Anda di halaman 1dari 5

Pemikiran Islam Politik di Indonesia

Oleh : Anang Ma’ruf (A92217102)

A. Islam VS Demokrasi
Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang demokrasi, seperti
Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, yang mengatakan demokrasi adalah suatu
sistem  pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-
tindakan mereka pada wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak
langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil mereka yang terpilih. 1
Kesimpulan dari definisi tersebut adalah demokrasi mengandung nilai-nilai, yaitu
adanya unsur keperacayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat, adanya
pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin.
Menurut pengertian yang lain, Demokrasi adalah pemerintahan rakyat (dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat). Rakyat pemegang kekuasaan mutlak. Pemikiran ini
bertentangan dengan syari’at Islam dan aqidah Islam. Allah berfirman: “Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah”. [Al-An’am/6 : 57].
Memang jika dilihat dari sejarahnya, istilah demokrasi pertama kali muncul di Barat
tepatnya sekitar lima abad sebelum Masehi. Chleisthenes tokoh pada masa itu
dianggap banyak memberi kontribusi dalam pengembangan demokrasi. Gagasan
demokrasi yang berkembang di Yunani sempat hilang di barat. Hingga pada abad
pertengahan, peristiwa Magna Charta dianggap sebagai jalan pembuka munculnya
kembali demokrasi di Barat. Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika sampai masa
renaissance, istilah ini digunakan untuk suatu sistem demokrasi langsung, yakni
masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam
seluruh aktivitas politik, legislatif, eksekutif, yudikatif dsb.
Sejak dulu, sistem pemerintahan semacam ini ditentang oleh filsuf-filsuf besar. Plato
menyifatinya sebagai pemerintahan orang-orang bodoh. Aristoteles menamakannya
pemerintahan orang-orang miskin tak berkeutamaan. Salah satu keberatan lain yang
cukup kasat mata adalah bahwa sistem ini sama sekali tidak praktis apabila jumlah
masyarakat telah membesar. Oleh karena itu, Jean Jacques Rousseau beserta filsuf
politik lain menyempurnakannya dengan teori demokrasi perwakilan, sistem
1
Hamidah, Tutik, “Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam Majalah El-Harakah, No. 52 Tahun
1999. XVIII, hal. 33.
pemilihan para wakil rakyat sebagai pemerintah. Sistem perwakilan ini telah menjadi
norma berharga dan prinsip yang diterima di dunia sehingga memaksa banyak
cendekiawan muslim menciptakan teori demokratisasi Islam.2
Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam KitabNya, bahwa penetap hukum hanyalah
Dia semata, Dialah sebaik-baik yang menetapkan hukum. Dilarang menyekutukannya
dalam menetapkan hukum dan Dia mengabarkan bahwa tidak ada seorang pun yang
lebih baik hukumnya dariNya. Allah berfirman didalam QS. Yusuf: 40, “Keputusan
itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
Didalam islam sendiri dikenal istilah Syura yang menurut bahasa memiliki dua
pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu.
Sedangkan secara istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan definisi syura,
diantara mereka adalah Ar Raghib al-Ashfahani yang mendefinisikan syura sebagai
proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura.
Dalam menyikapi antara demokrasi dan Syura, kalangan intelektual Muslim saling
berbeda pendapat. Pertama, sebagian dari mereka memandang demokrasi dan syura
adalah dua hal yang identik akan tetapi terdapat juga perbedaan. Di antara
cendekiawan Muslim yang beranggapan seperti adalah Imam Khomeini dan Taufiq
al-Syawi yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk syura versi Eropa.
Meskipun begitu, demokrasi tidak sama dengan syura karena tidak berpegang pada
dasar syariat Islam. Menurutnya, demokrasi konvensional sangat rentan terhadap
prilaku diktator, karena demokrasi memungkinkan penguasa melakukan upaya
tertentu merebut dan mempengaruhi kekuasaan legislatif, lalu menciptakan
undangundang tersendiri yang berfungsi untuk memperluas kekuasaannya. 3 Kedua,
sebagian yang lain memandang berbeda yakni syura dan demokrasi adalah dua hal
yang saling berlawanan dan harus ditolak. Di antara cendekiawan Muslim yang
masuk dalam katagori ini adalah Syaikh Fadhallah Nuri, Sayyid Qutub, al-Sya’rawi,
Ali Benhadji, Hasan Turabi, Abu al-A’lâ alMaududi. Ketiga, sebagian lagi dengan
maksud mendamaikan dua kubu yang berlawanan di atas berpendapat bahwa antara
syura dan demokrasi adalah dua istilah yang mempunyai sisi persamaan. Di antara
para cendekiawan yang masuk dalam kelompok ini adalah Muhammad Husein

2
Kiki Muhammad Hakiki, Islam Dan Demokrasi: Pandangan Intelektual Muslim Dan Penerapannya Di
Indonesia, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 (Januari 2016), hal 2
3
Taufiq Al-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, terj. Djamaluddin ZS (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 21-23
Heikal, Fahmi Huwaidi, Mohammad Taha, Abdullah Ahmad al-Na’im, Bani Sadr,
Hasan al-Hakim, dan Amin Rais. Muhammad Husein Heikal berpendapat bahwa
kebebasan, persaudaraan, dan persamaan yang merupakan semboyan demokrasi
dewasa ini juga termasuk di antara prinsip utama Islam. Kaidah-kaidah yang
ditetapkan oleh paham demokrasi sekarang sebenarnya juga merupakan kaidah-kaidah
Islam.4
Adapun perbedaan antara syuura dengan demokrasi yang dianggap oleh para politikus
sebagai aplikasi syuura dalam Islam sebagai berikut:5
1. Demokrasi dibangun di atas partai-partai politik dan perpecahan. Sementara Islam
datang untuk mengajak kepada persatuan dan mencela serta melarang dari
perpecahan dikalangan kaum muslimin, sebab perpecahan adalah salah-satu dari
karakter, watak dan warisan orang-orang jahiliyah.
2. Hak pembentukkan undang-undang (hukum) dalam demokrasi ditangani oleh
golongan tertentu. Sementara dalam Islam at tasyri’ (pembentukan hukum dan
undang-undang, pent.) hanya hak Allah dan Rasul-Nya yang bertugas
menyampaikan wahyu, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam QS. Al Ahzab
ayat 36 “Tidak boleh bagi laki-laki dan perempuan yang beriman apabila Allah
dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu masalah untuk memilih yang lain dari
urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh
ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”
3. Dalam demokrasi, cara yang digunakan untuk mencapai kedudukan dan kursi
kepemimpinan dengan banyaknya suara yang memilih dari semua lapisan
masyarakat. Sedangkan dalam Islam pemilihan khalifah atau pemimpin
berdasarkan kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi (para ulama dan tokoh-tokoh
masyarakat yang terkemuka) dalam memilihnya dan dengan wasiat khalifah atau
pemimpin yang pertama kepada yang sesudahnya, sebagaimana yang dilakukan
dalam pemilihan Abu Bakr Ash-Shiddiq dan Umar dan yang lain.
4. Dalam demokrasi terdapat kerakusan dan ambisi yang kuat untuk menjabat
sebagai pemimpin dan berusaha sekuat tenaga dengan segala cara untuk
memperoleh kursi kepemimpinan, baik dengan cara sogok menyogok, janji-janji

4
Muhammad Husein Heikal, Pemerintahan Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 95
5
Ustadz Muhammad Nur Ihsan, M.A. Syuura vs Demokrasi(2), https://muslim.or.id/580-syuura-vs-
demokrasi-2.html (diakses pada 23-10-2019)
yang palsu dan iming-iming yang menggiurkan. Sementara dalam Islam motifasi
pertama untuk menjabat sebagai pemimpin adalah memperjuangkan Islam dan
menegakkan syari’at Islam. Oleh karena itu Islam melarang dari mencari
kepemimpinan dan meminta jabatan karena di khawatirkan jikalau amanah dan
tanggung jawab tersebut tidak bisa dipikul dan dilaksanakan.
5. Demokrasi dibangun atas kebebasan mutlak dalam berpendapat sekalipun
kebatilan dan kekufuran. Sedangkan dalam Islam kebebasan itu dibatasi dengan
norma-norma agama dan aturan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam.
6. Dalam demokrasi terdapat persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan
tanpa memperhatikan perbedaan fithrah, fisik, akhlak dan agama. Sedangkan
syari’at Islam yang sempurna menyamakan laki-laki dan perempuan dalam
sebagian hukum dan membedakan diantara mereka dalam sebagian yang lainnya,
seperti dalam kepemimpinan, warisan, memerdekan (budak), saksi, diyah (denda),
aqiqah, dan mewajibkan sholat jum’at dan jama’ah atas laki-laki serta
membolehkan bagi perempuan memakai kain sutra dan emas dll.
Islam telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam
kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara. Dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, Al Quran telah menceritakan bahwa syura telah
dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh
ratunya, yaitu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 menggambarkan
musyawarah yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar dari kaumnya guna
mencari solusi menghadapi nabi Sulaiman ‘alahissalam.6 Di dalam ayat yang lain,
di surat Asy Syura ayat 38, Allah Ta’ala berfirman, “Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.
Seluruh ayat al-Quran di atas menyatakan bahwasanya syura (musyawarah)
disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa
syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para
pemangku jabatan. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala
memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para
sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau
6
https://muslim.or.id/6055-syura-dalam-pandangan-islam-dan-demokrasi.html
mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak
diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan,
permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau
shallallahu’alaihi wa sallam tentu lebih patut untuk bermusyawarah”.
Termasuk dalam sistem demokrasi adalah Pemilihan Umum, yang tidak sesuai
dengan islam, sebab orang yang dipilih dan yang memilih untuk memegang
kepemimpinan umum atau khusus tidak disyaratkan memenuhi syarat-syarat yang
sesuai syariat. Metode ini memberi peluang kepada orang yang tidak berhak
memegang kepemimpinan untuk memegangnya. Karena tujuan dari orang yang
dipilih tersebut adalah duduk di dewan pembuat undang-undang (Legislatif) yang
mana dewan ini tidak memakai hukum Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun yang jadi hukum adalah Suara Mayoritas.
B. Kritik
Dari pemaparan diatas dapat diketahui bahwa agama dan demokrasi memang berbeda.
Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran
manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Demokrasi
merupakan system yang bertentangan dengan Islam. Karena system ini meletakkan
rakyat sebagai sumber hukum atau orang-orang yang mewakilinya (seperti anggota
parlemen). Kesepakatan mayoritas akan menjadi UU yang wajib dipegang masyarakat
walaupun bertentangan dengan fitrah, agama dan akal. Dengan system ini,
dikeluarkan aturan bolehnya aborsi, perkawinan sesame jenis, bunga bank,
digugurkannya hukum-hukum syariat, dibolehkannya zina dan khamar. Sedangkan
dalam islam hanya Allah lah sebagai penetap hukum, Dialah sebaik-baik yang
menetapkan hukum.
Demikian pula dengan Syura, meskipun ada persamaan antara syura dan demokrasi
sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian kalangan. Namun, terdapat perbedaan
yang sangat substansial antara keduanya, mengingat bahwa memang syura adalah
sebuah metode yang berasal dari Rabb al-basyar (Rabb manusia), yaitu Allah,
sedangkan demokrasi merupakan buah pemikiran dari manusia yang lemah yang
tentunya tidak lepas dari kekurangan.

Anda mungkin juga menyukai