Latar belakang pendirian Gerakan Non-Blok tidak terlepas dari peta politik global setelah
Perang Dunia II. Kala itu, dunia terbelah menjadi 2 blok utama: Barat-Timur.
Berdasarkan catatan Nansy Rahman dalam Modul Sejarah (2020:13) terbitan Kemdikbud,
meskipun kekuatan dua blok itu mendominasi percaturan politik dunia, masih banyak
negara-negara lain yang sebenarnya bersikap netral. Negara-negara itulah yang kemudian
bergabung dalam Gerakan Non-Blok (GNB).
Sudah disebutkan bahwa dua blok lahir sebelum GNB didirikan. Blok Barat terdiri dari 8
negara, yakni Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belgia, Belanda, Norwegia, Luxemburg,
dan Kanada. Sedangkan Blok Timur, memiliki anggota sejumlah 4 negara, mulai dari Uni
Soviet, Cekoslovakia, Jerman Timur, dan Rumania.
Hubungan negara yang sudah tidak perang namun masih berbeda kubu ini menjadi masalah
dalam kehidupan internasional. Menanggapi situasi ini, negara-negara yang baru
mendapatkan kemerdekaan di kawasan Asia-Afrika pun melakukan diskusi, tepatnya melalui
Konferensi Asia-Afrika (KAA) di daerah Bandung, Jawa Barat.
Mengutip situs Kemlu RI, Konferensi Asia-Afrika memiliki hubungan erat dengan Gerakan
Non-Blok. Di pertemuan negara-negara anggota KAA di Indonesia pada 1955 lahir
kesepakatan “Dasasila Bandung." Di dalamnya, termuat prinsip penyelenggaraan kerja
sama internasional.
Berlanjut setelah itu, tepatnya pada 1-6 September 1961, diadakan lagi Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) I di Beogard, Yugoslavia. Bertepatan dengan konferensi yang dihadiri oleh 25
negara ini, termasuk Indonesia, lahir organisasi negara netral, yakni GNB. Oleh karena itu,
GNB ditetapkan resmi berdiri pada 1 September 1961.
● Tujuan Gerakan Non Blok
Setidaknya terdapat tiga kesepakatan yang melandasi tujuan Gerakan Non-Blok, yakni
Dasasila Bandung, pidato Jawaharlal Nehru, dan Deklarasi Havana 1979. Berdasarkan
ketiganya, tujuan GNB pada akhirnya dirumuskan.
Secara ringkas, tujuan GNB adalah mengawasi kedaulatan negara-negara netral (anggota
GNB) serta menentang seluruh kejahatan internasional.
Lalu, perang dingin yang terjadi saat itu antara dua kubu juga menjadi alasan GNB untuk
memiliki tujuan sebagai blok yang dapat mengakhiri perang tersebut.
Indonesia memiliki peran penting dalam pendirian Gerakan Non Blok maupun aktivitas
organisasi tersebut. Mulai dari langkah Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dan
ingin meredakan ketegangan dunia akibat perang dingin, hingga upaya memelihara
perdamaian internasional.
Berikut ini beberapa poin tentang peran Indonesia dalam Gerakan Non Blok.
Soekarno, selaku presiden pertama Indonesia, bersama empat pemimpin dunia lainnya
menjadi pelopor berdirinya Gerakan Non-Blok. Presiden Soekarno juga memelopori
penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika yang punya peran penting dalam pendirian GNB.
Peran Indonesia bisa dilihat dari pelaksanaan KAA yang dilaksanakan pada 1955 di
Bandung, Jawa Barat. Kala itu, negara-negara yang tidak memihak dua blok yang ada
akhirnya menyatakan keinginan untuk bersikap netral. Ada 29 kepala negara Asia-Afrika
yang baru merderka hadir dalam forum KAA 1955.
Indonesia pun pernah menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok
(GNB) ke-X yang diadakan di Jakarta, pada tanggal 1-6 September 1992.
Selain menjadi tuan rumah KTT GNB ke-10, pada tahun 1992, Presiden Indonesia kedua,
Soeharto, juga ditunjuk menjadi Ketua Gerakan Non-Blok.
Indonesia yang telah merdeka menentang keras kejahatan internasional, terlebih lagi jika
dilakukan dengan cara kemiliteran. Perdamaian yang dijunjung serta politik luar negeri
bebas aktif yang dianut Indonesia ternyata sejalan dengan prinsip GNB.