Anda di halaman 1dari 6

Biografi KH Abdullah Syafi’i (1910-

1985)

KH. Abdullah Syafi’i


KH. Abdullah Syafi’i adalah seorang ulama asal betawi, yang dikenal sebagai singa
podium dizamannya, dan juga pendiri pesantren Asy Syafi’iyah di Jakarta.

Lahir di Bali Matraman Jakarta Selatan, pada 10 Agustus 1910 M. Pendidikan


formalnya hanya kelas 2 SR (sekolah rakyat). Sejak kecil ia bercita-cita untuk
menjadi ahli pidato dan juru da’wah. Karena itu ia kemudia belajar kepada ulama-
ulama besar baik di Jakarta maupun Jawa barat. Diantaranya beliau belajar kepada
Kyai Jauhari bin Sulaiman (tebet), Kyai Muanif (menteng atas), Kyai Marzuki
(cipinang), Habib ali al Habsyi (Kwitang), Habib ali bin Husein (bungur) serta Habib
Alwi bin Thohir (bogor).

Ayahandanya bernama H. Syafi’i bin Sairan yang bekerja sebagai pedagang buah-
buahan. Sedangkan ibunya bernama Nona binti Sya’ari yang selain memiliki hobi
berdagang juga memiliki keterampilan membuat kecap untuk dipasarkan dari rumah
ke rumah. Dari pasangan suami istri itulah lahir KH. Abdullah Syafi’i dan dua orang
saudara perempuannya, yaitu Rukoyyah dan Aminah.

Pada usia 13 tahun, Abdullah Syafi’i bersama orang tuanya telah melaksanakan
ibadah haji ke Makkah selanjutnya pada usia 18 tahun ia sudah menikah dengan Siti
Rogayah binti KH. Ahmad Mukhtar, seorang wanita terpelajar dan pernah menjadi
pembaca Al-Qur’an di Istana Negara di hadapan Presiden Sukamo pada tahun 1949.
Dari pernikahannya ini, KH. Abdullah Syafi’i memiliki lima orang anak yang
bernama Muhibbah, Tuty Alawiyah, Abdur Rasyid, Abdul Hakim dan Ida Farida.
Pada tahun 1951, Siti Rogayah, isteri KH. Abdullah Syafi’i meninggal dunia.
Kemudian pada tahun 1958, putrinya yang tertua, Muhibbah juga dipanggil oleh
Yang Maha Kuasa. Terdorong oleh kebutuhan teman pendamping dalam rangka
memperjuangkan cita-citanya untuk memajukan masyarakat, maka atas restu dari
keluarganya, ia menikah lagi dengan seorang gadis yang bernama Salamah. Dari
perkawinan yang kedua ini, ia dikaruniai sepuluh orang anak, yaitu Mohammad
Surur, Syarif Abdullah, Mohammad Zaki, Elok Khumaira, Ainul Yaqin, Syafi’i
Abdullah, Nufzatul Tsaniyah, Muhammad, Thuhfah, dan Laila Sakinah.

KH. Abdullah Syafi’i yang sehari-harinya dipanggil dengan nama Dulloh, sebenarnya
memiliki bakat berdagang sebagai mana orang tuanya. Ketika ia menuntut ilmu
agama di berbagai daerah, ia telah berdagang barang-barang keperluan masyarakat,
seperti kain batik dan songkok. Ia dikenal sebagai ulama yang energik, berbagai
kegiatan ia lalaikan, mulai dari memberikan ceramah pengajian di beberapa majlis
ta’lim, mendirikan dan mengelola pendidikan agama yang kemudian berkembang
secara luas, dengan tidak meninggalkan profesinya dalam bidang perdagangan.

Bersepeda Jakarta-Bogor demi menimba ilmu.

Pendidikan KH. Abdullah Syafi’i dimulai dengan memasuki Sekolah Rakyat (SR)
hanya selama 2 tahun. Setelah itu ia belajar dari satu ustadz ke ustadz yang lain, dari
satu habib ke habib yang lain. Ayahnya memberikan sarana dan fasilitas yang berupa
sepeda yang pada saat itu tergolong barang yang mewah. Dengan sepeda ia
mendatangi guru-gurunya untuk mempelajari agama Islam. Bahkan ia pernah
belajar ke seorang guru yang berada di Bogor yang jaraknya puluhan kilometer dari
Jakarta dengan mengendarai sepeda.

Di antara ulama yang pernah menjadi gurunya adalah Mu’alim Al-Mushonif dalam
bidang nahwu, KH. Abdul Majid (Guru Majid) dan KH Ahmad Marzuki (Guru
Marzuqi) dalam bidang fiqih, Habib Alwi Al Haddad dalam bidang tasawuf, tafsir
dan ilmu pidato, Habib Salim bin Jindan di Jatinegara dalam bidang ilmu hadist,
Guru Mansur dalam bidang falaq dan Habib Ali Kwitang. Saat belajar kepada Habib
Ali, ia bersama KH. Fathullah Harun dan KH Tohir Rohili dipersaudarakan oleh
Habib Ali dengan putranya, Habib Muhammad Al-Habsyi. Dari KH. Abdullah Syafi’i
dan KH. Tohir Rohili berdiri dan berkembang pesat majelis taklim As-Syafi’iyah dan
At-Tahiriyah. Sedangkan KH. Fathullah Harun menjadi Ulama Betawi terkenal di
Malaysia dan menjadi Imam Besar di masjid Negara Kuala Lumpur.

Hal tersebut menunjukkan bahwa cara belajar yang digunakan KH. Abdullah Syafi’i
adalah Rihlah ilmiyah yang di dalam dunia Islam sudah lama dikenal. Di antara cara
belajar yang digunakan KH. Abdullah Syafi’i adalah bahwa pada setiap hari tidak
kurang dari 4 jam ia pergunakan untuk membaca kitab yang dilanjutkan dengan
membuat catatan yang berupa intisari dari kitab yang dibacanya itu. Catatan riwayat
hidupnya mengatakan, bahwa pada menit terakhir dia akan dipanggil Allah (wafat),
ia meminta kepada putra-putrinya agar selalu membaca sebuah kitab. Salah seorang
putranya, Abdul Rasyid mengatakan, bahwa KH. Abdullah Syafi’i memiliki semangat
menuntut ilmu yang tinggi dan pembaca yang kuat, bahkan sebelum ia dipanggil
Allah SWT masih sempat meninggalkan sebuah kitab untuk dibaca.
Setelah ia merasa cukup memiliki bekal pengetahuan agama, maka mulailah ia
berusaha mengamalkannya. Pada usia yang tergolong muda, yaitu usia 18 tahun, ia
telah mendirikan madrasah yang bertempat di tanah wakaf seluas 8000 m2 yang,
diberikan oleh ayahnya di kampung Bali Matraman. Awalnya didirikan Madrasah
Islamiyah yang akhirnya berganti nama Perguruan As-Syafi’iyah. Lalu di usia 23
tahun atau pada tahun 1933 ia mendirikan Masjid Al-Barkah. Dalam
perkembangannya Masjid Al-Barkah digunakan sebagai tempat pengajian yang
selanjutnya berkembang pesat sehingga membuat cabang di Kebon Jeruk Jakarta
Barat, Pejaten Jakarta Selatan dan Bekasi Jawa Barat. KH. Abdullah Syafi’i
mempunyai semangat dan dorongan untuk mendirikan madrasah berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, ia melihat bahwa Bangsa Indonesia terutama etnis Betawi masih banyak
yang bodoh sehingga secara sosial ia terpinggirkan. Kedua, untuk kalangan
masyarakat Betawi, madrasah lebih diminati ketimbang pesantren. Ketiga,
masyarakat Betawi yang umumnya beragama Islam yang taat lebih memilih
madrasah daripada masuk sekolah Belanda. Keempat, berdirinya madrasah pada
waktu itu dapat dinilai sebagai respons dari adanya modernisasi yang terjadi di
Batavia serta pengaruh dari Timur tengah, khususnya Mesir. Kelima, sebagai orang
yang dibesarkan di kalangan komunitas Betawi yang religius dan agamis, tentu saja
KH. Abdullah Syafi’i lebih memilih lembaga pendidikan yang bernuansa Islami.

Sehubungan dengan keberhasilannya dalam bidang pendidikan ini, pada usia 21


tahun ia mendapatkan sertifikat atau beslit dari Rachen Scahf, sebagai pengakuan
bahwa ia layak untuk menjadi pendidik. Di madrasah yang dimilikinya, ia bersama
istrinya, Rogayah mengajarkan ilmu agama, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu
akhlaq dan ilmu-ilmu agama lainnya.

Seiring dengan perkembangan pengajian, Madrasah Diniyah pun ikut berkembang.


Pada tahun 1957 didirikan Madrasah Tsanawiyah (MTS), Raudhatul Athfal pada
tahun 1969. Setahun kemudian pada 1970 didirikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Pengembangan lembaga pendidikan formal ini tidak hanya di Bali Matraman tetapi
juga di Jatiwaringin. Selain itu juga mengembangkan kegiatan sosial, seperti
poliklinik, pondok yatim piatu dan untuk kepentingan dakwah didirikan Radio AKPI
As-Syafi’iyah.

Selain sebagai pendidik yang tekun, KH. Abdullah Syafi’i juga termasuk orang yang
gemar bergaul dengan tokoh-tokoh masyarakat pada tingkat nasional dan dari
berbagai etnis, seperti Ambon, Bali, Jawa dan Sumatra. Dalam kaitan ini ia pernah
bergabung dalam Masyumi dan dekat dengan Muhammad Natsir, bahkan ia berhasil
mengajak Natsir masuk ke dalam Majlis Dzikir Mudzakaroh untuk mengkaji kitab
kuning. Setelah Masyumi bubar, KH. Abdullah Syafi’i tidak lagi berkiprah dalam
bidang politik, melainkan lebih mengabdikan dirinya untuk pendidikan dan Majlis
Ulama Indonesia hingga ia menjadi Ketua I MUI Pusat. Pada tahun 1978-1985, ia
dipercaya menduduki jabatan sebagai Ketua Umum MUI DKI Jakarta dan kemudian
pada tahun 1982 ia ditunjuk sebagai penasihat MUI Pusat yang pada waktu itu
diketuai oleh Buya Hamka. Dalam kedudukannya sebagai ketua MUI DKI Jakarta ini
ia menjalin hubungan baik dengan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta.
Kendati dekat dengan Gubernur, ia tetap bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan
pemerintah DKI Jakarta. Ia misalnya mengkritik kebijakan pemerintah yang
melokalisasi wanita tuna susila, melegalisasi perjudian dan sebagainya.

Kepopuleran dan besarnya pengaruh KH. Abdullah Syafi’i antara lain karena peran,
sumbangan dan pengabdiannya dalam kepentingan agama, bangsa dan negara serta
karena keluhuran budi pekerti dan akhlaqnya. Ia dikenal sebagai orang yang
memiliki kepribadian yang terbuka luwes dalam bergaul. Karena sifat ini ia memiliki
hubungan yang luas dengan hampir seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pejabat
tinggi pemerintahan, pejabat militer, ulama besar, tokoh pimpinan organisasi
politik, bahkan pada masyarakat yang paling rendah seperti dengan karyawannya,
tukang-tukang batu, yatim piatu, wanita-wanita jompo yang miskin dan sebagainya.

Toleransi khilafiyah antara KH. Abdullah Syafi’i dan Buya Hamka

Selain itu juga dikenal sebagai orang yang memiliki pandangan yang luas dan toleran
dalam pandangan keagamaannya, hal ini dapat terlihat pada komentar Hamka
sebagai berikut:

Ketika saya, KH Hasan Basri serta Kiai, sama-sama pergi ke Yogyakarta, sebagai
basisnya Muhammadiyah, di sana kami melaksanakan shalat Jum’at yang
khatibnya KH Hasan Basri. Sebagaimana tradisi di masjid-masjid Yogya pada
umumnya, bahwa setelah adzan, khotib langsung berdiri menyampaikan khutbah,
tanpa ada shalat qabliyah seperti yang dijumpai di Masjid al-Barkah
Balimatraman yang dipimpin KH. Abdullah Syafi’i. Ternyata Pak Kiai mengikuti
jama’ah lain. Ia tidak melakukan shalat Sunnah qabliyah.

Selanjutnya KH. Abdullah Syafi’i juga dikenal sebagai ulama yang tawadhu, dirinya
berasal dari orang pinggiran. Namun ia tidak merasa canggung untuk berdialog dan
bertukar pikiran dengan semua lapisan masyarakat, baik dengan kaum awam
maupun dengan kaum cendikiawan.

Ketelitian dan rasa hematnya merupakan sifat lainnya yang dijumpai oleh KH.
Abdullah Syafi’i. Menurut salah seorang muridnya, bahwa KH. Abdullah Syafi’i
kerapkali memiliki ide untuk membangun pendidikan Islam. Ia tidak pernah
berhenti mengawasi pembangunan yang dilakukannya. Ia selalu mengawasi para
pekerja pembangunan dan selalu teliti dan hemat terhadap bahan-bahan bangunan
yang tersisa untuk selalu dimanfaatkan untuk gedung yang sedang dibangun.

Para tamu KH. Abdullah Syafi’i sering kali diajak berkeliling melihat hasil atau
proses pembangunan. Pada saat itu tidak jarang beliau memungut kayu yang
tercecer, ia akan marah kepada mandor atau tukang bila menyia-nyiakan sisa semen
atau potongan kayu.

KH. Abdullah Syafi’i juga dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian sosial yang
tinggi. Ketika sekolah melaksanakan hari libur nasional ia tidak sepenuhnya
meliburkan sekolahnya. Sekolah tetap dibuka, walaupun hanya untuk setengah hari,
karena ia kasihan pada para pedagang yang biasa berdagang di lingkungan
sekolahnya. Selain itu kepada para siswanya dan juga kepada kaum muslimin sering
kali ia membagi-bagikan keperluan untuk shalat atau membagikan kitab Al-Qur’an
yang dicetak di percetakaannya.

Buku-buku KH. Abdullah Syafi’i

Selama hidupnya ia menyempatkan dirinya untuk menulis. Di antara karya


tulisannya :

 Al-Muasasat Al-Syafi’iyah Al-Ta’limiyah. Kitab ini menjelaskan tentang latar


belakang didirikannya madrasah serta materi pendidikan yang diberikan pada
siswanya.
 Bir Al-Walidain. Buku ini mengupas tentang kondisi ibu yang tengah hamil dan
dengan susah payah dengan mempertaruhkan jiwa dan raga. Peran orang tua
tersebut dilanjutkan dengan pemberian nama, pemeliharaan dan mengawasi jiwa,
pikiran dan perasaannya dengan pendidikan dan pengajaran. Buku itu mengajak
kepada semua anak agar menghormati dan berbakti kepada orang tua dalam
rangka berbakti kepada Allah dan Rasulnya.
 Penduduk Dunia Hanya ada Tiga Golongan. Di dalam buku ini KH. Abdullah
Syafi’i mencoba membagi dan menyelami potensi dan karakter manusia dengan
membaginya ke dalam tiga golongan. Pertama kelompok manusia yang beriman
(mukmin), yaitu manusia yang meyakini Allah mengikut perintah dan menjauhi
larangannya. Kedua, manusia yang ingkar terhadap ajaran Allah (Kafir), yaitu
manusia yang tidak percaya Allah serta senantiasa melanggar perintah-Nya.
Ketiga, manusia yang menampilkan sikap yang berbeda antara ucapan dan
perbuatannya berbeda (Munafiq). Dua manusia yang disebutkan itu adalah
manusia yang akan mendapatkan kerugian terutama di akhirat nanti.
 Mu’jizat Sayiduna Muhammad. Di dalam karya tulisnya ini KH. Abdullah Syafi’i
mengupas tentang Mu’jizat Nabi Muhammad SAW serta nabi nabi lainnya
sebagai perbandingan. Pada kesimpulannya, ia mengatakan bahwa Mu’jizat Nabi
Muhamad memiliki kelebihan dibanding mu’jizat nabi-nabi sebelumnya.
 Al-Dinu wa Al-Masjid. Karya ini membahas mengenai hubungan yang erat antara
agama dan tempat ibadah (masjid). Menjalin hubungan antara agama dan masjid
adalah merupakan hal yang amat penting dan orang yang memakmurkannya
akan mendapatkan kemakmuran dan pahala yang besar di sisi Allah.
 Madarij Al-Fiqh. Dalam bukunya ini, KH. Abdullah Syafi’i membahas mengenai
pengertian agama, pengertian Islam, iman dan rukun-rukunnya, termasuk
dibahas pula di dalamnya tentang najis dalam kaitannya dengan shalat, qunut
dan lainnya.

Dengan memerhatikan sebagian dari karyanya itu, dapat dikatakan bahwa KH.
Abdullah Syafi’i di samping menguasai materi ajaran agama Islam dengan luas dan
mendalam, juga menguasai bahasa Arab, baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini
menunjukkan keberhasilannya dalam mempelajari ilmu agama Islam yang ia
lakukan dengan sistem rihlah ilmiah, yaitu melakukan perjalanan pulang pergi untuk
menuntut ilmu pengetahuan.
Berdasarkan informasi dalam riwayat hidupnya, bahwa KH. Abdullah Syafi’i tidak
pernah bermukim di pondok pesantren sebagimana lazimnya para ulama. Yang ia
lakukannnya adalah berguru kepada sejumlah ulama di Jakarta dan sekitarnya
dengan pulang pergi dari rumahnya di Balimatraman. Cara tersebut ternyata cukup
efektif dan berhasil manakala dilakukan dengan penuh kesungguhan dan motivasi
yang tulus ikhlas kepada Allah.

Pada tanggal 3 September 1985, KH. Abdullah Syafi’i tutup usia. Karena demikian
besarnya peran dan jasa yang telah diberikannya, maka ketika ia wafat banyak sekali
ucapan belasungkawa dan komentar yang diberikan dari berbagai kalangan. Ia
mendapatkan ucapan belasungkawa dari Presiden Suharto. Sementara itu MUI
Pusat mengajak seluruh kaum muslimin untuk melakukan Shalat Ghaib.

KH. Abdullah Syafi’i dimakamkan di Perguruan Islam As- Syafi’iyah, Jatiwaringin,


Pondok Gede, Jakarta Timur.

Referensi:
– Wikipedia
– Darussalafie.org – KH. Abdullah Syafi’i (1910-1985)
– Suara-islam.com – Patut Dicontoh, Toleransi Khilafiyah antara Buya Hamka
dan KH Abdullah Syafiie.

Anda mungkin juga menyukai