Anda di halaman 1dari 12

KONSEP DAN PRINSIP SOSIAL, POLITIK, PEMERINTAHAN DALAM

ISLAM TENTANG DEMOKRASI DAN HAM, KONTRIBUSI UMAT


ISLAM DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL

DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR


AGAMA ISLAM
DOSEN PENGAMPU: Hasanul Muttaqian S,Pd.I M,Pd.I

Disusun Oleh :
Fahrurrozi
Ratmini

INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI PANCOR


KAMPUS LOMBOK UTARA
TA. 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan khadirat Allah SWT sebab atas rahmat dan karunia-Nya
kamibisa mentata dan menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah
kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada bapak
Hasanul Muttaqian S,Pd.I M,Pd.I Selaku dosen pengampu mata kuliah Pedoman Agama Islam
yang senantiasa memimbing kami dalam menyelesaikan tugas makalh ini.

Makalah yang berjudul “Konsep Dan Prinsip Sosial, Politik, Pemerintahan Dalam Islam
Tentang Demokrasi Dan Ham, Kontribusi Umat Islam Dalam Perpolitikan Nasional” ini disusun
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Pedoman Agama Islam dan Apabila ada sejumlah
kekeliran yang ada pada makalah ini, izinkan kami mengucapkan permohonan maaf. karena,
makalah ini tiada sempurna dan masih memiliki banyak kekurangan. Kami juga berharap
pembaca bisa memberikan kritik dan sarannya kepada kami.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan, ilmu
pengetahuan, dan menjadi acuan untuk menulis makalah lainnya.

Pemenang, 14 Oktober 2023

Kelmpok 9
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………1

A. Latar Belakang…………………………...……………………………………….…..1

B. Tujuan Pembahasan…………………………………………………………….…....1

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………….2

A. Pengertian Politik dan Demokrasi.…………………………..…….…...……………2

B. Sistem Demokrasi diindonesia Menurut Perspektif Islam ……………...…....…..3

C. Kontribusi Umat Islam Terhadap Kehidupan Politik diIndonesia………….…..5

BAB III PENUTUP…………………………………………………………...…………….8

A. Kesimpulan……………….………………………………………………………….8

B. Daftar Pustaka…………….………………………………………………………..9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan pandangan hidup bagi umat muslim yang komprehensif, tidak
ada yang menjadi alasan mengapa politik dan Islam merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisah. Akan tetapi, pertentangan politik dalam perspektif Islam disertai dengan
keterlibatan para tokoh ulama dan aktivis Islam lainnya masih menjadi pro-kontra di
kalangan masyarakat hingga saat Ini. Jika ditinjau dari sisi positifnya, eksistensi ulama
dalam politik berpengaruh terhadap jalannya politik Islam dari waktu ke waktu, sikap
kepemimpinan, demokrasi, dan hak asasi manusia yang telah hadir semenjak era
kenabian.
Dalam konteks yang lebih luas, demokrasi didefinisikan sebagai sebuah paham
dalam mewujudkan kedaulatan rakyat, dimana kekuasaan yang sesungguhnya adalah
milik rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kehadiran akivis Islam dalam berbagai
peristiwa yang terjadi dalam berdemokrasi melatarbelakangi kehadiran warna baru
demokrasi di Indonesia. Islam dan demokrasi tidak memilki keterikatan dari segala
aspek. Hal tersebut melatarbelakangi bahwa membandingkan antara Islam dan demokrasi
tidaklah tepat.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian dari politik dan demokrasi?
2. Bagaimana sistem demokrasi diIndonesia menurut dari perspektif Islam?
3. Bagaimana kontribusi umat islam terhadap kehidupan politik diIndonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari politik dan demokrasi
2. Untuk mengetahui sistem demokrasi diindonesia menurut perspektif Islam
3. Untuk mengetahui kontribusi umat islam terhadap kehidupan politik diindonesia
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Politik dan Demokrasi


Secara etimologi, kata politik berakal dari bahasa Yunani polis yang berarti Kota,
kemudia berkembang menjadi polites yang berarti warga negara, sehingga tersimpul:
1. politea yang berarti semua orang yang berhubungan dengan negara.
2. politika yang berarti pemerintahan negara.
3. politikos yang berarti kewarganegaraan.
Jika ditinjau secara Termonologi menurut Miriam Budiardjo, yang dikutip dari
Aditya Basudewa, Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimana suatu
kelompok kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat
melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya.
Bersumber pada pegertian politik menurut para ahli di atas dapat Didefinisikan bahwa
politik merupakan cabang ilmu yang mengkaji dan menelaah kegiatan kepemerintahan
negara dalam memperoleh keputusan-keputusan untuk kedamaian diantara masyarakat.
Menurut Asad (1954) yang dikutip oleh Abdullah Zawawi, S.Pd., MM., M.Pd, Politik
adalah menghimpun kekuatan meningkatkan kualitas dan kuantitas kekuatan mengawasi
dan mengendalikan kekuatan dan menggunakan kekuatan, untuk mencapai tujuan
kekuasaan dalam negara dan institusi lainnya. Secara terminologi Islam, politik
didefinisikan sebagai keefektifan umat manusia yang sesuai dengan syariat syara Secara
etimologi, kata demokrasi berakal dari bahasa Yunani demos yang berarti rakyat atau
penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan
sehingga demokrasi dapat didefinsikan sebagai kekuasaan tertinggi yang berada di tangan
rakyat.
Menurut Joseph A. Schmeter menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu
perencanaan instituisional untuk mencapai keputusan politik, dimana individu-individu
memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara
rakyat. Henry B. Mayo berpendapat bahwa demokrasi didefinisikan sebagai sistem yang
menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil
yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala, yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan dilaksanakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik. secara terminologi, demokrasi dapat didefinisikan sebagai sistem
kepemerintahan dari rakyat oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan
rakyat. dalam perspektif islam, demokrasi didefinisikan seperti yang telah diterapkan di
negara-negara barat dan diakui memiliki perbedaan perspektif di antara islam dan
demokrasi. Demokrasi sependapat dengan Islam seumpama terdapat penyesuaian
penafsiran terhadap definisi demokrasi Itu sendiri. penyesuaian yang dimaksud penulis
adalah adanya prinsip syura (musyawarah) dan adanya konsep ijtihad dan ijma
(konsensus).
B. Sistem Demokrasi Indonesia menurut Prespektif Islam
Prinsip demokrasi terdiri dari kedaulatan rakyat pemerintahan berdasarkan
persetujuan dari yang diperintah kekuasaan mayoritas hak-hak minoritas jaminan hak
asasi manusia pemilihan yang bebas, adil dan jujur. Persamaan di depan hukum proses
hukum yang wajar pembatasan pemerintah secara konstitusional pluralisme sosial,
ekonomi, dan politik nilai nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang pluralistik dan
memiliki dua modalitas penting yang membentuk karakternya yang Multikultural, yaitu
demokrasi dan kearifan lokal (local wisdom) sebagai nilai yang dipercaya dan dipahami
dapat menjaga kerukunan umat beragama. Demokrasi modern mencakup sepuluh
komponen jaminan hak azasi manusia pemisahan kekuasaan dan negara hukum
menerima perbedaan parlemen dan pemerintah diputuskan melalui pemilihan yang adil,
bebas, dan rahasia adanya otonomi daerah dan komunitas lokal pelaksanaan pemilihan
umum kebebasan berserikat dan membentuk asosiasi adanya masyarakat sipil (organisasi,
serikat, asosiasi dan jaringan) terciptanya ranah publik, termasuk media komunikasi yang
bebas dan terbuka terhadap pemikiran, usul, dan kritik dari semua lapisan masyarakat;
dan terciptanya budaya politik.

Terjadi silang pandangan kaum muslimin dalam masalah demokrasi, dan secara
umum ada tiga pandangan yang sangat kontradiktif pertama yang memandang demokrasi
sebagai sesuatu kekufuran mutlak muncul di tahun tahun terakhir ini berbagai macam
tulisan buku, majalah, makalah yang mengkafirkan demokrasi dan seluruh yang terlibat
dalam demokrasi secara mutlak, baik menjadikan demokrasi sebagai idiologi atau
menjadikan demokrasi sebagai stategi, berikut ini saya paparkan apa yang diungkapkan
oleh para penulis aktifis tersebut disertai argumen mereka.
Kedua karena demokrasi adalah kekuasaan rakyat atau berkuasanya thaghut
berdasarkan Undang undang bukan berdasarkan syari’at Allah. Ketiga sesungguhnya
demokrasi merupakan buah dari sekularisme dan anak yang tidak syah. Ini karena
sekularisme adalah idiologi kafir yang bertujuan menyingkirkan diri dari kehidupan, atau
memisahkan diri dari Negara dan kekuasaan, sedangkan demokrasi adalah kekuasaan
rakyat atau kekuasaan thaghut.
Masyarakat Islam lainnya menerima adanya hubungan antara Islam dan demokrasi,
tetapi dengan memberikan catatan kritis. Mereka tidak sepenuhnya menerima dan tidak
seutuhnya menolak hubungan antara Islam dan demokrasi. Bahkan, ada beberapa
intelektual Muslim Indonesia yang berusaha mengembangkan sintesis hubungan antara
Islam dan demokrasi. Hubung antara Islam dan demokrasi dalam perspektif kelompok
ini.
C. Kontribusi umat Islam terhadap kehidupan politik di Indonesia
Islam bukan hanya agama namun bisa dikategorikan sebagai ideologi yang sudah
lama dibangun dan menjadi prinsip hidup manusia khususnya umat muslim, karena
didalamnya mencakup aturan-aturan yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
Didalam islam terdapat aturan, undang-undang dan budaya yang menjadi pedoman utama
tata kehidupan umat muslim secara keseluruhan, mulai dari hal-hal yang bersifat individu
hingga urusan sosial masyarakat secara luas. Sesuai dengan namanya, Islam adalah
keselamatan, kedamaian keselarasan dan kesejahteraan yang dibangun atas dasar
ketaatan. Islam hanya akan menjadi konsep belaka apabila tidak dibarengi dengan
integralitas dan perfeksitas Islam oleh para pemeluknya yang memiliki keimanan tersebut
(Novi Rizka Amalia, 2017).

Islam sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik telah
memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di Indonesia.
Pertama, ditandai dengan munculnya partai-partai berasaskan Islam serta partai nasionalis
berbasis umat Islam dan kedua, ditandai dengan sikap pro-aktifnya tokoh-tokoh politik
Islam dan umat Islam terhadap keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
sejak proses awal kemerdekaan, hingga era reformasi saat ini. Berkaitan dengan keutuhan
negara, misalnya, Muhammad Natsir pernah menyerukan umat Islam agar tidak
mempertentangkan Pancasila dengan Islam.Dalam pandangan Islam, perumusan
Pancasila bukan merupakan suatu yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an, karena
nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila juga merupakan bagian dari nilai-nilai yang
terdapat dalam Al-Qur’an.Dengan alasan keutuhan dan persatuan bangsa, umat Islam rela
menghilangkan tujuh kata dari sila ke satu dari Pancasila, yaitu kata-kata “Dengan
kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya”. Namun sebagian umat
Islam menyesalkan dan merasa kecolongan dilepaskannya tujuh kata tersebut. (Rois
Mahfud, 2011).

Perdebatan antara yang mengusulkan, menolak dan menerima tujuh kata dalam
rancangan teks UU tersebut merupakan gambaran peta ideologis umat Islam pada masa-
masa awal. Dari kalangan Islam di tim sembilan perumus UU, terpetakan ke beberapa
kelompok Islam, yakni modernis, tradisional, fundamentalis dan nasionalis. Perdebatan
antara menolak dan menerima memerlihatkan bagaimana ideologi organisasi memberikan
pengaruh dalam perumusan sebuah ideologi negara.

Jauh sebelum rumusan rancangan UU tersebut mengerucut pada usaha formulasi


hukum Islam sebagai ideologi negara, perdebatan ideologi politik Islam sudah
mengemuka. Dua organisasi besar (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) yang lahir
sebelum munculnya wacana syarî‘ah Islam dalam rancangan undang-undang sudah
terlebih dahulu terlibat dalam perbincangan serius soal ideologi negara. NU dan
Muhammadiyah memiliki sejarah kelahiran yang berbeda yang kemudian diusung
menjadi ideologi gerakan mereka. NU yang pada awalnya bermazhab pada Hijaz dan
Muhammadiyah kepada Kairo dari sisi latar belakang keagamaan memiliki corak dan
perspektif yang berbeda. NU dikenal dengan ideologi tradisional sementara
Muhammadiyah dikenal dengan corak modernis. Perbedaan pandangan tentang ideologi
negara juga tergambar ketika NU menjadi partai politik pada tahun 1955, sementara
Muhammadiyah melebur ke Masyumi (meskipun tidak sedikit dari Ormas selain
Muahmmadiyah masuk ke Masyumi).
Debat soal ideologi politik Islam baik di parlemen maupun di luar parlemen
didominasi oleh dua kubu tersebut (NU dan Muhammadiyah), baik pada Pemilu 1971,
era fusi partai tahun 1973, era Khittah NU tahun 1984. Namun demikian, kedua Ormas
tersebut tidak mampu menembus kekuasaan orde baru yang selalu menggunakan tangan
besi untuk melawan aktivis Islam yang berusaha untuk mengusung ideologi Islam dalam
negara kesatuan Republik Indonesia. Debat soal ideologi politik Islam hanya sebatas
wacana dan menjadi isu-isu partisan untuk memengaruhi publik, karena tidak mampu
menembus level negara. Apalagi usaha pembungkaman melalui (pemaksaan) untuk
menerima Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara oleh pemerintah dijalankan
sangat efektif dengan memotong kekuatan politik di lembaga resmi seperti legislatif.
Sejak tahun 1990-an, berbagai unsur Islam memeroleh peluang yang semakin luas
dalam ruang-ruang negara. Pergeseran posisi Islam yang semakin ke tengah dalam
panggung politik ini sering disebut “politik akomodasi Islam”. Setidaknya ada empat pola
akomodasi yang menonjol pertama, “akomodasi struktural”, yakni dengan direkrutnya
para pemikir dan aktivis Muslim untuk menduduki posisi penting dalam birokrasi negara.
Kedua, “akomodasi infrastruktur”, yakni penyediaan dan bantuan infrastruktur bagi
kepentingan umat dalam menjalankan kewajiban agama mereka. Ketiga, “akomodasi
kultural”, berupa diterimanya ekspresi kultural Islam ke dalam wilayah publik seperti
pemakaian jilbab, baju koko hingga ucapan al-salâm ‘alaykum.Keempat, “akomodasi
legislatif” yakni upaya untuk memasukkan aspek hukum Islam menjadi hukum negara,
meskipun bagi umat Islam saja.
Setelah era reformasi yang sukses menumbangkan rezim Soeharto pada tahun 1998
dengan dibukanya kran demokrasi dan kekebasan berpolitik praktis, perbincangan Islam
sebagai ideologi politik mencapai puncaknya. Bersamaan dengan itu, Ormas Islam yang
selama orde baru tiarap dan lebih banyak bergerak di bawah tanah bermunculan dengan
agenda ideologi politik yang berbeda. Bersamaam dengan era Reformasi, muncul Ormas
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Ahlus
Sunnah Waljamaah, Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Dakwah Salafi. Hal yang
sama juga terjadi pada partai politik, baik yang secara langsung berafiliasi dengan Ormas
Islam maupun yang secara tersembunyi berdiri di belakang Ormas Islam. Baik MMI
maupun HTI secara tegas mengusung agenda politik: legalisasi hukum Islam dalam
sebuah negara, dan menganggap bahwa negara yang tidak menjadikan syariat sebagai UU
dianggap bertentangan dengan Islam (Abdul Chalik, 2014).
Kelompok-kelompok tersebut di atas (Islam Politik) di kalangan akademisi
menyebutnya sebagai Islam Fundamentalis, misalnya Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) sejalan dalam
menyikapi perpolitikan Islam di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa kedaulatan hanya
milik Tuhan dan bahwa syariahmarupakan satu-satunya bentuk pemerintahan paling
absah yang akan mampu memenuhi kebutuhan dan kepentingan seluruh kaum Muslim.
Di samping itu bahwa demokrasi menimbulkan adanya pandangan yang sekuler dalam
kehidupan politik dan keagamaan. Dengan demikian tidak ada jalan lain untuk
menghidupkan kembali Islam di Indonesia kecuali harus kembali kepada al-Qur’an dan
al-Hadith, baik untuk menata kehidupan sosial, budaya maupun politik (Kunawi Basyir,
2016).
Indonesia merupakan Negara yang berhasil mengubah sistem politik dari
otoritarianisme menuju demokrasi serta melewati era transisi demokrasi secara relatif
damai. Hal ini telah menjadikan negara Indonesia menjadi sebuah kekuatan baru
demokrasi dunia yang diperhitungkan.Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim,
Indonesia dapat disebut contoh utama, kalau bukan satu-satunya, yang berhasil
menjadikan Islam dan demokrasi sebagai dua sejoli yang tidak terpisahkan satu-sama lain
(Ahmad Sholikin, 2018).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Politik dan demokrasi merupakan sistem kepemerintahan yang banyak digunakan
di negara-negara yang ada didunia. Kedua hal tersebut berasal dari dunia barat dan
akhirnya menyebar keseluruh dunia. Tersebarnya politik dan demokrasi menimbulakan
keberagam yang berbeda disetiap negaranya. Dinegara bercorak islam meskipun sebagian
masyarakat yang ada kontra terhadap sistem tersebut, faktanya banyak masyarakat yang
justru mendukung sistem tersebut dengan catatan bahwa hukum tersebut telah
disesuaikan dengan ajaran agama dan berpedoman terhadap kitab suci Al-Qur’an dan
hadis Nabi.
Adapun hak asasi manusia merupakan satu-satunya yang tidak dapat ditolak oleh
kedua belah pihak. Dengan adanya Al-Qur’an sebagai pedoman, islam menghadirkan hak
asasi manusia yang lebih rasional dan dapat menerapkan politik, demokrasi, dan hak asasi
manusia sangat diaharuskan bepedoman pada Al-Qur’an dan hadist Nabi.

B. Saran
Dengan ditulisnya makalah ini, maka penulis berharap agar setiap pembaca
mendapatkan ilmu yang bermanfaat, bagi agama maupun Negara dan semoga makalah ini
dapat menjadi pelajaran dan motivasi bagi kita semua
DAFTAR PUSTAKA

Faisal Reza, S (2019) Politik dalam Perspektif Islam. Jakarta: Cipta Jaya

Iftitah, Naili Rohmah, (2014). Islam dan Demokrasi. Islamuna:

Yefri. (2005). Hak Asasi Manusia dalam Perspektik Hukum Islam. Bandung:Mizan

Dahl Robert A. (1992), Demokrasi dan para Pengeritiknya. Jakarta: Ichtihar Baru van Hoeve

Anda mungkin juga menyukai