Anda di halaman 1dari 11

Pengertian dan Konsep Demokrasi Pancasila

Demokrasi secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani “demos” yang berarti rakyat
dan “kratos/cratein” yang berarti pemerintahan. Khususnya di Athena, kata “demos” biasanya
merujuk pada seluruh rakyat tetapi kadangkala juga berarti orang-orang pada umumnya atau
hanya rakyat miskin, kata demokrasi pada mulanya kadangkala digunakan oleh kalangan
aristokrat sebagai sindiran untuk merendahkan orang-orang kebanyakan(Dahl,1998:11-12
dalam Yudi Latif,2011:395).
Dari pengertian mengenai demokrasi tersebut dapat ditarik bahwa substansi
demokrasi itu sendiri merupakan kekuasaan Yudikatif,Eksekutif dan Legislatif berasal dari
rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Substansi tersebut
membentuk struktur dalam demokrasi, yakni adanya infrastruktur dan suprastruktur yang
menhghasilkan keputusan dan kapabilitas.
Demokrasi merupakan pemusatan kekuasaan ditangan rakyat. Menurut Cholisin
demokrasi di Indonesia memegang prinsip Teo-Demokratis dimana segala keputusan dan
kebijakkan diatur sepenuhnya untuk kepentingan rakyat namun tidak melanggar peraturan
Tuhan. Inilah perbedaan mendasar dari demokrasi yang khas di Indonesia dibandingkan
dengan demokrasi di negara lainnya. Prinsip Teo-demokratis merupakan hasil demokrasi
yang mendasarkan Pancasila terutama sila pertama yakni Ketuhanan yang maha Esa.
Demokrasi bukan hanya suatu sistem yang ada dalam suatu pemerintahan, namun juga
suatu proses yang dilakukan untuk menuju kepada kesejahteraan rakyat dalam negara
tersebut. Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi yang khas dari bangsa Indonesia
sendiri merupakan hasil dari pendiri negara ini yang memiliki keinginan mulia untuk
melepaskan segala kesulitan masyarakat Indonesia. Proses menuju kesejahteraan tersebutlah
yang kadang dalam perjalanannya ada beberapa negara yang mampu melaksanakannya
dengan baik namun tidak jarang juga banyak negara yang tidak mampu untuk melakukannya.
Dengan adanya demokrasi ini, maka diharapkan akan terwujud pemerintahan yang
kuat mengingat karena pemerintahan ini diciptakan oleh rakyat itu sendiri. Pemerintahan
yang kuat bukaanlah pemerintahan yang diciptakan daalam bentuk pemerintahan otoriter
yang mampu mengarahkan kehendaknya kepada rakyat, namun pemerintahan yang kuat yang
didukung sepenuhnya oleh rakyat dan tidak ditumpangi oleh kebutuhan pihak lain.

alasan perlunya demokrasi yang bersumber dari pancasila

Jadi, bisa disimpulkan bahwa negara Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila karena asas-
asas Pancasila sangat berperan penting dalam aspek kehidupan masyarakat negara Indonesia. Yang
mana menjunjung tinggi nilai-nilai agama, rasa kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan.
Hal tersebut diyakini bisa menjadi suatu fondasi untuk mencapai kemakmuran suatu negara.
Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Demokrasi yang
Bersumber
dari Pancasila
Demokrasi Indonesia yang bersifat kolektivitas itu tidak dapat dilenyapkan
karena
sudah berurat berakar di dalam pergaulan hidup rakyat.
Setidak-tidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi
dalam
bangsa Indonesia. Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua,
ajaran
Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat serta
persaudaraan
antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik
perhatian
para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang
dibelanya
dan menjadi tujuannya.
1.
Sumber Nilai yang Berasal dari Demokrasi Desa
N-nilai demokrasi dalam taraf tertentu sudah berkembang dalam budaya Nusantara,
dan
dipraktikkan setidaknya dalam unit politik terkecil, seperti desa di Jawa, nagari di
Sumatra
Barat, dan banjar di Bali (Latif, 2011).
Pertama, paham kedaulatan rakyat sebenarnya sudah tumbuh sejak lama di
Nusantara. Di
alam Minangkabau, misalnya pada abad XIV sampai XV kekuasaan raja
dibatasi oleh
ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Ada istilah yang cukup tekenal pada
masa itu
bahwa “Rakyat ber-raja pada Penghulu, Penghulu berraja pada Mufakat, dan
Mufakat ber-
raja pada alur dan patut”. Dengan demikian, raja sejati di dalam kultur Minangkabau
ada
pada alur (logika) dan patut (keadilan).
Kedua, tradisi demokrasi asli Nusantara tetap bertahan sekalipun di bawah
kekuasaan
feodalisme raja-raja Nusantara karena di banyak tempat di Nusantara, tanah
sebagai faktor
produksi yang penting tidaklah dikuasai oleh raja, melainkan dimiliki
bersama oleh
masyarakat desa. Karena pemilikan bersama tanah desa ini, yang mendorong tradisi
gotong
royong dalam memanfaatkan tanah bersama. Adat hidup seperti itu
membawa kebiasaan
bermusyawarah menyangkut kepentingan umum yang diputuskan secara
mufakat (kata
sepakat).
Ada dua anasir lagi dari tradisi demokrasi desa yang asli nusantara,
yaitu hak untuk
mengadakan protes bersama terhadap peraturan-peraturan raja yang dirasakan
tidak adil, dan
hak rakyat untuk menyingkir dari daerah kekuasaan raja, apabila ia merasa tidak
senang lagi
hidup di sana. Selanjutnya Hatta menjelaskan: Kelima anasir demokrasi
asli itu: rapat,
mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkir dari
daerah
kekuasaan raja, dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang
kuat bagi
demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar pemerinahan Indonesia merdeka di
masa datang
(Latif, 2011).
2.
Sumber Nilai yang Berasal dari Islam
Nilai demokratis yang berasal dari Islam bersumber dari akar teologisnya.
Inti dari
keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid,
Monoteisme).
Dalam keyakinan ini, hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Sikap pasrah
kepada
Tuhan, yang memutlakkan Tuhan dan tidak pada sesuatu yang lain,
menghendaki tatanan
sosial terbuka, adil, dan demokratis (Madjid, 1992)
Kelanjutan logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan (kesederajatan)
manusia di
hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan
pemaksaan kehendak
antarsesama manusia. Seorang utusan Tuhan mendapat tugas hanya
untuk menyampaikan
kebenaran (tabligh) kepada umat manusia, bukan untuk memaksakan
kebenaran kepada
mereka. Dengan prinsip persamaan manusia di hadapan Tuhan itu, tiap-
tiap manusia
dimuliakan kehidupan, kehormatan, hak-hak, dan kebebasannya yang
dengan kebebasan
pribadinya itu manusia menjadi makhluk moral yang harus bertanggung jawab atas
pilihan-
pilihannya. Dengan prinsip persamaan, manusia juga didorong menjadi makhluk
sosial yang
menjalin kerjasama dan persaudaraan untuk mengatasi kesenjangan dan
meningkatkan mutu
kehidupan bersama (Latif, 2011).
Sejarah nilai-nilai demokratis sebagai pancaran prinsip-prisip Tauhid itu
dicontohkan
oleh Nabi Muhammad S.A.W. sejak awal pertumbuhan komunitas politik Islam di
Madinah,
dengan mengembangkan cetakan dasar apa yang kemudian dikenal sebagai
bangsa (nation).
Negara-kota Madinah yang dibangun Nabi adalah sebuah entitas politik berdasarkan
konsepsi
Negara-bangsa (nation-state), yaitu Negara untuk seluruh umat atau
warganegara, demi
maslahat bersama (common good). Sebagaimana termaktub dalam Piagam
Madinah,
“negara-bangsa” didirikan atas dasar penyatuan seluruh kekuatan masyarakat
menjadi bangsa
yang satu (ummatan wahidah) tanpa membeda-bedakan kelompok
keagamaan yang ada.
Robert N. Bellah menyebutkan bahwa contoh awal nasionalisme modern
mewujud dalam
sistem masyarakat Madinah masa Nabi dan para khalifah. Robert N.
Bellah mengatakan
bahwa sistem yang dibangun Nabi itu adalah “a better model for modern national
community
building than might be imagined” (suatu contoh bangunan komunitas nasional
modern yang
lebih baik dari yang dapat dibayangkan). Komunitas ini disebut modern
karena adanya
keterbukaan bagi partisipasi seluruh anggota masyarakat dan karena adanya
kesediaan para
pemimpin untuk menerima penilaian berdasarkan kemampuan. Lebih jauh,
Bellah juga
menyebut sistem Madinah sebagai bentuk nasionalisme yang egaliter partisipatif
(egalitarian
participant nationalism). Hal ini berbeda dengan sistem republik negara-kota Yunani
Kuno,
yang membuka partisipasi hanya kepada kaum lelaki merdeka, yang
hanya meliputi lima
persen dari penduduk (Latif, 2011).
Stimulus Islam membawa transformasi Nusantara dari sistem kemasyarakatan
feodalistis
berbasis kasta menuju sistem kemasyarakatan yang lebih egaliter. Sebelum
kedatangan Islam,
dalam dunia Melayu berkembang peribahasa, “Melayu pantang
membantah”. Melalui
pengaruh Islam, peribahasa itu berubah menjadi “Raja adil, raja disembah; raja
zalim, raja
disanggah”. Nilai-nilai egalitarianisme Islam ini pula yang mendorong
perlawanan kaum
pribumi terhadap sistem “kasta” baru yang dipaksakan oleh kekuatan kolonial
(Wertheim,
1956).
3.
Sumber Nilai yang Berasal dari Barat
Masyarakat Barat (Eropa) mempunyai akar demokrasi yang panjang. Pusat
pertumbuhan
demokrasi terpenting di Yunani adalah kota Athena, yang sering dirujuk
sebagai contoh
pelaksanaan demokrasi patisipatif dalam negara-kota sekitar abad ke-5
SM. Selanjutnya
muncul pula praktik pemerintahan sejenis di Romawi, tepatnya di kota Roma (Italia),
yakni
sistem pemerintahan republik. Model pemerintahan demokratis model Athena dan
Roma ini
kemudian menyebar ke kotakota lain sekitarnya, seperti Florence dan
Venice. Model
demokrasi ini mengalami kemunduran sejak kejatuhan Imperium Romawi sekitar
abad ke-5
M, bangkit sebentar di beberapa kota di Italia sekitar abad ke-11 M kemudian lenyap
pada
akhir “zaman pertengahan” Eropa. Setidaknya sejak petengahan 1300 M, karena
kemunduran
ekonomi, korupsi dan peperangan, pemerintahan demokratis di Eropa digantikan
oleh sistem
pemerintahan otoriter (Dahl, 1992).
Pemikiran-pemikiran humanisme dan demokrasi mulai bangkit lagi di
Eropa pada
masa Renaissance (sekitar abad ke-14 – 17 M), setelah memperoleh stimuls baru,
antara lain,
dari peradaban Islam. Tonggak penting dari era Renaissance yang mendorong
kebangkitan
kembali demokrasi di Eropa adalah gerakan Reformasi Protestan sejak
1517 hingga
tercapainya kesepakatan Whestphalia pada 1648, yang meletakan prinsip co-
existence dalam
hubungan agama dan Negara—yang membuka jalan bagi kebangkitan
Negara-bangsa
(nation-state) dan tatanan kehidupan politik yang lebih demokratis.
Kehadiran kolonialisme Eropa, khususnya Belanda, di Indonesia, membawa dua sisi
dari koin peradaban Barat: sisi represi imperialisme-kapitalisme dan sisi
humanisme-
demokratis. Penindasan politik dan penghisapan ekonomi oleh imperialisme dan
kapitalisme,
yang tidak jarang bekerjasama dengan kekuatankekuatan feodal bumi putera,
menumbuhkan
sikap anti-penindasan, anti-penjajahan, dan anti-feodalisme di kalangan
para perintis
kemerdekaan bangsa. Dalam melakukan perlawanan terhadap represi
politik-ekonomi
kolonial itu, mereka juga mendapatkan stimulus dari gagasan-gagasan
humanisme-
demokratis Eropa (Latif, 2011).
Penyebaran nilai-nilai humanisme-demokratis itu menemukan ruang
aktualisasinya
dalam kemunculan ruang publik modern di Indonesia sejak akhir abad ke-19. Ruang
publik
ini berkembang di sekitar institusi-institusi pendidikan modern, kapitalisme
percetakan, klub-
klub sosial bergaya Eropa, kemunculan bebagai gerakan sosial (seperti
Boedi Oetomo,
Syarekat Islam dan lan-lain) yang berujung pada pendrian partai-partai politik (sejak
1920-
an), dan kehadiran Dewan Rakyat (Volksraad) sejak 1918.
Sumber inspirasi dari anasir demokrasi desa, ajaran Islam, dan sosiodemokrasi
Barat,
memberikan landasan persatuan dari keragaman. Segala keragaman
ideologi-politik yang
dikembangkan, yang bercorak keagamaan maupun sekuler, semuanya
memiliki titik-temu
dalam gagasan-gagasan demokrasi sosialistik (kekeluargaan), dan secara
umum menolak
individualisme.
Dalam kurun sejarah Indonesia merdeka sampai sekarang ini, ternyata pelaksanaan
demokrasi mengalami dinamikanya. Budiardjo (2008) menyatakan bahwa
dari sudut
perkembangan sejarah demokrasi Indonesia sampai masa Orde Baru
dapat dibagi dalam
empatmasa, yaitu :
a. Masa Republik Indonesia I (1945-1959) yang dinamakan masa
demokrasi
konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-partai, karena itu
dinamakan
Demokrasi Parlementer,
b. Masa Republik Indonesia II (1959-1965) yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang
banyak penyimpangan dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan
landasan
dan penunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat. 166 PKn MKWU 2014
c. Masa Republik Indonesia III (1965-1998) yaitu masa demokrasi
Pancasila.
Demokrasi ini merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem
presidensiil.
d. Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) yaitu masa reformasi
yang
menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap
praktikpraktik
politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III
Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pendidikan
Pancasila
1. Dinamika Pendidikan Pancasila

Sebagaimana diketahui upaya pembudayaan atau pewarisan nilai-


nilai Pancasila tersebut telah secara konsisten dilakukan sejak awal
kemerdekaam sampai dengan sekarang. Pada masa kemerdekaan,
nilai-nilai pancasila dilakukan dalam bentuk pidato-pidato para tokoh
bangsa dalam rapat-rapat yang disiarkan melalui radio dan surat
kabar. Pada tanggal 1 Juli 1947, diterbitkan sebuah buku yang berisi
pidato Bung Karno tentang lahirnya Pancasila. Buku tersebut
diterbitkan dengan maksud membentuk manusia Indonesia baru yang
patriotik melalui pendidikan. Pada tahun 1961 terbit pula buku yang
berjudul penetapan Tujuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi. Buku
tersebut ditujukan kepada masyarakat umum dan aparatur Negara.

Sejak lahirnya ketetapan MPR RI Nomor 11 / MPR / 1978, tentang


Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P-4), P-4 tersebut
kemudian menjadi salah satu sumber pokok materi pendidikan
Pancasila. Diperkuat dengan Tap MPR RI Nomor 11/ MPR/ 1988
tentang GBHN. Dirjen Dikti, dalam rangka menyempurnakan
kurikulum inti Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) menerbitkan Sk,
Nomor 25/ DIKTI / KEP/ 1985. Dampak dari beberapa kebijakan
pemerintah tentang pelaksanaan penataran P-4, terdapat beberapa
perguruan tinggi terutama perguruan tinggi swasta yang tidak mampu
menyelenggarakan penataran P-4 pola 100 jam sehingga tetap
menyelenggarakan mata kuliah pendidikan pancasila tanpa penataran
P-4 pola 45 jam. Dirjen Dikti mengeluarkan kebijakan yang
memperkokoh keberadaan dan menyempurnakan penyelenggaraan
mata kuliah pendidikan pancasila, yaitu :
1. Sk Dirjen Dikti, Nomor 232/ U/ 2000, tentang Pedoman
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi.
2. Sk Dirjen Dikti, Nomor 265/ Dikti/ 2000, tentang
Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian (MKPK).
3. Sk Dirjen Dikti, Nomor 38/ Dikti/ kep/ 2002, tentang Rambu-
rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun
2003, kembali mengurangi langkah pembudayaan Pancasila melalui
pendidikan. Dalam rangka membudayakan nilai-nilai Pancasila
kepada generasi penerus bangsa. Penguat keberadaan mata kuliah
Pancasila di perguruan tinggi ditegaskan dalam Pasal 35, Pasal 2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012.
1. Pasal 2, menyebutkan bahwa pendidikan tinggi berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika.
2. Pasal 35 Ayat (3) menentukan bahwa kurikulum pendidikan tinggi
wajib memuat mata kuliah agama, pancasila, kewarganegaraan,
dan bahasa Indonesia.
3. Tantangan Pendidikan Pancasila

Tantangan ialah menentukan bentuk dan format agar mata kuliah


Pendidikan Pancasila dapat diselenggarakan diberbagai program studi
dengan menarik dan efektif. Tantangan ini berasal dari perguruan
tinggi, misalnya factor ketersediaan sumber daya. Adapun tantangan
yang bersifat eksternal, untuk memahami dinamika dan tantangan
Pancasila pada era globalisasi. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi
Pendidikan Pancasila untuk Masa Depan.

Dirjen Dikti mengembangkan esensi materi pendidikan Pancasila


yang meliputi :
1. Pengantar perkuliahan pendidikan Pancasila
2. Pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia
3. Pancasila sebagai dasar Negara
4. Pancasila sebagai Ideologi Negara
5. Pancasila sebagai sistem Filsafat
6. Pancasila sebagai sistem etika
7. Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu.

Pendekatan pembelajaran dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila


adalah pendekatan pembelajaran yang berpusat kepada mahasiswa
untuk mengetahui dan memahami nilai-nilai Pancasial, filsafat
Negara, dan ideologi-ideologi bangsa. Agar mahasiswa menjadi jiwa
pancasila daam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu,
urgensi pendidikan Pancasila adalah untuk membentengi dan
menjawab tantangan perubahan-perubahan dimasa yang akan
datang.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 tahun 2003,


pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
pendidikan merupakan alternatif terbaik dalam melakuakn sosial
secara damai. Setiap warga Negara sesuai dengan kemampuan dan
tingkat pendidikannya memiliki pengetahuan, pemahaman,
penghayatan, penghargaan, dan pola pengamalan Pancasila. Contoh
urgensi pendidikan Pancasila bagi suatu program studi, misalnya yang
terkait dengan tugas menyusun atau membentuk peraturan
perundang-undangan. Orang yang bertugas untuk melaksanakan hal
tersebut, harus mempunyai pengetahuam, pengertian, pemahaman,
penghayatan dan pola pengalaman yang lebih baik daripada warga
Negara yang lain karena merekalah yang menentukan kebujakan
untuk negaranya. Begitu pula dengan mahasiswa yang lulusan prodi
perpajakan dituntut memiliki berkomitmen dan bertujuan agar dapat
memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan
tempat kerja secara baik dan benar.

Demikian bahwa keberadaan pendidikan Pancasila merupakan suatu


program studi di perguruan tinggi. Oleh karena itu, menjadi
keharusan Pancasila disebarluaskan secara benar, antara lain melalui
mata kuliah di perguruan tinggi. Karena mahasiswa sebagai bentuk
perubahan muda dimasa depan yang akan menjadi pembangunan dan
pemimpin bangsa dalam setiap tingkatan lembaga-lembaga di Negara,
lembaga daerah dan sebagainya. Dengan demikian, pemahaman nilai-
nilai Pancasila dikalangan mahasiswa amat penting, yang berprofesi
sebagai pengusaha, pegawai swasta,pegawai pemerintah, dan
sebagainya. Semua masyarakat mempunyai peran penting terhadap
kejayaan bangsa di masa depan.
Esensi Demokrasi Pancasila
Esensi merupakan pokok atau intisari, jadi esensi Pancasila merupakan intisari yang
terkandung dari sila-sila Pancasila itu sendiri. Artinya nilai-nilai dan segala sesuatu yang
terkandung dalam Pancasila itu sendiri menjadi cita-cita Bangsa Indonesia. Nilai - nilai yang
terkandung didalamnya merupakan nilai – nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan. Cita – cita yang dimaksud adalah cita-cita yang bersifat tetap, yang
harus dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetap itu sekaligus merupakan dasar,
pandangan atau paham. Sedangkan Esensi demokrasi adalah partisipasi publik dalam
menentukan pejabat-pejabat dalam pembuatan kebijakan publik. Dalam pandangan
roseau,demokrasi tanpa partisipasi langsung oleh rakyat merupakan bentuk pengingkaran
terhadap demokrasi itu sendiri, asumsi ini lah yang mendasari bahwa pemilihan para pejabat
politik secara langsung lebih demokratis dibandigkan dengan perwakilan. Kualitas sistem
demokratis ikut di tentukan oleh kualitas proses seleksi para pemimpin pemerintahan, oleh
karena itu, pemilihan kepala negara atau wakil rakyat perlu dilakukan secara
langsung menjadi salah satu alternatif yang bisa di pilih dalam menigkatkan legitimasi
pemerintahan Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Esensi demokrasi Pancasila
adalah suatu pelaksanaan sistem pemerintahan yang sesuai dengan butir butir pancasila,
seperti :
1. "Ketuhanan yang Maha Esa "
Maksudnya bahwa Wakil rakyat ini harus taat kepada Tuhan yang Maha Esa, tanpa
harus mempersoalkan penyebutan nama, Gusti, Karaeng, God, Allah, Yahwe, atau penamaan
yang lain, karena meskipun berbeda dalam penyebutannya tetapi Tuhan tetap satu atau Esa.
Dengan kata lain pemimpin pemerintahan di Indonesia harus seseorang yang memiliki
kepercayaan atau agama. Sehingga dapat mempergunakan kekuasaannya dengan arif dan
bijaksana.
2. "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”
Kemanusian yang dimaksud adalah Pancasila sangat menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia. Adil artinya, dalam hukum tidak memandang
agama maupun golongan, sedangkan Beradab artinya, mempunyai tatakrama dan sopan
santun, lawanya adalah biadab, perbuatan yang tidak mengenal tatakrama, hukum positif, pri
kemanusian dan hati nurani. Sehingga pemerintah nantinya diharapkan mampu bersikap
santun dan adil.
3. "Persatuan Indonesia"
Pancasila merupakan alat pemersatu Bangsa Indonesia karena walaupun Bangsa ini
beraneka ragam etnis, bahasa, budaya, agama, atau apapun juga, namun bukan berarti kita
boleh berpecah belah. Tidak boleh ada sekelompok orang yang ingin memecah belah Bangsa
ini hanya demi memenuhi nafsu politiknya yang sesaat. Jik ada permasalahan antar etinis,
suku, agama, dll essensi butir-butir Pancasila menjadi penengah dan pemersatu segala
perbedaan dan permsalahan Bangsa Indonesia. Dalam hal ini pemerintah diharapkan mampu
untuk menyatukan dan mempertahankan NKRI.
4. "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan" Kalimat " kerakyatan yang dipimpin"
Menandakan bahwa rakyat punya pemimpin bukan mejadi Tuhan, sedangkan dalam
demokrasi ala barat, suara rakyat adalah suara tuhan. Rakyat tetap harus di pimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha Esa, rakyat di berikan hak di dalam
permusyawaratan perwakilan atau bermusyawarah dalam berbagai urusan jadi untuk
beberapa permasalahan yang ada dapat diatasi dengan bermusyarah mufakat.
5. "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia"
Sila ini adalah tujuan dari keempat sila sebelumnya, Adil berarti tidak boleh ada warga
Bangsa yang terzalimi, walau orang mampu dan miskin akan tetap ada tetapi hak-hak
dasarnya harus terjamin dan dipenuhi, yakni kebutuhan akan sandang, pangan dan papan.
Dan ini berlaku bagi semua suku tanpa harus melihat suku,bahasa,adat istiadat,agama dan
sebagainya.

2.1.3 Urgensi Demokrasi Pancasila


Urgensi merupakan pentingnya Demokrasi Pancasila sebagai sistem pemerintahan
Indonesia. Pancasila sebagai keseluruhan padangan, cita-cita, nilai dan keyakinan yang ingin
mereka wujudkan dalam kenyataan hidup yang nyata. Pentingya Demokrasi Pancasila
sebagai sistem pemerintahan Indonesia bisa dilihat dari fungsi Pancasila itu sendiri. Fungsi
Pancasila sebagai Sistem pemerintahan Negara Indonesia adalah sebagai sarana pemersatu
masyarakat, sehingga dijadikan prosedur konflik, dapat kita telusuri dari gagasan para
pendiri Negara Indonesia tentang pentingnya mencari nilai-nilai bersama yang dapat
mempersatukan berbagai golongan masyarakat di Indonesia. Pentingnya pancasila sebagai
sistem pemerintahan Indonesia, dikarenakan sistem Demokrasi pancasila memiliki perinsip:
1) Kebebasan atau persamaan (Freedom/Equality).
Kebebasan/persamaan adalah dasar demokrasi. Kebebasan dianggap sebagai sarana
mencapai kemajuan dan memberikan hasil maksimal dari usaha orang tanpa pembatasan dari
penguasa. Dengan prinsip persamaan semua orang dianggap sama, tanpa dibeda-bedakan dan
memperoleh akses dan kesempatan bersama untuk mengembangkan diri sesuai dengan
potensinya. Kebebasan yang dikandung dalam demokrasi Pancasila ini tidak berarti Free
Fight Liberalism yang tumbuh di Barat, tapi kebebasan yang tidak mengganggu hak dan
kebebasan orang lain.
2) Kedaulatan Rakyat (people’s Sovereignty).
Dengan konsep kedaulatan rakyat, hakikat kebijakan yang dibuat adalah kehendak rakyat dan
untuk kepentingan rakyat. Mekanisme semacam ini akan mencapai dua hal; yaitu,
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan sangatlah kecil, dan kepentingan rakyat
dalam tugas-tugas pemerintahan lebih terjamin. Perwujudan lain dari konsep kedaulatan
adalah adanya pengawasan oleh rakyat. Pengawasan dilakukan karena demokrasi tidak
mempercayai kebaikan hati penguasa.
3) Pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab yang memiliki prinsip-prinsip
a) Dewan Perwakilan Rakyat yang representatif.
b) Badan kehakiman/peradilan yang bebas dan merdeka.
c) Pers yang bebas,
d) Prinsip Negara hukum,
e) Sistem dwi partai atau multi partai.
f) Pemilihan umum yang demokratis.
g) Prinsip mayoritas.
h) Jaminan akan hak-hak dasar dan hak-hak minoritas.

Anda mungkin juga menyukai