Kelompok IV
Kelas : ARS.22.C
Matkul : Pancasila
Dosen : Andini PutriRiandani, S.Gz, M.Si
Tugas : Membuat Makalah tentang Demokrasi dan Hak Asasi
Manusia
Nama Anggota :
1. Ahmad Fadli
2. Ihdinas Maulana
3. Abdul Rosid
4. Tian Febriansyah
5. Fadilah R
6. Puput Larasati
DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
BAB I
PENDAHULUAN
Pada pembahasan mengenai hak demokrasi ini kita dapat mengerti bahwa segala
bentuk aspek kehidupan di Indonesia ini selalu mempunyai keinginan untuk melaksanakan
demokrasi, namun dengan penyesuaian konsep-konsep dan aturan-aturan operasionalnya
menurut kondisi kultur bangsa kita. Dan keinginan itu lahir ungkapan “Demokrasi Indonesia”
atau, lebih umum lagi “Demokrasi Pancasila”.
Secara teritoris, dorongan untuk mengembangkan demokrasi menurut kondisi
khusus suatu tempat adalah wajar sekali. Sekalipun dasar paling prinsipil dari demokrasi itu
universal, berlaku untuk semua tempat dan waktu, namun dalam rincian dan pelaksanaannya,
juga dalam institusinya yang menyangkut masalah structural dan procedural tertentu, terdapat
variasi yang cukup besarantara berbagai Negara demokrasi.
Berbagai pengalaman nasional yang penuh trauma telah membuat para pemimpin
Indonesia berpikir dan bekerja keras untuk menemukan dan menerapkan suatu system yang
diyakini paling cocok dengan Pancasila dan bagi bangsa dalam tahap perkembangannya
sebagai bangsa muda. Banyak yang berpendapat bahwa system itu telah ditemukan, bahkan
telah berjalan dalam masa pemerintahan orde baru yang sampai sekarang sudah berlalu
selama tiga puluh tahun yang kemudian dikenal dengan epitet “Demokrasi Pancasila”.
Demokrasi yang kelak diklaim sebagai khas Indonesia inilah yang selalu diterangkan sebagai
system pemerintahan berdasarkan musyawarah dan mufakat.
Oleh karena itu pada kesempatan ini kita akan membahas demokrasi dalam
pancasila yang mana didalamnya kita akan mengetahui bagai mana cara berdemokrasi yang
benar menurut dasar Negara kita.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Demokrasi
Demokrasi sangat penting bagi masyarakat untuk menggunakan haknya dalam
menentukan sendiri jalannya organisasi Negara. Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara
memberi pengertian bahwa rakyat yang memberikan ketentuan terakhir dalam masalah-
masalah pokok kehidupannya, termasuk menilai kebijaksanaan Negara karena kebijaksanaan
tersebut menentukan kehidupan rakyat.
Meskipun dari berbagai pengertian demokrasi terlihat bahwa rakyat mempunyai
posisisentral (rakyat berkuasa) tetapi dalam prakteknya menurut Unesco disimpulkan bahwa
ide demokrasi itu dianggap ambiguous (mempunyai arti ganda) dan setidak tidaknya ada
ambiguity artinya adanya ketidaktentuan mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang
dipakai untuk melaksanakan ide demokrasi atau mengenai keadaan kultural sertahistoris
yang mempengaruhi istilah ide dan praktek demokrasi. Hal ini dapat dilihat pada Negara-
negara yang sama-sama menganut asas demokrasi ternyata implementasinya tidaksama.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah wewenang manusia yang bersifat dasar sebagai
manusia untuk mengerjakan, meninggalkan, memiliki, mempergunakan atau menuntut
sesuatu yang baik yang bersifat materi maupun immateri. Secara historis, pandangan terhadap
kemanusiaan di Barat. Bermula dari para pemikir Yunani kuno yang menggagas humanisme.
Pandangan humanism kemudian dipertegas kembali pada zaman Renaissance. Dari situ
kemudian muncul berbagai kesepakatan nasional maupun internasional mengenai
penghormatan hak-hak asasi manusia. Puncaknya adalah ketika Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) Declaration of Human Right, disusul oleh ketentuan-ketentuan lain untuk melengkapi
naskah tersebut. Secara garis besar, hak asasi manusia berisi hak-hak dasar manusia untuk
dilindungi, yang meliputi hak hidup, hak kebebasan, hak persamaan, hak mendapatkan
keadilan, dll.
Dalam masalah ini telah dipaparkan tentang HAM yaitu pada pembukaan UUD
1945: “kebebasan adalah segala bangsa…..”. Secara tidak langsung pembukaan itu telah
membentuk suatu keyakinan bahwa manusia mempunyai hak-hak asasi yang harus
dilindungi.
Hubungan antara pembukaan UUD dengan HAM sangatlah erat, karena dalam
pembukaan UUD telah memperincikan secara khusus kemerdekaan segala bangsa dan tujuan
Negara kita. Perlakuan pemerintah tentang hak-hak asasi manusia haruslah selalu
dipentingkan, karena pada saat pembentukan pembukaan UUD 1945 telah mencantumkan
tentang hak-hak asasi, sehingga dalam hal ini manusia dapat merasakan hak-hak mereka
dengan layak. Hak asasi merupakan hal yang sangat
HAM adalahhak yang melekat pada diri manusia sebagai insan ciptaan Allah SWT,
sepeti : hak hidup, keselamatan, kebebasan dan kesamaaan sifatnya tidak boleh dilangar oleh
siapapun. Ada lagi yang berpendapat bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat
hak
b. Menjamin tetap tegaknya Negara RI yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang,
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
1. Sejarah Perkembangan HAM
Puncak perkembangan hak-hak asasi manusia yaitu ketika ‘Human Right’ itu untuk
pertama kalinya dirumuskan secara resmi dalam ‘Declaration of Independence’ Amerika
Serikat pada tahun 1776. Dalam deklarasi Amerika Serikat tertanggal 4 Juli 1776 tersebut
dinyatakan bahwa seluruh umat manusia dikarunia oleh Tuhan Yang Maha Esa beberapa hak
yang tetap dan melekat padanya. Perumusan hak-hak asasi manusia secara resmi kemudian
menjadi dasar pokok konstitusi Negara Amerika Serikat tahun 1787, yang mulai berlaku 4
maret 1789.
Perjuangan hak asasi manusia tersebut sebenarnya telah diawali di Prancis sejak
Rousseau, dan perjuangan itu memuncak dalam revolusi Prancis , yang berhasil menetapkan
hak-hak asasi manusi dalam ‘Declaration des Droits L ‘Homme et du Citoyen’ yang
ditetapkan oleh Assemblee Nationale, pada 26 Agusts 1789. Semboyan revolusi Prancis yang
terkenal yaitu:
a. Librte (kemerdekaan),
b. Egalita (kesamarataan)
c. Fraternite (kerukunan atau persaudaraan)
Maka menurut konstitusi Prancis yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia adalah: hak-
hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan dengan
hakikatnya.
Doktrin tentang hak-hak asasi manusia sekarang ini sudah diterima secara universal
sebagai bentuk ‘a moral, political, legal framework and as a guideline’ dalam membangun
dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak
adil. Terhadap deklarasi sedunia tentang hak-hak asasi manusia PBB tersebut, bangsa-bangsa
sedunia melalui wakil-wakilnya memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis
formal walaupun realisasinya juga disesuaikan dengan kondisi serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku dalam setiap Negara didunia ini.
Namun demikian dikukuhkanya naskah Universal Declaration of Human Right ini,
ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan diberbagai Negara.
Oleh karena itu PBB secara terus-menerus berupaya untuk memperjuangkannya. Akhirnya
setelah kurang lebih 18 tahun kemudian, PBB berhasil juga melahirkan Convenant on
Economik, Social and cultural (perjanjian tentang, ekonomi, sosial dan budaya)
dan Convenant on civil and Political Right (Perjajian tentang hak-hak sipil dan politik).
3. Masalah Hak-hak Asasi
Dalam persimpangan jalan pertumbuhan dan perkembangan bangsa kita yang amat
penting sekarang ini, prinsip-prinsip kebebasan nurani dalam semangat kemanusiaan
universal tersebut sungguh harus mulai menjadi acuan serius bagi seluruh lapisan masarakat.
Biasanya manusia itu membandingkan satu orang dengan orang lainnya karena
factor sosial. Yang dimaksud dengan factor sosial disini adalah tingkatan kedudukan
seseorang, atau tingkat materinya. Sehingga mereka sangat sulit untuk menyatukan hak-hak
asasi demi perubahan bangsa dan Negara kita ini. Masalah mengenai hak-hak asasi yang ada
di Indonesia ini biasanya dipicu oleh masalah agama yang begitu banyak, sehingga terjadinya
pluralitas di daerah-daerah tertentu. oleh karena itu saat ini manusia sangat sulit untuk
mengeluarkan suara atau hak demokrasi mereka. Hal tersebut berpengaruh pada sulitnya
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk menjadi yang terbaik, yang sebenarnya
didalam pancasila telah di paparkan yaitu pada silake 3 “Persatuan Indonesia”, yang berarti
persatuan bangsa yang mendiami wilayah bangsa yang didorong untuk mencapai kehidupan
bangsa yang bebas dalam Negara yang merdeka, berdaulat dan menghargai bangsa lain.
Dalam rentangan berdirinya bangsa dan Negara Indonesia telah mengangkat hak-hak
asasi manusia yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 alenia I: “Kemerdekaan
adalah hak segala bangsa”. Secara dasar filosofisnya hak asasi manusia bukanlah kebebasan
individualis melainkan menempatkan manusia dalam hubungannya dengan bangsa (makhluk
sosial), menciptakan keadialan dalam setiap negara, sehingga hak asasi manusia tidak dapat
dipisahkan dengan kewajiban asasi manusia.
Tiga pendekatan terhadap hak-hak manusia seperti :otoritarianisme (formalisme),
relativisme dan etikasituas, kesemuanya memberi petunjuk bahwa “masyarakat bebas”
sampai saat ini tetap mencari nilai baku yang dapat diterima oleh semua pihak, dan salah
satunya menunjukkan kepada kita bahwa paham universal yang dapat kita sepakati saat ini
adalah etika situasi, sebagai jalan tengah dari kedua pendekatan pertama. Dalam sejarah
ternyata formalism (filsafat Kant) dituding bertanggung jawab terhadap kekacauan yang
terjadi pada Perang Dunia I dan II begitu pula teori relativisme dalam sejarahnya tidak dapat
memuaskan Negara-negara berkembang dan dunia ketiga menghantarkan kepada paham
universal yang disepakati oleh banyak bangsa didunia, berlakusecara global dan mendekati
kebenaran bersama pada zamannya.
E. Demokrasi dan HAM
Demokrasi berperan untuk menjadi metode yang implementatif bagi pelaksanaan
HAM. Karena itu demokrasi tersebut harus bersifat kultural, sebagaimana muatannya, sebab
tanpa inspirasi agama maupun tradisi, demokrasi akan gagal oleh formalismenya sendiri.
Karena itu ketika HAM harus diwujudkan melalui perjuangan demokrasi, agama menjadi
varian yang tidak bisa dihindari sebagai fakta yang fundamental, sekaligus bersifat suplemen
terbagi proses demokratisasi, khususnya di Negara kita, yang konon sangat religius.
Persoalannya, sejauh mana agama tidak terinsti tusi dalam formalis medemokrasi, dan
sebaliknya demokrasi tidak menuntut liberalitasnya atas wilayah-wilayah agama. Disini perlu
penyelesaian ketegangan agama dan demokrasi disatu pihak, dan pemberian wilayah HAM
yang srategis agar agama menjadi inspirasi bagi budaya demokrasi sementara HAM menjadi
ruang public untuk memberi kepaastian hukum dan lembaga peradilan nanti.
Netralisasi lembaga peradilan dari tekanan-tekanan kekuasaan maupun intervensi
eksternal, selain tidak akan memberikan kepastian hukum bagi penegak HAM, juga
melahirkan bentuk-bentuk aktivitas yang anarkis terhadap hukum itu sendiri. Demokrasi juga
bisa melahirkan anarkhisme, apabila demokrasi mengabaikan institusi public yang menjadi
saluran-salurannya, termasuk penghormatan terhadap nilai-nilai moral agam yang
berhubungan dengan kemanusiaan.
Kita tidak menginginkan terjadinya dehumanisasi, karena selain melanggar nilai-nilai
HAM dan demokrasi, dehumanisasi adalah fakta negative dalam sikap manusia paling
primitive. Akan lebih menyakitkan lagi manakala dehumanisasi itu atas nama agama,
kemanusiaan, bahkan atas nama suatu pemahaman demokrasi.
Disinilah perlunya mengangkat kembali sejumlah volume universal agama, volume
humanisme, dan volume penyelenggaraan Negara. Volume keagamaan, akan menjadi
dasar piramida yang bersifat inspiratif, sementara nilai-nilai kemanusiaan menjadi ruang
public yang mempertemukan volume kultural dari pengalaman moral beragama dengan
kekuatan-kekuatan structural Negara, yang menjamin pelaksanaan hukum secara adil.
Karenanya, harus mencerminkan hak-hak public, agar demokrasi tidak terkooptasi oleh
kekuasaan.