I. Pendahuluan Presiden Joko Widodo berpidato terkait kisruh status 75 pegawai KPK yang dinon-aktifkan karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan [TWK]. Dalam pidato itu Presiden menyatakan bahwa: “…Hasil tes wawasan kebangsaan hendaknya menjadi masukan langkah perbaikan KPK, baik individu maupun institusi. Tidak serta merta menjadi dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK…”
Namun pidato itu diabaikan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] dan Badan Kepegawaian Negara [BKN] dengan tetap memberhentikan 51 pegawai KPK dengan “stigma” tidak dapat lagi dibina. Nasib pidato presiden itu menambah sisi kontroversial terkait TWK yang dianggap publik melanggar nilai- nilai agama, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Keadaan itu menimbulkan beberapa permasalahan hukum, yaitu: Bagaimanakah sesungguhnya ketentuan hukum mengenai alih status pegawai KPK dan politik- hukum seperti apa yang sedang dijalankan dalam pemberhentian para pegawai KPK itu? Analisa ini hendak menjawab permasalahan itu secara terang menurut norma hukum dan mencoba membangun analisa politik berdasarkan pendekatan peraturan perundang-undangan dan ketatanegaraan.
II. Ketentuan alih status pegawai KPK 2.1. Pegawai KPK dari mandiri menjadi ASN Alih status pegawai KPK terjadi berdasarkan perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 yang direvisi dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [KPK]. Sebelum perubahan UU, menurut ketentuan Pasal 21 UU No. 30/2002, pegawai KPK merupakan bagian tidak terpisah dari kelembagaan. Menurut ketentuan tersebut, KPK itu terdiri dari atas 3 [tiga] unsur, yaitu: a. pimpinan KPK; b. Tim penasihat KPK; c. Pegawai KPK sebagai pelaksana tugas.
Lebih lanjut dalam Pasal 24 ayat (2) UU Nomor 30/2002 dinyatakan bahwa pegawai KPK adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sehingga pegawai KPK bersifat sangat independen dan hanya bertanggungjawab kepada KPK dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berbeda dengan UU Nomor 19/2019 yang dibentuk Presiden Joko Widodo dan DPR, status pegawai KPK diubah menjadi apartur sipil negara [ASN]. Pasal 1 angka 6 UU tersebut menentukan bahwa pegawai KPK adalah ASN sebagaimana diatur dalam UU ASN.
2.2. Alih status dengan ketentuan khusus Disebabkan pegawai KPK yang selama ini telah berjalan sesuai dengan ketentuan UU Nomor 30 Tahun 2002 maka dengan berlakunya ketentuan yang baru menurut UU Nomor 19 Tahun 2019 tersebut diperlukan ketentuan alih status pegawai. Berdasarkan Pasal 69C UU KPK yang baru yang berbunyi sebagai berikut:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.”
Ketentuan itu memperjelas bahwa proses “dapat diangkat” itu tidak diatur sesuai UU ASN tetapi ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri. Artinya, alih status diatur melalui peraturan teknis sedangkan pernyataan status kepegawaian berpedoman kepada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara [ASN] dan peraturan turunannya menurut Pasal 1 angka 6 UU Nomor 19 Tahun 2019, UU KPK yang baru.
Hal ini perlu diperjelas untuk menerangkan kealpaan pernyataan yang menyebutkan bahwa proses alih status pegawai KPK berdasarkan UU ASN. Pernyataan itu tidak benar, sebab UU ASN tidak mengenal proses alih status (Lebih lanjut akan diterangkan kemudian dalam analisa ini).
Itu sebabnya Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawan Aparatur Sipil Negara. Dalam Pasal 3 PP No. 41/2020 itu diatur tentang persyaratan pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN, yaitu: a. berstatus sebagai pegawai tetap atau tidak tetap KPK; b. setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan yang sah; c. memiliki kualifikasi sesuai dengan persyaratan jabatan; d. memiliki kompetensi sesuai dengan persyaratan jabatan; e. memiliki integritas dan moralitas yang baik; dan f. syarat lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ASN yang ditetapkan dalam peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jika disimak ketentuan itu, teranglah perihal setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan yang sah bukanlah suatu syarat lain yang diatur dalam Peraturan KPK sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf f PP tersebut. Artinya, Peraturan KPK hanya diminta untuk menetapkan syarat lain di luar ketentuan Pasal 3 huruf a s/d huruf 2 PP Nomor 41 Tahun 2020. Sehingga Peraturan KPK tidak boleh menerjemahkan syarat-syarat yang ada pada Pasal 3 huruf a s/d huruf e itu dengan mekanisme teknis yang dipahami KPK sendiri. Sebab, delegasi Pasal 3 huruf f PP Nomor 41 Tahun 2020 hanya menentukan syarat lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tentang ASN.
Oleh karena itu, keberadaan Tes Wawasan Kebangsaan yang menilai kesetiaan dan ketaatan pada Pancasila dan lain-lain itu merupakan syarat dan ketentuan yang “diada-adakan” dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN. Menurut Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 18 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tindakan dan kebijakan mengadakan Tes Wawasan Kebangsaan adalah penyalahgunan wewenang yang terdiri dari: a. larangan melampaui wewenangan (bertentangan dengan peraturan perundang-undangan); b. larangan mencampuradukan wewenang (di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan); dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang (tanpa dasar kewenangan).
Dalil itu diperkuat dengan dugaan bahwa penjelasan Pimpinan KPK dan Kepala BKN mengenai Tes Wawasan Kebangsaan telah sesuai dengan aturan dalam UU ASN. Padahal tidak terdapat dalam ketentuan Pasal 61 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN mengenai syarat rinci menjadi calon PNS. Itu sebabnya untuk menemukan syarat menjadi PNS dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 yang telah direvisi dengan diubah dan ditambah dengan PP Nomor 78 Tahun 2013 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil. Dengan demikian jika Peraturan KPK hendak mengatur syarat lain mengenai proses alih status tersebut maka harus sesuai dengan PP ini.
Berdasarkan Pasal 6 PP Pengadaan PNS tersebut terdapat syarat bagi pelamar, yaitu: a. Warga Negara Indonesia; b. Berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggi- tingginya 35 (tiga puluh lima) tahun; c. Tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengendalian yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan; d. Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta; e. Tidak berkedudukan sebagai Calon/Pegawai Negeri; f. Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan ketrampilan yang diperlukan; g. Berkelakuan baik; h. Sehat jasmani dan rohani; i. Bersedia ditempatkan di Seluruh wilayah Negara Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh Pemerintah; dan j. Syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan
Dalam ketentuan tersebut jelas tidak terdapat syarat lolos atau lulus Tes Wawasan Kebangsaan. Jika disandingkan, syarat alih status pegawai KPK berdasarkan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 maka sudah dipastikan berbeda dari ketentuan PP Pengadaan PNS di atas karena: 1. syarat alih status pegawai KPK jauh lebih berat; 2. mensyaratkan setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintahan yang sah
Bahkan lebih jauh dapat dimaknai Peraturan KPK mengatur syarat-syarat di luar syarat melamar menjadi PNS. Padahal ketentuan UU KPK dan PP Alih Status Pegawai KPK memerintahkan untuk mengatur syarat lain yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan terkait ASN.
2.3. Tes Wawasan Kebangsaan tidak dikenal dalam TES PNS; Presiden Joko Widodo, Pimpinan KPK, Kepala Badan Kepegawaian Negara [BKN] menyebutkan tentang keberadaan tes wawasan kebangsaan terkait dengan alih status pegawai KPK menjadi ASN [PNS atau PPPK]. Keberadaan tes wawasan kebangsaan ini diyakini merupakan kewajiban bagi setiap calon PNS untuk memastikan setia dan taatnya calon PNS kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan yang sah.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) PP Nomor 98 Tahun 2020 jo. PP Nomor 78 Tahun 2013 tentang Pengadaan PNS tidak terdapat pengaturan perihal tes wawasan kebangsaan. PP tersebut kemudian dicabut dengan terbitnya PP Nomor 11 Tahun 2017 jo PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS. Dalam ketentuan PP ini diatur dua konsep tes dalam pengadaan PNS, yaitu: 1. Tes Kompetensi Dasar; dan 2. Tes Kompetensi Bidang.
Tes Wawasan Kebangsaan merupakan salah satu kemampuan yang diujikan dalam Tes Kompetensi Dasar. Problemnya, tes wawasan kebangsaan hanya diperuntukan untuk pengadaan PNS, bukan untuk alih status pegawai KPK yang diatur dengan PP tersendiri, yaitu PP Nomor 41 Tahun 2020 yang tidak menentukan keberadaan Tes Wawasan Kebangsaan.
Sebelum berlakunya PP Manajemen PNS tersebut, terdapat pula PP yang mengatur tentang alih status anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia menjadi PNS. PP Nomor 15 Tahun 2001 tentang Pengalihan Status Anggota Tentara Nasional Indonesia Dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Menjadi Pegawai Negeri Sipil Untuk Menduduki Jabatan Struktural tidak mengatur tes wawasan kebangsaan sebagai salah satu syarat untuk alih status menjadi PNS. Pasal 3 PP Nomor 15 Tahun 2001 mengatur bahwa anggota TNI dan Kepolisian yang beralih status menjadi PNS harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. mempunyai pengetahuan serta keahlian yang berkaitan dengan substansi tugas jabatan yang akan didudukinya; b. keahliannya tidak terdapat dalam lingkungan Pegawai Negeri Sipil pada instansi yang membutuhkan; c. mempunyai pengalaman yang berkesesuaian dengan bidang tugas jabatan yang akan didudukinya; d. memenuhi syarat jabatan dan syarat kompetensi yang ditentukan bagi Pegawai Negeri Sipil; e. mempunyai kemampuan manajerial dan/atau mempunyai pengalaman memimpin organisasi; f. sehat jasmani dan rohani; g. memiliki integritas yang tinggi terhadap Negara.
Sama sekali tidak diatur syarat setia dan taas terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintahan yang sah. Hal itu disebabkan karena orang yang telah lulus menjadi anggota TNI dan Kepolisian pastilah telah memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi. Jika terdapat anggota TNI dan Kepolisian yang terlibat paham radikal dan anti-Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika dapat dipastikan hanya oknum yang dapat disanksi melalui proses disipliner yang berbeda dengan proses alih status menjadi PNS.
Bahkan lebih jauh dalam Pasal 148 dan Pasal 150 PP 11 Tahun 2017 jo. PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen ASN diatur bahwa Prajurit TNI dan anggota Kepolisian yang menduduki jabatan ASN tidak dapat beralih status menjadi PNS. Sehingga proses alih status tidak terdapat lagi untuk TNI dan Kepolisian. Artinya, tidak diperlukan Tes Wawasan Kebangsaan menjadi PNS untuk proses pengisian jabatan ASN tersebut. Lalu, kenapa untuk pegawai KPK harus dijadikan menjadi PNS?
Secara spefisik, Pasal 4 ayat (1) PP Nomor 41/2020 tentang Alih Status Pegawai KPK tidak mengatur keberadaan tes wawasan kebangsaan dalam tahapan alih status pegawai KPK. Terdapat 5 (lima) tahapan untuk mengalih-statuskan pegawai KPK menjadi ASN, yaitu: a. Melakukan penyesuaian jabatan-jabatan pada Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini menjadi jabatan-jabatan ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ; b. Melakukan identifikasi jenis dan jumlah pegawai Komisi Pemberantasaan Korupsi saat ini; c. Memetakan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman Pegawai Komisi Pemberantasaan Korupsi dengan jabatan ASN yang akan diduduki; d. Melakukan pelaksanaan pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasaan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi PNS atau PPPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan e. Melakukan penetapan kelas jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan mengenai tes wawasan kebangsaan hanya tercantum dalam Pasal 5 Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. Ketentuan inilah yang ditambahkan Pimpinan KPK dan pelaksanaannya menjadi argumentasi pemberhentian pegawai KPK padahal ketentuan itu tidak memiliki dasar peraturan yang lebih tinggi, baik berupa UU KPK dan PP Alih Status Pegawai KPK, bahkan juga tidak terdapa dalam UU ASN dan PP Manajemen PNS.
2.4. Jika Pegawai KPK harus Tes Wawasan Kebangsaan, Mengapa Anggota DPR dan Presiden tidak ikut Tes Wawasan Kebangsaan?
Persyaratan setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan yang sah pada alih status pegawai KPK mirip dengan syarat menjadi calon anggota DPR dan Presiden. Simak ketentuan Pasal 240 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi berikut:
Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: a. telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia; d. dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat; f. setia kepada Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika; ----dan seterusnya---
Tidak pernah dalam proses Pemilu, bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota sebelum mencalonkan harus melalui tes wawasan kebangsaan. Lalu pertanyaannya kenapa hanya pegawai KPK yang diuji kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan yang sah sementara para politisi tidak. Apa yang membuat alat ukur mengetahui rasa setia dan taat itu dibeda-bedakan? Apakah kita semua yakin bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah benar rasa setia dan taatnya kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika?
Bahkan terhadap mereka diberikan syarat bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Harusnya perlu pula tes wawasan keagamaan untuk bisa memastikan ketakwaan tersebut jika sejalan dengan logika tes wawasan kebangsaan terkait setia dan taat kepada Pancasila dan lain-lain tersebut.
Pada faktanya tidak pernah dilakukan tes wawasan kebangsaan kepada DPR dan calon pejabat negara lain. Hal juga ditentukan terkait syarat menjadi Presiden berdasarkan Pasal 169 huruf o UU Pemilu yang juga harus setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Faktanya Presiden Joko Widodo dan presiden-presiden sebelumnya tidak pernah mengikuti tes wawasan kebangsaan untuk membuktikan bahwa dia benar-benar setia pada Pancasila dan UUD 1945.
Pertanyaan besarnya kenapa hanya pegawai KPK yang disyaratkan setia dan taat Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Pemerintahan yang sah, yang harus mengikuti tes wawasan kebangsaan untuk membuktikan syarat tersebut. Mengapa Presiden dan DPR atau pejabat negara lainnya tidak melalui tes wawasan kebangsaan yang tata cara assesmennya sama?
2.5. Pelanggaran terhadap Hak atas Persamaan di Hadapan Hukum dan Pemerintahan Tes wawasan kebangsaan pada alih status pegawai KPK tak hanya bermasalah secara yuridis. Realitasnya, tes tersebut dilakukan tanpa panduan yang jelas. Selain tes tulis, metode wawancara digunakan. Dalam wawancara ditemui pertanyaan yang diskriminatif. Pertanyaan yang melanggar hak atas persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan.
Hak atas persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Lebih lanjut, Pasal 28I ayat (2) menjamin hak warga negara bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu.
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecahan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok. Golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Perlakuan diskriminatif justru didapat oleh pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan. Sejumlah pertanyaan menjurus pada diskriminasi atas dasar agama. Pertanyaan mengarah pada pelanggaran hak atas kebebasan beragama, kemudian membenturkannya dengan kesetiaan pada negara. Terdapat juga pertanyaan yang tidak sensitif gender yaitu pertanyaan yang lekat dengan konstruksi soal bagaimana perempuan tidak setara dengan laki-laki dalam hal kontribusi di publik (bekerja) dan peran di keluarga. Pewawancara hanya mengajukan pertanyaan kepada pegawai perempuan saja.
Di titik inilah, keabsahan pemberhentian pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan semakin menjadi pertanyaan. Seakan-akan Tes Wawasan Kebangsaan adalah alat pembenar terhadap upaya untuk memberhentikan pegawai KPK. Jika memperhatikan tidak terkaitnya pertanyaan-pertanyaan dalam Tes Wawasan Kebangsaan untuk mengukur rasa kebangsaan, maka bukan tidak mungkin tes tersebut melanggar rasa setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
2.6. Tanggungjawab Presiden Presiden adalah orang yang sedari awal bertanggungjawab dalam proses alih status pegawai KPK yang “dibuat-buat” dan berantakan itu. Buktinya sederhana bahwa Presiden adalah salah satu pihak yang terlibat dalam membentuk UU bersama DPR. Meskipun perubahan UU KPK itu adalah usulan DPR tetapi tanpa persetujuan Presiden mustahil sebuah Rancangan UU dapat dibahas lebih lanjut.
UU No. 19 Tahun 2019 merupakan rencana bersama Presiden dan DPR untuk mengalihstatuskan pegawai KPK menjadi ASN. Pada titik tertentu, Presiden merancang dirinya untuk dapat mengendalikan seluruh ASN yang ada, namun dalam konteks pegawai KPK ternyata Presiden tidak mengambil tindakan yang nyata. Hal itu dapat dibuktikan dengan diterbitkannya PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Pasal 3 PP Manajemen ASN ini mengatur bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi Pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS.
Jika Presiden menghendaki maka pegawai KPK dengan mudah dapat dialih- statuskan menjadi PNS, tanpa perlu sesuai kehendak Pimpinan KPK sama sekali. Jadi apabila ditanyakan siapakah yang paling bertanggungjawab dalam mengangkat dan memberhentikan pegawai KPK atau pengalihstatusan pegawai KPK menjadi ASN? Jawabnya satu, Presiden Joko Widodo.
Oleh karena itu, saran kepada Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan untuk menjalankan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika dengan melantik seluruh pegawai KPK menjadi ASN. Presiden tidak dapat lari dari tanggung-jawabnya dengan mencoreng nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika dengan membenarkan isi materi Tes Wawasan Kebangsaan alih status pegawai KPK tersebut.