Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semenjak krisis ekonomi melanda bagian wilayah Asia pada akhir tahun 1990,

membuat Indonesia sebagai salah satu warga Asia mengalami berbagai masalah di

bidang ekonomi. Bahkan Indonesia menjadi negara yang paling lambat melakukan

pemulihan ekonomi dari negara Asia lainnya. Dampak dari krisis tersebut masih

terasa dan terlihat sampai sekarang. Sehingga fenomena kemiskinan, kemelaratan,

pengangguran, kejahatan sosial dan segala macam bentuk pelanggaran aturan hukum

menjadi makanan sehari-hari di media massa.1 Padahal salah satu fungsi

pembangunan suatu negara adalah menciptakan kesejahteraan dan mengurangi

kemiskinan bagi seluruh warganya dari masyarakat miskin sampai masyarakat kaya

sekalipun, baik laki-laki maupun perempuan, dari anak-anak hingga orang dewasa,

berkulit putih maupun berkulit hitam dan lain sebaginya.

Kemiskinan menjadi musuh terbesar semua negara yang ada di bumi ini.

Bahkan negara besarpun tak luput dihantui oleh problem yang mendominasi negara

kecil dan sedang berkembang. Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah

dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Di balik

kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit

kita jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis

yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan. Harus diakui, Kapitalisme memang

telah gagal menyelesaikan problem kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang

terjadi justru menciptakan kemiskinan. Akibat kemiskinan, timbul gelandangan dan

1
Syabini, Amirulloh. Mutiara Al-Qur’an. (Jakarta: as-prima Pustaka, 2012). h. 35

1
pengemis yang mendiami suatu wilayah tertentu terutama dikota-kota besar seperti

Jakarta. Pengemis menjadi problem sosial yang tak kalah akut akibat merajalelanya

kemiskinan. Setiap tahun selalu ada pengikatan pengemis, terlebih ketika datangnya

bulan Ramadhan. Hal ini terjadi karena kemiskinan yang menjadi penyebab utama

meningkatnya kaum dhua’fa di negeri ini yang belum berhasil dituntaskan hingga

akar-akarnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dikemukakan di atas, maka


rumusan masalah dari makalah ini sebagai berikut:

1. Apa pengertian dhu’afa?


2. Bagaimana Perintah al-Qur’an dan Hadits untuk Menyantuni Dhu’afa?
3. Bagaimana Pemberdayaan Kaum Dhu’afa dalam Prespektif al-Qur’an dan
Hadits?
4. Bagaimana Solusi Terhadap Permasalahan Kaum Dhu’afa?

Selanjutnya, mengingat permasalahan yang menjadi pembahasan dalam


makalah ini terlalu luas dan tidak mungkin untuk diuraikan secara keseluruhan. maka,
makalah ini hanya difokuskan pada pemberdayaan dhu’afa.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui:

1. Pengertian Dhu’afa
2. Perintah al-Qur’an dan Hadits untuk Menyantuni Dhu’afa
3. Pemberdayaan Kaum Dhu’afa dalam Prespektif al-Qur’an dan Hadits
4. Solusi Terhadap Permasalahan Kaum Dhu’afa

Selanjutnya dari tujuan penulisan diatas, maka diharapkan makalah ini dapat
memberikan manfaat, diantaranya:

2
1. Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memperluas wawasan pembaca terutama
mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Manado dalam kaitannya dengan
pemberdayaan Dhu’afa

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Mahasiswa
Makalah ini dapat dijadikan bahan atau literatur bagi mahasiswa dalam
menyusun makalah atau karya ilmiah lainnya yang bekaitan dengan
pemberdayaan Dhu’afa

b. Bagi Pendidik

Makalah ini diharapkan dapat membuka cakrawala keilmuwan para


pendidik tentang Ekonomi Syariah, diantaranya pemberdayaan Dhu’afa

c. Bagi Penulis

Makalah ini dapat memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi


penulis dalam menyusun karya ilmiah yang benar.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dhuafa

Perkataan dhu’afa dalam kosa kata Al-Qur’an merupakan bentuk jamak dari

kata dha’if. Kata ini berasal dari kata dhu’afa, yadh’ufu, dhu’fan atau dha’fan yang

secara umum mengandung dua pengertian, lemah dan berlipat ganda. Tentu saja yang

dimaksudkan dalam konteks pembahasan ini dhu’afa secara literal berarti orang-orang

yang lemah. Menurut Al-Ashfahani perkataan dhu’fu merupakan lawan dari quwwah

yang berarti kuat. Kemudian menurut imam khalil, pakar ilmu nahwu, istilah dhu’fu

biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan lemah fisik, sedangkan dha’fu biasanya

digunakan untuk menunjukkan lemah akal. pemberdayaan.

Sejalan dengan penjelasan di atas, Al-Raghib Al-Ashfahani didalam kitab

Mufradat Alfadah Al-Qur’an ketika menjelaskan makna dan maksud istilah dhi’af-an

pada surat an-Nisaa’ ayat 9 sebagai berikut:

       


       
Terjemahannya:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.”

Dari ayat di atas bahwa istilah dhi’af-an memiliki beberapa pengertian, sebagai

berikut:

Pertama, dha’if al-jism yakni lemah secara fisik. Maksudnya, bahwa orang-

orang beriman tidak boleh membiarkan anak-anak mereka memiliki fisik, tubuh, atau

badan yang lemah. Bagi orang Islam, makanan yang bergizi itu selain memenuhi gizi

yang seimbang sebagaimana dirumuskan dalam prinsip empat sehat lima sempurna,

4
tetapi juga harus memperhatikan syarat halalan thayibba, yakni halal secara ilmu

fikih dan berkualitas bagi kesehatan tubuh.2 Sejalan dengan ini Sajogyo menjelaskan

seseorang belum dikatakan sejahtera jika belum mencukupi standar protein dan kalori

tertentu, sedang menurut BPS kebutuhan minimum untuk hidup di ukur dengan

pengeluaran untuk makanan setara 2.100 kalori perkapita perhari.3

Kedua, dha’if fi al-aqly yakni lemah secara intelektual. Sebenarnya setiap anak

memiliki potensi kecerdasan yang hampir sama. Misalnya kelemahan intelektual

anak-anak pada umumnya tidak terletak pada potensi anak itu sendiri, tetapi terletak

pada kemampuan orang tua, guru, dan orang dewasa disekitar kehidupan anak-anak

dalam mengembangkan potensi kecerdasan mereka.

Ketiga, dha’if al-hali lemah karena keadaan sosial ekonomi yang dihadapinya.

Adapun yang dimaksud dengan kelemahan yang ketiga ini adalah sebagai berikut: (1)

kelemahan itu tidak berkenaan dengan fisik, keterampilan hidup dan kecerdasan,

tetapi berkenaan dengan kemampuan untuk mendapat informasi dan peluang

pengembangan diri. (2) kelemahan itu berkenaan dengan kemiskinan dan masalah-

masalah sosial. Anak-anak yatim dari lingkungan masyarakat fakir miskin yang

cerdas dan memiliki keinginan untuk maju termasuk salah satu contoh kelemahan

bemtuk ketiga. Seorang muslim selain diperintahkan agar senantiasa meningkatkan

ketakwaannya kepada Allah, juga sangat ditekankan agar tidak membiarkan generasi

yang lemah dilingkungan terdekatnya, terutama kaum dhu’afa seperti anak yatim,

fakir miskin, anak jalanan, dan anak-anak terlantar, serta orang-orang dari keluarga

yang termasuk penyandang masalah kesejahteraan sosial. Dapat disimpulkan menurut

2
Asep Usman Ismail, dkk, Pengamalan Al-Qur’an Tentang Pemberdayaan Dhua’afa,
(Jakarta: Dakwah Press, 2008), Cet. Ke-1, h.19
3
Gunawan Sumodiningrat, Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, (Jakarta: IMPAC, 1999),
h. 10

5
al-ashfahani, pengertian dhu’afa yang berakar dari kata dha’afa membentuk kata

dhu’afa dengan segala perubahannya di dalam Al-Qur’an mengandung pengertian

lemah: lemah secara fisik, lemah kedudukan, lemah ekonomi, lemah akal dan

ilmu/kurang pendidikan, lemah iman/keyakinan, dan lemah jiwa. Istilah dhu’afa ini

antara lain ditemukan pada ayat Al-Qur’an, yang mengandung pengertian lemah fisik,

baik karena belum cukup umur, lanjut usia maupun karena faktor kwalitas kesehatan.4

         


          
       
Terjemahannya:
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah,
orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang
akan mereka nafkahkan, apabila mereka Berlaku ikhlas kepada Allah dan
Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang
berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (Qs. At-
Taubah : 91)

Dari uraian diatas, maka disimpulkan bahwa Kaum dhuafa adalah kelompok

manusia yang dianggap lemah (iman,ekonomi dan fisik) atau mereka yang tertindas.

Adalah mereka yang tak bisa hijrah karena terhalang baik sosial maupun ekonomi

fakir dan miskin tertekan keadaan bukan karena malas, mereka yang kurang tenaga

(bukan karena malas), mereka yang kurang kemampuan akalnya (bukan karena

malas) dan atau mereka yang terbelakang pendidikannya.

B. Perintah al-Qur’an dan Hadits untuk Menyantuni Kaum Dhuafa

Sifat terpuji merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim, salah

satu sifat terpuji itu antara lain adalah dengan menyantuni kaum dhu’afa. Maksud dari

menyantuni kaum duafa ialah memberikan harta atau barang yang bermanfaat untuk

4
Asep Usman Ismail, dkk, Pengamalan Al-Qur’an Tentang Pemberdayaan dhua’afa., h.18-19.

6
duafa. Kaum duafa sendiri ialah orang yang lemah dari bahasa Arab (duafa) atau

orang yang tidak punya apa-apa, dan mereka harus disantuni bagi kewajiban muslim

untuk saling memberi, itu sebagai bentuk ibadah kepada Allah Swt perlu digaris

bawahi, bahwa “memberi” tidak harus uang malah kita berikan makanan bisa tapi

nanti ibadahnya akan mengalir terus seperti halnya infak dan kalau sudah diberi akan

jadi tanggung jawab orang miskin itu, misal saja barang yang diberikan digunakan

untuk beribadah kepada Allah atau hal positif lainnya akan terkena pahala yang sama,

ketika Dia gunakan tadi, sebaliknya degan digunakan mencopet atau judi kita tidak

akan mendapat pahala buruk dari orang miskin itu insya Allah pahalanya tidak akan

berkurang setelah memberi kepada orang miskin itu gunakan.

Menurut para ulama menyantuni kaum dhu’afa akan menyelamatkan diri kita

dari api neraka, tapi sekarang banyak manusia yang segan megeluarkan hartanya

untuk berinfak pada kaum duafa, tapi ada juga yang selalu membantu kaum dhu’afa

itu, bukan saja yang berarti duafa pada orang miskin juga bisa pada misalnya: panti

asuahan, membangun masjid, kepada diri sendiri, anak yang putus sekolah biayai

pendidikannya sampai tingkat SMA, dan keluarga dekat serta orang yang sedang

perjalanan, ini sama dijelaskan pada surat

1. SURAH AL-ISRA’ AYAT 26-27.

       


      
      

7
Terjemahannya:
”Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat
ingkar kepada Tuhannya.
Untuk anak yatim, Islam memerintahkan untuk: (1). memeliharanya (2).

Memuliakannya (3). Tidak boleh berlaku sewenang-wenang (4). Menjaga hartanya

(kalau ada), sampai anak yatim tersebut dewasa, mandiri dan bisa mengurus hartanya.

Hal ini juga dijelaskan dalam hadist bukhari dibawah ini bila seseorang

memelihara anak yatim:

‫ أَنَا َو َكافِ ُل‬: ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ ق‬: ‫ال‬ َ َ‫َع ْن َس ْه ٍل بْ ِن َس ْع ٍد ق‬
‫السبَّابَِة َوالْ ُو ْسطَى َو َفَّر َج َبْيَن ُه َما َشْيئًا‬ َ ‫ َوأ‬، ‫الْيَتِي ِم يِف اجْلَن َِّة َه َك َذا‬
َّ ِ‫َش َار ب‬
Artinya: Dari Sahl bin Sa’ad r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Saya
dan orang yang memelihara anak yatim itu dalam syurga seperti ini." Beliau
mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan merenggangkan
antara keduanya itu." (Riwayat Bukhari)

2. SURAT AL BAQARAH AYAT 177

       


       
      
    
      
      
      
    
Terjemahannya:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu


kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia

8
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (kebajikannya); dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa”

Dalam ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW beserta kaum muslimin

mula-mula dalam shalatnya menghadap ke arah Masjidil Aqsha di Kota Baitul

Maqdis selama 16 bulan. Kemudian pada tahun 2 H I 224 M turunlah perintah Allah

supaya dalarn shalat tidak lagi menghadap ke arah Masjidil Aqsha melainkan ke

arah Ka'bah. Pemindahan kiblat ini dipersoalkan oleh kaum ahli kitab, maka

terjadilah perdebatan yang panjang sampai memuncak antara kaum ahli kitab dan

kuam muslimin.

Kaum ahli kitab memandang bahwa shalat dengan menghadap kepada selain

kiblat mereka (Baitul Maqdis) tidak akan diterima oleh Allah. Sementara kaum

muslimin memandang bahwa shalat itu tidak akan diterima oleh Allah kecuali

dengan menghadap Ka'bah, yaitu kiblat Nabi Ibrahim leluhur para Nabi. Ditengah-

tengah perdebatan itulah lalu ayat dimuka turun dalam rangka menjelaskan bahwa

menghadapkan wajah ke arah kiblattertentu bukanlah suatu kebajikan yang

dimaksud dalam agama, karena kiblat ifu semata-mata untuk memelihara kesadaran

bagi orang yang shalat bahwa ia sedang bermunajat kepada Tuhannya, berdoa

semata-mata kepada-Nya dengan benar-benar berpaling dari segala sesuafu selain

Dia. Di samping ifu, kiblat merupakan :

a. Simbol kesatuan umat dalam satu tujuan.

b. Sarana untuk membiasakan orang-orang yang shalat agar selalu bersatu

dalamsegala urusan yang menyangkut kepentingan dan tujuan bersama.

c. Sarana untuk menyatukan langkah di kalangan mereka.

9
Selanjutnya, yang dimaksud dengan 'AI Birru" (kebajikan) adalah segala

sesuatu yang dapat mendekatkan kepada Allah, yang terdiri dari iman, amal shaleh

dan akhlaqul karimah. Selanjutnya ayat di muka merinci kebajikan itu sebagai

berikut:

a. Beriman kepada Allah, dan inilah yang merupakan dasar dan sumber segala

kebajikan. Tentu saja Iman kepada Allah itu tidak akan terwujud jika tidak

disertai dengan kemantapan hatibeserta sikap tunduk dan patuh kepada Allah,

sehingga tidak satu pun nikmat yang dapat membuat timbulnya sikap kufur, dan

tidak satu pun ujian dan bencana yang membuat timbulnya sikapkeluh kesah.

b. Beriman kepada hari akhir. Iman yang kedua ini menimbulkan kesadaran

bahwa di sana akan ada kehidupan lain yang di dalamnya tidak ada lagi

tuntutan untukberamal, bekerja dan berkarya, melainhan yang ada hanyalah

perhifungan amal beserta pembalasannya. Dengan iman yang kedua ini

manusia diharapkan agar selalu berhati-hati dalam beramal dan berbuat, dan

tidak berlebihan dalam menaruh harapan kepada segala kenikmatan duniawi

yang bersifat sementara ini.

c. Beriman kepada para malaikat. Iman yang ketiga ini merupakan dasar

keimanan kepada wahyu, terutusnya para Nabi, dan hari akhir. Mengingkari

adanya para malaikat berarti juga mengingkari ketiga hal tersebut, karena

malaikat pembawa wahyu itulah yang atas izin Allah menyampaikan

pengetahuan kepada seorang Nabi tentang segala urusan agama.

d. Beriman kepada kitab-kitab samawi. Iman yang keempat ini mendorong

timbulnya kepatuhan terhadap segala perintah dan larangan yang terkandung

di dalamnya. Karena orang yang sudah yakin bahwa sesuaru itu baik dan

bermanfaat pasti akan terdorong untuk melakukannya, dan sebaliknya : orang

10
yang sudah yakin bahwa sesuatu itu jelek dan berbahaya pasti akan terdorong

untuk menjauhi dan meninggalkannya.

e. Beriman kepada para Nabi. Iman yang kelima ini mendorong timbulnya

keinginan untuk mengiluti pefunjuk-petunjulrrya, dan meneladani segala

prilakunya, akhlaknya maupun sikap santunnya.

f. Memberikan harta yang dicintai kepada Sanak kerabat yg membutuhkan

santunan; mereka' inilah yang paling berhak untuk disantuni. Karena manusia

itu atas dasar fitrahnya sendiri pasti ikut menderita jika melihat kondisi

kemiskinan di kalangan sanak kerabatnya, lebih-lebih jika salah satu di antara

mereka meninggal dunia atau menghilang.

Dengan demikian, maka orang yang hidup dalam kondisi yang mapan, lalu

suka rnemutuskan hubungan dengan sanak kerabatnya dan enggan membantu

mereka, berarti ia melanggar agama dan fitrahnya sendiri. Karena itu dalam

sebuah Hadits disebutkan :

ٌ‫ص َدقَةٌ ِصلَة‬ ِ َ‫الر ِح ِم ا ْثنَت‬


‫ان‬ ‫ي‬ ِ ‫ني ص َدقَةٌ وعلَى‬
‫ذ‬ ِ ِ ‫لص َدقَةُ علَى املِس‬
‫ك‬
َ َّ َ َ َ ْ َ َّ َ‫ا‬
"Sedekahmu kepada orang-orang lslam (pahalanya) satu, tetapi kepada sanak
kerabatmu pahalanya dua, pahala sedekah dan silaturahmi.” 5
Sebab bersedekah kepada sanak kerabat itu berarti melakukan dua macam

amal shaleh : bersedekah itu sendiri dan mempererat hubungan famili.

g. Anak yatim; karena anak yang hidup dalam kondisi miskin lantaran tidak

punya ayah dan tidak punya penghasilan itu sangat membutuhkan kepedulian

dan santunan dari orang-orang yang mampu, agar ia tidak semakin buruk

kondisinya dan salah asuhan. Jika kondisinya seperti itu dibiarkan, maka

5
HR. Ahmad (IV/17, 18, 214), at-Tirmidzi (658) dan dihasankannya, an-Nasa-i (V/92), Ibnu
Majah (1844), al-Hakim (I/407) dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi dari Salman bin
‘Amr

11
dikhawatirkan kelak menjadi orang yang berbahaya bagi dirinya sendiri dan

bagi masyarakat luas.

h. Orang miskin; yaitu orang yang lemah,dalam usaha untuk mencukupi dirinya

sendiri.

i. Musafir yg memerlukan pertolongan; artinya musafir yang tidak bertujuan

untuk berbuat maksiat atau melakukan tindak kejahatan.

j. Pengemis; yaitu orang yang terpaksa mengemis lantaran amat sangat miskin,

bukan lantaran malas bekerja dalam kondisi masih kuat bekerja.

k. Upaya untuk memerdekakan budak; jika dikembangkan lagi maka kebajikan

yang satu ini meliputi pemberian santunan kepada para pekerja yang diperas

oleh majikannya, terutama pekerja wanita dan anak-anak.

l. Mendirikan shalat dalam arti mengerjakannya dengan cara yang sebaik-

baiknya, dan terutna menghayati rahasia maknanya dengan diwujudkan dalarn

bentukmenerapkan nilai-nilai akhlqul karimah dan mencegah diri dari berbuat

fahsya' (keji) dan munkar.

m. Menunaikan zakat. Kebajikan yang satu dalam Al Qur'an selalu dirangkai

dengan shalat, karena shalat itu merupakan lembaga pendidikan jiwa,

sedangkan harta merupakan teman pelipur jiwa. Oleh karena itu,

mengorbankan harta untuk kepentingan agama dan umat merupakan salah satu

sendi pokok dari segala kebajikan, sehingga para sahabat pada masa I{halifah

Abu Bakar menyepakati ketentuan hukurm bahwa pam pembangkang zakat

wajib ditumpas.

n. Menepati janji; baik janji kepada Allah maupun janji kepada sesame manusia

dalam urusan yang diridlaioleh Allah.

o. Bersabar dalam kesempitan, penderltaan, dan dalam peperangan.

12
Demikian ini penjelasan surah diatas dan akhir ayat di muka ditegaskan bahwa

mereka yang mampu menerapkan nilai-nilai kebajikan tersebut di atas

dikualifikasikan sebagai orang-orang yang benar imannya, dan dikualifikasikan pula

sebagai orang-orang yang bertaqwa.

SURAH AT-TAUBAH AYAT 60

     


     
           
 
Terjemahannya:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-


orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah
dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”     

Dalam kandungan surah at-Taubah ayat 60 ada 8 golongan orang yang

menerima zakat 8 golongan orang itu ialah sebagai berikut :

1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan

tenaga untuk memenuhi penghidupannya.

2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan

kekurangan.

3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan

membagikan zakat.

4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru

masuk Islam yang imannya masih lemah.

5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan

oleh orang-orang kafir.

13
6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan

ma'siat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk

memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat,

walaupun ia mampu membayarnya.

7. Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan

kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah

itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah,

rumah sakit dan lain-lain.

8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan ma'siat mengalami

kesengsaraan dalam perjalanannya.

C. Pemberdayaan Kaum Dhu’afa Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

Kaum dhu’afa merupakan masalah sosial yang sangat kompleks. Jadi, dalam

menghadapi masalah sosial yaitu dhu’afa, Al-Qur’an menawarkan beberapa prinsip

dalam pemberdayaan kaum dhu’afa: 6

1. Prinsip ta’awun, yakni prinsip kerja sama dan saling tolong-menolong diantara

lembaga kemasyarakatan, seperti Depsos, Dinas Sosial, LSM, para relawan dan

lain-lain. Bentuk ta’awun meliputi kelembagaan, manajemen, finansial, sumber

daya manusia, program, metodologi dan kebijakan. Prinsip ta’awun ini

merupakan perintah Allah kepada orang-orang beriman sebagaimana yang ada

di surah. Al-Ma’idah : 2

        


       
        
        
       
        
      

6
Asep Usman ismail, Al-Quran dan Kesejahteraan Sosial, Lentera Hati, Tanggerang, 2012,
hlm. 79.

14
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
Allah dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang
mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu
dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”

2. Prinsip syura’, yakni prinsip musyawarah diantara pemerintah dan pihak-pihak

lembaga kemasyarakatan seperti Depsos, LSM dan lain-lain dalam satu program

kepedulian terhadap masalah gelandangan dan pengemis dengan

mengidentifikasikan masalah-masalah sosial terlebih dahulu yang menyebabkan

munculnya fenomena kaum dhu’afa serta merumuskan langkah-langkah

penanggulangannya. Prinsip ini diperkuat oleh surah. Asy-Syura : 38

     


     

Terjemahannya:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka.”

3. Pemberdayaan dhu’afa dilakukan dengan berpegang teguh kepada prinsip

bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengubah diri mereka dengan

penguatan kekayaan mentalitas yakni keimanan dan ketakwaan serta penguatan

keterampilan bertahan hidup yang terpendam. Ini adalah tugas pengembangan

masyarakat sebagai pendamping untuk menolong mereka agar keluar dari

keterpurukan hidupnya.

4. Pemberdayaan dhu’afa didasarkan atas prinsip kasih sayang. Bisa diwujudkan

dalam bentuk pemanfaatan dana zakat, infak, dan sedekah untuk kepentingan

15
pemberdayaan kaum dhu’afa serta untuk mantan dhu’afa agar bisa hidup

mandiri dan tidak kembali terpuruk perekonomiannya, dapat ditampung di

dalam forum komunitas mantan dhu’afa dengan memberi program pelatihan

keterampilan, peningkatan kualitas keterampilan, memasarkan produk

keterampilan, menghubungkan dengan jaringan permodalan pasar yang lebih

luas dan mengembangkan budaya belajar untuk hidup menanbung. Ini untuk

memenuhi pesan Al-Qur’an surah al-Ma’idah : 2

5. Setelah melewati tahapan penyadaran, dilanjuti dengan pemberdayaan kaum

dhuafa secara umum dan pemberdayaan pengemis dengan berpegang teguh

kepada prinsip dhu’afa yang telah berhasil keluar dari kehidupan buruknya

karena seseorang bertanggung jawab untuk dirinya sendiri untuk lebih berdaya

bukan orang lain.

6. Kaum Muslimin yang memiliki asset kekayaan dan tergolong orang yang

mampu, perlu senantiasa menyadari dengan penuh keinsyafan bahwa didalam

harta mereka ada hak kaum dhuafa. Membantu orang orang yang lemah

(dhuafa) melalui zakat, infak, sedekah dan sebisa mungkin menghindari

pemberdayaan dhuafa dengan mengandalkan bantuan dana asing, karena

bantuan dari asing akan menjadikan diri kita tergantung kepada bantuan mereka.

Seperti  sabda Rasulullah:

، ِ ‫ َوالبُ ْخ ِل َواجلُنْب‬،‫الع ْج ِز َوال َك َس ِل‬ ِ ِ َ ِ‫اللَّه َّم إِيِّن أَع وذُ ب‬


َ ‫ َو‬،‫ك م َن اهلَ ِّم َواحلَ َزن‬ ُ ُ
ِّ ‫ َو َغلَبَ ِة‬،‫ضلَ ِع الدَّيْ ِن‬
‫الر َج ِال‬ َ ‫َو‬
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat malas, dililit utang, dan
dikuasai seseorang” (HR. Bukhariy)

D. Solusi Terhadap Permasalahan Kaum dhu’afa

Sangat memprihatinkan sekali, ketika negara lain sedikit demi sedikit keluar

dari permasalahan kemiskinan, mencari jalan keluar yang efektif sedangkan Indonesia

16
hanya mempertontonkan kemiskinan itu tanpa memperdulikan tontonannya itu.

Dawam Raharjo (2007:52) menyebutkan bahwa bangsa Indonesia merupakan umat

Islam terbesar kedua di dunia. Namun demikian,tidak beriringan dengan peringkat

kualitas SDM dan ekonominya. Justru umat Islam berada dibarisan paling belakang,

tertinggal telak oleh penganut ajaran agama Hindu dan Budha di dunia.7 Al-Qur’an

memandang kemiskinan sebagai masalah sosial dan sekaligus masalah kemanusiaan

yang patut mendapatkan perhatian serius melalui program-program terencana,

terintegrasi dan menyeluruh dalam waktu yang terus berkelanjutan tanpa lelah dan

tanpa henti.  Al-Qur’an sebagai kitab yang dapat memberikan solusi terhadap segala

permasalahan hidup umat manusia, menawarkan sejumlah strategi dan formula

pengentasan kemiskinan yaitu sebagai berikut:

1. Pemerataan Pendidikan untuk kaum dhu’afa

Sholat merupakan tiang Agama. Begitupun dengan pendidikan. Pendidikan

merupakan tiang kehidupan. Tanpa pendidikan manusia akan bodoh, menjadi

pengangguran, gelandangan, pengemis dan menjadi benalu masyarakat. Pendidikan

memberikan peran yang sangat sentral bagi kelangsungan hidup seseorang. Tidak

mendapatkannya pendidikan, baik formal, informal dan non formal dapat berimbas

secara langsung terhadap kemiskinan seseorang. Sehingga menyebabkan orang

tersebut tidak memiliki keterampilan hidup dan akibatnya tidak siap untuk

berkompetisi secara sehat dan menjadi orang bodoh yang sulit mendapatkan pekerjaan

yang layak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2008 menyebutkan

bahwa Indonesia memiliki sekitar 35 juta warga miskin dan 76 persen diantaranya

adalah mereka yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak, yakni hanya lulusan

7
Amirulloh Syarbini, Mutiara Al-Qur’an, (Jakarta: prima pustaka, 2012), h. 49

17
SD atau SR.8 Al-Qur’an memandang pendidikan amat penting bagi setiap orang,

karena dengan pendidikan harkat dan martabat manusia akan terangkat. Seperti

firman Allah, QS.Al-Mujadalah : 11

       


        
       
         

Terjemahannya:
 “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ayat lain tentang pendidikan adalah QS. an-Nahl (16): 97 yang menyatakan

bahwa bagi manusia yang ingin bahagia dalam hidupnya maka pendidikan merupakan

amal shaleh yang menjadi kewajiban setiap orang.

         
       
 

Terjemahannya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baikdan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.”

Dari ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya pendidikan amat

penting menurut Al-Qur’an. Seperti salah satu sabda Nabi Saw berikut ini:

‫ َو َم ْن أ ََر َادمُهَا‬،‫اآلخَر َه َف َعلَْي ِه بِالْعِْل ِم‬


ِ ‫ ومن أَراد‬،‫الد ْنيا َفعلَي ِه بِاْلعِْل ِم‬
َ َ ْ ََ ْ َ َ ُّ ‫َم ْن أ ََر َاد‬
‫َف َعلَْي ِه باِلعِْل ِم‬
Artinya:

8
Ibid, h. 51

18
“Barang siapa yang ingin memperoleh kebaikan di dunia, maka tuntutlah ilmu.
Dan barangsiapa yang ingin mendapatkan kebaikan di akhirat, maka tuntutlah
ilmu dan barangsiapa yang ingin memperoleh kebaikan pada keduanya, maka
tuntutlah ilmu”. (HR. Muslim)

Dengan demikian, kemiskinan yang masih membelenggu sebagian besar rakyat

Indonesia ini, salah satu cara terbaiknya dengan memberikan kesempatan memperoleh

pendidikan kepada seluruh warga negaranya. Jadi, sudah seharusnya kita semua

terutama pemerintah memikirkan strategi agar pendidikan bisa dinikmati oleh semua

kalangan, terutama rakyat miskin baik secara geografis maupun biaya. Semangat

pemerataan pendidikan sesungguhnya bisa kita temukan dalam konsep ajaran Islam

yang berbunyi:

‫ضةٌ َعلَى ُك ِّل ُم ْسلِ ٍم َو ُم ْسلِ َم ٍة‬ ِ َ‫طَل‬


َ ْ‫ب الع ْل ِم فَ ِري‬
ُ
“Menurut ilmu (pendidikan) adalah kebajiban bagi orang Islam baik laki-laki
maupun perempuan”.

2. Membangun Etos Kerja yang Tinggi

Salah satu penyebab kemiskinan yang menjadikan mereka bagian dari kaum

dhu’afa karena adanya perilaku dan mentalitas yang tidak disiplin, orientasi ke depan

rendah, dan etos kerja yang lemah. Etos kerja adalah modal dasar yang sangat

dominan bagi peningkatan kualitas hidup seseorang dalam berbagai aspeknya. 9

Mahkota umat Islam adalah jihad. Bukan jihad yang diartikan sebagai peperangan

melainkan jihad yang dimaksud disini adalah sikap bersungguh-sungguh untuk

mengerahkan seluruh potensi diri untuk mencapai suatu tujuan dan cita-cita. Inilah

arti Jihad yang sesungguhnya, sebagimana firman Allah di dalam QS. al-Ankabuut : 6

         


   
Terjemahannya:
 “Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah
untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

9
Ibid, h. 55

19
Ayat lain yang membahas berjihad itu anjuran Allah adalah surah. al-Ankabuut:

ayat 69

        


 
Terjemahannya:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan
Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

           

Terjemahannya:
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”(QS.
Al-Haji : 77)

Jihad berati suatu “kegilaan” untuk mengerahkan seluruh daya dan ikhtiar, suatu

mesin batin yang terus bergemuruh dan meronta, seraya menggerakkan pori-pori, urat

syaraf dan kemudian melahirkan daya gerak yang menabjukkan.10 Maka makna jihad

dalam kaitannya dengan bekerja, berihktiar atau mewujudkan suatu cita-cita adalah

menjadi satu kekuatan yang secara padu harus terus menyala serta digali dan di uji

potensinya sehingga mampu mengeluarkan energi yang membangun.  Apa arti sebuah

cita-cita tanpa adanya keinginan serta daya juang yang tinggi, itu hanyalah impian

belaka, obsesi kosong yang kemudian hanya membuahkan sebuah khayalan semata.

Islam mengajarkan agar hidup selalu mempunyai arah dan tujuan dan ditanamkan

secara nyata bahwa keinginan itu wajib diwujudkan dengan dorongan jihad. Kita

boleh bermimpi, tetapi lebih dari itu jadikanlah mimpi menjadi kenyataan dengan

mengerahkan seluruh potensi diri untuk mewujudkannya. Karena Allah tidak akan

pernah mengubah nasib diri kita kecuali diri kita sendiri yang secara aktif ingin dan

mempunyai tujuan untuk mengubah nasib kita sendiri. Seperti ditekankan dalam

firman Allah di surah. Ra’d : 11

10
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.16

20
        
           
           
     
Terjemahannya:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di
muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat
menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Allah)”

Qur’an diatas di Nash kan oleh sabda Rasulullah:

ً‫ واعمل آلخرتك كأنك متوت غدا‬، ً‫اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا‬
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup untuk selama-lamanya,
dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.”

Dari ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah diatas, memperlihatkan bahwa

sesungguhnya pandangan Islam tidaklah sempit. Islam tidak mengajarkan tentang

keterbatasan. Maksudnya hanya mementingkan soal akhirat saja atau dunia semata

tapi lebih dari itu Islam menganjurkan bahwa kehidupan dunia harus seimbang, tidak

berlebihan, tidak pula kekurangan. Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia adalah

tanaman hidup untuk perjalanan abadi ke akhirat. Jadi, salah satu solusi terbaik keluar

dari kemiskinan adalah dengan meningkatkan etos kerja dalam kehidupan umat Islam

dengan berjihad, sebagaimana firman Allah dalam surah. Al-Jumu’ah : 10

       


       
Terjemahannya:
 “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.”
           
Terjemahannya:
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat
(kepadanya).”QS. An-Najm(53):39-40

21
       
Terjemahannya:
 “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain ,dan hanya kepada Tuhanmulah
hendaknya kamu berharap.” QS. Alam Nasyrah :7-8

3. Pemberdayaan Harta Zakat untuk Kesejahteraan Umat

Dhu’afa menjadi persoalan amat serius yang segera harus dituntaskan agar tidak

membahayakan akidah dan moral anggota masyarakat Islam. Pedoman dalam

pemberantasan kemiskinan adalah Al-Quran, karena ia adalah kitab anti kemiskinan. 11

Al-Qur’an selalu membela kaum miskin dan peduli pada kaum dhuafa. Al-Qur’an

memandang bahwa pengentasan kemiskinan, salah satunya dilakukan dengan sikap

kederamawanan kaum kaya.

Al-Qur’an melarang manusia yang mementingkan diri sendiri dan mempunyai

sifat ketamakan. Bahkan Al-Qur’an menegaskan bahwa menolong anak yatim dan

fakir miskin dianggap jauh lebih mulia dihadapan Allah daripada melaksanakan

seremoni-seremoni luar, termasuk yang tampak seolah-olah sedang melaksanakan

ajaran Islam. Contohnya seperti, Al-Qur’an menganggap lebih mulia orang yang tidak

jadi melaksanankan ibadah haji padahal berbagai halnya telah mencukupi, disebabkan

karena ongkos naik haji diberikan untuk membantu orang yang kelaparan.12

Al-Qur’an mengingatkan bahwa dalam harta orang kaya ada hak fakir dan

miskin seperti firman Allah  dalam QS. Az-Zariyat : 19

     


Terjemahannya:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian.”

11
Amirulloh Syarbini, Mutiara Al-Qur’an, (Jakarta: prima pustaka, 2012), h.59
12
Ibid

22
Ayat lain yang mewajibkan membantu sesama muslim yang belum hidup wajar

sebagai manusia adalah:

          
 

Terjemahannya:
 “Sesungguhnya Dia dahulu tidak beriman kepada Allah yang Maha besar. dan
juga Dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi Makan orang
miskin.”QS. Al-Haaqqah : 33-34

        



Terjemahannya:
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang
menghardik anak yatim.” QS. Al-Ma’un : 1-2
       
Terjemahannya:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang
yang ruku” QS. Al-Baqarah : 43

Berdasarkan ayat Al-Qur’an diatas menyatakan bahwa Allah sangat

menganjurkan sesama manusia muslim untuk saling membantu, meringankan beban

saudara kita dari jerat kemiskinan terutama membantu anak yatim dan fakir miskin.

Salah satu cara menanggulanginya dengan mengeluarkan zakat. Mengeluarkan zakat

dalam ajaran Islam termasuk salah satu kewajiban yang harus dilakukan sebagai

pembersih diri dan kekayaan agar menciptakan kesejahteraan, menanggulangi

kemiskinan, dan menumbuhkan kemakmuran pada masyarakat Muslim, seperti yang

disebutkan dalam firman Allah dalam QS. At-Taubah: 103 yang berbunyi:

       


          
Terjemahannya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

23
Surah diatas menyatakan bahwa zakat merukapan salah satu hal tepenting dalam

upaya pengentasan kemiskinan dalam masyarakat. Sebab melalui zakat, dapat

terkumpul dana yang sangat besar terlebih mayoritas penduduk Indonesia adalah

Muslim. Selanjutnya hanya tinggal sejauh mana tingkat kedisiplinan pengelolaan dan

pemberdayaan penggunaannya agar sampai kepada kelompok-kelompok orang yang

berhak menerimanya. Pengeluaran zakat ini amat besar jika dihitung-hitung dengan

penduduk Indonesia yang mayoritas Islam. Belum lagi ditambah dengan pengeluaran

zakat fitrah yang memang kewajiban setiap muslim. Jadi dalam konteks ini, bukan

hanya kerja keras yang diperlukan untuk pengelolaan zakat namun juga kerja cerdas

agar pengelolaan zakat dan pemanfaatannya dapat menanggulangi kaum dhu’afa

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian makalah diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai

berikut:

1. Kaum dhuafa adalah kelompok manusia yang dianggap lemah (iman,ekonomi

dan fisik) atau mereka yang tertindas. Adalah mereka yang tak bisa hijrah

karena terhalang baik sosial maupun ekonomi fakir dan miskin tertekan

keadaan bukan karena malas, mereka yang kurang tenaga (bukan karena

malas), mereka yang kurang kemampuan akalnya (bukan karena malas) dan

atau mereka yang terbelakang pendidikannya.

2. Sifat terpuji merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim,

salah satu sifat terpuji itu antara lain adalah dengan menyantuni kaum dhu’afa.

Maksud dari menyantuni kaum duafa ialah memberikan harta atau barang

yang bermanfaat untuk duafa,

3. Menurut para ulama menyantuni kaum dhu’afa akan menyelamatkan diri kita

dari api neraka, tapi sekarang banyak manusia yang segan megeluarkan

hartanya untuk berinfak pada kaum duafa.

4. Kaum dhu’afa merupakan masalah sosial yang sangat kompleks. Jadi, dalam

menghadapi masalah sosial yaitu dhu’afa, Al-Qur’an menawarkan beberapa

prinsip dalam pemberdayaan kaum dhu’afa

5. Salah satu penyebab kemiskinan yang menjadikan mereka bagian dari kaum

dhu’afa karena adanya perilaku dan mentalitas yang tidak disiplin, orientasi

ke depan rendah, dan etos kerja yang lemah.

25
6. Salah satu cara terbaiknya dengan memberikan kesempatan memperoleh

pendidikan kepada seluruh warga negaranya. Jadi, sudah seharusnya kita

semua terutama pemerintah memikirkan strategi agar pendidikan bisa

dinikmati oleh semua kalangan, terutama rakyat miskin baik secara geografis

maupun biaya.

7. Al-Qur’an selalu membela kaum miskin dan peduli pada kaum dhuafa. Al-

Qur’an memandang bahwa pengentasan kemiskinan, salah satunya dilakukan

dengan sikap kederamawanan kaum kaya

B. Saran

            Kita sebagai umat Islam yang mempunyai pedoman hidup dan petunjuk hidup

yaitu Al-Qur’an, wajib bagi umat Islam berpegang teguh kepada ajaranNya,

mengamalkan ajaran-ajaranNya dan mengaplikasikannya di kehidupan sehari-hari

agar permasalahan yang terjadi seperti kemiskinan, kebodohan dan lain-lain dapat kita

selesaikan berdasarkan anjuran Al-Qur’an dan tidak mungkin kita tersesat karenanya.

Setelah berpegang teguh kepada ajaranNya, selanjutnya segera mungkin

mengaplikasikannya. Berjihad dalam konteks meningkatkan kualitas umat muslim

melalui pendidikan agar meningkatkan kualitas keterampilan, memperluas jaringan

dan akses hubungan sehingga dapat ikut berpartisipasi dalam pembangunan.

Ismail, Asep Usman. 2012. Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial. Tanggerang: Lentera
hati
Syabini, Amirulloh. 2012. Mutiara Al-Qur’an. Jakarta: as-prima pustaka
Tasmara, Toto. 1995. Etos Kerja Pribadi Muslim. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf

26
27

Anda mungkin juga menyukai