Abstract
This study aims to analyze how democracy is viewed from an Islamic perspective, especially in
the study of maudhu'i interpretation. By using a study approach library (library research), this
article attempts to bring together the concept of Islam which some scholars say has its own
complete political system. Normatively doctrinal, in the teachings of Islam there are principles and
elements in democracy, although generically, not completely global approved by the scholars and
is still a long debate. The principles and elements of democracy in Islamic teachings are: as-shura,
al-'is, al-amanah, al- masuliyyah and al-hurriyyah. Reality in a country has been applied to the
time of the Prophet Muhammad and khulafaurrasydin was the symbol of Islam and democracy is
only a small part of the complete and perfect Islamic political system that has been practiced.
1
Razzaq, A. (2017). Dakwah dan Pemikiran Politik Islam : Kajian Teoritis dan Empiris. Palembang: NoerFikri
Publisher.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yakni penelitian yang
obyek kajiannya menggunakan data pustaka berupa buku-buku sebagai sumber datanya. Penelitian
ini dilakukan dengan membaca, menelaah, dan menganalisis berbagai literatur yang ada, berupa
AlQur’an, hadis, kitab, maupun hasil penelitian. Dan penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang sistematis yang digunakan untuk mengkaji
atau meneliti suatu obyek pada latar alamiah tanpa ada manipulasi didalamnya dan tanpa ada ujian
hipotesis.
2
Heri Herdiawanto dkk, KEWARGANEGARAAN dan MASYARAKAT MADANI, (Jakarta, PRANADAMEDIA GROUP, C1,
2019), hal. 35.
3
Al-Quran, Surah Al-Ashr, mengajarkan tentang adanya empat perkara yang bakal menjamin keselamatan manusia,
yaitu iman yang amat pribadi, amal salih sebagai perwujudan sosial
4
Nurcholis Madjid, CITA-CITA POLITIK ISLAM ERA REFORMASI, (PARAMADINA, C1, 1994) HAL. 179
masing, yang dipilih dengan memassukkan lidi kedalam tabung bambu milik calon yang
dipilihnya.5
Sejarah Perkembangan Demokrasi diIndonesia.Dalam perjalanan demokrasi negara
Indonesia, terdapatberbagai masalah yang muncul yang harus dihadapi, yaitu bagaimana suatu
demokrasi sebagai tonggak berkembangnya suatu Negara dapat menjadi peran dalam mewujudkan
berdirinya sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan demokrasi Indonesia, dalam
kurunnya waktu terbagi menjadi menjadi empat periode, yaitu: 1) Demokrsi Parlementer (1945-
1959); 2) Demokrasi Terpimpin (1959-1965); 3) Demokrasi Pancasila (1965-1998); 4) Demokrasi
dalam Orde Reformasi (1998-sampai sekarang).
Demokrasi Parlementer (1945-1959), demokrasi pada masa ini dikenal dengan demokrasi
parlementer. Dimana parlementer mulai diberlakukan sesudah sebulan kemerdekaan di
proklamirkan dan kemudian diperkuat dalam UUD 1945 dan 1950.Namun dalam pelaksanaannya
kurang sesuai untuk Indonesia. Karena persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh
bersama dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstuktif sesudah kemerdekaan
dicapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi demokrasi sistem peluang untuk mendominasi
partai-partai politik dan DPR. Dimana menurut UUD 1950 menetapkan berlakunya sistem
parlementer, dengan Badan Eksekutif yang terdiri dari presiden sebagai kepala Negara beserta
menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai politik,
usia kabinet pada masa ini jarang dapat bertahan cukup lama, juga ternyata ada beberapa kekuatan
sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis, padahal merupakan
kekuatan yang paling penting, akhirnya koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah, hal
ini mengkibatkan, destabilisasi politik nasional. Faktor-faktor semacam ini ditambah dengan tidak
mampunya anggota-anggota partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsesus
mengenai dasar Negara untuk UUD baru, akhirnya mendorong Ir. Soekarno untuk mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dalam masa ini Presiden lebih dominandalam kegiatan
pemerintahan, berkembangnya komunis, dan meluasnya peran ABRI dalam unsur sosial politik.
UUD 1945 membuka ruang dan kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan sekurang-
kurangnya 5 tahun.Akan tetapi ketetapan MPRS No.III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno
sebagai presiden seumur hidup, telah membatalkan pembatasan dalam kurun waktu 5 tahun itu.
Selain itu, banyak terjadi tindakan penyimpangan lainnya yang terjadi terhadap ketentuan UUD
1945 yang eksplisit ditentukan dan presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong juga mengganti Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
hasil pemilu, ditonjolkan peranannya sebagaipembantu pemerintah sedangkan fungsi kontrol
ditiadakan. Dan di dalam bidang perundang-undangan dimana segala aktifitas pemerintahan
dilaksanakan melalui Penetapan Presiden yang memakai sumber Dekrit 5 Juli 1959. Dan
bagaimanakah rumusan demokrasi terpimpin dan apakah butir-butir pokok demokrasi terpimpin?
Seperti yang dikemukakan Soekarno, dalam kutipan
5
Ibid hal. 35
A. Syafi’I Ma’arif adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Dan prinsip-prinsip demokrasi terpimpin yang
dikemukakan oleh Soekarno adalah sebagai berikut: pertama tiap-tiap orang diwajibkan
untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, bangasa, dan Negara. Kedua tiap-
tiap orang berhak mendapat penghidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa, dan
Negara.
Demokrasi Pancasila (1965-1998), dengan landasan formil, yaitu pancasila, UUD 1945, dan
Ketetapan MPRS. Dalam usah untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945.
Dan begitupula meniadakan pasal yan memberi wewenang kepada presiden untuk memutuskan
permasalahan yang tidak dicapai mufakat antara badan legeslatif. Selain itu beberapa hak asasi
diusahakan supaya diselenggarakan secara lebih penuh dengan memberi kebebasan kepada pers
untuk menyatakan pendapat, dan kepala partai-partai politik untuk bergerak dan menyusun
kekuatannya, terutama menjelang pemilu 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya
partisipasi golongan-golongan dalam masyarakat disamping pembangunan secara teratur. Namun
dalam pelaksanaanya, demokrasi pancasila pada masa Soeharto belum mencapai pada tataran
praksis. Karena dalam demokrasi ini, ditandai dengan adanya; dominan para ABRI, birokratisasi
dan sentralisasi pengambilan keputusan politik; pengebirian peran dan fungsi partai politik; adanya
campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai politik; masa mengambang; monolitisasi
ideologi Negara; dan inkorporasi lembaga non pemerintah. Sehingga pelaksanaan demokrasi pada
masa ini belum secara penuh ditegakan berdasar nilai- nilai demokrasi pancasila (Azyumardi Azra,
2002).
Demokrasi Reformasi (1998-sampai sekarang), bergulirnya reformasi menjadi masa transisi
di Indonesia, pada masa ini terjadi pembalikan arah perjalan bangsa dan negara yang akan
membawa Indonesia kembali memasuki masa otoriter sebagaimana yang terjadi pada orde lama
dan orde baru. Sukses atau gagalnya suatu demokrasi tergantung pada empat faktor, yaitu:
1) Komposisi elite politik;
2) Desain institusi politik;
3) Kultur politik atau perubahan sikap terhadap politikdikalangan elite dan non elite;
4) Peran masyarakat madani.
Pentingnya komposisi elite politik, dikarenakan dalam demokrasi modern dengan bentuknya
demokrasi perwakilan rakyat mendelegasikan kedaulatan dan kekuasaannya pada elite
politik.Dimana para elite politik mendesain institusi politik, yang dimana saling bertanggungjawab
dalam melakukan tawar menawar, memobilisasi dukungan, dan opini publik. Indikasi kearah
terwujudnya kehidupan demokratis dalam era transisi menuju demokrasi di Indonesia antara
adanya reposisi dan redefinisi TNI dalam kaitan dengan keberadaannya pada sebuah Negara
demokrasi, diamandemennya pasal-pasal dalam konstitusi negara RI, adanya kebebasan pers,
dijalankannya kebijakan otonomi daerah, dan sebagainya. Akan tetapi sampai saat inipun masih
dijumpai indikasi-indikasi kembalinya kekuasaan yang masih memutar balikan arah demokrasi di
Indonesia kembali ke periode sebelum reformasi. Oleh sebab itu, kondisi transisi demokrasi
Indonesia untuk saat ini belum jelas kemana arahnya. Perubahan sistem politik, melalui paket
amandemen konstitusi (Amandemen Ke-IV) dan pembuatan paket perundang-undangan politik
(UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU Susunan dan
Kedudukan DPR, DPRD, DPD), dimana dapat mengawasi transisi menuju demokrasi. Dan pada
pelaksanaan pemerintahan pada masa sekarang, masih terjadi tindakan di luar nilai UUD 1945.
Maraknya kasus korupsi dikalangan para pejabat Negara yang masih belum terselesaikan.
6
Muhammad Hanafi, “Kedudukan Musyawarah dan Demokrasi di Indonesia”. Jurnal: Jurnal Cita Hukum. Vol. I, No.
2, (Desember 2013), hlm. 237.
7
Muhammad Hatta, Demokrasi Kita: Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, (Bandung: Sega Arsy,
2008), hlm. 65.
8
Muhammad Hanafi, “Kedudukan Musyawarah..., hlm. 238.
sebuah demokrasi bukanlah kebebasan semata, melainkan kemampuan untuk dapat menerima
perbedaan yang ada. Demokrasi adalah bentuk dari sebuah kedewasaan suatu kaum untuk mampu
menampung keberbedaan yang ada di dalamnya. Untuk itu Islam mengenal syura atau
musyawarah dalam melakukan proses-proses dialogis di antara kelompok-kelompok sosial yang
ada di tengah masyarakat.9
Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang terkait dengan prinsip-prinsip utama
demokrasi, antara lain QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38 (yang berbicara tentang musyawarah);
al-Maidah: 8; al-Syura: 15 (tentang keadilan); al-Hujurat: 13 (tentang persamaan); al-Nisa’: 58
(tentang amanah); Ali Imran: 104 (tentang kebebasan mengkritik); al-Nisa’: 59, 83 dan al-Syuro:
38 (tentang kebebasan berpendapat) dst.10 Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin,
agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal
dari pergumpulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri.
Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan
demokrasi. Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa elemen-elemen pokok demokrasi dalam
perspektif Islam meliputi: as-syura, al-musawah, al-‘adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-
hurriyyah. Kemudian apakah makna masing-masing dari elemen tersebut?
As-Syura
Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara
eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura: 38:
ََص ٰلو َةََ َواَ ْم ُرهُ َْمَش ُْو ٰرىَبَ ْينَ ُه َْمَ َومِ َّمَاَ َرزَ ْق ٰن ُه َْمَيُ ْن ِفقُ ْون
َّ َوالَّ ِذيْنَََا ْستَ َجاب ُْواَل َِربِ ِه َْمَ َواَقَا ُمواَال
dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Prinsip syura atau musyawarah di antara para kaum Muslimin dalan menyelenggarakan
kekuasaan politik pemerintahan ini menunjukan sebuah prinsip demokrasi bahwa kekuasaan akan
selalu dipertanggung jawabkan kepada rakyat dan Tuhan. Rakyat yang telah memilihnya melalui
mekanisme musyawarah, dan pertanggung jawaban kepada Allah SWT selaku penguasa mutlak.
Terdapat pertanggung jawaban Secara bidimensional terhadap konsep kekuasaan: tanggung jawab
seorang pemimpin kepada Tuhan dan tanggung jawab atas rakyat yang ia pimpin. Syura adalah
demokrasi di dalam Islam, walau dengan varian tersendiri yaitu selalu meletakkan gagasan imanen
dalam proses menjalankan kekuasaan. Kekuasaan Islam bukanlah kekuasaan yang semata berpijak
9
Ibid hal 44
10
Umar, Nasaruddin. “Demokrasi dan Musyawarah: Sebuah Kajian analitis” dalam Jurnal Komunikasi Perguruan
Tinggi Islam, hal. 36 dan lihat al-Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Qur’an al-Karim
pada kehendak mutlak rakyat, ataupun kehendak Allah tanpa memperhatikan kehendak rakyat.
Pemimpin dipilih karena ia dianggap mampu mengemban amanah bidimensional tersebut.
Al-Musawah
Al-Musawah adalah kesejajaran, egaliter, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi
dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu
pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam,
pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui
pemilihan yangjujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang
yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat
demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan
perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai
konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah.11 Diantara dalil al-Qur’an yang sering
digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13
َع ِليْمََ َخبِيْر
َ َّللا ََّ ّللاَاَتْ ٰقىكُ َْمَۗا
ََٰ َِن َِٰ ََِنَاَ ْك َر َمكُ َْمَ ِع ْن َد
ََّ ارفُ ْواََۚا ََ نَذَكَرََ َّوا ُ ْن ٰثىَ َو َجعَ ْل ٰنكُ َْمَشُعُ ْوبًاَ َّوقَبَ ۤا ِٕى
َ َلَ ِلتَع َُ َّٰيٰٓاَيُّ َهاَالن
َْ اسَاِنَّاَ َخلَ ْق ٰنكُ َْمَ ِم
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
Al-Manah
Al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang
kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan
baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan
oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa
tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil. Sehingga Allah SWT.
menegaskan dalam surat an-Nisa’: 58:
نَتَحْ كُ ُم ْواَبِا ْلعَدْ َِل َ ِ َّتَا ِٰلٰٓىَاَ ْه ِل َهاََ َواِذَاَ َح َك ْمت ُ َْمَبَيْنَََالن
َْ َاسَا َِ اْلمٰ ٰن َْ َّللاَيَأ ْ ُم ُركُ َْمَا
َ ْ َنَت ُ َؤدُّوا ََّ ا
ََٰ َِن
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan
adil.
11
Hasan, Tholchah, “Hak Sipil dan Hak Rakyat dalam Wacana Fiqh” dalam Jurnal Khazanah,UNISMA Malang, .
1999. hal. 26.
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan
orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan
tersebut. Inilah etika Islam.
Al-Mas’uliyah
Al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui, bahwa kekuasaan dan
jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa
tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai
amanah ini memiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan
rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Sebagaimana Sabda
Nabi: __Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggung jawabannya__
.Seperti yang diakatakn oleh Ibn Taimiyyah,12 ’’_bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya”._Dengan
dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang
berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian,
pemimpin/ penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat),
melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib
senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan
sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Al-‘Adalah
al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam
berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan
nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah
SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90:
ََ ي َِ َي ِعظُكُ َْمَلَ َعلَّكُ َْمَتَذَ َّك ُر ْو
ن َِ نَا ْلفَحْ ش َۤاءََِ َوا ْل ُم ْنك
َ َرَ َوا ْل َب ْغ َِ ع َِ انَ َواِ ْيت َۤا
َ َئَذِىَا ْلقُ ْربٰىَ َو َي ْنهٰ ى َِ ّْللاَ َيأ ْ ُم َُرَ ِبا ْل َعد
َ ْلَ َو ْاْلِح
َِ س ََّ ا
ََٰ َِن
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan”. (Lihat pula, QS.
as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst.).
Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil tanpa pandang bulu ini,
banyak ditegaskan dalam al-Qur’an, bahkan disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang
tua sendiri dan karib kerabat. Nabi juga menegaskan, , bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu
ialah karena jika “orang kecil” melanggar pasti dihukum, sementara bila yang melanggar itu
“orang besar” maka dibiarkan berlalu. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat
diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrem” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan
12
Madani, Malik. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” dalam Jurnal Khazanah, UNISMA Malang, 1999.
hal 13.
lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang
mengatasnamakan) Islam”13
Al-Hurriyah
Al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi
hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan
cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa
an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang
harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan
kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu
masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela. Patut disimak sabda Nabi yang berbunyi:
“ _Barang siapa yang melihat kemunkaran, maka hendaklah diluruskan dengan tindakan, jika tidak
mampu, maka dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan hati, meski yang terakhir ini
termasuk selemah-lemah iman”_Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip
atau elemen-elemen demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat.
dengan demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.
Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dan demokratis.
Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupan kongkret di masyarakat.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam dalam sejarahnya? Dalam
realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam
seperti pada praktik-praktik yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani ‘Abbasiyyah dan
Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis.
Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi
dan khulafaurrasyidin. Adalah merupakan dalil sosial, bahwa dalam setiap masyarakat terdapat
pemimpin dan yang dipimpin, penguasa dan rakyat, serta muncul stratifikasi sosial yang berbeda.
Demikian pula pada zaman pra-Islam (Jahiliyyah) muncul kelas sosial yang timpang, yaitu kelas
elit-penguasa dan kelas bawah yang tertindas. Kelas bawah ini seringkali menjadi ajang
penindasan dari kelompok elit.
13
Madani, Malik. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” dalam Jurnal Khazanah, UNISMA Malang, 1999.
hal 12.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa secara normatif doktriner, dalam ajaran Islam
terdapat prinsip-prinsip dan elemen dalam demokrasi, meskipun secara generik, global. Prinsip
dan elemen-elemen demokrasi dalam ajara Islam itu adalah: as-syura, al-‘adalah, al-amanah, al-
masuliyyah dan al-hurriyyah. Realitas demokrasi dalam sebuah negara pernah diterapkan pada
masa Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin. Tetapi setelah itu, pada sebagian besar negara-
negara Islam tidak mewarisi nilai-nilai demokrasi tersebut. Realitas ini tidak hanya terjadi pada
negara-negara Islam saja, tetapi juga negara non-Islam (Barat). Inilah problem yang dihadapi oleh
banyak negara. Secara umum nilai-nilai agama memang belum banyak dipraktikkan dalam ikut
memberikan kontribusi pada banyak negara, apalagi negara sekular. Oleh sebab itu statement
Fukuyama maupun Huntington, yang mengatakan bahwa secara empirik Islam tidak compatible
dengan demokrasi tidak sepenuhnya benar. Sebab di negara non-Muslim pun demokrasi juga tidak
sepenuhnya diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Madani, Malik. (1999). “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” dalam Jurnal Khazanah,
UNISMA Malang.
Hasan, Tholchah, (1999). “Hak Sipil dan Hak Rakyat dalam Wacana Fiqh” dalam Jurnal
Khazanah, UNISMA Malang.
Umar, Nasaruddin. (2002). “Demokrasi dan Musyawarah: Sebuah Kajian analitis” dalam Jurnal
Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, Perta, Vol. V. No. 1
Effendy, Bahtiar. (1996). “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa Yang Memungkinkan”
dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (eds.), Agama dan Dialog Antar Peradaban,
Jakarta: Mizan.
Razzaq, A. (2017). Dakwah dan Pemikiran Politik Islam : Kajian Teoritis dan Empiris.
Palembang: NoerFikri Publisher.
Hatta, Muhammad. Demokrasi Kita: Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat. 2008.
Bandung: Sega Arsy.