PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semenjak krisis ekonomi melanda bagian wilayah Asia pada akhir tahun 1990,
membuat Indonesia sebagai salah satu warga Asia mengalami berbagai masalah di
bidang ekonomi. Bahkan Indonesia menjadi negara yang paling lambat melakukan
pemulihan ekonomi dari negara Asia lainnya. Dampak dari krisis tersebut masih
pengangguran, kejahatan sosial dan segala macam bentuk pelanggaran aturan hukum
kemiskinan bagi seluruh warganya dari masyarakat miskin sampai masyarakat kaya
sekalipun, baik laki-laki maupun perempuan, dari anak-anak hingga orang dewasa,
Kemiskinan menjadi musuh terbesar semua negara yang ada di bumi ini.
Bahkan negara besarpun tak luput dihantui oleh problem yang mendominasi negara
kecil dan sedang berkembang. Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah
kita jumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau para pengemis
1
Syabini, Amirulloh. Mutiara Al-Qur’an. (Jakarta: as-prima Pustaka, 2012). h. 35
1
pengemis yang mendiami suatu wilayah tertentu terutama dikota-kota besar seperti
Jakarta. Pengemis menjadi problem sosial yang tak kalah akut akibat merajalelanya
kemiskinan. Setiap tahun selalu ada pengikatan pengemis, terlebih ketika datangnya
bulan Ramadhan. Hal ini terjadi karena kemiskinan yang menjadi penyebab utama
meningkatnya kaum dhua’fa di negeri ini yang belum berhasil dituntaskan hingga
akar-akarnya.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Dhu’afa
2. Perintah al-Qur’an dan Hadits untuk Menyantuni Dhu’afa
3. Pemberdayaan Kaum Dhu’afa dalam Prespektif al-Qur’an dan Hadits
4. Solusi Terhadap Permasalahan Kaum Dhu’afa
Selanjutnya dari tujuan penulisan diatas, maka diharapkan makalah ini dapat
memberikan manfaat, diantaranya:
2
1. Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memperluas wawasan pembaca terutama
mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Manado dalam kaitannya dengan
pemberdayaan Dhu’afa
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa
Makalah ini dapat dijadikan bahan atau literatur bagi mahasiswa dalam
menyusun makalah atau karya ilmiah lainnya yang bekaitan dengan
pemberdayaan Dhu’afa
b. Bagi Pendidik
c. Bagi Penulis
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dhuafa
Perkataan dhu’afa dalam kosa kata Al-Qur’an merupakan bentuk jamak dari
kata dha’if. Kata ini berasal dari kata dhu’afa, yadh’ufu, dhu’fan atau dha’fan yang
secara umum mengandung dua pengertian, lemah dan berlipat ganda. Tentu saja yang
dimaksudkan dalam konteks pembahasan ini dhu’afa secara literal berarti orang-orang
yang lemah. Menurut Al-Ashfahani perkataan dhu’fu merupakan lawan dari quwwah
yang berarti kuat. Kemudian menurut imam khalil, pakar ilmu nahwu, istilah dhu’fu
Mufradat Alfadah Al-Qur’an ketika menjelaskan makna dan maksud istilah dhi’af-an
Dari ayat di atas bahwa istilah dhi’af-an memiliki beberapa pengertian, sebagai
berikut:
Pertama, dha’if al-jism yakni lemah secara fisik. Maksudnya, bahwa orang-
orang beriman tidak boleh membiarkan anak-anak mereka memiliki fisik, tubuh, atau
badan yang lemah. Bagi orang Islam, makanan yang bergizi itu selain memenuhi gizi
yang seimbang sebagaimana dirumuskan dalam prinsip empat sehat lima sempurna,
4
tetapi juga harus memperhatikan syarat halalan thayibba, yakni halal secara ilmu
fikih dan berkualitas bagi kesehatan tubuh.2 Sejalan dengan ini Sajogyo menjelaskan
seseorang belum dikatakan sejahtera jika belum mencukupi standar protein dan kalori
tertentu, sedang menurut BPS kebutuhan minimum untuk hidup di ukur dengan
Kedua, dha’if fi al-aqly yakni lemah secara intelektual. Sebenarnya setiap anak
anak-anak pada umumnya tidak terletak pada potensi anak itu sendiri, tetapi terletak
pada kemampuan orang tua, guru, dan orang dewasa disekitar kehidupan anak-anak
Ketiga, dha’if al-hali lemah karena keadaan sosial ekonomi yang dihadapinya.
Adapun yang dimaksud dengan kelemahan yang ketiga ini adalah sebagai berikut: (1)
kelemahan itu tidak berkenaan dengan fisik, keterampilan hidup dan kecerdasan,
pengembangan diri. (2) kelemahan itu berkenaan dengan kemiskinan dan masalah-
masalah sosial. Anak-anak yatim dari lingkungan masyarakat fakir miskin yang
cerdas dan memiliki keinginan untuk maju termasuk salah satu contoh kelemahan
ketakwaannya kepada Allah, juga sangat ditekankan agar tidak membiarkan generasi
yang lemah dilingkungan terdekatnya, terutama kaum dhu’afa seperti anak yatim,
fakir miskin, anak jalanan, dan anak-anak terlantar, serta orang-orang dari keluarga
2
Asep Usman Ismail, dkk, Pengamalan Al-Qur’an Tentang Pemberdayaan Dhua’afa,
(Jakarta: Dakwah Press, 2008), Cet. Ke-1, h.19
3
Gunawan Sumodiningrat, Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, (Jakarta: IMPAC, 1999),
h. 10
5
al-ashfahani, pengertian dhu’afa yang berakar dari kata dha’afa membentuk kata
lemah: lemah secara fisik, lemah kedudukan, lemah ekonomi, lemah akal dan
ilmu/kurang pendidikan, lemah iman/keyakinan, dan lemah jiwa. Istilah dhu’afa ini
antara lain ditemukan pada ayat Al-Qur’an, yang mengandung pengertian lemah fisik,
baik karena belum cukup umur, lanjut usia maupun karena faktor kwalitas kesehatan.4
Dari uraian diatas, maka disimpulkan bahwa Kaum dhuafa adalah kelompok
manusia yang dianggap lemah (iman,ekonomi dan fisik) atau mereka yang tertindas.
Adalah mereka yang tak bisa hijrah karena terhalang baik sosial maupun ekonomi
fakir dan miskin tertekan keadaan bukan karena malas, mereka yang kurang tenaga
(bukan karena malas), mereka yang kurang kemampuan akalnya (bukan karena
Sifat terpuji merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim, salah
satu sifat terpuji itu antara lain adalah dengan menyantuni kaum dhu’afa. Maksud dari
menyantuni kaum duafa ialah memberikan harta atau barang yang bermanfaat untuk
4
Asep Usman Ismail, dkk, Pengamalan Al-Qur’an Tentang Pemberdayaan dhua’afa., h.18-19.
6
duafa. Kaum duafa sendiri ialah orang yang lemah dari bahasa Arab (duafa) atau
orang yang tidak punya apa-apa, dan mereka harus disantuni bagi kewajiban muslim
untuk saling memberi, itu sebagai bentuk ibadah kepada Allah Swt perlu digaris
bawahi, bahwa “memberi” tidak harus uang malah kita berikan makanan bisa tapi
nanti ibadahnya akan mengalir terus seperti halnya infak dan kalau sudah diberi akan
jadi tanggung jawab orang miskin itu, misal saja barang yang diberikan digunakan
untuk beribadah kepada Allah atau hal positif lainnya akan terkena pahala yang sama,
ketika Dia gunakan tadi, sebaliknya degan digunakan mencopet atau judi kita tidak
akan mendapat pahala buruk dari orang miskin itu insya Allah pahalanya tidak akan
Menurut para ulama menyantuni kaum dhu’afa akan menyelamatkan diri kita
dari api neraka, tapi sekarang banyak manusia yang segan megeluarkan hartanya
untuk berinfak pada kaum duafa, tapi ada juga yang selalu membantu kaum dhu’afa
itu, bukan saja yang berarti duafa pada orang miskin juga bisa pada misalnya: panti
asuahan, membangun masjid, kepada diri sendiri, anak yang putus sekolah biayai
pendidikannya sampai tingkat SMA, dan keluarga dekat serta orang yang sedang
7
Terjemahannya:
”Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-
pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat
ingkar kepada Tuhannya.
Untuk anak yatim, Islam memerintahkan untuk: (1). memeliharanya (2).
(kalau ada), sampai anak yatim tersebut dewasa, mandiri dan bisa mengurus hartanya.
Hal ini juga dijelaskan dalam hadist bukhari dibawah ini bila seseorang
أَنَا َو َكافِ ُل: ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ِ ُ ال رس
َ ول اللَّه ُ َ َ َ ق: ال َ ََع ْن َس ْه ٍل بْ ِن َس ْع ٍد ق
السبَّابَِة َوالْ ُو ْسطَى َو َفَّر َج َبْيَن ُه َما َشْيئًا َ َوأ، الْيَتِي ِم يِف اجْلَن َِّة َه َك َذا
َّ َِش َار ب
Artinya: Dari Sahl bin Sa’ad r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Saya
dan orang yang memelihara anak yatim itu dalam syurga seperti ini." Beliau
mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan merenggangkan
antara keduanya itu." (Riwayat Bukhari)
8
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (kebajikannya); dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa”
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW beserta kaum muslimin
Maqdis selama 16 bulan. Kemudian pada tahun 2 H I 224 M turunlah perintah Allah
supaya dalarn shalat tidak lagi menghadap ke arah Masjidil Aqsha melainkan ke
arah Ka'bah. Pemindahan kiblat ini dipersoalkan oleh kaum ahli kitab, maka
terjadilah perdebatan yang panjang sampai memuncak antara kaum ahli kitab dan
kuam muslimin.
Kaum ahli kitab memandang bahwa shalat dengan menghadap kepada selain
kiblat mereka (Baitul Maqdis) tidak akan diterima oleh Allah. Sementara kaum
muslimin memandang bahwa shalat itu tidak akan diterima oleh Allah kecuali
dengan menghadap Ka'bah, yaitu kiblat Nabi Ibrahim leluhur para Nabi. Ditengah-
tengah perdebatan itulah lalu ayat dimuka turun dalam rangka menjelaskan bahwa
dimaksud dalam agama, karena kiblat ifu semata-mata untuk memelihara kesadaran
bagi orang yang shalat bahwa ia sedang bermunajat kepada Tuhannya, berdoa
9
Selanjutnya, yang dimaksud dengan 'AI Birru" (kebajikan) adalah segala
sesuatu yang dapat mendekatkan kepada Allah, yang terdiri dari iman, amal shaleh
dan akhlaqul karimah. Selanjutnya ayat di muka merinci kebajikan itu sebagai
berikut:
a. Beriman kepada Allah, dan inilah yang merupakan dasar dan sumber segala
kebajikan. Tentu saja Iman kepada Allah itu tidak akan terwujud jika tidak
disertai dengan kemantapan hatibeserta sikap tunduk dan patuh kepada Allah,
sehingga tidak satu pun nikmat yang dapat membuat timbulnya sikap kufur, dan
tidak satu pun ujian dan bencana yang membuat timbulnya sikapkeluh kesah.
b. Beriman kepada hari akhir. Iman yang kedua ini menimbulkan kesadaran
bahwa di sana akan ada kehidupan lain yang di dalamnya tidak ada lagi
manusia diharapkan agar selalu berhati-hati dalam beramal dan berbuat, dan
c. Beriman kepada para malaikat. Iman yang ketiga ini merupakan dasar
keimanan kepada wahyu, terutusnya para Nabi, dan hari akhir. Mengingkari
adanya para malaikat berarti juga mengingkari ketiga hal tersebut, karena
di dalamnya. Karena orang yang sudah yakin bahwa sesuaru itu baik dan
10
yang sudah yakin bahwa sesuatu itu jelek dan berbahaya pasti akan terdorong
e. Beriman kepada para Nabi. Iman yang kelima ini mendorong timbulnya
santunan; mereka' inilah yang paling berhak untuk disantuni. Karena manusia
itu atas dasar fitrahnya sendiri pasti ikut menderita jika melihat kondisi
Dengan demikian, maka orang yang hidup dalam kondisi yang mapan, lalu
mereka, berarti ia melanggar agama dan fitrahnya sendiri. Karena itu dalam
g. Anak yatim; karena anak yang hidup dalam kondisi miskin lantaran tidak
punya ayah dan tidak punya penghasilan itu sangat membutuhkan kepedulian
dan santunan dari orang-orang yang mampu, agar ia tidak semakin buruk
kondisinya dan salah asuhan. Jika kondisinya seperti itu dibiarkan, maka
5
HR. Ahmad (IV/17, 18, 214), at-Tirmidzi (658) dan dihasankannya, an-Nasa-i (V/92), Ibnu
Majah (1844), al-Hakim (I/407) dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi dari Salman bin
‘Amr
11
dikhawatirkan kelak menjadi orang yang berbahaya bagi dirinya sendiri dan
h. Orang miskin; yaitu orang yang lemah,dalam usaha untuk mencukupi dirinya
sendiri.
j. Pengemis; yaitu orang yang terpaksa mengemis lantaran amat sangat miskin,
yang satu ini meliputi pemberian santunan kepada para pekerja yang diperas
mengorbankan harta untuk kepentingan agama dan umat merupakan salah satu
sendi pokok dari segala kebajikan, sehingga para sahabat pada masa I{halifah
wajib ditumpas.
n. Menepati janji; baik janji kepada Allah maupun janji kepada sesame manusia
12
Demikian ini penjelasan surah diatas dan akhir ayat di muka ditegaskan bahwa
1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan
2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan
kekurangan.
membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru
13
6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan
ma'siat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk
7. Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan
Kaum dhu’afa merupakan masalah sosial yang sangat kompleks. Jadi, dalam
1. Prinsip ta’awun, yakni prinsip kerja sama dan saling tolong-menolong diantara
lembaga kemasyarakatan, seperti Depsos, Dinas Sosial, LSM, para relawan dan
di surah. Al-Ma’idah : 2
6
Asep Usman ismail, Al-Quran dan Kesejahteraan Sosial, Lentera Hati, Tanggerang, 2012,
hlm. 79.
14
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
Allah dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang
mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu
dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”
lembaga kemasyarakatan seperti Depsos, LSM dan lain-lain dalam satu program
Terjemahannya:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka.”
keterpurukan hidupnya.
dalam bentuk pemanfaatan dana zakat, infak, dan sedekah untuk kepentingan
15
pemberdayaan kaum dhu’afa serta untuk mantan dhu’afa agar bisa hidup
luas dan mengembangkan budaya belajar untuk hidup menanbung. Ini untuk
kepada prinsip dhu’afa yang telah berhasil keluar dari kehidupan buruknya
karena seseorang bertanggung jawab untuk dirinya sendiri untuk lebih berdaya
6. Kaum Muslimin yang memiliki asset kekayaan dan tergolong orang yang
harta mereka ada hak kaum dhuafa. Membantu orang orang yang lemah
bantuan dari asing akan menjadikan diri kita tergantung kepada bantuan mereka.
Sangat memprihatinkan sekali, ketika negara lain sedikit demi sedikit keluar
dari permasalahan kemiskinan, mencari jalan keluar yang efektif sedangkan Indonesia
16
hanya mempertontonkan kemiskinan itu tanpa memperdulikan tontonannya itu.
kualitas SDM dan ekonominya. Justru umat Islam berada dibarisan paling belakang,
tertinggal telak oleh penganut ajaran agama Hindu dan Budha di dunia.7 Al-Qur’an
terintegrasi dan menyeluruh dalam waktu yang terus berkelanjutan tanpa lelah dan
tanpa henti. Al-Qur’an sebagai kitab yang dapat memberikan solusi terhadap segala
memberikan peran yang sangat sentral bagi kelangsungan hidup seseorang. Tidak
mendapatkannya pendidikan, baik formal, informal dan non formal dapat berimbas
tersebut tidak memiliki keterampilan hidup dan akibatnya tidak siap untuk
berkompetisi secara sehat dan menjadi orang bodoh yang sulit mendapatkan pekerjaan
yang layak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional tahun 2008 menyebutkan
bahwa Indonesia memiliki sekitar 35 juta warga miskin dan 76 persen diantaranya
adalah mereka yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak, yakni hanya lulusan
7
Amirulloh Syarbini, Mutiara Al-Qur’an, (Jakarta: prima pustaka, 2012), h. 49
17
SD atau SR.8 Al-Qur’an memandang pendidikan amat penting bagi setiap orang,
karena dengan pendidikan harkat dan martabat manusia akan terangkat. Seperti
Terjemahannya:
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat lain tentang pendidikan adalah QS. an-Nahl (16): 97 yang menyatakan
bahwa bagi manusia yang ingin bahagia dalam hidupnya maka pendidikan merupakan
Terjemahannya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baikdan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.”
Dari ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya pendidikan amat
penting menurut Al-Qur’an. Seperti salah satu sabda Nabi Saw berikut ini:
8
Ibid, h. 51
18
“Barang siapa yang ingin memperoleh kebaikan di dunia, maka tuntutlah ilmu.
Dan barangsiapa yang ingin mendapatkan kebaikan di akhirat, maka tuntutlah
ilmu dan barangsiapa yang ingin memperoleh kebaikan pada keduanya, maka
tuntutlah ilmu”. (HR. Muslim)
Indonesia ini, salah satu cara terbaiknya dengan memberikan kesempatan memperoleh
pendidikan kepada seluruh warga negaranya. Jadi, sudah seharusnya kita semua
terutama pemerintah memikirkan strategi agar pendidikan bisa dinikmati oleh semua
kalangan, terutama rakyat miskin baik secara geografis maupun biaya. Semangat
pemerataan pendidikan sesungguhnya bisa kita temukan dalam konsep ajaran Islam
yang berbunyi:
Salah satu penyebab kemiskinan yang menjadikan mereka bagian dari kaum
dhu’afa karena adanya perilaku dan mentalitas yang tidak disiplin, orientasi ke depan
rendah, dan etos kerja yang lemah. Etos kerja adalah modal dasar yang sangat
Mahkota umat Islam adalah jihad. Bukan jihad yang diartikan sebagai peperangan
mengerahkan seluruh potensi diri untuk mencapai suatu tujuan dan cita-cita. Inilah
arti Jihad yang sesungguhnya, sebagimana firman Allah di dalam QS. al-Ankabuut : 6
9
Ibid, h. 55
19
Ayat lain yang membahas berjihad itu anjuran Allah adalah surah. al-Ankabuut:
ayat 69
Terjemahannya:
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”(QS.
Al-Haji : 77)
Jihad berati suatu “kegilaan” untuk mengerahkan seluruh daya dan ikhtiar, suatu
mesin batin yang terus bergemuruh dan meronta, seraya menggerakkan pori-pori, urat
syaraf dan kemudian melahirkan daya gerak yang menabjukkan.10 Maka makna jihad
dalam kaitannya dengan bekerja, berihktiar atau mewujudkan suatu cita-cita adalah
menjadi satu kekuatan yang secara padu harus terus menyala serta digali dan di uji
potensinya sehingga mampu mengeluarkan energi yang membangun. Apa arti sebuah
cita-cita tanpa adanya keinginan serta daya juang yang tinggi, itu hanyalah impian
belaka, obsesi kosong yang kemudian hanya membuahkan sebuah khayalan semata.
Islam mengajarkan agar hidup selalu mempunyai arah dan tujuan dan ditanamkan
secara nyata bahwa keinginan itu wajib diwujudkan dengan dorongan jihad. Kita
boleh bermimpi, tetapi lebih dari itu jadikanlah mimpi menjadi kenyataan dengan
mengerahkan seluruh potensi diri untuk mewujudkannya. Karena Allah tidak akan
pernah mengubah nasib diri kita kecuali diri kita sendiri yang secara aktif ingin dan
mempunyai tujuan untuk mengubah nasib kita sendiri. Seperti ditekankan dalam
10
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.16
20
Terjemahannya:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di
muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat
menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Allah)”
ً واعمل آلخرتك كأنك متوت غدا، ًاعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup untuk selama-lamanya,
dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.”
keterbatasan. Maksudnya hanya mementingkan soal akhirat saja atau dunia semata
tapi lebih dari itu Islam menganjurkan bahwa kehidupan dunia harus seimbang, tidak
berlebihan, tidak pula kekurangan. Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia adalah
tanaman hidup untuk perjalanan abadi ke akhirat. Jadi, salah satu solusi terbaik keluar
dari kemiskinan adalah dengan meningkatkan etos kerja dalam kehidupan umat Islam
21
Terjemahannya:
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain ,dan hanya kepada Tuhanmulah
hendaknya kamu berharap.” QS. Alam Nasyrah :7-8
Dhu’afa menjadi persoalan amat serius yang segera harus dituntaskan agar tidak
Al-Qur’an selalu membela kaum miskin dan peduli pada kaum dhuafa. Al-Qur’an
sifat ketamakan. Bahkan Al-Qur’an menegaskan bahwa menolong anak yatim dan
fakir miskin dianggap jauh lebih mulia dihadapan Allah daripada melaksanakan
ajaran Islam. Contohnya seperti, Al-Qur’an menganggap lebih mulia orang yang tidak
jadi melaksanankan ibadah haji padahal berbagai halnya telah mencukupi, disebabkan
karena ongkos naik haji diberikan untuk membantu orang yang kelaparan.12
Al-Qur’an mengingatkan bahwa dalam harta orang kaya ada hak fakir dan
11
Amirulloh Syarbini, Mutiara Al-Qur’an, (Jakarta: prima pustaka, 2012), h.59
12
Ibid
22
Ayat lain yang mewajibkan membantu sesama muslim yang belum hidup wajar
Terjemahannya:
“Sesungguhnya Dia dahulu tidak beriman kepada Allah yang Maha besar. dan
juga Dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi Makan orang
miskin.”QS. Al-Haaqqah : 33-34
saudara kita dari jerat kemiskinan terutama membantu anak yatim dan fakir miskin.
dalam ajaran Islam termasuk salah satu kewajiban yang harus dilakukan sebagai
disebutkan dalam firman Allah dalam QS. At-Taubah: 103 yang berbunyi:
23
Surah diatas menyatakan bahwa zakat merukapan salah satu hal tepenting dalam
terkumpul dana yang sangat besar terlebih mayoritas penduduk Indonesia adalah
Muslim. Selanjutnya hanya tinggal sejauh mana tingkat kedisiplinan pengelolaan dan
berhak menerimanya. Pengeluaran zakat ini amat besar jika dihitung-hitung dengan
penduduk Indonesia yang mayoritas Islam. Belum lagi ditambah dengan pengeluaran
zakat fitrah yang memang kewajiban setiap muslim. Jadi dalam konteks ini, bukan
hanya kerja keras yang diperlukan untuk pengelolaan zakat namun juga kerja cerdas
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
berikut:
dan fisik) atau mereka yang tertindas. Adalah mereka yang tak bisa hijrah
karena terhalang baik sosial maupun ekonomi fakir dan miskin tertekan
keadaan bukan karena malas, mereka yang kurang tenaga (bukan karena
malas), mereka yang kurang kemampuan akalnya (bukan karena malas) dan
2. Sifat terpuji merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim,
salah satu sifat terpuji itu antara lain adalah dengan menyantuni kaum dhu’afa.
Maksud dari menyantuni kaum duafa ialah memberikan harta atau barang
3. Menurut para ulama menyantuni kaum dhu’afa akan menyelamatkan diri kita
dari api neraka, tapi sekarang banyak manusia yang segan megeluarkan
4. Kaum dhu’afa merupakan masalah sosial yang sangat kompleks. Jadi, dalam
5. Salah satu penyebab kemiskinan yang menjadikan mereka bagian dari kaum
dhu’afa karena adanya perilaku dan mentalitas yang tidak disiplin, orientasi
25
6. Salah satu cara terbaiknya dengan memberikan kesempatan memperoleh
dinikmati oleh semua kalangan, terutama rakyat miskin baik secara geografis
maupun biaya.
7. Al-Qur’an selalu membela kaum miskin dan peduli pada kaum dhuafa. Al-
B. Saran
Kita sebagai umat Islam yang mempunyai pedoman hidup dan petunjuk hidup
yaitu Al-Qur’an, wajib bagi umat Islam berpegang teguh kepada ajaranNya,
agar permasalahan yang terjadi seperti kemiskinan, kebodohan dan lain-lain dapat kita
selesaikan berdasarkan anjuran Al-Qur’an dan tidak mungkin kita tersesat karenanya.
Ismail, Asep Usman. 2012. Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial. Tanggerang: Lentera
hati
Syabini, Amirulloh. 2012. Mutiara Al-Qur’an. Jakarta: as-prima pustaka
Tasmara, Toto. 1995. Etos Kerja Pribadi Muslim. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf
26
27