Anda di halaman 1dari 16

Nama : Thantri Ashari

NIM : 11200220000102
Kelas : 5b Sejarah Peradaban Islam (SPI)
Matkul : Sejarah Islam Kawasan Anak Benua India
Dosen pengampu : Prof. Drs. H. Amirul Hadi, M.A., Ph.D.

Problematika Integrasi Islam di Pakistan

Demokrasi menjadi topik perbincangan yang selalu hadir di semua kalangan,


baik akademisi maupun praktisi politik; mungkin bagi sebagian orang, membahas
masalah politik dan sistem demokrasi bukanlah hal yang membosankan, melainkan
sebuah titik awal perdebatan yang cukup berkualitas. Akibatnya, persoalan politik
dan demokrasi seringkali menjadi topik yang menarik untuk diteliti oleh para
akademisi dan praktisi politik guna menambah pengetahuan tentang makna
demokrasi yang sebenarnya dan mempraktekkannya di masyarakat secara
keseluruhan. Pakistan adalah salah satu dari 167 negara yang menerapkan sistem
demokrasi. Pakistan, seperti halnya Indonesia, mengalami pasang surut gelombang
demokrasi.
Jika di Indonesia kerap diwarnai konflik dalam pergantian rezim seperti saat
pergantian Orde lama ke Orde baru dan begitu juga dari Orde baru ke masa
Reformasi, dan hal ini juga berlaku di Pakistan dimana umat islam masih
terpolarisasikan dan bahkan para elit politik dianggap gagal dalam mengeintegrasikan
islam ke dalam demokrasi negara dan berikut ini merupakan penjelasannya. Setelah
mengambarkan secara umum mengenai kata “demokrasi”, selanjutnya penulis akan
membahas mengenai pengertian demokrasi lebih dalam dan juga akan membahas
mengenai bagaimana cara penerapan antara demokrasi dan Islam dalam Negara
Pakistan.
Secara etimologi bahwa demokrasi berawal dari kata “demos” yang memiliki
arti “rakyat” sedangkan kata “ kratos atau kratein” memiliki arti sebagai “
kekuasaan”. Jadi bisa dikatakan bahwa demokrasi merupakan kekuasaan rakyat.
Sukarna mengemukakan pendapatnya dalam buku Demokrasi Versus Kediktatoran
sebagai berikut “Demociacy is a form government in which the will of the governed
executed (put into practice) without causing any harm to human rights” yang artinya
bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang akan menjalankan
pemerintahannya tanpa menyebabkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Dan berikut ini merupakan definisi demokrasi menurut beberapa ahli, diantaranya :
 Joseph A. Schmeter, ia mengemukakan bahwa demokrasi menjadi suatu
rancangan institusional untuk menggapai keputusan politik di mana semua
individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan
kompetitif atas suara rakyat.
 Sidney Hook, ia mengemukakan bahwa keputusan pemerintah bergantung
pada kesepakatan mayoritas yang diberikan akses secara bebas dari rakyat
dewasa.
 Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, mengemukakan bahwa
demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan yang diberikan kekuasaan
untuk meminta pertanggung jawaban dari tiap pemerintahan yang sedang
memimpin di wilayah public yang bertindak melalui sebuah kompetisi dan
kerjasaa dengan para wakil yang terpilih.
Dapat disimpulkan dari penjelasan di atas bahwa, demokrasi bukan hanya
sistem pemerintahan, tetapi juga gaya hidup dan tatanan sosial yang mencakup aspek
moral, dan demokrasi juga menjadi bekal dalam urusan sehari-hari seperti
menganalisis kebijakan negara.
Menurut Croissant (2004), demokrasi di Asia dapat diklasifikasikan
berdasarkan letak geografisnya; misalnya, negara-negara Asia Timur Laut cenderung
melakukan konsolidasi demokrasi, sedangkan negara-negara Asia Selatan dan
Tenggara cenderung stagnan dan jatuh dalam demokrasi.
Al-Maududi menciptakan istilah "teodemokrasi," yang mengacu pada sistem
pemerintahan demokratis berdasarkan kekuasaan ilahi, karena menggambarkan
sebuah sistem di mana orang-orang Islam diberikan beberapa tingkat kedaulatan
terbatas di bawah kekuasaan Allah1. Islam, menurut Al-Maududi, bukanlah kumpulan
keyakinan yang tidak berhubungan dan kode perilaku yang berbeda. Islam adalah
sistem yang terorganisir dengan baik yang masuk akal secara keseluruhan dan
didasarkan pada sejumlah prinsip yang berbeda dan jelas. Prinsip fundamental Islam
membentuk dasar dari seluruh cara hidup.

1
Bambang Saiful Ma’arif, “Demokrasi Dalam Islam Pandangan Al-Maududi,” Mimbar 19, no. 2
(2003): 176.
Fazlur Rahman di sisi lain mengemukakan pendapatnya mengenai demokrasi,
Rahman menawarkan dukungan dan penjelasan yang lengkap dari gagasan modernis
tentang kedaulatan, serta dasar yang kuat dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Rahman
berpendapat bahwa karena negara Islam adalah lembaga demokrasi karena Nabi
Muhammad yang mendirikannya dan karena umat Islam secara keseluruhan
memberinya otoritas untuk melaksanakan tujuan Allah sebagaimana diwahyukan
dalam Alquran.
Tergantung pada keadaan nyata suatu komunitas, ada berbagai jenis
demokrasi. Rahman menggunakan nadi, yang menurutnya telah mengubah Alquran
menjadi syura secara demokratis, dan pemilihan Khalifah Abu Bakar sebagai
landasan gagasannya tentang demokrasi atau teori kedaulatan rakyat2. Dia benar-
benar menghancurkan doktrin Maududi tentang kedaulatan Tuhan.
Rahman mengakui bahwa Alquran sering menegaskan bahwa Tuhan adalah
hakim tertinggi dan penguasa langit dan bumi, tetapi dia percaya bahwa pernyataan
tersebut tidak menunjukkan politik atau kedaulatan apa pun. Baginya, mengakui
nilai-nilai keadilan dan kewajaran yang tertuang dan digambarkan dalam Al-Qur'an
berarti mengakui kedaulatan Tuhan.
Pada dasarnya aksiomatik untuk berbicara tentang bagaimana Islam dan
demokrasi berinteraksi. Islam adalah agama dan risalah yang memuat hukum-hukum
yang mengatur akhlak, muamalat, dan pengabdian manusia. Demokrasi, di sisi lain,
hanyalah sebuah bentuk pemerintahan di mana aktor-aktor sosial berinteraksi dengan
cara yang dimaksudkan untuk mempromosikan cita-cita yang baik. Konflik teologis
antara keinginan untuk memahami ajaran-ajaran yang diciptakan oleh sejarah dinasti
Muslim dan kebutuhan untuk menawarkan pemahaman baru tentang doktrin-doktrin
tersebut dalam menanggapi munculnya fenomena sosial yang berkembang menjadi
dasar dialektika antara demokrasi dan Islam3. Terdapat tiga wacana besar mengenai
Islam dan demokrasi, yaitu:
A. Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda
Kelompok yang sering disebut sebagai kelompok Islam atau Islam ideologis
ini memandang Islam sebagai bentuk demokrasi yang berbeda dan
memandang bahwa demokrasi tidak tepat untuk dijadikan model kehidupan
berbangsa dan bernegara. Mereka berpendapat bahwa pemerintahan

2
Nyayu Soraya, “Sistem Pemerintahan Islam Pakistan Dalam Pandangan Fazlur Rahman,” Madania
17, no. 1 (2013): 96.
3
Haryanto Al-Fandi, Desain Pembelajaran Yang Demokratis Dan Humanis (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011), 50.
demokratis berasal dari barat, yang merupakan wilayah kafir karena tidak
Islami. Mengikuti demokrasi itu buruk bagi Muslim yang tulus karena itu
kafir, dan apa pun yang kafir itu berdosa. Kelompok ini berpendapat bahwa
demokrasi adalah sistem yang tidak bertuhan karena ia telah memberikan
kendali atas negara kepada rakyat, bukan Tuhan.
B. Islam secara prosedural berbeda dengan demokrasi
Kelompok ini menerima gagasan demokrasi dalam Islam tetapi mengakui
bahwa Islam dan demokrasi tidak sepakat jika demokrasi didefinisikan secara
prosedural seperti yang dipahami dan diterapkan di negara-negara Barat.
Sebaliknya, jika demokrasi dipahami secara substantif, maka kedaulatan
rakyat Islam dianggap sebagai sistem politik demokrasi. Setelah dilakukan
modifikasi interpretasi terhadap konsep demokrasi itu sendiri, maka menjadi
konsep yang selaras dengan Islam. Abul A'la al-Maududi, seorang politisi
Muslim terkemuka, mengatakan bahwa pemilihan umum adalah bagaimana
pemerintahan dibentuk dan diubah dalam demokrasi sekuler barat. Sikap
demokrasi dalam Islam hampir sama, namun perbedaannya adalah dalam
sistem Barat, negara demokrasi memiliki hak berdaulat yang tidak terbatas.
Dalam demokrasi Islam, batas-batas kekhalifahan ditentukan oleh garis-garis
yang ditarik oleh hukum Tuhan.
C. Islam membenarkan dan mendukung demokrasi
Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok liberal atau moderat.
Kelompok ini berpendapat bahwa Islam adalah seperangkat nilai yang
mendukung demokrasi seperti yang saat ini dipraktikkan di negara-negara
maju. Penerimaan ini adalah hasil dari fakta bahwa ajaran Islam tentang topik-
topik seperti keadilan, kesetaraan, musyawarah, dan prinsip-prinsip demokrasi
lainnya juga hadir dalam Islam.
Demokrasi pada hakekatnya konsisten dengan Islam jika didasarkan pada cita-
cita kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan manusia untuk memutuskan
masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan publik4.
Jelas dari penjelasan di atas bahwa ada berbagai sudut pandang dalam
menelaah hubungan antara Islam dan demokrasi. Al-musawah, atau kesetaraan, al-
hurriyah, kemerdekaan atau kebebasan, al-ukhuwwah, persaudaraan manusia,
al-'Ada, keadilan, al-syura, diskusi, dan al-mas'uliyyah, tanggung jawab adalah
contoh nilai-nilai Islam yang selaras dengan cita-cita demokrasi.
Padahal, prinsip-prinsip demokrasi Islam dapat digunakan di semua bidang
masyarakat, termasuk pendidikan. Mewujudkan tujuan pendidikan Islam—yaitu
4
Naili Rohmah Iftitah, “Islam Dan Demokrasi,” Islamuna 1, no. 1 (2014): 39.
mengembangkan potensi manusia sebagai “abdullah dan khalifatullah fil-ard” yang
dapat diandalkan—memerlukan pendidikan Islam yang demokratis.
Elit Muslim yang belajar di Barat mendirikan Liga Muslim di wilayah Dhaka
pada tahun 1906. Tujuan kelompok ini termasuk membela hak-hak agama, budaya,
politik, dan ekonomi Muslim India serta mencegah organisasi Hindu di masa depan
merebut hak-hak Muslim karena pada saat organisasi nasionalis Hindu berkembang
pesat. Namun, kebencian kelompok Hindu terhadap Muslim di Bengal membujuk
umat Islam untuk menggunakan organisasi politik yang berbeda untuk
mempertahankan kebutuhan sosial dan politik mereka. Akibatnya, Liga Muslim
mendapat dukungan dalam sistem di mana umat Islam memiliki organisasi politiknya
sendiri, tetapi pada saat yang sama, upaya radikal Hindu untuk mengubah umat Islam
dimulai.
Liga Muslim yang dipimpin oleh Muhammad Ali Jinnah menyadari bahwa
kepentingan politik, budaya, dan agama Islam tidak akan menjamin keamanan dan
kemakmuran di India pasca kemerdekaan karena Kongres India didominasi oleh umat
Hindu setelah bertahun-tahun mencari solusi yang akan diterima oleh Kongres India
yang mayoritas Hindu. Untuk alasan ini, Liga Muslim ingin menciptakan Pakistan,
sebuah negara bagian yang terpisah dari barat laut dan barat daya India dengan
mayoritas penduduk Muslim.
Pakistan didirikan pada tahun 1947, dan seperti halnya negara yang baru
didirikan, ia memiliki andil dalam masalah internal. Setelah kemerdekaan Pakistan,
isu-isu baru tentang ideologi negara mulai muncul. Pejabat tinggi dan akademisi di
Pakistan memperdebatkan masalah ini; satu kelompok mengklaim bahwa dengan
menggunakan filosofi Islam, Pakistan segera berubah menjadi negara Islam. Partai
lain mendukung sikap ideologis yang berbeda dan berpendapat bahwa Pakistan tidak
pernah dimaksudkan untuk menjadi negara yang didirikan di atas dogma agama,
melainkan bertujuan untuk membela kepentingan politik dan ekonomi Muslim
selatan.
Orang-orang Pakistan pertama kali percaya bahwa negara Pakistan beroperasi
atas dasar agama, seperti yang dilakukan oleh empat khalifah. Namun, konsep negara
ini lebih menekankan pada sosial, ekonomi, kesetaraan, dan keadilan persaudaraan
daripada pada isu-isu spesifik seperti syariah. Meski mereka dan para ulama berbeda
pandangan, Muhammad Ali Jinnah benar-benar menemukan Pakistan sebagai Negara
Islam. Tujuan Liga Muslim bagi para pemimpin Pakistan adalah untuk memperbaiki
karakteristik ekonomi, politik, dan budaya masyarakat. Pemikiran mereka mengenai
negara Pakistan adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan kembali otoritas politik Muslim di seluruh anak benua
atau di wilayah tertentu.
2. Revitalisasi tradisi budaya dan intelektual peradaban Islam zaman
modern.
3. Penciptaan negara merdeka kontemporer bagi umat Islam India
sebagai surga di mana mereka dapat menjalankan keyakinan mereka
dan mengejar tujuan politik dan ekonomi mereka tanpa
mengkhawatirkan dominasi Hindu.
Sekalipun agama berfungsi sebagai dasar untuk segalanya, nasionalisme
modern berfungsi sebagai landasan tujuan politik dan budaya Pakistan sebagai negara
Islam. Ideologi Ali Jinnah dapat dibandingkan dengan ideologi Muhammad Iqbal,
yang melihat Islam mencakup lebih dari sekedar Syariah dan Fiqh 5, dan memiliki
aplikasi universal:
1. Islam sebagai agama dan akhlak yang dapat menunjuk pemeluknya
sebagai muslim.
2. Islam sebagai budaya, kerangka dinamis untuk menyatukan umat
Islam sebagai negara-bangsa.
3. Islam sebagai sistem keyakinan politik yang mengubah banyak
komunitas Muslim menjadi komunitas politik yang dinamis dan
berbeda.
Hal ini sangat berbeda dengan keyakinan para Ulama bahwa Negara Islam
Pakistan adalah negara yang setiap aspek kehidupan sehari-harinya diatur oleh hukum
Islam. Abu A'la Al-Maududi adalah seorang ulama konservatif yang memiliki
pandangan yang sama. Landasan pokok yang mendasari pemikiran Maududi adalah:
1. 1Islam adalah negara yang sempurna dan lengkap, tanpa cela dalam
segala segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan sosial. Hal ini
menunjukkan bahwa karena Islam telah memiliki sistem politik, maka
tidak perlu melarang umat Islam untuk meniru sistem politik Barat.
Cukup merujuk kembali pada struktur politik Islam dan menganggap
periode Khulafaurrasyidin sebagai pedoman untuk menempatkan
struktur politik Islam pada tempatnya.
2. Supremasi merupakan kekuasaan tertinggi dalam Islam, dan hanya
Allah SWT yang berhak menjalankannya. Manusia hanya bisa
berperan sebagai khalifah yang menjalankan kedaulatan Tuhan, dan
dalam kapasitasnya itu harus menghormati hukum-hukum yang
5
Muhammad Ruslan, “Pemikiran Pembentukan Negara Pakistan” (IAIN Sumatra Utara, 2012), 56.
tertuang dalam firman Tuhan. Sistem politik Islam adalah sebuah
sistem universal yang tidak mengenal batasan geografis, kebangsaan
dan kebahasaan.
Ajaran inti Maududi, bahwa hanya Tuhan yang berdaulat, menghadirkan dua
kesulitan besar dalam menjelaskannya. Pertama, Islam mengacu pada kekhalifahan
daripada negara berdaulat; ini ada hubungannya dengan premis kedaulatan yang
disebutkan sebelumnya. Khalifah yang diberi wewenang untuk melaksanakannya
tidak diharuskan melakukannya di luar wewenang yang telah diberikan kepadanya.
Kedua, kekhalifahan disebutkan dalam kitab suci Alquran berlaku untuk semua umat
Islam. Ayat ini tidak secara khusus menyebutkan ras atau kelompok etnis tertentu;
sebaliknya, ini mengacu pada kekhalifahan secara keseluruhan. Tidak ada keuntungan
untuk pengelompokan ras atau etnis tertentu.
Pakistan memiliki masalah ekonomi, sosial, dan politik yang serius sejak
didirikan. Ketidakstabilan dalam masyarakat dan politik adalah hasil dari masalah ini.
Peran Islam dalam politik dan struktur negara, bagaimanapun, adalah isu mendasar
yang memperburuk ketegangan intelektual dan ideologis di dalam negara Pakistan.
Sistem politik Islam dan bagaimana ia memanifestasikan dirinya dalam kerangka
hukum sosial ekonomi dan kerangka hukum masih diperdebatkan. Di Pakistan, ada
empat kelompok yang secara aktif terlibat dalam perdebatan tentang konstitusi Islam
dan negara. Kaum tradisionalis diwakili oleh para akademisi dari berbagai mazhab,
kaum fundamentalis diwakili oleh pebisnis dan profesional dengan pendidikan Barat,
kaum modernis diwakili oleh politisi, dan kaum sekuler diwakili oleh politisi pro-
Barat, pegawai negeri sipil senior, dan perwira militer.
Sebagian besar pemimpin politik Pakistan, dengan pengecualian beberapa
sekularis, setuju bahwa konstitusi dan pemerintahan negara harus mencerminkan
ajaran dan tradisi Islam. Namun, bagaimana menyelaraskan Islam dengan kebutuhan
negara modern adalah masalahnya. Kaum modernis tidak menerima definisi negara
Islam yang diajukan oleh para sarjana dan fundamentalis yang mendukung adopsi
Syariah dan kekuasaan ulama untuk menilai apakah semua undang-undang sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam. Kaum fundamentalis percaya bahwa semua segi
kehidupan manusia, termasuk kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan pribadi, harus
diatur oleh Islam. Mereka mendesak pencabutan atau perubahan hukum dan adat
istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah pada saat itu agar tetap
berpegang pada nilai-nilai Islam.
Pandangan politisi, pemimpin, hakim, dan anggota militer yang berpendidikan
Barat dan berorientasi Barat sangat menentang hal ini. Meskipun mereka tampaknya
tidak menolak gagasan bahwa Islam mencakup segalanya, mereka menempatkannya
di dalam sistem pendidikan dan pelatihan Barat, sekuler, dan intelektual yang
menekankan pemisahan agama dan negara. Mereka hanya bisa berjanji akan
memberikan kemudahan bagi organisasi keagamaan untuk mencapai tujuan Islam..
Namun, mereka tidak akan menetapkan standar untuk benar-benar menetapkan cita-
cita ini6.
Terbukti, ideologi negara baru ini berpusat terutama pada Islam sebagai dasar
negara. Definisi, bagaimanapun, berbeda dalam cara tertentu. Jika kaum modernis
dengan latar belakang pendidikan yang lebih Barat, seperti gerakan nasionalis dan
Liga Muslim, melihat Islam sebagai dasar negara dalam kerangka yang lebih
komprehensif daripada sekedar menerapkan hukum-hukum hukum fikih syariah,
melainkan sebagai dasar negara dalam konteks negara. Politik, sosial ekonomi, dan
aspek kehidupan Muslim lainnya.
Pakistan secara historis bergantung pada dua konsep atau model negara Islam.
Model pertama, yang menciptakan identitas politik komunal dan nasional tanpa
landasan agama apa pun, berkembang di antara elit politik yang menginginkan
Pakistan menjadi negara Islam. Di sisi lain, mayoritas masyarakat Pakistan, yang
dipimpin oleh para ulama dan tokoh agama lainnya, mengantisipasi bahwa negara
tersebut pada akhirnya akan berubah menjadi negara Islam, dengan hukum syariah
Islam yang mengatur semua aspek kehidupan sehari-hari. Tantangan pertama yang
dihadapi Pakistan sebagai negara yang baru merdeka adalah menentukan bagaimana
mempertahankan kekuasaan di dalam negara dan prinsip-prinsip yang mendasari
pembentukan negara7. Terlepas dari kenyataan bahwa ideologi dan simbol-simbol
agama digunakan untuk mengatur dan menyatukan umat Islam selama gerakan
kemerdekaan, tidak ada kesepakatan universal tentang aspek-aspek yang baik dari
ideologi atau bagaimana hal itu dapat diterapkan pada lembaga, inisiatif, atau
kebijakan negara.
Pada kenyataannya, masalah utama Pakistan adalah bagaimana membentuk
identitas nasional untuk Pakistan yang konsisten dengan realitas perbatasan politik
baru, serta bagaimana membangun sistem yang stabil dan diakui di antara
penduduknya, yang terbagi berdasarkan perbedaan ras. , garis ideologis, linguistik,
dan bahkan agama. Didefinisikan secara sederhana, terlepas dari kesulitan ideologi,
bahasa, etnis, dan bahasa, upaya harus dilakukan untuk menciptakan identitas dan
rezim politik nasional yang dapat diterima oleh seluruh penduduk. Pakistan didirikan
6
John. L Esposito and John. O Voll, Islam and Democracy (New York: Oxford University Press,
1996), 230.
7
Fitri Wulandari, “Islam Dan Demokrasi Di Pakistan,” Jurnal El Tarikh 02, no. 1 (2021): 26.
dengan prinsip bahwa komunitas Muslim India membutuhkan negaranya sendiri
untuk menjaga stabilitas politik dan kemampuan untuk mengadopsi cara hidup
Muslim. Ira M. Lapidus menegaskan bahwa imbauan Islam telah gagal mengatasi
kesulitan yang ditimbulkan oleh kebutuhan untuk menyusun konstitusi Islam sejak
negara berdiri. Di Pakistan, masih ada sejumlah konstitusi, pemerintahan sipil, dan
rezim militer yang berbeda. Selain itu, bangsa ini harus dipersatukan melalui
penggunaan kekuatan militer, kekejaman institusional, dan tawar-menawar yang
gigih antar pihak daripada melalui pengembangan rasa identitas nasional yang kuat.
Sekarang Pakistan adalah negara Islam yang diakui, ada banyak kewajiban
tambahan. pertama, mengedepankan nasionalisme sebagai representasi kohesi negara
Islam. Tantangan kedua adalah memasukkan Islam ke dalam negara dan ekonomi
modern dalam menghadapi varian lokal, etnis, dan partikularistik yang tumbuh di
negara-negara Muslim yang majemuk, persaingan di antara elit sekuler-nasionalis,
dan persaingan berkelanjutan antara Muslim dan mayoritas Hindu.
Semua aspek kehidupan, termasuk agama, terkena dampak ketika demokrasi
ditegakkan sebagai bentuk pemerintahan yang dominan di suatu negara. Di negara-
negara Islam, khususnya Pakistan, proses demokrasi tidak selalu sejalan dengan
agama. Meskipun memiliki ideologi yang berlawanan, demokrasi memiliki
komponen yang dapat diterima atau konsisten dengan prinsip-prinsip Islam.
Pemikiran tersebut meliputi kebebasan berpendapat, beragama, dan berkeyakinan,
persamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta keadilan
dalam penerapan hukum. Aturan yang dihasilkan dari konvensi Liga Muslim 1940
meliputi prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan berekspresi, persamaan, toleransi, dan
keadilan sosial sesuai dengan ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits.
Bentuk pemerintahan yang diusulkan kemudian dimasukkan ke dalam konstitusi
Pakistan pada tahun 1956. Negara ini disebut sebagai Republik Islam Pakistan sesuai
dengan konstitusinya. Namun, pemerintah kesulitan mengidentifikasi keislamannya.
Pada tahun 1962, konstitusi Pakistan mengalami peninjauan dan revisi 8. Kata "Islam"
tidak ada dalam nama resmi republik, yang merupakan perbedaan yang paling
mencolok. Pembentukan Dewan Penasihat Ideologi Islam, yang berperan
memberikan saran kepada pemerintah, dan Lembaga Penelitian Islam, yang bertujuan
membantu umat Islam menciptakan masyarakat Islami, adalah dua aspek penting
lainnya dari konstitusi kedua Pakistan9.
Para pendeta merasa terganggu dengan reformasi konstitusi ini. Pada bulan
Desember 1969, para Ulama mendapat dorongan untuk mengekspresikan diri melalui
8
Esposito and Voll, Islam and Democracy, 230.
9
Munawir Syadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1991), 228.
aktivitas politik. Ulama, mahasiswa, dan banyak partai politik mengorganisir gerakan
massa untuk menuntut perbaikan demokrasi dan penerapan syariat Islam, yang
terangkum dalam 14 poin kunci. Diantaranya adalah pemberantasan riba dan
reformasi Departemen Wakaf di bawah kendali ulama, pembentukan komisi Islam
yang terdiri dari para ulama untuk menasihati majelis provinsi, rekonstitusi lembaga
penelitian Islam yang keanggotaannya dibatasi untuk ulama, pengenalan pendidikan
Islam, penggunaan radio Pakistan untuk dakwah Islam, pengobatan gratis pekerja
industri oleh pemegang saham, pendidikan gratis, dan kebebasan pers10.
Perjuangan politik ini ditandai dengan keberhasilan penggulingan Presiden
Ayub Khan. Zulfikar Ali Bhuto, seorang politisi sekuler dengan kecenderungan
sosialis, mengambil alih posisi Ayub Khan. Ali Bhuto berkontribusi pada Islamisasi
sistem politik dan sosial ekonomi Pakistan. Program-programnya diarahkan pada
revitalisasi sosial-ekonomi melalui nasionalisasi dan reformasi legislasi. Ali Bhuto
berusaha mendamaikan sosialisme dengan gagasan egalitarianisme dan keadilan
sosial dalam Islam. Selama masa jabatannya, konstitusi 1973 dirancang, yang isinya
sangat mirip dengan konstitusi 1962. Sementara Ali Bhuto juga menjalin kontak
dengan negara-negara Arab dan dunia Islam pada umumnya. Di sisi lain, ada
kesadaran populer yang berkembang bahwa Islam adalah satu-satunya cara untuk
menciptakan semangat kesatuan di antara orang Pakistan dari berbagai etnis, filosofi,
bahasa, dan agama. Dalam situasi ini, Bhuto berusaha untuk menunjukkan
keislamannya tetapi mendapat tentangan dari organisasi keagamaan.
Kampanye anti-Bhuto berkembang menjadi gerakan untuk melindungi
ideologi Pakistan, dengan 113 akademisi mengeluarkan fatwa yang mengutuk
sosialisme Bhuto. Bhuto selalu memberikan validitas agama untuk semua kebijakan
politiknya sebagai cek. Bhuto mendukung ketentuan UUD 173 bahwa Presiden dan
Perdana Menteri harus beragama Islam, serta penyisipan teks sumpah jabatan dengan
bersaksi bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir. Kemudian, pada tahun 1974, Bhuto
menyetujui tuntutan kaum intelektual agar Ahmadiyah diakui sebagai komunitas
minoritas non-Muslim11. Namun semua upaya tersebut tidak mempengaruhi sikap
kelompok agama terhadap Bhuto.
Retorika politik Islam Pakistan mencapai puncaknya pada pemilihan umum
1977. Aliansi Pakistan adalah moniker yang diberikan kepada koalisi sembilan partai
oposisi. Jemaah Islamiyah, Jam'iyah Ulama Pakistan, Liga Muslim, Partai Nasional
Demokrat, dan Jam'iyah Ulama Islam di antaranya. Namun, hasil pemilihan
mengungkapkan cerita yang berbeda: Partai Rakyat Pakistan, sebuah partai
10
Wulandari, “Islam Dan Demokrasi Di Pakistan,” 33.
11
Asriyah, “Perkembangan Islam Di Pakistan,” Rihlah 5, no. 2 (2017): 108.
nasionalis, menang. Tak pelak, Aliansi Nasional Pakistan memulai protes besar-
besaran, dan pemerintah Pakistan akhirnya mengumumkan keadaan darurat. Untuk
menarik minat Bhuto, dia juga mengumumkan sejumlah tindakan Islami, termasuk
larangan minum, perjudian, klub malam, dan hukum syariah.
Jenderal Zia-ul-Haq mencoba melakukan kudeta pada 5 Juli 1977. Zia
menerapkan program Islamisasi yang lebih murni dan substantif. Zia bertujuan untuk
menerjemahkan aturan Syariah ke dalam kebijakan publik dengan membentuk komite
dan struktur untuk mengumpulkan zakat dan pajak, membentuk pengadilan,
mengadopsi hukum pidana Islam, menghapus riba dalam sistem keuangan, dan
mengubah kurikulum sekolah dan universitas untuk mencerminkan cita-cita Islam 12.
Pada tahun 1979, Zia mengatakan bahwa syariat Islam akan dimasukkan ke dalam
konstitusi negara. Misalnya penerapan sistem perpajakan Islam dan pelarangan riba,
penerapan hukum pidana Islam dan pembentukan pengadilan syariah.
Dewan Penasihat Ideologi Islam dan Lembaga Penelitian Islam mengalami
kesulitan menangani masalah hukum. Maraknya perdebatan tentang riba, bunga bank,
penggunaan zakat, inisiatif keluarga berencana, hukum keluarga Islam, dan topik
lainnya menunjukkan betapa sulitnya bagi Muslim Pakistan untuk mendefinisikan
hukum Islam di Pakistan. Faksi modernis berpendapat bahwa hukum Islam dapat
ditegakkan asalkan modernisasi sejalan dengan tren dan kebutuhan kontemporer.
Organisasi tradisionalis, di sisi lain, bersikeras bahwa fikih yang diturunkan dari Al-
Qur'an dan Hadits oleh para mujtahid sebelumnya harus diterapkan secara universal13.
Kelompok modernis berjuang untuk mengadopsi ide-ide saat ini dan membuat
keputusan tentang isu-isu yang berkaitan dengan masa lalu. Sementara itu, kelompok
tradisionalis juga merasa sulit untuk sepenuhnya melepaskan masa kini dan mencari
perlindungan di masa lalu. Oleh karena itu, sulit bagi mereka berdua untuk
berkompromi.
Setelah kecelakaan pesawat pada 17 Agustus 1988, inisiatif Islami Zia tiba-
tiba terhenti. Setelah kematian Zia, oposisi pemerintah Partai Rakyat Pakistan, yang
dipimpin oleh Benazir Bhutto, memenangkan pemilihan umum. Saat itu Pakistan
dikuasai oleh seorang wanita yang sebelumnya tidak diperbolehkan. Hanya saja, pada
1990 Benazir digulingkan atas tuduhan korupsi dan digantikan oleh Nawaz Syarif
dari Aliansi Demokrasi Islam. Benazir memenangkan pemilihan kembali setelah
keluar dari pengasingan pada tahun 1993, dengan Nawaz Syarif menjabat sebagai
Perdana Menteri14. Pemerintahan Benazi Bhuto sempat berkuasa hingga tahun 1996
12
Esposito and Voll, Islam and Democracy, 234.
13
Wulandari, “Islam Dan Demokrasi Di Pakistan,” 33.
14
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Vol 2. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), 73.
hingga digulingkan oleh Parlemen karena dicurigai melakukan pencucian uang.
Nawaz Syaif tetap dengan pemerintah. Sementara itu, Pervez Musharraf
menggulingkan Nawaz Sharif pada 1999. Nawaz Sharif dan Benazir Ali Bhutto
kemudian digulingkan dari Pakistan. Kemudian, Perves Musharraf menjabat sebagai
presiden Pakistan. Pemimpin partai oposisi meminta Perves Musharraf untuk
meninggalkan posisinya sebagai perdana menteri pada 2007. Ini dikarenakan arahan
militer yang dikeluarkan oleh Musharraf membawa Pakistan ke ambang disintegrasi,
konflik, dan kerusuhan15. Benazir kembali ke Pakistan pada 2007 untuk berpartisipasi
dalam pemilu di sana, tetapi pada 27 Desember 2007, dia dibunuh secara fatal16.
Akibatnya, Pakistan selalu dipengaruhi oleh pergolakan yang sama yang
mempengaruhi pertumbuhan budaya Islam. Fundamentalis Muslim dari Pakistan,
Abu A'la al-Maududi. Jika diputuskan bahwa tindakan negara bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam, dia memberanikan diri untuk mengkritiknya dengan cara yang
berbeda. Al-Maududi terlibat dalam beberapa perdebatan dengan kaum modernis,
seperti Fazlurahman, tentang keluarga berencana, misalnya. Rahman berpendapat
bahwa prinsip mendasar dari larangan tradisional terhadap konsep larangan
pengendalian populasi adalah bahwa populasi yang menurun tidak dapat digunakan
untuk melemahkan masyarakat. Ekspansi populasi yang tidak terkendali saat ini
membahayakan gagasan tradisional tentang masyarakat yang kuat. Rahman
menegaskan bahwa konsep keluarga berencana dapat diadopsi secara efektif untuk
mengangkat derajat umat Islam17. Fazlurahman merujuk pada pandangan Mahmud
Shaltut dalam gagasannya. Shaltut berpendapat bahwa sesuai dengan doktrin sosial
Islam, bukan hanya orang tua yang bertanggung jawab atas anaknya, tetapi juga
masyarakat18.
Subjek bunga bank adalah titik pertikaian berikutnya di Pakistan antara
akademisi Islam tradisional dan fundamentalis dan modernis. Berdasarkan temuan
penelitiannya terhadap larangan riba dalam Alquran, Fazlurrahman berkesimpulan
bahwa bunga sederhana diperbolehkan tetapi bunga bank ganda tidak 19. Fazlurahman
berpendapat bahwa dalam konteks sosial, meskipun bank dapat beroperasi tanpa
memungut bunga, keadaan pada saat itu menghalangi penciptaan utopis ini.
Penghapusan bunga bank akan menjadi langkah bunuh diri bagi kesejahteraan
ekonomi rakyat dan sistem keuangan negara, serta bertentangan dengan semangat dan

15
Wulandari, “Islam Dan Demokrasi Di Pakistan,” 34.
16
Asriyah, “Perkembangan Islam Di Pakistan,” 110.
17
Taufik Adan Amal, Islam Tantangan Modernitas, Cet. 1. (Bandung: Mizan, 1989), 92.
18
Ibid., 91–92.
19
Ibid., 94.
tujuan Alquran dan Sunnah, selama masyarakat Pakistan belum dibangun kembali
sesuai dengan prinsip Islam20.
Para ulama khususnya dan masyarakat Muslim Pakistan secara keseluruhan
merasa takut dengan gagasan ini. Ihtisyam al-Haq, pendukung Maududi mengecam
keras pendidikan Barat Rahman dalam komentar surat kabar mereka. Karena
pemerintah menambahkannya dalam konstitusi kedua (1962), yang mendefinisikan
riba sebagai sewa daripada bunga, kaum tradisionalis dan fundamentalis berpendapat
bahwa bunga bank merupakan riba.
Pakistan dibedakan oleh jemaah Tabligh di samping perdebatan ideologis
antara kaum modernis dan kaum konservatif dalam lingkungan politik dan ideologi.
Maulana Muhammad Ilyas mendirikan organisasi ini di Mewat, India, pada tahun
1926. (1885-1944). Sebagai manifestasi ajaran Syekh Waliyullah dan Ahmad Syahid,
gerakan ini berakar pada tasawuf. Khotbah yang disampaikan melalui khillah
merupakan salah satu aspek dari ajaran jamaah tabligh (khuruj)21.
Seperti disebutkan sebelumnya, filosofi dan fenomena sosial Pakistan dengan
nada religius memungkinkan pandangan politik Islam. Dalam pencarian identitas
politik Islam dengan segala kerumitannya, filsafat Islam dan penalaran politik saling
terkait. Dunia Islam harus prihatin bahwa Pakistan memiliki peradaban Islam yang
sangat kuat dan rakyat serta pemerintahnya bercita-cita untuk memberikan
interpretasi baru tentang Islam.
Faktor yang harus diperhatikan saat membuat Negara Islami. Pakistan tidak
hanya berfokus pada memajukan peradaban di Barat atau Timur; sebaliknya,
pembentukan masyarakat Islam di Pakistan yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip
Islam adalah yang paling penting.
Banyak masalah baru muncul sebagai akibat dari kemerdekaan Pakistan.
Dimulai dengan tata kelola administrasi pemerintahan, ada masalah. Masalah
mengidentifikasi identitas nasional dalam kaitannya dengan struktur negara
berikutnya. Sementara kaum modernis lebih menyukai negara modern, kaum
tradisionalis lebih menyukai bentuk pemerintahan Islam. Sebuah kompromi dicapai
setelah diskusi panjang yang berlangsung lebih dari sembilan tahun. Pakistan berhasil
membuat konstitusi baru pada tahun 1956, yang dikenal sebagai konstitusi 1956. Sifat
Islam Pakistan ditekankan dalam konstitusi. Karena pertentangan ideologi yang
dipegang oleh organisasi tradisionalis dan modernis, Pakistan memasuki fase
perdebatan yang berlarut-larut dan melelahkan setelah konstitusi 1956 berhasil
20
Ibid.
21
Asriyah, “Perkembangan Islam Di Pakistan,” 114.
disusun. Rancangan akhir Konstitusi 1956 masih belum memiliki konsensus yang
jelas tentang isu-isu yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga Pakistan dan
penerapannya pada doktrin Islam, serta bagaimana memasukkan isu-isu ini ke dalam
program dan kebijakan mereka.
Pertama, bangsa ini adalah republik dalam bentuk Republik Islam Pakistan,
menurut Konstitusi Pakistan tahun 1956. Kedua, Pakistan adalah negara Islam yang
mempraktikkan demokrasi. Ketiga, presiden atau kepala negara harus beragama
Islam. Keempat, “merekonstruksi masyarakat Muslim berdasarkan Islam yang
sebenarnya” adalah mandat pusat penelitian. Kelima, “Aturan yang tidak disukai
menyatakan bahwa tidak boleh ada hukum yang dibuat yang bertentangan dengan Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi.”
Konstitusi Pakistan tahun 1956 menunjukkan persoalan ideologis yang lebih
besar sebagai akibat dari tidak adanya penjelasan sistematis tentang eksekusi yang
berkaitan dengan penalaran Islam yang berbeda, menurut uraian berikut. Tidak jelas
dalam konstitusi bagaimana prinsip-prinsip tertentu dari kehidupan kontemporer—
seperti demokrasi, kedaulatan rakyat, sistem partai politik parlementer, dan
kesetaraan semua warga negara—berhubungan dengan keyakinan Islam. Namun,
karena mereka sepenuhnya menerima hukum Islam, kaum tradisionalis berpendapat
untuk sebuah negara Islam berdasarkan penerapan penuh syariah, di mana tidak ada
hukum yang menyinggung Islam. Di sisi lain, kaum modernis memiliki dokumen
dengan persyaratan Islam yang minimal bermasalah. Isu-isu konstitusional ini dan
kelemahan-kelemahan lain dalam Konstitusi 1956 menjadi contoh landasan ideologis
isu-isu dewasa ini.
Meskipun sebagian besar ulama pertama menentang pembentukan negara
Pakistan, mereka akhirnya berimigrasi dan bahkan berpartisipasi aktif dalam politik
Pakistan dan penyusunan konstitusi negara. Peran yang berbeda dimainkan oleh
setiap siswa. Para elit penguasa dan politik sering bersinggungan dengan ulama
dalam pengejaran mereka yang terpisah. Kadang-kadang, percakapan singkat
berkembang menjadi pertengkaran sengit. Setiap warga negara berhak mengeluarkan
pendapatnya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan yang
berlaku sekarang, baik secara lisan (melalui pidato, dialog, dan diskusi) maupun
tertulis (melalui petisi, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran, dan lain-lain).
Bagian dari kebebasan berbicara, atau kemampuan orang untuk mengkomunikasikan
gagasan dan pendapatnya di depan umum, adalah kebebasan berpikir dan kebebasan
berpendapat.
Perbedaan antara ulama dan elit Pakistan tentang masalah ideologis dan
konstitusional telah memainkan peran besar dalam banyak perselisihan di Pakistan.
Kelas penguasa lebih menyukai hukum sekuler, sedangkan ulama menganjurkan
penerapan hukum Islam. Setiap sarjana menggunakan berbagai metode untuk
mewujudkan sudut pandang yang unik. Menyusul represi pemikiran dan pendapat
ulama, aktivitas mereka pada periode berikutnya didorong oleh politik militan,
termasuk agitasi politik. Agitasi para ulama ini telah mempengaruhi beragam
tindakan yang diambil oleh berbagai kelompok. Kudeta terhadap Presiden Ayub
Khan pada Maret 1969 menjadi puncaknya. Elit kelas menengah ke atas yang
merupakan orang Barat telah menentang para ulama di Pakistan dari dulu hingga
sekarang.
Daftar Pustaka

Al-Fandi, Haryanto. Desain Pembelajaran Yang Demokratis Dan Humanis.


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Amal, Taufik Adan. Islam Tantangan Modernitas. Cet. 1. Bandung: Mizan, 1989.
Asriyah. “Perkembangan Islam Di Pakistan.” Rihlah 5, no. 2 (2017).
Esposito, John. L, and John. O Voll. Islam and Democracy. New York: Oxford
University Press, 1996.
Iftitah, Naili Rohmah. “Islam Dan Demokrasi.” Islamuna 1, no. 1 (2014).
Ma’arif, Bambang Saiful. “Demokrasi Dalam Islam Pandangan Al-Maududi.”
Mimbar 19, no. 2 (2003).
Redaksi, Dewan. Ensiklopedi Islam. Vol 2. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.
Ruslan, Muhammad. “Pemikiran Pembentukan Negara Pakistan.” IAIN Sumatra
Utara, 2012.
Soraya, Nyayu. “Sistem Pemerintahan Islam Pakistan Dalam Pandangan Fazlur
Rahman.” Madania 17, no. 1 (2013).
Syadzali, Munawir. Islam Dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1991.
Wulandari, Fitri. “Islam Dan Demokrasi Di Pakistan.” Jurnal El Tarikh 02, no. 1
(2021): 13.
Ruslan, M. (2015). Sejarah Pemikiran Pendirian Negara Pakistan. Deepublish.
Ibrahim, I. (2013). AGAMA DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM (Pandangan
Abul A’la Maududi). Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, 8(2), 103-116.

Anda mungkin juga menyukai