan oleh sebagian pakar (Jakarta: UI Press, 1993), h. 1. Lihat pula John L.
Esposito dan John Voll, Demokrasi di Negara-negara
Muslim; Problem dan Prospek, (Bandung: Mizan,
2 Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik; 1999), h. 2.
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, 4 Munawir Syadzali, Islam dan Tata
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 302. Negara; Ajaran dan Sejarah Pemikirannya, h. 1.
2
Abdul Mustaqim, Wawasan al-Qur’an Tentang Syura dan Demokrasi
Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taymiyah 10 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan al-
tentang Pemerintahan Islam, terj. Masrohin Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
(Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 1-8. Umat, (Bandung: Mizan 1999), h. 482.
3
Jurnal Samawat. Volume 02 Nomor 01 Tahun 2018
bahwa demokrasi tidak identik dengan dan musyawarah antar mereka, maka tidak
syûrâ. ada dosa atas keduanya.”
Prinsip musyawarah dalam Islam Kedua, musyawarah dalam konteks
jelas tidak sesuai dengan model keputusan membicarakan persoalan-persoalan
yang pertama, sebab hal itu justru akan tertentu dengan anggota masyarakat,
membuat syûrâ menjadi “impoten” dan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw.
lumpuh. Demikian pula pada bentuk kedua, bersama sahabat atau anggota masyarakat.
sebab hal itu akan menyisakan pertanyaan Dalam hal ini, al-Qur’an surat ‘Âli ‘Imrân
tentang apa keistimewaan pendapat ayat 158 menyatakan yang artinya:
minoritas sehingga mengalahkan yang “…Bermusyawarahlah kamu (Muhammad)
mayoritas. Memang ada sebagian pakar dengan mereka dalam urusan tertentu.
yang menolak otoritas mayoritas Kemudian apabila kamu telah membulatkan
berdasarkan firman Allah, yang artinya: tekad, bertawakkallah kepada Allah.
“Tidak sama yang buruk dengan yang baik, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
walaupun banyaknya yang buruk itu yang bertawakal kepada-Nya.”
menyenangkan kamu.” (Q.S. Al-Mâidah: Ayat tersebut memberikan
100). Namun demikian pandangan tersebut pertunjuk kepada kaum muslimin,
sulit kita terima, sebab ayat itu bukan khususnya kepada setiap pemimpin agar
berbicara dalam konteks musyawarah, bermusyawarah dengan anggota-
melainkan dalam konteks petunjuk Allah anggotanya. Sebab dengan bermusyawarah
yang diberikan kepada para Nabi dan diharapkan akan memperoleh pandangan
ditolak oleh sebagian anggota yang lebih membawa kebaikan bersama.
masyarakatnya ketika itu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
Walaupun syûrâ dalam Islam Nabi saw., “…Mâ nadima man istasyâra”12
membenarkan keputusan pendapat (Tidak akan merugi orang yang mau
mayoritas, hal itu tidak bersifat mutlak. bermusyawarah). Al-Qur’an dalam surat al-
Demikian antara lain pandangan yang Syûrâ ayat 38 juga menyatakan sebagai
dikemukakan oleh Ahmad Kamâl Abû al- berikut: “…Dan urusan mereka diputuskan
Majad dalam kitabnya Hiwâr lâ dengan cara musyawarah antara mereka…”
Muwâjahah, sebagaimana dikutip oleh Meskipun terdapat beberapa ayat al-
Quraish Shihab. 11 Sebab keputusan Qur’an atau sunnah tentang musyawarah,
pendapat mayoritas tidak boleh menindas hal ini tidak berarti al-Qur’an telah
yang minoritas, melainkan tetap harus menggambarkan sistem pemerintahan
memberikan ruang gerak bagi mereka yang secara tegas dan rinci.13 Nampaknya hal ini
minoritas. Lebih dari itu, dalam Islam, suara memang disengaja oleh Tuhan untuk
mayoritas tidak boleh berseberangan memberikan kebebasan sekaligus medan
dengan prinsip dasar syariat. bagi kreativitas berpikir manusia untuk
Dalam al-Qur’an, minimal ada tiga berijtihad menemukan sistem
ayat yang berbicara tentang musyawarah pemerintahan yang sesuai dengan kondisi
(al-syûrâ). Pertama, musyawarah dalam sosio-kulturalnya. Sangat mungkin hal ini
konteks pengambilan keputusan yang merupakan salah satu sikap demokrasi
berkaitan dengan rumah tangga dan anak- Tuhan terhadap hamba-hamba-Nya.
anak, seperti menyapih anak. Hal ini Lalu bagaimana musyawarah itu
sebagaimana terdapat dalam surat al- dilakukan? Nabi saw. biasa melakukan
Baqarah ayat 233, yang artinya: “Apabila dengan cara beragam. Kadang beliau
(suami-istri) ingin menyapih anak mereka memilih orang tertentu yang dianggap
(sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan
12 Lihat Imâm Jalâluddîn al-Suyûthî, Jâmi‘
11M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; al-Shaghîr, h. 211.
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 13 Muhammad Husayn Haykal, Al-Hukûmah
Syaikh al-Islâm Ahmad ibn Taimiyyah, Jilid XXVIII 17 Bandingkan dengan Muhammad Syahrûr,
(Yogyakarta: LPSM, 1986), h. 90. nilai Demokrasi dan Transformasi Sosial, h. 90.
5
Jurnal Samawat. Volume 02 Nomor 01 Tahun 2018
adalah punya sifat al-‘adâlah atau adil.19 perkara di antara manusia, maka
Bahkan sebagian ulama, ada yang hendaklah kamu memutuskannya dengan
berpendapat bahwa pemerintahan yang adil”.
adil di bawah pemimpin yang kafir itu lebih Kedua, adil dalam arti seimbang. Di
baik dibanding pemimpin muslim tapi sini keadilan identik dengan kesesuaian
zalim. Karena keadilan dalam memimpin (keproporsionalan), bukan lawan dari
merupakan syarat mutlak bagi terciptanya kezaliman. Dalam hal ini, kesesuaian atau
stabilitas sosial yang “sesungguhnya”, keseimbangan tidak mengharuskan
bukan stabilitas sosial yang “seolah-olah” persamaan kadar. Bisa saja satu bagian
karena ada tekanan. Dalam al-Qur’an, berukuran kecil atau besar sedangkan kecil
konsep keadilan diungkapkan dengan kata dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang
al-‘adl, al-qisth, al-mîzân. Keadilan, menurut diharapkan darinya. Hal ini misalnya dapat
al-Qur’an, akan mengantarkan kepada dirujuk pada surat al-Infithâr: 6-7 dan surat
ketakwaan 20 dan ketakwaan akan al-Mulk: 3.
mengantarkan kepada kesejahteraan. 21 Ketiga, adil dalam arti perhatian
Apakah keadilan itu? Banyak definisi terhadap hak-hak individu dan
atau konsep tentang keadilan yang telah memberikan hak itu kepada setiap
dikemukakan oleh para pakar. Menurut pemiliknya. Inilah yang sering dikenal
Plato, dalam konteks kehidupan bernegara, dalam Islam dengan istilah “wadh‘ al-syai’ fî
keadilan berarti bahwa seseorang mahallih”, artinya meletakkan sesuatu pada
membatasi dirinya pada kerja dan tempat tempatnya. Keadilan dalam hal ini dapat
dalam hidup sesuai dengan panggilan diartikan sebagai lawan dari kezaliman,
kecakapan dan kesanggupannya. Keadilan dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak
terletak pada kesesuaian dan keselarasan pihak lain.
dalam fungsi di satu pihak dan kecakapan Keempat, keadilan yang dinisbatkan
serta kesanggupan di pihak lain.22 kepada Allah. Adil di sini berarti
Dalam al-Qur’an, kata al-`adl dalam memelihara kewajaran atas berlanjutnya
berbagai bentuknya terulang dua puluh eksistensi, tidak mencegah kelanjutan
delapan kali. Paling tidak, ada empat makna eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak
keadilan yang dikemukakan oleh para atas semua yang ada sedangkan semua
ulama mengenai keadilan.23 yang ada, pada hakikatnya tidak memiliki
Pertama, adil dalam arti sama. sesuatu di sisi-Nya.24 Dalam konteks ini,
Artinya, tidak membeda-bedakan satu sama penulis cenderung berpendapat bahwa akal
lain. Persamaan yang dimaksud adalah manusia kadang-kadang tidak atau belum
persamaan hak. Ini misalnya dilakukan mampu menangkap keadilan Allah. Banyak
dalam memutuskan hukum, sebagaimana fenomena yang kadang membuat manusia
dinyatakan dalam surat al-Nisâ’: 58 yang bertanya di mana keadilan Allah, sementara
Artinya: ”Apabila kamu memutuskan dia merasa telah berbuat baik, tapi malah
terzalimi dan lain sebagainya.
19 Abû al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad ibn Dari keempat makna keadilan
Habîb al-Bashrî al-Mawardî, Ahkâm al- tersebut, sistem pemerintahan dalam Islam
Sulthâniyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 6. yang ideal, tentunya juga dapat
20 Lihat Q.S. Al-Mâ’idah: 8, Artinya: “Berlaku
individu dan memberikan hak tersebut konsep yang seringkali disalahpahami dan
kepada pemiliknya. disalahgunakan ketika rezim-rezim
totaliter-diktator berusaha memperoleh
4. Prinsip Kebebasan (al-Hurriyyah) dukungan rakyat dengan menempelkan
Kebebasan atau al-hurriyah dalam label demokrasi pada diri mereka sendiri.
pandangan al-Qur’an sangat dijunjung Kini sistem demokrasi merupakan sistem
tinggi, termasuk kebebasan dalam yang telah diterima oleh sebagian negara di
menentukan pilihan agama sekalipun (Q.S. dunia, meskipun dalam pelaksanaannya
Al-Baqarah 256). Bahkan secara tersurat disertai interpretasi atau modifikasi
Allah memberikan kebebasan (Q.S. Al-Kahf: konsepnya sesuai dengan budaya masing-
19) apakah seseorang itu mau beriman atau masing negara.
kafir. 25 Sebab kebebasan merupakan hak Secara historis, demokrasi muncul
setiap manusia yang diberikan Allah sawt., sebagai respons terhadap sistem monarkhi
tidak ada pencabutan hak atas kebebasan diktator Yunani pada abad ke 5 SM. Pada
kecuali di bawah dan setelah melalui waktu, demokrasi diterapkan dalam bentuk
proses hukum. sistemnya di mana semua rakyat (selain
Namun demikian, kebebasan yang wanita, anak dan budak) menjadi pembuat
dituntut oleh Islam adalah kebebasan yang undang-undang. Sedangkan demokrasi
bertanggung jawab. Kebebasan di sini juga modern yang muncul sejak abad 16 M telah
bukan berarti bebas tanpa batas, semaunya mengalami perkembangan. Ide demokrasi
sendiri, melainkan kebebasan yang dibatasi yang merupakan respons terhadap teokrasi
oleh kebebasan orang lain. Contohnya dan monarkhi absolut ini berasal dari Nicoli
adalah bahwa sesorang tidak boleh dengan Machiavelli (1469-1527), sedang gagasan
dalih kebebasan, kemudian membunyikan tentang kontrak sosial oleh oleh Thomas
radio sekeras-kerasnya, namun pada saat Hobbes, gagasan tentang konstitusi negara,
yang bersamaan lalu mengganggu liberalisme dan pemisahan kekuasaan
kebebasan orang lain untuk istirahat menjadi legislatif, eksekutif dan federatif
dengan nyaman, lantaran bunyi radio oleh John Locke (1632-1679) yang
tersebut. kemudian dikembangkan oleh Baron
Dalam konteks kehidupan politik, Motesquieu dengan gagasannya tentang
setiap indivindu dan setiap bangsa pemisahan badan-badan legislatif, eksekutif
mempunyai hak yang tak terpisahkan dari dan yudikatif, serta gagas tentang kontrak
atas kebebasan dalam segala bentuknya sosial dan kedaulatan rakyat dan kontrak
secara fisik, budaya, ekonomi dan politik sosial negara oleh J.J. Roussesau.26
dan berjuang dengan segala cara, asal Karena demokrasi menyangkut
konstitusional untuk melawan pelanggaran sebuah konsep, maka mau tidak mau ia juga
atau pencabutan hak tersebut. mengalami perkembangan pengertiannnya,
dan penerapan konsep itu juga biasanya
Prisip-prinsip Demokrasi disesuaikan dengan konteks dan kondisi
1. Telaah Konseptual Bentuk masing-masing negara. Dengan demikian,
Pemerintahan Demokrasi konsep demokrasi bukanlah merupakan
Bentuk pemerintahan oleh rakyat konsep yang monolitik, melainkan
seringkali disebut oleh banyak orang pluralistik dan selalu dinamis. Sebagai
sebagai demokrasi. Akan tetapi, konsekuensinya, maka mestinya untuk
sesungguhnya demokrasi merupakan menerapkan konsep demokrasi juga tidak
harus dipaksakan seperti dalam kacamata
25 Misalnya dapat dilihat dalam surat al-
Kahf ayat 19: “Dan katakanlah bahwa kebenaran itu 26 Masykuri Abdillah, Gagasan dan Tradisi
berasal dari Tuhanmu, barang siapa yang ingin Bernegara dalam Islam; Sebuah Perspektif
beriman silahkan beriman dan barang siapa ingin Sejarah dan Demokrasi Modern, dalam Jurnal
kufur silahkan kufur.” Tashwirul al-Afkar, edisi 7 tahun 2000, h. 104-105.
7
Jurnal Samawat. Volume 02 Nomor 01 Tahun 2018
pada kenyataan bahwa rakyat itu ada di 3. Respons Umat Islam terhadap
lapis atas, yang kuat dan dekat dengan Gagasan Demokrasi
pusat pengambilan keputusan, ada yang di Respons umat Islam nampaknya
lapis menegah dan ada yang di lapis bawah. juga sangat variatif meskipun dalam Kitab
Hal ini tentu menjadi problem tersendiri Sucinya jelas-jelas menyebut prinsip human
dalam dataran implementatif. dignity (Q.S. Al-Isrâ’: 70) dan pentingya
Kedua, bagaimana jika rakyat sendiri syûrâ dalam menentukan persoalan
tidak menyadari bahwa di tangannya itu bersama (Q.S. Al-Syûrâ: 38) plus
ada kedaulatan, seperti kebanyakan rakyat pengalaman sejarah perpolitikannya.
di negara-negara Timur feodal yang Secara umum, menurut hemat
sebagian besar juga umat Islam. Bagaimana penulis, paling tidak ada tiga polarisasi
jika rakyat sendiri tidak lagi memandang dalam merespons gagasan demokrasi.
perlunya kedaulatan yang ada di Pertama, kelompok umat Islam yang
tangannya, karena apa yang menjadi menolak total gagasan demokrasi, sebab
kepentingan sudah terpenuhi, seperti demokrasi itu adalah produk Barat, bukan
terjadi pada sebagian kalangan menegah di lahir dari ajaran Islam. Dalam al-Qur’an
Amerika, bagaimana pula jika rakyat yang atau hadis tidak ada satupun kata
bersangkutan semakin tidak percaya “demokrasi”. Dalam demokrasi, kedaulatan
bahwa kedaulatan yang ada di tangannya tertinggi ada di tangan rakyat, sedangkan
bisa punya arti bagi perbaikan nasibnya, dalam Islam kedaulatan tertinggi berada di
seperti yang terjadi di Amerika untuk “tangan” Tuhan. Menerima demokrasi
kalangan kelas bawah yang jelata. berarti meniadakan kedaulatan Tuhan.
Untuk itu, jika demokrasi Kelompok ini antara lain diwakili oleh
merupakan kedaulatan di tangan rakyat, Hassan al-Bannâ dan al-Maududî, Yûsuf al-
maka perlu dibedakan antara demokrasi Qaradhâwî dan lain sebagainya. Namun
yang formal prosedural dan demokrasi pada demikian, menurut John L. Esposito,
level material substansial. Yang pertama penolakan mereka terhadap gagasan
berbicara soal bentuk dan termasuk di demokrasi Barat lebih dimaksudkan untuk
dalamnya aturan main tentang siapa yang mengurangi ketergantungan dengan Barat
berhak mengambil keputusan. Sedang yang dan sekaligus penolakan secara
kedua bicara soal isi dan substansi, tentang menyeluruh terhadap kolonialisme Eropa.32
siapa yang harus diuntungkan dengan Kedua, kelompok yang menerima
keputusan itu. Selama ini, demokrasi— gagasan demokrasi. Sebab meskipun dari
khususnya di Indonesia era Rezim Orde Barat, sistem demokrasi dipandang oleh
Baru—sebagai doktrin kedaulatan rakyat kelompok kedua ini seperti sistem syûrâ
nampaknya masih berkutat pada tingkatan (musyawarah). Mereka dengan serta merta
yang pertama, yakni pada level formal- menyamakan demokrasi dengan syûrâ.
prosedural. Bahkan pergumulan pada level Kelompok ini antara lain diwakili oleh ‘Alî
formal-prosedural pun banyak berhenti di ‘Abdul Râziq, Thâhâ Husayn dan
tengah jalan. Sedangkan demokrasi pada Muhammad Syahrûr, pemikir kontemporer
level kedua, material-substansial, masih dari Syiria. Menurut mereka, gagasan
diabaikan. Maka isunya yang penting musyawarah yang notabene nilai dasar
adalah bahwa suatu keputusan didukung dalam demokrasi jelas-jelas disebutkan
oleh suara rakyat. Apakah keputusan yang dalam al-Qur’an atau hadis. Namun
dicap sebagai didukung oleh rakyat benar- nampaknya kelompok ini dengan serta
benar menguntungkan rakyat adalah soal merta menyamakan begitu saja antara
lain.
32 Sebagaimana dikutip oleh Fahmî
Huwaydî, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat
Madani, terj. Muhammad Abdul Ghaffar (Bandung:
Mizan, 1996), h. 153.
9
Jurnal Samawat. Volume 02 Nomor 01 Tahun 2018
syûrâ dengan demokrasi. Padahal ada Keempat prinsip ini, menurut hemat
perbedaan yang jelas antara demokrasi dan penulis, sesuai dengan prinsip Islam. Hal ini
syûrâ. Syûrâ lebih merupakan bagian salah dapat dilihat dari berbagai ayat yang
satu prinsip dasar demokrasi, bukan berbicara tentang keadilan, kesetaraan,
demokrasinya sendiri, dan tidak setiap musyawarah dan kebebasan.
syûrâ dapat dikatakan demokratis. Hal itu 4. Problem Islam dan Demokrasi dalam
tergantung dari apakah syûrâ itu mampu dataran Praksis-Implementatif
mewujudkan nilai-nilai kebebasan dan Meskipun sebagian ulama muslim
keadilan atau tidak. menerima gagasan demokrasi, namun
Ketiga, kelompok yang mencoba banyak di antara mereka yang kurang
melakukan sintesis-kreatif dengan cara melihat secara kritis persoalan kedaulatan
memilih prinsip-prinsip dasar demokrasi rakyat dan keterkaitan demokrasi dengan
yang selaras dengan Islam. Kelompok ini nilai-nilai yang mendasarinya, seperti
diwakili antara lain oleh Muhammad persamaan, kebebasan dan pluralisme.
Husayn Haykal, dengan bukunya yang Memang secara umum penulis
berjudul al-Hukûmah al-Islâmiyyah. sependapat bahwa demokrasi itu
Menurut Husayn Haikal, Islam dan kompatibel dengan nilai-nilai universal
demokrasi sinkron dan selaras dalam Islam, seperti persamaan, kebebasan, syûrâ,
semua hal yang esensial. Yang esensial dan keadilan. Akan tetapi pada dataran
dalam demokrasi, menurutnya, adalah implementatif hal ini tidak terlepas dari
adanya kebebasan, solidaritas sosial, prolmetika. Sebagai contoh, ketika nilai-
pengambilan keputusan berdasarkan suara nilai demokrasi berseberangan dengan
mayoritas. Oleh sebab itu, sistem mana saja hasil ijtihad para ulama, lalu mana yang
yang tidak mengakui kebebasan individu, harus didahulukan? Bukankah gagasan
solidaritas sosial, pengambilan keputusan demokrasi itu juga hasil ijtihad?
berdasarkan suara mayoritas adalah tidak Contoh kecil adalah kasus tentang
sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang orang yang pindah agama dari Islam (baca:
ditetapkan oleh Islam.33 murtad). Menurut pandangan Islam,
Dalam hal ini penulis cenderung berdasarkan hadis yang berbunyi: “Man
sependapat terhadap kelompok ketiga, baddala dînah faqtulûh” (barangsiapa yang
sebab untuk melihat apakah Islam sesuai mengganti agamanya, maka bunuhlah)—
dengan prinsip demokrasi atau tidak, maka dia disuruh taubat terlebih dahulu. Jika
perlu dikemukakan apa saja prinsip dasar tidak mau, maka dia boleh dibunuh atau
dalam demokrasi, baru setelah itu diperangi.35 Hal ini juga pernah dilakukan
diparalelkan dengan prinsip dasar dan tata oleh Khalifah Abû Bakr. Dalam sistem
nilai yang diajarkan Islam ketika mengelola demokrasi, hal ini tidak boleh terjadi, sebab
negara. membunuh orang pindah agama berarti
Prinsip dasar dalam demokrasi yang melanggar kebebasan mereka dan
pokok dan selaras dengan ajaran Islam (al- melanggar HAM (Hak Asasi Manusia).
Qur’an dan hadis) paling tidak ada empat Kemudian dalam demokrasi ada
yaitu: 1) kebebasan (al-hurriyyah); 2) prinsip persamaan antar warga negara.
keadilan (al-a’dâlah); 3) syûrâ (konsultasi Namun dalam Islam ada beberapa hal yang
permusyawaratan); 4) egaliter (al- secara tegas disebut dalam al-Qur’an bahwa
musâwâh). Semuanya tidaklah
bertentangan dengan prinsip Islam. 34 2000), h. 29. Lihat pula Abdur Rahman Wahid,
Sosialisasi Nilai-nilai Demokrasi, Masyhur Amin dan
33 Muhammad Husayn Haykal, Al-Hukûmah Muhammad Najib (ed.), Agama Demokrasi dan
al-Islâmiyyah, h. 88. Transformasi Sosial, (Yogyakarta: LPSM, 1986), h.
34 Bandingkan dengan Bachtiar Efenddi, 89-90.
Islam Demokrasi dan HAM: Problema Doktrin dan 35 Syaikh al-Islâm Zakariyyâ al-Anshârî,
Implementasi, Ahmad Suedy (ed.), Pergulatan Tuhfatu al-Thalab, (t.tp.: Al-Nâsyir Syirkah Nur
Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKiS, Asia, t.th.), h. 118.
10
Abdul Mustaqim, Wawasan al-Qur’an Tentang Syura dan Demokrasi
11
Jurnal Samawat. Volume 02 Nomor 01 Tahun 2018
kita berbeda dengan mereka. Untuk itu waktu itu untuk mencari model yang
diperlukan upaya penyesuaian sesuai terbaik? Sebagai sebuah hasil ijtihad yang
dengan kesiapan sistem sosio-kultural kita notabene human construction tentu dapat
sebagai orang Timur. Demokrasi bukan dirubah dan dapat disesuaikan dengan
segala-galanya. Demokrasi bukanlah sistem masing-masing kondisi bangsa atau
yang “terbaik” secara mutlak. Bukankah masyarakat, tidak begitu saja diterima
demokrasi sesungguhnya merupakan salah sebagai taken for granted hingga nyaris
satu—dan bukan satu-satunya—hasil tanpa kritik. Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.
ijtihad politik manusia yang sarat dengan -
situasi dan kondisi yang melingkupinya
Bibliografi
Abdillah, Masykuri, Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam; Sebuah Perspektif
Sejarah dan Demokrasi Modern, Jurnal Tashwirul al-Afkar, edisi 7 tahun 2000
Afzalur Rahman, Islam Ideology and The Way of Life, Malaysia: AS Noordeen, 1995
Al-Anshârî, Syaikh al-Islâm Zakariyyâ, Tuhfatu al-Thalab, t.tp.: Al-Nâsyir Syirkah Nur Asia, t.th
Badan Penerangan Amerika Serikat, Apakah Demokrasi itu?, USA: United State
Information Agency, 1991
Duncan, Graeme, Democratic Theory and Practice, Cambridge: Cambridge University
Press, 1983
Efenddi, Bachtiar, Islam Demokrasi dan HAM: Problema Doktrin dan Implementasi,
Yogyakarta: LKiS, 2000
Esposito, John L. dan Voll, John, Demokrasi di Negara-negara Muslim; Problem dan
Prospek, Bandung: Mizan, 1999
Flew, Antony, A Dictionary of Philosophy, New York: St. Martin’s Press, 1984
Haikal, Muhammad Husayn, al-Hukûmah al-Islâmiyyah, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.th
Huwaydî, Fahmî, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, Bandung: Mizan, 1996
Ibn Taimiyyah, Al-Siyâsah al-Syar’iyyah, Riyadh: Mathâbi’ Riyâdh, 1963
-------------------, Majmû’ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ahmad ibn Taimiyyah, Riyadh:
Mathâbi’ Riyâdh, 1963
Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taymiyah tentang
Pemerintahan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995
Al-Mawardî, Abû al-Hasan ‘Alî ibn Muhammad ibn Habîb al-Bashrî, Ahkâm al-
Sulthâniyyah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th
Noor, Deliar, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung: Mizan, 1996
Schmitter, Philippe dan Karl, Terry Lynn, What Democracy is and is not?, dalam
Journal of Democracy, Vol. 2 No. 3 Summer 1991
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan 1999
Suedy, Ahmad, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, Yogyakarta: LKiS, 2000
Suseno, Franz Magnis, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994
As-Suyûthî, Jalâluddîn, Jâmi‘ al-Shaghîr, Beirut: Dar al-Fikr, T.th
Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara; Ajaran dan Sejarah Pemikirannya,
Jakarta: UI Press, 1993
Syahrûr, Muhammad, Dirâsah Islâmiyyah Mu’âshirah fî al-Dawlah wa al-Mujtama‘,
Damaskus: Al-Ahâlî li al-Nasyr wa al-Tawzî’, 1994
Wahid, Abdurrahman, Sosialisasi Nilai-nilai Demokrasi dan Transformasi Sosial,
Yogyakarta: LPSM, 1986
12