Anda di halaman 1dari 18

Disusun oleh : Andre WillYanto

NPM : 2104-1010-290
Fakultas : FISIP. Administrasi Publik

“Isu Aktual Demokrasi dan Fundamentalisme dalam


Studi Islam”

PENDAHULUAN

Beberapa isu penting yang banyak menimbulkan perdebatan di kalangan


ahli dan masyarakat adalah pluralisme, fundamentalisme, demokrasi, dan
HAM. Isu-isu ini muncul tidak hanya di dunia Barat, melainkan juga di dunia
Islam. Di dunia Islam, isu-isu tersebut memang memunculkan banyak perdebatan.

Pluralisme, misalnya, selalu menjadi problem di dunia Islam. Persoalan ini


muncul karena sebagian besar masih belum memahami secara sungguh-sungguh
arti pentingnya pluralisme, sehingga dampak dari ketidak pahaman mengenai
pluralisme tersebut telah memicu konflik yang tidak jarang mengatasnamakan
agama/tuhan. Selain itu, paham fundamentalisme juga akan dibahas dalam
makalah karena muncul image bahwa paham ini banyak menggunakan kekerasan
untuk mencapai tujuannya dalam rangka memurnikan ajaran agama yang
dianggap telah menyeleweng dari tatanan-tatanan nilainya. Fundamentalisme
selalu muncul pada seluruh agama-agama besar di dunia. 

Hak Asasi Manusia menjadi sebuah term yang global yang menempati
posisi penting dalam hubungan antara individu dengan masyarakat dunia.
Lahirnya HAM tidak bisa dilepaskan dari pergulatan modern yang harus
menghadapi pengaturan negara dan semakin meningkatnya kesadaran akan fungsi
negara bagi perlindungan individu. Begitu juga dengan demokrasi yang ada,
semuanya merupakan satu kesatuan dari isu-isu aktual dalam studi Islam.
PEMBAHASAN

Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata Yunani,


yaitu demos, yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan
cratein atau cratos, yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, demokrasi
adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Sedangkan pengertian demokrasi secara terminologi adalah seperti yang
dinyatakan Sidney Hook, bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana
keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak
langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari
rakyat dewasa.1

Demokrasi yang dimaksud oleh para pendiri negara (the founding father)
kita mencakup bukan hanya pengertian kelembagaan dan proses, tetapi juga
mencakup wawasan, sikap dan perilaku. Salah satunya konsekuen pemikiran
demikian adalah perlu terjadinya suatu proses perubahan fundamental dalam
landasan normatif kehidupan politik bangsa yang membedakan antara masa
sebelum dan setelah kemerdekaan. Landasan tersebut bersumber baik dari dalam
maupun dari khazanah kultur bangsa yang saling melengkapi dan menopang satu
sama lain.2

Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi


manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan
hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite
(persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi
manusia), dan sebagainya. Adapun beberapa pendapat tentang demokrasi yaitu
sebagai berikut:

1. Menurut Joseph A Schmeter menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu


perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-

1
A. Ubaedillah dan Abdul Rojak, demokrasi,Hak Asasi Hanusia dan masyarakat Madani (Jakarta:ICCE
UIN Syarif Hidayatullah,2008), hlm. 39.

2
Muhamad A.S.Hikam,Islam demokratisasi pemberdayaan Civil Society(Jakarta:Erlangga,2000), hlm.
103.

2
individu memperoleh kekuasan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif
atas suatu rakyat.
2. Henry B. Mayo menyatakan demokrasi sebagai sistem politik merupakan
suatu yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik
dalam diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

a) Demokrasi Tradisional
Menurut Khoiridin Nasutiondalam bukunya pengantar study islam,
bahwa sistem demokrasi pertama kali diterapkan di Yunani, sistem ini mulai
berlaku sejak abad 6,5 dan 4 SM. Hanya saja harus dicatat bahwa demokrasi
di Yunani kuno (Greek State) berbeda dengan demokrasi modern. Namun hak
memilihnya hanya ditujukan kepada penduduk asli (citizen), sedangkan
penduduk di luar itu tidak berhak memberikan hak suara.

b) Demokrasi Modern
Adapun negara pertama di masa modern yang dicatat sebagai pelopor
demokrasi adalah Inggris, Prancis, Spanyol. Parlemen Inggris misalnya, tahun
1295 menemukan sistem tingkat pertama yakni bahwa setiap daerah harus
memilih dua kesatria, dua warga kota dan dua wakil dari kelompok penguasa
ekonomi (borjuis). Tahapan kedua, munculnya Magna Charta diubah
bentuknya oleh parlemen menjadi prinsip, bahwa raja terikat oleh undang-
undang yang telah dibuatnya. Prinsip ini tentu secara perlahan berusaha untuk
memaksa raja untuk mematuhi peraturan.

A.  PANDANGAN ISLAM TERHADAP DEMOKRASI

Berbicara tentang sistem kenegaraan pemerintah dalam islam harus


dibedakan antara teori dan praktek. Maksud teori adalah konsep-konsep yang
tertulis dalam nash (Al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad SAW.) sementara
praktek adalah praktek yang dilakukan kaum muslim sepanjang sejarah muslim.

3
Perbedaan ini penting dipahami lebih dahulu, sebab sebanyak-banyak kasus
sistem pemerintahan yang berlaku dalam sejarah mslim adalah tidak sejalan teori
yang ingin dibangun islam (teoritis). Karena itu, tulisan ini berdasarkan teori,
bahwa ketika membahas sistem pemerintahan islam harus ada perbedaan antara
teori dan praktek. Sejalan dengan itu, pembahasan berikut merupakan pelacakan
terhadap sistem permerintahan islam yang ada dalam nash bukan praktek muslim.3
Akan halnya dengan praktek demokrasi dalam sejarah muslim secara
singkat dan hanya sebatas masalah pergantian kepemimpinan kepala
negara/pemerintah (suksesi) dapat digambarkan demikian. Bentuk suksesi yang
terjadi dikekuasaan nabi Muhammad kepada Abu Bakar Al-Shidiq sebagai
khalifah pertama adalah hasil musyawarah kaum muslimin, yang ketika itu terdiri
dari kaum ansor dan muhajirin di saqifah bani Sa’adah. Kemudian peralihan dari
Abu Bakar kepada Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua adalah dengan
penunjukkan oleh khalifah sebelumnya dengan persetujuan kaum muslimin.
Bentuk lain yang muncul ketika peralihan dari Umar bin Khattab kepada Utsman
bin Affan sebagai khalifah ketiga adalah dengan sistem formatur. Adapun
peralihan dari Utsman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
keempatadalah dengan jalan aklamasi. Selain itu, sejarah muslim diwarnai dengan
sistem pemerintahan yang monarki.

Dapat dikatakan, bahwa praktek suksesi kepemimpinan yang dilakukan


keempat khalifah pertama (khulafa al-rashidin) masih sejalan dengan demokrasi
(shura)  yang diajarkan islam, sebab nash hanya memberi prinsip, sementara
bentuk dapat dipraktekkan dalam sejumlah variasi sepanjang prinsip musyawarah
ada di dalamnya.
Seperti halnya Al-Ghazali berpendapat bahwa “umat sumber kekuasaan”
ialah umat islam sendiri yang berhak memilih orang-orang yang akan diberi
kepercayaan mengurus kepentingan mereka. Mereka berhak menuntut tanggung
jawab atas pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh orang-orang yang mereka pilih.
3
Khoirudin Nasution,pengantar studi Islam, (Jakarta:RajaGrafindo,2016), hlm. 178-179.

4
Mereka berhak mencela dan memuji, berhak menghukum jika orang-orang yang
dipilihnya itu berbuat buruk, bahkan bila mau merka pun berhak memecatnya.4
Penulis sependapat dengan ungkapan Al-Ghazali bahwa umat sumber
kekuasaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam yang lahir 14 abad yang lalu
telah mengenal sistem pemerintahan syura atau sekarang kita kenal demokrasi.

B. HUBUNGAN ISLAM DENGAN DEMOKRASI

Seperti yang sempat di singgung sebelumnya, Sebenarnya ada beberapa


prinsip Islam yang sesuai dengan demokrasi, yaitu :

1) Syura (Musyawarah) Musyawarah dijelaskan dalam QS.42:28, “yang berisi


perintah kepada para pemimpin dalam kedudukan apapun untuk
menyelesaikan urusan dan masalah kepemerintahan dengan cara
bermusyawarah”.
2) Keadilan Artinya dalam menegakkan egar termasuk rekrutmen dalam berbagai
jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh
kolusi dan egaram. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara
lain dalam surat an-Nahl:90; as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58. Prinsip
keadilan dalam sebuah egara memang sangat diperlukan, sehingga ada
ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari
kendati ia egara kafir, sebaliknya egara yang zalim akan hancur meski ia egara
(yang mengatasnamakan) Islam”.
3) Kesejajaran (al-Musawah) Artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi
dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa
memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif.
Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari
hegemoni penguasa atas rakyat. Ayat Al-Qur’an yang sering digunakan adalah
QS. Al-Hujurat ayat 13.
4
Syaikh Muhammad Al-Ghazali,Al-ghazali menjawab 40 soal islam abad 20.terj. Mi’ah su’al an al
islam,(Bandung:Mizan,1983,), hlm. 201.

5
4) Kebebasan Untuk Hidup Ini dijelaskan pada (QS.17:33 dan QS.5:52) yang
menyebutkan bahwa manusia mempunyai kemuliaan dan martabat yang tinggi
dibandingkan mahluk yang lain, sehingga manusia diberi kebebasan untuk
hidup dan merasakan kenikmatan dalam kehidupannya.
5) Prinsip Persamaan Dijelaskan pada (QS.49:13) yaitu pada dasarnya semua
manusia itu sama, karena semuanya adalah hamba Allah, yang membedakan
manusia dengan manusia lainnya adalah ketakwaannya kepada Allah SWT.
6) Kebebasan Menyatakan Pendapat Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia
agar mau dan berani menggunakan akal pikiran mereka untuk menyatakan
pendapat yang benar dan dipenuhi rasa tanggung jawab.
7) Kebebasan Beragama Allah secara tegas telah memberikan kebebasan kepada
manusia untuk menganut dan menjalankan agama yang diyakini
kebenarannya, sehingga tak seorangpun dapat dibenarkan memaksa orang lain
untuk masuk Islam. Perintah ini terdapat dalam QS.2:256, QS.88:22, dan
QS.50:45.

Hubungan Islam dengan politik demokrasi liberal muncul sebagai isu yang


paling sering menimbulkan perdebatan. Nader Hashemi menantang kepercayaan
umum para ilmuwan sosial yang meyakini bahwa politik keagamaan dan
perkembangan demokrasi liberal secara struktur tidak sejalan (incompatible).
Ketegangan-ketegangan yang serius antara agama dan demokrasi liberal bukan
berarti bahwa keduanya tidak mungkin untuk didamaikan.

Yang lebih dulu biasanya mendahului yang terakhir, di mana proses


tersebut secara mendalam saling terhubung (interlinked) Demokratisasi tidak
mengharuskan privatisasi agama, tetapi membutuhkan reinterpretasi ide-ide
keagamaan yang lebih kondusif untuk demokrasi liberal. Dengan reinterpretasi
ini, kelompok agama akan memainkan peran penting dalam pertumbuhan dan
konsolidasi demokrasi.

6
Islam, Sekulerisme, dan Demokrasi Liberal menawarkan cara berpikir
baru (rethinking) terkait teori demokrasi yang menghubungkan variabel agama
dengan perkembangan demokrasi liberal. Buku ini membuktikan bahwa teori
dasar sekularisme Muslim bukan hanya mungkin, tetapi bahkan sangat dibutuhkan
untuk meningkatkan demokrasi liberal di dalam masyarakat muslim. Selama ini,
ada asumsi yang melekat kuat dalam benak masyarakat: demokrasi mensyaratkan
sekularisme. Dalam hal ini, sekularisme adalah pengalaman khas Barat dalam
pergulatannya memosisikan hubungan negara dengan agama. Padahal, perkara ini
tidak ada dasar sama sekali dalam sejarah maupun teks telogis masyarakat
muslim. Maka, dapat dimaklumi bila kemudian muncul penolakan terhadap
demokrasi liberal berikut sekularismenya oleh masyarakat muslim.

Dalam kajian ini, ia mengkritik demokrasi yang tumbuh di negara


mayoritas muslim lebih sebagai usaha pencangkokan dari luar dan sangat
dipengaruhi kolonialisme. Begitu juga sekularisme yang sempat hadir dalam
diskursus publik. Ia mengambil contoh proses yang berlangsung di Turki di
bawah Kemal Ataturk dan Iran di masa Reza Pahlevi.

Dalam tradisi politik Barat pun, demokrasi liberal dan sekularisme dalam
prakteknya tidaklah monolitik. Hal ini bisa dilihat pada model demokrasi liberal
Prancis yang menempatkan agama berikut simbol-simbolnya terpisah jauh dari
ruang-ruang publik. Perbedaan ini akibat pergulatan panjang sejarah memosisikan
agama (gereja) dengan negara yang berbeda dan sering dihiasi dengan pergolakan
sosial yang dramatis dan tragis.

C. PENGERTIAN FUNDAMENTALISME

7
Kata “fundamental” Adalah Kata Sifat Yang Berarti “bersikap mendasar/
pokok” diambil dari kata fundamen yang artinya  “dasar, asas, alas, fondasi”. Jika
diartikan Sebagai sebuah gerakan keagamaan, fundamentalis dipahami sebagai
penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner, yang memiliki
doktrin untuk kembali kepada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab
suci.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di antara sikap kaum


fundamentalisme yang menonjol adalah sikap tidak mau kompromi terhadap
keadaan yang menyimpang dari dalil-dalil dasar. Keadaan harus ditundukkan
kepada ajaran, bukan ajaran yang harus dipahami lagi ketika keadaan berubah.

a. Sikap dan Pemahaman Umat Islam Terhadap Fundamentalisme

Melihat Perkembangan Sekarang ini, maka fundamentalisme dapat dibagi


menjadi 2 macam :

1.      Fundamentalisme Positif.

Fundamentalisme yang sifatnya positif diartikan sebagai suatu gerakan


sosial, bukan sebagai gerakan keagamaan. Intinya mereka ingin memurnikan
ajaran Islam di tengah bahayanya ancaman dari Barat yang ingin menghancurkan
Islam.

2.      Fundamentalisme Negatif

Penganut fundamentalisme ini lebih banyak menggunakan jalur kekerasan


agar keinginannya itu tercapai.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi gerakan fundamentalisme,yaitu :

 Adanya keinginan dari sekelompok umat untuk melakukan


pemurnian  terhadap ajaran agama Islam yang dianggap sudah menyimpang
dari sumber aslinya.

8
 Perkembangan sains yang tidak jarang bertentangan dengan kepercayaan
keagamaan yang selama ini dipegangi sebagai kebenaran.
 Perkembangan ekonomi yang sering menghalalkan segara cara untuk meraih
sebuah keuntungan.
 Kesempitan berpikir atau kebodohan yang menyebabkan orang tidak melihat
kemungkinan kebenaran pada pihak lain.
 Globalisasi yang berkecenderungan untuk menyeragamkan gaya hidup.

Banyak para sarjana muslim mengakui bahwa fundamentalisme sangat


menjadi problem. Fundamentalisme menunjuk pada sikap-sikap yang ekstrem,
hitam putih, tidak toleran dan tidak kompromi. Agama dijadikan alat untuk
mengintimidasi dan menindas sekelompok orang yang bertentangan dengan
pahamnya. Padahal, agama manapun tidak mengajarkan demikian. Nilai-nilai
kemanusiaan agama ditinggalkan. Agama yang berfungsi memenuhi kebutuhan
rohani manusia agar menjadi tentram, damai, dan aman telah beralih pada
kebencian, kegelisahan, serta ketakutan. Agama yang berprinsip nilai-nilai
kemanusiaan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan telah berganti nilai-nilai
kekerasan dan fanatisme sempit. Paham fundamentalisme agama yang demikian
itulah yang harus dibenarkan dan diluruskan.

Solusi Fundamentalisme

                          

9
Fundamentalisme merupakan sebuah fenomena secara sepintas dapat
dirasakan menakutkan dan mengganggu kehidupan masyarakat. Tetapi jika
diperhatikan dengan seksama akan kelihatan bahwa sebenarnya ia hadir sebagai
sesuatu yang wajar dalam kehidupan masyarakat. Sikap memusuhinya tidak akan
menyelesaikan masalah,yang diperlukan adalah usaha memahaminya dengan baik
dan membawanya kepada dialog dan kebersamaan.5

Fenomena menguatnya gerakan fundamentalisme dalam beberapa waktu


terakhir tidak terjadi begitu saja. Ada beragam faktor yang mempengaruhi dan
saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Menurut Keren Amstrong, akar
fundamentalisme lahir pada penghujung abad ke 15 Masehi. Titik pendulumnya
terjadi pada tahun 1492, ketika Raja Ferdinand dan Ratu Isabelle berhasil
menaklukan Granada. Penaklukan ini kemudian diikuti dengan pemaksaan
terhadap kaum Muslim dan Yahudi untuk melakukan konversi ke agama Katolik.
Dari peristiwa ini Amstrong menyimpulkan bahwa fundamentalisme bisa hadir
dalam setiap agama yang telah tercabut dari akar doktrin agama melalui
kekerasan.
Seiring dengan berjalannya waktu, istilah fundamentalisme mengalami
perluasan cakupan, istilah ini ini tidak lagi menjadi monopoli agama Protestan
tetapi telah menjadi istilah yang umum digunakan untuk merujuk pada gerakan
revivalisme keagamaan di luar tradisi Protestan, seperti dalam Islam, Yahudi,
Budhisme, Hinduisme, Sikhiesme dan Konfusianisme.
Jalaluddin Rakhmat menyatakan bahwa istilah fundamentalisme memang
pertama kali digunakan pada awal abad ke-20. Mereka yang menggunakannya
adalah kaum Protestan, yang menyebut diri mereka sebagai fundamentalis. Hal ini
dilakukan sebagai semacam identitas untuk membedakan diri mereka dengan
kaum Protestan lainnya yang lebih liberal yang menurut mereka telah merusak
keimanan Kristen. Kaum fundamentalis ini ingin kembali ke dasar dan
menekankan aspek fundamental dari tradisi Kristen, yaitu suatu tradisi yang

5
Machasin ,Islam Dinamis, Islam Harmonis, Lokalitas, Pluralisme,Terorisme. (Jakarta: Lkis
Printing Cemerlang, 2011.) hlm. .152

10
mereka definisikan sebagai pemberlakuan secara harfiah terhadap kitab suci serta
penerimaan doktrin-doktrin inti tertentu. Sejak saat itulah, istilah fundamentalisme
kemudian dipakai secara serampangan untuk menyebut terhadap setiap gerakan
pembaharuan yang terjadi di berbagai agama dunia lainnya.
Sebagai suatu konsep fundamentalisme menandakan tiga unsur, pertama:
fenomena keagamaan. Kedua: penolakan terhadap dunia, sebagai reaksi terhadap
perubahan sosial dan kultur yang dipersepsikannya sebagai krisis. Ketiga: reaksi
defensif dengan berupaya memepertahankan atau merestorasi tatanan sosial masa
lalu yang diidealkan atau diimanjinasikan sebagai paling otentik dan benar.
Bassam Tibi menyatakan bahwa fundamentalisme merupakan gejala ideologis
yang muncul sebagai respon atas problem-problem globalisasi, fragmentasi, dan
benturan peradaban. Namun dalam perkembangan selanjutnya, agitasi
fundamentalisme mengakibatkan kekacauan di seluruh dunia.
Musdah Mulia melihat bahwa tumbuh suburnya fundamentalisme
setidaknya didukung oleh tiga faktor. Pertama, kekutan global dimana kebijakan
Amerika sangat timpang terhadap negara-negara Muslim sehingga menimbulkan
kebencian. Kedua, pengaruh demokrasi. Ketiga, kegagalan pemerintah sekuler
dalam menyejahterakan rakyat sehingga muncul alasan menggantikan negara
sekuler dengan negara teokrasi. Salah satu karakter yang melekat kuat dalam diri
individu dan juga jaringan kelompok fundamentalis adalah komitmen dan
keterikatannya yang sedemikian kuat terhadap kelompok. Mereka siap melakukan
apapun atas apa yang diinstruksikan oleh pimpinan tertinggi mereka. Bahkan,
melakukan tindakan yang jauh dari nalar kemanusiaan yang rasional sekalipun,
seperti terorisme. Sebab, bagaimana dikatakan I. Bambang Sugiarto, terorisme
sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari segala bentuk fundamentalisme.
Sebagai sebuah fenomena sosial, fundamentalisme, terutama
fundamentalisme berlabel agama telah menjadi bagian dari persoalan kehidupan
keagamaan kontemporer. Walaupaun kemunculannya tidak hanya karena faktor
agama semata, tetapi juga karena persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
interaksi global, namun realitas fundamnetalisme yang cenderung lekat dengan
stigmatisasi keagamaan tidak harus direspon dengan frontal, emosional, dan

11
perlawanan secara fisik. Justru cara semacam ini akan menjadikan
fundamentalisme semakin membangun kekuatan ekspansifnya.

Adapun karakteristik yang menonjol pada fundamentalisme adalah


skripturalisme (kitaby), yakni keyakinan secara harfiah terhadap kitab suci yang
merupakan firman Tuhan dan dianggap tidak ada kesalahan. Gagasan dasar ini
dibingkai dalam kerangka metodologi yang kemudian melahirkan beberapa
prinsip. Pertama, oposisionalisme (al-mu’aridhah). Kedua, penolakan terhadap
hermeneutika. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Keempat,
penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Sementara itu, Musdah
Mulia melihat bahwa tumbuh suburnya fundamentalisme didukung oleh tiga
faktor. Pertama, kekuatan global. Kedua, pengaruh demokrasi. Ketiga, kegagalan
pemerintah sekuler dalam menyejahterakan rakyat.
Walaupun kata fundamentalisme telah sedemikian terkenal, tetapi ada
definisinya tidaklah mudah untuk dilakukan. Menurut Zuly Qodir, kemudian
definisi fundamentalisme khususnya keagamaan disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, definisinya sering kabur dan sengaja dikaburkan. Kedua, istilah
fundamentalisme memiliki tafsir yang sangat longgar dan sosiologis. Hanafi
mengemukakan bahwa melihat fundamentalisme dapat dilihat dari tiga level.
Pertama, level individual dan gerakan-gerakan sosial oleh organisasi
kemasyarakatan. Kedua, level gagasan dan konsep-konsep. Ketiga, level motivasi
dan dorongan-dorongan psikologis-historis. Dengan kesuliatan membuat definisi
tersebut, Zuly menyatakan bahwa fundamentalisme-radikalisme merupakan
sebuah gerakan keagamaan yang dapat dibaca dari kategori cara pandang, cita-
cita, sikap hidup, perjuangan, dan masa depan yang diharapkan.
Menurut Garaudy, fundamentalisme harus dihadapi dengan langkah-langkah
yang sistematis, komprehensif, sinergis, dan berkelanjutan. Pertama, memahami
dan mengembangkan dimensi Qur’ani Islam. Kedua, memahami dan
mengembangkan dimensi keruhanian dan kecintaan Ilahi. Ketiga, memahami dan
mengembangkan dimensi sosial Islam. Keempat, menghidupakn kembali jiwa

12
kritis Islam. Kelima, secara radikal mengubah program pengajaran agama.
Keenam, meningkatkan kesadaran tanggung jawab pribadi kepada Tuhan dalam
memahami ajaran-ajaran agama. Ketujuh, mengakhiri mentalitas isolatif dan
membuka diri untuk kerjasama dengan pihak manapun.

Fundamentalisme adalah paham atau pemikiran yang berupaya untuk


kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas.  Secara
etimologi fundamentalisme berasal dari kata fundamental yang berarti hal-hal
yang mendasar atau asas-asas. Sebagai sebuah gerakan (komunitas) keagamaan,
fundamentalis dipahami sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat
reaksioner, yang memiliki doktrin untuk kembali kepada ajaran agama yang asli
seperti tersurat dalam kitab suci. Gagasan dan posisi umat beragama yang
mengacu pada istilah “fundamentalisme” tampaknya masih perlu dielaborasi lebih
jauh lagi.

Kontroversi mengenai istilah “fundamentalisme” berasal dari kenyataan


bahwa istilah tersebut bukan berasal dari Islam atau agama-agama lainnya,
melainkan berasal dari agama Kristen protestan. Pandangan dasar yang menandai
gerakan fundamentalisme protestan ini adalah bahwa orang harus berpegang teguh
pada kitab suci secara leterlek, lebih-lebih dalam menghadapi pandangan
evolusionisme Darwin yang pada saat itu ramai dibicarakan kalangan agama.

Tetapi, walaupun asal-usul istilah fundamentalisme itu bukan berasal dari


islam, sebagian sarjana dapat menerimanya untuk dipakai dalam rangka
menjelasakan fenomena tertentu dari gerakan Islam dengan catatan bahwa istilah
itu tidak dipakai sebagai cap atau label untuk mendiskreditkan islam sebagaimana
yang sering kali dilakukan oleh media massa melainkan sebagai sebuah konsep
akademik yang netral. Selain istilah “fundamentalisme islam” beberapa sarjana
juga menggunakan istilah “islamisme” sebagai padanannya, sementara yang lain
mencoba menggunakan istilah lain seperti “revivalisme”. Sementara itu banyak

13
sarjana yang menilai bahwa fenomena gerakan fundamentalisme islam sebenarnya
adalah gerakan politik sehingga mereka menyebutnya dengan “Islam politik”.

Adanya fundamentalisme dalam agama juga telah memunculkan bebera


organisasi kemasyarakatan. Lebih tepatnya bukan organisasi tetapi majelis ilmu,
karena didalamnya juga membahas kajian-kajian tentang Islam.

Menurut Tarmizi taher dalam bukunya menyatakan bahwa, krisis yang


muncul dalam negara-negara yang baru ini memberi ruang bagi sementara
kalangan agamawan untuk membentuk gerakan-gerakan radikal. Mereka berusaha
menolak tatanan yang ada, baik sistem negara, hukum dan kebudayaan, untuk
kemudian diganti dengan sistem Islam. Penolakan mereka sangat radikal, dan
begitu juga konsep kehidupan yang mereka tawarkan. Berbeda dari kaum
revevalis yang sekadar ingin mengembalikan kemurnian Islam atau kaum reformis
yang bertujuan memodernisasi Islam, kalangan radikalis memepercayai
kesempurnaan Islam bagi seluruh dimensi kehidupan. Oleh karenanya, mereka
terus berusaha mengganti semua institusi sosial, ekonomi, budaya dan politik
dengan model Islam. Memang benar adanya bahwa ketika tingkat emosi
keagamaan itu muncul maka benar dikatakan bahwa umat islam hanya
menginginkan islam sebagai aturan hidup, bukan hanya dalam proses peribadatan
saja, namun mencakup lingkup sosial, budaya, dan agama. Ketika disandingkan
dengan Islam, sesungguhnya Islam telah mengatur semua tatanan hidup manusia
baik dari segi aturan ekonomi, hukum, sosial, kebudayaan, dan lain-lain.
Kesempurnaan yang dimiliki oleh Islam yang tidak dimiliki oleh agama lain
sangat dirasakan bagi seorang yang mendalami betul arti Islam, menerapkan
dalam kehidupan, cara berpikir dan berpandang. Sehingga tidak heran jika
dikatakan bahwa kelompok yang menolak berbagai  tatanan pemerintahan yang
ada dan menggantinya dengan sistem islam mengetahui bahwa esensi islam itu
sendiri. Jadi tidak dapat kita menyalahkan terhadap hal tersebut.

Namun demikian, dengan tidak terwujudnya masyarakat yang adil, para


penguasa muslim dianggap sebagai penerus kebijakan-kebijakan ekonomi  dan

14
politik yang pada abad pertengahan 1970-an, telah mengantarkan pada krisis yang
memunculkan gerakan-gerakan fundamentalis. Gerakan-gerakan inilah yang
sering memunculkan banyak  spekulasi bahkan gerakan-gerakan ini dianggap
sebagai teror kancah politik. Tampaknya, sampai dimanapun perdebatan ini akan
senantiasa ada, namun yang jelas untuk sementara waktu bahwa berbagai
peristiwa teror, bom bunuh diri dan lain-lain sejenisnya akhir-akhir ini selalu
diidentikan dengan islam

D. PANDANGAN ISLAM TERHADAP FUNDAMENTALISME

"Menurut istilah ushuliyah “fundamentalisme”. Kita hanya mendapatkan


kata dasar istilah itu, yaitu al-ashlu  dengan makna “dasar sesuatu “ dan
“kehormatan” . bentuk pluralnya adalah ushul.  Dalam Al-Qur’anul Karim
disebutkan. Berikut beberapa Ayat yang menyangkut dengan hal tersebut.

Artinya: Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah membuat


perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit. (QS. Ibrahim:24). Dari ayat diatas, warisan
keilmuan islam dan peradabannya, serta kamus-kamus arab yang tidak mengenal
istilah ushuliyah‘fundamentalisme’ dan pengertian-pengertian yang dikenal Barat
atas istilah ini Agama islam sebagai sebuah intuisi kebenaran oleh seluruh
lapisan. memiliki peranan penting bagi kelangsungan gerakannya dan menjadi
sebuah mekanisme internal yang terpenting dalam perkembangannya, karena
memuat seperangkat doktrin yang dirumuskan dalam sebuah maksud dan tujuan
gerakan yang diantaranya adalah fundamentalisme yang digunakan untuk
menyebut gerakan keagamaan dalam berbagai karya tulis, telah menjadi istilah
yang sangat popular dan bahkan controversial. Meskipun pada
mulanyafundamentalisme menunjuk sebuah fenomena gerakan Kristen Protestan ,
namun sekarang istilah ini secara luas dipakai untuk menyebut gerakan yang
terjadi dikalangan masyarakat  Islam, Katolik, (sunni, syiah), Yahudi, Hindu
Budha dan Zoroaster.

15
Meskipun demikian, jika makna fundamentalisme itu ditekankan pada
originalitas sumber serta prinsip-prinsip dasar ajaran islam terdapat kelompok
kecil aliran pemikiran dalam islam,tapi secara intelektual sangat penting, yang
bisa dideskripsikan sebagai fundamentalisme. Kelompok ini berpendapat bahwa
Al-Quran  dan Sunnah merupakan pokok sumber ajaran islam dan mengikat untuk
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, bahwa produk pemikiran keagamaan
klasik dan pertengahan tidak mengikat, bahwa dalam beberapa hal produk
pemikiran ini mengakibatkan kemalasan berpikir dalam islam, bahwa selama
masa kekaisaran islam, banyak penguasa muslim mengakomodasi terlalu banyak
tradisi lokal yang non islam, bahwa paling tidak terdapat tarekat sufi terlibat
dalam praktik-praktik ajaran non islam, bahwa mengkultuskan diri seseorang
dinilai sebagai politeisme, dan bahwa setiap muslim harus mempelajari dan
mengamalkan Al-Quran dan Sunnah.

KESIMPULAN

16
 Jika diartikan sebagai sebuah gerakan keagamaan, fundamentalis
dipahami sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan
reaksioner, yang memiliki doktrin untuk kembali kepada ajaran agama yang asli
seperti tersurat dalam kitab suci. 

 Pandangan islam terhadap demokrasi yaitu selama sistem tersebut tidak


bertentangan dengan nash (Al-Qur’an dan Hadist) yang diajarkan nabi, maka
sistem demokrasi bisa digunakan di masa sekarang ini, namun dalam islam tidak
disebut demokrasi melainkan syura atau musyawarah

Demikianlah makalah yang dapat kami uraikan. Kami menyadari bahwa


dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan .Karena sesungguhnya
kesempurnaan itu milik Allah dan kekurangan bagian dari kita. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk memperbaiki
makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermafaat dan menambah referensi
pengetahuan kita. Terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

17
Al-Ghazali.Al-ghazali menjawab 40 soal islam abad 20. terj. Mi’ah su’al an al
islam.Bandung: Mizan.1983.

Hikam,Muhammad. Islam demokratisasi pemberdayaan civil society.Jakarta:


Erlangga.2000.

Machasin. Islam Dinamis Islam Harmonis. Lokalitas, Pluralisme,


Terorisme.Jakarta :Printing Cemerlang.2011.

Nasution,Khoirudin. Pengantar studi islam.Jakarta:RajaGrafindo.2016.

Ubaedillah,dkk. demokrasi ,hak asasi manusia dan masyarakat madani.Jakarta:


ICCE UIN Syarif Hidayatullah.2008.

18

Anda mungkin juga menyukai