PENDAHULUAN
Demokrasi merupakan sebuah sistem yang paling banyak dianut pada masa ini. Saat ini,
banyak sekali Negara yang menganut sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahannya.
Demokrasi sendiri berarti sistem yang berasal dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi
dalam pengambilan keputusan, dan persamaan hukum. Dalam tradisi negara-negara barat,
demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi pemerintah bagi
dirinya sendiri dan wakil rakyat menjadi pengendali yang bertanggung jawab terhadap
tugasnya. Oleh karenanya, rakyat tidak mungkin mengambil keputusan karena jumlah yang
terlalu besar. Maka dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah dipilih secara
langsung oleh rakyat dan berfungsi sebagai penyalur aspirasi dan membuat kebijakan untuk
kepentingan rakyat demi kesejahteraan rakyat.
Sistem demokrasi pun dipercaya sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia.
Indonesia memiliki badan legislatif yang anggotanya merupakan wakil rakyat. Rakyat juga
berwenang memilih presiden dan wakil presiden. Namun kenyataannya, Indonesia masih
dalam masa “belajar” berdemokrasi, masih dalam masa sosialisasi tentang demokrasi yang
sebenarnya. Masih banyak rakyat yang tidak mengerti hakikat dari berdemokrasi, dan masih
banyak pula yang salah mengaplikasikan bentuk dari demokrasi tersebut.
Dalam Islam, demokrasi telah diajarkan Rasulullah SAW. Yaitu dengan musyawarah.
Contohnya, pada saat perang badar, beliau mendengarkan saran sahabatnya mengenai lokasi
perang walaupun itu bukan pilihan yang yang diajukan olehnya. Rasulullah pun mulai sering
melakukan musyawarah bersama sahabat-sahabatnya untuk memutuskan sesuatu. Namun
yang terjadi saat ini, banyak orang yang menganggap bahwa sistem demokrasi diadaptasi dari
Negara-negara barat, sehingga sistem demokrasi dianggap tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
Islam. Musyawarah dalam Islam dianggap sebagai suatu cara untuk menemui kata mufakat
secara adil dan kekeluargaan. Sedangkan sistem demokrasi negara barat dianggap memiliki
tujuan yang bersifat duniawi dan materialistis. Maka dari itu, kita perlu memahami hakikat
demokrasi, musyawarah dan pelaksanaan demokrasi yang ideal yang sesuai dengan kaidah-
kaidah Islam serta sesuai dengan cita-cita bangsa dalam Pancasila.
1
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
2
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua kata, yaitu demos,
yang berarti rakyat, dan cratein, yang berarti pemerintah. Maka dilihat dari arti katanya,
istilah demokrasi mengandung arti pemerintahan rakyat, yang kemudian lebih dikenal dengan
pengertian pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government from the
people, by the people, and for people)
Batasan demokrasi menurut pengertian secara harafiah diatas menimbulkan
kontradiksi dalam pemahamannya, karena dalam pengertian demikian berarti yang berjumlah
lebih banyak memerintah yang jumlahnya lebih sedikit, sedangkan dalam kenyataannya
adalah sebaliknya, yaitu yang berjumlah lebih sedikit memerintah, yang berjumlah lebih
banyak diperintah. Mengenai pengertian demokrasi ini Jean Jacques Rousseau
mengemukakan: “Kalau dipegang arti kata seperti diartikan umum, maka demokrasi yang
sungguh-sungguh tidak pernah ada dan tidak ada. Adalah berlawanan dengan kodrat alam,
bahwa yang berjumlah terbesar memerintah, sedangkan yang paling sedikit harus diperintah”
Berhubungan dengan hal itu, maka demokrasi dapat diberikan pengertian sebagi suatu sistem
pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat. Dari hal tersebut sesungguhnya pengertian
demokrasi itu mengalami perkembangan sejalan dengan paham dan asas yang dianut oleh
suatu Negara dalam kehidupan bernegara.
Negara-negara yang ada didunia kini mendasarkan diri atas paham dan asas
demokrasi, meskipun paham dan asas yang dianutnya tersebut didalam pelaksanaannya tidak
sama atau berbeda, sehingga kita mengenal adanya berbagai sebutan yang dikaitkan dengan
paham demokrasi, seperti : social democracy, liberal democracy, people democracy, guided
democracy, dan sebagainya.
Pelaksanaan demokrasi yang tidak sama antara Negara yang satu dengan lainnya
dapat dilihat dalam berbagai konstitusi Negara, dimana dikenal adanya macam-macam
bentuk dan sistem ketatanegaraan seperti: Negara kesatuan dan Negara federal, Negara
republik dan Negara kerajaan, dengan sistem yang dianutnya sepert: sistem satu kamar dan
dua kamar, sistem pemerintahan parlementer dan pemerintahan presidensil, sistem diktatorial
dan sistem campuran, dan sebagainya.
3
2.2 Ayat dan hadist yang mengandung nilai-nilai demokrasi
Dalam agama Islam, banyak dalil yang menunjukkan perintah untuk mentaati
pemerintah, selain dalam hal maksiat kepada Allah. Diantaranya firman Allah dalam Al-
Quran :
1. Q. S. An-Nisa: 59
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu." (QS. An-Nisa: 59)
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S. Ali Imran: 159)
Isi kandungan Ayat sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Fi Dzilalil Quran karya Sayid
Qutub:
a. Dalam menghadapi semua masalah harus dengan lemah lembut melalui jalur musyawarah
untuk mufakat, tidak boleh dengan hati yang kasar dan perilaku kekerasan.
b. Mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan setiap urusan.
c. Apabila telah dicapai suatu kesepakatan, maka semua pihak harus menerima dan
bertawakal (menyerahkan diri dan segala urusan) kepada Allah.
d. Allah mencintai hamba-hambanya yang bertawakkal.
4
3. Q.S. asy-Syura: 38
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka;
dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Asy
Syura : 38)
Isi Kandungan Ayat sebagaimana dijelaskan tafsir Quran Karim karya Mahmud Yunus:
a. Perintah kepada setiap muslim untuk bertakwa kepada Allah.
b. Perintah Allah kepada setiap muslim untuk mendirikan Shalat.
c. Menggunakan jalur musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan setiap perkara.
d. Menafkahkan sebagian rizki kita kepada orang-orang yang tidak mampu.
"Wajib bagi setiap lelaki muslim untuk mendengar dan taat (kepada atasan), baik ketika dia
suka maupun tidak suka. Selama dia tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Jika dia
diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengarkan maupun
mentaatinya". (HR. Bukhari 7144, Abu Daud 2626 dan yang lainnya)
“Kami membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjanji setia untuk mendengar dan
taat (kepada pemerintah), baik ketika kami semangat maupun ketika tidak kami sukai. Dan
kami dilarang untuk memberontak dari pemimpin yang sah.” (HR. Bukhari 7199 dan Muslim
1709).
5
Asbabu al-Nuzul atau sebab turunnya ayat ini menurut Ibn Abbas berkenaan dengan
Abdullah bin Huzaifah bin Qays as-Samhi, ketika Rasulullah saw. mengangkatnya menjadi
pemimpin dalam sariyyah (perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah saw.). As-Sady
berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid
ketika mereka diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai pemimpin dalam sariyah. Q.S. an-
Nisa/4: 59 memerintahkan kepada kita untuk menaati perintah Allah Swt., perintah
Rasulullah saw., dan ulil amri.
Ada beberapa pendapat dari berbagai ulama mengenai pengertian ulil amri sebagai
berikut.
1. Abu Jafar Muhammad
Arti ulil amri adalah umara, ahlul ‘ilmi wal fiqh (orang yang memiliki ilmu dan
pengetahuan akan fiqh). Ulama yang lain, bin Jarir at-Thabari berpendapat bahwa sahabat-
sahabat Rasulullah saw. itulah yang dimaksud dengan ulil amri.
2. Al-Mawardi
Ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat "ulil amri", yaitu: (1) umara (para
pemimpin yang berkonotasi pemimpin masalah keduniaan), (2) ulama dan fuqaha, (3)
sahabat-sahabat Rasulullah saw., (4) dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar.
3. Ahmad Mustafa al-Maraghi
Menurut Ahmad Mustafa al-Maraghi, ulil amri itu adalah umara, ahli hikmah, ulama,
pemimpin pasukan dan seluruh pemimpin lainnya. Kita memang diperintah oleh Allah Swt.
untuk taat kepada ulil amri (apa pun pendapat yang kita pilih tentang makna ulil amri).
Namun, perlu kita perhatikan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak digandengkan
dengan kata “taat”; sebagaimana kata “taat” yang digandengkan dengan Allah Swt. dan rasul-
Nya. Quraish Shihab, Mufassir Indonesia, memberi ulasan yang menarik: “Tidak
disebutkannya kata “taat” pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada
mereka tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan atau memiliki syarat dengan ketaatan kepada
Allah Swt. dan rasul-Nya. Artinya, jika perintah itu bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
Allah dan rasul-Nya, tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Lebih lanjut Rasulullah
saw. menegaskan dalam hadis yang Artinya: “Dari Abi Abdurahman, dari Ali sesungguhnya
Rasulullah bersabda... Tidak boleh taat terhadap perintah bermaksiat kepada Allah,
sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang makruf.” (H.R. Muslim) Umat Islam wajib
menaati perintah Allah Swt. dan rasul-Nya, Umat Islam juga diperintahkan untuk mengikuti
atau menaati pemimpinnya. Tentu saja, apabila pemimpinnya memerintahkan kepada hal-hal
yang baik. Jika pemimpin tersebut mengajak kepada kemungkaran, wajib hukumnya untuk
kita tolak.
2.3 Peran peran yang terdapat pada ayat dan hadist surat an-nisa ayat 59
Peranan para pemimpin sangatlah penting. dari terkecil sampai suatu Negara sebagai
institusi terbesar,tidak akan stabil tanpa adanya pemimpin. Tanpa adanya seorang pemimpin
dalam sebuah Negara,tentulah Negara tersebut akan menjadi lemah dan mudah terombang
ambing oleh kekuatan luar. Oleh karena itu, islam memerintahkan umatnya untuk taat kepada
pemimpin karena dengan ketaatan rakyat kepada pemimpin (selama tidak melakukan
maksiat) akan terciptalah keamanan dan ketertiban serta kemakmuran.
6
2.4 Hubungan peran ayat dan hadist tersebut dengan kondisi objektif di lapangan
Misalnya sholat, Rasul bersabda bahwa cara kita melaksanakan sholat sama seperti yang
rasul lakukan. Penerapan ketaatan dalam kehidupan dapat dilakukan dengan mengacu kepada
kandungan surat an-nisa ayat 59 :
- Ketaatan kepada allah swt
Ketaatan kepada allah menempati posisi ketaatan tertinggi. Sebagai seorang muslim,tidak
ada satu pun di dunia ini yang dapat mengalahkan ketaatan kita kepada allah swt.
- Berperilaku taat dalam keseharian.
Memiliki sifat taat akan memberikan akibat yang baik bagi pemiliknya. Jika setiap orang
telah memahami maksud sikap ini,iya akan menerapkanya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi
dapat di pastikan kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara akan berjalan dengan
harmonis.
7
c. Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Landasan formal demokrasi ini yaitu Pancasila, UUD 1945 serta ketetapan MPRS.
Dalam usaha meluruskan penyelewengan terhadap UUD pada masa demokrasi terpimpin,
Tap MPRS No. III/1963 mengenai penetapan masa jabatan seumur hidup Ir. Soekarno telah
dibatalkan.
Beberapa perumusan tentang demokrasi Pancasila sebagai berikut :
1) Demokrasi dalam bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-
asas Negara hukum dan kepastian hukum.
2) Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi
semua warga Negara.
3) Demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya bahwa pengakuan dan perlindungan
HAM, peradilan yang tidak memihak.
Dengan demikian secara umum dapat dijelaskan bahwa watak demokrasi Pancasila
tidak berbeda dengan demokrasi pada umumnya. Karena demokrasi Pancasila memandang
kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi. Namun demikian “demokrasi
Pancasila” dalam rezim Orde Baru hanya sebagai retorika dan gagasan belum sampai pada
tataran praktis atau penerapan. Karena dalam praktiknya rezim ini sangat tidak memberikan
ruang bagi kehidupan berdemokrasi.
8
3) Pembenaran kebenaran : Dalam waktu yang dimungkinkan, karena keperluan untuk
suatu keputusan, setiap warga Negara harus mempunyai peluang yang sama dan
memadai untuk melakukan penilaian logis demi mencapai hasil yang paling
diinginkan.
4) Kontrol Terakhir terhadap agenda : Masyarakat harus mempunyai kekuasaan
eksklusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan
melalui proses-proses yang memenuhi ketiga criteria yang disebut pertama. Dengan
cara lain, tidak memisahkan masyarakat dari hak kontrolnya terhadap agenda dan
dapat mendelegasikan wewenang kekuasaan kepada orang-orang lain yang mungkin
dapat membuat keputusan-keputusan lewat proses non demokrasi.
5) Pencakupan : Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya
dengan hukum, kecuali pendatang sementara.
Perdebatan tentang hubungan antara Islam dan demokrasi sebagaimana diakui oleh
Mun’im A. Sirry memang masih menjadi perdebatan yang belum terselesaikan. Berdasarkan
pemetaan yang dikembangkan oleh Jhon L. Esposito dan James P. Piscatory (Syukron Kamil
: 2002) secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok pemikiran.
1. Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam dipandang sebagai
sistem politik alternatif terhadap demokrasi. Demokrasi sebagai sistem barat tidak
tepat untuk dijadikan acuan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara
Islam sebagai agama kaffah yang tidak hanya mengatur aspek teologi (aqidah) dan
ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia. Ini diungkapkan
oleh elit kerajaan Arab Saudi dan elit politik Iran pada masa awal revolusi Iran, Syekh
FadhAllah Nuri, Sayyid Qutb, Thabathabi, Al-Sya’rawi dan Ali Benhadj.
2. kelompok yang menyatakan bahwa Islam dan Demokrasi merupakan konsep yang
sejalan setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu
sendiri. Diantara tokoh dari kelompok ini adalah al-Maududi, Abdul Fattah Morou,
dan Taufiq Asy-Syawi.
3. Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem demokrasi .
Pandangan ini yang paling dominan yang ada di Indonesia, karena demokrasi sudah
menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan Negara-negara Islam
lainnya. Diantara tokoh-tokohnya yaitu, Fahmi Huwaidi, al-Aqqad, M Husain
Haekal, Robert N. Bellah. Di Indonesia diwakili oleh Nurcholis Majid (Cak Nur),
Amien Rais, Munawir Syadzali, A. Syafi’i Ma’arif dan Abdurrahman Zahid.
9
1) Pemahaman doktrinal menghambat praktek demokrasi. Hal ini disebabkan oleh
kebanyakan kaum muslim yang cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu
yang bertentangan dengan Islam.
2) Persoalan kultur. Sebenarnya demokrasi telah dicoba di Negara-negara Islan sejak
paruh pertama abad dua puluh tetapi gagal. Tampaknya ia akan sukses pada masa-
masa mendatang, karena warisan kultural masyarakat muslim sudah terbiasa dengan
otokrasi dan ketaatan pasif. Persoalan kultur ditengarai sebagai yang paling
bertanggung jawab mengapa sulit membangun demokrasi di Negara Islam. Sebab,
secara doktrinal, pada dasarnya hamper tidak dijumpai hambatan teologis dikalangan
tokoh-tokoh partai, ormas, atau gerakan Islam. Bahkan ada kecenderungan untuk
merambah tugas baru yaitu merekonsiliasi perbedaan antara teori politik modern
dengan doktrin Islam.
3) Lambannya pertumbuuhan demokrasi di dunia Islam tak ada hubungannya dengan
teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu
sendiri. Untuk membangun demokrasi dibutuhkan kesungguhan, kesabaran, dan
diatas segalanya adalah waktu. Jhon Esposito dan O. Voll adalah tokoh yang tetap
optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam. Terlepas dari itu semua, tak
dapat diragukan lagi, pengalaman empirik demokrasi dalam sejarah Islam memang
terbatas.
2.8 Demokrasi sebagai Implementasi Sila Keempat : Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan
Sila keempat ini mempunyai makna bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat, dan dalam
melaksanakan kekuasaannya, rakyat menjalankan sistem perwakilan (rakyat memilih wakil-
wakilnya mealui pemilihan umum) dan keputusan-keputusan yang diambil dilakukan dengan
jalan musyawarah yang dikendalikan dengan pikiran yang sehat, jernih, logis, serta penuh
tanggung jawab baik kepada Tuhan maupun rakyat yang diwakilinya. Butir-butir
implementasi sila keempat adalah sebagai berikut :
10
kekeluargaan yaitu hubungan kekerabatan yang sangat erat dan mendasar di
masyarakat.
5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah. Butir ini menghendaki, setiap keputusan yang diambil dalam
musyawarah untuk diterima dan dilaksanakan dengan baik
6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
Butir ini menghendaki prinsip musyawarah dalam memecahkan masalah bukan
menang dan kalah, serta kepentingan golongan, tetapi dengan menggunakan akal
sehat, tidak mabuk dan anarki, sesuai dengan hati nurani.
7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada
Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan.
2.9 Musyawarah
Kata musyawarah terambil dari kata ( ) شورsyawara yang pada mulanya bermakna
“mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sehingga
mencakup segala sesuatu yang dapat diambil / di keluarkan dari yang lain ( termasuk
pendapat). Orang yang bermusyawarah bagaikan orang yang minum madu (Quraish Shihab
: 2001)
Dari makna dasarnya ini diketahui bahwa lingkaran musyawarah yang terdiri dari
peserta dan pendapat yang akan disampaikan adalah lingkaran yang bernuansa kebaikan.
Peserta musyawarah adalah bagaikan lebah yang bekerja sangat disiplin, solid dalam bekerja
sama dan hanya makan dari hal- hal yang baik saja ( disimbolkan dengan kembang), serta
tidak melakukan gangguan apalagi merusak dimanapun ia hinggap dengan catatan ia tidak
diganggu. Bahkan sengatannya pun bisa menjadi obat. Sedangkan isi atau pendapat
musyawarah itu bagaikan madu yang dihasilkan oleh lebah. Madu bukan hanya manis tapi
juga menjadi obat dan karenanya menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah hakekat
dan semangat sebenarnya dari musyawarah. Karenanya kata tersebut tidak digunakan kecuali
untuk hal- hal yang baik- baik saja.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekeliling. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan maksudnya : urusan peperangan dan hal-hal
duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-
lainnya.kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal-lah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya (Q.S. Ali
Imran : 159)
Perintah bermusyawarah pada ayat diatas turun setelah peristiwa menyedihkan pada
perang uhud. Ketika itu menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-sahabatnya
untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan
dari Mekah ke Madinah. Nabi cenderung bertahan di kota Madinah, dan tidak keluar
menghadapi musuh yang datang dari mekah. Sahabat-sahabat beliau, terutama kamu muda
11
yang penuh semangat mendesak agar kaum muslim, dibawah pimpinan Nabi Muhammad
SAW keluar menghadapi musuh.
Pendapat mereka itu mendapat dukungan mayoritas, sehingga Nabi menyetujuinya.
Tetapi, peperangan berakhir dengan gugurnya para sahabat yang jumlahnya tidak kurang dari
tujuh puluh orang. Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi dan
sahabat beliau amat perlu digaris bawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al-Quran
tentang musyawarah.
Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi, bahwa musyawarah harus tetap
dipertahankan dan dilanjutkan. Walaupun terbukti pendapat yang mereka putuskan keliru.
Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan dapat menjadi tanggung jawab
bersama,dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya
sekalipun.
Dari ayat tersebut dapat diambil empat sikap ideal ketika dan setelah melakukan
musyawarah:
1. Sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi pemimpin
harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala.
2. Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Sikap ini harus dimiliki peserta
musyawarah, sebab tidak akan berjalan baik, kalau peserta masih diliputi kekeruhan
hati apalagi dendam.
3. Memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan yang dalam ayat itu dijelaskan
dengan permohonan ampunan kepada- Nya. Itulah sebabnya yang harus mengiringi
musyawarah adalah permohonan maghfiroh dan ampunan Ilahi.
4. Setelah selesai semuanya harus diserahkan kepada Allah, bertawakkal.
Kita sering mendengar mengenai Syura jika berbicara tentang musyawarah. Syura,
sebenarnya adalah suatu forum, dimana setiap orang mempunyai kemungkinan untuk terlibat
dalam urun rembuk, tukar pikiran, membentuk pendapat, dan memcahkan suatu persoalan
bersama.
Musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan
bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Bermusyawarah
artinya berunding atau berembug. Sedangkan permusyawaratan berarti berunding. Sehingga
jelaslah bahwa permusyawaratan dalam sila keempat Pancasila merupakan perundingan
dalam rangka pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai keputusan terhadap
suatu masalah yang menyangkut orang banyak.
Orang –orang yang bisa dan layak bermusyawarah sebagaimana yang terisrat dalam
Q.S Asy – Syura : 38, bahwa setiap persoalan yang dipecahkan secara kolektif kolegial akan
memberikan manfaat dan kemashlahatan yang luas. Bahkan Islam sebagai rahmatan lil
alamin tidak membatasi keterlibatan non Islam dalam menyumbangkan sarannya untuk
memcahkan masalah. Karena musyawarah dalam Islam bersifat inklusif.
Dengan demikian, esensi musyawarah adalah pemberian kesempatan kepada anggota
masyarakat yang memiliki kemmapuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan
keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum atau kebijaksanaan
politik.
12
BAB III
KESIMPULAN
Demi mewujudnya demokrasi yang sesuai dengan cita-cita bangsa dalam Pancasila,
maka kita harus menjalani norma-norma yang menjadi pandangan hidup demokrasi:
1) Pentingnya kesadaran akan pluralisme
2) Musyawarah
3) Pertimbangan moral
4) Pemufakatan yang jujur dan sehat
5) Pemenuhan segi-segi ekonomi
6) Kerjasama antar warga masyarakat dan sikap mempercayai itikad baik masing-masing
7) Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem
pendidikan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Al Marsudi, Subandi. Pancasila dan UUD 45 : Dalam Paradigma Reformasi , Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2012
Sulaiman, Asep. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bandung, Asman Press, 2012
14