Anda di halaman 1dari 12

PARADIGMA DEGROWTH

Suatu jalan menuju ketahanan lingkungan berbasis komunitas self-reliance

“ do not to make an elephant leaner, but to turn an elephant into a snail.”

Pengantar
Ekologi sebagai pokok bahasan dapat dikaitkan dengan apa saja dan siapa saja. Pun pula bahasan
tentang ekologi, entah itu krisisnya, entah itu perlindungannya maupun ketahanannya, dapat
diulas begitu luas. Berbicara tentang ekologi juga bisa dipandang dari berbagai sudut. Maka,
pernah satu definisi ekologi diungkapkan oleh Leonardo Boff demikian: “Ekologi pada dasarnya
merupakan satu ilmu tentang relasi, interkoneksi, interdependesi, pertukaran dari semua dengan
semua, pada segala sudut dan segala saat.”(1997: 3). Pada kesempatan ini, tulisan ini
menawarkan pendekatan paradigma degrotwh. Paradigma ini mulai muncul pada tahun 1970-
an. Berkembang sebagai suatu gerakan ekologis pada tahun 2000-an. Berlanjut menjadi salah
satu cabang ilmu pada 2008. Menjadi suatu gerakan sosial yang memperjuangkan ketahanan
lingkungan dan kesadaran ekologis dari 2009 hingga sekarang. Seperti dinyatakan oleh Schneider
dkk. (2010): “…degrowth is not only a scientific project but part of a broader social movement.”
(517). Apa itu paradigma degrowth dan bagaimana menerapkannya?

Terminologi degrowth
Pada tahun 1970-an hingga menjelang tahun 2000-an, bahkan mungkin sampai saat ini, manusia
sangat menyadari adanya krisis lingkungan hidup seperti perubahan iklim, degradasi ekologi,
punahnya sejumlah spesies, polusi, dan lain sebagainya. Pada umumnya eksplotasi alam
dianggap dikarenakan dua hal: (1) manusia terus mengeruk sumber-sumber alam yang terbatas
untuk digunakan dalam memajukan ekonomi atau kesejahteraan masyarakat yang tanpa batas;
(2) manusia terus meningkatkan produksi dan konsumsi tanpa batas namun memaksa bumi
untuk menyerap berbagai sampah yang bersifat polutan.
Di tengah diskusi yang panjang tentang bagaimana mengurangi eksplotasi alam dan mengatasi
krisis ekologi, lahirlah suatu paradigma yang bersumber dari: perhatian pada keberlangsungan
ekologi dan keseimbangan ekosistem, kritik terhadap pembangunan (kapitalisme) yang

1
mengorbankan alam, mengikuti aliran anti-utilitarianisme, menawarkan pandangan alternatif
tentang makna hidup dan kesejahteraan, integrasi ekonomi dan industri ke dalam ekologi,
memakai jalur demokrasi dalam diskusi dan kritik terhadap logika kemajuan ekonomi, serta
memperjuangkan keadilan redistributif (Demaria dkk. 2013: 196-201). Paradigma yang berasal
dari berbagai sumber tersebut kemudian dinamai degrowth. Oleh Schenider dkk.(2010) juga
kemudian Demaria dkk. (2013) dan D’Alisa dkk. (2014) serta Kallis dkk. (2015), kata degrowth
disebut berasal dari terjemahan kata décroissance (bahasa Perancis), yang dapat dimengerti
sebagai reduksi, penurunan atau pengurangan.
Menurut Kallis dkk. (2015), fase pertama degrowth terkait dengan krisis minyak dan resesi
ekonomi di Eropa sekitar tahun 1970-an. Sedangkan fase kedua terjadi pada akhir 1990-an hingga
awal 2000-an di mana degrowth dikenal sebagai kritik terhadap gagasan 'pembangunan ekonomi
berkelanjutan' (24). Pada tahun 2001 di Prancis, degrowth dianggap sebagai “sebuah kata yang
siap meledak untuk menantang keyakinan akan pembangunan ekonomi” (Demaria dkk.
2013:195). Saat itu, gagasan 'smaller can be beautiful' seperti simbol gerakan aktivis degrowth
(D'Alisa dkk. 2014). Dari tahun 2002 di Lyon, 2004 di Italia, dan 2006 di Spanyol, ada beberapa
gerakan substansial (juga konferensi) untuk menyebarkan gagasan degrowth hingga pada 2007
di Prancis di mana Schneider mendirikan secara kolektif sebuah akademi Research & Degrowth
(Kallis dkk. 2015: 24). Seperti yang dicatat oleh Weiss dan Cattaneo (2017) bahwa “munculnya
wacana akademik yang lebih besar dari paradigma degrowth terjadi pada tahun 2007 di Prancis”
(224). Pada bulan April 2008 di negara yang sama, Perancis, istilah degrowth menjadi istilah
‘resmi’ akademis interdisipliner dan internasional (Demaria dkk. 2013: 195; Kallis dkk. 2015: 24).
Namun, untuk menegaskan aspek kritisnya dan lahir sebagai paradigma yang berlawanan dengan
logika pembangunan ekonomi (growth), Latouche (2010) lebih suka menerjemahkan
décroissance sebagai decrease (menurun) sehingga menjadi jelas sebagai kebalikan dari homo
economicus, manusia uni-dimentional yang selalu menghendaki kemajuan (520). Dengan
pemikiran yang sama, van den Bergh (2011) mengusulkan untuk menggunakan istilah a-growth
sebagai kebalikan atau lawan dari pembangunan ekonomi (growth) sama seperti teisme lalu
muncul ateism (886). Tetapi, pada akhirnya degrowthers setuju untuk mendefinisikan degrowth
sebagai “penurunan produksi dan konsumsi yang merata, yang meningkatkan kesejahteraan
manusia dan meningkatkan kondisi-kondisi ekologis di tingkat lokal dan global, dalam jangka
pendek dan panjang.” (Schneider dkk. 2010: 512). Dalam artikel yang berbeda, degrowth
diartikan sebagai suatu proses kolektif dan bebas menuju penurunan yang adil atas segala bentuk
produksi dan konsumsi, peran pasar dan pertukaran barang, sebagai prinsip sentral yang
mengorganisasi kehidupan manusia (Sekulova dkk. 2012:1).
Kemudian, konsep degrowth dipublikasikan dalam bentuk seruan "jangan hanya membuat gajah
lebih kurus, tetapi mengubah gajah menjadi keong." (D’Alisa dkk. 2014). Tetapi, para pendukung
degrowth melanjutkannya dengan menyatakan “our emphasis importantly is on different, not
only less.” (yang kami tekankan bukan hanya ‘kurang’ tapi pada ‘berbeda’ (D’Alisa dkk. 2014).
Unsur pembeda yang dimaksud adalah paradigma degrowth mendorong lahirnya kegiatan yang
berbeda, bentuk dan penggunaan energi yang berbeda, relasi yang berbeda, peran gender yang
berbeda, alokasi waktu yang berbeda antara pekerjaan yang dibayar dan yang tidak dibayar,
hubungan yang berbeda dengan dunia non-manusia (D’Alisa dkk. 2014, Kallis dkk. 2015). Pada
kesimpulan akhir, degrowhters berpendapat bahwa “kemajuan (kesejahteraan) manusia tanpa
2
pembangunan (melulu) ekonomi adalah mungkin” dan “degrowth ditawarkan sebagai pilihan
sosial” (Schneider dkk. 2010: 512). Jadi, terminologi degrowth sebagai paradigma digunakan
untuk melawan dan mengkritik konsep pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi
kapitalistik atau industrialisasi (growth).

Pionir degrowth
Hari Lingkungan Hidup Sedunia diperingati setiap 6 Juni. Peringatan ini ditetapkan pertama
kalinya oleh Konferensi PBB yang diadakan di Stockholm (Swedia) pada 1972. Pada waktu itu
Konferensi berbicara tentang lingkungan manusia. Penetapan Hari Lingkungan Hidup tak lain
bertujuan untuk membangun terus-menerus kesadaran global akan pentingnya penyelamatan
ekologi bagi masa depan bumi. Pada masa itu, Konferensi tersebut menggagaskan suatu iklim
kesadaran ekologis dan mendorong upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup. Iklim yang
demikian melahirkan sejumlah agenda yang kemudian disebut dengan istilah Sustainability
Development (Pembangunan Berkelanjutan) pada 1992 dan Green Economy pada 2012 (Kothari
et al. 2014). Dengan terciptanya iklim kesadaran ekologis yang demikian, sejumlah tokoh
intelektual terdorong untuk mendiskusikan krisis energi, krisis sumber daya alam, degradasi
lingkungan, polusi, dan lain sebagainya. Di tengah-tengah diskusi yang panjang inilah tercetus
gagasan degrowth. Atau dalam bahasanya Schneider dkk. (2010), degrowth muncul sebagai
jawaban terhadap triple krisis, yaitu: krisis lingkungan, krisis sosial, dan krisis ekonomi (511).

Lebih lanjut, Schneider dkk. (2010) menyebut ada sejumlah sumber yang mendorong
terbentuknya degrowth sebagai paradigma berpikir dan gerakan sosial, entah itu dari sudut
antropologi sosial budaya, unsur politik dan demokrasi, gerakan ekologis membela ekosistem,
elemen spiritualitas maupun simplisitas, termasuk muatan bio-ekonomi dan ekonomi ekologis
(511-512). Beberapa di antara sejumlah elemen yang turut membentuk degrowth adalah sebagai
berikut.

1. The Limit to Growth


Kesadaran ekologis sebenarnya telah dimulai oleh sejumlah tokoh intelektual yang berkumpul di
Roma pada April 1968, yang kemudian dikenal sebagai The Club of Rome. Meadows et al. (1972)
kemudian membuatkan laporan hasil pertemuan tersebut dengan judul The Limits To Growth.
Mereka menyebut sejumlah “world problematique” seperti pertumbuhan industri, kemiskinan,
pertambahan populasi, degradasi lingkungan, krisis moneter, menipisnya sumber daya alam (10).
Lebih lanjut, mereka menyebutkan tiga kesimpulan: (1) penurunan populasi dan kapasitas
industri akan terjadi apabila laju pertumbuhan penduduk, industri, polusi, produksi makanan,
menipisnya sumber daya alam tidak berubah hingga melampaui jumlah yang dapat diterima oleh
bumi; (2) manusia mengubah tendensi laju pertumbuhan tersebut dan menciptakan kondisi
ekologi dan ekonomi yang stabil sehingga dapat berkelanjutan ke masa depan; (3) apabila
manusia memilih keputusan mengubah laju pertumbuhan daripada membiarkannya, maka
kemungkinan berhasil lebih besar (23-24). Melalui kesimpulan yang demikian, The Club of Rome
nampaknya mendorong adanya kontrol baik terhadap pertumbuhan industri maupun
pertambahan penduduk sehingga ketahanan sumber daya alam yang terbatas dapat terjaga.
Kontrol yang dimaksud tak lain adalah upaya-upaya menurunkan produksi industri dan juga
menurunkan tingkat kelahiran anak. Dengan menurunkan produksi maka eksploitasi cadangan
sumber daya alam yang semakin menipis bisa dihindari. Demikian juga jika angka kelahiran
menurun maka komsumsi akan menurun pula. Apabila produksi dan konsumsi menurun niscaya
sampah-sampah produksi maupun konsumsi semakin berkurang.

3
2. Conviviality
Kesadaran ekologis yang lebih ekstrim diajukan oleh seorang filsuf berkebangsaan Austria, Ivan
Illich. Pada tahun 1971, melalui karyanya berjudul Deschooling Society Illich menuduh sistem
ekonomi berbasis industri (industrialisasi) modern tak lain hanya bertujuan untuk memodernisasi
kemiskinan dengan cara mendirikan dan merasuki institusi-institusi sosial (sekolah, birokrasi)
dengan kepentingan-kepentingan kapitalis, misalnya memaksa para siswa untuk memilih salah
satu spesialisasi dan profesionalitas sesuai dengan kebutuhan industri. Dalam pandangan Illich:
“Once basic needs have been translated by a society into demands for scientifically produced
commodities, poverty is defined by standards which the technocrats can change at will. Poverty
then refers to those who have fallen behind an advertised ideal of consumption in some important
respect. ”(3). Bagi Illich, industrialisasi yang mesti ditopang oleh institusionalisasi dengan tujuan
mengatasi kemiskinan sesungguhnya tidak benar. Sebab, sistem tersebut justru melahirkan
ketidakadilan di mana hanya orang kaya yang dapat mengakses pendidikan sedangkan yang
miskin menjadi tidak berdaya (powerless).

Untuk keluar dari monopoli sistem kapitalis, Illich tidak hanya mengajukan keluar dari sistem
pendidikan formal dan melakukan pendidikan berbasis kebebasan si subyek pendidikan,
melainkan juga menggagaskan model bersmasyarakat convivial dalam bukunya berjudul Tools of
Conviviality (1973). Illich (1973) mendorong agar masyarakat jangan dikunci pada “a man-made
shell” (5), tetapi dibebaskan pada “a man-made environtment” (6). Manusia atau masyarakat
mestinya dibentuk oleh lingkungan hidup dan bukan dibentuk oleh sel atau cangkang (buatan
industri). Yang disebut “a man-made environment” inilah yang dinamakan Illich sebagai convivial
di mana terdapat korelasi yang seimbang antara manusia, alat-alat, dan kolektivitas. Lengkapnya,
Illich menyatakan demikian:

I choose the term “conviviality” to designate the opposite of industrial productivity. I intend it to
mean autonomous and creative intercourse among persons, and the intercourse of persons with
their environment; and this in contrast with the conditioned response of persons to the demands
made upon them by others, and by a man-made environment. I consider conviviality to be
individual freedom realized in personal interdependence and, as such, an intrinsic ethical value. I
believe that, in any society, as conviviality is reduced below a certain level, no amount of industrial
productivity can effectively satisfy the needs it creates among society’s members. (Illich, 1973:
17-18).

Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud Illich dengan komunitas convivial adalah
masyarakat yang membentuk sendiri komunitas dengan memproduksi sendiri apa yang mereka
perlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan didalamnya dijamin kebebasan setiap
individu. Tujuannya adalah melawan dependensi terhadap produksi industri sekaligus melawan
sistem ekonomi kapitalisme.

3. Décroissance
Pada tahun 1972, seorang ahli ekonomi berkebangsaan Perancis bernama André Gorz
melontarkan secara serius pertanyaan ini: “Is the earth’s balance, for which no-growth – or even
degrowth - of material production is a necessary condition, compatible with the survival of the
capitalist system?” (Gorz, 1972: iv dalam Kallis et al. 2015). Pertanyaan inilah diyakini sebagai
pionir kata degrowth sebagai sebuah paradigma (D’Alisa dkk. 2014, Kallis dkk. 2015). Kata
degrowth sendiri merupakan terjemahan dari satu kata Perancis ‘décroissance’. Secara
4
sederhana, degrowth berarti reduction (Demaria dkk. 2013). “Reduction” tak lain adalah
penurunan atau pengurangan. Dalam bukunya berjudul Ecology As Politics (1980), Gorz sendiri
mengakui bahwa istilah décroissance (bahasa Perancis) atau degrowth (bahasa Inggris) berasal
dari gagasan zero growth yang sedang dikembangkan oleh seorang ekonom bernama Nicolas
Georgescu-Roegen (13). Uraian Gorz tentang paradigma degrowth, sebagaimana juga dikutip
oleh Kallis et al. (2015), adalah sebagai berikut:

But the idea that growth reduces inequality is a faulty one—statistics show that, on the contrary,
the reverse is true. It may be objected that these statistics apply only to capitalist countries and
that socialism would produce greater social justice; but why then should it be necessary to produce
more things? Would it not be more rational to improve the conditions and the quality of life by
making more efficient use of available resources, by producing different things differently, by
eliminating waste, and by refusing to produce socially those goods which are so expensive that
they can never be available to all, or which are so cumbersome or polluting that their costs
outweigh their benefits as soon as they become accessible to the majority? (Gorz, 1980: 13-14).

Sasaran kritik Gorz adalah keyakinan bahwa kemajuan ekonomi akan mengikis ketidakadilan dan
agenda pembangunan ekonomi merupakan jalan untuk meraih kesejahteraan. Menurutnya,
pandangan tersebut tidak bisa diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, lontaran pertanyaan
dan kritik Gorz terhadap sistem ekonomi kapitalis diakomodasi oleh degrowthers (para pembela
degrowth) dengan mengatakan: “…degrowth signifies, first and foremost, as a critique of the
growth economy.” (Kallis dkk. 2015). Jadi, dalam paradgima degrowth, sistem ekonomi
kapitalisme dianggap gagal membawa manusia kepada kemakmuran di satu pihak dan
lingkungan hidup terus-menerus dikorbankan demi mempertahankan sistem ekonomi
kapitalisme di lain pihak. Sementara itu, kemiskinan dan ketidakadilan sosial tetap tidak bisa
diatasi. Dengan kata lain, manusia (negara) mesti menemukan cara bagaimana mencapai
keadilan dan kesejahteraan tanpa harus mengorbankan lingkungan hidup.

4. Ecological economics
Dalam literatur tentang degrowth, Nicolas Georgescu-Roegen, yang menginspirasi Gorz, dikenal
sebagai penggagas bioeconomics untuk menjawab persoalan laju pertumbuhan yang tanpa batas
tidak sebanding dan sejalan dengan pertumbuhan sumber-sumber daya alam yang terbatas (bdk.
Demaria dkk. 2013: 197-198). Upaya mengintegrasikan biologi ke dalam ekonomi yang
dilakukannya telah menjadi akar dari perkembangan pengintegrasian ekologi ke dalam ekonomi.
Herman Daly adalah salah seorang ekonom yang mencoba mengupas integrasi antara ekologi
dan ekonomi dalam tulisannya berjudul Economics for a Full World di mana dia mengawali
ulasannya dengan mengatakan: “Because of the exponential economic growth since World War
II, we now live in a full world, but we still behave as if it were empty, with ample space and
resources for the indefinite future.”(Daly, 2015).

5
Kosong Penuh

Hal ini terjadi karena sebagian orang percaya bahwa ikan beranak-pinak masih lebih cepat
daripada yang dapat ditangkap, pohon bertumbuh lebih cepat daripada yang dapat ditebang,
mineral di perut bumi masih terlalu banyak untuk bisa diambil. Keyakinan yang demikian tentu
saja sangat mengancam ekosistem. Bagi Daly, pertumbuhan kuantitatif populasi dan komoditi
ekonomi tidak bisa tidak akan berdampak pada lingkungan. Karena itu, ia setuju bahwa ekonomi
akan berbenturan dengan ekologi, bahwa memajukan ekonomi tidak mungkin sekaligus
memelihara lingkungan hidup. Untuk menyelesaikan konflik antara ekonomi dan ekologi, Daly
mengajukan kombinasi keduanya dalam konsep Steady-State Economy di mana yang perlu
dimajukan adalah pembangunan kualitatif atau qualitative development.

Mengambil paduan ecological economics, Daly setuju bahwa mengaplikasikan pembangunan


kualitatif di bidang ekonomi tanpa ditopang oleh pertumbuhan kuantitatif dari sumber-sumber
daya alam masih dimungkinkan. Caranya tentu mesti berubah dari pola ekonomi imperialisme
yang selalu bertendensi untuk melakukan ekspansi ke sumber-sumber alam. Tidak juga
menggunakan ekonomi reduksioanlisme yang berupaya mengecilkan kepentingan ekonomi
dengan melarang eksplorasi alam. Melainkan, ekonomi dan ekosistem berjalan bersama dalam
batas-batas masing-masing dengan tetap menjaga interdependesi dan perbedaan kualitatif
diantara keduanya. Dalam pengertian ini, ecological economics juga merupakan salah satu
sumber yang melahirkan paradigma degrowth (Schneider dkk. 2010: 512).
6
Dari berbagai sumber tersebut diatas, degrowth lalu dikonsepkan demikian:

Degrowth signifies first and foremost a critique of the growth economy. Usually, degrowth is
associated with the idea that ‘smaller can be beautiful.’ Ecological economists have defined
degrowth as an equitable downscaling of production and consumption that will reduce society’s
metabolism of energy and raw materials. But our emphasis here is on different, not only less.
Degrowth signifies a society with a smaller social metabolism but more importantly, a society with
a metabolism that has a different structure and serves new functions. (Kallis dkk. 2015: 23).

Gerakan Degrowth
Dari sejumlah elemen yang turut membentuk paradigma degrowth di atas, bolehlah dikatakan
bahwa paradigma degrowth lahir di tengah-tengah diskusi tentang keterkaitan antara
kepentingan ekonomi, kebutuhan masyarakat, dan krisis ekologi. Melalui diskusi yang panjang
disadari bahwa segala upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi ditambah pula pertambahan
kebutuhan masyarakat telah menyebabkan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber-
sumber alam yang membawa akibat krisis sosial, krisis ekonomi, dan krisis ekologi. Menyadari
krisis yang demikian, para penggagas degrowth beranggapan bahwa yang patut dipersalahkan
dalam kerusakan lingkungan hidup dan dampak negatifnya terhadap orang miskin adalah sistem
ekonomi kapitalisme. Dalam upaya melawan sistem yang demkian, ada sejumlah formulasi yang
ditetapkan oleh Schneider dkk. (2015) dengan membagi gerakan degrowth ke dalam beberapa
kelompok.

Kelompok pertama adalah degrowthers seperti Hueting, D’Alessandro dkk, van den Berg,
Kerschener, Alcott, Spangenberg, yang mengkritik secara lugas gagasan tentang ‘sustainability
development’ yang berbasis pada penghitungan Produk Domestik Bruto dan pembangunan
ekonomi. Kelompok ini mengajukan agar dilakukan reduksionalisasi yang jelas. Hueting bertolak
dari argumentasi tentang perlunya menerima penurunan produksi industri demi perlindungan
dan ketahanan lingkungan sehingga tidak menambah laju produksi dan konsumsi. D’Alessandro
dkk. menawarkan suatu model transisi energi dari minyak/mineral kepada sumber-sumber daya
alam yang dapat dibaharui. Van den Bergh menyoroti soal perlambatan pertumbuhan ekonomi
demi kesejahtaraan sosial daripada terus mengejar meningkatnya pembangunan ekonomi yang
diukur dari Pendapatan Domestik Bruto. Georgescu-Roegen and Daly yang kemudian diikuti oleh
Kerschener menjabarkan degrowth sebagai suatu langkah menuju a steady-state economy
dengan tujuan mengurangi besaran Produk Domestik Bruto dan mendefinisikan ulang apa yang
disebut dengan kemakmuran dan kesejahteraan sosial. Kerschener juga mengajukan ide tentang
penurunan populasi sebagai pilihan kolektif. Blake Alcott berbicara lebih jauh tentang kebijakan-
kebijakan untuk mengontrol pertumbuhan populasi demi mengurangi konsumsi dan mengajukan
gagasan tentang mengurangi komoditas barang maupun jasa. Spangenberg menyumbangkan
pikiran tentang pengurangan jam kerja sehingga masih memungkinkan untuk berbagi waktu
dengan komunitas sesama degrowthers demi menjaga stabilitas ketenagakerjaan dan stabilitas
sosial (513-514).
Kelompok kedua adalah degrowthers seperti Matthey and Hamilton yang mendorong
pengurangan konsumsi secara lebih detail. Melalui riset psikologinya, Matthey sampai pada
kesimpulan bahwa sumber-sumber alam yang dipakai untuk konsumsi akan bertahan apabila
setiap orang mengurangi konsumsi mereka. Pengurangan konsumsi ini akan menjadi satu bentuk
7
ekonomi degrowth. Sedangkan Hamilton menemukan bahwa konsumsi secara sosiologis
merupakan satu bentuk fetisisme di mana orang tergoda untuk meniru atau memiliki identitas
tertentu seperti terlihat pada pengiklanan dalam kegiatan pemasaran. Untuk itu, dia mengajukan
pandangan agar degrowth berfokus pada budaya membangun positive image tentang diri
manusia (514-515).
Kelompok ketiga adalah degrowthers seperti Lietaert, Cattaneo dan Gavalda yang menggagas
cara hidup alternatif sebagai bentuk praktis degrowth. Lietaert memperkenalkan ‘rumah
bersama’ (cohousing)’ di mana terdapat campuran antara tempat tinggal perorangan maupun
umum. Bentuk ‘rumah bersama’ didesain sebagai komunitas convivial dan mengutamakan area
hijau di daerah urban sehingga para penghuninya dapat saling berbagi kebutuhan material dan
bisa menghindari pemakaian material yang berlebihan. Sedangkan Cattaneo and Gavalda
memformulasikan satu sistem ekonomi yang semi-otonom di Barcelona mirip dengan komunitas
convivial. Komunitas ini dibentuk sebagai pilihan kolektif penghuni kota dan bersama-sama
menggunakan material dan energi yang lebih rendah dari orang-orang yang tinggal di kota yang
sama (515).
Kelompok terakhir adalah seorang bernama Griethuysen. Dia adalah seorang degrowther yang
unik karena melihat properti pribadi sebagai bentuk konstitutif dari kapitalisme yang terus-
menerus bertindak demi pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, apabila manusia hendak
melakukan pengurangan pertumbuhan ekonomi maka ranah properti pribadi maupun hal-hal
yang berkaitan dengan kepemilikan properti perlu didefinisikan ulang (515). Hal ini tentu sejalan
dengan gerakan membentuk institusi-institusi baru (cohousing, convivial) yang bukan berbau
kapitalis (properti pribadi).
Jelaslah bahwa paradigma degrowth bukan pertama-tama penghijauan sebagai gerakan
penyelamatan ekologis, melainkan upaya-upaya menurunkan produksi dan konsumsi sekaligus
menyelamatkan ketahanan lingkungan demi mencapai kesejahteraan bersama. Tentu, ada
beberapa gerakan yang memuat unsur “penyelamatan lingkungan” seperti go green, green
economy, green growth, green new deal, dan seterusnya. Apakah gerakan degrowth sama
dengan gerakan hijau tersebut? Dalam penjelasannya, Schneider dkk. (2015) berpandangan
bahwa paradigma degrowth tidak sama dengan gagasan green economic growth yang
memproduksi green cars, green house, dan lain-lainnya. Alasannya, gagasan green economy
masih belum menyentuh persoalan yang muncul dari perindustrian (produksi dan konsumsi)
selain mengembangkan industri-industri yang mengakomodasi kebijakan meminimalkan dampak
lingkungannya (516). Yang diperjuangkan oleh para pendukung degrowth adalah sebuah transisi
berkelanjutan dari growth ke degrowth (513).

Tesis degrowth
Pengelompokan arus gerakan degrowth yang diformulasikan oleh Schneider dkk. (2015) sangat
kuat memperlihatkan bagaimana degrowth sebagai paradigma diterjemahkan ke dalam situasi
konkret. Senada dengan apa yang dilakukan oleh Schneider dkk, Kallis dkk. (2015) menetapkan
tiga tesis besar paradigma degrowth (25-29):
Pertama, degrowth lahir sebagai kritik terhadap sistem ekonomi kapitalistik (growth) dengan
segala konsep pembangunannya (development) yang dinilai gagal membawa kemakmuran bagi
masyarakat. Krisis ekonomi yang terjadi di Eropa pada 2008-2009 telah membuktikan bahwa
8
sistem tersebut merupakan ilusi (Schneider dkk. 2015: 515). Dengan kata lain, degrowth
melawan growth economics, anti-kapitalisme dan anti-utilitarianisme.
Kedua, cita-cita kemajuan (kesejahteraan) berbasis sistem ekonomi kapitalistik telah
menyebabkan exploitasi berlebihan terhadap sumber-sumber alam, menimbulkan degradasi
lingkungan hidup, mengambil andil besar dalam punahnya sejumlah spesies dan hilangnya
keanekaragaman hayati, serta sejumlah krisis ekologis lainnya. Ketika benturan tak terdamaikan
antara kepentingan ekonomi di satu pihak dan penyelamatan ekologi di lain pihak tetap
berlangsung, maka pilihan untuk mengurangi atau menurunkan produksi dan konsumsi, juga
menurunkan populasi, merupakan salah satu alternatif pilihan sosial dalam menyelamatkan
ekologi untuk masa depan dari planet ini. Karenanya, manusia memerlukan ecological
economics.
Ketiga, selain gagal membawa kemakmuran dan menyebabkan krisis lingkungan hidup, ekonomi
kapitalis semakin memperdalam dan memperparah ketidakadilan distributif di mana hanya
sebagian kecil orang kaya saja (birokrat, teknokrat, kaum kapitalis) yang mendominasi akses
terhadap sumber-sumber alam dan memproduksi barang maupun jasa. Sedangkan yang lainnya,
teristimewa orang-orang miskin, hanya bisa menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya
pada mereka. Ivan Illich (1992) menyebut sistem tersebut sebagai ‘the horror of living with habits
of needing’ (95). Untuk keluar dari ketergantungan yang demikian, manusia membutuhkan
institusi pengganti institusi kapitalisik, yaitu komunitas-komunitas berbasis self-reliance (sharing,
cohousing, simplicity, care, limits, commons, conviviality). Pada titik ini, degrowth merupakan
satu alternatif berbeda dari sistem ekonomi kapitalistik.

Relevansi degrowth
Paradigma degrowth mengingatkan kita bahwa agenda pembangunan ekonomi yang tak
terkendali tidak saja menyebabkan kerusakan alam dan kehancuran ekosistem, tetapi juga
memperdalam ketidakadilan sosial. Illich (1992) misalnya pernah mengatakan “development is
‘horsemen of the apocalypse’ that caused a number of environmental crisis.” (95). Senada dengan
Illich, Rist (2007) memandang “development is the general transformation and destruction of
natural environment and of social relations in order to increase the production of commodities
geared, to effective demand.” (23). Juga Sachs (1992) menyebut “development creates an
‘eternal’ dependency on technology and economic growth”(vii). Ketika ‘words make worlds’
(Cornwall 2005: 1), maka degrowth memunculkan diskusi antara pertumbuhan ekonomi,
ketidakdilan sosial, dan ketahanan lingkungan.
Paradigma degrowth sampai hari ini masih terus dikembangkan lewat sejumlah penelitian dan
konferensi antara lain 2016 di Budafest, 2017 di Jerman, 2018 di Swedia-Belgia-Mexico, 2020 di
Vienna, 2021 di Belanda dan Inggris (bdk. https://www.degrowth.info/en/our-projects/). Dan
menurut saya, yang paling menarik dari degrowth adalah gerakan membangun komunitas-
komunitas self-reliance or sufficiency, yang juga disebut komunitas self-production and self-
consumption. Pada tahun lalu, sekitar September 2020, Kallis dkk. meluncurkan ke publik satu
buku berjudul The Case for Degrowth yang berbicara tentang bagaimana degrowthers memberi
pandangan tentang pandemi covid 19. Pada bagian pengantar dikatakan demikian:
What is happening during the pandemic is not degrowth. The goal of degrowth is to purposefully
slow things down in order to minimize harm to humans and earth systems. The current situation
9
is terrible, not because carbon emissions are declining, which is good, but because many lives are
lost; it is terrible not because GDPs are going down, to which we are indifferent, but because there
are no processes in place to protect livelihoods when growth falters. For us, caring and community
solidarity are vital principles of degrowth societies, and engines for moving in more equitable and
sustainable directions. (Kallis dkk. 2020: viii-ix).

Menarik bahwa apa yang mereka pikirkan sebagai komunitas self-reliance ternyata terbentuk di
berbagai negara pada masa pandemi ini. Bahkan mereka menilai komunitas bercorak degrowth
telah menyebar melindungi masyarakat seakan-akan bergerak berlawanan dengan virus yang
menyebar mematikan. Mereka mengatakan demikian: “The proliferation of caring and
commoning endeavors, which form the bedrock of the degrowth societies we envision, are all the
more commendable given the contagious nature of the virus. After the pandemic is over, and the
difficult path of economic reconstruction starts, this resurgent dynamism of commoning and care
will be vital.” (Kallis dkk. 2020: xi). Dalam proyeksi paradigma degrowth, ke masa depan akan
semakin banyak orang berpikir untuk kemandirian dalam hal memenuhi kebutuhan hidup tanpa
harus bergantung pada sistem ekonomi sebelumnya. Kita sendiri bisa menyaksikannya di sekitar
kita ketika terjadi lockdown atau PSBB di mana ada banyak rumah tangga, bahkan yang berskala
RT-RW beramai-ramai menanam sayur di rumah dan pelihara ikan. Apabila gerakan semacam ini
terus berlanjut lebih besar dan berskala lokal, regional maupun nasional bahkan internasional,
maka keseimbangan ekosistem mungkin secara perlahan akan bisa dipulihkan. Jika ekosistem
pulih, maka manusia dengan sendirinya secara alamiah akan sejahtera dan makmur. Gagasan ini
tetap menjadi keyakinan dalam paradigma degrowth, di mana mereka berkata: “The time is ripe
for us to refocus on what really matters: not GDP, but the health and well-being of our people
and our planet. In a word, degrowth.“ (Kallis dkk. 2020: xv).
Dalam konteks Indonesia, yang menantang kita dari paradigma degrowth adalah gerakannya
yang heroik melawan growth dan anti sistem ekonomi kapitalistik. Sebab, jika kita melihat
keputusan pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan presiden Joko Widodo di mana pada
20 Januari 2015 ditetapkan “BEKRAF” (Badan Ekonomi Kreatif), maka sangat jelas bagi kita bahwa
paradigma degrowth belum menjadi salah satu pilihan yang menarik bagi negara yang sedang
berkembang seperti negara kita. Sebab, badan tersebut justru bekerja untuk mengorganisir
kreativitas masyarakat (a.l. pemasaran, arsitek, seni, kerajinan tangan, dan lain-lain) demi
memajukan perekonomian. Pemerintah mengklaim bahwa BEKRAF adalah salah satu motor di
dalam pembangunan budaya industri untuk bersaing di pasar global. Bahkan, pemerintah sampai
hari ini berusaha untuk mengundang sejumlah investor asing untuk masuk ke Indonesia guna
memajukan ekonomi. Jadi, negara masih berada pada growth karena terus mengindustrialisasi
masyarakat demi kepentingan kemajuan ekonomi. Karenanya, degrowth belum menjadi salah
satu pilihan. Barangkali kritik yang disampaikan oleh van den Bergh (2011) benar bahwa
degrowth masih memiliki masalah dalam hal efektivitas, juga gagasannya yang masih ambigu
(881) sehingga strategi degrowth dipandang belum mampu memecahkan masalah
pembangunan yang efektif sekaligus menjauhkan alam dari tekanan pembangunan itu sendiri.
Dia sendiri lebih mengusulkan agar degrowth bergerak dari jalur penentuan kebijakan yang
komplementer dan efektif (887-888). Hal yang serupa juga diungkapkan oleh sejumlah tokoh
agar diciptakan apa yang dinamakan dengan integral economy yang mempertimbangkan evolusi
alam, struktur sosial, diri manusia dan spiritualitasnya. (bdk. Gerber and Steppacher 2014; Paus
Fransiskus dalam Laudato Si 2015).
10
Akan tetapi, kenyataan adanya bencana alam yang menimpa Tanah Air Indonesia, teristimewa
masalah banjir dan longsor, juga penumpukan sampah di berbagai lokasi belum bisa diselesaikan
khususnya di sejumlah kota besar seperti Jakarta, usulan perilaku ekologis ala degrowth bukanlah
sesuatu yang utopis. Kita perlu melihat Nusantara tidak lagi sebagai bumi yang kosong, melainkan
ruang yang sudah mulai penuh. Kita perlu menata kembali perilaku konsumsi kita. Pola konsumsi
yang berlebihan telah memproduksi sampah yang kemudian dipaksa untuk diserap oleh bumi
walau bumi tidak mampu mengakomodasinya, teristimewa plastik yang sudah membahayakan
kehidupan (bdk, beras plastik, telur plastik, bahkan di perut sejumlah ikan ditemukan plastik).
Lebih lanjut, paradigma degrowth mendorong kita untuk kritis terhadap agenda pembangunan
ekonomi berbasis pertambangan di mana ruang hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan
dikorbankan demi cita-cita kemajuan dan kesejahteraan. Mungkin sudah tidak zamannya lagi
mengorbangkan lingkungan demi ekonomi. Maka, gagasan ekonomi yang bersifat ekologis perlu
diterima sebagai kebijakan, entah itu dilingkup lokal, regional, maupun nasional. Seperti yang
pernah dianjurkan oleh Serge Latouche, dalam salah satu wawancara, di mana dia menyatakan
demikian: As regards poor countries, we should strive to help them to develop in such a way as
to enter the virtuous cycle of the eight “Rs”: reconceptualizing (i.e., redefining the concepts of
wealth and poverty, scarcity and abundance); restructuring (adapting society and economy to
degrowth); restoring (first and foremost, peasant agriculture); redistributing; relocating; reducing
(i.e., limiting the impact of human beings on the environment); reusing; recycling. (Federico 2008:
223).

Penutup
Jika paradigma degrowth ditawarkan sebagai kebijakan pembangunan suatu bangsa atau daerah
di Indonesia, barangkali banyak yang tidak setuju karena Indonesia masih dikategorikan sebagai
negara yang sedang berkembang. Akan tetapi, jika paradigma degrowth dipandang sebagai jalan
menuju kesejahteraan bersama dan upaya penyelamatan lingkungan hidup, misalnya menolak
tambang dan perambahan hutan, melawan pencemaran air laut akibat limbah, mengantisipasi
invasi sampah plastik yang tak terkendali, juga memotong dominasi kapitalis dalam kebijakan
politik, maka degrowth patut diperhitungkan sebagai prioritas. Kemudian, menyadari kenyataan
adanya pandemi covid 19, sudah seharusnya degrowth dijadikan sebagai satu alternatif cara
hidup ekologis pada masa kini. Menurut saya, paradgima degrowth adalah seruan abadi bagi
kesadaran kita bahwa kita mesti keluar dari kereta api industrilaisasi yang bergerak tanpa henti.
Degrowth adalah suara yang terus mengusik kita dan membunyikan alarm kepada mimpi-mimpi
kita akan pembangunan ekonomi demi kesejahteraan. Proyek-proyek pengurangan dalam
produksi dan konsumsi pastilah bermanfaat bagi ketahanan lingkungan. Dan, sudah merupakan
tugas kita untuk menciptakan institusi-instutisi ekologis non-kapitalistik sebagai salah satu
alternatif mencapai kebahagiaan hidup. Maka, berbicara tentang ekologi, degrowth akan selalu
relevan sebagai satu jalan sempit menuju kesejahteraan sosial bagi masyarakat millennial.
Penulis:
Taucen Hotlan Girsang
Alumnus International Institute of Social Studies
Universitas Erasmus-Netherland

11
Referensi:
Boff, L. (1997) ‘Cry of the Earth, Cry of the Poor’, Maryknoll NY: Orbis Books
Corwall, A. (2005) ‘Introductory overview-buzzwords and fuzzwords: deconstructing
development discourse’, in M. Edelman and A. Haugerud (eds) The Anthropology of Development
and Globalization, pp. 1-16. Australia: Blackwell Publishing.
D’Alisa, G., F. Demaria and G. Kallis (eds) (2014) DEGROWTH: A Vocabulary for a New Era New
York and London: Routledge.
Demaria, F., F. Schneider, F. Sekulova, J. Martinez-Alier (2013) ‘What is degrowth? From an
activist slogan to a social movement’, Environmental Values 22 (2): 191–215.
Gerber J.F., & R. Steppacher (2014) ‘Some Fundamentals of Integral Economics’, World Futures
70 (7): 442-463. DOI: 10.1080/02604027.2014.982464.
Illich, I. (1992) ‘Needs’ in S. Wolfgang (ed), The Development Dictionary, A guide to Knowledge as
Power, pp. 95-110. London: Zed Books.
Kallis, G., F. Demaria and G. D’Alisa (2015) ‘Degrowth, International Encyclopedia of the Social &
Behavioral Sciences’, Second Edition, Author’s personal copy, 24-30.
Latouche, S. (2010) ‘Degrowth’, Journal of Cleaner Production 18 (6): 519–522.
Paolini, Federico. "Degrowth: A Slogan for a New Ecological Democracy." Global Environment 2
(2008): 222–7. (http://www.environmentandsociety.org/node/4608).
Sachs, W. (ed.) (1992) The Development Dictionary, A guide to Knowledge as Power, London: Zed
Books.
Schneider, F., G. Kallis, J. Martinez-Alier (2010) ‘Crisis or opportunity? Economic degrowth for
social equity and ecological sustainability’, Journal of Cleaner Production 18 (6): 511–518.
Rist, G. (2005) ‘Development as a buzzword’ in M. Edelman and A. Haugerud (eds) The
Anthropology of Development and Globalization, pp. 19-27. Australia: Blackwell Publishing.
van den Bergh, J.C.J.M., (2011) ‘Environment versus growth - A criticism of “degrowth” and a plea
for “a-growth”’, Ecological Economics 70: 881-890.
Weiss. M and C. Cattaneo., (2017) ‘Degrowth – Taking Stock and Reviewing an Emerging
Academic Paradigm’, Ecological Economics 137: 220-230.

12

Anda mungkin juga menyukai