Anda di halaman 1dari 82

Penyusun & Penerjemah: Irfan Abu Naveed

Penulis Buku & Kajian Tsaqafah Islamiyyah, Staff di Sebuah


Pesantren-Kulliyyatusy-Syariiah

Artikel ini merupakan sebagian dari kajian yang akan ana


bukukan -bi fadhlillaahi taaalaa-, yang membahas
beragam pendapat yang pernah ana temukan selama
ini, qiila wa qiila dibantah oleh pernyataan para ulama
dalam banyak referensi kutub, wawancara, testimoni dan
tatap muka dalam diskusi langsung baik dengan
masyaayikh dari Timur Tengah maupun Indonesia. Dalam
penulisan part. I ini, sengaja tidak saya
sertakanistidlaal para ulama tersebut dengan pertimbangan
panjangnya pembahasan dan akan saya paparkan di buku
saya dengan bahasan yang lebih detail, Allah al-Mustaaan:

SYUBHAT I: DEFINISI DEMOKRASI TAK BAKU

A: Demokrasi itukan hanya istilah yang penting esensinya


(qiila wa qiila)

B: Demokrasi itukan musyawarah (qiila wa qiila)


C: Setiap orang bisa mendefinisikan Demokrasi, karena
tidak ada definisi yang baku (qiila wa qiila)

JAWABAN PAKAR & ULAMA: JELAS


DEFINISINYA

A. Jawaban I: Apa Definisi Demokrasi


Menurut Pengakuan Penganut Demokrasi Sendiri?

Secara bahasa, Demokrasi (democratie) berasal dari bahasa


Yunani kuno yang dicetuskan di Yunani pada abad ke-5 SM.
Istilah ini terdiri dari dua kata: Pertama,
Demos (rakyat). Kedua, Cratos (kedaulatan,
pemerintahan).

Sebagaimana dijelaskan dalam literatur: The term


originates from theGreek (dmokrata) rule of
the people, which was coined from (dmos) people
and (kratos) power or rule in the 5th century
BCE to denote the political systems then existing in Greek
city-states, notably Athens.
(www.wikipedia.org/democracy.
Lihat: in Henry George Liddell, Robert Scott,
A Greek-English Lexicon, at Perseus)
Artinya: Demokrasi merupakan istilah yang berasal dari
Yunani (dmokrata) yang berarti
pemerintahan rakyat, yang tersusun dari kata
(dmos) rakyat dan (kratos) kedaulatan atau
pemerintahan pada abad ke-5 SM (sebelum masehi) yang
merupakan sistem politik di Negara Kota Yunani,
khususnya di Athena.

Secara istilah dijelaskan: Democracy is a form


of government in which power is held directly or indirectly
by citizens under a free electoral system.[1] Dalam
terjemah berbahasa Indonesia: Demokrasi adalah bentuk
atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh
pemerintah negara tersebut.[2]

Dan secara terperinci dijelaskan: Even though there is no


universally accepted definition of democracy there are two
principles that any definition of democracy includes. The
first principle is that all members of the society (citizens)
have equal access to power and the second that all members
(citizens) enjoy universally recognized freedoms and
liberties.[3] Artinya: Meskipun tidak ada definisi
Demokrasi yang diterima secara universal, namun ada dua
prinsip Demokrasi yang disepakati. Prinsip pertama bahwa
semua anggota warga negara memiliki hak yang sama
untuk meraih kekuasaan[4]. Prinsip kedua bahwa semua
warga negara berhak menikmati kebebasan dan
kemerdekaan.

B. Jawaban II: Apa Definisi Demokrasi


Menurut Penjelasan Para Ulama?

Syaikh Dr. Abdurrazzaq Ied menuturkan:

)(

Sesungguhnya kalimat Demokrasi merupakan salah satu


dari banyak kosakata pemikiran politis dunia yang sudah
ada dari dulu dengan asal-usulnya dari Yunani.[5]

Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi menukil pernyataan Syaikh


Muhammad Asad yang menjelaskan:


- )) ((
-
.
.
(Kedaulatan) merupakan hak rakyat yang bersifat mutlak
dalam merumuskan berbagai peraturan secara umum
melalui suara mayoritas wakilnya (di parlemen). Oleh
karena itu, maka sesungguhnya kehendak rakyat yang
lahir dari sistem Demokratis yakni: minimal dari sisi
teori- bahwa kehendak rakyat bebas tidak terbatas, bersifat
mutlak terbebas dari batasan-batasan di luar kehendaknya,
maka ia menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada
kedaulatan lain selain kedaulatannya.[6] Berdasarkan
pemahaman ini, Demokrasi menjelaskan bahwa ia tegak di
atas asas kedaulatan di tangan rakyat.[7]

Syaikh Muhammad Syakir al-Syarif & Syaikh Abu Sayf Jalil


ibn Ibrahim al-Iraqi menyatakan:

:
:
.

Maka jadilah frase ini (Demokrasi) tersusun dari dua


kalimat: pemerintahan rakyat atau kedaulatan rakyat, oleh
karena itu: Demokrasi merupakan salah satu sistem dari
berbagai sistem pemerintahan yang menjadikan kedaulatan
atau kedaulatan konstitusional sebagai hak rakyat, umat
atau suara mayoritas.[8]
Syaikh Hafizh Shalih menegaskan:

-
- - -


.

Adapun makna hakiki yang disebutkan kata ini yakni kata


Demokrasi adalah pemerintahan rakyat oleh rakyat dan
untuk rakyat- dimana ia adalah suatu kata yang berasal dari
Yunani Greek- tersusun dari dua
kata: Demos dan Kratos yakni kedaulatan milik rakyat,
bahwa rakyat yang menjalankan kehendaknya sendiri,
menetapkan perundang-undangan dan mengatur hidupnya.
Rakyat pula yang memilih para penguasanya yang
diharuskan menerapkan peraturan dan perundang-
]undangannya.[9

Syaikh Prof. Dr. Abdul Qadim Zallum menyatakan:



.
- -

.
.

Demokrasi merupakan lafazh asing (dari Barat) yang


digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari, oleh,
dan untuk rakyat. Rakyat adalah penguasa mutlak dan
pemilik kedaulatan, yang berhak mengatur urusannya
sendiri, serta melaksanakan dan menjalankan kehendaknya
sendiri. Rakyat tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan
siapapun, selain kekuasaan rakyat. Rakyat berhak membuat
peraturan dan undang-undang sendiri karena mereka
adalah pemilik kedaulatan melalui para wakil rakyat yang
mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan
dan undang-undang yang telah mereka buat, melalui para
penguasa dan hakim yang mereka pilih dan keduanya
mengambil alih kekuasaan dari rakyat, karena rakyat
adalah sumber kekuasaan. Setiap individu rakyat
sebagaimana individu lainnya berhak menyelenggarakan
negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan
dan undang-undang.

C. Jawaban III: Bagaimana Kaidah Islam


dalam Mengadopsi & Menghukumi Definisi?

Istilah Demokrasi, dipahami berdasarkan definisi dari asal-


usulnya (Yunani) maka definisi inilah yang dihukumi.
Syaikh Muhammad Syakir al-Syarif dalam
kitab Haqiiqatud Diimuqraathiyyah mengungkapkan:

Sungguh kita (dalam islam) sudah terbiasa dan hal ini


merupakan kebiasaan yang benar yang harus senantiasa
diperhatikan bahwa setiap kata yang bukan berasal dari
bahasa arab, ketika kita ingin memahami pengertiannya,
maka kita harus memahami makna dan mengetahui hakikat
pengertiannya dengan mengembalikannya pada
pemahaman asal kata tersebut di tempat kemunculannya.
Sehingga kita tidak dikelabui para penerjemah yang
terjangkit penyakit hawa nafsu, berbagai syahwat dan
syubhat menyimpangkan makna dari istilah-istilah asing
ini, dan digunakan kepada manusia dengan jubah tipudaya
meremehkan orang-orang awam dan sedikit ilmunya,
dengan maksud mempromosikan istilah-istilah dan
pengertian kata ini di tengah-tengah kaum muslimin.
Penjelasan serupa di atas, bisa kita temukan pula dalam
disertasi Syaikh Dr. Muhammad Ahmad Abdul Ghaniy
yang menuturkan:

Dan menggagas penggabungan ini (baca: pengaburan


istilah-istilah-pen.) berbahaya, yakni menyebabkan tumpang
tindih antara lafazh-lafazh yang termasuk istilah islami di
satu sisi dan istilah-istilah di luar islam di sisi yang lain.
Dan berbahaya pula terhadap islam, gagasan atas
kebebasan penggunaan istilah-istilah di luar akidah islam
untuk diterapkan ke dalam istilah islam. Maka, wajib
dicegah adanya tumpang tindih dalam pemahaman-
pemahaman dan istilah-istilah ini secara umum bagi
seluruh aliran atau keyakinan.[10]

Tidak ada pengambilan pendapat (opini pribadi.pen.) dalam


pengambilan definisi sebuah kata. Dalam hal ini, prinsip
suara mayoritas pun tidak berlaku, tidak sah.[11]

Syaikh Muhammad Asad dalam kitab Minhaj Al-Islam fi


Al-Hukm (hlm. 52) mengungkapkan:

Merupakan penyesatan yang sangat berbahaya dengan


kesesatan sejauh-jauhnya, jika ada orang yang mencoba
menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya
dengan Islam diterapkan pada pemikiran-pemikiran dan
peraturan-peraturan Islam.[12]

Sebagai contoh, al-Aliim al-Syaikh Atha Ibn Khalil


menjelaskan dalam kitab tafsirnya:



)(



.

Maka sebagai contoh, apabila ditanyakan kepada kita:


hukum syara atas sosialisme, maka kita tidak mengkaji
makna sosialisme dari kata sosialisasi, sekutu atau
persekutuan berdasarkan makna-maknanya secara bahasa
dan kita menghukuminya. Akan tetapi, kita menyerahkan
otoritas terhadap hukum syara (menghukuminya)
berdasarkan makna istilah dari kata sosialisme, maka kita
temukan bahwa para penganut sosialisme menamakannya
dengan istilah tersebut untuk menunjukkan ideologi
tertentu yang mengingkari keberadaan Sang Khalik,
meyakini materi dan keabadiannya, kemudian menggali
hukum tertentu berdasarkan dari akidahnya ini. Maka kita
katakan bahwa evolusi materi, penghapusan kepemilikan
dan semboyan-semboyan persamaan tertentu lahir dari
sistem ini. Berdasarkan hal ini, kita katakan bahwa
sosialisme merupakan sistem kufur berdasarkan nash-nash
yang telah disebutkan tentang pengertian istilahiy.

SYUBHAT II: DEMOKRASI SAMA DENGAN ILMU


SAINS; FISIKA, MATEMATIKA, -[13]

A: Kalau antum mengharamkan Demokrasi, maka


haramkan pula ilmu matematika, fisika, dll (qiila wa
qiila)

JAWABAN ULAMA:

Peradaban adalah sekumpulan pemahaman tentang


kehidupan, mencakup kehidupan dunia dan keyakinan apa
yang akan terjadi pada manusia setelah kematiannya.
Maka, peradaban jelas bersifat khas sesuai dengan
pandangan hidup tertentu
Al-Allaamah Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan:

..
.

Peradaban adalah sekumpulan pemahaman tentang


kehidupan yang bersifat khas berdasarkan sudut pandang
tertentu terhadap kehidupan.[14]

Demokrasi sebagai sebuah paradigma politik, jelas memiliki


prinsip dan asas tertentu yang bersifat khas, dimana prinsip
dan asas tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dan
asas politik Islam (as-siyaasah asy-syariyyah)

SYUBHAT III: DEMOKRASI ADA KEBAIKANNYA

A: Demokrasi memang bukan dari Islam, tapi ada


kebaikannya (qiila wa qiila)

B: Demokrasi adalah jalan menuju perubahan (qiila wa


qiila)

C: Demokrasi yang telah dijalankan di Indonesia dinilai


sudah baik, bahkan demokrasi yang diterapkan di
Indonesia menjadi bahan rujukan untuk penerapan
demokrasi di negara timur tengah (qiila wa qiila)
JAWABAN ULAMA: JELAS BAHAYANYA,
KEBOBROKANNYA, KESESATANNYA &
PERTENTANGANNYA DENGAN AJARAN-AJARAN
ISLAM

A. Jawaban I: Bahaya Prinsipil Ajaran


Kedaulatan Rakyat dalam Demokrasi

Syaikh Hatim bin Hasan al-Dib ketika menjelaskan min


mabaadii al-diimuqraathiyyah (diantara prinsip-prinsip
demokrasi), ia menuturkan:

:


.

Prinsip kedaulatan rakyat: maknanya bahwa rakyat adalah


sumber berbagai kedaulatan (otoritas), oleh karena itu apa-
apa yang dipandang boleh oleh rakyat maka diperbolehkan
(dilegalkan) meskipun sebenarnya diharamkan
berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah dan kesepakatan
umat ini, misalnya legalisasi pernikahan sejenis,
mengkonsumsi khamr dan memperjualbelikannya, serta
transaksi riba.[15]
Syaikh Dr. Mutawalli mengaitkan antara kedaulatan
dengan otoritas tertinggi. Dan Syaikh Dr. Mutawalli pun
mengadopsi pandangan bahwa kedaulatan adalah:

Otoritas tertinggi yang tidak mengakui pengaturan otoritas


lain selainnya.[16]

Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi menuturkan:

Maka Demokrasi lahir dari sisi pemahaman bahwa


manusia yang berhak merumuskan peraturan, oleh karena
itu umat menjadi sumber kedaulatan, maka umatlah yang
merumuskan berbagai peraturan, umat pula yang
mempekerjakan pemerintah untuknya, dan mencabut
kekuasaan darinya jika umat menghendakinya, dan
merumuskan peraturan yang diinginkan. Karena (dalam
Demokrasi) kekuasaan adalah akad jasa antara rakyat dan
penguasa, untuk memerintah dengan peraturan yang
dirumuskan rakyat.[17]
Syaikh Dr. Muhammad Abdullah al-Arabi menjelaskan:

Slogan paling utama dalam Sistem Pemerintahan


Demokratis bahwa rakyat memerintah dirinya oleh dirinya
sendiri.[18]

Syaikh Dr. Imam Abdul Fattah menjelaskan:

Maka suara kebenaran tertinggi dan sumber keputusan


merupakan milik rakyat, tidak ada sesuatu pun di atas
kedudukannya, maka kedaulatan adalah hak rakyat untuk
merumuskan perundang-undangan, dan bahwa rakyat yang
memerintah dirinya oleh dirinya dan untuk dirinya
sendiri.[19]

Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi menukil pernyataan Syaikh


Muhammad Asad yang menjelaskan:


- )) ((
-
.
(Kedaulatan) merupakan hak rakyat yang bersifat mutlak
dalam merumuskan berbagai peraturan secara umum
melalui suara mayoritas wakilnya (di parlemen). Oleh
karena itu, maka sesungguhnya kehendak rakyat yang
lahir dari sistem Demokratis yakni: minimal dari sisi
teori- bahwa kehendak rakyat bebas tidak terbatas, bersifat
mutlak terbebas dari batasan-batasan di luar kehendaknya,
maka ia menjadi tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada
kedaulatan lain selain kedaulatannya.[20]

B. Jawaban II: Ajaran Demokrasi Jelas


Berbahaya

KH. Muhammad Harun Ridhwan (mubaligh, tokoh ulama


Cianjur) Cianjur, 27/1/2013 ketika menjelaskan tafsir QS.
al-Anaam [6]: 115-116, menuturkan (dengan bahasa Sunda
dan diterjemahkan):

Kata Rabb berkaitan dengan perbuatan-perbuatan Allah,


berbeda dengan kata Ilaah yang berkaitan dengan pujian
dan penyembahan. Kalimat Dan jika kamu mengikuti
sebagian besar manusia di muka bumi, mereka akan
memalingkanmu dari Jalan Allah. Maknanya adalah
Demokrasi, saya pernah mendengar seorang mubaligh
menyatakan bahwa Rasulullah itu Demokratis berdasarkan
kisah Perang Khandaq. Padahal jika dikaji berdasarkan
sejarah yang benar, Rasul SAW justru tidak Demokratis.
Dalam Perang Khandaq Rasul SAW justru tidak mengambil
pendapat mayoritas tapi pendapat Salman al-Farisi r.a.
yang kisahnya terkenal. Kita menolak Demokrasi karena
Demokrasi menyimpang dari ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Fadhilatusy-Syaikh Abdurrahman bin Hammad al-Umar


menuturkan:

Dan cukup bagi orang yang berakal untuk menghukumi


Demokrasi dan Sekularisme sebagai sekutu Freemason
dalam kerusakan kompleks dan kekufuran yang nyata, dan
sesungguhnya Demokrasi merupakan malapetaka bagi
agama dan kehidupan dunia.[21]

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hammad al-Umar


menuturkan:



..
:
..
: ..
Saya memandang di antara kewajiban bagiku, bagi seluruh
orang berilmu dan jurnalis muslim yang beriman terhadap
apa yang diwajibkan Allah SWT kepadanya yakni
berdakwah menyeru kepada-Nya, menyuruh kepada yang
maruf dan mencegah kemungkaran, dan berupaya keras
menyelamatkan umat manusia dan khususnya umat Islam
dari berbagai hal yang membinasakan dan menimbulkan
kesengsaraan.. Saya memandang diantara kewajiban yang
tegas: wajib bagi kita menjelaskan kepada masyarakat,
penguasa dan rakyatnya bahaya besar yang mengancam
mereka dengan kehancuran akidah, akhlak, pergaulan
sosial, perekonomian dan dunia kesehatan serta
mengancam mereka dengan kesengsaraan yang pasti bagi
orang yang bersekutu di dalamnya dan berjalan di atas
jalan kaum pragmatis.. Inilah bahaya besar yang
dinamakan DEMOKRASI.[22]

Sama halnya ketika terjalin dalam diskusi


( pentingnya kedudukan penguasa dalam
menghapuskan berbagai kemungkaran di tengah-tengah
kaum muslimin). Dr. Shalih Musa menegaskan bahwa hal
itu bisa terwujud dengan adanya al-Dawlah al-
Islamiyyah. Sedangkan Syaikh Dr. Abu Abdullah
menjelaskan kepada penulis:

Maka wajib bagi siapa saja yang menguasai urusan kaum


muslimin (penguasa) untuk mencegah hal-hal yang bisa
membayakan agama dan dunia kaum muslimin.

C. Jawaban III: Jelas Pertentangannya dengan


Prinsip Kedaulatan dalam Islam & Allah Yang
Berhak Membuat Hukum

Menafsirkan QS. Al-Anaam [6]: 57, dalam kitab tafsir Fath


al-Qadhiir,Imam al-Syawkani menjelaskan:

: } {
.

[Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah] yakni tidak


ada hukum dalam hal apapun kecuali hak Allah SWT. dan
maksudnya: Hukum yang memisahkan antara kebenaran
dan kebatilan.

Menafsirkan QS. Al-Nisaa [4]: 65, al-Hafizh al-Imam al-


Thabari menafsirkan ayat ini:

:
=
: = :
: =

Frase fa laa (dan tidaklah) artinya tidak seperti apa yang


mereka klaim: bahwa mereka beriman terhadap apa
yang diturunkan kepadamu (al-Quran) tapi berhukum
kepada thaghut-thaghut, dan memalingkan diri darimu
ketika mereka menyerumu wahai Muhammad; kemudian
dipertegas sumpah dalam firman-Nya yang mulia: Demi
Rabb-mu wahai Muhammad; mereka tidak beriman
yakni tidak membenarkan-Ku, dirimu dan terhadap apa
yang diwahyukan kepadamu; hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan ,
artinya: hingga mereka menjadikanmu hakim dalam
perselisihan di antara mereka dalam berbagai
urusan.[23]

:
: = : .
.

Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka


sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
yakni: tidak ada kesempitan dalam diri mereka terhadap
keputusanmu. Dan maknanya: kemudian tidak ada
keterpaksaan dalam diri mereka menerima apa yang
engkau putuskan. Yakni tidak berbuat dosa dengan
mengingkari apa yang engkau putuskan, dan
keputusanmu benar sehingga tidak diperbolehkan bagi
mereka menyelisihinya.

:
.

Dan mereka menerimanya dengan sepenuh hati artinya:


dan mereka menerima keputusan dan hukum darimu
(Muhammad), ketundukan mereka demi ketaatan, dan
sebagai pengakuan terhadap dirimu yang mengemban
nubuwwah dengan sepenuhnya.

Syaikh Dr. Abdul Hakim al-Iliy menegaskan bahwa


kedaulatan milik Allah semata.[24]

Syaikh Dr. Shubhi Abduh Said menegaskan:

Tidak ada tempat dan kesempatan di bawah naungan


Islam dan Sistem Pemerintahannya untuk menyuarakan
konsep kedaulatan di tangan masyarakat (rakyat); karena
kedaulatan ini milik Allah semata, dan manusia tidak boleh
bersikap angkuh menyelisihi kekhususan hak Allah ini.[25]

Syaikh Abdullah Al-Kaylani menjelaskan:

Pemahaman Islam bertentangan dengan Demokrasi dari


asas yang mendasari eksistensinya. Karena legislasi hukum
dalam Islam (kedudukannya) di atas kehendak rakyat dan
negara, Islam menghukumi semua dengan syariatnya yang
bersifat ilahi, dan Islam tidak tunduk di bawah legislasi
perundang-undangan positif.[26]

Syaikh Abu Sayf Jalil ibn Ibrahim al-Iraqi menuturkan:






:

.[65 : ]

Pernyataan mereka (penganut demokrasi) bahwa


pemerintahan rakyat dan bahwa rakyat adalah sumber
hukum, pada asalnya sudah merupakan kekufuran kepada
Allah Yang Maha Agung, jika tidak siapa yang memberikan
rakyat kedaulatan ini, dan siapa yang menjadikannya
pembuat hukum yang mengatur dirinya sendiri sesuai
kehendaknya sendiri, lantas kemana syariat Allah dimana
Allah telah bersumpah dengan Dzat-Nya yang Maha Suci
bahwa tidak beriman orang yang tidak mau berhukum
dengan syariat-Nya dengan keridhaan dan berserah diri.
Allah SWT berfirman: Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati
mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS.
al-Nisaa: 65).

Syaikh Prof. Muhammad Asad menjelaskan:

Adapun al-Dawlah al-Islamiyyah jika tunduk pada


kehendak rakyat maka akan tergantung pada arahannya;
maka sesungguhnya kedaulatan dalam al-Dawlah al-
Islamiyyah milik Allah semata, maka apabila al-Dawlah al-
Islamiyyah memerintah dengan perintah yang sejalan
dengan syarat-syarat yang syari, maka atas pengaturannya
ini wajib ditaati dan diberikan loyalitas.[27]

Syaikh Dr. Shalah al-Shawiy menuturkan:

.
:
. :

Siapa yang berhak membuat hukum saat ini? Pertanyaan


berulang penduduk negeri-negeri dan para hamba dengan
jawaban yang sebenarnya terang benderang. Ahlul Iman
menjawab pertanyaan ini kapanpun dimanapun dengan
firman Allah SWT: Keputusan itu hanyalah kepunyaan
Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Karena mereka adalah hamba di
hadapan Allah, dan mereka sudah selayaknya menerima
ketetapan islam tersebut.[28]

Berbeda dengan orang beriman, para pengikut hawa nafsu


menjawab sebagaimana dituturkan Syaikh Dr. Shalah al-
Shawiy:


.
Para pengikut hawa nafsu menjawab pertanyaan ini
dengan jawaban beragam, namun mereka semua bersekutu
pada poin berhukum dengan hawa nafsu, permusuhan
terhadap wahyu, dan pemisahan negara dari agama.

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Amhazun menegaskan:

Sungguh Allah SWT telah menafikan keimanan bagi


orang-orang yang tidak mau berhukum kepada syariat-
Nya, tidak ridha terhadap hukum-Nya dan keputusan-Nya
(ada penolakan dan pengingkaran-pen.). [29]

Menukil QS. An-Nisaa [4]: 65. Asy-Syaikh Prof. Dr.


Muhammad Amhazun menukil penjelasan Imam Abu Bakr
al-Jashshash yang berkata:


-
..
. -

Dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa barangsiapa


menolak sesuatu dari perintah Allah atau perintah
Rasulullah SAW, maka ia keluar dari Islam, sama saja
apakah menolak karena faktor keraguan terhadapnya atau
karena tidak mau menerima, tidak mau tunduk dan
berserah diri Karena Allah SWT memvonis orang yang
tidak mau menerima keputusan dan hukum dari Nabi SAW
sebagai orang yang tidak beriman (menolak-pen.).[30]

Menukil ayat di atas, Syaikh Abdul Hamid al-Jubah


menuturkan:

Sesungguhnya keimanan menuntut kita untuk tunduk


secara mutlak terhadap hukum Allah, dan keimanan kita
kepada Allah sebagai Sang Pencipta segala hal yang ada
tidak dapat dipisahkan dari keimanan kita bahwa Allah
adalah Yang Maha Membuat Hukum, karena memisahkan
kedua hal ini merupakan kesesatan, dan kita berlindung
kepada Allah dari hal ini.[31]

Kemudian Syaikh Abdul Hamid menegaskan:



.
Sesungguhnya tidak ada kewenangan hukum kecuali milik
Allah, dan ini termasuk kekhususan tauhid al-uluhiyyah
yang khusus bagi Allah SWT, tidak ada seorang manusia
pun yang boleh mengklaimnya, maka pembuat hukum
adalah Allah, Maha Raja itu adalah Allah, yang
mengharamkan pun adalah Allah semata dan Dialah Allah
Dzat Yang Disembah.

Menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 208, Imam Fakhruddin


al-Razi dalam tafsir-nya menjelaskan makna kalimat
udkhuluu fis-silmi kaaffah:

Yakni masuklah ke dalam aturan-aturan syariat Islam


secara menyeluruh, dan jangan berpedoman terhadap
sesuatu pun dari hukum-hukum taurat , baik dari sisi
keyakinan maupun amal, karena syariatnya sudah dihapus
(diganti oleh syariat Islam-pen.).[32]

Imam al-Razi pun menegaskan:


Masuklah kalian ke dalam seluruh aturan-aturan Islam
(al-syariiah al-islaamiyyah) baik dari sisi keyakinan
maupun amal.

Al-Hafizh Ibn Katsir menyatakan dalam tafsirnya:

:
.

Allh SWT berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya


yang beriman untuk membenarkan Rasul-Nya: mengambil
seluruh ikatan dan syariat Islam, mengamalkan seluruh
perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya
sesuai kemampuan (dengan segenap kemampuan -pen.).[33]

Al-Alim al-Syaikh Atha bin Khalil menegaskan:




(
) :
.

Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa jika mereka


tidak masuk ke dalam seluruh ajaran Islam, dan tetap
berpegang teguh pada ajaran dari syariat-syariat
sebelumnya yang tidak dibenarkan oleh Islam, maka
sesungguhnya mereka menjadikan diri mereka dimurkai
oleh Allah dan siksa-Nya, dan secara khusus Allah
menjelaskan bagi mereka hujjah-hujjah yang jelas
menunjukkan bahwa Islam adalah jalan kebenaran, dan
agama-agama terdahulu telah menyimpang dan berubah:
(Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya)
[34], maka setelah syariat Islam diturunkan tidak diterima
syariat selainnya.

Dan perintah dalam ayat ini pun merupakan kewajiban,


karena ada indikasi yang menyertai tuntutan ini
(qariinah): dan janganlah kamumengikuti langkah-
langkah syaitan. Sebagaimana diungkapkan Syaikh Atha
bin Khalil.

Syaikh Dr. Samih Athif al-Zayn menuturkan:

Dan Islam yang tegak di atas asas tauhid menjadi standar


hukum bagi manusia, baik individu maupun masyarakat,
dengan kewajiban takwa dan konsisten terhadap syariah
yang dikehendaki Allah SWT sebagai manhaj hidup bagi
manusia, setelah itu Allah pun memberantas keburukan
jahiliyah dan gelapnya kesyirikan dari mereka (umat
manusia) dan kesewenang-wenangan fanatisme,
mengharamkan perbudakan dan menghapuskannya
berdasarkan firman Allah: Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang
paling bertakwa.[35]

D. Jawaban IV: Jelas Kesesatan Asas


Sekularisme Demokrasi

Syaikh Hasan al-Sayid menegaskan:

Demokrasi ada untuk menghukumi kehidupan dunia


dengan perundang-undangan positif (yang diberlakukan
negara-pen.) yang menyelisihi syariat Allah, artinya
Demokrasi berusaha menandingi hukum Allah. Adapun
Sistem Pemerintahan dalam Negara Islam tegak untuk
menjaga eksistensi Din al-Islam, menyebarkannya dan
melindunginya, serta menghukumi kehidupan dunia
dengannya.[36]
Syaikh Ismail al-Khathib mengungkapkan:

Demokrasi tegak di atas asas prinsip pemisahan agama


dari masyarakat, dan kebangkitannya setelah terjadi
perpecahan agama[37].[38]

Lihat pula penegasan al-Allamah Qadhi Taqiyuddin an-


Nabhani dalam kitab Nizhaam al-Islaam.

Syaikh Dr. Athiyyah Adlan menegaskan:

- -

Sesungguhnya kebenaran yang tidak bisa dipungkiri


adalah bahwa Islam merupakan agama dan negara, dan
bahwa Nabi SAW disamping menegakkan Din Islam beliau
pun menegakkan Negara Islam, dan bahwa Syariat Islam
mencakup pandangan tentang politik, sistem
pemerintahan, serta asas-asas kaidah yang wajib
ditegakkan kaum muslimin atas negaranya.[39]

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti menjelakan:


Adapun slogan pemisahan agama dari negara,
sesungguhnya slogan ini hanya sesuai untuk Dunia Barat
yang merumuskan berbagai pandangan dan sistem
peraturan yang menjadi tujuan mereka, yakni untuk
menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan antara
pihak gereja dan penguasa, dan menghentikan perselisihan
keduanya di tangan raja. Hal ini tidak pantas bagi kaum
muslimin dengan alasan apapun, karena agama mereka
adalah Islam dan negara mereka tidak boleh tegak kecuali
di atas asas Islam, maka tidak boleh memisahkan antara
Islam sebagai agama dan Negara Islam sebagai kekuasaan.
Baik tegaknya pemerintahan di atas asas Islam maupun
wajib adanya Negara Islamiyyah . Dan mustahil kaum
muslimin bisa hidup seperti kaum muslimin tanpa negara
yang dinaungi Islam, namun eksistensi dan keberadaan
mereka hidup secara islami. Lantas, bagaimana kita bisa
memisahkan antara agama Islam dan Negara Islamiyyah,
padahal ada perintah-perintah Allah SWT kepada kaum
muslimin yang mewajibkan atas mereka menegakkan
pemerintahan yang sesuai dengan syariat agama mereka?
Bukankah al-Quran al-Karim adalah kitab suci yang
diturunkan Rabb Semesta Alam dan Dia menjelaskan di
dalamnya kaidah-kaidah pemerintahan dalam al-Dawlah
al-Islaamiyyah?
Islam telah menggariskan paradigma politik yang agung
yang berbeda dengan paradigma politik Demokrasi, dimana
para ulama mendefinisikanas-siyaasah asy-syariyyah:

Pemeliharaan terhadap urusan umat dalam dan luar


negeri berdasarkan syariat islam. [40]

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti menegaskan


dalam subjudulPentingnya Kedudukan Kekuasaan Politis
dalam Islam () :


)) :--
[41]((

Islam menolak segala kekacaun politis dan menuntut


kekuasaan yang teratur hingga pada pengaturan berbagai
urusan khusus. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
Jika tiga orang bepergian maka angkatlah salah satunya
menjadi pemimpin.[42]

Lalu, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti pun


menegaskan:

--

Oleh karena itu, para ahli fikih menggali hukum tentang


kewajiban adanya kepemimpinan politik dan masyarakat
yang politis yang teratur. Syaikh Ibn Taymiyyah
menjelaskan bahwa jika Rasulullah SAW telah mewajibkan
adanya kepemimpinan ini terhadap lingkup kecil, maka hal
ini menjadi dalil yang sangat jelas terhadap kewajiban
adanya kepemimpinan politis bagi lingkup masyarakat yang
lebih luas yakni umat ini.

Syaikh Dr. Shalah Al-Shawi menegaskan kekhasan politik


dalam Islam:

Maka menegakkan agama dan mengatur urusan dunia


dengan Islam merupakan perbedaan yang paling pokok
antara sistem Imamah (Khilafah) dengan sistem-sistem
politik yang tegak di zaman ini yang memisahkan antara
Din dan pengaturan dunia, dan mengurusi urusan dunia
dengan memisahkannya dari agamanya, dan mengemban
seluruh tuntutan hawa nafsu dan syahwat.[43]

Syaikh Dr. Muhammad bin Hamid Muhammad Hawari


menuturkan:


.

.

Akidah Islamiyyah adalah asas Negara, sehingga tidak ada


sesuatu apa pun (selain akidah Islam-pen.) dalam Institusi
Perangkat Negara, Struktur dan aktivitas muhasabah
atasnya atau apapun yang berkaitan dengannya kecuali
menjadikan akidah islamiyyah sebagai asas dari hal-hal
tersebut. Pada saat yang sama, akidah ini pula yang
menjadi asas Undang-Undang Dasar dan perundang-
undangan syariyyah ketika Islam tidak memberikan
peluang kepada apapun yang berkaitan dengan keduanya
kecuali harus tergali dari akidah islamiyyah.[44]

Syaikh Dr. Muhammad bin Hamid Muhammad Hawari


menjelaskan lebih rinci:


.

Negara yang menerapkan Undang-Undang Dasar seperti


ini bukan sembarang negara melainkan negara tertentu
yang unik, yakni Negara Islamiyyah, karena negara wajib
tegak di atas asas Islam dalam pemikiran paling dasarnya
(akidah) yang tergali dan diadopsi seluruh pemikiran
cabang berdasarkan asasnya.

E. Jawaban V: Jelas Bahaya Paham


Demokrasi yang Lahir dari Hawa Nafsu

Al-Alim al-Syaikh Prof. Abd al-Qadim Zallum


memperingatkan:


.

.

Demokrasi yang dijajakan kaum kafir Barat ke negeri-


negeri Islam, sesungguhnya merupakan sistem kufur; tidak
ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat
bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara
global (garis besar) maupun partikular (rinci). Kontradiksi
Demokrasi dengan Islam, tampak dari sumber
kemunculannya, asas yang mendasarinya, serta dalam
berbagai ide dan aturan yang dihasilkannya. Oleh karena
itu, umat Islam diharamkan secara mutlak untuk
mengambil-apalagi menerapkan dan menyebarluaskan-
Demokrasi. (Lihat: Al-Dmuqrthiyyah Nizhm Kufrin)

Syaikh Abdul Hamid al-Jubah menuturkan:

Sesungguhnya Allah SWT telah mencela orang yang


mengambil rayu (pendapat penafsiran pribadi) dan hawa
nafsunya terhadap hukum-hukum syariah.

Syaikh Abdul Hamid al-Jubah menambahkan:

Dan dalil dari al-Sunnah yang mencela orang yang


berpendapat tentang Din Allah dengan akal dan hawa
nafsunya.[45]

Alangkah cakapnya penjelasan Imam al-Mawardi


tentang al-hawa dalamAadab al-Dunyaa wa al-Diin:



Adapun hawa nafsu, ia adalah penolak kebaikan, lawan


dari al-aql (akal pikiran); karena hawa nafsu terlahir dari
keburukan akhlak, tampak dalam perbuatan yang buruk,
menyingkap kehormatan, dan pengantar keburukan yang
dilakukan.[46]

Sahabat Rasulullaah SAW sekaligus sepupunya, sayyidina


Ali r.a., menuturkan:

Hal yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah


mengikuti hawa nafsu dan terbuai dalam panjang angan-
angan. Adapun dengan mengikuti hawa nafsu, seseorang
akan menolak kebenaran.

Al-Allaamah al-Imam al-Syafii -rahimahullaah- bertutur:

Jika samar urusanmu pada dua maksud


Dan engkau tak mengetahui mana yang keliru dan yang
benar diantaranya

Maka selisihilah hawa nafsumu, karena hawa nafsu

Mengarahkan jiwa pada apa-apa yang dicela


(keburukannya)[47]

Dalam syair-syair nasihat pun diungkapkan:

Berhati-hatilah dari hawa nafsumu, maka engkau raih


keridhaan-Nya

Karena sesungguhnya hawa nafsu itulah sumber seluruh


kesesatan[48]

SYUBHAT IV: NKRI HARGA MATI? MENGAKU


MADZHAB SYAFII MENJUNJUNG TINGGI 4
PILAR KEBANGSAAN & ANTI KHILAAFAH
ISLAAMIYYAH?

A: Kita muslim Indonesia menjunjung tinggi 4 pilar


kebangsaan, NKRI harga mati! Tolak ide Khilafah!

JAWABAN ULAMA SYAFII:


A. Jawaban I: Wajib Menerapkan Hukum
Syariah

Riba haram di Darul Islam, maka haram pula di Darul Kufr.


Faktanya di NKRI di bawah naungan Demokrasi riba malah
dihalalkan, dan banyak kemaksiatan lainnya yang
merajalela. Hingga perzinaan pun dilokalisasi di negeri ini.
NKRI harga mati atau mati harga??

Al-Allamah asy-Syafii menegaskan:

Bahwa yang halal di dalam Dr al-Islm (Negara Islam),


halal pula di dalam Dr al-Kufr, bahwa yang haram di Dr
al-Islm juga haram di Dr al-Kufr.[49]

B. Jawaban II: Pentingnya Siyaasah


Syariyyah (Pernyataan yang Dinisbatkan Pada
Asy-Syafii):

Dalam qawl yang dinisbatkan pada al-Allamah al-Imam


asy-Syafii, diungkapkan pentingnya aspek syari dalam
pengaturan kehidupan. Dinyatakan bahwa:


Tidak ada siyaasah (politik) kecuali apa yang sejalan
dengan hukum syara (as-siyaasah asy-syariyyah).[50]

Ini sekaligus menunjukkan penolakan asy-Syafii atas


konsep sekularisme yang menafikan peranan agama dalam
pengaturan urusan kehidupan. Maka jelas rancu jika ada
yang mengaku penganut madzhab asy-Syafii namun
mendukung konsep as-siyaasah duuna asy-
syariiah (politik tanpa syariah islamiyyah (sekularisme)).
Islam adalah diin yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia termasuk sistem kehidupan dalam konteks
bernegara.

C. Jawaban III: Wajibnya Al-Imaamah Bi


Mana Al-Khilaafah & Pentingnya Kedudukannya
Di Tengah-Tengah Umat

Al-Hafizh al-Imam al-Nawawi menuturkan pentingnya


kedudukan Imam yang menegakkan asy-Syariiah al-
Islaamiyyah (Khalifah):

Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang


menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang
memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta
menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada
tempatnya.[51]

Dalam banyak kitab, para ulama mutabar banyak


menggunakan istilah Al-Imaamah yang semakna dengan al-
Khilafah. Apa maknanya? Al-Hafizh al-Imam Abu Zakariya
bin Syarf al-Nawawi (Ulama Sunni) menjelaskan:

Imamah, Khilafah, dan Imaratul Mukminin adalah


sinonim. Yang dimaksud dengannya adalah kepemimpinan
umum dalam urusan-urusan agama dan dunia.[52]

Dengan kata lain, bisa kita pahami pula dari pernyataan al-
Hafizh al-Nawawi bahwa negara sekular tidak termasuk
dalam makna al-Imamah ini.

Imam Al-Mawardi mendefinisikan:

Al-Imamah adalah pengganti kenabian dalam menjaga


agama dan mengatur urusan dunia.

Qdhi Ab Yala al-Farr mengungkapkan: Imam


diwajibkan untuk mengurus urusan umat ini, yakni sepuluh
urusan: Pertama, menjaga agama berkenaan
dengan ushl yang disepakati umat terdahulu. Jika orang
yang bersekongkol mempunyai kesalahan terhadapnya, dia
(imam) bertanggungjawab untuk menerangkan hujjah dan
menyampaikan kebenaran terhadapnya. Dia juga yang
bertanggungjawab untuk melaksanakan hak dan sanksi,
agar agama ini tetap terjaga dan terpelihara dari kesalahan.
Dan umat ini akan tetap terhindar dari
ketergelinciran.[53]

Ketika Imam Fakhruddin Al-Razi, menjelaskan firman-Nya


pada Surah Al-Maidah ayat 38, beliau menegaskan,
para Mutakallimin ber-hujjahdengan ayat ini bahwa wajib
atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik
untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Taala
mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas
pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan
keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan
tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak
seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas
pelaku kriminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat
bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang
yang merdeka pelaku kriminal kecuali oleh imam. Karena
itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazm) dan tidak
mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya
imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali
dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas
kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib.
Maka adalah suatu yang pasti qathinya atas wajibnya
mengangkat imam, seketika itu pula [54]

Imam al-Hafidz Ibn Hazm al-Andalusi


mendokumentasikan Ijm Ulama bahwa (keberadaan)
Imamah itu fardhu[55]:

Mereka (para ulama) sepakat bahwa imamah itu fardhu


dan adanya Imam itu merupakan suatu keharusan

Imam Abul Qasim al-Naisaburi asy-Syafii berkata[56]:

} {
.

Umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek seruan


(maka jilidlah) adalah imam. Dengan demikian mereka
berhujjah atas wajibnya mengangkat imam. Sebab, apabila
suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu
tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula.

Al-Allamah Muhammad Nawawi al-Jawi menjelaskan


tentang berbagai kemaksiatan, diantaranya:
:
. :
.

Berhukum dengan selain hukum Allah berdasarkan


firman-Nya: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara
di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allh
dan firman-Nya: Dan hukumilah mereka dengan
]adil.[57

Al-Imam al-Mawardi menuturkan:

Adapun mengangkat dua orang penguasa atau tiga orang


(atau lebih) dalam satu masa dan satu negeri maka tidak
diperbolehkan secara ijma.


.
.


.

Adapun dalam konteks negeri yang beragam dan wilayah


yang berjauhan, maka satu golongan yang syadz (tidak
dikenal, kontroversial) memperbolehkannya, (dengan
alasan) karena penguasa merupakan duta untuk
)mewujudkan berbagai kemaslahatan. Dan (diasumsikan
jika ada dua penguasa dalam dua negeri atau dua bagian
dimana setiap pemimpin dari dua pihak ini bisa lebih kokoh
dengan kekuasaan yang ada di tangannya, dan lebih
terkontrol dengan apa yang ada di sisinya (daripada
kekuasaan berada dalam satu orang pemimpin-pen.), dan
dikarenakan bolehnya pengutusan dua orang Nabi dalam
satu masa dan tidak berdampak pada batalnya kenabian,
maka kepemimpinan lebih memerlukan hal itu dan tidak
lantas merusak kepemimpinan tersebut.


.{ } :
} :
.


.{
.

Dan mayoritas ulama mengadopsi pendapat bahwa


mengangkat dua orang penguasa dalam satu masa tidak
diperbolehkan secara syari berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: Jika
diangkat dua orang pemimpin maka bunuhlah salah
satunya (yang terakhir dari keduanya-pen.). Dan
diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: Jika
kalian mengangkat Abu Bakr menjadi pemimpin maka
kalian temukan dirinya kuat dalam Din Allah dan lemah
fisiknya, dan jika kalian mengangkat Umar menjadi
pemimpin maka kalian temukan dirinya kuat dalam Din
Allah dan kuat fisiknya, dan jika kalian mengangkat Ali
sebagai pemimpin maka akan kalian temukan bahwa ia
adalah orang yang menyampaikan petunjuk dan
dianugerahi petunjuk. Maka penjelasan dengan zhahir
hadits ini bahwa mengangkat mereka semua sebagai
pemimpin dalam satu masa tidak sah (secara syari),
meskipun di sisi lain dibenarkan mengisyaratkan hadits ini
dan memperhatikannya.[58]

Informasi Tambahan dari Para Ulama Lainnya:

Imam Alauddin al-Kasani al-Hanafi berkata[59]: dan


karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu
adalah fardhu. (ini) tidak ada perbedaan pendapat diantara
ahlul haq. Dan tidak diperhatikan -perbedaan dengan
sebagian Qadariyyah- karena Ijm shahabat atas hal
tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang
agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk
menyelamatkan orang yang didzalimi dari orang yang
dzalim. Untuk memutuskan perselisihan yang merupakan
obyek yang menimbulkan kerusakan, dan kemaslahatan-
kemaslahatan yang lain yang memang tidak akan tegak
kecuali dengan adanya imam

Syaikh Dr. Shalah al-Shawi menjelaskan:


:
.

Jika disebutkan kata Al-Immah maka bermakna Al-


Immah Al-Uzhm(Imamah yang agung), dan tidak
disifati dengan kedudukan ini kecuali Al-Khalifah. Adapun
jika yang dimaksud bersifat terbatas (selain Khalifah), maka
harus disambungkan dengan kata penjelas sesuai dengan
apa yang dimaksudkan, misalnya disebutkan: Imm al-
Muhadditsiin (imam para ahli hadits), Imm al-
Fuqah (imam para ahli fikih), dan yang semisalnya.[60]

Syaikh Dr. Shalah al-Shawi menyatakan:







Imamah menurut Ahlussunnah adalah wajib diantara
kewajiban agama terbesar, dan fardhu diantara kefardhuan
agama terbesar dan terkuat, bahkan agama tidak bisa tegak
tanpa imamah. Karena tujuan al-Syari (Allah Pemilik
syariah / Nabi SAW pembawa syariah) terkait syariat
muamalah, munakahah, jihad, hudud, qishas dan
menampakkan syiar-syiar agama dalam hari-hari raya dan
jamaah-jamaah, semuanya tidak bisa terlaksana dengan
sempurna, kecuali dengan imam yang diangkat melalui
perintah al-Syari dan yang menjadi rujukan kaum muslim
terkait urusan mereka. Dengan demikian, mengangkat
imam itu termasuk kepentingan kaum muslim yang paling
sempurna dan tujuan agama yang terbesar.[61]

SYUBHAT V: KERJA NYATA (DENGAN SISTEM


DEMOKRASI)

A: Omdo! Yang penting kerja nyata! (qiila wa qiila)

JAWABAN ULAMA: DEMOKRASI JELAS


KEDUSTAANNYA & UTOPIS:

Ya, nyata-nyata membahayakan, menimbulkan syubhat di


tengah-tengah kaum muslimin, seakan-akan tidak ada jalan
lain kecuali dengan masuk ke dalam kubangan Demokrasi
untuk menegakkan ajaran Islam yang luhur nan agung.
Rasulullaah -shallallaahu alayhi wa sallam- adalah
teladan kita.

Syaikh Prof. Dr. Ahmad Mufti menegaskan:

Maka Demokrasi meskipun bertolak dari teori bahwa


kedaulatan milik rakyat, namun hal tersebut tak pernah
terwujud karena pada tataran fakta dan realitas kedaulatan
ada di tangan golongan minoritas, yakni golongan kaum
kapitalis intelektual terorganisir yang berwenang mengatur
hukum sesuai kepentingannya atas nama pemerintahan
parlementer (perwakilan). Maka dalam sistem peraturan
Barat, bukan rakyat yang berdaulat sebagaimana yang
diklaim teorinya, melainkan golongan minoritas yang
dinamakan parlemen (perwakilan).[62]

Syaikh Hafizh Shalih dalam kitab al-Diimuqraathiyyah wa


al-Hurriyyahmenuturkan:

-
.


.

Adapun berdasarkan asal-usulnya yang menjadi asas


Demokrasi- adalah pernyataan mereka (penganut
Demokrasi-pen.) bahwa ia merupakan pemerintahan rakyat
oleh rakyat. Pernyataan ini merupakan kebohongan besar,
Pemerintahan Demokratis sejatinya merupakan kedustaan.
Pernyataan ini benar-benar jauh dari kebenaran, sama saja
baik dari sisi penguasanya maupun perangkat-perangkat
aturan hukum, sistem dan perundang-undangannya. Hal-
hal tersebut benar-benar bertentangan dan tidak sesuai
dengan realitas yang ada, hingga meskipun dibangun dari
prinsip jalan tengah, atau keputusan suara terbanyak.

Syaikh Hafizh Shalih menjelaskan lebih jauh:




.
.

Adapun dari sisi pemerintahan dari rakyat, sesungguhnya


bukan rakyat yang membuat hukum. Pihak yang
merumuskan Undang-Undang Dasar, membuat berbagai
peraturan dan perundang-undangan sejatinya adalah
segolongan kecil yang tidak mempresentasikan rakyat
kecuali sangat sedikit saja. Adapun dari sisi penguasa dari
rakyat bahwa rakyat yang memilih para penguasanya,
sesungguhnya pernyataan ini dibangun dari pemikiran yang
menyesatkan. Pihak yang berkuasa hanyalah satu pihak
atau suatu Komite Pelaksanaan yang tidak lebih dari
sekelompok kecil yang berwenang membuat hukum.

Syaikh Hatim bin Hasan al-Dib dalam kitab Maadzaa


Tarifu Haadzihi al-Mushthalahaat menjelaskan:

Pembuat hukum yang hakiki dalam Sistem Pemerintahan


Demokratis yang bebas adalah pemilik kekuatan dan
pemilik modal (kapitalis), dengan kekuasaan di sisi mereka
dengan otoritas yang besar memungkinkan mereka
mengintervensi majelis-majelis yuridis (pembuatan
hukum) atau menyampaikan keinginan mereka agar
dipenuhi.
Syaikh Muhammad bin Syakir al-Syarif menyatakan:


.
- -

Sesungguhnya teori bahwa rakyat yang berkuasa dalam


sistem Demokratis, termasuk kebohongan besar dalam
sejarah perjalanan sistem-sistem politik. Kelemahan hakiki
dari Demokrasi yang menjadikan kedaulatan untuk rakyat
dan hal ini merupakan prinsip sandaran Demokrasi yang
tidak mampu direalisasikan dalam kenyataan, hal itu
karena prinsip ini memang tidak ada realitasnya-
merupakan slogan lemah (tak terbukti-pen.) yang
mematikan bagi Demokrasi dalam pandangan syariat
Islam.

Syaikh Muhammad bin Syakir al-Syarif pun menegaskan:





. -

. -
:


.


.

Jika prinsip kedaulatan rakyat sebagai karakter paling


utama dalam Demokrasi yang dinyatakan para penganut
Demokrasi. Maka sesungguhnya, dalam catatan sejarah
masa lampau dan hingga saat ini menunjukkan bahwa
prinsip ini tidak pernah teralisasi sepanjang sejarah
Demokrasi, dan pernyataan bahwa sistem pemerintahan
Demokratis konon pernah terealisasi, hal itu terjadi ketika
satu golongan dari masyarakat, menjadikan kehendak dan
keinginannya sesuai dengan kehendak golongan-golongan
lainnya di masyarakat. Dahulu pada masa Yunani-
golongan yang terdiri dari para penguasa, orang-orang yang
dimuliakan dan para bangsawan adalah golongan yang
berwenang membuat hukum, pemilik kedaulatan tertinggi,
di sisi lain golongan sisanya mayoritas rakyat- tidak
memiliki hak apapun. Adapun di zaman ini, golongan yang
terdiri dari para konglomerat kapitalis lah yang menjadi
pemutus hukum, pemilik kedaulatan tertinggi; golongan ini
pula yang menguasai partai-partai, dan media massa yang
berpengaruh dalam membentuk opini umum dan
menciptakannya. Maka pada akhirnya, kedaulatan para
kapitalis dijadikan kedaulatan tertinggi, pembuat hukum.
Berdasarkan penjelasan ini, jelas bahwa Demokrasi selalu
menjadikan kekuasaan segolongan kecil satu kelompok
atau golongan- atas mayoritas, maka faktanya bukan
kedaulatan rakyat atau suara mayoritas seperti yang selalu
dijelaskan definisi Demokrasi dan tidak pula seperti yang
diduga banyak orang bahkan sebagian besar dari
mereka.[63]

Benarkah rakyat berdaulat? Atau hakikatnya rakyat


diperalat ?

Apakah rakyat berdaulat ketika aset publik milik


rakyat di privatisasi oleh Pemerintah yang akhirnya
dipakai Kapitalis untuk memeras rakyat?

Apakah rakyat berdaulat ketika subsidi BBM dari


Pemerintah dikurangi, BBM naik, rakyat menolak tapi
BBM tetap dinaikkan?

Apakah rakyat berdaulat ketika kaum muslimin


dibunuhi atas nama dugaan terorisme oleh Densus 88?
Apakah rakyat berdaulat ketika kemiskinan seakan hal
yang wajar di Negeri yang kaya SDA ini?

Apakah rakyat berdaulat ketika kejahatan, kriminalitas


dan kemaksiatan merajalela?

Apakah rakyat berdaulat ketika sekolah semakin


komersil, dan biaya pendidikan mahal?

Apakah rakyat berdaulat ketika biaya bahan-bahan


pokok naik dan biaya kesehatan dan pendidikan
melambung tinggi karena kapitalisasi dan
komersialisasi?

Apakah rakyat berdaulat ketika hukum di seluruh


dunia faktanya disusun dan ditegakkan dengan standar
ganda?

Apakah rakyat berdaulat & pemerintahan itu


Demokratis ketika ada sebagian penduduknya yang
muslimah hendak memenuhi kewajibannya
mengenakan jilbab, tapi dilarang?

Sistem Demokrasi di negara mana yang memberikan


kebebasan kepada umat Islam, melaksanakan
Islam Kaaffah? Dan segudang pertanyaan lainnya.
Saksikanlah bahwa kami tak butuh Demokrasi dan ajaran
sesat kedaulatannya yang menyesatkan dan utopis!

SYUBHAT VI: MENIKMATI DEMOKRASI YA


JANGAN SERANG PAHAM DEMOKRASI

A: Menentang Demokrasi kok menikmati Demokrasi?!


Membuat KTP, menikmati fasilitas jalan, dan lainnya (qiila
wa qiila)

JAWABAN ULAMA:

A. Jawaban I: Semua Perkara Dihukumi


dengan Hukum Syariat:

Semua perkara dihukumi dengan syariat Islam secara rinci:

Al-Imam asy-Syatibi menegaskan bahwa syariat Islam


berlaku umum bagi semua orang mukallaf[64] dalam setiap
keadaan.[65]

Al-Imam asy-Syawkani berkata:

Sungguh hukum-hukum syara itu mengikat bagi kaum


Muslim di manapun dia berada dan Dr al-Harbi[66] tidak
bisa menghapuskan hukum-hukum syara secara
keseluruhan atau sebagian.[67]

Cukuplah Rasulullaah SAW sebagai teladan tidak


mengharamkan yang dihalalkan Allah, atau sebaliknya-:

Di antara catatan tentang proses kehidupan Nabi SAW kita


temukan bahwa Allah SWT telah mempersiapkannya untuk
menerima risalah dan wahyu-Nya secara khusus, maka
beliau SAW pernah bekerja menggembala kambing,
berdagang, dan tidak pernah berbuat seperti para pemuda
Quraysi yang tenggelam dalam kelalaian dan kesia-siaan,
dan tidak pernah melakukan perbuatan-perbuatan
jahiliyyah, tidak pernah bersujud kepada patung atau
berhala, tidak pernah memakan binatang sembelihan untuk
patung, tidak pernah meminum khamr, tidak pernah
berbuat keji baik dalam perkataan maupun perbuatan,
tidak pernah berdusta, tidak pernah menipu seorang pun,
dan justru beliau menjadi teladan dalam kejujuran dan
amanah sehingga beliau dikenal sebagai orang yang jujur
dan terpercaya di antara penduduk Makkah.[68]

B. Menikmati Demokrasi? Apa Kata Umar al-


Faruq dan Sufyan ats-Tsauri?

Menikmati Demokrasi? Berarti ridha terhadapnya? Sama


artinya dengan menikmati sistem kufur. Tidak ada
kesamaran bahwa hal itu merupakan kebatilan. Menukil
salah satu bait syair Imam Sufyan Tsauri -rahimahullaah-
kiranya sudah cukup menggambarkan penolakan kita
kaum muslimin- terhadap tuduhan rendah ini, wal
iyaadzu billaah:

Tiada kebaikan dalam kenikmatan yang kesudahannya


adalah siksa neraka[69]

Dalam syair di atas, Imam Sufyan al-Tsauri


mengungkapkan kata ladzdzatun ( ) dalam bentuk
lafazh nakirah (umum) maknanyamubham (tidak spesifik),
bertolak dari pemahaman ini kita mengerti bahwa maksud
beliau adalah segala hal yang dinikmati manusia,
kenikmatan seperti apa? Maksudnya kenikmatan dalam
kemaksiatan, hal ini dipahami dari ungkapan
kesudahannya adalah siksa neraka () .
Khalifah Umar bin al-Khaththab r.a. berkata:

Kami adalah kaum yang telah dimuliakan oleh Allh


dengan Islam, sehingga kapan saja kami mencari kemuliaan
dengan selain agama Allh, maka Allh menghinakan
kami. (HR. al-Thabari dalam tafsirnya 13/478)

SYUBHAT VII: DEMOKRASI ITU KHILAF ULAMA

A: Demokrasi itu khilaf ulama yang mesti dimaklumi (qiila


wa qiila)

JAWABAN ULAMA:

Tidak setiap perdebatan atau perbedaan pendapat bisa


dinilai sebagai perkara khilaaf yang mesti dimaklumi (ada
batasan-batasan yang jelas), mesti dipahami pula apa
itu inhiraaf (penyimpangan). Sudah semestinya dipahami;
batasan-batasan tersebut dengan ilmu, memahami
perbedaan tersebut apakah dalam perkara yang dalil-
dalilnya zhanniyyah atauqathiyyah? Menakar semua
pendapat dan mengembalikannya kepada al-Quran dan as-
Sunnah. Lantas, apakah prinsip kedaulatan rakyat
Demokrasi dimana manusia diberikan hak untuk membuat
hukum dan ajaran-ajaran kebebasan ala Demokrasi tidak
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam??

Menjelaskan QS. An-Nisaa [4]: 59, Syaikh Abdul Hamid


al-Jubah menuturkan:

:
.

Dan firman Allah SWT jika kamu berlainan pendapat


tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allh (Al-
Qurn) dan Rasul (sunnahnya)dan ayat-ayat al-Quran
yang lainnya menunjukkan secara tegas (qathiy) wajibnya
menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai asas dan
rujukan hukum-hukum Islam.[70]

Syaikh Dr. Khalid al-Arusiy Pembantu Rektor Fakultas


Syariah Universitas Umm al-Quraa- menjelaskan bahwa
perbedaan pendapat itu harus dirinci, menukil pernyataan
Imam al-Syafii ia berkata:

)) ((
:
)) :
((
Perincian dalam masalah ini (perbedaan pendapat)
dijelaskan Imam al-Syafii rahimahullaah- dalam kitab Al-
Risaalah, ketika ia menjelaskan pembagian lain di samping
perbedaan yang dirahmati, yakni: perbedaan pendapat yang
diharamkan. Dan ketika Imam al-Syafii ditanya, apa yang
dimaksud dengan perbedaan yang diharamkan? Ia
menjawab: Setiap perkara yang hujjahnya sudah
ditegaskan Allah dalam kitab suci-Nya atau melalui lisan
Nabi-Nya dengan nash-nash petunjuk yang jelas, yang tidak
memperbolehkan adanya perbedaan pendapat bagi orang-
orang yang mengetahuinya.[71]

Al-Allamah asy-Syafii berdalil dengan QS. Al-Bayyinah


[98]: 4 dan QS. Ali Imraan [3]: 105.

KH. Drs. Hafizh Abdurrahman, MA menuturkan: Konsep


Kebenaran Islam tak ditentukan oleh pendapat mayoritas
orang, namun ditentukan oleh pandangan yang
paling ashwab (benar). Meskipun hanya dikemukakan
hanya oleh satu orang. Dalam masalah Hukum Syara,
pandangan yang paling benar ditentukan oleh kekuatan
dalil, meskipun hanya dikemukakan oleh seorang ulama.
Karena itu untuk menentukan kebenaran pandangan (atas
suatu perkara), tidak dikembalikan kepada mayoritas atau
minoritas ulama yang menyatakannya, melainkan
dikembalikan kepada hujjah siapakah yang lebih kuat.[72]

SYUBHAT VI: DEMOKRASI PAHAM MODERN


NEGARA-NEGARA MAJU

A: Demokrasi itu modern, semakin demokratisnya suatu


negara merupakan tanda kemajuan. Sedangkan sistem al-
Khilafah adalah kuno. (qiila wa qiila sekularis)

JAWABAN ULAMA: DEMOKRASI JELAS KUNO


WARISAN JAHILIYAH:

Al-Alim asy-Syaikh Dr. Jafar Syaikh Idris:

Demokrasi tidak pernah meraih popularitas sepanjang


sejarahnya, seperti apa yang kita temukan di zaman ini:
Padahal sungguh, sebagian besar pemikir Barat sendiri
semenjak masa Yunani, telah mengkritik Demokrasi
bahkan menolaknya.[73]

SYUBHAT VII: DEMOKRASI ITU JALAN MERAIH


KEKUASAAN & ANTI DEMOKRASI, ANTI PEMILU
DEMOKRASI = ANTEK ZIONIS
A: Anti Demokrasi, anti pemilu Demokrasi itu antek zionis!
(qiila wa qiila)

B: Demokratisasi itu penting bagi kehidupan bangsa (qiila


wa qiila)

C: Demokrasi itu hanyalah kendaraan, sebuah jalan untuk


menegakkan al-Islam (qiila wa qiila)

JAWABAN:

A. Jawaban I: Ini Pengakuan Jujur Kaum


Kuffar Sendiri:

Obama dalam pidato resminya menyatakan: Saya akan


melakukan apapun jika menyangkut keamanan Israel. Saya
pikir ini hal yang fundamental. Saya kira ini menyangkut
kepentingan AS karena hubungan kami yang istimewa,
karena Israel tidak hanya telah membangun demokrasi di
wilayah itu (Palestina) tapi juga merupakan sekutu terdekat
dan loyal kepada kita. (Barrack Obama, 2009).

Mantan Presiden AS, Georde W. Bush Junior pada tahun


2003 menyatakan: Jika kita mau melindungi negara kita
dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah
menyebarkan kebebasan dan demokrasi.[74] George W.
Bush pun dalam The National Endowment for Democracy
(Kamis 6/11/2003) menyatakan: Selama kebebasan
(freedom) belum tumbuh di Timur Tengah, kawasan itu
akan tetap menjadi wilayah stagnan (jumud), pengekskpor
kekerasan, termasuk menjadi tempat penyebaran senjata
yang membahayakan negara AS.[75]

Presiden AS Barack Obama yang disambut gembira sebagai


pemimpin berwajah baru yang membawa hope (harapan),
ternyata tak lebih baik dari pendahulunya George W. Bush
Junior, bahkan bisa dikatakan lebih berbahaya sebagai
musuh berwajah ramah bagi Islam dan kaum muslimin,
dalam kampanyenya ia mendeklarasikan akan menarik
sebagian pasukan AS dari Irak, tapi mengirim tambahan
pasukan tempur ke Afganistan. Maka kian nyata bahwa
Politik Luar Negeri AS di bawah kepemimpinan Obama
tetap imperialistic. Dalam sebuah acara yang disponsori
Kedutaan Besar Israel di Washington untuk mengagungkan
hari deklarasi Negara Israel yang ke-60. Obama
menyatakan: Saya berjanji kepada Anda bahwa saya akan
melakukan apapun yang bisa saya lakukan dalam kapasitas
apapun untuk tak hanya menjamin keamanan Israel tapi
juga menjamin bahwa rakyat Israel bisa maju, makmur dan
mewujudkan banyak mimpi yang dibuat 60 tahun lalu.[76]
Obama dalam pidato resminya pun menyatakan: Saya
akan melakukan apapun jika menyangkut keamanan Israel.
Saya pikir ini hal yang fundamental. Saya kira ini
menyangkut kepentingan AS karena hubungan kami yang
istimewa, karena Israel tidak hanya telah membangun
demokrasi di wilayah itu (Palestina) tapi juga merupakan
sekutu terdekat dan loyal kepada kita. (Barrack Obama,
2009). Dan dalam pidatonya, Obama bersumpah untuk
melindungi rakyat Amerika dengan tetap berpegang teguh
pada nilai-nilai Amerika. Obama mengatakan senjata yang
paling ampuh adalah sistem keyakinan Amerika seperti
kebebasan, inilah akan membuat AS aman.

B. Jawaban II: Jangan Campuradukkan


Antara Haq dan Bathil

Al-Alim al-Syaikh Atha bin Khalil menjelaskan dalam


tafsirnya atas QS. Al-Baqarah [2]: 42:

Yakni janganlah kalian mencampurkan antara kebenaran


dengan kebatilan, dan huruf ba (dalam ayat ini) untuk
menunjukkan pencampuran. Maka ayat ini mengandung
dua larangan: Pertama, mencampuradukkan kebenaran
dengan kebatilan. Kedua, menyembunyikan kebenaran
padahal mereka mengetahuinya; maka perbuatan
mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan merupakan
penyesatan, dan menyembunyikan kebenaran yakni
menyembunyikannya dan menghilangkannya, maka kedua
perbuatan tersebut merupakan dosa besar dalam Din
Allah.[77]

C. Jawaban III: Pesan Ulama Hati-Hati dengan


Perbuatan Menyerupai Orang Kafir

Al-Hafizh Ibn Katsir ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah


[2]: 104 menuturkan:

. :

Maksudnya: Allh SWT melarang orang-orang beriman


menyerupai orang-orang kafir dalam perkataan dan
perbuatan mereka.[78]

Al-Hafizh al-Imam Ibn Katsir pun menukil dalil hadits dari


Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud:


Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk golongan kaum tersebut. (HR. Ahmad & Abu
Dawud, dishahihkan oleh Imam Ibn Hibban)[79]

Al-Hafizh Ibn Katsir pun menegaskan:

Di dalam hadits ini, terdapat larangan, ancaman dan


peringatan keras terhadap sikap menyerupai orang-orang
kafir dalam perkataan, perbuatan, pakaian (khas-pen.), ritual,
ibadah mereka, dan perkara-perkara lainnya yang tidak
disyariatkan dan tak sejalan dengan kita.

Syaikh Dr. Nashr bin Abdul Karim menjelaskan: Al-


Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah
yang berarti meniru atau mencontoh, menjalin atau
mengaitkan diri, dan mengikuti. Al-Tasybih berarti
peniruan. Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa).
Dikatakan artinya serupa dengannya, meiru dan
mengikutinya.[80]

Syaikh Dr. Shalih Fauzan ketika menjelaskan tentang


gambaran loyalitas terhadap orang kafir, yang pertama:

)) :- -
((
.

Menyerupai mereka (orang-orang kafir) baik dalam


berpakaian maupun berbicara dan selainnya, karena
menyerupai mereka dalam hal-hal tersebut menunjukkan
kecintaan orang menyerupai kepada orang yang diserupai,
Nabi SAW bersabda: Barangsiapa menyerupai suatu
kaum maka ia termasuk golongan kaum tersebut. Maka
diharamkan menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal
yang khusus bagi mereka, adat istiadat dan tata cara ibadah
mereka, jalan hidup dan akhlak mereka.[81]

Syaikh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi menyatakan bahwa


kata tasyabbuh (menyerupai) dalam hadits tersebut
adalah bentuk seruan umum yang sama halnya dengan kata
suatu kaum. Ini adalah larangan menyerupai bangsa
manapun dengan apa saja secara mutlak, baik dalam
urusan akidah, ibadah, nikah, adat kebiasaan, hidup bebas,
dan lain sebagainya.[82]

Jawaban IV: Tiada Kemuliaan Kecuali dengan


Islam (Tujuan & Cara Wajib Sesuai Metode Dakwah
Rasulullah), Hati-Hati dengan Tipu Daya Langkah-
Langkah Syaithan

Tiada kemuliaan kecuali dengan Islam. Hati-hati dengan


langkah-langkah syaithan, niat mewarnai parlemen, yang
ada partai-partai berlabelkan islami justru terwarnai. Para
ulama ketika menafsirkan frase khuthuwaat al-syaithaan
dijelaskan para ahli tafsir, di antaranya al-Hafizh al-Imam
al-Qurthubi mengungkapkan:

:) (
.
.
. :

(Langkah-langkah syaithan): Muqatil berkata: Abdullah


bin Abdissalam dan sahabat-sahabatnya meminta izin
(kepada Raslullh -shallallaahu alayhi wa sallam-)
untuk membaca taurat dalam shalat dan mengamalkan
sebagian isi taurat, maka turunlah ayat: dan janganlah
kalian mengikuti langkah-langkah syaithan. Maka
sesungguhnya mengikuti sunnah yang benar (wajib-pen.)
diikuti setelah diutusnya Muhammad r daripada mengikuti
langkah-langkah syaithan. Dan dikatakan: Janganlah
kalian menempuh jalan yang diserukan syaithan kepada
kalian. (Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu) yakni
makhluk yang menampakkan permusuhan.[83]

Dalam banyak kitab tafsir, para ulama ahli tafsir


menjelaskan bahwa al-Baqarah ayat 208 turun kepada
segolongan ahli kitab (yahudi) yang masuk islam, namun
mereka hendak mengagungkan sebagian syiar dan syariat
taurat. Maka turun ayat yang melarang mengikuti langkah-
langkah syaithan dengan mengambil sebagian syariat
taurat yang sudah di nasakh(dihapus oleh syariat islam).
Di sisi lain taurat adalah kitab samawi yang Allah turunkan
kepada Nabi Musa alayhissalam yang wajib kita imani
keberadaannya. Lantas bagaimana dengan syariat
demokrasi yang jelas-jelas bersumber dari pemikiran kaum
kuffar yang mengkufuri ayat-ayat Allah??!

NASKAH BUKU:

Atasan saya di kulliyyatusy-syariiah, salah seorang Syaikh


Doktor dari Mesir, kembali bertanya kepada saya seputar
penyelesaian penyusunan naskah buku yang saya susun
untuk menyingkap syubhat-syubhat dalih-dalih
pembenaran atas paham sesat Demokrasi -karena
sebelumnya saya meminta bantuannya untuk penyelesaian
naskah buku ini: Info Penting Buku
JAWABAN KAMI ATAS BERBAGAI DALIH
PEMBENARAN ATAS DEMOKRASI:

Link (Inilah Jawaban-Jawaban Argumentatif Atas


Dalih-Dalih Pembenaran Atas Demokrasi)

[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Democracy

[2] Http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Democracy

[4] Prinsip ini memberikan peluang besar kepada orang-


orang kafir untuk menjadi penguasa menguasai urusan
kaum muslimin.

[5] Lihat: al-Diimuqraathiyyah Bayna al-Ilmaaniyyah wa


al-Islaam, Syaikh Dr. Abdurrazzaq Ied & Syaikh Prof.
Muhammad Abdul Jabbar Daar al-Fikr al-Muaashir
Damaskus: Suriah.

[6] Lihat: Syaikh Dr. Mahmud Khalidi menukil dari


kitab Minhaaj Al-Hukm fii Al-Islaam karya Syaikh
Muhammad Asad (hlm. 47-48).

[7] Lihat: Naqdh al-Nizhaam al-Diimuqraathiy, Syaikh Dr.


Mahmud al-Khalidi.
[8] Lihat: Haqiiqatud Diimuqraathiyyah karya Syaikh Dr.
Muhammad Syakir al-Syariif, al-Diimuqraathiyyah
Tsamaraatun wa Akhawaatun karya Syaikh Abu Sayf Jalil
bin Ibrahim al-Iraqiy.

[9] Lihat: Al-Diimuqraathiyyah wa Hukm Al-Islaam


fiihaa, Syaikh Hafizh Shalih

[10] Lihat: al-Adalah al-Ijtimaaiyyah: Fii Dhaw-i al-Fikr


al-Islaamiy al-Muaashir, Dr. Muhammad Abdul Ghaniy.

[11] Imam Taqiyuddiin al-Nabhani, Muqaddimah al-


Dustuur, hlm. 116-117, thn. 1963.

[12] Dinukil dari kitab Naqdh Al-Nizhaam Al-


Diimuqraathiy karya Syaikh Dr. Mahmud al-Khalidi

[13] Pernyataan nyeleneh seorang pembicara dalam sebuah


forum diskusi sekitar tahun 2010.

[14] Lihat: Nizhaam Al-Islaam, Al-Allamah Qadhi


Taqiyuddin al-Nabhani. Qadhi al-Nabhani telah
menjelaskan tentang peradaban (hadharah) dengan
penjelasan yang cukup mapan.

[15] Lihat: Maadzaa Tarifu an Haadzihi al-


Mushthalahaat karya Syaikh Hatim bin Hasan al-Dib.
[16] Lihat: Syaikh Dr. Abdul Hamid Mutawalli, Al-
Qaanuun Al-Dusturiy wa Al-Anzhimah Al-Siyaasiyyah,
Hlm. 29, Juz. I. Daar al-Maaarif: Kairo, Cet. Thn. 1964.
Dinukil dari kitab Arkaanun wa Dhamaanaat: Al-Hukm Al-
Islaamiy karya Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti
Muassasah al-Riyaadh: Beirut Lebanon.

[17] Lihat: Naqdh Al-Nizhm Al-Diimuqrthiy, Syaikh Dr.


Mahmud al-Khalidi Dar al-Jiil: Beirut Cet. I: 1404 H/
1984.

[18] Lihat: Diraasaat fii Al-Nuzhum Al-Dusturiyyah Al-


Muaashirah, Dr. Muhammad Abdullah al-Arabiy; dinukil
dari: Naqdh Al-Nizhm Al-Diimuqrthiy, Syaikh Dr.
Mahmud al-Khalidi Dar al-Jiil: Beirut Cet. I: 1404 H/
1984.

[19] Lihat: Al-Diimuqraathiyyah wa Al-Way Al-


Siyaasiy (hlm. 15).

[20] Lihat: Syaikh Dr. Mahmud Khalidi dalam kitab Naqdh


Al-Nizhm Al-Diimuqrthiy menukil pernyataan Syaikh
Muhammad Asad dalam kitabMinhaaj Al-Hukm fii Al-
Islaam (hlm. 47-48).
[21] Lihat: Haadzihi Hiya Al-Diimuqraathiyyah, Syaikh
Abdurrahman bin Hammaad al-Umar Dar al-Hulayyah:
Riyadh Cet. I: 1424 H.

[22] Lihat: Haadzihi Hiya Al-Diimuqraathiyyah, Syaikh


Abdurrahman bin Hammaad al-Umar Dar al-Hulayyah:
Riyadh Cet. I: 1424 H.

[23] Lihat: Jaami al-Bayaan fii Tawiil al-Quraan, al-


Hafizh al-Imam Abu Jafar al-Thabari (224-310 H)

[24] Lihat: Al-Hurriyyaat Al-Aamah (hlm. 215); dinukil


dari Majalah Al-Bayaan.

[25] Lihat: Syariyyatus-Sulthah wa Al-Nizhaam fii Hukm


Al-Islaam (hlm. 69); dinukil dari Majalah Al-Bayaan.

[26] Lihat: Al-Quyuud al-Waaridah alaa Sulthatid-


Dawlah fii al-Islaam:dinukil dari Majalah Al-Bayaan.

[27] Lihat: Nizhaam Al-Hukm fii Al-Islaam (hlm.


81), Syaikh Muhammad Asad: dinukil dari Majalah Al-
Bayaan.

[28] Lihat: Nazhriyyatus-Siyaadah wa Atsaruhaa alaa


Syariyyatul Anzhimah al-Wadhiyyah, Syaikh Dr. Shalah
al-Shawiy.
[29] Lihat: Thaaghuut Al-Ashr, Syaikh Prof. Dr.
Muhammad Amhazun dalam Majalah Al-Bayaan, No. 303.

[30] Lihat: Ahkaam Al-Quraan (hlm. 213-214), Imam Abu


Bakr al-Jashshash.

[31] Lihat: Al-Ahzaab fii Al-Islaam, Syaikh Abdul Hamid


al-Jubah.

[32] Lihat: Maftiih Al-Ghayb, Imam Abu Abdullah


Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husayn al-Raazi
(Fakhruddin al-Raazi)

[33] Lihat: Tafsr al-Qurn al-Azhm, Al-Hafizh Abul Fida


Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi (Imam Ibn Katsir
(700-774 H)).

[34] QS. Ali Imraan [3]: 85.

[35] Lihat: Aalamiyyatul Islaam wa Maadiyyatul


Awlamah, Dr. Samih Athif al-Zayn.

[36] Lihat: Al-Dawlah wa Nizhaam al-Hukm fii al-


Islaam, Syaikh Hasan al-Sayid, dinukil dari tulisan Syaikh
Fahd bin Shalih Suaal al-Siyaadah fii al-Fikr al-Islaami
al-Muaashir dalam Majalah Al-Bayaan, No. 303, Tahun
ke-27, Bulan Dzul Qadah 1433 H/ September 2012.
[37] Yakni pertentangan antara kaum filsuf dan gerejawan
yang bertindak sewenang-wenang atas nama agama.

[38] Lihat: Fiqh Al-Siyaasah, Syaikh Ismail al-Khathib,


dinukil dari tulisan Syaikh Fahd bin Shalih Suaal al-
Siyaadah fii al-Fikr al-Islaami al-Muaashir dalam
Majalah Al-Bayaan, No. 303, Tahun ke-27, Bulan Dzul
Qadah 1433 H/ September 2012.

[39] Lihat: Al-Ahkaam Al-Syariyyah Li Al-Nawaazil Al-


Siyaasiyyah, Syaikh Dr. Athiyyah Adlan.

[40] Lihat: Mujamu Lughatil Fuqah (I/253) karya Syaikh


Prof. Muhammad Rawwas Qalahji.

: [ 41]

[42] Lihat: Arkaanun wa Dhamaanaat: Al-Hukm Al-


Islaamiy, Syaikh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti
Muassasah al-Riyaadh: Beirut Lebanon.

[43] Lihat: Al-Wajiiz fii Fiqh Al-Khilaafah, Syaikh Dr.


Shalah Al-Shawi Dar al-Ilam al-Duwali.

[44] Lihat: Isyruuna Nadwah fii Syarh wa Munaaqasyah


Masyruui Tathbiiq Al-Islaam fii Al-Hayaah
[45] Lihat: Al-Ahzaab fii Al-Islaam, Syaikh Abdul Hamid
al-Jubah.

[46] Lihat: Aadab al-Dunyaa wad-Diin, Imam Ali bin


Muhammad bin Habib al-Mawaridi al-Syafiiy (Imam al-
Mawardi).

[47] Lihat: Diiwaan al-Imaam al-Syaafii, Qaafiyatul


Hamzah, subjudul al-Hawaa wa al-Aql.

[48] Lihat: D al-Nufs wa Summ al-Qulb: al-


Mashi, Syaikh Azhari Ahmad Mahmud Daar Ibn
Khuzaimah: Riyaadh (1420 H/ 2000 M)

[49] Lihat: al-Umm (IV/160) karya Imam al-Syafii.

[50] Lihat: Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin


Taymiyyah. As-Siyaasah Asy-Syariyyah fii Ishlaahi Ar-
Raaiy war-Raiyyah. Muhaqqiq: Ali bin Muhammad Al-
Imran. Cet. I. Makkah: Dar Alam al-Fawaaid.

[51] Lihat: Rawdhatuth Thlibn wa Umdatul


Muftin (II/433), Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf
Al-Nawawi.

[52] Lihat: Al-Majmuu Syarh Al-Muhadzdzab, juz 19, hlm


191
[53] Lihat: Al-Ahkm Al-Sulthniyyah (hlm. 27), Imam al-
Mawardi.

[54] Imam Fakhruddin al-Razi, Maftihul Ghayb f al-


Tafsr, juz 6 hal. 57 dan 233

[55] Imam Al-Hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-


andalusi Adz-Dzahiri, Maratibul Ijma , juz 1 hal 124

[56] Imam Abul Qasim Al-hasan bin Muhammad bin Habib


bin Ayyub al-SyafiI al-Naisaburi, Tafsr Al-Naisaburi, juz 5
hal 465.

[57] Lihat: Mirqaatu Shuuud al-Tashdiiq fii Syarh Sullam


al-Tawfiiq,Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Syafiiy
Dar al-Kutub al-Islamiyyah.

[58] Lihat: Aadab al-Dunyaa wa al-Diin, Imam Ali bin


Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Syafii (Imam al-
Mawardi)

[59] Imam Alauddin Al-Kassani Al-Hanafi, Badaiush


Shanai f Tartibis Syarai, juz 14 hal. 406.

[60] Lihat: Al-Wajiiz fii Fiqh Al-Khilfah, Syaikh Dr. Shalah


Al-Shawi Dar al-Ilam al-Duwali.
[61] Lihat: Syaikh Dr. Shalah al-Shawi dalam kitabnya, al-
Wajiz fi Fiqh al-Imamah al-Uzhmaa, juz 1, hal. 10,
Maktabah Syamilah

[62] Lihat: Naqdh Al-Judzuur Al-Fikriyyah (hlm.


36), Syaikh Dr. Muhammad Ahmad Mufti.

[63] Lihat: Haqiiqatud Diimuqraathiyyah.

[64] Orang yang sudah dikenai taklif atau beban kewajiban


melaksanakan syariat.

[65] Dalam kitab al-Muwafaqat, karya al-Imam al-


Syathibi.

[66] Negara yang memerangi Islam.

[67] Lihat: al-Sail al-Jarr (4/152).

[68] Lihat: Shuwarun Min Al-Taariikh Al-Islaamiy


Jaamiatul Imaam Muhammad bin Suuud Al-Islaamiyyah
Cet. II: 1425 H/ 2004.

[69] Lihat: D al-Nufs wa Summ al-Qulb: al-Mashi,


Syaikh Azhari Ahmad Mahmud Daar Ibn Khuzaimah:
Riyaadh Cet. Tahun: 1420 H.

[70] Lihat: Al-Ahzaab fii Al-Islaam, Syaikh Abdul Hamid


al-Jubah Risaalah Maajistiir
[71] Lihat: Al-Risaalah, Imam Muhammad bin Idris al-
Syafii (hlm. 352), dinukil dari: Al-Tarakhkhush bi Masaa-
il Al-Khilaaf: Dhawaabithuhu wa Aqwaal Al-Ulamaa
fiihi, Syaikh Dr. Khalid al-Arusiy.

[72] Lihat: Diskursus Islam Politik Spiritual

[73] Lihat: Al-Diimuqraathiyyah Ismun Laa Haqiiqata


Lahu, Syaikh Dr. Jafar Syaikh Idris Majalah Al-Bayaan,
no. 196

[74] Lihat: Kompas edisi 6/11/2004

[75] http://www.globalsecurity.org

[76] Lihat: Menantang Amerika: Menyingkap


Imperialisme Amerika di Bawah Obama, Farid Wajdi Al-
Azhar Press; Bogor. Cet. I: 2010.

[77] Lihat: Al-Taysr f Ushl al-Tafsr (Srah al-


Baqarah), Syaikh Atha bin Khalil Abu Rusythah Dar al-
Ummah: Beirut. Cet. II: 1427 H/ 2006.

[78] Lihat: Tafsr al-Qurn al-Azhm, Imam Ibn Katsiir.

[79] Musnad Ahmad (2/92), Sunan Abi Dawud (no. 4031)

[80] Lihat: Man Tasyabbaha bi Qawmin fa Huwa min


Hum, Syaikh Nashr bin Abdul Karim Al-Aql
[81] Lihat: Al-Irsyd il Shahiih al-Itiqd wa al-Radd al
Ahl al-Syirk wa al-Ilhd (hlm. 292), Syaikh Dr. Shalih bin
Fawzan bin Abdullah al-Fawzan Dar Ibn al-Jawzi: Arab
Saudi. Cet. III: 1433 H

[82] Dalam buku Syaikh Abdurrahman al-Baghdadi yang


menjelaskan mengenai seni dalam pandangan Islam.

[83] Tafsiir al-Jaami li Ahkaamil Quraan, Imam al-Qurthubi.

Anda mungkin juga menyukai