Anda di halaman 1dari 4

Nama : Muhammad Sya’bani Haris

Asal : PW. KAMMI Jabar

Meraih Kemenangan Islam dengan Sistem Demokrasi

Bismillahirrahmanirrahim
Tidak terasa sudah kurang lebih 97 tahun, Islam mewarnai dunia sebagai Rahmatan lil
‘Aalamiin tanpa adanya Khalifah yang menjadi pusat kepemimpinan. Jika ditelisik dari
setalah wafatnya Rasulullah ‫ ﷺ‬pada tahun 632 H yang kemudian terjadi kekosongan
kepemimpinan, kemudian dilanjutkan oleh pengangkatan Abu Bakar ash-Shiddiq yang
dijadikan Khalifah dengan cara baiat setelah perdebatan oleh para Shahabat, Umar bin
Khatthab yang dijadikan Amirul Mu’minin dengan surat wasiat dari Abu Bakar ash-Shiddiq
yang kemudian disetujui oleh seluruh umat Muslim, Ustman bin ‘Affan yang dijadikan
Amirul Mu’minin dengan pertimbangan Majelis Syuro yang kemudian kaum Muslimin, serta
Ali bin Abi Thalib yang diangkat menjadi Amirul Mu’minin dengan Bai’at secara langsung
yang dimulai oleh para pemuda dan Shahabat lainnya, semuanya mekanisme memutuskan
pemimipin dapat digolongkan secara demokratis atau dapat dikatakan melalui sistem
demokrasi. Lain halnya dengan Khalifah setelah wafatnya Ali bi Abi Tholib, Dinasti
Umayyah mengunakan sistem Monarki Absolut dalam arti kepemimpinan diturunkan
berdasarkan silsilah keluarga, Dinasti Abbasiyyah dengan sistem Monarki, dan pada akhirnya
Dinasti Umayyah (Turki Ustmani) menggunakan sistem Monarki pula.
demokrasi, kata tersebut tidak dapat lepas dari Negara Indonesia, hal tersebut
dibuktikan dengan fakta sejarah bahwa Indonesia telah tiga kali menggunakan sistem tersebut
dalam menjalankan roda pemerintahannya. Dimulai dari demokrasi partementer yang diakhiri
dengan dekrit presiden Soekarno pada tanggal 5 juli dan ditandai dengan berlakunya kembali
UUD 1945, dilanjutkan dengan demokrasi terpimpin yang diakhiri dengan selesainya
kepemimpinan Soekarno, serta demokrasi pancasila yang tetap bertahan hingga saat ini.
Banyak kemudian yang berspekulasi dan berpendapat mengenai sistem demokrasi yang
dijalankan oleh Negara Indonesia, ada yang menolak dan mengusung sistem Khilafah dan
tidak mau ikutserta dalam pemerintahan, ada pula yang kemudian memilih ikut berpartisipasi
dengan pemerintah, dan ada pula yang tidak ikut berpatisipasi yang secara langsung
memisahkan antara Islam dan Negara/Islam dengan Politik. Namun, kedua ketiga tersebut
memiliki tujuan yang sama yaitu menyongsong kemenangan Islam dengan berjalannya
Syariat Islam secara utuh di Indonesia maupun dunia.
Negara Islam dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yang baik, tetapi bukan
merupakan duplikat dari demorkasi barat. Negara Islam serupa dengan negara demokrasi
barat dalam hal keharusan rakyat memilih kepala negara, rakyat tidak boleh dipaksa untuk
menerima pemipin yang akan memimpin mereka, dan tanggung jawab kepala negara di
hadapan wakil-wakil rakyat (bahkan wakil rakyat tersebut berhak memecatnya bila dia
menyimpang dan melakukan kekeliruan serta tidak mendengarkan nasihat mereka). Negara
Islam memberikan memberikan hak kepada setiap individu untuk meberikan nasihat kepada
penguasa, menyuruhnya untuk berbuat ma’ruf dan melarangnya berbuat munkar. Sebab,
setiap pribadi muslim mempunyai hak control terhadap muslim lainnya (apapun jabatanya
dan kedudukannya). Sebagaimana firman Allah :
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebaghagian yang lain. Meraka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang mungkar...” (Q.S. at-Taubah : 71).1) .
Diantara kaidah Syariah yang telah disepakati adalah bahwa sesuatu yang tidak
sempurna kewajiban kecuali dengannya, maka dia juga wajib, dan bila terbukti bahwa
sesuatu sarana diperlukan untuk merealisir tujuan Syariat, maka sarana itu sama hukumnya
dengan tujuan itu. Secara Syariat tidak ada halangan untuk memanfaatkan gagasan teoritis
atau solusi praktis dari non-Muslim. Hal ini dicontohkan Rasulullah ‫ ﷺ‬yang menerima
pemikiran “menggali parit” di seputar kota Madinah yang mupakan pemikiran dari Persia.
Karena orang mukmin selalu berpedoman kepada hikmah. Bila sesuatu ada hikmahnya, maka
dia akan melakukannya.2) . Metode yang digunakan adalah dengan mengambil pelajaran dari
1) “Fiqh Negara”, hal. 37, bab “Rambu-Rambu Negara yang Dibangun Islam”
2) “Fiqh Negara”, hal. 176, bab “Islam dan Demokrasi”
berbagai konsep, pemikiran, dan pengalaman orang lainyang bermanfaat, selama tidak
bertentangan dengan teks yang tegas dan kaedah syariat yang baku. Kemudian menelaah
berbagai konsep pemikiran lain itu, lam menambahkan dan mengurangkan, serta
menyuntikkan ke dalamnya roh nilai-nilai Islam, sehingga hal tersebut menjadi pemikiran
dan konsep yang lebih baik.3)
Ada yang berpendapat bahwa demokrasi adalah pemerinytahan raktyak dengan rakyat,
bertentangan dengan prinsip kekuasaan yang hanya ditangan Allah. Hal itu tidaklah benar,
karena prinsip kekuasaan rakyak yang merupakan fondasi demokrasi, tidak bertentangan
dengan prinsip kekuasaan Allah yang merupakan fondasi legislasi Islami walaupun
bertentangan dengan dengan prinsip kekuasan individu yang merupakan dasar pemerintahan
diktator. Bukanlah suatu keharusan bagi para pendukung demokrasi untuk menolak
kekuasaan Allah atas manusia. Kebanyakan pendukung demokrasi tidak pernah berpikir
tentang ini. Perhatian mereka hanya tertuju untuk menolak kekuasaan atau pemerinrtahan
dictator yang sewenang-wenang yang dipaktekkan oleh tiran yang angkuh dan sombong
sesuai Hadist Rasulullah bahwa mereka dinamanakan “raja yang kejam” atau raja yang
bengis” yang berate araja yang angkuh dan sombong. Yang dimaksud demokrasi menurut
pendukungnya dengan ungkapan islami adalah rakyat boleh menolak pemerintahan imam bila
perintah itu menyuruh untuk melakukan maksiat, rakyak berhak memecat pemimpinnya bila
4)
menyimpang dan berlaku zalim serta tidak pula menanggapi nasihat dan peringatannya.
Khawarij yang kemudian mengatakan “Tidak ada hukum selain hukum Allah” pada dasarnya
benar, namun menjadi salah ketika tidak ditempatkan pada tempatnya. Khawarij
mengungkapkan hal itu untuk menolak pengadilan manusia dalam menyelesaikan pertikaian.
Hal ini bertentangan dengan teks al-Qur’an yang membolehkan manusia untuk emutuskan
pertikaian dalam berbagai ayat.5)
Dalam demokrasi, dikenal pemungutan suara. Hal itu diperbolehkan sebab pemungatan
suara tidak diperbolehkan dalam berbagai masalah yang permannen dan pasti. Adapun
diperbolehkan dalam persoalan Ijtihadi yang mengandung berbagai kemungkinan seperti
memilih salah seorang calon untuk menduduki suatu jabatan, walaupun jabatan kepala
negara, membuat undang-undang lalu lintas, menata gedung pertokoan, kawasan industry dan
rumah sakit, atau masalah lain yang dinamakan fuqaha dengan “Mashlahatul Mursalah”
(kepentingan umum) seperti menetapkan keputusan untuk perang atau tidak, memberlakukan
pajak tertentu atau tidak, mengumumkan keadaan darurat atau tidak, pembatasan kepala
negara, boleh atau tidak memilihnya sekali lagi, dan sebagainya.6). Dalam Demokrasi dikel
pula sistem Multipartai serta keintsertaan dalam pemerintahan (yang pada dasarnya bukan
3) “Penyeleaian Islami Merupakan Suatu Keharusan”, pasal “Syarat-Syarat Penyelesaian Islam”
4) “Fiqh Negara”, hal. 178, bab “Islam dan Demokrasi”
5) “Fiqh Negara”, hal. 179, bab “Islam dan Demokrasi”
6) “Fiqh Negara”, hal. 182, bab “Islam dan Demokrasi”
pemerintahan yang berasaskan Islam). Pada sistem multipartai diperbolehkan dengan dua
syarat/hal penting agar berbagai partai tersebut menjadi legal :
1. Partai-partai tersebut harus mengakui Islam sebagai akidah dan syariah, tidak boleh
melanggar ajaran-ajarannya dan tidak boleh pula menjadikannya sebagai kedok,
walaupun berbagai partai itu mempunyai ijtihad sendiri dalam memahaminya
berdasarkan kaedah-kaedah ilmiah yang sudah ditetapkan.
2. Partai-partai itu tidak boleh bekerja demi kepentingan pihak-pihak yang memusuhi
Islam dan ummatnya, apapun nama dan bentuknya.
Tidak dibenarkan mendirikan partai yang menghimbau untuk mengembangkan faham
ateisme, liberalisme, dan sekularisme, atau fam yang mencela agama-agama samawi secara
umum, khususnya Islam, atau menghina berbagai keluhuran dan kesucian Islam, seperti
Aqidah, Syariah, al-Qur’an dan Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.7) .
Dari berbagai uraian yang telah dibuat, maka suatu kewajiban kita selaku AB-3
khusunya dan umat Muslim umumnya untuk mencegah kemungkaran yang ada di
Pemerintahan dengan ikut serta dalampemerintahan, menjalankan nilai-nilai Islam di sana
diikuti Ikhitiar untuk mengubah kebijak-kebijakan yang ada secara bertahap hingga pada
akhirnya Negara Indonesia ini menjadi yang berdasarkan Syariat Islam hingga Hadist
Rasulullah ‫ ﷺ‬Allah wujudkan yaitu “Khilafah min Hajin Nubuwwah”

7) “Fiqh Negara”, hal. 190, bab “Sistem Multipartai dalam Negara Islam”

Anda mungkin juga menyukai