NPM : 2104-1010-290
Fakultas : FISIP. Administrasi Publik
PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia menjadi sebuah term yang global yang menempati
posisi penting dalam hubungan antara individu dengan masyarakat dunia.
Lahirnya HAM tidak bisa dilepaskan dari pergulatan modern yang harus
menghadapi pengaturan negara dan semakin meningkatnya kesadaran akan fungsi
negara bagi perlindungan individu. Begitu juga dengan demokrasi yang ada,
semuanya merupakan satu kesatuan dari isu-isu aktual dalam studi Islam.
PEMBAHASAN
Demokrasi yang dimaksud oleh para pendiri negara (the founding father)
kita mencakup bukan hanya pengertian kelembagaan dan proses, tetapi juga
mencakup wawasan, sikap dan perilaku. Salah satunya konsekuen pemikiran
demikian adalah perlu terjadinya suatu proses perubahan fundamental dalam
landasan normatif kehidupan politik bangsa yang membedakan antara masa
sebelum dan setelah kemerdekaan. Landasan tersebut bersumber baik dari dalam
maupun dari khazanah kultur bangsa yang saling melengkapi dan menopang satu
sama lain.2
1
A. Ubaedillah dan Abdul Rojak, demokrasi,Hak Asasi Hanusia dan masyarakat Madani (Jakarta:ICCE
UIN Syarif Hidayatullah,2008), hlm. 39.
2
Muhamad A.S.Hikam,Islam demokratisasi pemberdayaan Civil Society(Jakarta:Erlangga,2000), hlm.
103.
2
individu memperoleh kekuasan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif
atas suatu rakyat.
2. Henry B. Mayo menyatakan demokrasi sebagai sistem politik merupakan
suatu yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik
dalam diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
a) Demokrasi Tradisional
Menurut Khoiridin Nasutiondalam bukunya pengantar study islam,
bahwa sistem demokrasi pertama kali diterapkan di Yunani, sistem ini mulai
berlaku sejak abad 6,5 dan 4 SM. Hanya saja harus dicatat bahwa demokrasi
di Yunani kuno (Greek State) berbeda dengan demokrasi modern. Namun hak
memilihnya hanya ditujukan kepada penduduk asli (citizen), sedangkan
penduduk di luar itu tidak berhak memberikan hak suara.
b) Demokrasi Modern
Adapun negara pertama di masa modern yang dicatat sebagai pelopor
demokrasi adalah Inggris, Prancis, Spanyol. Parlemen Inggris misalnya, tahun
1295 menemukan sistem tingkat pertama yakni bahwa setiap daerah harus
memilih dua kesatria, dua warga kota dan dua wakil dari kelompok penguasa
ekonomi (borjuis). Tahapan kedua, munculnya Magna Charta diubah
bentuknya oleh parlemen menjadi prinsip, bahwa raja terikat oleh undang-
undang yang telah dibuatnya. Prinsip ini tentu secara perlahan berusaha untuk
memaksa raja untuk mematuhi peraturan.
3
Perbedaan ini penting dipahami lebih dahulu, sebab sebanyak-banyak kasus
sistem pemerintahan yang berlaku dalam sejarah mslim adalah tidak sejalan teori
yang ingin dibangun islam (teoritis). Karena itu, tulisan ini berdasarkan teori,
bahwa ketika membahas sistem pemerintahan islam harus ada perbedaan antara
teori dan praktek. Sejalan dengan itu, pembahasan berikut merupakan pelacakan
terhadap sistem permerintahan islam yang ada dalam nash bukan praktek muslim.3
Akan halnya dengan praktek demokrasi dalam sejarah muslim secara
singkat dan hanya sebatas masalah pergantian kepemimpinan kepala
negara/pemerintah (suksesi) dapat digambarkan demikian. Bentuk suksesi yang
terjadi dikekuasaan nabi Muhammad kepada Abu Bakar Al-Shidiq sebagai
khalifah pertama adalah hasil musyawarah kaum muslimin, yang ketika itu terdiri
dari kaum ansor dan muhajirin di saqifah bani Sa’adah. Kemudian peralihan dari
Abu Bakar kepada Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua adalah dengan
penunjukkan oleh khalifah sebelumnya dengan persetujuan kaum muslimin.
Bentuk lain yang muncul ketika peralihan dari Umar bin Khattab kepada Utsman
bin Affan sebagai khalifah ketiga adalah dengan sistem formatur. Adapun
peralihan dari Utsman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
keempatadalah dengan jalan aklamasi. Selain itu, sejarah muslim diwarnai dengan
sistem pemerintahan yang monarki.
4
Mereka berhak mencela dan memuji, berhak menghukum jika orang-orang yang
dipilihnya itu berbuat buruk, bahkan bila mau merka pun berhak memecatnya.4
Penulis sependapat dengan ungkapan Al-Ghazali bahwa umat sumber
kekuasaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam yang lahir 14 abad yang lalu
telah mengenal sistem pemerintahan syura atau sekarang kita kenal demokrasi.
5
4) Kebebasan Untuk Hidup Ini dijelaskan pada (QS.17:33 dan QS.5:52) yang
menyebutkan bahwa manusia mempunyai kemuliaan dan martabat yang tinggi
dibandingkan mahluk yang lain, sehingga manusia diberi kebebasan untuk
hidup dan merasakan kenikmatan dalam kehidupannya.
5) Prinsip Persamaan Dijelaskan pada (QS.49:13) yaitu pada dasarnya semua
manusia itu sama, karena semuanya adalah hamba Allah, yang membedakan
manusia dengan manusia lainnya adalah ketakwaannya kepada Allah SWT.
6) Kebebasan Menyatakan Pendapat Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia
agar mau dan berani menggunakan akal pikiran mereka untuk menyatakan
pendapat yang benar dan dipenuhi rasa tanggung jawab.
7) Kebebasan Beragama Allah secara tegas telah memberikan kebebasan kepada
manusia untuk menganut dan menjalankan agama yang diyakini
kebenarannya, sehingga tak seorangpun dapat dibenarkan memaksa orang lain
untuk masuk Islam. Perintah ini terdapat dalam QS.2:256, QS.88:22, dan
QS.50:45.
6
Islam, Sekulerisme, dan Demokrasi Liberal menawarkan cara berpikir
baru (rethinking) terkait teori demokrasi yang menghubungkan variabel agama
dengan perkembangan demokrasi liberal. Buku ini membuktikan bahwa teori
dasar sekularisme Muslim bukan hanya mungkin, tetapi bahkan sangat dibutuhkan
untuk meningkatkan demokrasi liberal di dalam masyarakat muslim. Selama ini,
ada asumsi yang melekat kuat dalam benak masyarakat: demokrasi mensyaratkan
sekularisme. Dalam hal ini, sekularisme adalah pengalaman khas Barat dalam
pergulatannya memosisikan hubungan negara dengan agama. Padahal, perkara ini
tidak ada dasar sama sekali dalam sejarah maupun teks telogis masyarakat
muslim. Maka, dapat dimaklumi bila kemudian muncul penolakan terhadap
demokrasi liberal berikut sekularismenya oleh masyarakat muslim.
Dalam tradisi politik Barat pun, demokrasi liberal dan sekularisme dalam
prakteknya tidaklah monolitik. Hal ini bisa dilihat pada model demokrasi liberal
Prancis yang menempatkan agama berikut simbol-simbolnya terpisah jauh dari
ruang-ruang publik. Perbedaan ini akibat pergulatan panjang sejarah memosisikan
agama (gereja) dengan negara yang berbeda dan sering dihiasi dengan pergolakan
sosial yang dramatis dan tragis.
C. PENGERTIAN FUNDAMENTALISME
7
Kata “fundamental” Adalah Kata Sifat Yang Berarti “bersikap mendasar/
pokok” diambil dari kata fundamen yang artinya “dasar, asas, alas, fondasi”. Jika
diartikan Sebagai sebuah gerakan keagamaan, fundamentalis dipahami sebagai
penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner, yang memiliki
doktrin untuk kembali kepada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab
suci.
1. Fundamentalisme Positif.
2. Fundamentalisme Negatif
8
Perkembangan sains yang tidak jarang bertentangan dengan kepercayaan
keagamaan yang selama ini dipegangi sebagai kebenaran.
Perkembangan ekonomi yang sering menghalalkan segara cara untuk meraih
sebuah keuntungan.
Kesempitan berpikir atau kebodohan yang menyebabkan orang tidak melihat
kemungkinan kebenaran pada pihak lain.
Globalisasi yang berkecenderungan untuk menyeragamkan gaya hidup.
Solusi Fundamentalisme
9
Fundamentalisme merupakan sebuah fenomena secara sepintas dapat
dirasakan menakutkan dan mengganggu kehidupan masyarakat. Tetapi jika
diperhatikan dengan seksama akan kelihatan bahwa sebenarnya ia hadir sebagai
sesuatu yang wajar dalam kehidupan masyarakat. Sikap memusuhinya tidak akan
menyelesaikan masalah,yang diperlukan adalah usaha memahaminya dengan baik
dan membawanya kepada dialog dan kebersamaan.5
5
Machasin ,Islam Dinamis, Islam Harmonis, Lokalitas, Pluralisme,Terorisme. (Jakarta: Lkis
Printing Cemerlang, 2011.) hlm. .152
10
mereka definisikan sebagai pemberlakuan secara harfiah terhadap kitab suci serta
penerimaan doktrin-doktrin inti tertentu. Sejak saat itulah, istilah fundamentalisme
kemudian dipakai secara serampangan untuk menyebut terhadap setiap gerakan
pembaharuan yang terjadi di berbagai agama dunia lainnya.
Sebagai suatu konsep fundamentalisme menandakan tiga unsur, pertama:
fenomena keagamaan. Kedua: penolakan terhadap dunia, sebagai reaksi terhadap
perubahan sosial dan kultur yang dipersepsikannya sebagai krisis. Ketiga: reaksi
defensif dengan berupaya memepertahankan atau merestorasi tatanan sosial masa
lalu yang diidealkan atau diimanjinasikan sebagai paling otentik dan benar.
Bassam Tibi menyatakan bahwa fundamentalisme merupakan gejala ideologis
yang muncul sebagai respon atas problem-problem globalisasi, fragmentasi, dan
benturan peradaban. Namun dalam perkembangan selanjutnya, agitasi
fundamentalisme mengakibatkan kekacauan di seluruh dunia.
Musdah Mulia melihat bahwa tumbuh suburnya fundamentalisme
setidaknya didukung oleh tiga faktor. Pertama, kekutan global dimana kebijakan
Amerika sangat timpang terhadap negara-negara Muslim sehingga menimbulkan
kebencian. Kedua, pengaruh demokrasi. Ketiga, kegagalan pemerintah sekuler
dalam menyejahterakan rakyat sehingga muncul alasan menggantikan negara
sekuler dengan negara teokrasi. Salah satu karakter yang melekat kuat dalam diri
individu dan juga jaringan kelompok fundamentalis adalah komitmen dan
keterikatannya yang sedemikian kuat terhadap kelompok. Mereka siap melakukan
apapun atas apa yang diinstruksikan oleh pimpinan tertinggi mereka. Bahkan,
melakukan tindakan yang jauh dari nalar kemanusiaan yang rasional sekalipun,
seperti terorisme. Sebab, bagaimana dikatakan I. Bambang Sugiarto, terorisme
sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari segala bentuk fundamentalisme.
Sebagai sebuah fenomena sosial, fundamentalisme, terutama
fundamentalisme berlabel agama telah menjadi bagian dari persoalan kehidupan
keagamaan kontemporer. Walaupaun kemunculannya tidak hanya karena faktor
agama semata, tetapi juga karena persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
interaksi global, namun realitas fundamnetalisme yang cenderung lekat dengan
stigmatisasi keagamaan tidak harus direspon dengan frontal, emosional, dan
11
perlawanan secara fisik. Justru cara semacam ini akan menjadikan
fundamentalisme semakin membangun kekuatan ekspansifnya.
12
kritis Islam. Kelima, secara radikal mengubah program pengajaran agama.
Keenam, meningkatkan kesadaran tanggung jawab pribadi kepada Tuhan dalam
memahami ajaran-ajaran agama. Ketujuh, mengakhiri mentalitas isolatif dan
membuka diri untuk kerjasama dengan pihak manapun.
13
sarjana yang menilai bahwa fenomena gerakan fundamentalisme islam sebenarnya
adalah gerakan politik sehingga mereka menyebutnya dengan “Islam politik”.
14
politik yang pada abad pertengahan 1970-an, telah mengantarkan pada krisis yang
memunculkan gerakan-gerakan fundamentalis. Gerakan-gerakan inilah yang
sering memunculkan banyak spekulasi bahkan gerakan-gerakan ini dianggap
sebagai teror kancah politik. Tampaknya, sampai dimanapun perdebatan ini akan
senantiasa ada, namun yang jelas untuk sementara waktu bahwa berbagai
peristiwa teror, bom bunuh diri dan lain-lain sejenisnya akhir-akhir ini selalu
diidentikan dengan islam
15
Meskipun demikian, jika makna fundamentalisme itu ditekankan pada
originalitas sumber serta prinsip-prinsip dasar ajaran islam terdapat kelompok
kecil aliran pemikiran dalam islam,tapi secara intelektual sangat penting, yang
bisa dideskripsikan sebagai fundamentalisme. Kelompok ini berpendapat bahwa
Al-Quran dan Sunnah merupakan pokok sumber ajaran islam dan mengikat untuk
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, bahwa produk pemikiran keagamaan
klasik dan pertengahan tidak mengikat, bahwa dalam beberapa hal produk
pemikiran ini mengakibatkan kemalasan berpikir dalam islam, bahwa selama
masa kekaisaran islam, banyak penguasa muslim mengakomodasi terlalu banyak
tradisi lokal yang non islam, bahwa paling tidak terdapat tarekat sufi terlibat
dalam praktik-praktik ajaran non islam, bahwa mengkultuskan diri seseorang
dinilai sebagai politeisme, dan bahwa setiap muslim harus mempelajari dan
mengamalkan Al-Quran dan Sunnah.
KESIMPULAN
16
Jika diartikan sebagai sebuah gerakan keagamaan, fundamentalis
dipahami sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan
reaksioner, yang memiliki doktrin untuk kembali kepada ajaran agama yang asli
seperti tersurat dalam kitab suci.
DAFTAR PUSTAKA
17
Al-Ghazali.Al-ghazali menjawab 40 soal islam abad 20. terj. Mi’ah su’al an al
islam.Bandung: Mizan.1983.
18