D emokrasi yang dibidani kelahirannya oleh para filosof Barat, dari rahim peradaban
kufur Barat, memproklamirkan dengan tegas prinsip “kedaulatan di tangan rakyat”.
Kedaulatan dalam menentukan dan merumuskan hukum serta perundang-undangan,
namun berangkat dari asumsi: tidak mungkin semua orang dikumpulkan untuk merumuskan
hukum, maka diperlukan keberadaan lembaga perwakilan rakyat yang diklaim
mempresentasikan kehendak rakyat. Poin ini menegaskan bahwa Demokrasi, secara prinsipil
menjadikan kedaulatan berada di tangan manusia, manusia sebagai pemegang kedaulatan
merumuskan dan menentukan hukum serta perundang-undangan. Terlepas dari kenyataan, siapa
yang sebenarnya memegang tampuk kedaulatan, rakyat? Atau kaum Kapitalis?
=========
ke.dau.lat.an
n kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya
=========
Dalam istilah lainnya, kata ‘kedaulatan’ atau ‘al-siyâdah’ ialah “sesuatu yang
mengendalikan dan melaksanakan aspirasi”. Jika seseorang mengendalikan dan melaksanakan
aspirasinya sendiri, maka ia menjadi hamba (‘abdun) sekaligus sebagai tuan (sayyid). Jika orang
lain yang mengendalikan, maka ia menjadi hamba orang lain. Demikian pula jika umat
mengendalikan aspirasinya sendiri, maka umat itu menjadi hamba sekaligus tuan bagi dirinya
sendiri. Dengan kata lain, manusia diperhambakan oleh manusia yang lain.”1
Maka, dikenal istilah vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan), artinya suara rakyat
adalah suara tertinggi. Dalam slogan nasrani-sekularis dikenal ungkapan sesat:
صَر َو َما لِلّ ِه لِلّ ِه ِ َأع ِط ما لَِقي
َ صَر ل َقْي
َْ َ ْ
“Berikanlah hak kaisar kepada kaisar, dan hak Allah kepada Allah”2
1
Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual, Bogor: Al-Azhar Press, cet. II,
1428 H, hlm. 189.
Menimbang Prinsip Demokrasi dengan Islam| 1
Konsep kedaulatan manusia ala Demokrasi ini benar-benar terwujud di negara-negara
Demokratis, ditandai keberadaan parlemen (lembaga legislatif) yang merumuskan segala macam
perundang-undangan, yang sekaligus mempresentasikan konsep Trias Politica yang dicetuskan
Montesqieu. Dalam konsep Demokrasi, ada pembagian kekuasaan pada tiga bagian yang dikenal
dengan konsep Trias Politica:
a. Kekuasaan Legislatif
b. Kekuasaan Yudikatif
c. Kekuasaan Eksekutif
Ini disebutkan oleh al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, Beirut: Dâr
2
al-Ummah, hlm. 71; Hatim bin Hasan al-Dib, Mâdza Ta’rifu ‘an Hâdzihi al-Mushthalahât.
Menimbang Prinsip Demokrasi dengan Islam| 2
2. Prinsip Kedaulatan Rakyat dalam Persepektif Kritikus Demokrasi
Fakta-fakta sekilas di atas, sejalan dengan penjelasan para pakar dan ulama kritikus
Demokrasi, yang menegaskan bahwa prinsip kedaulatan dalam Demokrasi memberikan otoritas
kepada manusia secara mutlak untuk membuat hukum dan perundang-undangan.
Syaikh Dr. Abdul Hamid Mutawalli menegaskan korelasi antara kedaulatan dengan
otoritas tertinggi:
السلطة العليا اليت ال نعرف فيما تنظم من عالقات سلطة عليا أخرى إىل جانبها
“Otoritas tertinggi yang tidak mengakui pengaturan otoritas lain selainnya.”3
Bahkan ia termasuk hal paling mendasar sebagai karakter sistem Demokrasi, Syaikh
Hatim bin Hasan al-Dib ketika menjelaskan “min mabâdî’ al-dîmuqrâthiyyah” (diantara prinsip-
prinsip Demokrasi), sekaligus mengandung potensi legalisasi atas beragam kemungkaran, ia
menuturkan:
Prinsip kedaulatan rakyat: maknanya bahwa rakyat adalah sumber berbagai kedaulatan
(otoritas), oleh karena itu apa-apa yang dipandang boleh oleh rakyat, maka diperbolehkan
(dilegalkan) meskipun sebenarnya diharamkan berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah dan
kesepakatan umat ini, misalnya legalisasi pernikahan sejenis, mengkonsumsi khamr dan
memperjualbelikannya, serta legalisasi atas transaksi ribawi.7
3
Dr. ‘Abdul Hamid Mutawalli, Al-Qânûn Al-Dustûri wa Al-Anzhimah Al-Siyâsiyyah, hlm. 29,
Juz. I. Dâr al-Ma’ârif: Kairo, 1964. Lihat: Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti, Arkânun wa Dhamânât:
Al-Hukm Al-Islâmi, Beirut: Mu’assasah al-Riyâdh.
4
Dr. Mahmud Khalidi menukil dari kitab Minhâj Al-Hukm fî Al-Islâm karya Syaikh Muhammad
Asad (hlm. 47-48).
5
Dr. Mahmud al-Khalidi, Naqdh al-Nizhâm al-Dîmuqrâthi, Beirut: Dar al-Jîl, cet. I, 1404 H/
1984.
6
____, Al-Dîmuqrâthiyyah wa Al-Wa’y Al-Siyâsi, hlm. 15.
7
Hatim bin Hasan al-Dib, Mâdzâ Ta’rifu ‘an Hâdzihi al-Mushthalahât, Mesir: Mu’assasah al-
Shahâbah.
Menimbang Prinsip Demokrasi dengan Islam| 3
Syaikh Dr. Muhammad ‘Abdullah al-‘Arabi pun menegaskan bahwa slogan paling utama
dalam Sistem Pemerintahan Demokratis adalah rakyat memerintah dirinya oleh dirinya sendiri. 8
Secara faktual, kekuasaan dalam Demokrasi adalah kontrak sosial, dengan teori bahwa penguasa
adalah wakil rakyat yang diupah untuk menjalankan kekuasaan rakyat, Syaikh Dr. Mahmud al-
Khalidi menuturkan:
Demokrasi lahir dari asumsi bahwa manusia yang berhak merumuskan peraturan, oleh
karena itu umat menjadi sumber kedaulatan, maka umatlah yang merumuskan berbagai
peraturan, umat pula yang mempekerjakan pemerintah untuknya, dan mencabut
kekuasaan darinya jika umat menghendakinya, dan merumuskan peraturan yang
diinginkan. Karena (dalam Demokrasi) kekuasaan adalah akad jasa antara rakyat dan
penguasa, untuk memerintah dengan peraturan yang dirumuskan rakyat.9
Penjelasan senada ditegaskan oleh Syaikh Muhammad Syakir al-Syarif, Syaikh Abu Sayf
Jalil ibn Ibrahim al-‘Iraqi, Syaikh Hafizh Shalih.10
Prinsip seperti ini wajib ditimbang dengan timbangan Islam, bagaimana Islam
memandang prinsip ini?
8
Dr. Muhammad ‘Abdullah al-‘Arabi, Dirâsât fî Al-Nuzhum Al-Dustûriyyah Al-Mu’âshirah,;
dinukil dari: Dr. Mahmud al-Khalidi, Naqdh Al-Nizhâm Al-Dîmuqrâthi.
9
Dr. Mahmud al-Khalidi, Naqdh Al-Nizhâm Al-Dîmuqrâthi.
10
Lihat: Haqîqatud Dîmuqrâthiyyah karya Syaikh Dr. Muhammad Syakir al-Syarîf, al-
Dîmuqrâthiyyah Tsamarâtun wa Akhawâtun karya Syaikh Abu Sayf Jalil bin Ibrahim al-‘Iraqi, Al-
Dîmuqrâthiyyah wa Hukm Al-Islâm fîhâ karya Syaikh Hafizh Shalih.
11
Yakni pertentangan antara kaum filsuf dan gerejawan yang bertindak sewenang-wenang
atas nama agama.
12
Isma’il al-Khathib, Fiqh Al-Siyâsah, dinukil dari tulisan Syaikh Fahd bin Shalih “Su’âl al-
Siyâdah fî al-Fikr al-Islâmi al-Mu’âshir” dalam Majalah Al-Bayân, No. 303, Tahun ke-27, Bulan Dzul
Qa’dah 1433 H/ September 2012.
13
_______, Al-Hamlah Al-Amîrikiyyah lil Qadhâ-i 'Alâ Al-Islâm.
Menimbang Prinsip Demokrasi dengan Islam| 4
1. Pemilik Kedaulatan Hakiki Menurut Taujih Al-Qur’an & Al-Sunnah Al-
Nabawiyyah
Bertolak dari pengertian hakiki dari prinsip kedaulatan, maka terang benderang bahwa di
antara prinsip asasi yang membedakan Demokrasi dengan Islam adalah bahwa politik Islam,
secara prinsipil menjadikan kedaulatan hanya milik Al-Syari’, yakni milik Allah ’Azza wa Jalla.
Ini merupakan prinsip asasi yang digariskan secara qath’i (pasti, tidak samar) oleh Allah
dan Rasul-Nya. Pemahaman kedaulatan dalam Islam, sesungguhnya dibangun berdasarkan
argumentasi syar’i yang qath’i, Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan dalam firman-Nya:
ِ َق َوهُ َو خَ ْي ُر ْالف
}٥٧ { َاصلِين َّ ِإ ِن ْال ُح ْك ُم ِإاَّل هَّلِل ِ يَقُصُّ ْال َح
‟Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’âm [6]: 57)
Ayat yang agung ini menjadi sejelas-jelasnya landasan prinsipil (ushuli) dari politik dan
kepemimpinan Islam, yang tegak di atas prinsip kedaulatan di tangan Al-Syâri’, Allah Swt. yang
berhak membuat hukum, bukan manusia, bukan penguasa, bukan pula rakyat jelata. Ini
merupakan perkara prinsipil yang dituntut oleh dalil-dalil qath’iyyah (pasti, 100%), dicontohkan
secara praktis oleh Rasulullah Saw dan al-Khulafâ’ al-Râsyidûn dalam pemerintahan mereka,
serta ditegaskan oleh para ulama dalam banyak kitab turats, tak ada yang akan mengingkari dan
menafikannya kecuali mereka yang terpedaya, sama saja apakah terpedaya oleh hawa nafsu yang
membutakan, atau kejahilan yang menggelapkan pandangan, wal ’iyâdzu biLlâh.
Ayat ini menunjukkan bahwa hanya Allah yang berhak mensyari’atkan hukum. Imam al-
Syawkani menjelaskan:
. احلكم الفاصل بني احلق والباطل: واملراد...{ ِإ ِن احلكم ِإالَّ اهلل } أي ما احلكم يف كل شيء إال هلل سبحانه
“[Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah] yakni tidak ada hukum dalam hal apapun
kecuali hak Allah SWT.... dan maksudnya: Hukum yang memisahkan antara kebenaran
dan kebatilan.”14
Lafal in dalam ayat tersebut merupakan in nafi (yang menafikan), maka makna dari in al-
hukm yakni tiada hak menentukan hukum, diikuti dengan perangkat hashr
(pengecualian/pembatasan) huruf illa (kecuali), dan huruf lam al-ta’lil yang menunjukkan
peruntukkan15, sehingga kalimat in al-hukm illa liLlah, bermakna tiada (yang berhak
menentukan) hukum kecuali milik Allah.
Ini merupakan keyakinan terhadap tauhid rububiyyah, hanya Allah Swt yang berhak
berhak membuat hukum, menetapkan aturan halal dan haram, sebagai bagian dari mentauhidkan-
Nya. Allah SWT menegaskan bahwa tiada Ilah sesembahan selain-Nya:
14
Muhammad bin ‘Ali Al-Syaukani, Fath al-Qadîr, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, cet. I, 1414 H, juz II,
hlm. 139.
15
Mahmud Shafi, Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân wa Sharfuhu wa Bayânuhu Ma’a Fawâ’id
Nahwiyyah Hâmmah, Damaskus: Dâr al-Rasyîd, cet. III, 1416 H, juz. VII, hlm. 165.
Menimbang Prinsip Demokrasi dengan Islam| 5
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia, tiada sesembahan selain Allah.” (QS.
Muhammad [47]: 19)
Dan bahwa Dia adalah Dzat pemilik kekuasaan tertinggi di atas semua makhluk-Nya,
menegaskan bahwa Dia pemilik kedaulatan tertinggi, tiada yang menandingi kedaulatan-Nya,
terlebih tidak berada di atas kedaulatan-Nya, mengingat Allah SWT telah berfirman:
Konsekuensinya al-Qur’an dan al-Sunnah wajib menjadi konstitusi tertinggi yang wajib
dijunjung tinggi. Prinsip ini pun tergambar dalam ayat yang agung:
َ َا ِم َّما قyy ِه ْم َح َر ًجyفَاَل َو َربِّكَ اَل يُْؤ ِمنُونَ َحتَّ ٰى ي َُح ِّك ُموكَ فِي َما َش َج َر َب ْينَهُ ْم ثُ َّم اَل يَ ِج ُدوا فِي َأ ْنفُ ِس
َيْتyض
}٦٥{ َويُ َسلِّ ُموا تَ ْسلِي ًما
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam dirinya, terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hatinya.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 65)
Yakni keimanan terhadap segala hal yang wajib diimani sebagai konsekuensi dari
keimanan terhadap Allah.16
Kami, dengan menetapkan ini semua, mengakui dan mempercayai bahwa azan
merupakan seruan untuk shalat, namun kami dengan telinga yang dalam mendengar suara hatiku
berkata bahwa azan memiliki makna lain dan fungsi lain di samping fungsi sebagai seruan untuk
shalat, yakni azan sebagai seruan resmi yang dikeluarkan dari pusat resmi negara-masjid-dengan
menggunakan media informasi yang resmi-yaitu juru azan yang telah diangkat oleh Rasulullah
saw., sebagai kepala negara-melalui berdirinya negara Allah di bumi, di bawah kepemimpinan
Muhammad Rasulullah saw.. Semua itu terjadi, setelah Rasulullah saw. berhasil melewati setiap
rintangan yang dipasang oleh para pemuja kegelapan di jalan menuju tegaknya Negara Islam.
Ternyata rencana Allah di atas rencana siapapun, dan kekuatan Allah di atas kekuatan siapapun.
Kalau saja Anda mau merenungkan kalimat azan yang pertama “ ”اهلل أكرب اهلل أكربmaka Anda
akan mengerti bahwa Allah swt. lebih besar daripada mereka para thaghut, sehingga otomatis
Allah lebih kuasa dalam membuat rintangan, dan Dia Maha Memenangkan semua urusan-Nya. “
16
Hal ini sebagaimana diuraikan oleh para ulama dalam turats mereka, salah satunya
penjelasan ulama Nusantara yang mendunia, Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i dalam kitab Mirqât
Shu’ûd al-Tashdîq: Syarh Sullam al-Taufîq.
Menimbang Prinsip Demokrasi dengan Islam| 6
”أش[[هد[ أن ال إل[[هَ إال اهللini artinya bahwa tidak ada kedaulatan dalam negara Islam kepada selain Allah,
dan tidak ada hukum selain hukum Allah:
‟Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’âm [6]: 57)
Kalimat “ص[الة
ّ ( ”قَ[ ْد قَ[ َ[امت الseruan dalam iqâmah) artinya bahwa shalat itu benar-benar telah
ditegakkan dengan berdirinya negara ini, dan seandainya negara ini tidak berdiri, niscaya orang-
orang tidak akan berani beribadah kepada Allah.
Kalimat “ ال إل [ [[ه إال اهلل. اهللُ أك [ [ ْ[رب. ”اهللُ أك [ [ ْ[ربkemudian di akhir azan dipertegas kembali bahwa
kedaulatan dalam Negara Islam hanya milik Allah semata, dan hukum yang ada dalam Negara
Islam hanya syari’at-Nya saja.”