Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

BERSATU DALAM KERAGAMAN DAN DEMOKRASI

Diajukan untuk memenui tugas mata pelajaran Pendidikan Agama Islam

Guru Pembimbing : Drs. Wahyudin, M.Ag.

Disusun oleh :

1. Muhammad Afal Miratul Adzam


2. Hani dwi Fadillah
3. Randi hadi mulyadi
4. Rinjani
5. Siti fazriah
6. Shela dwi amaliyanti

SMA NEGERI 1 MANDIRANCAN


I. Demokrasi dan Syura dalam Islam
Demokrasi diidentikkan dengan dan Syura dalam Islam karena adanya
persamaan antara keduanya.

A. Demokrasi

Kata Demokrasi berasal dari kata “:Demos” yang berarti Rakyat. Dan
“Kratos” yang berarti Kekuatan.[1] Menurut Abraham Lincoln, Demokrasi adalah
pemerintahan dari Rakyat, oleh Rakyat dan untuk Rakyat (Government of the
People, by the People, for the People). [2]

Dalam QS.Ali-Imran ayat 159 :

‫ض >وا ِم ْن َحوْ لِ>>كَ فَ>>اعْفُ َع ْنهُ ْم‬ ُّ َ‫ب ال ْنف‬ ِ ‫فَبِ َم>>ا َرحْ َم> ٍة ِمنَ هَّللا ِ لِ ْنتَ لَهُ ْم َولَ>>وْ ُك ْنتَ فَظًّ>>ا َغلِي >ظَ ْالقَ ْل‬
)١٥٩( َ‫اورْ هُ ْم فِي األ ْم ِر فَِإ َذا َع َز ْمتَ فَت ََو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ ِإ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمت ََو ِّكلِين‬ ِ ‫َوا ْستَ ْغفِ ْ>ر لَهُ ْم َو َش‬
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Secara istilah, kata demokrasi dapat ditinjau dari dua segi makna.

Pertama, demokrasi dipakai sebagai suatu konsep yang berkembang dalam


kehidupan politik pemerintah, yang di dalamnya terdapat penolakan terhadap
adanya kekuasaan yang terkonsenntrsi pada satu orang dan menghendaki
peletakan kekuasaan ditangan orang banyak (Rakyat) baik secara langsung
maupun dalam perwakilan.

Kedua, demokrasi dimaknai sebagai suatu konsep yang meghargai hak-hak dan
kemampuan indivdu dalam kehidupan bermasyarakat.

B. Syura
Menurut bahasa, dalam kamus mu’jam maqayis al-Lugah, syura memilik
dua pengertian, yaitu menampakan dan memaparkan sesuatu atau mengambil
sesuatu. [3]

Seperti dalam surah Asy Syura: 38

Artinya : “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, dan
mendirikan salat, sedang nrusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami-berikan kepada
mereka.” (QS Asy Syura: 38).

Isi kandungan surah Asy-Syura diatas adalah agar senantiasa bermusyawarah


untuk menentukan sikap di dalam menghadapi hal-hal yang pelik dan penting.

Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama terdahulu telah memberikan


definisi Syura, diantara mereka adalah :

a. Ar-Raghib al-Asfhani dalam kitabnya Al-Mufradat fi Gharib al-


Qur’an, mendefinisikan syura sebagai “proses mengemukakan
pendapat dengan saling mengoreksi antara peserta syura”.
b. Inu al-Rabi al-Maliki dalam Akham al-Qur’an medefinisikannya
dengan “berkumpul untuk menerima pendapat (dalam suatu
permasalahan) yang peserta syura nya saling mengeluarkan pendapat
yang dimiliki”.
c. Sedangkan definisi syura diberikan oleh pakar fikih kontemporer
dalam asy syura fi zilli nizami al-Hukum al-Islami. Diantaranya adalah
d. “proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permaasalahan
untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran”.

C. Persamaan dan Perbedaan Demokrasi Dengan Syura


Persamaannya antara demokrasi dengan syura yaitu proses memaparkan
berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam
suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal,
agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga
tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan.[4]

Sedangkan perbedaannya adalah sebagai berikut :

a. Sistem demokrasi hanya berusaha untuk merealisasikan berbagai tujuan


yang bersifat materil demi mengangkat martabat bangsa dari segi

ekonomi, politik, dan militer. Sedangkan sistem Syura tetap


memperhatikan faktor-faktor tersebut tanpa mengenyampingkan aspek
ruhiyah diniyah, bahkan aspek inilah yang menjadi dasar dan tujuan dalam
sistem Islam.Dalam sistem Islam, aspek ruhiyah menjadi prioritas tujuan
dan kemaslahatan manusia yang terkait dengan dunia mereka ikut
beriringan di belakangnya

b. Di dalam sistem demokrasi, rakyat memegang kendali penuh. Suatu


undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan
masyarakat. Sedangkan dalam sistem Syura seluruh kendali berpatokan
pada hukum Allah suhanahu wa ta’ala. Masyarakat tidaklah diperkenankan
menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai

dengan hukum Islam yang telah diterangkan-Nya dalam al-Quran dan


lisan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

c. Demokrasi memiliki kaitan erat dengan eksistensi partai-partai politik,


padahal hal ini tidak sejalan dengan ajaran Islam karena akan
menumbuhkan ruh perpecahan dan bergolong-golongan.

d. Syura menggariskan batasan syar’i yang bersifat tetap dan tidak boleh
dilanggar oleh majelis syura. Adapun demokrasi tidak mengenal batasan
yang tetap. Justru aturan-aturan yang dibuat dalam sistem demokrasi
berevolusi dan menghantarkan tercapainya hukum yang mengandung
kezhaliman menyeluruh yang dibungkus dengan slogan hukum mayoritas.

D. Pandangan Ulama Tentang demokrasi

a. Abdul A’la Al-Maududi

Abdul A'la Al-Madudi menolak dengan sangat tegas tentang


adanya demokrasi. Menurut pendapatnya, Islam tidak dikenalkan atau
mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar bahkan
kekuasaan penuh kepada rakyat untuk menetapkan semua hal-hal yang
berkaitan dengan roda pemerintahan yang detail maupun skala besar.
Paham demokrasi ini adalah buatan manusia tepatnya produk dari
kalangan orang-orang Barat atas dasar pertentangan Barat pada agama
sehingga paham ini cenderung menjurus ke arah sekuler. Oleh sebab itu,
al-Maududi memberikan anggapan bahwa demokrasi modern ala Barat
merupakan suatu hal yang bersifat syirik. Menurut pendapatnya, Islam
menganut paham yaitu berdasarkan hukum Tuhan yaitu Allah Swt. [5]

b. Mohammad Iqbal

Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan


juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan
legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di
tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut
merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum
tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan
hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk
sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara
manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan)
hukum-Nya.[6]

Mohammad Iqbal pun, menawarkan sebuah solusi yaitu konsep demokrasi


spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Model demokrasi
yang disarankan oleh Iqbal adalah sebagai berikut.

● Tauhid sebagai landasan asasi.


● Kepatuhan terhadap hukum.
● Saling toleransi sesama warga.
● Tidak ada batasan wilayah, ras, dan juga warna kulit.
● Penafsiran hukum dari Tuhan melalui ijtihad.

c. Yusuf Al-Qardhawi

Al-Qardhawi berpendapat, bahwa substansi demokrasi adalah


sejalan dengan ajaran agam Islam. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa hal
yaitu, sebagai berikut.

● Di dalam teori demokrasi proses pemilihan melibatkan khalayak ramai


untuk mengangkat salah seorang dari kandidat yang berhak untuk
memimpin dan mengurusi segala urusan serta keadaan masyarakat. Dari
hal ini, jelas bahwa masyarakat memilih pemimpin yang disukainya dan
tidak akan memilih pemimpin yang tidak disukainya. Hal ini sejalan
dengan ajaran islam, Islam menolak seseorang menjadi imam dalam solat
yang tidak disukai oleh ma'mumnya.
● Hal yang sejalan dengan Islam lainnya adalah mendorong rakyat
senantiasa melakukan usaha untuk meluruskan penguasa yang tirani.
Karena amar ma'ruf dan nahi mungkar serta selalu memberikan nasihat

kepada pemimpin yang memimpin rakyatnya adalah bagian dari ajaran


Islam.
● Pemilihan umum atau yang dikenal dengan pemilu juga termasuk jenis
pemberian saksi. Oleh karena itu, barangsiapa yang sama sekali tidak
menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat calon pemimpin yang
seharusnya dipilih dan benar-benar layak dipilih menjadi kalah dan suara
mayoritas condong kepada kandidat yang sebenarnya kurang layak bahkan
tidak layak menjadi pemimpin, berarti dia telah menyalahi aturan dan
perintah Allah Swt untuk senantiasa memberikan kesaksian pada saat
dibutuhkan.
● Penetapan suatu hukum-hukum yang didasarkan kepada suara mayoritas
rakyatnya juga tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Suara
mayoritas yang diambil ini tidak boleh bertentangan dengan nash syariat
secara tegas.
● Kebebasan mengemukakan pendapat, dan juga kebebasan pers, serta
otoritas pengadilan merupakan sebagian hal di dalam teori demokrasi yang
tentu sejalan dengan ajaran Islam.

d. Salim Al-Bashnawi

Menurut pendapar dari Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi


mengandung sisi-sisi yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran
agama Islam, tetapi juga di dalamnya terdapat sisi negatif yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Sisi baik atau positif dari demokrasi ini adalah adanya kedaulatan
rakyat selama hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Sementara,
Sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif yang begitu bebas
yang bisa mengarah kepada sikap untuk menghalalkan yang haram dan
juga bisa mengharamkan yang halal.
Atas dasar kedua sisi dari demokrasi tersebut Salim Ali al-
Bahasnawi memberikan suatu Islamisasi demokrasi yang dirumuskan
sebagai berikut.

● Menetapkan tanggung jawab setiap dari masing-masing individu di


hadapan Allah Swt.
● Wakil-wakil rakyat harus berlandaskan akhlak Islam dalam melaksanakan
tugas dan dal musyawarah.
● Mayoritas tidak menjadi ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak
ditemukan di dalam al-qur'an dan hadist/sunnah.
● Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan untuk mendapatkan
jabatan sehingga hanya ang bermoral baik yang dapat duduk di parlemen. 

e. Muhammad Imarah

Muhammad Imarah berpendapat bahwa di dalam demokrasi,


kekuasaan legislatif untuk membuat dan menetapkan hukum secara mutlak
berada pada tangan rakyat. Hal itu sangat bertentangan dengan agama
islam karena kekuasaan penuh tersebut ada di tangan Allah Swt. Allah Swt
lah pemegang hukum dan segala kekuasaan tertinggi. Manusia hanyalah
makhluk ciptaanNya yang hanya bisa menjabarkan dan merumuskan
hukum-hukum sesuai prinsip yang diturunkan Tuhan serta juga berijtihad
untuk sesuatu yang tidak diatur secara rinci oleh ketentuan Allah Swt.

Jadi Muhammad Imarah mengemukakan bahwa Allah Swt lah


yang berjabat atau berposisi sebagai legislator, sementara itu manusia
hanyalah sebagai faqih atau yang memahami dan menjabarkan hukum-
hukum yang telah digariskan oleh Allah Swt. 

  Demokrasi yang dijunjung tinggi oleh kalangan orang-orang Barat


berpulang kepada padangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan.
Seperti yang telah Aristoteles ungkapkan, bahwa Tuhan menciptakan alam
semesta ini dan lalu dibiarkan-Nya, ungkapan ini termasuk teori di dalam
filsafat Barat, dan disebutkan juga bahwa setelah itu manusia diberikan
kewenangan penuh berupa kewenangan legislatif dan eksekutif.

Sementara kita lihat di dalam agama Islam, Allah Swt lah yang
memegang atau pemegang otoritas tersebut. Adapun hal yang lainnya di
dalam demokrasi yang sejalan dengan islam seperti membangun hukum
atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, dan juga orientasi pandangan
umum, termasuk lain sebagainya. 

II. Keberagaman Dalam Islam dan Demokrasi

A. Keberagaman dalam Islam

Islam yang telah kita ketahui selama ini merupakan salah satu agama yang
memiliki pengikut terbanyak di Indonesia, kalau kita kaitkan dengan konteks dan
perubahan zaman sekarang, bagaima Islam memandang keberagaman/pluralitas
yang ada dinegri  ini, bahkan di dunia. Sebagaimana yang telah disebutkan
berkali-kali oleh Allah SWT didalam Al Qur’an. Islam sangat menjunjung
keberagaman/pluralitas, karena keberagaman/pluralitas merupakan sunatullah,
yang harus kita junjung tinggi dan kita hormati keberadaannya.
            Seperti dalam (Qs Al Hujurat:13), Allah SWT telah menyatakan “Wahai
para manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki,
dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku,
supaya kamu saling mengenal”.
Dari ayat Al Qur’an tadi, menunjukan bahwa Allah sendiri lah yang telah
menciptakan keberagaman, artinya keberagaman didunia ini mutlak adanya.
Dengan adanya keberagaman ini, bukan berarti mengenggap kelompok, madzab,
ataupun keberagaman yang lain sejenisnya mengenggap kelompoknya lah yang
paling benar.

B. Pandangan Islam terhadap Keberagaman


            Melihat keberagaman saat ini, Allah SWT. telah memberikan jalan keluar
untuk menyikapi keberagaman tersebut, yaitu pandanglah keberagaman sebagai
rahmat yang harus disyukuri, dan angaplah keragaman merupakan nikmat dari
Allah.  
Di dalam Al qur’an (Qs Ali Imran:103) telah disebutkan, yang artinya”
dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai”, kalau kita artikan secara literal ayat diatas, maka yang ada
keberagaman-keberagaman tidak mendapatkan tempat.
Dengan demikian, keragaman akan mengerah kepada menejemen konfik
yang disebut dengan “Mutual Enrichment” artinya, saling mengayakan,
memperkaya, dengan kelompok lain, bukan malah saling bertengkar. Karena
masing-masing kelompok menginginkan sesuatu hal yang baru yang  belum
pernah ia miliki, atau mereka temui.
Islam mengakui keberagaman ada, termasuk keberagaman dalam agama.
Dalam Islam seorang muslim dilarang memaksa orang lain untuk meninggalkan
agamanya dan masuk Islam dengan terpaksa, karena Allah telah berfirman:

‫ال إكراه في الدين‬


“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (QS.Al-Baqarah: 256)

Hal yang terpenting dalam menyikapi perbedaan pendapat terhadap


masalah ijtihadiyah adalah bagaimana seseorang bertindak lebih dewasa untuk
dapat menghargai pendapat orang lain, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh
para Imam Mazhab. Dan tidak menganggap pendapat nya benar.

Anda mungkin juga menyukai