Anda di halaman 1dari 9

ANALISA

HUKUM DAN POLITIK


DEWI KEADILAN
-Social Justice Mission-



TINJAUAN NORMATIF
KEABSAHAN TES WAWASAN KEBANGSAAN [TWK];
POLITIK-HUKUM PEMBERHENTIAN 51 PEGAWAI KPK;
&
PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN















Firma Hukum
THEMIS Indonesia


2021
TINJAUAN NORMATIF KEABSAHAN TES WAWASAN KEBANGSAAN,
POLITIK-HUKUM PEMBERHENTIAN 51 PEGAWAI KPK, &
PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN

Oleh:
Tim Peneliti
DEWI KEADILAN -Social Justice Mission-
Firma Hukum THEMIS Indonesia

Feri Amsari Usman Hamid Laras Susanti
Lalola Easter Kaban Nanang Farid Syam Erwin Natosmal Oemar
Fadli Ramadhanil




I. Pendahuluan
Presiden Joko Widodo berpidato terkait kisruh status 75 pegawai KPK yang
dinon-aktifkan karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan [TWK]. Dalam pidato
itu Presiden menyatakan bahwa:
“…Hasil tes wawasan kebangsaan hendaknya menjadi masukan
langkah perbaikan KPK, baik individu maupun institusi. Tidak serta merta
menjadi dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK…”

Namun pidato itu diabaikan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] dan
Badan Kepegawaian Negara [BKN] dengan tetap memberhentikan 51 pegawai
KPK dengan “stigma” tidak dapat lagi dibina. Nasib pidato presiden itu
menambah sisi kontroversial terkait TWK yang dianggap publik melanggar nilai-
nilai agama, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Keadaan itu menimbulkan beberapa permasalahan hukum, yaitu: Bagaimanakah
sesungguhnya ketentuan hukum mengenai alih status pegawai KPK dan politik-
hukum seperti apa yang sedang dijalankan dalam pemberhentian para pegawai
KPK itu? Analisa ini hendak menjawab permasalahan itu secara terang menurut
norma hukum dan mencoba membangun analisa politik berdasarkan
pendekatan peraturan perundang-undangan dan ketatanegaraan.


II. Ketentuan alih status pegawai KPK
2.1. Pegawai KPK dari mandiri menjadi ASN
Alih status pegawai KPK terjadi berdasarkan perubahan UU Nomor 30 Tahun
2002 yang direvisi dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [KPK]. Sebelum perubahan UU, menurut
ketentuan Pasal 21 UU No. 30/2002, pegawai KPK merupakan bagian tidak
terpisah dari kelembagaan. Menurut ketentuan tersebut, KPK itu terdiri dari atas
3 [tiga] unsur, yaitu:
a. pimpinan KPK;
b. Tim penasihat KPK;
c. Pegawai KPK sebagai pelaksana tugas.

Lebih lanjut dalam Pasal 24 ayat (2) UU Nomor 30/2002 dinyatakan bahwa
pegawai KPK adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat
sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sehingga pegawai KPK
bersifat sangat independen dan hanya bertanggungjawab kepada KPK dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berbeda dengan UU Nomor 19/2019 yang dibentuk Presiden Joko Widodo dan
DPR, status pegawai KPK diubah menjadi apartur sipil negara [ASN]. Pasal 1
angka 6 UU tersebut menentukan bahwa pegawai KPK adalah ASN sebagaimana
diatur dalam UU ASN.

2.2. Alih status dengan ketentuan khusus
Disebabkan pegawai KPK yang selama ini telah berjalan sesuai dengan ketentuan
UU Nomor 30 Tahun 2002 maka dengan berlakunya ketentuan yang baru
menurut UU Nomor 19 Tahun 2019 tersebut diperlukan ketentuan alih status
pegawai. Berdasarkan Pasal 69C UU KPK yang baru yang berbunyi sebagai
berikut:

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur
sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai
aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”

Ketentuan itu memperjelas bahwa proses “dapat diangkat” itu tidak diatur
sesuai UU ASN tetapi ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan
tersendiri. Artinya, alih status diatur melalui peraturan teknis sedangkan
pernyataan status kepegawaian berpedoman kepada UU Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara [ASN] dan peraturan turunannya menurut Pasal 1
angka 6 UU Nomor 19 Tahun 2019, UU KPK yang baru.

Hal ini perlu diperjelas untuk menerangkan kealpaan pernyataan yang
menyebutkan bahwa proses alih status pegawai KPK berdasarkan UU ASN.
Pernyataan itu tidak benar, sebab UU ASN tidak mengenal proses alih status
(Lebih lanjut akan diterangkan kemudian dalam analisa ini).

Itu sebabnya Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor
41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Menjadi Pegawan Aparatur Sipil Negara. Dalam Pasal 3 PP No.
41/2020 itu diatur tentang persyaratan pengalihan status pegawai KPK menjadi
ASN, yaitu:
a. berstatus sebagai pegawai tetap atau tidak tetap KPK;
b. setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan yang
sah;
c. memiliki kualifikasi sesuai dengan persyaratan jabatan;
d. memiliki kompetensi sesuai dengan persyaratan jabatan;
e. memiliki integritas dan moralitas yang baik; dan
f. syarat lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang ASN yang ditetapkan dalam peraturan Komisi
Pemberantasan Korupsi.

Jika disimak ketentuan itu, teranglah perihal setia dan taat pada Pancasila, UUD
1945, NKRI, dan pemerintahan yang sah bukanlah suatu syarat lain yang
diatur dalam Peraturan KPK sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf f PP tersebut.
Artinya, Peraturan KPK hanya diminta untuk menetapkan syarat lain di luar
ketentuan Pasal 3 huruf a s/d huruf 2 PP Nomor 41 Tahun 2020. Sehingga
Peraturan KPK tidak boleh menerjemahkan syarat-syarat yang ada pada Pasal 3
huruf a s/d huruf e itu dengan mekanisme teknis yang dipahami KPK sendiri.
Sebab, delegasi Pasal 3 huruf f PP Nomor 41 Tahun 2020 hanya menentukan
syarat lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tentang ASN.

Oleh karena itu, keberadaan Tes Wawasan Kebangsaan yang menilai kesetiaan
dan ketaatan pada Pancasila dan lain-lain itu merupakan syarat dan ketentuan
yang “diada-adakan” dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata
Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN. Menurut Pasal 17 ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 18 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, tindakan dan kebijakan mengadakan Tes Wawasan Kebangsaan
adalah penyalahgunan wewenang yang terdiri dari:
a. larangan melampaui wewenangan (bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan);
b. larangan mencampuradukan wewenang (di luar cakupan bidang atau
materi wewenang yang diberikan); dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang (tanpa dasar kewenangan).

Dalil itu diperkuat dengan dugaan bahwa penjelasan Pimpinan KPK dan Kepala
BKN mengenai Tes Wawasan Kebangsaan telah sesuai dengan aturan dalam UU
ASN. Padahal tidak terdapat dalam ketentuan Pasal 61 UU Nomor 5 Tahun 2014
tentang ASN mengenai syarat rinci menjadi calon PNS. Itu sebabnya untuk
menemukan syarat menjadi PNS dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 98 Tahun 2000 yang telah direvisi dengan diubah dan ditambah dengan
PP Nomor 78 Tahun 2013 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil. Dengan
demikian jika Peraturan KPK hendak mengatur syarat lain mengenai proses alih
status tersebut maka harus sesuai dengan PP ini.

Berdasarkan Pasal 6 PP Pengadaan PNS tersebut terdapat syarat bagi pelamar,
yaitu:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggi-
tingginya 35 (tiga puluh lima) tahun;
c. Tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan keputusan
pengendalian yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan;
d. Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri atau tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, atau
diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta;
e. Tidak berkedudukan sebagai Calon/Pegawai Negeri;
f. Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan ketrampilan yang
diperlukan;
g. Berkelakuan baik;
h. Sehat jasmani dan rohani;
i. Bersedia ditempatkan di Seluruh wilayah Negara Republik Indonesia
atau negara lain yang ditentukan oleh Pemerintah; dan
j. Syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan

Dalam ketentuan tersebut jelas tidak terdapat syarat lolos atau lulus Tes
Wawasan Kebangsaan. Jika disandingkan, syarat alih status pegawai KPK
berdasarkan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 maka sudah dipastikan
berbeda dari ketentuan PP Pengadaan PNS di atas karena:
1. syarat alih status pegawai KPK jauh lebih berat;
2. mensyaratkan setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan
pemerintahan yang sah

Bahkan lebih jauh dapat dimaknai Peraturan KPK mengatur syarat-syarat di luar
syarat melamar menjadi PNS. Padahal ketentuan UU KPK dan PP Alih Status
Pegawai KPK memerintahkan untuk mengatur syarat lain yang sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan terkait ASN.

2.3. Tes Wawasan Kebangsaan tidak dikenal dalam TES PNS;
Presiden Joko Widodo, Pimpinan KPK, Kepala Badan Kepegawaian Negara [BKN]
menyebutkan tentang keberadaan tes wawasan kebangsaan terkait dengan alih
status pegawai KPK menjadi ASN [PNS atau PPPK]. Keberadaan tes wawasan
kebangsaan ini diyakini merupakan kewajiban bagi setiap calon PNS untuk
memastikan setia dan taatnya calon PNS kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
pemerintahan yang sah.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) PP Nomor 98 Tahun 2020 jo. PP
Nomor 78 Tahun 2013 tentang Pengadaan PNS tidak terdapat pengaturan
perihal tes wawasan kebangsaan. PP tersebut kemudian dicabut dengan
terbitnya PP Nomor 11 Tahun 2017 jo PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang
Manajemen PNS. Dalam ketentuan PP ini diatur dua konsep tes dalam pengadaan
PNS, yaitu:
1. Tes Kompetensi Dasar; dan
2. Tes Kompetensi Bidang.

Tes Wawasan Kebangsaan merupakan salah satu kemampuan yang diujikan
dalam Tes Kompetensi Dasar. Problemnya, tes wawasan kebangsaan hanya
diperuntukan untuk pengadaan PNS, bukan untuk alih status pegawai KPK yang
diatur dengan PP tersendiri, yaitu PP Nomor 41 Tahun 2020 yang tidak
menentukan keberadaan Tes Wawasan Kebangsaan.

Sebelum berlakunya PP Manajemen PNS tersebut, terdapat pula PP yang
mengatur tentang alih status anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Republik Indonesia menjadi PNS. PP Nomor 15 Tahun 2001 tentang Pengalihan
Status Anggota Tentara Nasional Indonesia Dan Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia Menjadi Pegawai Negeri Sipil Untuk Menduduki Jabatan
Struktural tidak mengatur tes wawasan kebangsaan sebagai salah satu syarat
untuk alih status menjadi PNS. Pasal 3 PP Nomor 15 Tahun 2001 mengatur
bahwa anggota TNI dan Kepolisian yang beralih status menjadi PNS harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. mempunyai pengetahuan serta keahlian yang berkaitan dengan substansi
tugas jabatan yang akan didudukinya;
b. keahliannya tidak terdapat dalam lingkungan Pegawai Negeri Sipil pada
instansi yang membutuhkan;
c. mempunyai pengalaman yang berkesesuaian dengan bidang tugas
jabatan yang akan didudukinya;
d. memenuhi syarat jabatan dan syarat kompetensi yang ditentukan bagi
Pegawai Negeri Sipil;
e. mempunyai kemampuan manajerial dan/atau mempunyai pengalaman
memimpin organisasi;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. memiliki integritas yang tinggi terhadap Negara.

Sama sekali tidak diatur syarat setia dan taas terhadap Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Pemerintahan yang sah. Hal itu disebabkan karena orang yang telah
lulus menjadi anggota TNI dan Kepolisian pastilah telah memiliki wawasan
kebangsaan yang tinggi. Jika terdapat anggota TNI dan Kepolisian yang terlibat
paham radikal dan anti-Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika
dapat dipastikan hanya oknum yang dapat disanksi melalui proses disipliner
yang berbeda dengan proses alih status menjadi PNS.

Bahkan lebih jauh dalam Pasal 148 dan Pasal 150 PP 11 Tahun 2017 jo. PP 17
Tahun 2020 tentang Manajemen ASN diatur bahwa Prajurit TNI dan anggota
Kepolisian yang menduduki jabatan ASN tidak dapat beralih status menjadi PNS.
Sehingga proses alih status tidak terdapat lagi untuk TNI dan Kepolisian. Artinya,
tidak diperlukan Tes Wawasan Kebangsaan menjadi PNS untuk proses pengisian
jabatan ASN tersebut. Lalu, kenapa untuk pegawai KPK harus dijadikan menjadi
PNS?

Secara spefisik, Pasal 4 ayat (1) PP Nomor 41/2020 tentang Alih Status Pegawai
KPK tidak mengatur keberadaan tes wawasan kebangsaan dalam tahapan alih
status pegawai KPK. Terdapat 5 (lima) tahapan untuk mengalih-statuskan
pegawai KPK menjadi ASN, yaitu:
a. Melakukan penyesuaian jabatan-jabatan pada Komisi Pemberantasan
Korupsi saat ini menjadi jabatan-jabatan ASN sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan ;
b. Melakukan identifikasi jenis dan jumlah pegawai Komisi
Pemberantasaan Korupsi saat ini;
c. Memetakan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman
Pegawai Komisi Pemberantasaan Korupsi dengan jabatan ASN yang
akan diduduki;
d. Melakukan pelaksanaan pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasaan
Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi PNS atau
PPPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
e. Melakukan penetapan kelas jabatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Ketentuan mengenai tes wawasan kebangsaan hanya tercantum dalam Pasal 5
Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. Ketentuan inilah yang ditambahkan
Pimpinan KPK dan pelaksanaannya menjadi argumentasi pemberhentian
pegawai KPK padahal ketentuan itu tidak memiliki dasar peraturan yang lebih
tinggi, baik berupa UU KPK dan PP Alih Status Pegawai KPK, bahkan juga tidak
terdapa dalam UU ASN dan PP Manajemen PNS.

2.4. Jika Pegawai KPK harus Tes Wawasan Kebangsaan, Mengapa Anggota
DPR dan Presiden tidak ikut Tes Wawasan Kebangsaan?

Persyaratan setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan
yang sah pada alih status pegawai KPK mirip dengan syarat menjadi calon
anggota DPR dan Presiden. Simak ketentuan Pasal 240 ayat (1) UU Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi berikut:

Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah
warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
a. telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia;
d. dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah
aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau
sekolah lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika;
----dan seterusnya---

Tidak pernah dalam proses Pemilu, bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPR Kabupaten/Kota sebelum mencalonkan harus melalui tes wawasan
kebangsaan. Lalu pertanyaannya kenapa hanya pegawai KPK yang diuji
kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan
yang sah sementara para politisi tidak. Apa yang membuat alat ukur mengetahui
rasa setia dan taat itu dibeda-bedakan? Apakah kita semua yakin bahwa bakal
calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah benar rasa
setia dan taatnya kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika?

Bahkan terhadap mereka diberikan syarat bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Harusnya perlu pula tes wawasan keagamaan untuk bisa memastikan
ketakwaan tersebut jika sejalan dengan logika tes wawasan kebangsaan terkait
setia dan taat kepada Pancasila dan lain-lain tersebut.

Pada faktanya tidak pernah dilakukan tes wawasan kebangsaan kepada DPR dan
calon pejabat negara lain. Hal juga ditentukan terkait syarat menjadi Presiden
berdasarkan Pasal 169 huruf o UU Pemilu yang juga harus setia pada Pancasila,
UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Faktanya Presiden Joko Widodo dan
presiden-presiden sebelumnya tidak pernah mengikuti tes wawasan kebangsaan
untuk membuktikan bahwa dia benar-benar setia pada Pancasila dan UUD 1945.

Pertanyaan besarnya kenapa hanya pegawai KPK yang disyaratkan setia dan taat
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Pemerintahan yang sah, yang harus mengikuti
tes wawasan kebangsaan untuk membuktikan syarat tersebut. Mengapa
Presiden dan DPR atau pejabat negara lainnya tidak melalui tes wawasan
kebangsaan yang tata cara assesmennya sama?

2.5. Pelanggaran terhadap Hak atas Persamaan di Hadapan Hukum dan
Pemerintahan
Tes wawasan kebangsaan pada alih status pegawai KPK tak hanya bermasalah
secara yuridis. Realitasnya, tes tersebut dilakukan tanpa panduan yang jelas.
Selain tes tulis, metode wawancara digunakan. Dalam wawancara ditemui
pertanyaan yang diskriminatif. Pertanyaan yang melanggar hak atas persamaan
di hadapan hukum dan pemerintahan.

Hak atas persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan dijamin dalam Pasal
27 ayat (1) UUD 1945. Lebih lanjut, Pasal 28I ayat (2) menjamin hak warga
negara bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu.

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur bahwa
diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecahan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok. Golongan, status sosial, status ekonomi, jenis
kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan penyimpangan,
atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Perlakuan diskriminatif justru didapat oleh pegawai KPK dalam tes wawasan
kebangsaan. Sejumlah pertanyaan menjurus pada diskriminasi atas dasar agama.
Pertanyaan mengarah pada pelanggaran hak atas kebebasan beragama,
kemudian membenturkannya dengan kesetiaan pada negara. Terdapat juga
pertanyaan yang tidak sensitif gender yaitu pertanyaan yang lekat dengan
konstruksi soal bagaimana perempuan tidak setara dengan laki-laki dalam hal
kontribusi di publik (bekerja) dan peran di keluarga. Pewawancara hanya
mengajukan pertanyaan kepada pegawai perempuan saja.

Di titik inilah, keabsahan pemberhentian pegawai KPK yang dinyatakan tidak
lulus tes wawasan kebangsaan semakin menjadi pertanyaan. Seakan-akan Tes
Wawasan Kebangsaan adalah alat pembenar terhadap upaya untuk
memberhentikan pegawai KPK. Jika memperhatikan tidak terkaitnya
pertanyaan-pertanyaan dalam Tes Wawasan Kebangsaan untuk mengukur rasa
kebangsaan, maka bukan tidak mungkin tes tersebut melanggar rasa setia dan
taat kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

2.6. Tanggungjawab Presiden
Presiden adalah orang yang sedari awal bertanggungjawab dalam proses alih
status pegawai KPK yang “dibuat-buat” dan berantakan itu. Buktinya sederhana
bahwa Presiden adalah salah satu pihak yang terlibat dalam membentuk UU
bersama DPR. Meskipun perubahan UU KPK itu adalah usulan DPR tetapi tanpa
persetujuan Presiden mustahil sebuah Rancangan UU dapat dibahas lebih lanjut.

UU No. 19 Tahun 2019 merupakan rencana bersama Presiden dan DPR untuk
mengalihstatuskan pegawai KPK menjadi ASN. Pada titik tertentu, Presiden
merancang dirinya untuk dapat mengendalikan seluruh ASN yang ada, namun
dalam konteks pegawai KPK ternyata Presiden tidak mengambil tindakan yang
nyata. Hal itu dapat dibuktikan dengan diterbitkannya PP Nomor 17 Tahun 2020
tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Pasal 3 PP Manajemen ASN ini
mengatur bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi Pembinaan PNS
berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS.

Jika Presiden menghendaki maka pegawai KPK dengan mudah dapat dialih-
statuskan menjadi PNS, tanpa perlu sesuai kehendak Pimpinan KPK sama sekali.
Jadi apabila ditanyakan siapakah yang paling bertanggungjawab dalam
mengangkat dan memberhentikan pegawai KPK atau pengalihstatusan pegawai
KPK menjadi ASN? Jawabnya satu, Presiden Joko Widodo.

Oleh karena itu, saran kepada Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan untuk menjalankan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI
dan Bhinneka Tunggal Ika dengan melantik seluruh pegawai KPK menjadi ASN.
Presiden tidak dapat lari dari tanggung-jawabnya dengan mencoreng nilai-nilai
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika dengan membenarkan isi
materi Tes Wawasan Kebangsaan alih status pegawai KPK tersebut.

***

Anda mungkin juga menyukai