Anda di halaman 1dari 435

1

MAKALAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH

KE-NU-AN DAN KEBANGSAAN

DIAJUKAN SEBAGAI SYARAT KELULUSAN MUNAQOSAH

MATERI AHLUSSUNNAH WAL JAMAA’AH

Nama :

NIM :

Prodi :

Judul Buku : Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Shalih)


Bagian Pertama

UNIVERSITAS NADHATUL ULAMA

Kalimantan Timur

2020
2

Fasal
Perihal Kulit Bangkai, Dan Wadah-wadah
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫ب َو ا ْل ِخ ْن ِز ْي ِر َو َما ت ََولَّ َد ِم ْن ُه َما أَ ْو ِمنْ أَ َح ِد ِه َما‬ ِ َ‫ َو ُجلُ ْو ُد ا ْل َم ْيتَ ِة تَ ْط ُه ُر بِال ِّدب‬:‫ص ٌل‬
ِ ‫اغ إاَّل ِج ْل َد ا ْل َك ْل‬ ْ َ‫ف‬.)

[Semua kulit bangkai boleh menjadi suci sebab disamak, kecuali kulit anjing dan
babi dan anak yang lahir dari kedua-duanya atau dari salah satunya].
Hewan yang najis sebab mati, jika disamak kulitnya, kulit itu boleh menjadi suci
dengan sebab penyamakan. Baik hewan yang halal dimakan dagingnya maupun
hewan yang tidak halal dimakan dagingnya. Yang menjadi dalil kesuciannya yaitu
Haditsnya Maimūnah r.a. ketika ia ditanya oleh Nabi Muḥammad s.a.w. perihal
kambingnya. Nabi Muḥammad bertanya:
ُ‫ يُطَهِّ ُرهُ ْال َما ُء َو ْالقَ َرظ‬:)‫ فَقَا َل َرسُوْ ُل هللاِ (ص‬.ٌ‫ ِإنَّهَا َم ْيتَة‬:‫لَوْ أَخ َْذتُ ْم إِهَابَهَا! فَقَالُوْ ا‬.

“Andaikata kamu ambil kulitnya, tentu lebih bagus?” Para sahabat berkata:
“Kambing itu bangkai”. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Kulitnya itu boleh disucikan
dengan air dan daun salam.”
(Riwayat Abū Dāūd, an-Nasā’ī – isnād ḥasan).
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
‫إِ َذا ُدبِ َغ اإْل ِ هَابُ فَقَ ْد طَهُ َر‬.

“Apabila kulit bangkai itu sudah disamak, maka ia menjadi suci.”


(Riwayat Muslim).

Kemudian, kulit itu apabila sudah disamak, bagian luarnya menjadi suci tanpa ada
khilāf. Demikian juga bagian yang dalam, menurut qaul jadīd yang masyhur. Oleh
3

karena itu, boleh dipakai sebagai sajadah, boleh dibuat baju lalu dipakai untuk shalat,
boleh digunakan untuk hal-hal yang kering atau yang basah, boleh dijual, boleh
dihibahkan dan boleh diwasiatkan.
Apakah boleh dimakan, kalau kulit itu dari binatang yang halal dimakan? Imām
Rāfi‘ī mengunggulkan hukum jawāz (boleh). Imām Nawawī mengunggulkan hukum
ḥarām.
Kemudian, cara menyamak kulit itu yaitu dengan benda-benda yang sepat dan pahit,
sepertas tawas, babakan pala, daun salam, kulit delima dan babakan kayu afas (jawa:
segawai).
Menyamak kulit boleh dengan menggunakan benda yang terkena najis atau dengan
benda najis. Misalnya menyamak dengan kotoran (tahi) merpati, demikian menurut
qaul yang ashaḥḥ. Menyamak kulit tidak cukup hanya dengan tanah lalu dipanaskan,
menurut qaul yang shaḥīḥ. Kulit yang sudah disamak harus dicuci dan tidak ada
khilāf kalau menyamaknya dengan benda yang najis. Demikian juga jika disamak
dengan benda yang suci, menurut qaul yang ashaḥḥ.
Para Ulama Madzhab Syāfi‘ī berkata: Penyamakan kulit itu barulah dikatakan
berhasil apabila sudah memenuhi tiga syarat ini. Yaitu:
1. Harus menghilangkan sisa-sisa daging yang masih terdapat pada kulit itu.
2. Keadaan kulit harus menjadi baik.
3. Hasil penyamakan apabila direndam dalam air tidak kembali rusak atau
berbau busuk. Wallāhu a‘lam.

Adapun kulit anjing dan babi serta anak dari kedua-duanya tidak dapat menjadi suci
dengan disamak, menurut Ulama madzhab Syāfi‘ī, tanpa ada khilaf. Sebab anjing
dan babi pada masa hidupnya sudah najis. Padahal menyamak itu hanya mensucikan
kulit, yang najisnya disebabkan oleh mati. Lain daripada itu, tujuan menyamak ialah
menghilangkan sisa-sisa daging dan menolak adanya perubahan sifat. Sudah maklum
bahwa keadaan hidup itu lebih kuat daripada penyamakan dalam hal menghilangkan
sisa-sisa daging dan menolak adanya perubahan sifat. Jadi, kalau dalam keadaan
4

hidup saja, anjing dan babi tidak dapat memberikan faedah bagi kesuciannya, apalagi
penyamakan kulitnya (setelah menjadi bangkai).
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫س إِاَّل اآْل َد ِم َّي‬ َ ‫)و َع ْظ ُم ا ْل َم ْيتَ ِة َو‬
ٌ ‫ش ْع ُرهَا نَ ِج‬ َ

[Tulang dan rambut (bulu) bangkai itu najis. Kecuali bangkainya anak Ādam.
Adapun rambut dan tulang bangkainya anak Ādam itu suci].
Yang menjadi dalil najisnya rambut bangkai dan tulang bangkai itu ialah firman
Allah s.w.t.:
ُ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَة‬
ْ ‫حُ ِّر َم‬.
“Kamu semua diharamkan makan bangkai.” (al-Mā’idah: 3).

Mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan tidak mengandung bahaya untuk
dimakan, itu menunjukkan kenajisannya. Tidak ada keraguan lagi bahwa tulang dan
rambut termasuk anggota bagian dari hewan. Tetapi dalam masalah rambut, terdapat
khilāf, apakah menjadi najis sebab mati ataukah tidak? Khilāf ini menimbulkan dua
pendapat.
Pendapat yang pertama tidak najis, sebab rambut tidak ditempati roh (hidup). Jadi ia
tidak najis sebab mati. Buktinya, jika seseorang rambutnya dipotong, dia tidak
merasakan sakit. Pendapat yang kedua yang lebih jelas wajahnya (sudut
pandangnya) mengatakan, rambut itu najis. Pendapat inilah yang diterangkan oleh
pengarang dengan jelas. Sebab, jika rambut ditempati oleh roh, maka sudah jelas
najisnya. Jika tidak ditempati oleh roh, juga tetap najis, karena diikutkan pada
keseluruhan badan hewan. Sebab rambut termasuk anggota bagian dari hewan.
Seperti halnya, rambut juga wajib dibasuh pada waktu bersuci dan janābah.
Dalam masalah tulang, juga terdapat khilāf. Ada yang mengatakan, sama dengan
rambut. Madzhab yang kuat memastikan kenajisannya. Sebab orang yang dipotong
tulangnya, pasti merasakan sakit. Bula halus, bulu kasar, bulu sayap, semuanya
disamakan dengan rambut.
5

Jadi, jika kita menghukumkan najisnya rambut, maka oleh karena di dalam rambut
manusia terdapat dua qaul yang masing-masing didasarkan atas kenajisannya sebab
mati, andaikata kita katakan najisya sebab mati, rambut manusia yang mati pun najis.
Dan andaikata kita katakan tidak najis sebab mati, yaitu menurut qaul yang rājiḥ,
rambut manusia juga tidak najis.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫ستِ ْع َما ُل َغ ْي ِر ِه َما ِمنَ اأْل َ َوانِ ْي‬ َّ ِ‫ب َو ا ْلف‬
ْ ‫ض ِة َو يَ ُج ْو ُز ا‬ َّ ‫ستِ ْع َما ُل أَ َوانِي‬
ِ ‫الذ َه‬ ْ ‫)و اَل يَ ُج ْو ُز ا‬
َ

[Tidak boleh, menggunakan wadah emas atau wadah perak. Dan boleh,
menggunakan wadah selain yang terbuat dari emas ataupun perak].

Hal tersebut berdasarkan pada apa yang terkandung di dalam sebuah Hadits shaḥīḥ
riwayat Ḥudzaifah r.a. Beliau berkata: Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
َّ ِ‫ب َو ْالف‬
‫ فَإِنَّهَا لَهُ ْم فِي ال ُّد ْنيَا َو لَ ُك ْم فِي اآل ِخ َر ِة‬،‫ض ِة‬ ِ َ‫اَل ت َْلبَسُوا ْال َح ِري َْر َو اَل ال ِّد ْيبَا َج َو اَل تَ ْش َربُوْ ا فِ ْي آنِيَ ِة ال َّذه‬.

“Kamu jangan sekali-kali mengenakan kain sutra halus atau sutra tebal, dan
jangan meminum apa yang ada di dalam wadah emas atau perak. Sebab sutra,
emas dan perak, itu semua untuk orang-orang kafir di dunia dan untuk kamu
besok di akhirat.”
(Riwayat Bukhārī dan Muslim).

Dan di dalam riwayat yang lain berbunyi:


‫َار َجهَنَّ َم‬ ْ َ‫ض ِة إِنَّ َما يُ َجرْ ِج ُر فِ ْي ب‬
َ ‫طنِ ِه ن‬ َّ ِ‫ب َو ْالف‬
ِ َ‫الَّ ِذيْ يَ ْش َربُ فِ ْي آنِيَ ِة ال َّذه‬.

“Barang siapa yang meminum di dalam wadah terbuat dari emas dan perak,
maka sebenarnya (nanti) akan bergejolak di dalam perutnya api dari neraka
Jahannam.”
6

Dan seterusnya ada lagi lain-lain Hadits yang bermaksud sama, di antaranya:
“Barang siapa yang memakan dan meminum….. dan seterusnya, yang bermaksud
larangnya amat keras sekali, seolah-olah orang yang meminum itu menuangkan api
neraka di dalam perutnya, sehingga terdengar suaranya seperti air yang menggelegak
di dalam periuk.
Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari api neraka dan dari perbuatan yang
menjadikan kita masuk neraka.
Imām Nawawī berkata di dalam kitab Syaraḥ Muslim: Para Ulama Madzhab Syāfi‘ī
berkata: Ijma‘ sudah menetapkan keharaman makan, minum dan segala macam
bentuk penggunaan terhadap wadah emas dan perak, kecuali apa yang diriwayatkan
oleh Imām Dāūd dan qaul qadīm-nya Imām Syāfi‘ī, yaitu tidak haram, tetapi hanya
makruh. Para Ulama Ahli Taḥqīq tidak menganggap adanya perbedaan dari Imām
Dāūd tersebut boleh membatalkan ijma‘. Adapun qaul-nya Imām Syāfi‘ī, dita’wili.
Seperti apa yang diterangkan oleh pengarang kitab al-Ghāyah Wat-Taqrīb. Lain
daripada itu, Imām Syāfi‘ī telah menarik kembali qaul qadīm-nya. Jadi jelaslah,
bahwa ijma‘ sudah tetap pada keputusan haramnya menggunakan wadah emas atau
perak untuk hal-hal seperti makan, minum, bersuci, makan dengan sendok emas atau
perak, menguapi pakaian dengan alat penguap emas dan perak dan segala macam
bentuk penggunaan.
Di antara bentuk penggunaan lagi, yaitu untuk wadah celak, alat untuk mencelak,
wadah minyak ghāliyah dan lain-lain. Baik dibuat wadah ukuran besar atau ukuran
kecil.
Dalam masalah haramnya penggunaan ini, laki-laki dan perempuan sama saja. Tidak
ada khilāf. Hanya saja untuk soal perhiasan, antara laki-laki dan perempuan ada
perbedaan. Karena bagi perempuan, ia mempunyai maksud menghias diri untuk
suaminya atau tuannya.
Haram, menggunakan air mawar atau minyak yang ada di botol emas atau perak.
Hukum haram ini adalah qaul yang shaḥīḥ. Di dalam kitab al-Qananī dikatakan:
7

Demikian juga haram menghias toko, rumah dan majlis-majlis pertemuan dengan
wadah-wadah emas atau perak. Dan inilah yang benar.
Sebagian Ulama Madzhab Syāfi‘ī membolehkan hal tersebut, dan itu adalah salah.
Sebab segala sesuatu yang asalnya haram, maka melihat sesuatu itu juga haram.
Imām Syāfi‘ī sudah menerangkan dengan pasti, demikian juga para Ulama
Mazhabnya, bahwa andaikata seseorang berwudhū’ atau mandi dari wadah emas
atau perak, orang tersebut melakukan maksiat.
Haram, menyimpan wadah emas atau perak yang berupa apa saja tanpa digunakan,
menurut qaul yang shaḥīḥ. Sebab segala sesuatu yang haram menggunakannya,
haram pula menyimpannya, seperti alat-alat hiburan. Semoga Allah menyelamatkan
diri kita dari perbuatan yang menyebabkan kita masuk ke dalam neraka.
Tukang emas, haram membuat wadah emas atau perak. Dan seandainya dia
membuatkan untuk orang lain, dia tidak berhak menerima upahnya, sebab
perbuatannya itu adalah maksiat. Andaikata ada seseorang yang memecah-mecahkan
wadah emas atau perak, dia tidak wajib menggantinya. Dan yang punya tidak boleh
menuntut ganti ruginya. Begitu pula tidak boleh melaporkannya kepada hakim yang
zalim pada zaman kita sekarang ini, sebab hakim-hakim tersebut jahil, dan saling
menggunakan wadah-wadah emas dan perak, hingga mereka berani minum
minuman keras sembil diiringi alat-alat hiburan.
Di dalam Hadis riwayat Abū Hurairah disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah
bersabda:
َ‫ْس يَ ْشهَ ُدوْ نَ أَ ْن اَل إِلهَ إِاَّل هللاُ َو أَنَّك‬َ ‫ يَا َرسُوْ َل هللاِ! أَلَي‬:‫ قَالُوْ ا‬.‫َاز ْي َر‬ ُ
ِ ‫يُ ْم َس ُخ نَاسٌ ِم ْن أ َّمتِ ْي فِ ْي آ ِخ ِر ال َّز َما ِن قِرْ َدةً َو خَ ن‬
‫ فَأَصْ بَحُوْ ا َو قَ ْد ُم ِس ُخوْ ا‬،‫ فَبَاتُوْ ا َعلَى لَه ِْو ِه ْم َو لَ ِعبِ ِه ْم‬،‫ت‬
ِ ‫ازفَ َو ْالقَ ْينَا‬ ِ ‫ َو ل ِكنَّهُ ُم اتَّ َخ ُذو ْال َم َع‬،‫ بَلَى‬:‫َرسُوْ ُل هللاِ؟ قَا َل‬
ِ ‫قِرْ َدةً َو خَ ن‬.
‫َازي َْر‬
“Besok pada akhir zaman, ada segolongan manusia dari umatku dihapus
mukanya hingga mengjadi kera dan babi. Para sahabat bertanya: Bukankah mereka
telah bersaksi bahwa “Tidak ada tuhan yang disembah kecuali Allah, dan bahwa
engkau adalah Utusan Allah?” Rasūlullāh s.a.w. menjawab: Ya, mereka membaca
kalimat syahadah. Akan tetapi mereka suka mengadakan alat-alat musik dan
8

perempuan-perempuan yang bernyanyi-nyanyi. Semalaman suntuk mereka


bersenang-senang dan bermain-main, lalu keesokan harinya wajah mereka sudah
diganti dengan wajah kera dan babi.”
Di dalam Hadisnya Anas diberitakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:
َ ُ‫س إِلَى قَ ْينَ ٍة يَ ْستَ ِم ُع ِم ْنهَا صُبَّ فِ ْي أُ ُذنَ ْي ِه اآْل ن‬
‫ك‬ َ َ‫ َم ْن َجل‬.
“Barang siapa yang duduk di dekat seorang biduan (penyanyi wanita) untuk
mendengarkan suara nyanyiannya, kelak kedua telinganya akan diisi dengan
cucuran timah (yang dicairkan).”

Wadah-wadah, selain dari emas dan perak, meskipun terbuat dari benda-benda yang
berharga, seperti yaqut, fairuz, dan lain-lain, apakah haram menggunakannya? Ada
khilāf di antara para Ulama. Ada yang mengatakan haram, sebab ia melahirkan
perasaan sombong diri, berlebih-lebihan dan boleh mematahkan perasaan orang-
orang fakir. Qaul yang shaḥīḥ, tidak haram. Tidak ada khilāf, mengenai tidak
diharamkannya wadah-wadah itu karena bagus perbuatannya, mahal harganya, dan
juga tidak makruh, seperti kain sutra dan kain yang terbuat dari bulu halus yang
bagus-bagus.
 
Cabang Permasalahan.
Andaikata ada seseorang yang membuat wadah dari tembaga atau yang semisalnya,
lalu disepuh dengan emas atau perak, maka jika wadah tersebut ditaruh di atas api,
lalu sebagian emasnya ada yang keluar, hukumnya haram menurut qaul yang shaḥīḥ.
Dan kalau diganggang di atas api dan tidak mengeluarkan emasnya atau peraknya,
menurut qaul yang rājiḥ (yang diunggulkan) di dalam bab ini, hukumnya tidak
haram. Tetapi menurut qaul yang rājiḥ (yang diunggulkan) di dalam bab Zakat-nya
emas dan perak, adalah haram.
Imām an-Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab berkata: Andaikata seseorang
menyepuh pedang atau alat-alat lain yang berupa alat-alat perang maupun selainnya,
disepuhnya dengan emas, yang sekira-kira kalau dipanaskan di atas api, emasnya
9

tidak keluar, di dalam masalah ini terdapat dua jalan. Qaul yang ashaḥḥ, yang
dipastikan oleh para Ulama ‘Irāq, hukumnya haram, berpegang kepada Hadis di atas.
Kata pengarang; ini termasuk cincin, tempat tinta, tempat perhiasan dan lain-lain.
Maka dari itu, semua orang Islam harus menjauhkan diri dari hal-hal yang tersebut di
atas. Wallāhu a‘lam.
Imām an-Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab berkata: Menyepuh puncak atap
rumah dan temboknya dengan emas atau perak, hukumnya haram, tanpa ada khilāf.
Kemudian kalau seandainya dipanaskan di atas api, lantas mengeluarkan emasnya
atau peraknya, maka membiarkannya juga haram. Dan kalau tidak, ya tidak.
Pendapat Imām an-Nawawī ini diikuti oleh Imām Ibnu Rif‘ah dalam masalah
memastikan keharamannya. Wallāhu a‘lam.

Perihal Bersiwak
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫ ِع ْن َد تَ َغيُّ ِر‬،‫ستِ ْحبَابًا‬ َ َ‫اض َع أ‬
ْ ‫ش ُّد ا‬ ِ ‫ َو ُه َو فِ ْي ثَاَل ثَ ِة َم َو‬،‫صائِ ِم‬َّ ‫ست ََح ٌّب فِ ْي ُك ِّل َحا ٍل إِاَّل بَ ْع َد ال َّز َوا ِل لِل‬ ْ ‫س َوا ُك ُم‬
ِّ ‫ ال‬:‫ص ٌل‬ ْ َ‫ف‬
َّ ‫ َو ِع ْن َد ا ْلقِيَ ِام إِلَى ال‬،‫ َو ِع ْن َد ا ْلقِيَ ِام ِمنَ النَّ ْو ِم‬،‫)ا ْلفَ ِم ِمنْ أَ ْز ٍم َو َغ ْي ِر ِه‬.
‫صاَل ِة‬

[Dalam keadaan bagaimanapun adalah bersiwak (menggosok gigi) itu disunnatkan,


kecuali setelah tergelincirnya matahari bagi orang yang berpuasa. Bersiwak juga
sangat di-sunnat-kan dalam tiga keadaan ini; yaitu ketika mengalami bau busuk pada
mulut yang disebabkan oleh lamanya dia atau lainnya, ketika bangun dari tidur dan
ketika berdiri hendak shalat].
Bersiwak itu disunnatkan dengan secara mutlak. Sebab Nabi s.a.w. telah bersabda:
ِّ‫ضاةٌ لِلرَّب‬ ْ ‫ك َم‬
َ ْ‫طهَ َرةٌ لِ ْلفَ ِم َمر‬ ُ ‫ال َّس َوا‬.
“Bersiwak itu mensucikan mulut dan menimbulkan keridhaan Tuhan Yang Maha
Agung.”
10

Hadits ini shaḥīḥ, diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Ḥibbān, al-Baihaqī dan
an-Nasā’ī dengan isnād yang shaḥīḥ pula. Imām Bukhārī menyebut Hadits di atas
secara ta‘līq dengan shīghat jazmī. Ta‘līq-nya Imām Bukhārī dengan menggunakan
shīghat jazmī, menunjukkan bahwa Hadits tersebut shaḥīḥ.
Lafazh Mathharatun dibaca fatḥah mīm-nya atau dibaca kasrah. Maknanya ialah
setiap sesuatu yang boleh digunakan untuk bersuci. Siwak disamakan dengan
sesuatu (alat) yang boleh digunakan untuk bersuci, karena siwak itu boleh
mensucikan mulut.
Apakah bersiwak sesudah tergelincirnya matahari itu makrūh? Ada khilāf. Qaul
yang rājiḥ di dalam kitabnya Imām Rāfi‘ī dan kitab ar-Raudhah, hukumnya makrūh.
Sebab sabda Rasūlullāh s.a.w.:
ِ ‫ْح ْال ِم ْس‬ ْ
‫ك‬ ِ ‫لَ ُخلُوْ فُ فَ ِم الصَّائِ ِم أَطيَبُ ِع ْن َد هللاِ ِم ْن ِري‬.

“Sungguh bau mulutnya orang yang sedang berpuasa itu lebih harum di sisi
Allah (besok di hari kiamat) daripada bau harumnya minyak misik.”
(Riwayat Bukhārī)

Di dalam riwayatnya Imām Muslim menggunakan kalimat “besok di hari kiamat”.


Sebagai gantinya kalimat “di sisi Allah.” Ke-makrūh-an bersiwak itu ditentukan
sesudah tergelincirnya mataharai karena perubahan mulut yang disebabkan oleh
puasa, bila matahari sudah tergelincir akan nyata sekali. Jadi andaikata mulut
seseorang mengalami perubahan sesudah matahari tergelincir, tetapi perubahannya
bukan karena puasa, misalnya karena tidur atau lainnya, lalu ia bersiwak untuk
menghilangkan bau mulutnya, hukumnya tidak makrūh.
Ada yang mengatakan: Bersiwak itu tidak makrūh secara mutlak. Pendapat ini
dikatakan oleh Imam-imam yang tiga, yaitu Abū Ḥanīfah, Mālik dan Imām Aḥmad
bin Ḥanbal, dan diunggulkan oleh Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab.
Al-Qādhī Ḥusain berkata: Makrūh pada puasa fardhu, bukan puasa sunnat. Sebab
dikhawatirkan adanya riya’.
11

Kata pengarang “bagi orang yang berpuasa,” boleh diambil kesimpulan bahwa ke-
makrūh-an bersiwak itu menjadi hilang dengan terbenamnya matahari. Demikian
hukum yang shaḥīḥ, tersebut di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab. Ada lagi yang
mengatakan: Ke-makrūh-an masih tetap hingga orangnya berbuka puasa. Wallāhu
a‘lam.
Kemudian, ke-sunnat-an bersiwak lebih dikukuhkan pada beberapa waktu yang
tertentu:
Antara lain ialah: “ketika mulut mengalami perubahan bau yang disebabkan oleh
lamanya diam dan lain-lain.” Azmin yaitu diam terlalu lama. Ada yang mengatakan
Azmin ialah meninggalkan makan.
Kata-kata “dan lain-lain”, termasuk andaikata bau mulut itu berubah dengan
sendirinya karena orangnya makan sesuatu yang berbau tidak enak, seperti bawang
putih, bawang merah dan lain-lain.
Di antaranya lagi “ketika bangun dari tidur”. Diberitakan bahwa Rasūlullāh s.a.w.
apabila terjaga dari tidurnya, beliau bersiwak.
Sebagian riwayat lafaznya begini:
ِ ‫يَ ُشوْ صُ فَاهُ بِال ِّس َو‬.
‫اك‬
“Beliau membersihkan dan membasuh mulutnya dengan bersiwak.”
(Riwayat Bukhārī dan Muslim).

Adapun sebab dikukuhkan serta digalakkan bersiwak sesudah tidur, karena tidur itu
tidak terlepas dari diam (diam yang terlau lama) dan meninggalkan makan. Di mana
kedua-duanya termasuk penyebab perubahan bau mulut.
Di antaranya “ketika hendak berdiri untuk shalat”, sebab sabda Nabi s.a.w.:
ِ ‫ق َعلَى أُ َّمتِ ْي أَل َ َمرْ تُهُ ْم بِالس َِّوا‬
َ ‫ك ِع ْن َد ُك ِّل‬
‫صاَل ٍة‬ َّ ‫لَوْ اَل أَ ْن أَ ُش‬.

“Kalau saja aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu sudah keperintahkan
mereka supaya besiwak tiap-tiap hendak shalat.”
(Riwayat Bukhārī dan Muslim).
12

Dan diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a. dari Rasūlullāh s.a.w., bahwa beliau telah
bersabda:
‫ك‬ َ ‫ك أَ ْف‬
ٍ ‫ض ُل ِم ْن َس ْب ِع ْينَ َر َك َعةً بِاَل ِس َوا‬ ِ ‫ر َك َعتَا ِن بِال ِّس َوا‬.
َ
“Dua rakaat dengan bersiwak itu lebih utama daripada tujuh puluh rakaat tanpa
bersiwak.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dari Haditsnya Ḥumaidī dengan isnād
yang semua rawinya dianggap dapat dipercaya.
Bersiwak ketika hendak bangun bershalat sangat dituntut, walaupun bau mulutnya
tidak berubah.
Sunnat bersiwak ini, tidak dibedakan antara shalat fardhu dan shalat sunnat. Bahkan
andaikata orang tersebut melakukan shalat yang mempunyai beberapa salam, seperti
shalat Dhuḥā, shalat Tarāwiḥ dan shalat Tahajjud, dia di-sunnat-kan bersiwak tiap-
tiap dua rakaatnya. Demikian juga ketika shalat Janāzah dan shalat untuk Thawāf.
Juga tidak ada perbedaannya antara shalat yang bermula dengan berwudhū’ atau
dengan bertayammum atau sewaktu tidak adanya kedua perkara yang boleh untuk
dijadikan bersuci tersebut. Juga dikukuhkan ke-sunnat-annya bersiwak ketika
hendak berwudhū’ walaupun bukan untuk shalat. An-Nasā’ī meriwayatkan sebuah
Hadits yang bunyinya begini:
ِ ‫ق َعلَى أُ َّمتِ ْي أَل َ َمرْ تُهُ ْم بِالس َِّوا‬
‫ك ِع ْن َد ُك ِّل ُوضُوْ ٍء‬ َّ ‫لَوْ اَل أَ ْن أَ ُش‬.

“Kalau saja aku tidak khawatir memberatkan umatku, tentu sudah kuperintahkan
mereka supaya besiwak tiap-tiap hendak berwudhū’.”
Ibnu Khuzaimah menganggap riwayat Hadits ini shaḥīḥ, tetapi Imām Bukhārī
meriwayatkan Hadits ini secara Ta‘līq.
Bersiwak juga di-sunnat-kan ketika hendak membaca al-Qur’ān. Dan ketika gigi
menguning, walaupun bau mulut tidak berubah. Perlu diketahui, bahwa bersiwak
berhasil dengan memakai sobekan kain dan segala sesuatu yang kasar dan dapat
menghilangkan (bau mulut). Yang lebih utama yaitu menggunakan kayu. Kayu yang
13

lebih utam yaitu kayu Arak. Dan yang lebih utama lagi yaitu menggunakan yang
kering lalu dibasahi dengan air.
Di-sunnat-kan mencuci (alat) siwak jika hendak digunakan untuk bersiwak lagi.
Andaikata ada seseorang yang hendak bersiwak dengan jari orang lain, sedangkan
jari itu kasar, dianggap cukup (memadai), tanpa ada khilāf. Demikian kata Imām
Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab. Jika ia menggunakan jarinya sendiri,
terdapat khilāf. Qaul yang rājiḥ yang disebut di dalam kitab ar-Raudhah, tidak
cukup. Qaul yang rājiḥ yang disebut di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab, mencukupi.
Anggapan cukup (memadai) ini, telah dipastikan oleh al-Qādhī Ḥusain, al-Muḥāmilī,
al-Baghawī dan Syaikh Abū Ḥāmid. Dan dipilih oleh ar-Ruyānī di dalam kitab al-
Baḥr-ul-Muḥīth.
Tidak mengapa, andaikata orang tersebut bersiwak dengan menggunakan siwak
milik orang lain dengan seizinnya. Dan di-sunnat-kan bersiwak dengan
menggunakan tangan kanan dan memulai dari mulut bagian kanan pula. Dan di-
sunnat-kan lagi, menggerak-gerakkan siwak pada atap tenggorokan dengan
perlahan-perlahan dan pada wadah gigi geraham. Bersiwak juga di-sunnat-kan
ketika hendak masuk rumah dan ketika hendak tidur. Wallāhu a‘lam.

Fasal
Perihal Wudhū’
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ْ ‫ النِّيَّةُ ِع ْن َد َغ‬:ٌ‫ستَّة‬
(‫س ِل ا ْل َو ْج ِه‬ ُ ِ‫ َو فَ َرائ‬:‫ص ٌل‬
ُ ‫ض ا ْل ُو‬
ِ ‫ض ْو ِء‬ ْ َ‫)ف‬.
[Fardhunya wudhū’ ada enam: Pertama: Niat, sewaktu membasuh muka].
Ketahuilah, di dalam berwudhū’ itu terdapat beberapa syarat dan fardhu. Syarat-
syaratnya berwudhū’ ialah Islam, pandai atau cerdik (mumayyiz), airnya suci-
mensucikan, tidak ada māni‘ (sesuatu yang menghalang-halangi atau yang
mencegah) yang dapat dilihat, misalnya berupa kotoran, atau Māni‘ Syar‘ī seperti
14

haidh dan nifas, dan sudah masuk pada waktunya bagi orang yang dalam keadaan
dharurat, seperti perempuan mustaḥadhah dan orang yang kentutnya terus-menerus.
Adapun fardhunya wudhū’ ada enam, seperti telah disebutkan oleh pengarang di
atas. Fardhunya wudhū’ yang pertama yaitu: Niat. Sebab sabda Nabi Muḥammad
s.a.w.:
ِ ‫إِنَّ َما اأْل َ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬.
‫ت‬
“Segala amal itu tidak sah, jika tidak dengan niat.”
(Riwayat Bukhārī dan Muslim).

Niat itu hukumnya fardhu dalam bersuci dari hadats, tetapi tidak wajib dalam hal
menghilangkan najis, menurut qaul yang shaḥīḥ. Tujuan mencuci najis yaitu
menghilangkan najis. Menghilangkan najis itu boleh berhasil dengan jalan
membasuhnya; lain dengan hadats. Bersuci dari hadats itu beribadah. Jadi,
membutuhkan niat seperti pada ibadah-ibadah lain. Demikian kata Imām Rāfi‘ī.
Syarat sahnya niat ialah Islam. Jadi tidak dianggap sah wudhū’nya orang kafir dan
mandinya, menurut qaul yang shaḥīḥ, sebab niat itu ibadah, sedangkan orang kafir
bukan ahli ibadah. Bersucinya orang murtad juga tidak sah, tanpa ada khilāf, yaitu
untuk memberatkan hukum ke atas orang yang murtad.
Waktunya niat yang diwajibkan ialah ketika pertama kali membasuh sebagian dari
wajah atau muka. Sebab membasuh muka merupakan permulaan ibadah yang wajib.
Orang tidak diberi pahala atas sunnat-sunnat yang dikerjakan sebelumnya. Cara-cara
berniat jika orangnya sehat (tidak berpenyakit), hendaknya berniat dengan salah satu
dari tiga perkara ini. Yaitu:
1. Niat menghilangkan hadats atau bersuci dari hadats.
2. Niat agar diperbolehkan mengerjakan shalat atau lainnya yang tidak boleh
dikerjakan kecuali dengan bersuci.
3. Niat fardhunya wudhū’ atau niat menjalankan kewajiban berwudhū’.
Walaupun orangnya masih kecil (kanak-kanak).
15

Imām Nawawī berkata di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab: Andaikata orang tersebut


berniat “bersuci untuk shalat” atau “bersuci untuk selain shalat,” yaitu segala sesuatu
yang bergantung pada wudhū’, wudhū’-nya sudah cukup. Demikian ini diterangkan
juga di dalam kitab at-Tanbīh.
Andaikata ada orang berniat “bersuci” saja, tidak mengatakan “bersuci dari hadats”,
menurut qaul yang shaḥīḥ wudhū’nya tidak mencukupi. Sebab bersuci itu ada
kalanya dari hadats dan ada kalanya dari najis. Jadi harus ada niat yang
membedakan.
Andaikata ada orang yang hanya berniat wudhū’ saja, sah wudhū’nya menurut qaul
yang ashaḥḥ, tersebut di dalam kitab at-Taḥqīq dan Syaraḥ al-Muhadzdzab. Lain
dengan orang yang mandi janabah, berniat dengan hanya “mandi” saja, tidak cukup
mandinya. Al-Mawardī membedakan antara wudhū’ dan mandi. Kalau wudhū’ tidak
ada yang berlaku untuk selain ibadah. Tidak seperti mandi. Andaikata orang itu
berniat “menghilangkan hadats’ dan untuk “membolehkan segala yang menghalang”
maka niat yang demikian itu adalah niat yang boleh mencakup segala-segalanya.
Kalau orangnya berpenyakit, seperti orang yang mempunyai penyakit terus-menerus
kencing, atau perempuan yang mustaḥadhah, kalau berwudhū’, niatnya ialah untuk
membolehkan segala yang menghalang menurut qaul yang shaḥīḥ. Tidak sah, jika ia
berniat menghilangkan hadats, sebab hadats orang tersebut terus-menerus dan tidak
pernah hilang atau tidak putus-putus. Ada yang mengatakan: Wajib mengumpulkan
antara niat menghilangkan hadats dan niat untuk membolehkan segala yang
menghalang. Ada juga yang mengatakan cukuplah berniat dengan salah satunya.
Cabang Permasalahan (1)
Syaratnya niat supaya dianggap sah, yaitu harus mantap. Jadi andaikata orangnya
ragu-ragu apakah ia sudah berhadats atau belum, kemudian ia berwudhū’ karena
untuk berhati-hati, setelah itu ia yakin sudah berhadats, maka wudhū’nya tidak
dianggap sah menurut qaul yang ashaḥḥ. Sebab orang tersebut berwudhū’ dalam
keadaan hatinya ragu-ragu.
16

Andaikata orang itu yakin bahwa dirinya sudah berhadats, tetapi ia ragu-ragu apakah
ia sudah bersuci atau belum, kemudian sesudah berwudhū’ ternyata ia dalam
keadaan berhadats, maka wudhū’nya sah, tanpa ada khilāf. Sebab yang asal adalah
dikira tetapnya hadats. Jadi tidak membahayakan keraguannya yang disertai dengan
tetapnya hadats itu. Dan kecenderungan niat masih tetap kuat terhadap yang asal,
yaitu hadats. Lain dengan masalah yang pertama tadi. Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan (2)
Andaikata orang itu berwudhū’, lalu ada bagian sedikit yang diterlupakan pada
basuhan yang pertama, kemudian pada basuhan yang kedua atau ketiga, bagian yang
sedikit itu ikut terbasuh, maka wudhū’nya orang tersebut sah menurut qaul yang
shaḥīḥ. Lain kalau bagian yang sedikit itu terbasuhnya pada saat memperbarui
wudhū’, maka menurut qaul yang shaḥīḥ, tidak mencukupi wudhū’nya.
Perbedaan pada kedua masalah ini, yaitu kalau berniat tajdīd (memperbarui wudhū’),
ini tidak mengandung niat fardhu. Lain dengan basuhan yang kedua atau ketiga, niat
fardhunya wudhū’ boleh mencakup ketiga basuhan tersebut. Jadi selama wudhū’ itu
belum sempurna pada basuhan yang pertama, maka tidak dapat sempurnalah
basuhan yang kedua dan ketiga. Masalah kesalahan dalam beri‘tiqad tidak
membahayakan. Buktinya, andaikata seseorang yang shalat meninggalkan sujud
pada rakaat yang pertama karena lupa, dan pada rakaat yang kedua dia bersujud lagi,
walaupun ia meyakinkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang ia kerjakan.
Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ْ ‫)و َغ‬.
(‫س ُل ا ْل َو ْج ِه‬ َ
[Kedua: Membasuh muka (wajah)].
Membasuh muka adalah permulaan rukun wudhū’ yang jelas (tampak di mata).
Allah s.w.t. berfirman:
َّ ‫إِ َذا قُ ْلتُ ْم إِلَى ال‬.
‫صاَل ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم‬
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu.”
(al-Mā’idah: 6).
17

Dalam membasuh muka, diwajibkan meratakan air. Batas-batas muka ialah mulai
dari permulaan bidang dahi hingga hujung dagu untuk ukuran panjang muka. Dan
mulai dari telinga yang satu sampai ke telinga yang lain untuk ukuran lebarnya.
Tempat mengerik rambut yang ada di kanan kiri dahi tidak termasuk muka. Kedua
pelipis tidak termasuk muka menurut qaul yang shaḥīḥ, tersebut di dalam Syaraḥ al-
Raudhah. Namun Imām Rāfi‘ī di dalam kitab al-Muḥarrar me-rājiḥ-kan adanya
pelipis dua itu termasuk bagian dari muka (wajah).
Kemudian, rambut yang tumbuh pada wajah itu ada dua macam:
1. Rambut yang tidak keluar dari perbatasan wajah.
2. Rambut yang keluar dari perbatasan wajah.
Rambut yang tidak keluar dari batas muka, ada kalanya yang langka tebalnya dan
ada kalanya yang tidak langka tebalnya. Rambut yang langka tebalnya seperti
rambut alis (kanan dan kiri), bulu mata, kumis (kanan dan kiri), dan rambut yang
tumbuh pada kedua belah pipi bagian tepi, yaitu yang berhadapan dengan kedua
belah telinga, antara pelipis dan rambut cambang. Rambut-rambut tersebut wajib
dibasuh semua, luar dan dalamnya dengan menyertakan kulit yang di bawahnya,
walaupun lebat. Sebab semua rambut tersebut termasuk bagian dari wajah (muka).
Rambut cambang, jika jarang (tidak lebat), kedua-duanya wajib dibasuh, luar dan
dalamnya beserta kulitnya. Dan jika tebal (lebat), wajib dibasuh luarnya saja
menurut qaul yang azhhar.
Andaikata sebagian dari rambut cambang itu jarang dan sebagian lagi tebal, menurut
qaul yang rājiḥ, rambut yang jarang hukumnya sama seperti hukum rambut yang
semuanya jarang, dan rambut yang tebal hukumnya sama seperti hukum rambut
yang semuanya lebat. Ukuran mengenai tebal dan jarangnya rambut ada khilāf. Yang
shaḥīḥ yaitu: Rambut jarang ialah rambut yang kulitnya dapat dilihat dalam majlis
omong-omong (perbicaraan). Rambut tebal ialah rambut yang tiada kelihatan oleh
pandangan mata pada kulit yang ditumbuhinya.
Macam rambut yang kedua ialah rambut yang keluar dari batas wajah, yaitu rambut
jenggot, rambut cambang, rambut kepala, rambut yang tumbuh di tepi pipi (di
18

hadapan telinga), dan rambut pucuknya kumis, yang memanjang maupun yang
melebar. Menurut qaul yang rājiḥ, wajib membasuh luarnya saja. Sebab dengan
membasuh luarnya saja sudah boleh digunakan untuk bertatap muka dengan orang
lain. Ada yang mengatakan: Tidak diwajibkan membasuhnya, sebab rambut-rambut
tersebut sudah keluar dari batas-batas wajah.
Imām Nawawī di dalam tambahannya pada kitab ar-Raudhah berkata: Wajib
membasuh sebagian dari kepala, leher dan bawah dagu bersamaan dengan
membasuh mukanya. Maksudnya agar nyata pemerataan airnya. Andaikata
seseorang dipotong hidungnya atau mulutnya, ia wajib membasuh apa yang
kelihatan dari bekas pemotongan itu, sama ada dalam berwudhu’ ataupun mandinya,
menurut qaul yang shaḥīḥ. Sebab apa yang tampak itu telah berubah menjadi bagian
luarnya wajah. Juga wajib membasuh apa yang tampak kemerah-merahan pada
kedua bibirnya. Dan di-sunnat-kan hendaknya mengambil air untuk wudhū’ dengan
kedua-dua belah tangan.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫س ُل ا ْليَ َد ْي ِن َم َع ا ْل ِم ْرفَقَ ْي ِن‬
ْ ‫)و َغ‬.
َ
[Ketiga: Membasuh kedua tangan beserta sikunya].
Sebab firman Allah ta‘ālā:
ِ ِ‫ َو أَ ْي ِد ْي ُك ْم إِلَى ْال َم َراف‬.
‫ق‬
“Dan hendaknya kamu membasuh kedua tanganmu beserta sikunya.”
(al-Mā’idah: 6).
Lafazh ilā itu ada yang menggunakan arti mushāḥabah (serta), seperti lafazh ilā
yang terdapat di dalam firman Allah:
ِ‫اريْ ِإلَى هللا‬
ِ ‫ص‬َ ‫ َم ْن أَ ْن‬.
“Siapakah yang akan menjadi para penolongku beserta Allah.”
(Āli ‘Imrān: 52).
Dalil bahwa ilā di atas menggunakan arti mushāḥabah (serta), yaitu Hadits yang
diriwayatkan dari sahabat Jābir r.a. Beliau berkata:
19

ِ ِ‫ْت َرسُوْ َل هللاِ (ص) يُ ِد ْي ُر ْال َما َء َعلَى ْال َم َراف‬


‫ق‬ ُ ‫رأَي‬.
َ
“Aku pernah melihat Rasūlullāh s.a.w. memutar-mutarkan air pada siku tangannya.”
Hadits ini diceritakan oleh ad-Dāraquthnī dan al-Baihaqī, dan kedua orang ini tidak
menganggap dha‘īf pada Hadits di atas. Dan diberitakan bahwa Rasūlullāh s.a.w.
pernah memutar-mutarkan air pada siku tangannya dan bersabda: Inilah wudhū’,
yang mana Allah tidak akan menerima shalat seseorang kecuali dengan wudhū’ yang
seperti ini.
Orang yang berwudhū’ wajib meratakan air ke seluruh rambut dan kulit, sehingga
sekiranya di bawah kukunya terdapat kotoran yang boleh menghalang-halangi
sampai air pada kulit itu, maka wudhū’nya tidak sah. Dan shalatnya menjadi batal
karenanya. Wallāhu a‘lam.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ِ ‫ض ال َّر ْأ‬
(‫س‬ ِ ‫س ُح َب ْع‬
ْ ‫)و َم‬.
َ
[Keempat: Mengusap sebagian kepala].
Sebab firman Allah s.w.t.:
‫ َو ا ْم َسحُوْ ا بِ ُر ُؤ ِس ُك ْم‬.
“Dan usaplah kepalamu.”
(al-Mā’idah: 6).
Yang dimaksud ayat ini, bukannya mengusap keseluruhan kepala. Sebab ada sebuah
Hadits yang diberitakan dari sahabat al-Mughīrah r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w.
pernah berwudhu’ dan mengusap ubun-ubunnya serta sorban dan kedua muzah-nya
(semacam sepatu tinggi). Hadits ini diriwayatkan oleh Imām Muslim.
Lain daripada itu, orang yang melalukan tangannya di atas kepala anak yatim, boleh
juga dikatakan: Mengusap kepalanya.
Oleh karena itu, yang menjadi kewajiban dalam berwudhū’ ialah apa saja yang boleh
disebut masḥi (mengusap), walaupun hanya sebagian dari sehelai rambut atau
sekedar tempat rambut dari kulit kepalanya. Adapun syaratnya rambut yang diusap,
20

haruslah rambut yang tidak keluar dari batas kepala seandainya orang tersebut
memanjangkan rambutnya karena keriting.
Menurut qaul yang shaḥīḥ, tidak mengapa andaikata rambut yang dipanjangkan itu
melewati batas kepala. Andaikata seseorang itu membasuh kepala sebagai ganti
mengusap kepala, atau memercikkan air di kepala tadi tetapi airnya tidak mengalir,
atau meletakkan tangannya yang sudah ada airnya tetapi tidak menjalankan
tangannya, maka mencukupilah wudhū’nya menurut qaul yang shaḥīḥ.
Imām Nawawī di dalam tambahannya pada kitab ar-Raudhah berkata: Mengusap
kepala tidak semestinya menggunakan tangan. Akan tetapi boleh menggunakan kayu
atau sobekan kain dan lain-lain. Andaikata orang lain yang mengusap kepalanya,
sudah cukup. Orang perempuan dalam masalah mengusap kepala ini, sama dengan
orang lelaki.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ْ ‫ ُغ‬:‫س‬
(‫س ُل ال ِّر ْجلَ ْي ِن َم َع ا ْل َك ْعبَ ْي ِن‬ ُ ‫)و ا ْل َخا ِم‬.
َ
[Kelima: membasuh kedua kaki beserta mata kakinya].
Sebab firman Allah s.w.t.:
‫ن‬ºِ ‫ َو أَرْ ُجلَ ُك ْم إِلَى ْال َك ْعبَ ْي‬.
“Dan hendaklah kamu membasuh kedua kakimu sampai dengan kedua mata
kaki.”
(al-Mā’idah: 6).
Kalau menurut qirā’ah yang membaca nashab lafazh arjula, kewajiban membasuh
kaki sudah nyata. Takdirnya: Waghsilu arjulakan. Kalau menurut qirā’ah yang
membaca jarr “arjulikum”, maka sunnat Rasūlullāh telah menunjukkan kewajiban
membasuh. Andaikata mengusap kaki diperbolehkan, tentu Rasūlullāh s.a.w. sudah
menerangkan, walaupun hanya sekali, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi
pada selain membasuh kedua kaki ini.
Imām Nawawī di dalam Syaraḥ Muslim berkata: Para Ulama sudah sepakat
mengenai apa yang dimaksud dengan kedua mata kaki, yaitu dua tulang yang tampak
menonjol di antara betis dan telapak kaki, dan pada tiap-tiap sebelah kaki terdapat
21

dua mata kaki. Orang-orang dari golongan Rāfidhah telah menyimpang dari
memaksudkan ayat ini, semoga Allah ta‘ālā mengeji (to degrade; despise; revile;
abuse – dari kata: keji) pendapat golongan Rāfidhah itu. Mereka mengatakan: Pada
setiap sebelah kaki terdapat hanya satu mata kaki, yaitu tulang yang terdapat pada
punggung telapak kaki. Demikian ini telah diberitakan dari Muḥammad bin Ḥasan.
Akan tetapi ini tidak benar. Ḥujjah yang digunakan oleh para Ulama yang
menetapkan bahwa pada setiap kaki terdapat dua mata kaki, ialah apa yang telah
mereka nukil dari Ulama Ahli Lughat (bahasa) dan Ahli ilmu Isytiqāq. Hadits shaḥīḥ
yang kita bahas di sini juga telah menunjukkan bahwa para setiap sebelah kaki
terdapat dua mata kaki. Sebab di dalam Hadits tersebut ada kata-kata:
َ ِ‫ َو ِرجْ لَهُ ْاليُ ْس َرى َك َذال‬،‫فَ َغ َس َل ِرجلَهُ ْاليُ ْمنَى إِلَى ْال َك ْعبَ ْي ِن‬.
‫ك‬
“Lalu beliau membasuh kakinya yang kanan hingga kedua mata kaki dan begitu
juga beliau membasuh kakinya yang kiri.”
Jadi Hadits ini telah menetapkan dua mata kaki pada setiap kaki.
Aku hendak katakan: Haditsnya an-Nu‘mān bin Basyīr r.a. sudah jelas mengandung
arti bahwa setiap kaki terdapat dua mata kaki. An-Nu‘mān berkata: Rasūlullāh s.a.w.
mengatakan kepada kita:
‫ه‬ºِ ِ‫صا ِحبِ ِه َو َك ْعبَهُ بِ َك ْعب‬ ِ ‫ق ِم ْن َكبَهُ بِ ِم ْن َك‬
َ ‫ب‬ ِ ‫ْت ال َّر ُج َل ِمنَّا ي ُْل‬
ُ ‫ص‬ ُ ‫ فَ َرأَي‬،‫صفُوْ فَ ُك ْم‬
ُ ‫أَقِ ْي ُموْ ا‬.
“Rapikan barisanmu! Lalu aku melihat setiap seorang di antara kita merapatkan
bahunya pada bahu temannya, dan merapatkan mata kakinya pada mata kaki
temannya.”
(Riwayat Bukhārī).
Sudah maklum bahwa yang dimaksud Hadis tersebut ialah mata kaki yang berupa
tulang persendian kaki. Dan tidak cocok, kalau mata kaki di situ adalah mata kaki
yang terdapat pada punggung telapak kaki. Wallāhu a‘lam.
Dan ketahuilah, bahwa membasuh kaki sampai dengan kedua mata kaki itu wajib,
jika orangnya tidak bermaksud mengusap muzah (semacam sepatu – khuffain)).
Bacaan jarr pada lafazh arjulikum, itu barangkali diperuntukkan bagi orang yang
mengusap kedua muzah-nya. Orang yang berwudhu’ wajib membasuh seluruh kedua
22

kakinya dengan air. Dan air tersebut juga harus mereka ke semua kulit dan rambut,
sehingga wajib pula membasuh kulit yang pecah-pecah.
Andaikata ada orang meletakkan lilin atau pacar di celah-celah kulit kaki yang
pecah-pecah itu, maka wudhū’nya tidak sah, dan shalatnya juga tidak sah. Jadi lilin
dan pacar itu harus dihilangkan dahulu. Demikian juga harus menghilangkan tahi
nyamuk manakala orang itu bangun dari tidurnya. Maka dari itu, hendaklah orang
mau menjaga hal-hal yang seumpama tahi nyamuk tersebut. Jadi andaikata orang itu
berwudhū’ lalu lupa menghilangkan tahi nyamuk itu, dan baru diketahuinya sesudah
berwudhū’, maka ia wajib mencuci tempat tahi itu dan kembali mencuci anggota
sesudahnya lagi. Dan wajib pula ia mengulangi shalatnya. Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan (3)
Andaikata ada orang yang terkumpul padanya hadats kecil, yaitu wudhū’, dan hadats
besar, yaitu mandi, maka ada khilāf yang tersebar di antara para Ulama, dan qaul
yang shaḥīḥ dan sudah difatwakan, cukup membasuh (mandi) seluruh tubuhnya
dengan niat mandi. Tidak wajib mengumpulkan wudhū’nya dan mandinya, dan tidak
pula wajib tertib dalam wudhū’ dan mandinya.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(ُ‫ب َعلَى َما َذ َك ْرنَاه‬
ُ ‫)و الت َّْرتِ ْي‬.
َ
[Keenam: Ialah tertib].
Kefardhuan tertib ini juga diambil dari ayat al-Qur’ān, yaitu apabila kita katakan
wāw-nya lafazh yang di-‘athaf-kan tersebut bermakna tertib. Dan apabila tidak,
maka kefardhuan tertib diambil dari perbuatan dan sabda Rasūlullāh s.a.w. Sebab
tidak pernah terdengar oleh kita, melainkan wudhū’nya Nabi pasti dengan cara tertib.
Selain daripada itu, Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda seusainya dari wudhū’:
َّ ‫ه َذا ُوضُوْ ٌء اَل يَ ْقبَ ُل هللاُ ال‬.
‫صاَل ةَ إِاَّل بِ ِه‬
“Inilah wudhu’, yang mana Allah tidak akan menerima shalat seseorang kecuali
dengan wudhu’ yang seperti ini.”
(Riwayat Bukhārī).
23

Lain daripada itu, wudhū’ itu termasuk ibadah yang apabila dalam keadaan ‘udzur,
dikembalikan pada separuhnya (yaitu tayammum). Jadi dalam wudhū’, diwajibkan
tertib sebagaimana dalam shalat. Maka seandainya orang yang berwudhū’ lupa
menjalankan tertib. Wudhū’nya tidak sah, sebagaimana halnya kalau orang lupa
membaca al-Fātiḥah di dalam shalat atau lupa bahwa ada najis pada tubuhnya.
Cabang Permasalahan (4)
Seseorang yang kelaminnya selalu mengeluarkan sesuatu yang basah, dan yang
basah itu mungkin saja air mani dan mungkin saja air madzi, dan orang itu tidak tahu
persis apa itu mani atau madzi. Apa yang menjadi kewajiban orang tersebut? Ada
khilāf yang tersebar di antara para ulama. Khilāf ini sudah saya tulis di dalam salah
satu kitab karanganku, lebih dari tiga belas qaul; dari qaul yang rājiḥ di dalam
kitabnya Imām Rāfi‘ī dan kitab ar-Raudhah, orang tersebut boleh memilih. Memilih
mani lalu mandi, dan boleh memilih madzi lalu mencuci cairan yang terkena pada itu
menganggap madzi, dan kemudian berwudhū’, berarti di sudah memenuhi sesuatu
yang membutuhkan wudhū’. Jadi hadats kecilnya hilang, sementara hadats besarnya
masih tetap diragukan. Padahal asalnya, hadats besar tidak ada. Demikian juga
apabila orang tersebut mandi.
Ada yang mengatakan: Orangnya wajib berhati-hati. Sebab orang tersebut yakin
dirinya menanggung salah satu dari dua hadats dan dia tidak boleh lepas dari
tanggungan itu kecuali dengan yakin pula, yaitu dengan berhati-hati. Seperti, kalau
orang itu mempunyai tanggungan satu shalat di antara dua shalat, dan dia tidak
mengetahui dengan nyata shalat yang mana satu yang menjadi tanggungannya, orang
yang demikian wajib mengerjakan kedua-dua shalat sekali. Qaul ini kuat, dan
diunggulkan oleh Imām Nawawī raḥimahullāh di dalam syarah kitab at-Tanbīh dan
kitab Ru’ūs-ul-Masā’īl karangan beliau. Wallāhu a‘lam.

Fasal
24

Perihal Sunnat-sunnat Wudhū’ 


 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(ُ‫ التَّ ْس ِميَة‬:‫صـا ٍل‬
َ ‫ َو ُسنَنُهُ َع ْش ُر ِخ‬:ٌ‫)فَصْ ل‬.
[Sunnat-sunnatnya berwudhū’ ada sepuluh perkara. Yang pertamanya ialah
membaca basmalah. (Bism-illāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm)].
Di dalam wudhū’, banyak terdapat pekerjaan-pekerjaan yang disunnatkan. Di
antaranya ialah membaca basmalah pada permulaan wudhū’.
ِ‫ تَ َوضَّأُوْ ا بِس ِْم هللا‬:‫ َو قَا َل أِل َصْ َحابِ ِه‬،‫ض َع يَ َدهُ فِ ْي إِنَا ٍء‬ َ ُ‫ي أَنَّه‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو‬ َ ‫رُو‬.
ِ
“Diberitakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah meletakkan tangannya di dalam wadah
air dan berkata kepada para sahabatnya: Hendaklah kamu semua berwudhū’
dengan menyebut nama Allah.”
(Riwayat al-Baihaqī).
Imām Nawawī berkata: Isnād-nya Hadits ini bagus. Di dalam sebuah Hadits juga
telah disebutkan:
‫ ُك ِّل أَ ْم ٍر ِذيْ بَا ٍل اَل يُ ْبدَأُ فِ ْي ِه بِبِس ِْم هللاِ فَهُ َو أَجْ َذ ُم‬.
“Semua perkara yang mempunyai kedudukan yang penting, yang tidak dimulai
dengan Bismillāh, sama seperti hewan yang terserang penyakit lepra (artinya
buntung ekornya).”
Membaca basmalah pada permulaan wudhū’, hukumnya sunnat yang dikukuhkan.
Imām Aḥmad bin Ḥanbal mengatakan: Wajib.
Andaikata seseorang lupa membaca basmalah pada permulaan wudhū’, bolehlah ia
membaca basmalah bila ia teringat pada pertengahan wudhū’nya. Seperti halnya
kesunnatan membaca basmalah sewaktu hendak makan.
Andaikata orang tersebut sengaja meninggalkan membaca basmalah, apakah
disunnatkan menyusulkan basmalahnya? Ada khilāf. Qaul yang rājiḥ: Ya,
disunnatkan. Di dalam sebuah Hadits disebutkan:

َ ‫ َو إِ ْن لَ ْم يَ ْذ ُك ِر ا ْس َم هللاِ تَ َعالَى َكانَ طَهُوْ رًا أِل َ ْع‬،‫طهُوْ رًا لِ َج ِمي ِْع بَ َدنِ ِه‬
‫ضا ِء ُوضُوْ ئِ ِه‬ َ َ‫ َم ْن تَ َوضَّأ َ َو َذ َك َر ا ْس َم هللاِ َكان‬.
25

“Barang siapa yang berwudhū’ dan berzikir dengan menyebut nama Allah,
wudhū’ dapat mensucikan seluruh badannya. Dan apabila tidak berzikir kepada
Allah (tidak menyebut nama Allah), wudhu’nya hanya dapat mensucikan anggota
wudhū’nya saja.”
Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dāraquthnī dan al-Baihaqī. Dan al-Baihaqī
mengaggap dha‘īf semua riwayat Hadits ini.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ْ ‫)و َغ‬
(‫س ُل ا ْل َكفَّ ْي ِن قَ ْب َل إِد َْخالِ ِه َما اإْل ِ نَا َء‬ َ
[Dan membasuh keuda tapak tangan sebelum memasukkan keduanya ke dalam
wadah air].
Di antara sunnat-sunnatnya wudhū’ yang keduanya ialah membasuh kedua tapak
tangan sebelum membasuh muka. Ada beberapa hal yang berhubungan dengan tapak
tangan ini:
1. Dia yakin akan najisnya tapak tangan. Orang seperti ini dimakruhkan
memasukkan kedua tapak tanggannya ke dalam wadah air sebelum
membasuhnya tiga kali. Makruh-nya sebagai makrūh Taḥrīm, sebab
memasukkan kedua tapak tangan ke dalam air yang sedikit boleh merusakkan
air tersebut.
2. Dia ragu-ragu akan najisnya tapak tangan, seperti orang yang tidur, sedang
dia tidak tahu di mana tangan itu berada semalaman. Orang yang demikian
ini, dimakruhkan memasukkan tapak tangannya ke dalam wadah air sebelum
membasuhnya tiga kali. Sebab Nabi Muḥammad s.a.w. pernah bersabda:
)‫(و فِ ْي ِر َوايِ ٍة‬ ْ ‫ فِإِنَّهُ اَل يَ ْد ِريْ أَ ْينَ بَات‬،‫إِ َذا قَا َم أَ َح ُد ُك ْم ِم ْن نَوْ ِم ِه فَ ْليَ ْغ ِسلْ يَ َد ْي ِه قَ ْب َل أَ ْن يُ ْد ِخلَهُ َما فِي اإْل ِ نَا ِء ثَاَل ثًا‬
َ .ُ‫َت يَ َده‬
‫ف اإْل ِ نَا ِء قَب َْل أَ ْن يَ ْغ ِسلَهُ َما ثَاَل ثًا‬ ِ ‫ه‬ºِ ‫فَاَل يَ ْغ ِمسْ يَ َد ْي‬.
“Apabila seseorang di antara kamu bangun dari tidurnya, hendaklah ia
membasuh kedua tangannya sebelum memasukkannya ke dalam wadah air, tiga
kali basuhan. Sebab kamu tidak mengetahui di mana tangan itu berada
26

semalaman (dan dalam riwayat lain) “janganlah ia memasukkan kedua


tangannya ke dalam wadah sebelum membasuhnya tiga kali.”
Ini adalah madzhabnya Imām Syāfi‘ī dan Imām Mālik. Sebagian Ulama ada yang
menghukumkan wajib membasuh kedua tangan sebelum memasukkannya ke dalam
wadah air sesudah bangun tidur. Sebab di dalam Hadits tadi, dijelaskan larangannya,
yaitu falā yaghmis.
Tidak ada perbedaan antara tidur siang dan tidur malam. Imām Aḥmad bin Ḥanbal
menghukumkan wajib membasuh bila tidur malam, bukan tidur siang. Sebab kata
Nabi, Aina Bātat Yaduhu. Kata-kata Bātat itu tentu pada malam Hadits tersebut
kepada selain wajib, karena ada beberapa alasan yang dapat menunjukkan.
3. Dia yakin akan sucinya kedua tapak tangannya. Orang yang demikian, tidak
dimakruhkan memasukkan kedua tapak tangannya ke dalam wadah air
sebelum dibasuh, tetapi ia disunnatkan membasuhnya lebih dahulu. Hal yang
ketiga inilah yang diterangkan oleh pengaran mengenai sifat wudhū’nya Nabi
Muḥammad s.a.w., tanpa memandang tidur sebelumnya. Dan tidak makruh,
karena tidak terdapat ‘illat dalam Hadits tersebut. Sebab hukum itu akan
berputar bersama ‘illat wujud dan ‘adam-nya.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ْ ِ ‫ضةُ َو ااْل‬
(ُ‫ستِ ْنشَاق‬ ْ ‫)و ا ْل َم‬.
َ ‫ض َم‬ َ
[Dan berkumur-kumur dan menghirup air dengan hidung].
Di antara sunnat-sunnatnya wudhū’ yang ketiganya, yaitu berkumur-kumur dan
keempatnya menghirup air dengan hidung. Sebab hal tersebut pernah dikerjakan
oleh Rasūlullāh s.a.w. Imām Aḥmad bin Ḥanbal berkata: Berkumur-kumur dan
menghirup air dengan hidung, hukumnya wajib.
Ḥujjah yang digunakan oleh Imām Syāfi‘ī yaitu sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
َ ‫ َع ْش ٌر ِمنَ ال َّسنَّ ِة َو َع َّد ِم ْنهَا ْال َمضْ َم‬.
َ ‫ضةَ َو ااْل ِ ْستِ ْن َشا‬
‫ق‬
27

“Perkara sepuluh ini termasuk sunnat. Dan Rasūlullāh s.a.w. mengganggap


berkumur-kumur dan menghirup air dengan hidung termasuk di antara
kesepuluh perkara itu.”
(Riwayat Muslim).
Kemudian, yang menjadi pokok keberhasilan sunnat, yaitu asal sudah
menyampaikan air ke dalam mulut dan hidung. Baik air itu diputar-putarkan di
dalam mulut maupun tidak. Qaul ini adalah qaul yang rājiḥ. Namun Imām Syāfi‘ī
menerangkan dengan jelas, harus ia memutar-mutarkan air itu dalam mulut.
Untuk mendapatkan kesunnatan, tidak diisyaratkan memuntahkan (mengeluarkan
semula) air itu, sehingga kalau seumpama oran itu menelan airnya, tetap ia mendapat
kesunnatannya. Demikian kata Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab. Ada
sekelompok Ulama yang memberlakukan syarat: “memuntahkan air” untuk dapat
menghasilkan sunnat. Mendahulukan berkumur-kumur, mengakhirkan menghirup air
dengan hidung, itu menjadi syarat dalam menghasilkan kesunnatan, menurut qaul
yang rājiḥ. Ada yang mengatakan: Disunnatkan. Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan (1)
Orang yang berwudhu’, disunnatkan memperkeras dalam berkumur-kumur dan
istinsyāq-nya (menghirup air dengan hidung), kalau dia tidak berpuasa. Bagi orang
yang berpuasa, ada yang mengatakan: haram, demikianlah yang dikatakan oleh al-
Qādhī Abuth-Thayyib. Ada yang mengatakan: makruh. Ini dikatakan oleh al-
Bandanijī dan lain-lain. Ada juga yang mengatakan: Disunnatkan meninggalkan
berkeras dalam berkumur-kumur dan menghirup air dengan hidung (istinsyāq). Dan
ini dikatakan oleh Ibn-us-Shabbāgh. Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫ح‬
ِ ‫س‬ ِ ‫اب ال َّر ْأ‬
ْ ‫س بِا ْل َم‬ ُ ‫ستِ ْي َع‬
ْ ‫)و ا‬.
َ
[Dan meratakan air ke seluruh kepala dengan mengusapkannya].
Termasuk sunnat-sunnatnya wudhū’, yang kelima yaitu meratakan air ke seluruh
kepala dengan cara mengusapkannya. Hal ini berdasarkan karena perbuatan
Rasūlullāh s.a.w., dan supaya keluar dari khilāf. Dalam mengusap kepala ini,
28

disunnatkan memulai dari kepala bagian muka, lalu menjalankan kedua tangan
sampai ke tengkuk dan kemudian mengembalikannya lagi ke tampat yang diusap
pertama kali. Cara tersebut diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin Zaid r.a. di dalam
mensifatkan wudhū’nya Rasūlullāh s.a.w. Kemudian meletakkan kedua ibu jarinya
pada kedua pelipisnya, dan menempelkan jari telunjuknya. Perjalanan bolak-balik
hanya dihitung satu kali.
Cara begini ini bagi orang yang memiliki rambut yang boleh dibolak-balikkan ke
belakang dan ke muka, dengan maksud supaya basahnya air boleh sampai ke rambut
bagian dalam luarnya. Sekiranya orang itu tidak mempunyai rambut, atau
mempunyai rambut tetapi tidak dapat dibolak-balikkan, maka cukuplah dengan
menarik tangannya ke belakang saja. Andaikata dia mengembalikan ke muka, tidak
dihitung usapan yang kedua, sebab airnya sudah menjadi musta‘mal.
Andaikata orang itu tidak mau melepaskan (menanggalkan) sesuatu yang ada di
kepalanya, seumpama sorban atau lainnya, maka baginya disunnatkan mengusap
sebagian kepalanya dan menyempurnakan usapan pada sorbannya. Yang lebih
utama, hendaknya jangan meringkaskan usapan pada yang lebih sedikit daripada
ubun-ubun. Sebab Nabi Muḥammad s.a.w. itu mengusap ubun-ubun dan sorbannya.
Imām Rāfi‘ī mensyaratkan yang tersebut apabila ada kesukaran melepas sorban. Hal
ini diterangkannya di dalam kedua kitab syarahnya dan di dalam kitab al-Muḥarrar.
Imām Nawawī mengikuti pendapat Imām Rāfi‘ī ini di dalam kitab al-Minhaj, dan
membuangnya dalam kitab ar-Raudhah.
Tidak boleh meringkas dengan hanya mengusap sorbannya saja tanpa ada khilāf. Hal
ini diterangkan di dalam kitabnya Imām Rāfi‘ī dan kitab ar-Raudhah, sebab orang
itu asalnya diperintah mengusap kepala. Di dalam kitab al-Baḥr-ul-Muḥīth ada
riwayat dari Muḥammad bin Nashr (termasuk pembesar Ulama Madzhab Syāfi‘ī),
yang mengatakan cukup dengan hanya mengusap sorban. Wallāhu a‘lam.
 
29

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:


(‫س ُح اأْل ُ ُذنَ ْي ِن‬
ْ ‫)و َم‬.
َ
[Dan mengusap kedua telinga].
Yang keenam dari sunnat-sunnat wudhū’, yaitu disunnatkan mengusap kedua
telinga, bagian yang luar dan dalamnya dengan air yang baru. Dan juga disunnatkan
mengusap kedua lubang telinganya dengan air yang baru juga. ‘Abdullāh bin Zaid
r.a. berkata:
‫ه َما ًء ِخاَل فَ ْال َما ِء الَّ ِذيْ أَ َخ َذهُ لِ َر ْأ ِس ِه‬ºِ ‫ْت َرسُوْ َل هللاِ (ص) يَتَ َوضَّأ ُ فَأ َ َخ َذ أِل ُ ُذنَ ْي‬
ُ ‫رأَي‬.
َ

“Aku melihat Rasūlullāh s.a.w. sedang berwudhū’. Beliau mengambil air untuk
kedua telinganya, selain air yang sudah diambilnya untuk mengusap kepalanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Ḥākim dan al-Baihaqī. Beliau berdua berkata: Isnād-
nya Hadits ini shaḥīḥ. Al-Ḥākim menambah, katanya: Dengan syaratnya Imām
Muslim.
Caranya mengusap ialah dengan memasukkan kedua jari telunjuk ke dalam kedua
lubang telinganya, dan memutar-mutarkan kedua jari tersebut ke dalam lipatan-
lipatan telinga, dan menjalankan kedua ibu jarinya di luar telinga. Kemudian setelah
itu, tapak tangan yang sudah dibasahi air ditempelkan (dilekapkan) pada kedua
telinga supaya jelas. Cara-cara seperti ini diterangkan oleh Imām Rāfi‘ī dan
digugurkan oleh Imām Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
َ َ‫)و ت َْخلِ ْي ُل اللِّ ْحيَ ِة ا ْل َكثَّ ِة َو ت َْخلِ ْي ُل أ‬.
(‫صابِ ِع ا ْليَ َد ْي ِن َو ال ِّر ْجلَ ْي ِن‬ َ
[Dan menyelat-nyelati jenggot yang tebal dan menyelat-nyelati jari-jari kedua tangan
dan kaki].
Dan disunnatkan sebagai sunnat wudhū’ yang ketujuhnya menyelat-nyelati jenggot
yang tebal dan menyelat-nyelati jari-jari kedua tangan dan kaki.
30

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a.:


َ َ ‫صاَل ةُ َو ال َّساَل ُم َكانَ إِ َذا تَ َوضَّأ َ َشبَّكَ ِلحْ يَتَهُ ْال َك ِر ْي َمةَ بِأ‬
‫صابِ ِع ِه ِم ْن تَحْ تِهَا‬ َّ ‫أَنَّهُ َعلَ ْي ِه ال‬.
“Bahwa Nabi Muḥammad s.a.w. apabila berwudhū’, beliau memasukkan jari-jarinya
di sela-sela jenggotnya dari bawah.”
(Riwayat Ibnu Mājah).
Ibnu ‘Abbās r.a. memberitakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. itu menyelat-nyelati
jenggotnya. Imām Bukhārī berkata: Hadits ini adalah Hadits yang paling shaḥīḥ di
antara Hadits-hadits lain dalam bab ini. At-Tirmidzī berkata: Hadits ini, Hadits
ḥasan lagi shaḥīḥ.
Adapun menyelat-nyelati jari, dalilnya adalah sebuah Hadits yang diriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbās r.a., bahwa Nabi Muḥammad s.a.w. telah bersabda:
َ ‫ْك َو ِرجْ لَ ْي‬
‫ك‬ َ َ‫إِ َذا تَ َوضَّأْتَ فَ َخلِّلْ أ‬.
ºَ ‫صابِ َع يَ َدي‬
“Apabila kamu berwudhu’, hendaklah menyelat-nyelati jari-jari tanganmu dan
kakimu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mājah dan at-Tirmidzī.
At-Tirmidzī berkata: Hadits ini Hadits ḥasan lagi gharīb. At-Tirmidzī berkata di
dalam kitab al-‘Ilal: Aku bertanya kepada Imām Bukhārī mengenai Hadits ini, beliau
menjawab: Hadits ini Hadits ḥasan.
Cara menyelat-nyelati jari-jari kaki, yaitu hendaklah memulai dengan jari kelingking
tangan kiri, dimasukkan pada jari kelingking kaki kanan melalui bawah kaki. Dan
mengakhiri dengan jari kelingking kaki kiri. Cara inilah dianggap rajih oleh Imām
Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah. Imām Nawawī juga ada memberitakan cara
yang lain, yaitu menyelat-nyelati antara tiap-tiap jari dari kedua kaki dengan tiap-
tiap jari dari kedua tangan. Kemudian di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab, beliau
memberitakan cara lain lagi, yaitu memulai dengan jari kelingking kanan, dan beliau
juga mengatakan bahwa dua cara ini sama. Kemudian Imām Nawawī mengakukan
cara ini kepada Imām Harāmain, dan beliau berkata: Apa yang dikatakan oleh Imām
Harāmain ini adalah yang rājiḥ dan terpilih. Demikian juga yang ada di dalam kitab
at-Taḥqīq, juga memilih wajah ini.
31

Menyelat-nyelati jari-jari kedua tangan itu dengan tasybik, iaitu memasukkan antara
yang satu dengan yang lain. Kemudian apabila jari-jarinya ada yang menekuk, di
mana air tidak akan dapat sampai ke dalamnya jika tidak diselat-selati, maka
hukumnya wajib menyelat-nyelati. Dan apabila jari-jarinya ada yang lengket, Imām
Nawawī berkata: Tidak diwajibkan membelah atau membedahnya dan juga tidak
disunnatkan. Di dalam kitab ar-Raudhah Imām Nawawī berkata: Bahkan tidak
dibolehkan membelahnya.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(ُ‫ َو الطَّ َها َرةُ ثَاَل ثًا ثَاَل ثًا َو ا ْل ُم َوااَل ة‬،‫س َرى‬
ْ ُ‫)و تَ ْق ِد ْي ُم ا ْليُ ْمنَى َعلَى ا ْلي‬.
َ
[Dan mendahulukan yang kanan daripada yang kiri dan membasuh tiga kali tiga kali
serta berturut-turut (muwālāh)].
Dan termasuk sunnat-sunnatnya wudhū’ yang kedelapan, kesembilan dan yang
kesepuluh mendahulukan yang kanan daripada yang kiri, dan membasuh atau
mengusap tiga kali-tiga kali, dan berturut-turut (muwālāh).
Diriwayatkan dari Abū Hurairah, bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah berkata:
‫إِ َذا تَ َوضَّأْتُ ْم فَا ْب َدءُوْ ا بِ َميَا ِمنِ ُك ْم‬.
“Apabila kamu berwudhū’, hendaklah mendahulukan yang kanan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abū Dāūd dan Ibnu Mājah, dan dianggap shaḥīḥ oleh
Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Ḥibbān.
Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a., beliau berkata: “Rasūlullāh s.a.w. senang sekali
mengenakan yang kanan (lebih dulu) dalam bersandal, bersisir, bersuci dan dalam
segala tingkah lakunya.”
Hendaklah selalu memulai dengan bagian anggota yang kanan dalam bersuci;
memulai dengan tangan kanan dan kaki kanan dalam berwudhū’, dan juga bagian
anggota badan yang kanan dalam mandinya. Adapun kedua telinga dan kedua pipi,
disucikan secara bersamaan. Jika orang itu buntung tangannya, tangan yang kanan
didahulukan.
32

Adapun kesunnatan dalam membasuh tiga kali-tiga kali, terdapat di dalam Hadits
yang diriwayatkan oleh ‘Utsmān r.a., yaitu:
‫أَ َّن َرسُوْ َل هللاِ (ص) تَ َوضَّأ َ ثَاَل ثًا ثَاَل ثًا‬.
“Bahwa Rasūlullāh s.a.w. berwudhū’ dengan tiga kali-tiga kali.”
(Riwayat Muslim).
Mengulangi sampai tiga kali tersebut, tidak ada perbedaan antara kepala dengan
yang lain.
Sebagian Ulama Madzhab Syāfi‘ī menganggap sunnat mengusap kepala sekali saja.
Mereka membuat hujjah bahwa Hadits-haditsnya ‘Utsmān r.a. yang shaḥīḥ-shaḥīḥ
tersebut menunjukkan adanya mengusap hanya sekali saja. Mereka mengatakan:
Telah datang di dalam Haditsnya Imām Muslim mengenai sifat-sifat wudhu’nya
Rasūlullāh s.a.w. yang diterangkan oleh ‘Abdullāh bin Ziad, bahwa Rasūlullāh s.a.w.
mengusap kepalanya hanya sekali saja. Dan dikatakan bahwa at-Tirmidzī
memberitakan mengusap sekali itu adalah dari nashnya Imām Syāfi‘ī r.a.
Qaul yang dimasyhurkan dari madzhab Syāfi‘ī, dan yang telah dipastikan oleh
Jumhur Ulama, yaitu bahwa mengusap kepala disunnatkan tiga kali. Ḥujjah yang
dipakai ialah Haditsnya ‘Utsmān r.a.
Di dalam riwayatnya Abū Dāūd, mengenai Haditsnya ‘Utsmān, disebutkan bahwa
Rasūlullāh s.a.w. mengusap kepala tiga kali. Namun di dalam sanadnya Hadits ini
terdapat ‘Āmir bin Syaqīq. Al-Ḥākim berkata: Aku sama sekali tidak melihat cela
pada diri ‘Āmir dengan dalil apa pun.
Di dalam Haditsnya Ibnu Mājah pula disebutkan:
)‫ ه َذا ُوضُوْ ُء َرسُوْ ِل هللاِ (ص‬:‫أَ َّن َعلِيًّا (ر) تَ َوضَّأ َ ثَاَل ثًا ثَاَل ثًا َو َم َس َح َر ْأ َسهُ ثَاَل ثًا َو قَا َل‬.
“Bahwa Sayyidinā ‘Alī r.a. berwudhū’ dengan tiga kali-tiga kali dan mengusap
kepalanya pun tiga kali, dan beliau berkata: Wudhū’ ini adalah sama dengan
wudhū’nya Rasūlullāh s.a.w.”
Wallāhu a‘lam.
Di dalam kitab ini, pengarang meninggalkan beberapa lagi sunnat yang lain. Di
antaranya, mengusap leher. Imām Rāfi‘ī menganggap shaḥīḥ di dalam Syaraḥ ash-
33

Shaghīr bahwa mengusap leher hukumnya sunnat. Imām Rāfi‘ī di dalam Syaraḥ al-
Kabīr membuat hujjah bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah berkata:
ِّ‫ان ِمنَ ْال ِغل‬
ٌ ‫ َم ْس ُح ال َّرقَبَ ِة أَ َم‬.
“Mengusap leher, boleh membuat aman dari dengki.”
Kata Imām Rāfi‘ī ini ditentang oleh Imām Nawawī, yang berkata: Tidak sunnat
mengusap leher. Sebab tidak ada Hadits yang tetap mengenai sunnatnya mengusap
leher. Maka dari itu Imām Syāfi‘ī tidak menyebut “mengusap leher”. Demikian juga
para Ulama Madzhab Syāfi‘ī yang dulu-dulu, dan inilah yang benar. Imām Nawawī
berkata di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab: Haditsnya “mengusap leher” itu maudhū‘.
Syaikh Hamāwī, yang mensyarah kitab at-Tanbīh berkata: Qaul jadīd, mengusap
leher tidak sunnat. Yang dikehendaki oleh kata-kata  Syaikh Hamāwī tersebut, yakni
dalam masalah ini terdapat dua qaul. Wallāhu a‘lam.
Di antara sunnat-sunnatnya wudhū’ ialah doa-doa yang dibaca seusai membasuh
anggota wudhū’. Demikian kata Imām Rāfi‘ī. Imām Nawawī berkata: Doa-doa ini
tidak ada asalnya. Dan tidak ada yang menerangkan doa-doa tersebut, kecuali Imām
Syāfi‘ī dan kebanyakan Ulama Madzhab Syāfi‘ī.
Di antara sunnat-sunnatnya wudhū’ ialah meninggalkan “minta bantuan” apakah
makruh minta bantuan itu? Ada dua wajah. Imām Nawawī berkata: Dua wajah ini
berlaku, manakala orang itu minta bantuan kepada orang lain untuk menuangkan air
bagi dirinya. Yang ashaḥḥ, tidak makruh. Kalau meminta bantuan orang lain untuk
membasuhkan anggota wudhū’nya, hukumnya makruh tanpa khilāf. Kalau meminta
bantuan mengambilkan air, tidak mengapa. Tidak boleh dikatakan Khilāf-ul-Aulā
(menyalahi keutamaan). Kalau ada uzur, tidak mengapa meminta bantuan kepada
orang lain, tanpa ada khilāf.
Di antara sunnat-sunnatnya wudhū’, yaitu apakah disunnatkan meninggalkan
“mengelap?” Di dalam masalah ini ada beberapa wajah. Qaul yang shaḥīḥ,
meninggalkan “mengelap” sunnat. Demikian ini dianggap shaḥīḥ oleh Imām
Nawawī di dalam kitabnya ar-Raudhah. Ada yang mengatakan: Boleh dikerjakan
34

dan boleh ditinggalkan, sama saja. Qaul ini dipilih oleh Imām Nawawī di dalam
Syaraḥ al-Muhadzdzab.
Ada yang mengatakan: Disunnatkan secara mutlak. Ada yang mengatakan: Makruh,
jika pada musim kemarau, dan tidak makruh jika pada musim hujan. Imām Nawawī
berkata di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab. Penempatan khilāf ini, jika tidak ada
keperluan mengelap dikarenakan panas atau dingin, atau dikarenakan terkena najis.
Kalau ada keperluan, maka tidak makruh tanpa khilāf. Dan tidak boleh dikatakan
Khilāf-ul-Aulā (menyalahi keutamaan).
Di antara sunnatnya wudhū’ ialah tidak mengkibas-kibaskan kedua tangannya.
Sebab sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
ْ
ِ ‫إِ َذا تَ َوضَّأتُ ْم فَاَل تَ ْنفُضُوْ ا أَ ْي ِديَ ُك ْم فَإِنَّهَا َم َر‬.
‫او ُح ال َّش ْيطَا ِن‬
“Jika kamu berwudhū’, hendaknya jangan mengkibas-kibaskan tanganmu. Sebab
mengkibas-kibaskan tangan itu adalah kipasnya syaitan.”
Riwayat Ibnu Abī Ḥātim dan lain-lain.
Jadi andaikata orang itu melanggar, dan mengkibas-kibaskan tangannya, menurut
apa yang telah diterangkan oleh Imām Rāfi‘ī, hukumnya adalah makruh. Kata Imām
Rāfi‘ī ini ditentang oleh Imām Nawawī, yang me-rājiḥ-kan hukumnya tidak makruh,
akan tetapi “boleh”. Menjalankan atau tidak menjalankan, sama saja. Di dalam kitab
at-Taḥqīq, Imām Nawawī berkata: Khilāf-ul-Aulā (menyalahi keutamaan). Hadits di
muka tadi, menurut Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab, dha‘īf, tidak
dikenal oleh Ulama Ahli Hadits.
Di antara sunnat-sunnatnya wudhū’ ialah berturut-turut (muwālāh). Berturut-turut
hukumnya wajib menurut qaul qadīm. Dan hendaklah sesudah membaca basmalah,
membaca:
‫ال َح ْم ُد هللِ الَّ ِذيْ َج َع َل ْال َما َء طَهُوْ رًا‬.
ْ
“Segala pujian bagi Allah yang telah menjadikan air ini mensucikan.”
Kemudian menyela-nyela cincin, menjaga hal-hal yang perlu dilakukan dengan cara
berhati-hati. Hendaklah memulai dari bagian atas ketika membasuh muka dan
memulai dari bagian muka ketika mengusap kepala; ketika membasuh tangan dan
35

kaki hendaklah memulai dari ujung jari, jika darinya sendiri yang menuangkan air.
Jika orang lain yang menuangkannya, hendaklah memulai dari sikunya atau dari
kedua tapak tangannya (yakni ada dua qaul).
Di antara sunnat-sunnatnya wudhū’ ialah hendaknya air jangan sampai kurang dari
satu mud, dan jangan melewati batas; dan tidak lebih dari tiga kali; dan hendaknya
tidak berkata-kata waktu berwudhū’, dan tidak menepukkan air ke muka (wajah).
Dan sesudah berwudhu’, hendaklah membaca doa ini:
‫ َو اجْ َع ْلنِ ْي‬، َ‫ اللهُ َّم اجْ َع ْلنِ ْي ِمنَ التَّوَّابِ ْين‬.ُ‫ َو أَ ْشهَ ُد أَ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُه‬،ُ‫ك لَه‬ َ ‫أَ ْشهَ ُد أَ ْن اَل إِلهَ إِاَّل هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي‬
َ‫ك َو أَتُوْ بُ إِلَ ْيك‬ َ ‫ك أَ ْشهَ ُد أَ ْن اَل إِلهَ إِاَّل أَ ْنتَ أَ ْستَ ْغفِ ُر‬
َ ‫ك اللهُ َّم َو بِ َح ْم ِد‬َ َ‫ ُس ْب َحان‬. َ‫ ِمنَ ْال َمتَطَه ِِّر ْين‬.

“Aku bersaksi, bahwa tidak ada tuhan yang aku sembah kecuali hanya Allah. Dan
aku bersaksi bahwa Muḥammad itu Utusan Allah. Ya Allah! Sudilah Engkau
menjadikan diriku termasuk orang-orang yang bertaubat, dan sudilah Engkau
menjadikan diriku termasuk orang-orang yang bersuci. Maha Suci Engkau, ya
Allah, perkenankan aku memuji-muji Engkau. Aku bersaksi, tidak ada tuhan yang
aku sembah kecuali Engkau. Aku meminta ampun kepada-Mu dan aku kembali taat
kepada-Mu.”
Masih ada banyak lagi sunnat-sunnat wudhū’ yang lain yang diterankan di dalam
kitab-kitab yang luas panjang pembahasannya, yang ditinggalkan di sini karena
khawatir berkepanjangan. Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan (2)
Andaikata orang itu ragu dalam membasuh sebagian anggotanya pada pertengahan
“bersuci”, apa yang diragukan tersebut, tidak diperhitungkan. Tetapi setelah selesai
berwudhū’, ragu-ragu itu tidak lagi membahayakan menurut qaul yang rājiḥ. Sebab
terlalu banyaknya ragu-ragu, selain daripada yang tampak adalah sudah sempurna
bersucinya.
Di dalam membasuh anggota wudhū’, disyaratkan airnya harus mengalir pada
anggota yang dibasuh, tanpa ada khilāf. Wallāhu a‘lam.
36

Fasal
Perihal Istinjā’ (Cebok)

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:


(‫ب ِمنَ ا ْلبَ ْو ِل َو ا ْل َغائِ ِط‬
ٌ ‫ستِ ْن َجا ُء َوا ِج‬ ْ َ‫ف‬.)
ْ ِ ‫ َو ااْل‬:‫ص ٌل‬
[Istinjā’ atau cebok itu wajib dengan sebab kencing atau sebab berak].
Dalil wajibnya istinjā’ ialah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
ٍ ‫ج بِثَاَل ثَ ِة أَحْ َج‬
‫ار‬ ِ ‫ َو ْليَ ْستَ ْن‬.
“Dan hendaklah bersuci dengan tiga buah batu.”
Sabda Nabi ini merupakan perintah, sedangkan perintah, menurut lahirnya
menunjukkan wajib.
Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah berkata:
ٍ ‫َب أَ َح ُد ُك ْم إِلَى ْالغَائِ ِط فَ ْليَذهَبْ َم َعهُ ثَاَل ثَةُ أَحْ َج‬
ُ‫ار يَ ْستَ ِطيْبُ بِ ِه َّن فَإِنَّهَا تُجْ ِريْ ُء َع ْنه‬ َ ‫إِ َذا َذه‬.
“Jika kamu pergi ke kakus (jamban), hendaklah membawa tiga buah batu untuk
bersuci dengannya, sesungguhnya memakai membersihkan dengannya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abū Dāūd, Imām Aḥmad, ad-Dāruqathnī dan Ibnu
Mājah dengan isnād yang ḥasan lagi shaḥīḥ.
Kata pengarang “dengan sebab kencing atau sebab berak” dapat ditarik kesimpulan
bahwa bersuci itu tidak wajib, oleh sebab angin (kentut). Bahkan Para Ulama
Madzhab Syāfi‘ī berkata: Tidak disunnatkan. Dan al-Jurjānī berkata: Makrūh, Dan
bahkan Syaikh Nashr berkata: Bercebok dengan sebab kentut itu bid‘ah, dan
orangnya berdosa dengan sebab ceboknya itu. Imam Nawawī berkata di dalam
Syaraḥ al-Muhadzdzab: Kata Syaikh Nashr “bid‘ah”, itu shaḥīḥ. Akan tetapi kalau
dikatakan “berdosa”, itu tidak benar. Kecuali jika orangnya meyakinkan “wajib”-nya
padahal ia tahu bahwa bercebok (dengan sebab kentut) itu tidak wajib.
Ibnu Rif‘ah berkata: Apabila di tempat keluarnya kentut ada basah-basahnya,
sebaiknya ada khilaf dalam masalah wajibnya cebok, berdasarkan pada najisnya asap
(angin) najis. Sebagaimana apa yang dikatakan serupa itu, yaitu mengenai najisnya
pakaian yang basah karena kentut. Kemudian Ibnu Rif‘ah berkata: Boleh dijawab,
37

bahwa kentut itu tidak dapat melebihi apa yang tertinggal di tempat najis, sesudah
cebok dengan batu.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫َص َر َعلَى ا ْل َما ِء أَ ْو َعلَى ثَاَل ثَ ِة أَ ْح َجا ٍر يُ ْنقِ ْي‬
ِ ‫ َو يَ ُج ْو ُز أَنْ يَ ْقت‬.‫ ثُ َّم يُ ْتبِ َع َها بِا ْل َما ِء‬،‫ست َْج ِم َر بِاأْل َ ْح َجا ِر‬
ْ َ‫ض ُل أَنْ ي‬
َ ‫َو اأْل َ ْف‬
َ ‫ار َعلَى أَ َح ِد ِه َما فَا ْل َما ُء أَ ْف‬
‫ض ُل‬ َ ‫ص‬َ ِ‫ َو إِ َذا أَ َرا َد ااْل ِ ْقت‬،‫ ِب ِهنَّ ا ْل َم ِح َّل‬.)
[Yang lebih utama hendaknya bercebok dengan menggunakan batu, kemudian
diikuti dengan air. Orang yang cebok, boleh hanya menggunakan air saja tanpa batu,
dan boleh menggunakan batu saja tanpa air. Akan tetapi, batu yang banyaknya tiga
itu harus dapat membersihkan tempat najisnya. Jika hendak meringkaskan, maka
yang lebih utama di antara keduanya ialah menggunakan air].
Yang lebih utama di dalam istinja’ hendaknya cebok dengan batu dan cebok dengan
air atau yang semisalnya. Sebab Allah ta‘ālā memuji-muji orang ahli Quba’ sebab
mereka mahu menghimpunkan batu dan air, dan Allah menurunkan ayat untuk ahli
Quba’, sedang Dia sebenar-benarnya Dzāt yang berfirman:
َ‫ َو هللاُ يُ ِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّر ْين‬،‫فِ ْي ِه ِر َجا ٌل يُ ِحبُّوْ نَ أَ ْن يَتَطَهَّرُوْ ا‬.

“Di dalam masjid itu, ada orang-orang yang senang bersuci, dan Allah mencintai
orang-orang yang bersuci.” (at-Taubah: 109).
Dilihat dari segi arti, mengumpulkan air dan batu itu gunanya, batu untuk
menghilangkan dzāt najis dan air untuk menghilangkan bekas najis, sehingga
tempatnya tidak lagi berlumuran najis. Oleh karena itulah, batu didahulukan dan air
dikemudiankan. Kemudian, sesuai dengan kehendak ta‘līl (alasan), maka dalam hal
ini, bercebok dengan batu tidak diharuskan suci batunya, karena akan dibalas dengan
air. Demikian ini diterangkan oleh al-‘Ijlī dan dinukil dari Imām Ghazālī.
Ketahuilah, bahwa Hadits di atas adalah Hadits yang dianggap dha‘īf oleh para
Ulama. Oleh al-Bazzār, Hadits tersebut diberitakan dengan isnād yang dha‘īf. Hadits
itu berbunyi demikian:
38

‫ارةَ ْال َما َء‬


َ ‫ تُ ْتبِ ُع ْال ِح َج‬:‫ فَقَالُوْ ا‬،َ‫فَ َسأَلَهُ ُم النَّبِ ُّي (ص) ع َْن ذلِك‬.
“Maka Nabi menanyakan apa yang dibuat (bersuci oleh ahli Quba’), dan mereka
menjawab: Kita bercebok dengan batu dulu, kemudian dengan air.”
Di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab, Imām Nawawī mengingkari riwayat ini, dan
beliau berkata: Begitulah riwayatnya yang diberitakan oleh orang fuqahā’ di dalam
kitab-kitab mereka, padahal Hadits ini tidak ada asal-usulnya di dalam kitab-kitab
Hadits. Akan tetapi yang diterangkan di dalam kitab Hadits itu demikian: “Kami
selalu bercebok dengan air”. Di situ tidak disebutkan: “Bersama batu.” Seperti inilah
riwayat sebagian jama‘ah. Di antaranya ialah Imām Aḥmad dan Ibnu Khuzaimah.
Andaikata orang itu meringkaskan ceboknya dengan air saja, niscaya sudah cukup,
sebab air dapat menghilangkan dzāt serta bekas najis. Bercebok dengan air itu lebih
utama, jika orangnya menghendaki bercebok dengan salah satunya. Orang yang
bercebok dengan batu, boleh meringkaskan dengan tiga buah batu atau dengan
sebuah batu yang mempunyai bucu tiga.
Kewajiban bercebok dengan batu itu ialah tiga usapan. Jika sudah bersih dengan tiga
usapan itu, berarti sudah maklum. Akan tetapi jika belum bersih dengan tiga usapan,
maka wajib menambahi hingga menjadi bersih. Dan disunnatkan dengan hitungan
yang gasal.
Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang sama dengan batu, boleh digunakan untuk
bercebok. Tetapi ada syaratnya, yaitu harus suci. Jadi andaikata bercebok dengan
batu yang najis, wajib mengulangi lagi dengan air, menurut qaul yang shaḥīḥ.
Syarat yang kedua, benda yang digunakan untuk bercebok harus dapat melenyapkan
atau menanggalkan najis dan harus dapat menyerap najis. Jadi tidak cukup bercebok
dengan kaca atau bambu atau pasir yang lembut. Boleh bercebok dengan tanah yang
keras. Jadi kalau bercebok dengan benda yang tidak dapat menanggalkan najis, maka
adalah tidak mencukupi. Seumpama orang itu bercebok dengan benda (bukan air)
yang basah, berupa batu atau lainnya, tidak mencukupi, menurut qaul yang shaḥīḥ.
Syarat yang ketiga, benda yang digunakan untuk bercebok itu bukan berupa benda
yang dimuliakan. Jadi tidak boleh bercebok dengan penganan seperti roti atau
39

tulang. Dan tidak boleh bercebok dengan sebagian anggota tubuhnya sendiri, seperti
bercebok dengan tangannya sendiri atau dengan tangannya orang lain. Juga tidak
diperbolehkan memakai bagian dari tubuh hewan yang masih bersambung, seperti
ekornya. Sebab bagian tubuh hewan dimuliakan. Jika ada menggunakan benda yang
dimuliakan untuk bercebok, dia berdosa dan tidak mencukupi menurut qaul yang
shaḥīḥ. Tetapi jika diikuti dengan batu, ceboknya cukup, dengan syarat najisnya
belum berpindah dari tempat yang semula. Adapun bercebok dengan kulit binatang,
menurut qaul yang azhhar jika kulitnya sudah disamak boleh untuk bersuci. Dan
kalau belum, tidak boleh. Kemudian, selain syarat-syarat di muka, disyaratkan lagi
hendaknya tahinya belum kering. Jika yang keluar itu sudah kering, maka wajib
bercebok menggunakan air. Sebab najisnya tidak boleh dihilangkan dengan batu.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫ص ْح َرا ِء‬ ْ ‫ستَ ْقبَا َل ا ْلقِ ْبلَ ِة َو ا‬
َّ ‫ستِ ْدبَا َرهَا ِفي ال‬ ُ ِ‫)و يَ ْجتَن‬
ْ ‫با‬ َ

[Qadh-il-ḥājat (orang yang berak atau kencing) hendaklah menjauhi menghadap


arah kiblat dan membelakanginya, jika ia berak (qadhā’ ḥājat) di tempat yang
terbuka (lapang)].
Apabila orang itu hendak qadhā’ ḥājat (berak atau kencing) haram menghadap ke
arah kiblat atau membelakanginya, jika tidak ditutup dengan sesuatu yang boleh
dianggap cukup. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
‫ َو ل ِك ْن َش ِّرقُوْ ا أَوْ َغ ِّربُوْ ا‬،‫إِ َذا أَتَ ْيتُ ُم ْالغَائِطَ فَاَل تَ ْستَ ْقبِلُوا ْالقِ ْبلَةَ َو اَل تَ ْستَ ْدبِرُوْ هَا بِبُوْ ٍل َو اَل غَائِ ٍط‬.
“Apabila kamu mendatangi tempat kencing atau berak, janganlah menghadap ke
arah kiblat dan jangan pula membelakanginya. Tetapi menghadaplah ke timur
atau ke barat.” (Riwayat Bukhārī dan Muslim).
Hadits ini berisi larangan. Jadi menurut lahir Hadits, haram hukumnya (menghadap
atau membelakangi kiblat).
Para Ulama saling berbeda pendapat mengenai ‘illat dilarangnya menghadap arah
kiblat dan membelakanginya. Ada yang mengatakan: Sebab tempat yang terbuka itu
40

tidak pernah sepi dari orang yang shalat, yaitu para malaikat atau jin atau manusia,
sehingga kadang-kadang melihat farjinya orang yang qadha’ hajat, yang
menyebabkan hatinya menjadi tidak enak. Di dalam Syaraḥ-nya kitab Tanbīh, Imām
Nawawī berkata: Ta‘līl ini dha‘īf. Ta‘līl yang shaḥīḥ, yaitu apa yang diterangkan
oleh al-Qādhī Ḥusain, al-Baghawī, ar-Ruyānī dan lain-lain, yaitu bahwa arah kiblat
itu diagung-agungkan. Jadi wajib menjaga keagunan arah kiblat di tempat terbuka.
Jika berada di suatu bangunan, diberi kemudahan, sebab sulit (menghindarinya).
Wallāhu a‘lam.
Aku berkata: Ta‘līl ini dikuatkan oleh Syaikh Taqiyyuddīn Ibnu Daqīq-il-‘Īd, dan
beliau menjadikan ḥujjah Haditsnya Surāqah bin Mālik r.a. Beliau berkata: Aku
mendengar Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:
َ‫إِ َذا أَتَى أَ َح ُد ُك ُم ْالبَوْ َل فَ ْليُ ْك ِر ْم قِ ْبلَةَ هللاِ َع َّز َو َج َّل فَاَل يَ ْستَ ْقبِ ِل ْالقِ ْبلَة‬.

“Apabila seseorang kamu mendatangi tempat kencing (atau berak), hendaklah


memuliakan kiblat Allah ‘azza wa jalla janganlah menghadap ke kiblat.”
Ibnu Daqīq-il-‘Īd berkata: Hadits ini terang dan jelas dalam masalah ta‘līl yang telah
saya sebutkan tadi. Wallāhu a‘lam.
Imām Nawawī berkata: Jika di muka orang itu ada tutup/dinding yang tingginya
kira-kira dua pertiga dzirā‘ (hasta) dan jarak orang itu dengan tutup itu ada tiga
dzirā‘, maka boleh menghadap ke arah kiblat atau membelakangkinya. Baik berada
di dalam bangunan maupun di tempat terbuka (lapang). Keterangan ini adalah
keterangan yang shaḥīḥ. Sebagian Ulama ada yang memastikan haramnya
menghadap atau membelakangi kiblat jika di tempat terbuka secara mutlak.
Demikian kata Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab. Wallāhu a‘lam.
Kata pengarang: “Di tempat yang terbuka”, mengecualikan tempat yang tidak
terbuka. Jadi tidak haram menghadap kiblat atau membelakanginya jika tempatnya
di dalam bangunan. Ibnu ‘Umar berkata: Aku pernah naik ke atas rumahku,
kemudian aku melihat Rasūlullāh s.a.w. berjongkok di atas dua batu bata merah
(yang masih mentah) dalam keadaan menghadap kibat Bait-ul-Maqdis. Di dalam
41

riwayat Imām Bukhārī kalimahnya begini: “Aku melihatnya (Rasūlullāh)


membelakangi kiblat menghadap ke arah Syam.” Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫)و ا ْلبَ ْو ُل فِي ا ْل َما ِء ال َّرا ِك ِد‬.
َ
[Dan kencing di dalam air yang tenang (tidak mengalir)].
Yang terkandung kata-kata pengarang di atas itu begini: Orang yang qadhā’ ḥājat
hendaklah menjauhi dari kencing di dalam air yang tenang (tidak mengalir). Imām
Rāfi‘i menganggap “menjauhi kencing di dalam air yang tenang” ini sebagai bagian
dari adab (tata-krama). Imām Nawawī, di dalam Kitab ar-Raudhah mengikuti Imām
Rāfi‘ī dengan mengambil ḥujjah sabda Rasūlullāh s.a.w.:
َ .‫اَل يَبُوْ لَ َّن أَ َح ُد ُك ْم فِي ْال َما ِء ال َّدائِ ِم‬.
‫(و فِ ْي ِر َوايَ ٍة) الرَّا ِك ِد‬
“Janganlah ada di antara kamu yang kencing di dalam air yang tenang. (Di dalam
riwayat lain) di air yang bertakung.”
Imām Rāfi‘ī berkata: Larangan ini termasuk air yang sedikit dan air yang banyak,
sebab boleh menyebabkan kotornya air itu. Malah larangan kencing di dalam air
yang sedikit, lebih keras, sebab boleh menajiskan airnya. Dan masalah makruhnya
kencing di dalam air yang tenang pada waktu malam, itu juga lebih berat, sebab ada
yang mengatakan bahwa air jika pada waktu malam menjadi tempat pengungsian
para jinn. Jadi jangan dikencingi dan jangan dibuat mandi, sebab dikhawatirkan ada
bahaya yang ditimbulkan oleh jinn. Demikianlah hukum kencing di dalam air yang
tenang. Adapun kencingnya di dalam air yang mengalir, Imām Nawawī berkata di
dalam Syarḥ-ul-Muhadzdzab: Sekelompok Ulama mengatakan bahwa jika air yang
mengalir itu sedikit, hukumnya makruh. Dan jika banyak tidak makruh. Akan tetapi
kata para Ulama ini masih perlu diteliti.
Seyogianya diharamkan, kencing di dalam air yang sedikit, tanpa ada khilaf. Sebab
kencing di dalam air yang sedikit itu merusak air, sehingga merugikan dirinya dan
orang lain. Jika airnya banyak, yang lebih baik, harus dijauhi. Namun Ibnu Rif‘ah
memastikan makruhnya kencing di dalam air banyak yang mengalir, pada waktu
malam karena dikhawatirkan bahaya kaum jinn. Wallāhu a‘lam.
42

 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫)و ت َْحتَ الش ََّج َر ِة ا ْل ُم ْث ِم َر ِة‬
َ
[Dan di bawah pohon yang berbuah].
Artinya, seseorang itu hendaknya menjauhi kencing di bawah pohon yang berbuah.
Lebih-lebih lagi jika ia berak. Yang menjadi hikmah sehubungan dilarangnya
kencing dan berak di bawah pohon yang ada buahnya. Yaitu jangan sampai buah
dari pohon itu terkena najis, kemudian menjadi rusak atau dipandang jijik oleh
orang. Yang dimaksud al-mutsmirah ialah pepohonan yang biasanya mengeluarkan
buah. Demikian kata Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab. Oleh sebab
itu, pada waktu pohon itu belum berbuah, kemakruhannya lebih ringan.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ِ ‫)و فِي الطَّ ِر ْي‬
(‫ق‬ َ
[Dan di jalanan].
Artinya, seseorang itu hendaknya tidak kencing di jalanan umum, apalagi berak.
Sebab sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
‫اس أَوْ ِظلِّ ِه ْم‬
ِ َّ‫ْق الن‬ َ ‫ الَّ ِذيْ يَتَ َخلَّى فِ ْي‬:‫ َو َما اللَّعَّانَا ِن يَا َرسُوْ َل هللاِ؟ قَا َل‬:‫ قَالُوْ ا‬.‫اِتَّقُوْ ا اللَّعَّانَ ْي ِن‬.
ِ ‫ط ِري‬
“Takutlah pada dua orang yang menimbulkan kelaknatan orang banyak. Para
sahabat bertanya: Siapa dua orang yang menimbulkan kelaknatan dari orang
banyak itu? Rasūlullāh s.a.w. menjawab: Yaitu orang yang berak di jalanan umum
atau di tempat berteduhnya orang banyak.” (Riwayat Muslim).
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ِ ‫)و الثُّ ْق‬
(‫ب‬ َ
[Dan di dalam lubang].
Maksudnya, seseorang itu hendaknya menjauhi kencing di dalam lubang, yaitu
lubang yang ada di dalam tanah. Kadang-kadang memakai kata-kata bukhsyi untuk
menyatakan lubang. Sebab Rasūlullāh s.a.w. melarang kencing di dalam lubang.
43

Karena lubang di tanah itu adalah tempatnya jinn. Hadits ini diriwayatkan oleh Abū
Dāūd dan an-Nasā’ī. Al-Ḥākim berkata: Hadits ini Hadits shaḥīḥ, memakai
syaratnya Imām Bukhārī dan Imām Muslim.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫)و الظِّ ِّل‬
َ
[Dan di tempat bernaung].
Artinya, seseorang itu hendaknya menjauhi kencing (apalagi berak) di tempat untuk
berteduh. Sebab sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:

ِ ‫ار َع ِة الطَّ ِري‬


)‫ (رواه أبو داود‬.ِّ‫ْق َو الظِّل‬ ِ ‫ ْالبِ َرا َز فِي ْال َم َو‬:َ‫اِتَّقُوا ْال َماَل ِعنَ الثَّاَل ثَة‬.
ِ َ‫ار ِد َو ق‬

“Takutlah kamu pada tiga tempat yang dilaknati. Yaitu, berak di dalam air yang
didatangi oleh orang ramai. Berak di tengah jalanan dan berak di tempat untuk
berteduh.” (Riwayat Abū Dāūd).
Yang disebut al-mawārid ialah tempat yang biasa didatangi orang ramai. Ada yang
mengatakan: Aliran air. Qāri‘at-uth-Tharīq artinya: Jalan yang ada di atas. Ada yang
mengatakan: Permukaan jalan. Ada yang mengatakan: Yang tampak pada jalan.
Tempat yang disinari matahari pada waktu musim hujan, sama dengan tempat untuk
berteduh pada waktu musim kemarau.
Haram kencing di atas kuburan, sebagaimana haramnya duduk-duduk di atasnya
juga. Demikian juga kencing di dalam masjid, walaupun disediakan wadah menurut
qaul yang rājiḥ yang difatwakan. Makruh, kencing dengan keadaan berdiri kecuali
jika ada udzur. Sebab Nabi Muḥammad s.a.w. pernah kencing dengan keadaan
berdiri itu karena ada udzur.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫)و اَل يَتَ َكلَّ ُم َعلَى ا ْلبَ ْو ِل َو ا ْل َغائِ ِط‬
َ
[Dan tidak boleh omong-omong pada waktu kencing dan berak.]
44

Artinya, disunnatkan tidak berbicara pada waktu kencing dan berak. Abū Sa‘īd
berkata: Saya mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

ُ ُ‫ فَإ ِ َّن هللاَ تَ َعالَى يَ ْمق‬،‫ُج ال َّر ُجاَل ِن يَضْ ِربَا ِن ْالغَائِطَ َكا ِشفَ ْى عَوْ َرتَ ْي ِه َما يَتَ َح َّدثَا ِن‬
َ‫ت َعلَى ذلِك‬ ِ ‫اَل يَ ْخر‬.
“Jangan sampai ada dua orang yang keluar perlu mendatangi kakus dengan
membuka auratnya, lalu omong-omong. Sebab Allah ta‘ālā benci kepada orang
semacam itu.” (Riwayat Abū Dāūd).
Maqti artinya benci yang terlalu.
Bercakap-cakap pada waktu kencing atau berak, hukumnya makruh, tetapi tidak
sampai haram. Sama dengan sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
ُ ‫أَ ْبغَضُ ْال َحاَل ِل إِلَى هللاِ الطَّاَل‬.
‫ق‬
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak.”
Menjawab salam dipersamakan dengan bercakap-cakap. Demikian juga mendoakan
orang yang bersin dan membaca al-ḥamdulillāh waktu bersin. Jadi orang yang berak
jika bersin, hendaklah memuji Allah dalam hati saja. Tidak perlu menggeraknya
mulutnya.
Al-Muḥibb ath-Thabarī berkata: Sebaiknya orang yang sedang berak atau kencing
tidak disertai makan atau minum. Dan sebaiknya lagi ia tidak melihat kotoran yang
keluar atau melihat farjinya atau melihat ke atas dan tidak memain-mainkan
tangannya.
Makruh, duduk berlama-lama (dengan berjongkok) di kakus. Dan makruh,
membawa sesuatu yang ada tulisan nama Allah, seperti cincin dan dirham. (Pada
zaman dahulu, dirham itu ada tulisan surat al-Ikhlāsh-nya). Demikian juga yang ada
tulisan al-Qur’ānnya. Adapun nama Rasūlullāh, disamakan dengan nama Allah,
sebab untuk mengagungkan Rasūlullāh s.a.w.
Rasūlullāh s.a.w. jika hendak masuk ke kakus, beliau melepas (menanggalkan)
cincinnya dulu. Sebab cincinnya terdapat tulisan Muḥammad-ur-Rasūlullāh. Hadits
ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzī. Beliau berkata Hadits ini Hadits ḥasan dan
45

shaḥīḥ. Al-Ḥākim berkata: Hadits tersebut menggunakan syaratnya Imām Bukhārī


dan Imām Muslim.
Ketahuilah, bahwa semua nama yang mu‘azhzham (yang dimuliakan) disamakan
dengan apa yang sudah diterangkan tadi, dalam hal melepas (menanggalkan cincin).
Demikian ini sudah diterangkan oleh Imām Ḥaramain, dan diikuti oleh Ibnu Rif‘ah.
Dalam bab ini, nama-nama Utusan Allah dan Nabi Allah juga tidak terkecuali,
‘Alaihim-ush-Shalātu was-Salām.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ْ َ‫س َو ا ْلقَ َم َر َو اَل ي‬
(‫ستَ ْدبِ ْر ُه َما‬ َّ ‫ستَ ْقبِ ِل ال‬
َ ‫ش ْم‬ ْ َ‫)و اَل ي‬
َ
[Dan tidak menghadap ke matahari atau bulan dan juga tidak membelakanginya].
Menghadap matahari atau bulan pada waktu berak maupun kencing, hukumnya
makruh. Baik di tanah lapang atau di dalam bangunan (rumah WC) dan sebagainya.
Sebab matahari dan bulan adalah bukti kebenaran Allah yang nyata, di samping ada
suatu Hadits yang menyatakan kemakruhan menghadap matahari dan bulan.
Apakah membelakangi matahari dan bulan juga dimakruhkan? Imām Nawawī di
dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab berkata: Qaul shaḥīḥ yang masyhur, yaitu yang sudah
dipastikan oleh Jumhur, hukumnya tidak makruh. Tetapi Imām Rāfi‘ī memastikan di
dalam tambahan kitabnya yaitu makruh, sama dengan menghadap matahari dan
bulan. Imām Nawawī sepakat dengan Imām Rāfi‘ī di dalam masalah itu.
Tetapi Imām Nawawī berbeda pendapat pula dengan Imām Rāfi‘ī mengenai
kemakruhan dua perkara ini, tersebut di dalam kitab al-Wasīth. Beliau berkata: Imām
Syāfi‘ī dan kebanyakan ulama tidak pernah menerangkan bahwa orang yang qadhā’
ḥājat tidak boleh menghadap matahari dan bulan. Yang dipilih yaitu kewenangan
menghadap matahari atau bulan. Jadi menghadap atau tidak, sama saja. Di dalam
kitab at-Taḥqīq, Imām Nawawī berkata: Kemakruhan menghadap, itu tidak ada
dalilnya sama sekali. Wallāhu a‘lam.
Fasal
Perihal Perkara-Perkara yang membatalkan Wudhuk
46

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:


(‫سبِ ْيلَ ْي ِن‬ ْ َ‫سةُ أ‬
َّ ‫ َما َخ َر َج ِمنَ ال‬:‫شيَا َء‬ ُ ‫ض ا ْل ُو‬
َ ‫ض ْو َء َخ ْم‬ ُ ُ‫ي يَ ْنق‬ ْ َ‫ف‬.)
ْ ‫ َو الَّ ِذ‬:‫ص ٌل‬
[Perkara yang membatalkan wudhu’ ada lima. Yaitu sesuatu yang keluar dari salah
satu dari dua jalan kotoran (qubul dan dubur)].
Juga boleh merusak wudhu’ seseorang yaitu sembuhnya orang yang hadats terus-
menerus. Seperti orang yang terus-menerus kencing atau lainnya. Demikian juga
sembuhnya perempuan yang mustahadhah, dan habisnya waktu mengusap muzah
(khuffain). Hal ini sudah diterangkan oleh pengarang di dalam fasal mengusap
muzah.
Juga boleh merusak wudhu’ lagi yaitu memakan daging unta, menurut apa yang
dipilih dan dikuatkan oleh Imām Nawawī.
Imām Nawawī berkata: Dalam hal batalnya wudhu’ sebab makan daging unta ini,
ada dua Hadits yang shaḥīḥ, yang tidak dapat dijawab dengan jawaban yang
memuaskan. Qaul ini sudah dipilih oleh sekelompok Ulama madzhab kita yang ahli
Hadits. Beliau berkata lagi: Batalnya wudhu’ sebab makan daging unta itu adalah
termasuk perkara yang diyakini ke-rājiḥ-annya. Wallāhu a‘lam.
Qaul yang shaḥīḥ yang ditentukan oleh Jumhūr-ul-Ashḥāb memgemukakan jawaban
tidak batalnya wudhu’ ini dengan Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jābir r.a.,
bahwa akhirnya dua perkara dari Rasūlullāh s.a.w. ialah meninggalkan wudhu’
sebab sesuatu yang disentuh oleh api.
Jika kamu sudah mengerti apa yang saya terangkan ini, maka tiap-tiap perkara  yang
keluar dari dua jalan (yaitu qubul dan dubur), boleh membatalkan wudhu’. Sama ada
yang keluar itu berupa benda ataupun angin, baik yang lazim keluarnya ataupun
yang langkat, seperti darah dan kerikil. Baik benda yang keluar itu najis maupun
suatu yang suci, seperti cacing.
Dalil mengenai batalnya wudhu’ sebab perkara yang keluar dari dua jalan itu ialah
firman Allah ta‘ālā:
47

‫أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط‬.


“Atau telah mendatangi kamu sesuatu dari tempat buang air.” (an-Nisā’: 43).
Abū Hurairah dimintai keterangan soal hadats, beliau berkata: Hadats yaitu kentut
kecil dan kentut besar. Hadits ini diriwayatkan oleh Imām Bukhārī. Dalilnya lagi
yaitu Haditsnya ‘Alī r.a.:
،ُ‫ فَ َسأَلَه‬،ِّ‫ت ْال ِم ْقدَا َد ْبنَ اأْل َ ْس َو ِد ْال ِك ْن ِدي‬
ُ ْ‫ فَأ َ َمر‬º،‫ْت أَ ْن أَسْأ َ َل َرسُوْ َل هللاِ (ص) لِ َم َكا ِن ا ْبنَتِ ِه‬ ُ ‫ فَا ْستَحْ يَي‬،‫ت َر ُجاًل َم َّذا ًء‬
ُ ‫ُك ْن‬
ُ ‫ يَ ْغ ِس ُل َذ َك َرهُ َو يَتَ َوضَّأ‬:)‫فَقَا َل َرسُوْ ُل هللاِ (ص‬.

“Aku ini laki-laki yang sering keluar madzi. Aku malu bertanya kepada Rasulullah
s.a.w. karena kedudukan putri beliau (yaitu Fāthimah r.a. sebagai istriku). Kemudian
aku menyuruh al-Miqdād bin al-Aswad al-Kindī. Lalu dia pun bertanya kepada
Rasūlullāh s.a.w. dan kemudian dijawab oleh Rasūlullāh s.a.w.: Hendaklah dia
membasuh zakarnya dan berwudhu’.” (Riwayat Bukhārī dan Muslim).
Air mani, dikecualikan dari perkara yang keluar dari dua jalan tersebut, menurut
madzhab yang kuat yang tersebut di dalam kitabnya Imām Rāfi‘ī dan kitab ar-
Raudhah. Tidak batal wudhu’ sebab keluar mani, menggunakan wajah bahwa tiap-
tiap perkara yang mewajibkan suatu hal yang lebih berat di antara dua hal dengan
sifat-sifat khususnya, tidak boleh mewajibkan hal yang lebih ringan (rendah
derajatnya) di antara dua perkara itu dengan sifat-sifat umumnya, seperti penzina
yang muḥshan. Penzina yang muḥshan diwajibkan had yang lebih berat yaitu berupa
rajam dilempar batu sampai mati. Jadi tidak diwajibkan lagi had yang lebih ringan di
antara dua had zina itu, yaitu yang berupa jald (dera) dan pembuangan, dengan sifat
khususnya yaitu perbuatan yang dilakukan itu adalah zina.
Ada yang mengatakan: Keluar air mani juga boleh merusakkan wudhu’ dan
mewajibkan mandi sebagaimana yang dimutlakkan oleh pengarang, demikian juga
lafaznya kitab at-Tanbīh. Qaul itu juga diterangkan oleh al-Qādhī Abuth-Thayyib
dan Abū Muḥammad al-Juwainī dan sekumpulan Ulama, yang di antaranya ialah
Imām Ghazālī dan gurunya, Imām Ḥaramain. Qaul ini dijelaskan oleh Ibnu Syuraiḥ,
bahwa keluar air mani membatalkan wudhu’. Imām Syāfi‘ī, dalam memutlakkannya
menunjukkan bahwa wudhu’ boleh batal. Sebab beliau berkata: Sunnah (Hadits)
48

menunjukkan adanya kewajiban berwudhu’ sebab keluar madzi, air kencing dan
kentut, dan segala sesuatu yang keluar dari satu jalan (yaitu dari farji) adalah
kotoran. Jadi boleh mewajibkan wudhu’.
Ibnu ‘Athiyyah, di dalam tafsirnya berkata: Ijma‘ sudah sepakat mengatakan bahwa
keluar air mani boleh membatalkan wudhu’. Sedangkan apa yang dibuat dalil oleh
Imām Rāfi‘ī, yaitu bahwa segala sesuatu yang mewajibkan perkara yang lebih berat
di antara dua perkara dan seterusnya, itu dibatalkan oleh al-Māwardī dengan haidh.
Al-Mawardī berkata: Haidh boleh membatalkan wudhu’ dengan disepakati oleh
Ijma‘. Al-Māwardī menyetujui Ibnu Rif‘ah yang mengatakan bahwa keluar air mani
boleh membatalkan wudhu’. Wallāhu a‘lam.
Saya berkata: Saya melihat tulisan Jarabardī, bahwa haidh boleh membatalkan
wudhu’ itu terdapat khilaf. Beliau mengatakan, adanya khilaf tersebut dikatakan oleh
sebagian Ulama ‘Irāq.
Kata pengarang:
“Apa yang keluar dari salah satu dua jalan (qubul dan dubur).” Mengecualikan
perkara yang keluar dari selain dua jalan itu, yang disebabkan oleh bercanduk
(berbekam) dan muntah, Hal itu tidak boleh merusakkan wudhu’, karena Rasūlullāh
s.a.w. pernah bercanduk (berbekam) dan kemudian shalat dan tidak berwudhu’.
Beliau hanya membasuh tempat yang dicanduk dan tidak lebih dari itu. Lain
daripada itu, batalnya wudhu’ sebab hal yang serupa dengan apa yang diterangkan
oleh Sunnah Rasūl itu, tidak boleh dinalar artinya dengan akal. Jadi tidak sah
mengkiaskan sesuatu dengan apa yang diambil dari Sunnah. Dan juga, sesuatu yang
keluar dari dua jalan tersebut, mempunyai sifat-sifat yang khusus yang tidak terdapat
pada lainnya. Wallāhu a‘lam.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ٍ ‫س ْك ٍر أَ ْو َم َر‬
(‫ض‬ ِ ‫و النَّ ْو ُم َعلَى َغ ْي ِر َه ْيئَ ِة ا ْل ُمتَ َم ِّك ِن ِمنَ اأْل َ ْر‬.)
ُ ِ‫ َو ز ََوا ُل ا ْل َع ْق ِل ب‬،ُ‫ض َم ْق َع ُده‬ َ
[Dan tidur yang tidak menetap posisinya orang yang menetap duduknya di atas bumi
(tanah), dan hilang akal sebab mabuk atau sakit].
49

Perkara kedua yang boleh merusak wudhu’, ialah hilang akal (ingatan). Hilang akal
ini penyebabnya banyak sekali. Di antaranya ialah sebab tidur. Tidur pada
hakikatnya ialah kendornya otot-otot badan dan hilangnya parasaan. Dan
pembicaraan orang yang ada di sampingnya tidak kedengaran. Mengantuk tidak
sama dengan tidur, sebab mengantuk tidak merusak wudhu’ sama sekali.
Dalil batalnya wudhu’ sebab tidur ialah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
)‫ (رواه أبو داود‬.ْ‫ فَ َم ْن نَا َم فَ ْليَتَ َوضَّأ‬،‫ق ْال ِو َكا ُء‬
َ َ‫ت ْال َع ْينَا ِن ا ْنطَل‬ ْ
ِ ‫ َو إِ َذا نَا َم‬،ِّ‫ال َع ْينَا ِن ِو َكا ُء ال َّسه‬.
“Dua mata itu laksan tali bagi pantat (dubur). Jadi apabila kedua mata itu tidur,
talinya tentu terlepas. Maka dari itu barang siapa yang tidur, hendaklah
berwudhu’.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abū Dāūd dan Ibnu Mājah, dan ia juga disebut-sebut
oleh Ibn-us-Sakan di dalam kitab Sunan-nya yang dinukil dari para Ulama Hadits
yang shaḥīḥ-shaḥīḥ.
Yang dimaksudkan Hadits tersebut begini: Jaga (tidak tidur) adalah talinya dubur.
Jadi kalau orangnya tidur, talinya terlepas. Dan dikecualikan, yaitu apabila orang
yang tidur itu menetapkan pantatnya di tempat duduknya, menurut qaul yang shaḥīḥ.
Walaupun ia bersandar pada sesuatu yang seandainya bergeser sedikit saja, orangnya
terjatuh. Hal tersebut berdasarkan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a.
Beliau berkata:
)‫ (رواه مسلم‬. َ‫صلُّوْ نَ َو اَل يَتَ َوضَّأُوْ ن‬
َ ُ‫ ثُ َّم ي‬، َ‫َكانَ أَصْ َحابُ َرسُوْ ِل هللاِ (ص) يَنَا ُموْ ن‬
()‫ك َعلَى َع ْه ِد َرسُوْ ِل هللاِ (ص‬ َ ِ‫ َو َكانَ ذل‬،‫ق ُر ُؤوْ ُسهُ ْم‬َ ِ‫ َحتَّى ت َْخف‬:َ‫زَ ا َد أَبُوْ دَا ُود‬.
“Para sahabat Rasūlullāh s.a.w. pada tidur, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu’
lebih dulu.” (Riwayat Muslim)
(Dan Abū Dāūd menambah): hingga kepala mereka tersentuk-sentuk. Peristiwa itu
terjadi pada zaman Rasūlullāh s.a.w.”
Para perawi Hadits ini, semuanya dapat dipercaya.
Di antara penyebab hilang akal yaitu pingsan, gila dan mabuk. Kesemuanya boleh
merusak wudhu’ dalam keadaan yang bagaimanapun. Sebab, jika tidur saja boleh
merusak wudhu’, maka ketiga-tiga perkara tersebut adalah lebih utama. Hilangnya
50

akal tersebab ketiga-tiga perkara itu, adalah lebih besar daripada hilangnya akal
dengan sebab tidur.
Cabang Permasalahan.
Apabila seseorang tidur dengan menetapkan pantatnya, kemudian salah satu bagian
pantatnya bergeser (sehingga pantatnya tidak tetap), yang demikian itu apabila
bergesernya sebelum ia terjaga, maka wudhu’-nya batal. Dan apabila bergeser
sesudah itu terjaga, maka tidak batallah wudhu’nya.
Demikian juga apabila bergesernya pantat itu bersamaan dengan terjaganya atau
masih diragukan, tetap tidak merusak wudhu’nya, sebab pada asalnya ia dikira masih
dalam kesucian.
Andaikata orang itu tidur dengan telentang di atas tengkuknya dan pantatnya
menempel pada tanah, wudhu’nya batal (rusak). Dan andaikata orang itu
mengenakan cawat dari kain, seperti perempuan mustahadhah yang mengenakan
cawat dari kain, wudhu’nya rusak, menurut madzhab yang kuat.
Ketahuilah, bahwa Imām Syāfi‘ī dan para Ulama telah berkata: Disunnatkan
berwudhu’ karena tidur, walaupun orangnya menetapkan pantatnya di atas tanah
untuk mengelakkan diri apa yang dipertelingkahkan (khilāf). Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
َ َ ‫س ال َّر ُج ِل ا ْل َم ْرأَةَ ِمنْ َغ ْي ِر َحائِ ٍل بَ ْينَ ُه َما َغ ْي َر َم ْح َر ٍم فِي اأْل‬
(‫ص ِّح‬ ُ ‫)و لَ ْم‬
َ
[Dan menyentuhnya laki-laki kepada perempuan tanpa ada alas tangan (lapik) antara
kedua-duanya, sedangkan perempuan itu bukan mahramnya].
Di antara perkara yang membatalkan wudhu’ ialah menyentuh laki-laki akan kulit
perempuan yang disenangi, yang bukan mahramnya, karena firman Allah:
‫أَوْ اَل َم ْستُ ُم النِّ َسا َء‬
“Atau jika kamu (laki-laki) menyentuh perempuan.” (al-Mā’idah: 6)
Dalam ayat ini, Allah ta‘ala meng-‘athaf-kan kata lams pada Majī’. Yaitu firman
Allah aw jā’a aḥadun. Dan Allah mengurutkan kewajiban tayammum manakala
tidak ditemukan air untuk lams dan majī‘ min-al-ghā’ithi. Demikian itu
51

menunjukkan bahwa lams (bersentuhan) itu termasuk hadats seperti halnya majī’
min-al-ghā’ithi.
Yang disebut basyarah ialah kulit bagian luar. Masalah orang laki-laki tidak
dibedakan antara laki-laki yang sudah tua yang sudah tidak mempunyai syahwat dan
laki-laki yang masih mempunyai syahwat. Dan tidak dibedakan antara laki-laki yang
sudah dikebiri dan laki-laki yang impoten (lemah syahwat). Sentuhan mereka tetap
membatalkan wudhu’. Demikian juga laki-laki yang menghampiri masa baligh,
sentuhannya juga membabalkan wudhu’
Juga tidak dibedakan antara perempuan muda dan tua yang sudah tidak disyahwati
lagi. Dalam masalah perempuan yang sudah mati terdapat khilāf. Di dalam Syaraḥ
al-Muhadzdzab, Imam Nawawi menganggap shaḥīḥ terhadap kepastian batalnya
wudhu’ tersebab menyentuh perempuan yang sudah mati. Namun di dalam kitabnya
Imām Nawawī yang bernama Ru’ūs-ul-Masā’il, beliau menganggap shaḥīḥ tidak
batalnya wudhu’. Perbedaan ini didasarkan pada lafazh dan maknanya, sebagaimana
perbedaan masalah perempuan mahram.
Jika menurut apa yang sudah diterangkan di dalam kitab al-Muhadzdzab, yaitu
batalnya wudhu’ sebab menyentuh perempuan yang telah mati, lalu apakah
perbedaan perempuan mahram dengan perempuan yang sudah mati?
Membedakannya sulit sekali. Kadang-kadang dibedakan begini, perempuan yang
mati itu masih dimungkinkan dapat hidup kembali. (Karena mungkin sebenarnya
belum mati). Berbeda sekali dengan perempuan mahram. Tidak mungkin sifat
mahram itu akan hilang. Wallāhu a‘lam.
Andaikata anggota badan yang disentuh itu, anggota yang lumpuh atau anggota
tambahan, atau menyentuhnya tidak disengaja dan tidak disertai dengan syahwat,
wudhu’nya tetap rusak atau batal dalam masalah-masalah ini. Sebab bersentuhan itu
hadats, menurut lahirnya ayat yang mulia itu.
Menyentuh rambut, kuku atau atau gigi, tidak merusakkan wudhu’ menurut qaul
yang rājiḥ. Sebab bagian terbanyak kenikmatan yang terdapat pada ketiga-tiga
52

perkara tersebut adalah dari sebab melihat perempuannya. Jadi persangkaan syahwat
bukan terletak pada persentuhan.
Andaikata orang itu menyentuh (memegang) anggota perempuan yang sudah
terpisah dari badannya, atau menyentuh anak kecil yang belum sampai pada batas-
batas “disyahwati”, maka wudhu’nya tidak menjadi rusak menurut qaul yang rājiḥ.
Sebab anggota yang sudah terpisah dari anggota badan dan juga anak kecil itu tidak
berada pada tempat yang dapat diduga adanya keinginan atau syahwat, sebagaimana
pada mahram.
Andaikata orang itu menyentuh mahram sebab nasab atau sebab radhā‘ (persusuan)
atau sebab perbesanan, apakah boleh merusakkan wudhu’nya? Ada dua qaul. Satu di
antaranya mengatakan: Rusak wudhu’nya, sebab melihat umumnya ayat al-Qur’ān.
Qaul yang rājiḥ mengatakan, tidak rusak wudhu’nya. Sebab mahram itu tidak pada
tempat yang dapat diduga-duga adanya syahwat. Orang boleh mengambil makna
dari suatu nash, yang makna itu sifatnya mengkhusukan umumnya nash itu. Hikmah
(makna) bagi rusaknya wudhu’ ialah perempuan yang bukan mahram itu berada
pada tempat persangkaan syahwat. Hikmah ini tidak terdapat pada mahram.
Kata pengarang “menyentuh laki-laki akan perempuan”, itu mengecualikan
andaikata orang itu menyentuh anak kecil yang belum disyahwati. Masalah ini sudah
diterangkan di muka. Dan mengecualikan juga, andaikata orang itu menyentuh laki-
laki amrād (anak muda yang ganteng), wudhu’nya tidak rusak. Qaul ini adalah qaul
yang rājiḥ. Kita, para Ulama Madzhab Syāfi‘ī, mempunyai wajah (sudut pandang,
pendapat) yang menganggap bahwa menyentuh amrād itu merusakkan wudhu’,
seperti menyentuh perempuan.
Kata pengarang “tanpa ada alas tangan (lapik),” itu mengecualikan, andaikata di
antara laki-laki dan perempuan itu ada pemisahnya (lapik), maka bersentuhannya
tidakmembatalkan wudhu’. Wallāhu a‘lam.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
( ِّ‫ج بِبَ ْط ِن ا ْل َكف‬
ِ ‫س ا ْلفَ ْر‬
ُّ ‫و َم‬.)
َ
53

[Dan menyentuh farji dengan tapak tangan bagian dalam].


Di antara hal yang merusak wudhu’ ialah menyentuh farjinya anak Ādam. Baik
farjinya sendiri atau milik orang lain. Farjinya perempuan maupun farjinya laki-laki,
anak kecil maupun orang dewasa. Orangnya masih hidup maupun sudah mati. Dan
yang disentuh itu qubul maupun dubur. Sebab kata farji itu mencakup makna hal-hal
tersebut.
Menyentuh zakar yang sudah terpotong, atau penyentuh zakar yang masih ada
bentuknya, atau menyentuh zakar dengan tangan yang lumpuh boleh membatalkan
wudhu’ menurut qaul yang rājiḥ. Andaikata orang itu menyentuh dengan tangan
tambahan, maka jika tangannya itu genap jari-jarinya, boleh membatalkan wudhu’.
Jika tidak genap (tidak sempurna), tidak boleh merusak wudhu’, menurut qaul yang
rājiḥ (unggul). Ini semua, jika menyentuhnya dengan menggunakan bagian tapak
tangan. Apabila menyentuhnya dengan menggunakan bagian luarnya, maka tidak
merusak wudhu’. Demikian juga apabila menyentuhnya dengan pinggirnya tapak
tangan atau dengan ujung jari atau dengan kulit yang berada di sela-sela jari, tidak
merusak wudhu’ menurut qaul yang rājiḥ.
Imām Aḥmad berkata: Orang yang menyentuh dengan tapak tangan bagian luar
maupun dalam, batal wudhu’nya. Sebab Hadits-hadits, semuanya memutlakkan kata
“sentuhan” itu. Keterangan ini ditolak oleh Imām Syāfi‘ī, sebab ada sebagian Hadits
yang menggunakan kata-kata Ifdhā’. Sudah maklum, bahwa apa yang dimaksud oleh
Hadits itu tentunya hanya satu. Yang dimaksud Ifdhā’, ialah menyentuh dengan
bagian dalam tapak tangan, Qaul-nya Imām Syāfi‘ī dalam masalah lughat (bahasa),
boleh dibuat hujjah, di samping makna Ifdhā’ itu sendiri sudah masyhur di dalam
ilmu lughat.
Seorang Ulama yang mengarang kitab al-Mujmal berkata: Menurut lughat; Ifdhā’ itu
apabila disandarkan pada tangan, mempunyai arti menyentuh dengan bagian dalam
tapak tangan. Orang ‘Arab mengatakan: afdhaitu bi yadī ilal-amīri mubāyi‘an wa
ilal-ardhi sājidan, artinya: Aku berjabat tangan dengan Raja karena berjanji taat
setia, dan aku lekapkan tanganku ke bumi karena bersujud.
54

Demikian juga al-Jauharī telah menerangkan makna lughat ini.


Ada sebagian Ulama yang menetapkan bahwa menyentuh zakar itu tidak merusak
wudhu’, dengan menggunakan hujjah Haditsnya Thalq. Hujjah yang digunakan oleh
Imām Syāfi‘ī ialah Haditsnya Busrah binti Shafwān r.a. Beliau berkata: Aku
mendengar Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:
ْ‫َم ْن َمسَّ َذ َك َرهُ فَ ْليَتَ َوضَّأ‬

“Barang siapa yang menyentuh zakarnya, hendaklah berwudhu’.”


Hadits ini dianggap shahih oleh Imām Aḥmad dan at-Tirmidzī dan lain-lain. Al-
Ḥākim berkata: Hadits ini diriwayatkan dengan syaratnya Imām Bukhārī dan Imām
Muslim. Imām Bukhārī berkata: Hadits ini, Hadits yang paling shaḥīḥ di dalam bab
ini. Ibnu Ḥibbān dan lain-lainnya berkata: Haditsnya Thalq yang dijadikan dalil tidak
batalnya wudhu’ karena menyentuh (zakar), diganti dengan Haditsnya Busrah ini.
Menyentuh duburnya binatang, tidak membatalkan wudhu’. Imām Rāfi‘ī berkata:
Tidak ada khilāf. Namun sebenarnya ada khilāf. Adapun menyentuh qubulnya
binatang (kemaluannya) ada dua qaul. Menurut qaul qadīm, boleh merusak
wudhu’nya. Sebab seseorang itu diwajibkan mandi karena memasukkan farjinya ke
dalam qubulnya binatang. Jadi boleh merusak wudhu’ sebagaimana farjinya
perempuan. Menurut qaul jadid yang azhhar (yang lebih jelas), menyentuh qubulnya
binatang tidak merusak wudhu’, sebab tidak diwajibkannya menutupi qubul binatang
dan tidak haram melihat qubul binatang. Jadi menurut qaul yang azhhar, andaikata
orang itu memasukkan jarinya ke dalam qubul binatang, wudhu’nya tidak batal
menurut qaul yang rājiḥ. Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan.
Di antara kaedah yang sudah ditetapkan, yang menjadi dasar bagi sebagian banyak
hukum-hukum syari‘at, ialah apa yang disebut Istishḥāb-ul-Asli. Artinya:
Meneruskan keadaan aslinya dan membuang keraguan, dan menetapkan berlakunya
keadaan yang sudah ada sebagaimana berlaku sebelumnya.
Para Ulama sudah sepakat, bahwa apabila ada seseorang ragu-ragu, apakah ia sudah
mentalak istrinya atau belum? Orang itu masih boleh menjima‘ istrinya. Sama
55

halnya jika orang itu ragu-ragu terhadap seorang perempuan, apakah ia sudah nikah
dengannya atau belum? Orang itu tidak boleh menjima‘ perempuan itu.
Di antara Istishḥāb-ul-Asli ialah andaikata orang itu yakin akan dirinya suci dan
ragu-ragu tentang hadatsnya, maka yang asal ialah tetap suci dan tidak dikira hadats.
Andaikata orang itu meyakini dirinya berhadats, dan ragu-ragu akan sucinya, maka
mengira asalnya ia tetap berhadats, dan tidak dikira suci.
Andaikata orang itu meyakini kedua-duanya (suci dan hadats), misalnya, sebelum
matahari tergelincir, ia yakin dirinya sudah bersuci dan berhadats juga, tetapi tidak
ingat yang mana satu yang lebih dahulu. Apakah yang harus ia kerjakan? Di dalam
masalah ini terdapat khilāf. Qaul yang rājiḥ, tersebut di dalam kitabnya Imām Rāfi‘ī
dan kitab ar-Raudhah, dilihat dulu. Apabila sebelum matahari terbit orang itu
berhadats, maka ketika ia ragu, keadaannya suci. Sebab hadatsnya yang sebelum
terbitnya matahari, boleh hilang karena ia bersuci sesudah terbit matahari secara
yakin. Adapun hadats sesudah terbit matahari, boleh jadi itu sebelum bersuci dan
boleh jadi sesudah bersuci. Jadi dengan perhitungan ini, maka yang menjadi asal
adalah suci.
Apabila sebelum matahari terbit orang itu suci, maka ketika ia ragu, keadaannya
berhadats. Sebab suci yang diyakininya sebelum terbit matahari, telah hilang karena
yakinnya hadats sesudah terbit matahari. Dan boleh jadi suci dahulu sebelum hadats
dan boleh jadi hadats dahulu kemudian suci. Jadi yang menjadi asal adalah keadaan
hadats, Imām Nawawī menetapkan berlakunya hukum Istishḥāb ini di dalam kitab
al-Minhāj.
Imām Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah berkata: Hukum ini, yaitu dengan
mengambil lawan dari kejadian yang terjadi sebelumnya, yaitu apabila orangnya
membiasakan tajdīd-ul-wudhu’ (memperbarui wudhu’). Apabila tidak, maka ketika
orang itu dalam keadaan ragu ia dihukumi suci. Sebab yang jelas, yaitu keadaan suci
ada di belakang.
Sebagian Ulama mengatakan: Tidak perlu melihat keadaan sebelum terbitnya
matahari. Orang yang demikian wajib berwudhu’ dengan serta-merta. Imām Nawawī
56

berkata di dalam Syarḥ-ul-Muhadzdzab dan syarah kitab al-Wasīth: Qaul inilah qaul
yang azhhar dan yang terpilih. Al-Qādhī Abuth-Thayyib berkata: Qaul ini adalah
qaul-nya sebagian banyak dari Ulama madzhab kita. Wallāhu a‘lam.
Andaikata orang itu tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya sebelum terbit
matahari, maka ia wajib berwudhu’ dalam keadaan bagaimanapun juga.
Di antara yang termasuk dalam kaedah ini ialah, andaikata ada seseorang yang tidur
dengan duduk menetapkan pantatnya di atas tanah, lalu bergeser dan kemudian
terjaga. Orang itu ragu mana yang lebih dahulu? Atau ragu apa ia memegang rambut
atau memegang kulit dan lain sebagainya? Maka wudhu’nya tidak rusak dalam
masalah-masalah ini. Wallāhu a‘lam.

Fasal
Perihal Perkara-perkara Yang Mewajibkan Mandi

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:


(‫ َو إِ ْن َزا ُل‬،‫ َو ِه َي ا ْلتِقَا ُء ا ْل ِختَانَ ْي ِن‬،‫سا ُء‬
َ ِّ‫شتَ ِر ُك فِ ْي َها ال ِّر َجا ُل َو الن‬ ْ َ‫ستَّةُ أ‬
ْ َ‫ثَاَل ثَةٌ ت‬:‫شيَا َء‬ ْ ‫ب ا ْل ُغ‬
ِ ‫س َل‬ ْ َ‫ف‬
ْ ‫ َو الَّ ِذ‬:‫ض ٌل‬
ُ ‫ي يُ ْو ِج‬
ُ‫ َو ا ْل َم ْوت‬،‫ا ْل َمنِ ِّي‬.)
[Perkara yang diwajibkan mandi ada enam. Yang tiga perkara bersekutu (berlaku)
padanya laki-laki maupun perempuan. Yaitu pertemuan antara dua kelamin (laki-laki
dan perempuan), keluar mani dan mati].
Perkataan “Ghasl” itu boleh dibaca fatḥah ghain-nya dan boleh dibaca dhammah.
Demikian kata Imām Nawawī di dalam kitab at-Taḥrīr. Al-Jauharī berkata: Jika
dibaca fatḥah ghain-nya, artinya pekerjaan membasuh (seperti membasuh kain). Jika
dibaca dhammah ghain-nya, artinya hal menggosok (atau mandi). Lafaz “Wudhū’”
pula, jika wāw-nya dibaca fatḥah wadhū’, artinya air yang digunakan untuk
berwudhū’. Jika dibaca dhammah wāw-nya wudhū’ artinya pekerjaan berwudhū’.
Jika kamu sudah mengerti apa yang saya terangkan ini, ketahuilah, bahwa sebab-
sebab diwajibkannya mandi ada banyak sekali. Di antaranya ialah pertemuan dua
57

kelamin. Terkadang pertemuan dua kelamin ini dikatakan jima‘, yaitu memasukkan
ujung (ḥasyafah) kelamin laki-laki atau sekadarnya ke dalam farji apa pun, sama ada
farjinya perempuan maupun farjinya binatang, atau ke dalam dubur keduanya, atau
duburnya laki-laki, baik anak kecil maupun orang dewasa, yang sudah mati ataupun
yang masih hidup.
Mandi diwajibkan juga bagi perempuan, dengan sebab zakar yang masuk ke dalam
farjinya, sekalipun zakarnya binatang, atau mayit atau anak kecil. Juga diwajibkan
bagi laki-laki yang di-wathi’ (disetubuhi) duburnya.
Mayit yang farjinya dimasuki zakar, apabila sudah dimandikan tidak wajib diulangi
mandinya menurut qaul yang ashaḥḥ. Anak kecil atau orang gila yang di-jima‘,
kedua-duanya menjadi junub. Dan tidak ada khilāf. Kemudian jika anak kecil itu
mandi dan sudah pandai (mumaiyiz), mandinya dianggap sah. Dan tidak wajib
mengulangi mandi sesudah baligh. Walinya wajib memerintah anak-anak kecil yang
sudah pandai (mumaiyiz) untuk mandi serta-merta, sebagaimana dia diwajibkan
memerintah anak-anak kecil untuk berwudhu’.
Dalam masalah wajib mandi di atas, tidak ada perbedaan antara keluar mani atau
tidak. Yang menjadi dalil wajibnya mandi ialah Hadits ‘Ā’isyah r.a. bahwa
Rasūlullāh s.a.w. berkata:
‫ فَ َع ْلتُ ُع أَنَا َو َرسُوْ ُل هللاِ (ص) فَا ْغتَ َس ْلنَا‬،ُ‫ب ْال ُغ ْسل‬
َ ‫إِ َذا ْالتَقَى ْال ِختَانَا ِن أَوْ َمسَّ ْال ِختَانُ ْال ِختَانَ َو َج‬.
“Jika dua kelamin bertemu, atau satu kelamin bertemu dengan kelamin lain,
maka wajiblah mandi. Aku (‘Ā’isyah) dan Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukan
hal yang demikian itu, lalu kami berdua mandi.”
Yang dimaksud iltiqā’ ialah berhadapan. Sebab selamanya tidak akan pernah terjadi
dua kelamin itu beradu, karena kelamin wanita tentu selalu berada di atas (di dalam)
pintu masuknya kelamin laki-laki ketika kelamin laki-laki masuk ke dalam farji. Dan
kadang-kadang dikatakan: iltaq-al-fārisan, artinya ketika dua barisan saling
berhadapan.
Di antara perkara yang mewijabkan mandi ialah menurunkan air mani (keluar mani).
Jadi jika air mani keluar, maka wajib mandi. Keluarnya sama ada dari jalan yang
58

biasa maupun dari lubang pada tulang iga (rusuk) atau dari buah pelir, menurut
madzhab yang kuat. Yang menjadi dalil diwajibkannya mandi tersebab keluar mani
ialah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
‫إِنَّ َما ْال َما ُء ِمنَ ْال َما ِء‬.
“Kewajiban mandi itu dari sebab air (mani).” (Riwayat Muslim).
Dan sama halnya keluarnya pada saat jaga maupun ketika sedang tidur, dengan
syahwat ataupun tidak, sebab melihat kemutlakan Hadits di atas.
Kemudian mani itu mempunyai tanda-tanda tiga macam, yang dapat membedakan
antara mani, madzi, dan wadi. Yaitu:
1. Mani mempunyai bau seperti baunya adunan roti atau mayang korma yang
masih basah. Jika sudah kering baunya seperti bau telur.
2. Keluarnya memancar dengan agak tersendat. Allah ta‘ālā berfirman:
ٍ ِ‫ ِم ْن َما ٍء َدف‬.
‫ق‬
“Dari air yang memancar.” (ath-Thāriq: 6).
3. Terasa enak sewaktu keluar dan sesudahnya, serta menimbulkan kendurnya
zakar dan syahwat menjadi lemah.
Tidak disyaratkan adanya ketiga-tiga tanda itu. Akan tetapi bila ada salah satu di
antara ketiga tanda itu, cukuplah untuk menetapkan bahwa yang keluar itu adalah
mani, tanpa ada khilāf. Perempuan sama dengan laki-laki dalam hal tanda-tanda 
tersebut, menurut qaul yang rajih di dalam kitab ar-Raudhah. Di dalam Syaraḥ
Muslim Imām Nawawī berkata: Tidak disyaratkan harus memancar bagi perempuan.
Ibn-ush-Shalāh, dalam masalah ini mengikuti Imām Nawawī.
Cabang Permasalahan.
Andaikata orang itu bangun dari tidurnya, lalu menemukan cairan putih, kental, dia
tidak wajib mandi. Sebab wadi itu sama dengan mani dalam hal kentalnya dan
putihnya. Akan tetapi dia boleh memilih antara menganggap cairan itu wadi, lalu
mencucinya, atau menganggapnya mani lalu mandi, menurut madzhab yang kuat.
59

Andaikata orang itu mandi jenabah, lalu ia mengeluarkan sisa air maninya, wajib
mengulangi mandinya, tanpa ada khilāf. Baik keluarnya sebelum kencing maupun
sesudahnya.
Andaikata orang itu melihat mani pada sarungnya atau di tempat tidur yang tidak ada
orang lain yang menidurinya kecuali dirinya, dan dia tidak ingat adanya mimpi
keluar mani, maka wajib mandi menurut qaul shaḥīḥ yang sudah di-nash, yang
dipastikan oleh sebagian banyak dari para Ulama.
Al-Māwardī berkata: Demikian itu apabila maninya ada di bagian dalam sarung.
Apabila ada di bagian luarnya, maka tidak wajib mandi. Sebab boleh jadi mani itu
dari orang lain.
Andaikata orang itu terasa akan keluar mani, lalu ia menahan zakarnya supaya
maninya tidak keluar seketika itu, dan ia tidak melihat keluarnya mani itu, maka
tidak wajib mandi. Wallāhu a‘lam.
 
Di antara perkara yang mewajibkan mandi ialah mati. Mati itu menyebabkan wajib
mandi. Sebab Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a., bahwa Rasūlullāh
s.a.w. berkata mengenai seorang yang sedang ihram mati karena tersepak oleh
untanya:
‫اِ ْغ ِسلُوْ ا بِ َما ٍء َو ِس ْد ٍر‬.
“Mandikanlah orang ini dengan air dan daun salam.” (Riwayat Bukhārī dan
Muslim).
Menurut lahirnya Hadits, memandikan orang mati itu hukumnya wajib.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(ُ‫اس َو ا ْل ِواَل َدة‬
ُ َ‫ض َو النِّف‬
ُ ‫ َو ِه َي ا ْل َح ْي‬،‫سا ُءـ‬ ُّ ‫و ثَاَل ثَةٌ ت َْخت‬.)
َ ِّ‫َص بِ َها الن‬ َ
[Yang tiga perkara, di antara hal-hal yang mewajibkan mandi, itu khusus untuk
perempuan. Yaitu haidh, nifas dan bersalin].
Di antara sebab-sebab yang mewajibkan mandi ialah haidh. Allah ta‘ālā berfirman:
ُ ‫ فَإ ِ َذا تَطَهَّرْ نَ فَأْتُوْ ه َُّن ِم ْن َحي‬، َ‫طهُرْ ن‬
ُ‫ْث أَ َم َر ُك ُم هللا‬ ْ َ‫ َو اَل تَ ْق َربُوْ ه َُّن َحتَّى ي‬.
60

“Janganlah kamu mendekati perempuan-perempuan yang sedang haidh, hingga


mereka suci. Apabila sudah suci, bolehlah kamu mendatangi mereka menurut
apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu.” (al-Baqarah: 222).
Di dalam ayat tersebut, Allah melarang kepada kita mendekati wanita-wanita yang
dalam keadaan haidh hingga batas-batas waktu yang ditentukan, yaitu apabila
mereka telah suci.
Diriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:
‫صلِّ ْي‬ ِ ‫َب قُ ْد ُرهَا فَا ْغ ِسلِ ْي َع ْن‬
َ ‫ك ال َّد َم َو‬ َ ‫ت ْال َح ْي‬
َّ ‫ضةُ فَ َد ِعي ال‬
َ ‫ فَإ ِ َذا َذه‬،َ‫صاَل ة‬ ِ ‫إِ َذا أَ ْقبَ ْل‬.
“Jika telah datang darah haidh, maka tinggalkanlah shalat. Dan jika telah hilang
hitungan haidh, bersihkanlah darah itu dari badanmu dan shalatlah.” (Riwayat
Bukhārī dan Muslim).
Dia dalam riwayat Imām Bukhārī, kata-katanya demikian:
َ ‫ثُ َّم ا ْغتَ ِسلِ ْي َو‬.
‫صلِّ ْي‬
“Kemudian mandilah dan shalatlah!”
Nifas sama dengan haidh dalam hal mewajibkan mandi, dan pada kebanyakan
hukum-hukumnya.
Di antara perkara yang mewajibkan mandi lagi ialah wilādah (melahirkan anak).
Kewajiban mandi bagi perempuan yang melahirkan ini terdapat dua ‘illat.
Pertama: Wilādah itu tempat diduga keluarnya darah. Sedangkan hukum itu boleh
berhubungan dengan hal yang diduga. Buktinya, tidur boleh membatalkan wudhū’,
karena tidur itu tempat yang diduga adanya hadats.
Kedua: Yaitu yang dikatakan oleh Jumhur Ulama, bahwa anak itu adalah mani yang
telah bergumpal.
Khilāf dalam masalah ini akan tampak faedahnya apabila seorang wanita yang
melahirkan bayi tidak melihat adanya basah-basah. Menurut qaul yang pertama, dia
tidak wajib mandi. Menurut ‘illat yang kedua, yaitu yang mengatakan bahwa anak
itu adalah mani yang bergumpal, wanita itu wajib mandi. Qaul yang kedua ini yang
rājiḥ.
61

Juga diwajibkan mandi sebab pengguguran (mengeluarkan) gumpalan darah atau


gumpalan daging menurut qaul yang rājiḥ. Sebagian Ulama ada yang menetapkan
wajib mandi dengan pasti, (artinya tidak ada khilāf), sebab mengeluarkan gumpulan
daging. Wallāhu a‘lam.

Fasal

Perihal Mandi Wajib

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:


(‫س ِة إِنْ َكانَتْ َعلَى بَ َدنِ ِه‬ ْ َ‫س ِل ثَاَل ثَةُ أ‬
َ ‫ النِّيَّةُ َو إِزَ الَةُ النَّ َجا‬:‫شيَا َء‬ ُ ِ‫ َو فَ َرائ‬:‫ص ٌل‬
ْ ‫ض ا ْل ُغ‬ ْ َ‫ف‬.)

[Fardhunya mandi ada tiga perkara: Yaitu niat, menghilangkan najis jika pada
badannya terdapat najis].
Niat mandi hukumnya wajib, sebagaimana dalam wudhu’. Sebab sabda Nabi
Muḥammad s.a.w. yang bersifat umum:
ِ ‫إِنَّ َما اأْل َ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬
‫ت‬
“Amal menjadi sah apabila disertai dengan niat.”
Tempatnya niat ialah pada permulaan bagian tubuh yang dibasuh. Caranya,
hendaknya orang yang junub berniat menghilangkan janabah atau menghilangkan
hadats besar dari seluruh badan.
Andaikata orang itu berniat menghilangkan hadats tanpa menyebut janābah dan
tidak menyebut lainnya, mandinya sah menurut qaul yang ashaḥḥ. Sebab yang
dimaksud hadats itu adalah untuk mengatakan sesuatu yang mencegahnya dari shalat
dan lain-lain dengan cara apa saja dikira-kirakan, padahal dia sudah berniat untuk
itu.
Andaikata orang itu berniat menghilangkan hadats kecil dengan sengaja, tidak sah
mandinya menurut qaul yang ashaḥḥ. Sebab ia telah mempermain-main.
62

Andaikata orang itu tersalah (tidak sengaja), dia menyangka hadatsnya kecil,
janābah-nya tidak terangkat selain dari anggota wudhu’nya.
Dalam masalah anggota wudhu’ ini, ada dua wajah. Qaul yang rājiḥ, maka janābah-
nya hanya terangkat dari muka, tangan dan kedua kaki. Sebab membasuh ketiga-tiga
anggota tersebut hukumnya wajib dalam kedua hadats (besar dan kecil). Jadi apabila
dia membasuh untuk kedua hadats tersebut, dengan niat membasuh yang diwajibkan,
maka dianggap cukup, tetapi tidak termasuk kepala menurut qaul yang rājiḥ. Sebab
yang diniati pada bagian kepala adalah mengusap. Sedangkan mengusap belum
cukup untuk menjadi gantinya membasuh. Andaikata orang yang junub itu berniat
mencari kewenangan suatu perkara yang bergantung kepada mandi, seperti shalat,
tawaf membaca al-Qur’ān, mandinya dianggap cukup atau sah.
Andaikata orang yang junub itu berniat hendak memperoleh kewenangan suatu
perkara yang disunnatkan mandi, seperti mandi Juma‘at dan lain sebagainya,
mandinya tidak dianggap cukup bagi orang itu. Sebab dia tidak berniat sesuatu yang
wajib bagi dirinya.
Andaikata orang yang junub itu berniat mandi yang diwajibkan atau berniat
fardhunya mandi, mandinya dianggap cukup, tanpa ada khilāf. Demikian kata Imām
Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah.
Perempuan haidh hendaknya berniat menghilangkan hadats haidh. Jadi andaikata dia
berniat untuk menghilangkan janābah-nya dengan disengaja, mandinya sah.
Demikian keterangan Imām Nawawī di dalam Syarḥ-ul-Muhadzdzab.
Perempuan yang nifas hendaknya berniat menghilangkan hadats nifas. Andaikata
perempuan yang nifas itu berniat menghilangkan hadats haidh, Ibnu Rif‘ah berkata:
Tidak sah mandinya. Al-Asnā’ī berkata: Ada baiknya apabila mandinya dianggap
sah.
Ketahuilah, bahwa mendahulukan menghilangkan najis itu menjadi syarat sahnya
mandi. Jadi andaikata ada pada badan seseorang itu najis, lalu ia membasuh seluruh
badannya dengan air dengan niat menghilangkan hadats najis, maka ia dianggap suci
dari najis.
63

Apakah hadatsnya juga dianggap hilang? Terdapat khilāf. Qaul yang rājiḥ menurut
Imām Rāfi‘ī, tidak hilang hadatsnya. Qaul yang rājiḥ di dalam tambahan kitab ar-
Raudhah, hilang hadatsnya.
Asal timbulnya perbedaan ini adalah dalam masalah apakah air itu mempunyai
kekuatan menghilangkan hadats dan najis sekaligus ataukah tidak? Kemudian Imām
Nawawī di dalam Syarḥu Muslim sependapat dengan Imām Rāfi‘ī bahwa sekali
basuhan itu tidak boleh mencukupi. Wallāhu a‘lam.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
َ َ‫ش ْع ِر َو ا ْلب‬
(‫ش َر ِة‬ ُ ُ‫صا ُل ا ْل َما ِء إِلَى أ‬
َّ ‫ص ْو ِل ال‬ َ ‫و إِ ْي‬.)
َ
[Dan menyampaikan air hingga ke pangkal-pangkal rambut dan kulit].
Di dalam mandi janābah, diwajibkan meratakan air dengan dibasuh hingga ke
seluruh rambut dan kulit. Baik rambut yang sedikit maupun rambut yang banyak,
rambut yang tipis maupun rambut yang tebal, rambut kepala maupun rambut yang
ada di badan, baik pangkalnya rambut maupun rambut-rambut yang terurai.
Imām Rāfi‘ī berkata: Dalilnya ialah karena Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
َ‫ فَبُلُّوا ال َّشعُوْ َر َو أَ ْنقُوا ْالبَ َش َرة‬،ٌ‫تَحْ تَ ُك ِّل َش ْع َر ٍة َجنَابَة‬.
“Di bawah tiap-tiap rambut terdapat janābah. Untuk itu basahilah rambut-rambut
itu dan bersihkanlah kulit badanmu.”
Hadits ini dha‘īf dengan disepakati oleh para Ulama ahli Hadits yang hafal Hadits
(ḥuffāzh). Di antaranya ialah Imām Syāfi‘ī, Imām Bukhārī, dan bahkan Imām
Nawawī. Akan tetapi, bagi wajibnya membasuh pangkal rambut itu, sebagian Ulama
ada menggunakan hujjah dari sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
ُ‫ب َك َّر َم هللا‬ َ ‫ قَا َل َعلِ ُّي بْنُ أَبِ ْي‬.…‫ار‬
ٍ ِ‫طال‬ ِ َّ‫ض َع َش ْع َر ٍة ِم ْن َجنَابَ ٍة لَ ْم يَ ْغ ِس ْلهُ يُ ْف َع ُل بِ ِه َك َذا َو َك َذا ِمنَ الن‬ِ ْ‫ك َمو‬ َ ‫َم ْن تَ َر‬
ُ‫ْت َشع َْر َر ْأ ِس ْي َو َكانَ يَج ُُّز َش َع َره‬ ُ ‫ فَ ِم ْن ثَ َّم عَا َدي‬:ُ‫ َوجْ هَه‬.
“Barang siapa yang meninggalkan tempat satu rambut saja dari janābah-nya,
yang mana ia tidak membasuhnya, ia akan diperlakukan demikian dan demikian
di neraka…. ‘Alī bin Abī Thālib k.w. berkata: Oleh karena itulah, aku selalu
membasuh rambut kepalaku. Dan beliau memotong rambutnya.”
64

Hadits ini diriwayatkan oleh Abū Dāūd dan beliau menganggapnya dha‘īf. Jadi
Hadits ini dilihat dari kaedahnya termasuk Hadits shaḥīḥ dan ḥasan. Imām Nawawī
berkata: Hadits tersebut Hadits ḥasan. Al-Qurthubī berkata: Hadits tersebut Hadits
shaḥīḥ.
Ketahuilah, bahwa perempuan yang menyanggul rambutnya, jika hendak mandi
wajib melepaskan sanggulnya, apabila airnya tidak boleh tembus ke dalamnya tanpa
dilepaskan. Dan tidak wajib melepaskan sanggulnya, apabila airnya boleh sampai
(meratai) ke dalamnya.
Di dalam bab ini, ada sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah (istri
Nabi). Hadits ini disebut di dalam kitab Shaḥīḥ Muslim. Ummu Salamah berkata:
Aku mengutarakan perihalku, kataku: “Ya Rasūlullāh! Aku ini perempuan yang
mengencangkan ikatan rambut kepalaku. Apakah aku harus melepaskan ikatan
rambut itu untuk mandi janābah? Rasūlullāh menjawab: Cukuplah kamu
menyiramkan air ke kepalamu sebanyak tiga cakupan, kemudian kamu ratakan air
itu ke seluruh kepala untuk kamu menjadi suci.” Hadits ini diperkirakan oleh para
Ulama bagi rambut-rambut yang tipis atau jarang, dan ikatannya itu tidak dapat
mencegah datangnya air ke dalam ikatan dan kulitnya. Hal ini berdasarkan dari hasil
kumpulan dalil-dalil.
Apakah rambut yang kusut di dalamnya dapat dimaafkan? Ada khilāf. Qaul yang
rājiḥ menurut Imām Rāfi‘ī, dimaafkan karena sulitnya. Qaul yang rājiḥ menurut
Imām Nawawī, tidak dapat dimaafkan. Sebab rambut yang kusut itu boleh dipotong
tanpa menimbulkan bahaya dan tidak sakit. Imām Nawawī berkata: Pendapatku ini
adalah penjelasan dari kata Imām asy-Syāfi‘ī dan Jumhur Ulama. Wallāhu a‘lam.
Adapun kata “basyarah” artinya kulit. Semua orang yang mandi janabah wajib
membasuh seluruh bagian tubuh yang kelihatan, sehingga apa yang tampak pada
lubang-lubang telinga secara mutlak, dan juga semua pecah-pecah pada kulit badan
wajib dibasuh.
Juga wajib dibasuh, lipatan-lipatan kelamin bagi orang yang kulup kelaminnya.
Demikian juga bahagian yang tampak (lahir) pada hidungnya orang yang dipotong
65

hidungnya dan bahagian yang tampak pada farjinya perempuan janda ketik ia duduk
menjongkok untuk berak, menurut qaul yang rājiḥ. Orang yang mandi janabah tidak
wajib berkumur-kumur dan menghirup air dengan hidung menurut Qaul yang
ashaḥḥ. Wallāhu a‘lam.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(ُ‫ض ْو ُء قَ ْبلَه‬ ْ ‫ َو َغ‬،ُ‫س ِميَة‬
ُ ‫ َو ا ْل ُو‬،‫س ُل ا ْليَ َد ْي ِن قَ ْب َل إِد َْخالِ ِه َما اإْل ِ نَا َء‬ ْ َ‫سةُ أ‬
ْ َّ‫ الت‬:‫شيَا َء‬ َ ‫سنَنُهُ َخ ْم‬
ُ ‫و‬.)
َ
[Sunnat-sunnatnya mandi itu ada lima. Yaitu membaca basmalah, membasuh kedua
tangan sebelum dimasukkan ke dalam wadah air dan berwudhu’ sebelum mandi.]
Di dalam mandi janābah itu, terdapat amalan-amalan yang disunnatkan sebagaimana
dalam wudhu’. Di antaranya ialah membaca basmalah (Bismillāh-ir-raḥmān-ir-
raḥīm) dan membasuh tapak tangan sebelum dimasukkan ke dalam wadah air.
Masalah ini sudah saya terangkan dengan jelas di dalam bab wudhu’. Mandi itu
sama dengan wudhu’. Demikian kata Imām Nawawī di dalam kita ar-Raudhah.
Ketahuilah, bahwa kebanyakan sunnat-sunnat yang ada di dalam wudhu’, itu juga
yang terdapat di dalam mandi. Di dalam satu wajah, membaca basmalah itu tidak
disunnatkan di dalam mandi. Kalau wudhu’ sebelum mandi, apakah itu sunnat
ataukah wajib? Ada khilāf. Masing-masing dicabangkan pada masalah: Apakah
keluarnya air mani itu boleh merusak wudhu’ atau tidak? Apabila kita mengatakan
bahwa keluar ari mani itu boleh membatalkan wudhu’, maka wudhu’ itu tidak
termasuk ke dalam kesunnatannya mandi. Menurut qaul ini, wudhu’ boleh termasuk
ke dalam mandi menurut madzhab yang kuat. Dan wudhu’ ini wajib diniati
tersendiri. Imām Rāfi‘ī berkata: Sebabnya, tidak ada orang yang mengatakan bahwa
orang itu harus berwudhu’ yang tersendiri dan kemudian berwudhu’ lagi untuk
menjaga kesempurnaan mandinya.
Apabila kita mengatakan bahwa keluar air mani itu tidak merusak wudhu’, yaitu
menurut qaul yang di-tarjīḥ-kan oleh Imām Rāfi‘ī dan Imām Nawawī, maka wudhu’
itu termasuk ke dalam kesunnatannya mandi. Dia tidak perlu diasingkan dengan niat
yang tersendiri.
66

Kesunnatan wudhu’ dapat diperoleh dengan mendahulukan wudhu’nya daripada


mandinya, ataupun mengkemudiankannya, atau dengan mendahulukan sebagian dari
wudhu’ itu dan mengakhirkan sebagiannya. Manakah yang lebih utama? Ada dua
qaul. Menurut qaul yang rājiḥ, lebih utama mendahulukan wudhu’ hingga
sempurna. Karena kata Siti ‘Ā’isyah r.a.:
َّ ‫ َكانَ َرسُوْ ُل هللاِ (ص) إِ َذا ا ْغتَ َس َل ِمنَ ْال َجنَابَ ِة تَ َوضَّأ َ ُوضُوْ َءهُ لِل‬.
‫صاَل ِة‬

“Adalah Rasūlullāh s.a.w. apabila mandi dari janabah, beliau berwudhu’ seperti
wudhu’nya ketika hendak shalat.” (Riwayat Bukhārī dan Muslim).
Qaul yang lain, disunnatkan mengakhirkan membasuh tapak kaki hingga mandinya
selesai. Sebab adanya Hadits yang diriwayatkan oleh Maimūnah r.a.:
‫ َكانَ يُؤَ ِّخ ُر َغس َْل قَ َد َم ْي ِه‬.
“Bawa Rasūlullāh s.a.w. selalu mengakhirkan membasuh kedua tapak kakinya.”
(Riwayat Bukhārī).
Hadits ini diriwayatkan oleh Imām Bukhārī dengan sharīḥ (jelas), namun al-Qādhī
Ḥusain berkata: Boleh memilih, karena kedua-duanya adalah riwayat yang shaḥīḥ.
Faedah:
Apabila kita mencabangkan kepada masalah “keluar mani itu tidak merusak wudhu”
yaitu menurut qaul yang shaḥīḥ menurut Imām Rāfi‘ī dan Imām Nawawī, maka
boleh terjadi janābah itu bersih dari hadats kecil dalam beberapa masalah. Di
antaranya masalah, andaikata seorang laki-laki membalut zakarnya dengan kain lalu
memasukkannya ke dalam farjinya perempuan. Di antaranya lagi, ketika mani itu
keluar, padahal dia sedang tidur dalam posisi pantatnya menetap di atas tanah.
Demikian juga keluarnya ari mani yang disebabkan oleh melihat atau membayang-
bayangkan sesuatu karena kuatnya syahwat. Dan masalah, andaikata orang itu
memasukkan zakarnya ke dalam duburnya binatang atau duburnya laki-laki lain.
Semoga Allah menyelamatkan diri kita dari hal-hal tersebut. Wallāhu a‘lam.
 
67

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:


ْ ُ‫ َو تَ ْق ِد ْي ُم ا ْليُ ْمنَى َعلَى ا ْلي‬،ُ‫ َو ا ْل ُم َوااَل ة‬،‫س ِد‬
(‫س َرى‬ َ ‫و إِ ْم َرا ُر ا ْليَ ِد َعلَى ا ْل َج‬.)
َ
[Dan menjalankan (menggosok-gosokkan) tangan di atas jasadnya. Dan berturut-
turut, dan mendahulukan yang kanan daripada yang kiri.]
Di antara sunnat-sunnatnya mandi ialah menggosok-gosok badan agar kulitnya
menjadi bersih. Juga membasahi rambut dan meneliti anggota yang bengkok-
bengkok dan yang berkeluk seperti dua telinga dan lipatan-lipatan pada perut. Itu
semua perlu diteliti sebelum mencurahkan air di atas kepala. Hal itu perlu sekali
dilakukan untuk menghindarkan isrāf (berlebihan) dalam penggunaan air, di sampin
lebih memantapkan sampainya air pada kulit.
Di antara sunnat-sunnatnya mandi ialah berturut-turut dan mendahulukan yang
kanan daripada yang kiri. Sebab mandi janabah itu termasuk ibadah. Jadi, juga
disunnatkan berturut-turut dan mendahulukan yang kanan sebagaimana dalam
wudhu’.
Di antara sunnat-sunnatnya mandi ialah memantapkan niat hingga selesainya mandi.
Memulai dari anggota wudhu’, kemudian kepala, kemudian bahagian badan yang
sebelah kanan lalu yang sebelah kiri. Dan membasuhnya tiga kali-tiga kali seperti
halnya dalam wudhu’. Apabila orang itu mandi di sungai atau yang semisalnya,
hendaklah ia menyelam tiga kali. Setiap kali selam supaya dia menggosok-gosok
badannya.
Disunnatkan hendaknya airnya tidak kurang dari satu shā‘, dan air wudhu’nya tidak
kurang dari satu mud. Satu mud sama dengan berat air sepertiga paun Baghdād,
menurut madzhab yang kuat. Ada yang mengatakan: Dua paun Baghdād. Satu shā‘
sama dengan empat mud.
Disunnatkan, hendaknya madinya tidak di dalam air yang bertakung. Dan setelah
mandi supaya membaca:
68

ُ‫ َو أَ ْشهَ ُد أَ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُه‬،ُ‫ك لَه‬


َ ‫أَ ْشهَ ُد أَ ْن اَل إِلهَ إِاَّل هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي‬.
“Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang saya sembah dan saya taati kecuali
Allah. Tuhan Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi
bahwa Muḥammad itu adalah hamba dan Utusan Allah.” Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan.
Orang Islam tidak boleh mandi di hadapan orang ramai dengan membuka auratnya.
Yang melanggar ketentuan ini, boleh di-ta‘dzīr yang sesuai dengan keadaan orang
itu.
Orang-orang yang berada di tempat orang yang sedang mandi dengan telanjang,
haram membiarkan begitu saja. Bahkan mereka wajib ingkar. Apabila mereka
sekalian mendiamkan diri, mereka semuanya berdosa dan boleh di-ta‘dzīr.
Boleh mandi dengan telanjang di tempat-tempat yang sunyi. Akan tetapi yang lebih
utama ialah memberi tabir. Sebab Allah ta‘ālā itu lebih berhak dimalui.
Dan di dalamnya mata tidak wajib dibasuh dan juga tidak disunnatkan. Dan juga
tidak disunnatkan memperbarui mandi menurut qaul yang rājiḥ. Lain halnya dengan
wudhu’. Sebab di dalam wudhu’ disunnatkan memperbarui. Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan.
Andaikata orang itu berhadats pada saat pertengahan mandinya, boleh ia
menyempurnakan mandinya. Hadats yang baru tidak akan menghalang sah
mandinya. Akan tetapi orang tersebut tidak boleh shalat sebelum berwudhu’.
Wallāhu a‘lam.
69

Fasal
Perihal Mandi Sunnat

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:


ُ ‫ َو ا ْل ُخ‬، ُ‫س ْوف‬
( ُ‫س ْوف‬ ُ ‫ َو ا ْل ُك‬،‫سقَا ُء‬ ِ ‫ َو ا ْل ِع ْيد‬،ُ‫ ا ْل ُج ُم َعة‬: ‫ساًل‬
ْ ِ ‫ َو ااْل‬،‫َان‬
ْ ِ ‫ست‬ ْ ‫ش َر ُغ‬ َ ُ‫سنُ ْونَة‬
َ ‫س ْب َعةَ َع‬ َ ‫ َو اأْل َ ْغ‬:‫ض ٌل‬
ْ ‫سا ُل ا ْل َم‬ ْ َ‫ف‬.)
[Mandi-mandi yang disunnatkan ada tujuh belas. Yaitu mandi Jum‘at, mandi dua
hari raya, mandi Istisqa’, mandi gerhana matahari dan mandi gerhana bulan].
Mandi disunnatkan karena beberapa hal. Di antaranya mandi Jum‘at. Sebagai hujjah
atas kesunnatan mandi Jum‘at ialah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
ْ‫ َم ْن أَتَى ِم ْن ُك ُم ال ُج ُم َعةَ فَ ْليَ ْغتَ ِسل‬.
“Barang siapa yang hendak mendatangi (shalat) Jum‘at, hendaklah ia mandi.”
(Riwayat Muslim).
Hadits tersebut, oleh sebagian Ulama dibuat hujjah untuk menetapkan wajibnya
mandi Jum‘at. Beliau berkata: Kalimat perintah “hendaklah ia mandi”, menunjukkan
wajibnya sesuatu yang diperintahkan. Kalimat wajib ini telah disebut dengan jelas di
dalam Hadits lain. Lafazhnya:
‫ ُغ ْس ُل ْال ُج ُم َع ِة َوا ِجبٌ َعلَى ُك ِّل ُمحْ تَلِ ٍم‬.
“Mandi Jum‘at hukumnya wajib bagi tiap-tiap orang yang sudah baligh.”
Sekelompok Ulama salaf ada yang menyatakan wajibnya mandi Jum‘at. Mereka
meriwayatkan wajibnya mandi Jum‘at tersebut dan sebagian sahabat r.a. Wajibnya
mandi Jum‘at adalah qaul-nya Ulama Zhāhiriyyah dan diriwayatkan oleh Ibn-ul-
Mundzir dari Imām Mālik. Dan oleh al-Khaththābī dari Imām Mālik dan al-Ḥasan
al-Bashrī.
Menurut madzhab Syāfi‘ī, mandi Jum‘at hukumnya sunnat. Seperti apa yang
dikatakan oleh Jumhur Ulama dahulu kala maupun yang sekarang. Yaitu yang
terkenal dari madzhab Imām Mālik dan para sahabatnya. Yang dijadikan hujjah oleh
Jumbur Ulama ialah Hadits yang shaḥīḥ-shaḥīḥ.
Di antara Hadits-hadits tersebut ialah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
70

َ ‫ َو َم ِن ا ْغتَ َس َل فَ ْال ُغ ْس ُل أَ ْف‬،‫ت‬


‫ض ُل‬ ْ ‫ َم ْن تَ َوضَّأ َ يَوْ َم ْال ُج ُم َع ِة فَبِهَا َو نِ ْع َم‬.
“Barang siapa yang berwudhu’ pada hari Jum‘at, itu adalah perbuatan yang
baik. Dan barang siapa yang mandi, perlu diketahui bahwa mandi itu lebih utama
daripada wudhu’.”
Imām Nawawī berkata: Hadits ini Hadits shaḥīḥ.
Di antara Hadits yang menerangkan kesunnatan mandi Jum‘at ialah sabda Nabi
Muḥammad s.a.w. yang artinya: “Hendaknya kamu mandi Jum‘at.” Di antaranya
lagi ialah Haditsnya ‘Utsmān ketika beliau masuk ke masjid, dan pada waktu itu,
‘Umar bin al-Khaththāb sedang berkhutbah dan ‘Utsmān meninggalkan mandi.
(Hadits ini disebut oleh Imām Muslim). Kemudian ‘Utsmān dibiarkan oleh ‘Umar
dan para muslimin yang hadir pada shalat Jum‘at itu. Mereka adalah orang-orang
yang ahli dalam menghuraikan dan menetapkan hukum. Andaikata mandi itu wajib,
tentu ‘Utsmān tidak akan dibiarkan oleh ‘Umar dan ia tentu dipaksa mandi oleh para
hadirin Jum‘at. Jadi kalau begitu perintah mandi Jum‘at ditanggungkan kepada
hukum sunnat. Karena hasil dari mengumpulkan berbagai dalil tadi. Dan kata wājib
dalam Hadits di muka, diartikan untuk mengukuhkan. Seperti ucapan: ḥaqquka
wājibun ‘alayya. Artinya: Hakmu adalah wajib atasku.
Caranya mandi Jum‘at adalah sebagaimana yang telah diterangkan di muka. Bermula
waktunya ialah dengan terbitnya fajar hari Jum‘at menurut madzhab yang kuat.
Menurut madzhab yang syadz (langka) dan madzhab ini banyak ditentang oleh
sebagian banyak Ulama, disebutkan bahwa masuknya waktu mandi Jum‘at ialah
sebelum terbitnya fajar seperti mandi hari raya.
Disunnahkan, mandinya hendaknya apabila sudah mendekati berangkat menuju
Jum‘at (masjid). Sebab yang dimaksudkan mandi ialah supaya bau-bau yang tidak
sedap akan hilang. Yaitu bau-bau yang timbul dari sebab berdesak-desakan, kotoran
dan lain-lain.
Apakah mandi Jum‘at itu disunnatkan kepada seluruh umat Islam sebagaimana
mandi hari raya ataukah tidak? Menurut qaul yang shaḥīḥ, mandi Jum‘at hanya
71

disunnatkan bagi orang-orang yang mendatangi shalat Jum‘at saja. Baik orang itu
wajib Jum‘at maupun tidak.
Andaikata orang itu junub sesudah mandi Jum‘at, sebab jima‘ atau sebab lainnya,
janābah-nya tidak membatalkan mandi Jum‘atnya. Jadi orang tersebut cukup mandi
untuk janābah.
Andaikata orang itu tidak dapat mandi karena tidak ada air atau karena pada
tubuhnya terdapat luka, orang itu boleh bertayammum (sebagai ganti mandinya) dan
dia mendapatkan fadhilah dari mandi Jum‘atnya. Demikian kata sebagian Ulama
Madzhab Syāfi‘ī. Yaitu qaul yang shaḥīḥ. Dikiaskan dengan mandi-mandi sunnat
lainnya ketika tidak berdaya untuk mandi. Wallāhu a‘lam.
Di antara mandi-mandi yang disunnatkan ialah mandi dua hari raya. Yaitu hari raya
Adhḥā dan hari raya Fithri. Jadi bagi setiap orang Islam disunnatkan mandi untuk
menyambut dua hari raya tersebut. Sebab kata Ibnu ‘Abbās r.a.:
ْ ِ‫ َكانَ َرسُوْ ُل هللاِ (ص) يَ ْغتَ ِس ُل يَوْ َم ْالف‬.
‫ط ِر َو يَوْ َم اأْل َضْ َحى‬
“Adalah Rasūlullāh s.a.w. mandi pada hari raya Fithri dan pada hari raya Adhḥā.”
‘Umar dan ‘Alī r.a. juga mandi untuk menyambut dua hari raya tersebut. Demikian
pula Ibnu ‘Umar. Lain daripada alasan tersebut, hari raya adalah merupakan tempat
berkumpulnya orang Islam. Jadi disunnatkan mandi, yakni dikiaskan dengan mandi
Jum‘at.
Mandi hari raya boleh dikerjakan sesudah terbit fajar, tanpa ada khilāf. Dan boleh
dikerjakan sebelum terbit fajar menurut qaul yang rājiḥ. Akan tetapi hanya pada
separuh malam yang akhir menurut qaul yang rājiḥ. Ada yang mengatakan, boleh
dikerjakan pada keseluruhan malam. Wallāhu a‘lam.
Di antara mandi-mandi yang disunnatkan lagi ialah mandi istisqa’ (mandi untuk
melaksanakan shalat istisqa’ – memohon turunnya hujan). Mandi istisqa’ sangat
disunnatkan, karena untuk menghilangkan bau-bau yang tidak sedap. Sebab istisqa’
adalah tempat dianjurkan berkumpul. Jadi disamakan dengan Jum‘at.
Di antara mandi-mandi yang disunnatkan ialah mandi gerhana matahari dan gerhana
bulan. Untuk melafazhkan gerhana boleh menggunakan Kāf (Kusuf) dan boleh
72

menggunakan Khā’ (Khusuf). Artinya, manakala sinar matahari dan bulan telah
lenyap. Ada yang mengatakan: Kalau Kusuf dengan “kāf” artinya gerhana matahari,
dan kalau Khusuf dengan “khā’” artinya gerhana rembulan. Demikian kata al-
Jauhari. Akan tetapi beliau juga menandaskan bahwa kusuf dan khusuf semuanya
menggunakan arti gerhana matahari dan gerhana bulan.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(َ‫ َو ا ْل ُم ْغ َمى َعلَ ْي ِه إِ َذا أَفَاق‬،َ‫ َو ا ْل َم ْجنُ ْونُ إِ َذا أَفَاق‬،‫سلَ َم‬
ْ َ‫ َو ا ْل َكافِ ُر إِ َذا أ‬،‫ت‬ ْ ‫س ُل ِمنْ ُغ‬
ِ ِّ‫س ِل ا ْل َمي‬ ْ ‫و ا ْل ُغ‬.)
َ
[Dan sunnat mandi bagi seseorang seusai memandikan mayyit, dan mandinya orang
kafir tatkala masuk Islam. Juga mandinya orang gila dan orang ayan ketika keduanya
telah sembuh].
Mandi karena setelah memandikan mayyit itu hukumnya wajib atau sunnat? Ada dua
qaul. Menurut qaul qadīm, hukumnya wajib. Sebab memandikan mayyit itu wajib.
Menurut qaul jadīd tidak wajib, tetapi sunnat.
Yang menjadi dalil bagi disunnatkannya mandi setelah memandikan mayyit ialah
sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
ْ‫ َو َم ْن َح َملَهُ فَ ْليَتَ َوضَّأ‬، ْ‫ َم ْن َغ َّس َل َميِّتًا فَ ْليَ ْغتَ ِسل‬.

“Barang siapa yang memandikan mayyit hendaknya ia mandi, dan barang siapa
yang memikul mayyit hendaknya berwudhu’.”
At-Tirmidzī berkata: Hadits ini bagus, tetapi Imām Aḥmad mengatakan ia mauqūf,
riwayatnya terhenti kepada Abū Hurairah. Oleh karena itulah, maka Imām Aḥmad
tidak mengatakan wajib.
Imām Syāfi‘ī berkata: Andaikata Hadits ini Hadits shaḥīḥ, tentu aku akan
mengatakan bahwa mandi setelah memandikan mayyit itu wajib.
Di antara mandi-mandi yang disunnatkan ialah mandinya orang kafir ketika masuk
Islam. Diberitakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah menyuruh Qais bin ‘Āshim dan
Tsumāmah bin ‘Utsāl agar mereka berdua mandi. Ketika itu keduanya baru masuk
Islam. Tetapi Nabi Muḥammad tidak mewajibkan mandi Terbukti pernah ada
segerombolan orang yang masuk Islam tetapi Nabi Muḥammad s.a.w. tidak
memerintahkan mereka mandi. Lain daripada itu, Islam itu adalah taubat dari
73

maksiat. Jadi tidaklah diwajibkan mandi, sama sebagaimana taubat dari maksiat-
maksiat yang lain.
Apa yang telah disebutkan tadi hanya orang-orang kafir yang pada waktu kufurnya
tidak pernah mengalami junub. Jika orang kafir itu pada waktu kufurnya mengalami
junub, menurut madzhab yang kuat, wajib mandi setelah masuk Islam. Sebab niatnya
orang kafir tidak sah pada waktu kufurnya.
Di antara mandi-mandi yang disunnatkan ialah mandinya orang gila setelah sembuh.
Demikian juga orang ayan. Sebab orang gila dan orang ayan itu adalah tempat yang
boleh diduga-duga adanya keluar mani.
Imām Syāfi‘ī berkata: Setiap orang yang gila, tentu keluar air mani. Sebagian Ulama
berkata: Jika pada ghalibnya orang yang gila itu keluar air mani, maka sebaiknyalah
mandi itu wajib baginya. Sebagaimana tidur yang boleh merusak wudhu’, karena
tidur itu menjadi tempat yang boleh diduga-duga adanya hadas.
Para Jumhur Ulama pula mengatakan bahwa mandinya orang gila ketika sembuh itu
sunnat, mereka memberikan alasan bahwa tidur adalah tempat yang disangka-sangka
tanpa adanya tanda-tanda hadas sesudah terjaga. Sedangkan mani itu merupakan
sesuatu yang nyata yang boleh dilihat. Wallāhu a‘lam
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫اف‬ ِ ‫ َو لِ َر ْم ِي ا ْل ِج َما ِر الثَّاَل‬،َ‫ف ِب َع َرفَة‬
ِ ‫ َو لِلطَّ َو‬،‫ث‬ ِ ‫ َو ا ْل ُوقُ ْو‬،َ‫ َو د ُُخ ْو ُل َم َّكة‬،‫س ُل ِع ْن َد اإْل ِ ْح َر ِام‬
ْ ‫و ا ْل ُغ‬.)
َ
[Dan mandi ketika hendak ihram, mandi ketika hendak masuk kota Makkah, mandi
untuk wuquf di ‘Arafah, dan mandi karena hendak melempar jamrah yang tiga dan
mandi karena hendak melakukan thawaf].
Mandi yang ada sangkut pautnya dengan ibadah haji itu banyak sekali. Di antaranya
ialah mandi karena hendak ihram. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsābit r.a.:
‫أَ َّن َرسُوْ َل هللاِ (ص) تَ َج َّر َد إِل ِ هْاَل لِ ِه َو ا ْغتَ َس َل‬.
“Bahwa Rasūlullāh s.a.w. menanggalkan pakaiannya untuk ihram dan mandi.”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh at-Tirmidzī, dan beliau mengatakan, Hadits
tersebut Hadits Ḥasan dan Gharīb.
74

Mengenai disunnatkannya mandi karena hendak ihram ini, tidak ada perbedaan
antara laki-laki, anak kecil dan perempuan, walaupun perempuan itu sedang haidh
atau nafas. Sebab Asmā’, anak perempuan ‘Umais istri Abū Bakar ash-Shiddīq r.a.
pernah nifas sewaktu berada di Dzil-Ḥulaifah. Kemudian Rasūlullāh s.a.w.
memerintahkan kepada Asmā’ supaya mandi untuk ihram. Hadits ini diriwayatkan
oleh Imām Muslim.
Bagi laki-laki, tidak dibedakan antara laki-laki yang akil dan laki-laki yang gila. Dan
tidak dibedakan pula antara laki-laki kecil yang dapat membedakan atau sudah pintar
(Mumaiyiz), dan laki-laki kecil yang belum pintar. Kemudian jika orang yang ihram
tidak menemukan air, disunnatkan bertayammum. Jika ia menemukan air tetapi tidak
mencukupi untuk dipergunakan mandi, disunnatkan menggunakannya untuk
wudhu’. Demikian kata al-Baghawī dan al-Muḥāmilī.
Imām Nawawī berkata: bahwa tayammum yang disertai dengan wudhu’ itu lebih
bagus. Jika hanya berwudhu’ saja, tidak baik. Sebab yang diperintahkan itu mandi.
Sedangkan tayammum dapat menggantikan mandi dan wudhu’ tidak dapat.
Berkata al-Asna’ī: Apa yang telah dinashkan oleh Imām Syāfi‘ī itu adalah mengenai
hal disunnatkannya wudhu’ dan meringkas wudhu’ saja tanpa tayammum. Al-Asna’ī
menisbatkan kata-katanya ini pada penukilan yang dilakukan oleh al-Muḥāmilī dan
al-Māwardī. Wallāhu a‘lam.
Di antara mandi yang disunnatkan ialah mandi ketika hendak masuk kota Makkah.
Ibnu ‘Umar, r.a., jika hendak masuk kota Makkah, tentu menginap dulu di Dzī
Thuwan sampai Subuh. Kemudian beliau mandi lalu masuk kota Makkah pada siang
harinya. Disebut-sebut juga bahwa Rasūlullāh s.a.w. itu bermalam di Dzī Thuwan
dan pada paginya beliau mandi kemudian masuk kota Makkah. Hadits ini
diriwayatkan oleh Imām Bukhārī dan Imām Muslim. Adapun lafazhnya,
menggunakan lafazhnya Imām Muslim.
Kemudian, dalam hal disunnatkan mandi bagi orang yang masuk Makkah ini, tidak
dibedakan antara orang yang hendak ihram haji atau orang yang hendak ihram
umrah atau yang tidak menghendaki ihram sama sekali. Imām Syāfi‘ī telah
75

menashkan di dalam kitab al-Umm bahwa orang yang tidak ihram juga disunnahkan
mandi.
Yang dibuat hujjah oleh Imām Syāfi‘ī ialah bahwa Rasūlullāh s.a.w. ketika pada
tahun ditaklukkannya kota Makkah, beliau mandi untuk masuk Makkah. Padahal
pada waktu itu beliau sedang dalam keadaan halal dan memakai wangi-wangian.
Akan tetapi al-Māwardī berkata: Orang yang melakukan ibadah ‘umrah, jika keluar
dari Makkah, kemudian ihram lagi dan mandi demi ihramnya itu, kemudian hendak
masuk Makkah, maka harus dilihat. Jika orang yang ihram itu berada di tempat yang
jauh, seperti di Ji‘ranah atau Ḥudaibiyyah, maka disunnatkan mandi untuk masuk
kota Makkah. Jika ihramnya dari Tan‘īm, tidak disunnatkan mandi karena jaraknya
dekat. Ibnu Rif‘ah berkata: Lebih jelas lagi wajahnya, jika hukum yang demikian itu
diterapkan pada ibadah haji. Wallāhu a‘lam.
Di antara mandi yang disunnatkan ialah mandi karena hendak wuquf di ‘Arafah.
Disunnatkannya mandi tersebut, karena Ibnu ‘Umar r.a. pernah melakukannya. Ibnu
Khal memberitakan tentang mandi untuk wuquf di ‘Arafah itu dari Rasūlullāh s.a.w.
Lain daripada alasan tersebut, ‘Arafah merupakan tempat berkumpulnya orang
banyak. Jadi disunnahkan mandi, karena disamakan dengan Jum‘at.
Di antara mandi sunnat ialah mandi karena hendak melempar jamrah pada hari
tasyrīq. Orang yang ihram, setiap hari disunnatkan mandi. Jadi jumlahnya tiga kali.
Dengan alasan karena tempat melempar jamrah itu, adalah tempat berkumpulnya
para muslimin. Jadi disunnatkan mandi karena disamakan dengan Jum‘at.
Untuk melempar jamrah ‘Aqabah tidak disunnatkan mandi. Karena waktunya sangat
dekat dengan mandinya wuquf. Lain dengan jamrah-jamrah yang lain, yang jarak
waktunya dengan mandi wuquf jauh. Lain daripada itu, waktunya melempar sesudah
matahari tergelincir. Sedangkan saat-saat matahari tergelincir itu adalah masa untuk
istirahat. Oleh karena itu, mandi karena hendak melempar ketiga jamrah itu sesudah
tergelincirnya matahari. Wallāhu a‘lam.
Di antara mandi yang disunnatkan ialah mandi untuk tawaf. Menurut lahirnya lafazh,
yaitu mencakupi tawaf Qudūm, tawaf Ifādhah dan tawaf Wada‘. Imām Syāfi‘ī telah
76

menerangkan secara jelas mengenai kesunnatan mandi karena ketiga-tiga perkara ini
di dalam qaul qadīm. Dengan alasan, pada waktu tawaf para muslimin semua
berkumpul. Oleh karena itu disunnatkan mandi.
Menurut qaul jadīd tidak disunnatkan mandi. Sebab waktu untuk tawaf itu luas. Jadi
tidak ada desakan sebagaimana yang biasa terjadi pada tempat-tempat berkumpulnya
muslimin yang lain. Demikian kata Imām Rāfi‘ī dan Imām Nawawī di dalam kitab-
kitab ar-Raudhah dan Syaraḥ al-Muhadzdzab dan itu pula yang dikehendaki oleh
kitab al-Minhāj. Sebab Imam Nawawi tidak menghitung mandi untuk tawaf sebagai
bagian dari mandi-mandi yang disunnatkan. Akan tetapi di dalam kitab al-Manāsik,
Imām Nawawī berkata: Disunnatkan mandi karena hendak melakukan ketiga-tiga
tawaf tersebut.
Yang menjadi saksi atas kebenaran qaul jadīd (yaitu yang berpendapat tidak
disunnatkan mandi untuk tawaf) ialah sebuah Hadits yang diriwayatkan dari
‘Ā’isyah r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. ketika datang di Makkah, yang beliau kerjakan
pertama-tama yaitu berwudhu’ kemudian tawaf di Baitullāh. Hadits ini diriwayatkan
oleh Imām Bukhārī dan Imām Muslim. Demikian juga alasan disunnatkannya mandi.
Wallāhu a‘lam.
Di sini, pengarang meninggalkan beberapa mandi lain yang disunnatkan. Di
antaranya ialah mandi karena bercanduk (buang darah) dan mandi karena masuk ke
tempat mandi air panas. Kebanyakan para ulama jarang yang menyebutkan
kesunnatan mandi karena kedua perkara ini. Di dalam tambahan kitab ar-Raudhah.
Imām Nawawī berkata: Qaul yang dipilih memastikan kesunnatannya. Pemilik kitab
Jam‘ul-Jawāmi‘ telah menukil mengenai masalah-masalah yang dinash oleh Imām
Syāfi‘ī bahwa beliau telah berkata: Aku menyukai mandi karena bercanduk dan
masuk tempat mandi air panas dan semua perkara yang dapat menyebabkan
perubahan pada jasad.
Dengan begitu, Imām Syāfi‘ī memberi isyarah bahwa hikmah mandi yaitu dengan
adanya canduk badan menjadi berubah dan dengan adanya masuk ke tempat mandi
air panas menyebabkan semua badan terasa lemas. Sedangkan mandi boleh
77

menjadikan badan singsat (langsing (tentang badan)) dan segar kembali. Wallāhu
a‘lam.
Disunnatkan mandi karena i‘tikaf. Kesunnatan i‘tikaf telah dinash oleh Imām
Syāfi‘ī. Juga disunnatkan mandi pada tiap-tiap malam Bulan Ramadhān. Demikian
penukilan al-‘Abbādī dari Imām al-Ḥalīmī.
Dan disunnatkan mandi karena mencukur rambut ari-ari (jawa: jembut). Demikian
kata al-Khaffāf di dalam kitab al-Khisāl. Dan juga disunnatkan mandi karena hendak
masuk ke Madīnat-ur-Rasūl (Madīnah). Demikian kata Imām Nawawī di dalam
kitab al-Manāsik. Adapun mandi karena masuk ke Ka‘bah, hal itu telah dinukil oleh
Ibnu Rif‘ah dari pengarang kitab at-Talkhīsh. Tetapi penukilan itu dianggap salah.
Wallāhu a‘lam.

Fasal
Perihal Mengusap Khuffain (Muzah)

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:


َ ‫ َو أَنْ يَ ُك ْونَا‬،‫ار ِة‬
(‫ساتِ َر ْي ِن‬ َ ‫س ُه َما بَ ْع َد َك َما ِل ا ْلطَّ َه‬ َ ‫ أَنْ يَ ْبتَ ِدى َء لُ ْب‬:َ‫ش َرائِط‬
َ ‫س ُح َعلَى ا ْل ُخفَّ ْي ِن َجائِ ٌز َبثَاَل ثَ ِة‬ ْ ‫ َو ا ْل َم‬:‫ض ٌل‬ ْ َ‫ف‬
‫ْي َعلَ ْي ِه َما‬ِ ‫ َو أَنْ يَ ُك ْونَا ِم َّما يُ ْم ِكنُ ُمتَابَ َعةُ ا ْل َمش‬،‫س ِل ِمنَ ا ْلقَ َد َم ْي ِن‬ْ ‫لِ َم َح ِّل ا ْل َغ‬.)
[Mengusup dua muzah hukumnya “boleh” dengan tiga syarat: –
1. Waktu mengusap muzah harus sesudah suci keseluruhannya.
2. Kedua muzah harus dapat menutupi bagian-bagian yang wajib dibasuh,
andaikan membasuhnya dengan air.
3. Kedua muzah harus cukup kuat andaikata dipakai untuk berjalan-jalan].
Yang menjadi dalil diperbolehkannya mengusap muzah, yaitu sebuah Hadits yang
diriwayatkan oleh Imām Muslim dari sahabat Jarīr r.a. Beliau berkata: Aku melihat
Rasūlullāh s.a.w. kencing, kemudian berwudhu’ dan mengusap kedua muzahnya.
Ulama Ahli Hadits, ketika melihat Haditsnya Jarīr ini terheran-heran. Sebab sahabat
Jarīr masuk Islam baru sesudah turun surat al-Mā’idah. Jadi ayat al-Mā’idah yang
78

menerangkan wajibnya membasuh kedua kaki tidak dapat me-nāsikh (membatalkan)


kewenangan mengusap muzah.
Imām Nawawī dan Ulama lainnya berkata (dan ini telah disepakati oleh Ulama-
ulama yang diperhitungkan kesepakatannya): Bahwa mengusap muzah itu boleh
pada waktu di rumah (dalam negeri) maupun ketika bepergian (musāfir). Baik ada
keperluan maupun tidak ada keperluan. Bahkan diperbolehkan bagi perempuan yang
kerjanya cuma menunggu rumah saja, dan bagi orang yang lumpuh yang tidak boleh
berjalan. Wallāhu a‘lam.
Kaum Rāfidhah dan orang-orang yang mengikuti mereka sangat mengingkari
terhadap kewenangan mengusap muzah. Demikian pula kaum Syī‘ah dan kaum
Khawārij. Imām Ḥasan al-Bishrī berkata: Aku ini pernah menerima Hadits dari
sebanyak tujuh puluh sahabat Rasūlullāh s.a.w., yang kesemuanya menerangkan
bahwa Rasūlullāh s.a.w. itu mengusap kedua muzah.
Mengusap muzah itu telah diriwayatkan dari sahabat Rasūlullāh s.a.w. yang
banyaknya tidak terhitung. Akan tetapi apakah membasuh kedua kaki itu lebih
utama? Sebab menurut yang asal, yang menjadi fardhunya wudhu’ itu adalah
membasuh kaki. Hal ini telah dikatakan oleh Ulama Syāfi‘iyyah dan sekelompok
sahabat Rasūlullāh s.a.w., seperti ‘Umar bin Al-Khaththāb dan putranya yaitu
‘Abdullāh, dan Abū Ayyūb al-Anshārī. Ataukah mengusap muzah itu yang lebih
utama? Seperti apa yang dikatakan oleh sekelompok Tābi‘īn, seperti asy-Sya‘bī,
Ḥammād, dan al-Ḥakam. Masalah ini ada khilāf.
Dari Imām Aḥmad mengatakan bahwa dalam masalah ini terdapat dua riwayat. Qaul
yang rajih di antara keduanya ialah bahwa mengusap muzah itu lebih utama.
Riwayat yang kedua mengatakan bahwa mengusap muzah dan membasuh kaki itu
sama saja. Riwayat yang kedua ini dipilih oleh Imām Ibnul-Mundzir. Beliau
termasuk di antara Ulama Madzhab Syāfi‘ī. Wallāhu a‘lam.
Pada bab ini terdapat banyak Hadits yang In Syā’ Allāh akan saya terangkan pada
tempatnya masing-masing.
79

Apabila kamu benar-benar telah mengetahui semua masalah ini, kamu juga perlu
mengetahui bahwa kewenangan mengusap muzah itu mempunyai dua syarat. Syarat
yang pertama, mengusap muzahnya harus sesudah sempurna bersuci. Jadi andaikata
seseorang membasuh sebelah kaki lalu memakai muzah kemudian membasuh yang
sebelahnya lagi, lalu memakai muzahnya yang lain, maka tidak diperbolehkan
mengusap muzah (mengikut cara ini), karena memakainya sebelum sempurnanya
suci.
Lalu andaikata, pada permulaan memakainya sudah dalam keadaan suci, namun
belum sempat muzah itu sempurna dipakainya tiba-tiba ia berhadas, maka tidak sah
mengusapnya. Demikian ini telah dinash oleh Imām Syāfi‘ī di dalam kitab al-Umm.
Sebab yang diperlukan itu kesempurnaan pemakaiannya, bukan asal sudah masuk
betisnya. Imām Syāfi‘ī mengambil hujjah beberapa Hadits untuk menetapkan
ketidakwenangan mengusap muzah itu. Antaranya Hadits yang diriwayatkan dari al-
Mughīrah r.a. Al-Mughīrah berkata:
‫إِنِّ ْي‬º َ‫ ف‬،‫ا‬ºº‫ا َل َد ْعهُ َم‬ººَ‫ا ق‬ºº‫ْت إِلَى ْال ُخفَّ ْي ِن ألَ ْن ِز َعهُ َم‬
ُ ‫ َوي‬º ‫ ِه أَ ْه‬º ‫ْت إِلَى ِرجْ لَ ْي‬ ُ ‫ْت ْال َو‬
ُ ‫ فَلَ َّما ا ْنتَهَي‬،)‫وْ ِل هللاِ (ص‬º ‫وْ َء لِ َر ُس‬º ‫ض‬ ُ ‫ َكب‬º ‫َس‬
‫أَ ْد َخ ْلتُهُ َما طَا ِه َرتَي ِْن‬.
“Aku menuangkan air wudhu’ kepada Rasūlullāh s.a.w. Ketika sampai pada
gilirannya membasuh kaki, aku membungkuk hendak mencopot kedua muzah
beliau, tapi beliau bersabda: Biarkanlah, jangan dicopot! Sebab aku
memasukkannya ketika dalam keadaan suci.” (Riwayat  Bukhārī dan Muslim).
Lafazh wadhū’ dalam Hadits tersebut, dibaca fatḥah wāw-nya. Dalam Hadits
tersebut, Rasūlullāh s.a.w. mengemukakan ta‘līl (alasan) terhadap kewenangan
mengusap muzah dengan sucinya kedua kaki waktu mengenakan muzah. Padahal
hukum itu selalu berputar menurut ‘illat-nya.
Ada hujjah lain yang lebih jelas daripada Hadits ini, yaitu Hadits yang diriwayatkan
dari Imām Syāfi‘ī dari al-Mughīrah r.a. Al-Mughīrah berkata:
80

‫ إِ َذا أَ ْد َخ ْلتَهُ َما طَا ِه َرتَ ْي ِن‬،‫ نَ َع ْم‬:‫ أَ ْم َس ُح َعلَى ْال ُخفَّ ْي ِن؟ قَا َل‬:ِ‫ت يَا َرسُوْ َل هللا‬
ُ ‫قُ ْل‬.
“Aku mengajukan sesuatu kepada Rasūlullāh s.a.w.: Ya Rasūlullāh, Apakah boleh
aku mengusap dua muzah? Rasūlullāh s.a.w. menjawab: Ya, boleh. Jika kamu
memasukkan kedua kaki itu dalam keadaan suci.”
Syarat yang kedua ialah muzahnya harus masih layak untuk diusap. Kelayakan
muzah untuk diusap mempunyai beberapa syarat:
1. Muzah harus menutupi seluruh kaki yang harus dibasuh andaikata dibasuh.
Jadi andaikata muzahnya pendek sehingga masih ada bagian kaki yang tidak
tertutupi, tidak sah mengusapnya, tanpa khilāf. Sebab yang tampak itu
kewajibannya harus dibasuh, sedangkan yang tertutup fardhunya diusap. Dan
tidak ada orang yang mengatakan, boleh mengumpulkan mengusap dan
membasuh. Maka dimenangkan membasuh, sebab membasuh itu yang asal.
Mengenai kewenangan mengusap muzah yang sobek, menurut Imām Syāfi‘ī terdapat
dua wajah. Qaul qadīm mengatakan, boleh jika sobeknya tidak keterlaluan. Sebab
mengusap muzah itu termasuk Rukhshah (kemurahan – keringanan). Muzah yang
sobek biasanya terjadi pada waktu bepergian, dan pada saat bepergian itu sulit sekali
memperbaiki muzah menurut kebiasaannya. Jadi andaikata kita melarang mengusap
muzah, tentu akan mempersempit pintu Rukhshah.
Qaul yang azhhar wajahnya mengatakan, tidak boleh mengusap muzah yang sobek
dengan alasan yang telah diterangkan di muka. Sebab yang kelihatan itu wajib
dibasuh. Andaikata muzah yang luar saja yang sobek, atau yang dalam saja, boleh
mengusap. Demikian itu apabila yang masih tersisa cukup kuat. Apabila tidak, tidak
boleh mengusap menurut qaul yang shaḥīḥ.
Dikiaskan dengan masalah ini, yaitu andaikata muzah yang luar mengalami robek,
dan muzah yang dalam juga ada yang robek tetapi tidak persis letaknya. Jadi
diperbolehkan mengusap jika yang dalam masih cukup kuat. Jika tidak, maka tidak
boleh mengusap.
Andaikata yang robek itu bagian tapak kaki, tetapi kemudian diikat dengan tali,
maka apabila setelah diikat masih ada bagian kaki yang kelihatan, tidak sah
81

mengusapnya. Jika tidak ada yang kelihatan, boleh mengusap menurut qaul yang
shahih yang telah dinash oleh Imām Syāfi‘ī. Jadi kalau muzah itu ada yang
berlubang pada tempat yang fardhu (pada tempat yang wajib dibasuh), batal
mengusapnya seketika, walaupun tidak kelihatan. Sebab andaikata dipakai untuk
berjalan, tentu akan kelihatan.
2. Muzahnya harus kuat, sekira-kira dapat dipakai untuk berjalan-jalan menurut
kebutuhan seorang musafir ketika naik turun kendaraan. Sebab mengusap
muzah itu merupakan kemurahan untuk keperluan menggunakan muzah yang
boleh dipakai mondar-mandir. Dan memang kenyataannya demikian,
sehingga kalau muzah itu tidak dapat dipergunakan untuk mondar-mandir,
maka tidak boleh mengusap muzah.
Syaikh Abū Ḥāmid berkata: Patokan kuatnya muzah untuk dibuat mondar-mandir
berdasarkan perkiraan (kurang lebih), bukan berdasarkan kepastian, ialah sejauh
jarak perjalanan yang membolehkan qashar. Syaikh Abū Ḥāmid berkata: Dikira
jarak tiga mil. Qaul yang pertama itu lebih mu‘tamad (dapat dibuat patokan).
Muzah yang kuat untuk dipakai berjalan-jalan itu tidak dibedakan antara muzah yang
terbuat dari kulit atau dari rambut, atau dari kapuk atau dari bulu, semua sama saja,
asal kuat. Adapun apabila tidak kuat untuk dipakai berjalan-jalan, karena sesak
misalnya, seperti muzah yang terbuat dari kain yang tipis dan lain sebagainya,
demikian juga kaus kakinya orang-orang yang berusaha mengamalkan ilmu
tashawwufnya yang tidak dapat mencegah dari rembesan air yang masuk ke
dalamnya, itu semua tidak boleh diusap. Atau karena kuatnya, seperti muzah yang
terbuat dari besi, juga tidak boleh diusap.
Difaham dari kata-kata pengarang “‘Alal-Khuffain”, sesuatu yang tidak disebut
muzah, tidak boleh diusap. Sehingga andaikata ada seseorang yang mengikatkan
kulit lulang (sejenis tumbuhan yang memanjat) pada kedua kakinya hingga tidak
kelihatan dan boleh dipakai berjalan-jalan, orang tersebut tidak boleh mengusap kulit
yang diikatkan itu menurut madzhab yang kuat. Dan Imām Nawawī telah
memastikan ketidakwenangan ini di dalam kitab ar-Raudhah.
82

3. Muzah itu harus boleh menghalangi masuknya air. Jika masih boleh
diterobos, maka tidak boleh mengusap muzah itu, menurut qaul yang rājiḥ.
Sebab menurut kebiasaan, muzah itu pastinya dapat mencegah dari terobosan
air. Jadi nash-nash yang mengenai muzah, harus diartikan muzah-muzah
yang dapat mencegah masuknya air.
4. Muzahnya harus suci. Ibnu Rif‘ah berkata: Para Ulama Syāfi‘ī telah sepakat
adanya syarat yang mengharuskan muzah itu suci. Jadi tidak boleh mengusap
muzah yang terbuat dari kulit bangkai yang belum disamak.
Di dalam kitab adz-Dzakhā’ir ada keterangan begini: Atau kulit itu sudah disamak
tetapi kemudian menjadi najis, selama belum disucikan. Karena muzah itu tidak
boleh dipakai untuk mengerjakan shalat. Demikian pula menurut keterangan Imām
Nawawī. Beliau menerangkan hal tersebut di dalam kitab Syarḥ al-Muhadzdzab.
Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan (1)
Andaikata seseorang mengenakan muzah rangkap, karena saking dinginnya, maka
harus dilihat. Jika muzah yang luar layak diusap dan yang di bawah (yang di sebelah
dalam) tidak layak karena sesak atau karena sudah robek, boleh mengusap muzah
yang luar saja, tidak usah mengusap muzah yang dalam. Akan tetapi jika muzah
yang dalam boleh diusap (tidak yang luar), boleh mengusap yang dalam saja.
Andaikata orang tersebut mengusap muzah yang luar, lalu airnya mengenai muzah
yang dalam, apabila ia mempunyai niat hendak mengusap yang dalam, yang
demikian adalah boleh. Demikian juga apabila ia mempunyai niat hendak mengusap
kedua-duanya, menurut qaul yang rājiḥ. Jika hanya mempunyai niat mengusap yang
luar saja, tidak boleh. Dan jika tidak berniat mengusap salah satunya tetapi telah
mencukupi menurut qaul yang rājiḥ. Sebab ada niat menggugurkan fardhunya kaki
dengan mengusap.
Jika masing-masing dari kedua muzah (yang dalam maupun yang luar) itu tidak
patut untuk diusap, sulit mengusapnya. Dan jika kedua-duanya patut diusap semua,
dalam masalah ini kewenangan mengusap yang luar saja terdapat dua qaul. Menurut
83

qaul qadīm, boleh. Sebab kadang-kadang orang itu cukup memerlukan mengusap
yang luar saja sebagaimana ketika dia kadang-kadang memerlukan mengusap muzah
yang hanya satu (yang tidak rangkap).
Menurut qaul jadīd, yaitu qaul yang dianggap lebih jelas wajahnya oleh Jumhur,
tidak sah mengusap muzah yang luar. Imām Syāfi‘ī telah menashkan
ketidaksahannya di dalam kitab al-Umm. Sebab membasuh kaki itu asal kewajiban,
sedangkan mengusap muzah hanyalah Rukhshah yang umum yang terjadi pada
muzah. Pada umumnya para muslimin memerlukan muzah, adapun apabila ia
memerlukan muzah rangkap, itu adalah Rukhshah yang khusus. Jadi Rukhshah tidak
boleh menjalar kepada kewenangan mengusap muzah yang luar, dan juga muzah
yang luar itu sifatnya hanya untuk menutupi muzah yang mestinya harus diusap. Jadi
tidak boleh menggantikan kedudukan muzah yang dalam, dalam hal menggugurkan
kefardhuan mengusap. Sebagaimana sorban, tidak boleh menjadi gantinya mengusap
kepala. Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan (2)
Andaikata orang itu memakai muzah di atas pembalut, menurut qaul yang ashaḥḥ
tidak boleh mengusap muzah tersebut. Sebab muzah itu benda yang dipakai di atas
sesuatu yang diusap. Jadi tidak boleh diusap, sebagaimana mengusap sorban yang
menjadi gantinya mengusap kepala. Wallāhu a‘lam.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
( َّ‫سافِ ُر ثَاَل ثَةَ أَيَّ ٍام َو لَيَالِيَ ُهن‬
َ ‫ َو ا ْل ُم‬،ً‫س ُح ا ْل ُمقِ ْي ُم يَ ْو ًما َو لَ ْيلَة‬
َ ‫)و يَ ْم‬.
َ
[Orang muqim boleh mengusap muzah selama sehari semalam. Dan orang masafir
boleh mengusap muzah selama tiga hari tiga malam].
Yang dijadikan dalil untuk membatasi waktu mengusap muzah tersebut ialah sebuah
Hadits yang diriwayatkan dari Abū Bakrah r.a. berbunyi:
84

‫س ُخفَّ ْي ِه أَ ْن يَ ْم َس َح َعلَ ْي ِه َما‬


َ ِ‫ َو لِ ْل ُمقِي ِْم يَوْ ًما َو لَ ْيلَةً ِإ َذا تَطَه ََّر َو لَب‬،‫ص لِ ْل ُم َسافِ ِر ثَاَل ثَةَ أَي ٍَّام َو لَيَالِيَه َُّن‬
َ ‫أَرْ َخ‬.
“Bahwa Rasūlullāh s.a.w. memberikan kemurahan (keringanan) kepada musafir
mengusap muzah tiga hari tiga malam dan kepada orang muqim selama sehari
semalam jika ia telah bersuci dan telah memakai muzahnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Ḥibbān di dalam kitab
Shaḥīḥ-nya. Imām Syāfi‘ī berkata: Isnad Hadits tersebut shaḥīḥ. Imām Bukhārī
berkata: “Hadits tersebut Hadits ḥasan.
Diriwayatkan dari Shafwān bin ‘Assāl r.a. beliau berkata:
ْ‫ َو ل ِك ْن ِم ْن بَوْ ٍل أَو‬،‫َكانَ َرسُوْ ُل هللاِ (ص) يَأْ ُم ُرنَا إِ َذا ُكنَّا َسفَرًا أَ ْن اَل نَ ْن ِز َع ِخفَافَنَا ثَاَل ثَةَ أَي ٍَّام َو لَيَالِيَه َُّن إِاَّل ِم ْن َجنَابِ ٍه‬
)‫ (رواه النسائي و الترمذي‬. ‫غَائِ ٍط أَوْ نَوْ ٍم فَاَل‬
“Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kepada kita – waktu kita sedang dalam bepergian
– supaya kita jangan mencopot muzah selama tiga hari tiga malam, kecuali sebab
janabah. Tetapi untuk kencing, buang air besar dan tidur tidak perlu mencopot
muzah kita.” (Riwayat an-Nasā’ī dan at-Tirmidzī).
Imām Bukhārī berkata: “Haditsnya Shafwān ini adalah Hadits yang paling shaḥīḥ
mengenai urusan pembatasan waktu mengusap muzah. Imām Syāfi‘ī mempunyai
qaul qadīm yang menyatakan bahwa mengusap muzah itu tidak ada batas waktunya.
Sebab mengusap muzah itu adalah mengusap perkara yang menutupi kedua kaki,
jadi tidak ada batas mengusap perkara yang menutupi kedua kaki, jadi tidak ada
batas waktunya, sebagaimana mengusap pembalut pada badan. Qaul qadīm ini juga
dikatakan oleh Imām Mālik. Yang dipakai hujjah ialah Haditsnya Ubay bin
‘Umārah. Para Ulama Hadits telah sepakat atas ke-dha‘īf-an Haditsnya Ubay ini,
sehingga tidak boleh dijadikan dalil. Sedangkan kias itu tidak boleh dibuat hujjah
selama masih terdapat nash.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫س ا ْل ُخفَّ ْي ِن‬ ُ ‫و ا ْبتِدَا ُء ا ْل ُم َّد ِة ِمنْ ِح ْي ِن يُ ْح ِد‬.).
ِ ‫ث بَ ْع َد لُ ْب‬ َ
[Permulaan waktu mengusap ialah sejak orang itu mengalami hadas sesudah muzah
dipakai.].
85

Jika kita mencabangkan pada qaul yang shaḥīḥ, yaitu membatasi waktu mengusap
sehari semalam bagi orang muqim dan tiga hari tiga malam bagi musafir, maka yang
menjadi permulaan waktu mengusap yaitu dihitung sejak ia mengalami hadas yang
pertama kali sesudah ia mengenakan muzahnya. Dan boleh karena mengusap muzah
itu merupakan ibadah yang ditentukan waktunya, maka permulaan waktunya
dihitung sejak orangnya mempunyai kewenangan melaksanakan ibadah itu,
sebagaimana shalat.
Sesuai dengan ta‘līl (alasan) ini, orang yang mengusap muzah tidak diperkenakan
memperbarui wudhu’. Akan tetapi Ibnu Rif‘ah berkata: Memperbarui wudhu’ bagi
orang yang mengusap muzah itu hukumnya makruh, tidak ada kemamangan
(kekaburan) lagi. Namun Imām Nawawī di dalam kitab Syaraḥ al-Muhadzdzab
memastikan bahwa memperbarui wudhu’ bagi orang yang mengusap muzah itu
disunnatkan.
Imām Rāfi‘ī meriwayatkan dari Dāūd bahwa permulaan waktu mengusap dihitung
sejak orangnya memakai muzah itu. Yang demikian ini juga telah diriwayatkan oleh
Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab dari Ibnul-Mundzir dan Abū Tsaur.
Imām Nawawī selanjutnya mengatakan: Qaul ini adalah qaul yang dipilih. Sebab
sesuai Hadits-hadits shaḥīḥ yang menerangkan tentang mengusap muzah. Wallāhu
a‘lam.
Ketahuilah, bahwa musafir yang diperbolehkan mengusap muzah selama tiga hari
tiga malam itu apabila bepergian yang jauh jaraknya, kalau jarak bepergiannya
dekat, ia hanya diperbolehkan mengusap muzah selama sehari semalam saja.
Dan juga disyaratkan, bepergiannya bukan untuk maksiat. Kalau untuk maksiat,
misalnya bepergiannya karena hendak memungut bea cukai, atau perginya karena
disuruh oleh orang zhalim untuk mengambil uang sogok atau menagih uang sogok
dan lain-lain, ataupun dia pergi padahal masih menanggung hak orang (hutang) yang
wajib ia bayar, maka ia tidak boleh mengusap muzah tiga hari tiga malam itu.
Jika kepergian seseorang itu merupakan suatu hal yang wajib, misalnya pergi haji,
padahal ia menanggung hak orang, apakah boleh mengambil Rukhshah sehari
86

semalam? Ada yang mengatakan: Sama sekali tidak boleh mengambil Rukhshah.
Sebab mengusap muzah itu Rukhshah, jadi tidak boleh berkaitan dengan maksiat.
Qaul yang rājiḥ, boleh mengambil Rukhshah sehari semalam.
Khilāf di atas juga berlaku pada orang yang maksiat di rumah. Misalnya orang
bermuqim di sebuah kota dengan maksud hendak mengambil barang-barang
dagangan masyarakat dan orang-orang yang ikut kepadanya. Atau seperti budak
(hamba) yang minggat (lari meninggalkan tuannya) dan lain-lain. Wallāhu a‘lam.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ْ ‫ أَتَ َّم َم‬،‫سافَ َر‬
(‫س َح ُمقِ ْي ٍم‬ َ ‫ض ِر ثُ َّم‬ َ ‫ أَ ْو َم‬،‫سفَ ِر ثُ َّم أَقَا َم‬
َ ‫س َح فِي ا ْل َح‬ َ ‫فَإِنَّ َم‬.).
َّ ‫س َح فِي ال‬
[Andaikata seseorang mengusap muzah pada waktu bepergian kemudian ia muqim,
atau mengusap pada waktu muqim kemudian ia bepergian, orang tersebut harus
menyempurnakan pengusapannya sebagai orang yang muqim.].
Sebab mengusap itu merupakan ibadah yang dilakukan di rumah dan juga dilakukan
pada saat bepergian. Jadi harus dimenangkan hukum di rumah. Seperti andaikata
orang tersebut bermuqim pada salah satu bagian yang awal atau yang akhir dari
shalatnya, dia tidak boleh meng-qashar shalatnya.
Kata pengarang: “Andaikata seseorang mengusap muzah pada waktu bepergian,
kemudian ia muqim” mengandung arti, jika belum sampai melewati sehari semalam.
Jika demikian, harus menyempurnakan pengusapannya sebagai orang muqim.
Adapun apabila telah melewati sehari semalam ke atas pada saat bepergian, orang
tersebut harus mengulangi mengusap.
Kata pengarang: “Andaikata ia mengusap,: apakah yang dimaksudkannya itu
mengusap kedua muzah itu sekaligus ataukah asal mengusap begitu saja. Masalah ini
akan tampak nyata faedahnya dalam masalah andaikata ada orang mengusap salah
satu dari kedua kakinya pada saat di rumah, kemudian mengusap kaki yang lain pada
saat bepergian. Apakah orang ini harus mengusap sebagaimana orang muqim
ataukah mengusap seperti orang musafir? Menurut apa yang dipastikan oleh Imām
Rāfi‘ī, orang itu mengusap sebagaimana mengusapnya orang musafir. Imām Rāfi‘ī
87

berkata: Karena yang diperlukan itu sempurnanya mengusap, sedangkan


kesempurnaan ini telah terwujud pada saat bepergian. Imām Nawawī berkata: Yang
shaḥīḥ dan dipilih, orang tersebut mengusap sebagaimana orang muqim. Sebab
orang itu melakukan ibadah pada waktu berada di rumah. Wallāhu a‘lam
Cabang Permasalahan (3)
Andaikata seorang musafir ragu-ragu, apakah dirinya memulai mengusap di rumah
ataukah waktu dalam bepergian? Maka dia harus mengambil keputusan “mengusap
di rumah”. Jadi hanya boleh mengusap sehari semalam. Seperti halnya kalau ada
orang mengusap muzah di rumah atau waktu dalam perjalanan, lalu ia ragu-ragu
mengenai masa habisnya usapan, maka orang tersebut harus mengambil keputusan
“berhenti mengusap”. Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan (4)
Mengusap muzah ialah paling kurangnya harus boleh katakan sudah mengusap pada
bagian kaki yang wajib dibasuh, dari sisi atas muzah. Jadi tidak cukup hanya
mengusap bagian bawahnya atau bagian tumit atau pinggirnya saja.
Boleh dianggap cukup, mengusap muzah dengan kain atau kayu atau lain-lain
sebagainya. Andaikata air diteteskannya pada muzah, juga dianggap sudah cukup.
Sebagaimana air yang diteteskan waktu mengusap kepala. Yang menjadi
kesunnatannya yaitu mengusap muzah pada bagian atas dan bawahnya. Jika di
bagian bawah ada najisnya, tidak boleh diusap.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ْ ‫ب ا ْل ُغ‬
(‫س َل‬ ُ ‫ َو َما يُ ْو ِج‬،‫ضا ِء ا ْل ُم َّد ِة‬ ْ َ‫س ُح بِثَاَل ثَ ِة أ‬
َ ِ‫ َو ا ْنق‬،‫ ِب َخ ْل ِع ِه َما‬:‫شيَا َء‬ ْ ‫و يَ ْبطُ ُل ا ْل َم‬.).
َ
[Mengusap muzah itu menjadi batal sebab adanya tiga perkara ini. Yaitu sebab
melepaskan muzah, sebab habisnya waktu mengusap dan sebab adanya sesuatu yang
mewajibkan mandi].
Kewenangan mengusap muzah itu mempunyai beberapa batas waktu penghabisan.
Apabila salah satunya telah sampai, maka batallah kewenangan mengusap muzah. Di
antaranya, apabila orangnya dengan sengaja melepaskan kedua muzah itu, atau
88

melepaskan salah satu dari kedua muzah itu, atau apabila muzah tersebut terlepas
dengan sendirinya, atau apabila muzah itu sudah tidak patut lagi untuk dipakai
karena robek atau sudah rapuh atau karena lainnya. Dalam keadaan begini, orangnya
tidak boleh mengusap muzah. Demikian itu apabila orangnya itu masih dalam
keadaan suci dengan mengusap muzah. Sebab dengan adanya perkara-perkara yang
telah disebutkan tadi, orang tersebut wajib membasuh yang asal, yaitu wajib
membasuh kaki.
Apakah orang seperti di atas harus memulai semula wudhu’nya, ataukah cukup
membasuh kakinya saja? Ada dua qaul. Qaul yang rājiḥ menyatakan cukup dengan
hanya membasuh kedua kakinya saja.
Di antara batas penghabisan mengusap muzah ialah habisnya waktu untuk
mengusap. Jadi kalau sudah lewat sehari semalam bagi orang muqim dan sudah
lewat tiga hari tiga malam bagi musafir, batal haknya untuk mengusap muzah. Dan
orangnya harus memulai pakai muzah seperti waktu permulaannya, berdasarkan
Haditsnya Abū Hurairah dan Haditsnya Shafwān bin ‘Assāl r.a.
Di antara batas penghabisan mengusap muzah ialah ketika berlaku pada diri orang
yang mengusap itu perkara-perkara yang mewajibkan mandi. Karena Haditsnya
Shafwān yang berbunyi:
‫أَ َم َرنَا َرسُوْ ُل هللاِ (ص) أَ ْن اَل نَ ْن ِز َع ِخفَافَنَا إِاَّل ِم ْن َجنَابَ ٍة‬.
“Kita diperintahkan oleh Rasūlullāh s.a.w. supaya tidak melepaskan muzah kita
kecuali karena janabah.”
Andaikata di kaki orang yang memakai muzah terdapat najis, dan tidak mungkin
mencuci najis itu di dalam muzah (tanpa melepaskannya), maka wajib ia melepaskan
muzah itu untuk mencuci najisnya. Tetapi andaikata dimungkinkan dapat mencuci
najis itu di dalam muzah, lalu orangnya mencuci najis itu, maka boleh mengusap
muzah dan tidak batal.
89

Cabang Permasalahan (5)


Andaikata orang itu sehat kedua kakinya, tetapi ia hanya mengenakan muzah pada
salah satunya, tidak sah mengusap muzah itu. Jadi kalau orang itu hanya mempunyai
sebelah kaki, bolehlah ia mengusap muzah pada kaki yang satu itu.
Andaikata salah satu dari kedua kakinya ada yang luka (sakit) sehingga tidak wajib
membasuhnya dalam berwudhu’, kemudian orang itu memakai muzah pada kaki
yang sehat, menurut ad-Dārimī beliau memastikan sahnya mengusap muzah. Imām
Ghazālī memastikan tidak sahnya mengusap muzah. Wallāhu a‘lam.

Fasal
Perihal Tayammum
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫ض‬ َ ِ‫ ُو ُج ْو ُد ا ْل ُع ْذ ِر ب‬:‫شيَا َء‬
ٍ ‫سفَ ٍر أَ ْو َم َر‬ ْ َ ‫سة ُ أ‬
َ ‫ش َرائِطُ التَّيَ ُّم ِم َخ ْم‬ ْ َ‫ف‬.)
َ ‫ َو‬:‫ض ٌل‬
[Syarat-syarat tayammum ada lima. Adanya udzur sebab bepergian atau sakit].
Artinya tayammum menurut lughat ialah kehendak atau maksud. Dikatakan:
Yammamaka fulānun bil-khairi, artinya Fulan bermaksud baik terhadapmu.
Tayammum menurut istilah syara‘ ialah merupakan istilah untuk menyatakan suatu
pekerjaan mendatangkan debu pada wajah (muka) dan kedua tangan dengan syarat-
syarat tertentu.
Dalil diperbolehkannya tayammum ialah al-Qur’ān dan Hadits. Nanti di belakang
akan saya kemukakan di tempatnya masing-masing.
Kemudian, patokan atau dasar bagi diperbolehkannya bertayammum ialah apabila
tidak dapat menggunakan air. Mungkin karena ada halangan menggunakan air atau
karena kesulitan air atau karena adanya bahaya yang nyata apabila menggunakan air.
Tidak dapat menggunakan air itu disebabkan adanya beberapa sebab. Di antaranya
ialah sebab bepergian dan sakit. Yang menjadi dalil wenangnya tayammum ialah
firman Allah di dalam al-Qur’ān::
90

‫ص ِع ْيدًا طَيِّبًا‬
َ ‫فَلَ ْم تَ ِج ُدوْ ا َما ًء فَتَيَ َّم ُموْ ا‬
“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang
suci.” (al-Mā’idah: 6)
Ibnu ‘Abbās berkata: Makna ayat ini, jika kamu sakit, bertayammumlah, dan jika
kamu bepergian kemudian tidak menemukan air, bertayammumlah!
Kemudian, keadaan air bagi orang yang bepergian itu ada empat keadaan:
Pertama, orangnya berkeyakinan tidak ada air di sekitar tempatnya. Misalnya dia
sedang berada di suatu perkampungan berpasir. Orang seperti ini menurut qaul yang
rājiḥ boleh bertayammum dan tidak perlu mencari air. Sebab dalam keadaan yang
demikian, tidak ada gunanya dia mencari air.
Keadaan yang kedua, orangnya optimis (berpengharapan) adanya air di sekitar
tempat itu. Baik harapannya itu dekat dengan kenyataan ataupun jauh dari
kenyataan. Orang yang demikian harus mencari air tanpa khilāf. Sebab tayammum
itu bersuci yang dharurat. Sedangkan dharurat tidak mungkin terjadi bila
kemungkinan untuk bersuci dengan air masih ada.
Keadaan yang ketiga, orang itu yakin bahwa di sekitarnya ada air. Keadaan seperti
ini mempunyai tiga tingkatan:
1. Airnya berada pada jarak, yang mana orang-orang yang berhenti untuk
istirahat biasanya menyebar ke tempat air itu untuk mencari kayu-kayuan dan
rumput, dan untuk menggembalakan hewannya. Orang yang dalam keadaan
demikian wajib berjalan menuju ke tempat air itu dan tidak diperbolehkan
bertayammum.
Muḥammad bin Yaḥyā berkata: Mungkin saja, ukuran jarak ini mendekati setengah
farsakh. Jarak ini ditafsirkan di atas jarak ketika ada orang berprasangka adanya air.
2. Airnya berada di suatu tempat yang jauh, sekira kalau salah seorang berjalan
menuju ke sana, akan kehabisan waktu shalat. Orang yang demikian boleh
bertayammum menurut madzhab yang kuat, sebab dianggap tidak
menemukan air pada saat itu. Andaikata dihukumkan wajib menunggu air
dan membiarkan waktunya habis, tentu malah tidak boleh bertayammum
91

sama sekali. Lain halnya kalau air itu berada di sekitar tempat itu dan
orangnya khawatir tertinggal waktu jika berwudhu’ dengan air itu. Maka
dalam hal ini orang tersebut tidak boleh bertayammum menurut madzhab
yang kuat, sebab tidak dianggap “tidak menemukan air” pada saat itu.
Kemudian, jarak tersebut di atas harus dihitung dengan memperkirakan waktu shalat
yang telah datang secara keseluruhan. Sehingga, walaupun diperkirakan setibanya ia
di tempat berhentinya itu waktu shalat sudah akhir, tetap dia wajib menuju ke tempat
air itu dan berwudhu’, meskipun nantinya kehabisan waktu. Atau dihitung dengan
berdasarkan pada waktu mencari tanpa memandang awal waktu shalat.
Yang rājiḥ menurut Imām Rāfi‘ī ialah qaul yang pertama, yaitu perhitungannya
dengan keseluruhan waktu shalat fardhu. Imām Nawawī men-tarjīḥ-kan qaul yang
kedua, yaitu menghitungnya dengan waktu mencari.
3. Air tersebut berada di antara kedua tingkatan tersebut di atas. Misalnya air itu
berada pada jarak yang melebihi jarak yang menurut kebiasaannya, para
kafilah yang berhenti di situ pada menyebar untuk mencari rumput atau kayu,
dan seumpama seseorang menuju ke tempat air itu, belum ketinggalan
waktunya. Dalam masalah ini terdapat khilaf yang banyak di kalangan para
Ulama. Menurut madzhab yang kuat, boleh bertayammum. Sebab orang
tersebut tidak menemukan air, dan kalaupun harus menuju ke tempat air itu,
sangat payah sekali.
4. Airnya ada, tetapi banyak orang yang berdesakan. Misalnya air itu berada
dalam sumur yang tidak dapat diambil kecuali dengan menggunakan alat
(timba dan sebagainya). Sedangkan di situ tidak ada alat kecuali hanya satu.
Dalam keadaan begini para Ulama berbeda pendapat. Menurut qaul yang
rajīḥ, orang tersebut boleh bertayammum. Karena ada kelemahan yang dapat
dilihat dengan mata. Dan lagi, orang shalat dengan menggunakan tayammum
dalam keadaan yang begini ini tidak wajib mengulangi shalatnya menurut
madzhab yang kuat. Wallāhu a‘lam.
Sakit yang boleh dianggap udzur itu ada tiga macam:
92

1. Seandainya dia berwudhu’ dalam keadaan sakit seperti itu, khawatir akan
kehilangan nyawanya atau anggota tubuhnya atau kehilangan manfaat dari
bagian anggota tubuhnya. Boleh disamakan dengan hal tersebut, yaitu
manakala ia mempunyai penyakit yang tidak mengkhawatirkan. Hanya saja
dia takut menggunakan air yang boleh membahayakan penyakitnya. Orang
semacam ini juga diperbolehkan bertayammum menurut madzhab yang kuat.
2. Khawatir sakitnya akan bertambah, meskipun tidak mempengaruhi masa
sembuhnya. Atau khawatir lambat sembuhnya, meskipun sakitnya tidak
bertambah. Atau khawatir sakitnya semakin parah, yaitu sakit yang terus-
menerus hingga membuat badannya kurus. Atau khawatir akan menimbulkan
cacat yang buruk, seperti kulit badan menjadi hitam, seperti anggota bagian
wajah dan lain-lain yang kelihatan waktu jadi pelayan (bekerja).
Dalam semua masalah ini ada khilāf yang banyak di kalangan para Ulama. Qaul
yang rājiḥ, membolehkan tayammum. Yang dibuat alasan untuk cacat yang buruk,
yaitu dapat membuat kelainan pada bentuk anggota badan dan cacatnya (membekas)
seumur hidup. Jadi sama dengan kerusakan pada anggota badan.
3. Orangnya khawatir mendapat cacat sedikit, seperti ada bekas bintik-bintik
atau ada sedikit warna hitam, atau khawatir mendapat cacat yang buruk pada
selain anggota yang kelihatan (ketika bekerja); atau orang itu mempunyai
penyakit yang dia sendiri tidak takut akan mendapatkan sesuatu yang
dikhawatirkan di belakang hari jika menggunakan air, walaupun ketika itu ia
merasa kesakitan, seperti ada lukanya atau kedinginan atau kepanasan. Tidak
boleh bertayammum karena sakit-sakit yang semacam ini tanpa ada khilāf.
Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan (1)
Orang yang sakit boleh menggunakan pendapatnya sendiri mengenai apakah
sakitnya itu mengkhawatirkan atau tidak, asalkan orang tersebut tahu selok-belok
penyakit. Orang yang sakit itu boleh mengambil pedoman dari kata dokter yang ahli.
Jika tidak ahli, tidak diterima.
93

Dokter, selain disyaratkan harus ahli, juga disyaratkan beragama Islam. Jadi dokter
yang kafir (atau kristen), tidak boleh diterima keterangannya. Sebab Allah ta‘ālā
menganggap fasik kepada orang-orang kafir itu. Untuk itu kita pun meninggalkan
apa yang tidak diinginkan oleh Allah, dan kamu jangan terpancing oleh usaha
sebagian Ulama fiqh yang menjijikkan.
Dokter juga diisyaratkan harus baligh. Dokter yang belum baligh tidak dapat
diterima keterangannya. Juga disyaratkan harus adl (lurus). Keterangan dokter fasik
tidak dapat diterima. Sebab Allah itu telah mewajibkan wudhu’. Jadi wudhu’ itu
tidak boleh dipindah kecuali dengan keterangan yang boleh diterima Sedangkan
Allah ta‘ālā Sendiri telah menganggap sia-sia ucapan orang-orang yang fasik. Kalau
kita menerima omongan mereka, berarti kita berani bertentangan dengan Tuhan yang
memperbuat sakit pada diri kita.
Ucapan seorang budak (hamba) atau perempuan boleh diterima. Dan cukup dengan
hanya seorang menurut qaul yang masyhur. Ada yang mengatakan, harus dua orang,
sebagaimana ketentuan sakit yang dikhawatirkan dalam bab wasiat. Sebab madzhab
yang kuat dalam bab wasiat juga memastikan syarat harus lebih dari seorang.
Mungkin perbedaannya, dalam bab wasiat terdapat hubungan ḥaqq Ādamī (hak
kemanusiaan), yaitu para ahli waris dan orang-orang yang diberi harta wasiat. Jadi
disyaratkan adanya orang-orang yang memberitahu itu harus lebih dari satu. Jika
dalam bab tayammum, bahwa hak Allah. Sedangkan hak Allah itu berdasarkan atas
kemurahan. Lain daripada itu, wudhu’ itu ada gantinya yaitu tayammum, sedangkan
wasiat tidak ada gantinya.
Andaikata tidak ada dokter yang memenuhi syarat, ar-Ruyānī berkata menukil kata
as-Sinjī: Tidak boleh tayammum. Imām Nawawī berkata: Aku belum pernah
menjumpai seorang Ulama pun yang tidak sependapat atau yang menentang kata as-
Sinjī.
Al-Asnā’ī berkata: Di dalam kitab Fatāwā-nya al-Baghawī ada sebuah keterangan
yang memastikan boleh bertayammum. Jadi ada dua jawaban yang saling
bertentangan. Adapun mewajibkan wudhu’ dan mandi tanpa mengetahui keadaan
94

penyakit yang menjadi tempat diduganya kematian seseorang itu adalah jauh dari
kebaikan syariah. Kita memohon kebaikan kepada Allah atas hukum yang telah kita
tetapkan, dan kita memberikan fatwa dengan fatwa yang telah disampaikan oleh al-
Baghawī. Wallāhu a‘lam.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ْ ‫ َو تَ َع ُّذ ُر ا‬،‫ب ا ْل َما ِء‬
(‫ستِ ْع َمالِ ِه‬ ُ َ‫ َو طَل‬،‫صاَل ة‬ ِ ‫و د ُُخ ْو ُل َو ْق‬.).
َّ ‫ت ال‬ َ
[Dan disyaratkan harus sesudah masuk waktu shalat. Harus mencari air dan adanya
kesulitan dalam penggunaannya].
Tayammum boleh dianggap sah jika dikerjakan sesudah masuk waktu shalat. Karena
firman Allah:
َّ ‫إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِلَى ال‬.
ِ ‫صاَل ِة فَا ْغ‬
‫سلُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم‬
“Jika kamu hendak berdiri untuk shalat, basuhlah mukamu…..” (al-Mā’idah: 6)
Dan seturusnya hingga akhir ayat. Berdiri untuk shalat itu tentu sesudah masuk
waktu shalat. Wudhu’ dikecualikan dari masalah ini karena ada dalil lain. Sedangkan
tayammum masih tetap karena memandang zhahirnya ayat. Dan Nabi telah bersabda:
ُ ‫صلَّي‬
‫ْت‬ َّ ‫طهُوْ رًا أَ ْينَ َما أَ ْد َر َك ْتنِي ال‬
ُ ‫صاَل ةُ تَيَ َّم ْم‬
َ ‫ت َو‬ َ ‫ت لِ َي اأْل َرْ ضُ َم ْس ِجدًا َو تُ َرابُهَا‬
ْ َ‫جُ ِعل‬.
“Bumi ini dijadikan bagi saya masjid (untuk shalat). Dan tanahnya dijadikan
suci. Di mana jika saya temui waktu shalat, saya boleh bertayammum dan
kemudian shalat.”
Lain daripada alasan tersebut, tayammum juga merupakan bersuci yang dharurat.
Sebelum masuk waktu shalat tidak ada dharurat.
Syarat tayammum yang dianggap sah ialah orangnya harus mencari air lebih dulu.
Sebab firman Allah:
‫فَلَ ْم تَ ِج ُدوْ ا َما ًء فَتَيَ َّم ُموْ ا‬
“Kemudian kami tidak memperoleh air, maka bertayammumlah.” (al-Mā’idah: 6).
Allah menyuruh kita bertayammum apabila tidak ada air. Sedangkan kita tidak
mungkin tahu adanya air itu kecuali setelah diadakan pencarian. Jadi mencari air itu
menjadi syarat sahnya bertayammum.
95

Syarat mencari air harus sesudah masuk waktu shalat. Sebab waktu sesudah masuk
waktu shalat itu adalah waktu dharurat. Orang yang hendak bertayammum boleh
mencari air sendiri dan boleh juga dicarikan oleh seseorang yang telah mendapat
keidzinannya, menurut qaul yang shaḥīḥ. Saya katakan: Dan orang yang mendapat
keidzinannya itu harus orang yang boleh dipercaya dalam mencari air. Wallāhu
a‘lam.
Tidak cukup yang mencari air itu seseorang yang tidak mendapat keidzinannya,
tanpa ada khilāf. Caranya mencari air ialah mula-mula harus diteliti lebih dulu
kendaraannya. Sebab boleh saja di dalam kenderaannya itu ada air yang dia sendiri
tidak merasa. Jika jelas sudah tidak ada air, harus melihat ke kanan kiri, muka dan
belakang, jika berada di tempat yang rata. Kemudian harus menambah
penyelidikannya di tempat-tempat yang kelihatan hijau dan tempat-tempat yang
dikerumuni oleh burung-burung. Jika berada di tempat yang tidak rata, harus dilihat.
Jika orangnya khawatir akan keadaan dirinya atau barangnya bila harus mondar-
mandir mencari air, maka tidak wajib mondar-mandir. Sebab khawatir yang
demikian ini juga dapat mengesahkan tayammum dalam keadaan dia meyakinkan
adanya air. Apalagi kalau hanya menyangka adanya air.
Jika tidak khawatir akan keadaan dirinya dan barang bawaannya, wajib mondar-
mandir mencari air sampai batas andaikata dia diteriaki oleh teman-temannya boleh
mendengar, selain juga mendengar, hiruk-pikuknya para rombongan dan ramainya
omongan mereka. Batas tersebut boleh jadi tidak sama karena perbedaan rata
tidaknya tanah dan naik-turunnya tanah.
Kemudian cara selanjutnya, jika ia bersama rombongan, maka wajib menanyai
seorang demi seorang hingga rata atau sampai waktunya mepet hingga hanya cukup
untuk melakukan shalat menurut qaul yang rājiḥ. Ada yang mengatakan, harus
menanyai seluruh rombongan sampai rata walaupun habis waktunya. Dan tidak
wajib mencari air dari satu persatu dari rombongan itu dengan dibuktikan secara
nyata. Tetapi cukup memberikan pengumuman dengan berteriak: Siapa yang
mempunyai air? Siapa yang ada kelebihan air? Dan lain sebagainya.
96

Andaikata rombongan yang berhenti istirahat itu menyuruh salah seorang yang dapat
dipercaya untuk mencari air yang akan digunakan bersuci, orang tersebut sudah
mencukupi sebagai mewakili dari seluruh rombongannya. Kemudian sewaktu-waktu
diketahui salah seorang dari anggota rombongan itu ada yang mempunyai air, maka
harus dicari walaupun dengan hibah menurut qaul yang rājiḥ.
Andaikata ada yang memberikan pinjaman timba, wajib diterima. Dan andaikata ada
yang menawarkan piutang air, juga wajib diterima menurut qaul yang shaḥīḥ. Orang
yang tidak memiliki air, wajib membeli air untuk wudhu’ dan mandi, dan wajib pula
mengeluarkan semua uang yang ia miliki, kecuali jika ia membutuhkan uang itu
untuk ongkos pulang pergi. Jika dia membutuhkan, tidak wajib menggunakannya
untuk membeli air.
Orang yang tidak mempunyai air, tidak wajib membeli air jika harganya melebihi
dari harga biasa. Walaupun kelebihannya hanya sedikit, menurut qaul dan rājiḥ. Jika
seumpama tidak seorang pun yang meminjami timba kepadanya, kecuali tidak kalau
mau membayar uang sewa, orang itu wajib menyewa timba itu dengan harga biasa.
Andaikata air itu dapat diambil dari sumur dengan menggunakan sorbannya lalu
diperas airnya, maka wajib melakukannya. Seandainya sorbannya tidak boleh sampai
ke dalam sumur, sedangkan sorbannya itu boleh disobek lalu disambung yang satu
dengan yang lain hingga sampai ke air di dalam sumur itu, maka wajib melakukan
itu semua. Demikian itu apabila tidak mengurangi harga sorban yang melebihi harga
air dan sewanya tali. Di dalam memberi anggaran harga umum ini terdapat banyak
wajah. Qaul yang rājiḥ mengatakan harga umum itu menurut yang berlaku di tempat
itu dan dalam keadaan yang demikian itu.
Kata pengarang “dan sulit menggunakan air,” yaitu mencakup seluruh sebab-sebab
diperbolehkannya tayammum. Di muka telah disebutkan sebab-sebabnya yaitu sebab
bepergian dan sebab sakit.
Di antara sebab-sebabnya lagi ialah ketika di dekat orang tersebut ada air. Akan
tetapi jika harus menuju ke tempat itu, dia khawatir diganggu oleh binatang buas
atau oleh musuh yang berada di sana. Atau dia mengkhawatirkan barang yang
97

dibawanya, atau barang yang ditinggal di tempat berhentinya dari orang-orang yang
merampas dan orang-orang yang mencuri; atau orang itu berada di atas perahu yang
kalau dia mengambil air mungkin jatuh ke dalam laut. Dalam masalah-masalah ini,
orang itu diperbolehkan tayammum.
Andaikata dia khawatir ditinggal oleh rombongannya, jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan bila menuju ke tempat air itu, maka ia juga boleh tayammum tanpa khilāf.
Jika tidak ada kekhawatiran maka ada khilāf. Qaul yang rājiḥ membolehkan
tayammum karena dapat meresahkan hati.
Di antara sebab-sebabnya yang membolehkan tayammum, ialah karena dia
memerlukan air itu. Ada kalanya karena dia dahaga, atau teman serombongannya
yang dahaga, atau karena dahaganya hewan yang dimuliakan ketika itu atau hari
esoknya.
Andaikata ada seorang laki-laki mati. Orang tersebut mempunyai air, tetapi teman-
temannya banyak yang kehausan. Maka teman-temannya itu boleh minum air itu dan
mentayammumkan mayit itu sebagai ganti memandikannya. Dan teman-teman yang
ikut minum itu wajib membayar harga air yang diminumnya, kemudian hasilnya
dimasukkan pada harta warisan. Harganya disesuaikan dengan harga yang berlaku di
tempat mana mereka menghabiskan air pada waktu itu.
Di antara sebab-sebabnya lagi tudak boleh menggunakan air karena mempunyai luka
dan lain sebagainya. Seperti mempunyai bisul dan lain sebagainya. Baik dibalut
dengan pembalut maupun tidak. Masalah ini dterangkan oleh pengarang sesudah
membicarakan masalah sebab-sebab ini, karena ada rentetannya dengan hukum
mengqadha’ shalat.
Orang yang kehausan boleh merampas air dari temannya secara paksa jika ia enggan
memberinya dengan syarat teman itu tidak memerlukan air itu. Dan setelah
diminumnya, hendaklah ia membayar harganya yang biasa. Wallāhu a‘lam.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫اب الطَّا ِه ُر‬
ُ ‫و التُّ َر‬.).
َ
[Dan debu yang suci].
98

Tidak sah tayammum seseorang kecuali dengan menggunakan debu (tanah) yang
suci, murni dan belum pernah digunakan. Jadi keharusan adanya tanah itu sudah
pasti. Baik tanah merah, tanah hitam atau tanah kuning. Baik tanah dari Armani
maupun dari lainnya, asalkan sebutan tanah tetap pada tanah-tanah yang bermcam-
macam itu.
Tidak sah bertayammum dengan kapur (yang dibuat untuk melabur – mengkapur –
rumah) atau dengan tanah kapur dan semua barang-barang tambang (bahan galian
seperti besi, emas dan sebagainya). Dan juga tidak sah pula bertayammum dengan
batu yang sudah dihancurkan atau dengan kaca beling (pecahan kaca) yang sudah
digerus (gosok/tumbuk) dan lain sebagainya. Dalam satu wajah, semua barang-
barang tersebut di atas itu boleh dibuat tayammum. Namum hukum yang demikian
itu adalah salah. Mereka menjadikan hujjah firman Allah s.w.t.:
‫ص ِع ْيدًا طَيِّبًا‬
ِ ‫فَتَ َّم ُموْ ا‬
“Maka bertayammumlah dengan debu yang bersih!” (al-Mā’idah: 6).
Kata-kata sha‘īd merangkumi tanah tanah dan semua yang ada di dalam tanah.
Wajah tersebut dinisbatkan kepada Imām Mālik dan Imām Abū Ḥanīfah. Kedua
Imām ini berkata: Tayammum boleh menggunakan segala macam jenis tanah,
bahkan dengan batu yang dibersihkan sekalipun.
Imām Rāfi‘ī menukil dari Imām Mālik bahwa beliau mengesahkan tayammum
dengan menggunakan segala sesuatu yang terdapat di bumi, seperti pepohonan dan
tumbuhan sawah.
Imām Nawawī menukil dari al-Auzā‘ī dan Sufyān ats-Tsaurī di dalama Syaraḥ
Muslim bahwa al-Auzā‘ī dan Sufyān juga mengesahkan tayammum dengan
menggunakan segala sesuatu yang ada di bumi, bahkan dengan es sekalipun.
Menurut madzhab Imām Syāfi‘ī serta kebanyakan para Ulama, dan juga menjadi
perkataan Imām Aḥmad bin Ḥanbal, Ibn-ul-Mundzir dan Dāūd, tayammum tidak sah
jika tidak menggunakan tanah yang suci dan berdebu, yang boleh menempel pada
kulit wajah dan kedua tangan. Sebab perkataan “sha‘īd” itu boleh mengenai tanah
dan semua yang ada pada permukaan tanah dan jalan-jalan. Jadi perkataan sha‘īd itu
99

mujmal tetapi sudah diterangkan maksudnya oleh Rasūlullāh s.a.w. dengan


sabdanya:
َ ‫التُّ َرابُ َكافِ ْي‬
‫ك‬
“Tanah itu dapat mencukupi dirimu.”
Rasūlullāh s.a.w. bersabda lagi:
‫ت لِ َي اأْل َرْ ضُ َم ْس ِجدًا َو تُرْ بَتُهَا طَهُوْ رًا إِ َذا لَ ْم تَ ِج ِد ْال َما َء‬
ْ َ‫جُ ِعل‬.
“Bumi itu dijadikan masjid buat aku, dan tanahnya dijadikan tanah yang boleh
mensucikan jika kamu tidak menemukan air.” (Riwayat Muslim).
Di sini Rasūlullāh s.a.w. mengalihkan pembicaraan dari bumi lalu menyebutkan
tanah. Andaikata tidak ada maksud memberi kekhususan sifat suci mensucikan
terhadap tanah, tentu Rasūlullāh s.a.w. tidak akan berkata demikian. Sebab sifat
mensucikannya tanah itu telah diterangkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh ad-
Dāruquthnī di dalam kitab Sunan-nya dan Abū ‘Awānah di dalam kitab Shaḥīḥ-nya,
yang lafazhnya berbunyi “wa turābuhā thahūrun,” yakni dan tanahnya suci
mensucikan.
Ibnu ‘Abbās berkata: sha‘īd ialah tanah sawah. Diriwayatkan dari ‘Alī dan Ibnu
Mas‘ūd bahwa yang disebut sha‘īd ialah tanah yang berdebu. Imām Syāfi‘ī berkata:
Yang disebut sha‘īd ialah tiap-tiap tanah yang berdebu. Kata Imām Syāfi‘ī mengenai
perkara ini boleh dibuat ḥujjah di dalam lughat.
Kemudian, tanah yang boleh digunakan untuk tayammum itu syaratnya ialah harus
tidak keluar dari keadaan semulanya kepada lain yang dapat mencegah dari
dikatakannya sebagai “tanah.” Hingga andaikata tanah itu dibakar sampai menjadi
abu, atau menjadi tembikar yang telah ditumbuk halus, maka tidak boleh digunakan
untuk tayammum.
Andaikata orang membakar tanah liat, kemudian bakarannya digerus (dikisar)
sampai halus, maka mengenai kewenangan tayammum dengan menggunakan tanah
liat yang telah dibakar itu mempunyai dua wajah. Imām Rāfi‘ī tidak men-tarjīḥ-kan
salah satu dari kedua wajah tersebut. Demikian juga Imām Nawawī di dalam kitab
ar-Raudhah.
100

Apakah boleh tayammum dengan menggunakan pasir? Kalau pasirnya kasar, yang
seumpama dilemparkan tidak ada debunya, maka tidak boleh. Tetapi jika keluar
debunya, boleh. Jika pasirnya halus, boleh menggunakannya untuk tayammum.
Sebab pasir yang halus termasuk salah satu jenis tanah. Demikian kata Imām Rāfi‘ī.
Kewenangan tayammum tersebut telah ditetapkan secara pasti oleh Imām Nawawī di
dalam kitab Fatawa-nya. Tetapi di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab, Syaraḥ al-Wasīth
dan Tashḥīḥ-ut-Tanbīh, Imām Nawawī berkata: Andaikata orang itu tayammum
dengan tanah yang dicampur dengan pasir yang halus, tidak sah tayammumnya.
Apatah lagi dengan pasir semata-mata, tentulah lebih tidak boleh.
Kemudian tanah yang digunakan untuk bertayammum itu harus suci. Sebab firman
Allah: sha‘īdan thayyiban, artinya: Debu yang suci. Kata thayyiban di sini
menggunakan arti thāhir (yakni suci). Sebab kata thayyib ada kalanya yang
menggunakan arti sesuatu yang dirasakan enak oleh nafsu, ada yang menggunakan
arti halal dan ada yang menggunakan arti thāhir. Dua makna yang pertama tidak
pantas untuk menyifati tanah, jadi harus menggunakan arti yang ketiga yaitu thāhir
(suci).
Sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Dan tanahnya boleh dijadikan suci mensucikan,”
mengandung maksud yang menunjukkan bahwa sha‘īd tersebut artinya suci. Karena
air yang najis itu tidak boleh untuk bersuci, maka sudah tentulah demikian juga
dengan tanah yang najis.
Diambil dari kata pengarang “thāhir”, andaikata orang itu bertayammum dengan
tanah debu yang suci yang berada di atas benda najis, tayammumnya tetap
mencukupi. Memang demikianlah hukumnya.
Kemudian, tanah yang digunakan untuk tayammum itu harus tanah murni. Tidak
boleh bertayammum dengan tanah yang dicampur dengan tepung atau za‘faran dan
lain sebagainya, tanpa ada khilāf. Demikian pula kalau yang mencampuri itu hanya
sedikit, menurut qaul yang shaḥīḥ. Yang disebut “banyak” itu, yaitu asal dapat
dilihat dengan mata. Yang disebut “sedikit” itu, yaitu yang tidak dapat dilihat mata.
Demikian kata Imām Ḥaramain.
101

Kemudian, tanah yang digunakan untuk tayammum itu tidak boleh yang musta‘mal
(yang telah digunakan), sama dengan air menurut qaul yang shaḥīḥ. Sebab tanah ini
untuk menjadikan sahnya sesuatu yang asal dicegah. Yang disebut tanah musta‘mal
ialah tanah yang menempel pada anggota badan. Demikian juga tanah yang rontok
dari anggota badan menurut qaul yang rājiḥ. Jadi boleh dianggap musta ‘mal jika
sudah menyentuh badan. Kalau belum menyentuh, tidak dianggap musta‘mal.
Demikian kata Imām Nawawī di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ْ َ‫ضهُ أَ ْربَ َعةُ أ‬
(ُ‫ النِّيَّة‬:‫شيَا َء‬ ُ ِ‫و فَ َرائ‬.).
َ
[Fardhunya tayammum ada empat. Yang pertama ialah niat].
Niat diwajibkan di dalam tayammum karena sebuah Hadits yang masyhur, yaitu:
ِ ‫إِنَّ َما اأْل َ ْع َما ُل ِبالنِّيَّا‬.
‫ت‬
“Sesungguhnya sahnya suatu amal itu apabila disertai dengan niat.”
Oleh karena tayammum termasuk ibadah, maka ia juga memerlukan niat. Sama
halnya dengan wudhu’ dan shalat.
Caranya yaitu berniat memperoleh kewenangan dalam mengerjakan shalat. Tidak
cukup berniat, untuk menghilangkan hadats, sebab orang yang bertayammum itu
tidak boleh menghilangkan hadatsnya. Dalilnya yaitu sabda Rasūlullāh s.a.w. kepada
‘Amr bin al-‘Āsh ketika ‘Amr sedang mengalami janābah lalu bertayammum dan
kemudian shalat menjadi imam dengan sahabat-sahabatnya. Ketika itu Rasūlullāh
s.a.w. bersabda begini:
ٌ ُ‫ص َحابِكَ َو أَ ْنتَ ُجن‬
‫ب‬ ْ َ ‫صلَّيْتَ بأ‬
َ َ‫أ‬.
“Apakah engkau shalat dengan kawan-kawanmu sedangkan engkau dalam
keadaan junub!.”
Lain daripada itu, seandainya tayammum itu boleh menghilangkan hadats, tentunya
tidak akan batal tayammum itu karena melihat air, seperti wudhu’ dengan air.
Di dalam tayammum, tidak cukup berniat bersuci dari hadats, menurut qaul yang
shaḥīḥ. Andaikata orang itu berniat menunaikan kewajiban tayammum atau berniat
102

fardhunya tayammum, maka ada dua wajah. Yang pertama mengatakan cukup
sebagaimana dalam wudhu’. Adapun menurut qaul yang ashaḥḥ, tidak cukup.
Perbedaannya dengan wudhu’, bahwa wudhu’ itu merupakan ibadah yang dituju
pada hakikatnya, sehingga memperbarui wudhu’ itu hukumnya sunnat. Sedangkan
tayammum pula tidak disunnatkan memperbaruinya. Andaikata orang itu berniat
tayammum begitu saja, tidak cukup. Demikian kata al-Māwardī.
Ketahuilah, bahwa niat tidak boleh tertinggal dari awal pekerjaan tayammum yang
difardhukan, yaitu memindahkan tanah. Yang dimaksud yaitu ketika orang yang
bertayammum itu meletakkan tangannya di atas permukaan tanah. Jadi sebelum
mengangkat tangan harus sudah niat. Andaikata bersamaan antara niat dan
meletakkan tangan di atas tanah dan niat itu hilang sebelum mengusap wajah, cukup
tayammumnya menurut qaul yang rājiḥ di dalam Syaraḥ as-Shaghīr dan kitab ar-
Raudhah.
Ibnu Rif‘ah berkata: Yang ashaḥḥ, tidak cukup, sebab memindahkan tanah itu
walaupun hukumnya wajib, tetapi yang dimaksudkan bukan itu yang sebenarnya.
Kemudian, jika orang itu berniat memperoleh kewenangan sesuatu fardhu, maka
baginya ada empat hal pokok, yaitu:
1. Orang itu berniat mendapatkan kewenangan ibadah fardhu dan sunnat,
kedua-duanya. Maka dia boleh mengerjakan ibadah fardhu dan sunnat, dan
boleh mengerjakan sunnat sebelum dan sesudah fardhu, di dalam waktunya
maupun di luar waktunya. Tidak disyaratkan menjelaskan fardhunya menurut
qaul yang rājiḥ, cukup berniat fardhu secara mutlak dan boleh mengerjakan
shalat fardhu mana saja yang dikehendaki. Jika dia berniat untuk sesuatu
fardhu yang dijelaskan, boleh juga mengerjakan shalat fardhu selain yang
dijelaskan (atau dinyatakan) itu.
2. Orang itu berniat fardhu, baik shalat fardhu yang lima waktu maupun shalat
fardhu yang di-nadzar-kan, dan tidak terpikir sama sekali dalam hatinya
untuk shalat sunnat. Orang yang demikian boleh mengerjakan shalat fardhu,
karena dia telah berniat fardhu. Dan juga boleh mengerjakan shalat sunnat
103

sesudah fardhu maupun sebelumnya menurut qaul yang rājiḥ, karena shalat
sunnat itu ekor kepada shalat fardhu.
3. Orang itu berniat untuk sunnat saja. Orang seperti ini tidak boleh
mengerjakan shalat fardhu menurut qaul yang rājiḥ. Sebab shalat sunnat itu
sifatnya hanya ekor, sedangkan shalat fardhu itu yang asal (kepala). Jadi
tidak sah shalat sunnat itu menjadi Tābi‘ (yang mengikuti) sedangkan dia
tidak berniat fardhu (sebagai Matbū‘) yang diikuti.
Andaikata orang itu berniat untuk memegang mushḥaf, atau orang junub berniat
untuk i‘tikaf, maka hukumnya sama dengan niat sunnat. Jadi tidak boleh untuk
mengerjakan fardhu menurut madzhab yang kuat. Tetapi orang tersebut boleh
mengerjakan apa saja yang ia niati menurut qaul yang shaḥīḥ.
Andaikata orang itu berniat tayammum untuk shalat janāzah, hukumnya sama
dengan ketika dia berniat untuk shalat sunnat menurut qaul yang shaḥīḥ. Sebab,
walaupun shalat janāzah itu dikira wajib atau dirinya (fardhu kifāyah), tetapi tetap
sama dengan shalat sunnat ditujukan kewajibannya kepada dirinya saja. Buktinya,
kewajiban shalat janāzah itu menjadi gugur apabila sudah ada orang lain yang
menshalati janāzah itu.
4. Orang itu berniat untuk shalat saja (tanpa menyebut fardhunya atau sunnatnya).
Orang seperti ini sama hukumnya dengan orang yang berniat untuk shalat sunnat
menurut qaul yang rājiḥ. Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan (2)
Andaikata orang itu berniat mendapatkan kewenangan shalat dengan disertai dugaan
bahwa hadats yang ia tanggung itu hadats kecil, tetapi yang sebenarnya adalah
hadats besar, atau sebaliknya dia menduga hadatsnya hadats besar, tetapi
kenyataannya hadats kecil, sah tayammumnya tanpa khilāf. Sebab yang diwajibkan
dari adanya dua hadats tersebut adalah satu, yaitu tayammum. Wallāhu a‘lam.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ُ ‫ َو الت َّْرتِ ْي‬،‫س ُح ا ْل َو ْج ِه َو ا ْليَ َد ْي ِن إِلَى ا ْل ِم ْرفَقَ ْي ِن‬
(‫ب‬ ْ ‫و َم‬.).
َ
104

[Dan mengusap wajah, dan dua tangan hingga siku dan tertib].
Termasuk fardhunya tayammum yaitu mengusap wajah dan dua tangan. Sebab
firman Allah:
‫فَا ْم َسحُوْ ا بِ ُوجُوْ ِه ُك ْم َو أَ ْي ِد ْي ُك ْم‬
“Sapulah mukamu dan tanganmu.” (an-Nisā’: 43).
Dan karena Rasūlullāh s.a.w. sendiri melakukannya.
Adapun mengusap muka, usapannya wajib merata sebagaimana dalam wudhu’.
Tetapi tidak wajib mendatangkan tanah pada tempat tumbuhnya rambut yang wajib
dibasuh pada waktu wudhu’, menurut madzhab yang kuat, disebabkan karena sukar.
Al-Qādhī Ḥusain berkata: Selain tidak wajib, juga tidak disunnatkan mendatangkan
tanah pada tempat tumbuhnya rambut. Dan wajib mendatangkan tanah pada bagian
yang tampak pada jenggotnya yang menggelantung ke bawah, menurut qaul yang
azhhar jelas wajahnya, sebagaimana dalam wudhu’.
Adapun mengusap tangan, juga wajib meratakan sampai ke siku. Demikian menurut
Imām Rāfi‘ī dan Imām Nawawī di dalam ar-Raudhah. Ketetapan tersebut
menggunakan hujjah kata Ibnu ‘Umar r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:
‫ضرْ بَةٌ لِ ْليَ َدي ِْن إِلَى ْال ِمرْ فَقَ ْي ِن‬
َ ‫ َو‬،‫ضرْ بَةٌ لِ ْل َوجْ ِه‬ َ ‫التَّيَ ُّم ُم‬.
َ :‫ضرْ بَتَا ِن‬
“Tauyammum itu dua kali pukulan. Satu pukulan untuk muka dan satu pukulan
lagi untuk kedua tangan hingga sikut.” (Riwayat al-Ḥākim).
Dan al-Ḥākim memberikan pujiannya pada Hadits ini. Tetapi beliau ditentang oleh
al-Baihaqī. Al-Baihaqī berkata: Yang benar, Hadits tersebut riwayatnya berhenti
sampai kepada Ibnu ‘Umar r.a. Dan menggunakan hujjah kias, yaitu dikiaskan
dengan wudhu’.
Di dalam qaul qadīm, tidak sah hanya mengusap tapak tangan saja. Imām Syāfi‘ī
mengambil ḥujjah dari sabda Rasūlullāh s.a.w. kepada ‘Ammār:
‫ال َعلَى ْاليَ ِم ْي ِن َو ظَا ِه َر‬
َ ‫ ثُ َّم َم َس َح ال ِّش َم‬،ً‫ضرْ بَةً َوا ِح َدة‬ َ ْ‫ب بِيَ َد ْي ِه اأْل َر‬
َ ‫ض‬ َ ‫ ثُ َّم‬.‫ك أَ ْن تَقُوْ َل بِيَ َد ْيكَ ه َك َذا‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫إِنَّ َما يَ ْكفِ ْي‬
ُ‫ َكفَّ ْي ِه َو َوجْ هَه‬.
“Sesungguhnya kamu cukup memukulkan kedua tanganmu begini. Kemudian
Rasūlullāh s.a.w. memukulkan kedua tangannya ke bumi sekali, dan kemudian
105

mengusapkan tangan kirinya pada tangan kanan dan bagian luar tapak tangan dan
mengusap mukanya.” (Riwayat Bukhārī dan Muslim).
Di dalam qaul qadīm ini, Imām Syāfi‘ī menggantungkan masalah cukup mengusap
tapak tangan ini pada Haditsnya ‘Ammār. Sedangkan Haditsnya ‘Ammār itu shahih,
jadi berarti cukupnya mengusap tapak tangan itu merupakan madzhabnya Imām
Syāfi‘ī berdasarkan Hadits tersebut. Sebab kata Imām Syāfi‘ī: “Apabila sebuah
Hadits itu shaḥīḥ, maka ikutilah, dan ketahuilah bahwa Hadits yang shaḥīḥ itu adalah
madzhabku.”
Qaul qadīm ini juga merupakan madzhabnya Imām Mālik dan Imām Aḥmad, dan
dipilih oleh Imām Nawawī. Di dalam Syaraḥ al-Muhadzdzab Imām Nawawī berkata
bahwa cukupnya mengusap tapak tangan itu lebih kuat di bidang dalil dan lebih
dekat dengan zhahirnya sunnat Rasūl yang shaḥīḥ. Wallāhu a‘lam.
Ibnu Rif‘ah setelah membicarakan masalah-masalah yang dibahas oleh Imām
Ḥaramain ini beliau berkata: Wajib men-tarjīḥ-kan qaul qadīm. Wallāhu a‘lam.
Imām Nawawī di dalam asal kitab ar-Raudhah berkata: Ketahuilah, bahwa lafazh
Dharbataini (dua kali pukulan) itu seringkali diulang-ulang di dalam Hadits-hadits
Rasūl. Kemudian sekompok Ulama dari Ulama Madzhab Syāfi‘ī mengambil
keputusan menurut zhahirnya Hadits. Mereka berkata: Tidak boleh kurang dari dua
kali pukulan, tetapi boleh melebihi dari dua kali itu.
Qaul yang ashaḥḥ yaitu apa yang dikatakan oleh Ulama Syāfi‘ī lainnya bahwa yang
diwajibkan itu adalah mendatangkan tanah (debu), baik tanah itu dari hasil satu
pukulan maupun lebih dari dua pukulan. Akan tetapi disunnatkan, hendaknya jangan
sampai lebih dari dua pukulan atau kurang dari dua pukulan. Baik debu itu didapat
dari tangan, dari kain atau dari kayu.
Di dalam tayammum, tidak disyaratkan harus menjalankan tangannya di anggota
menurut qaul yang rājiḥ. Wallāhu a‘lam.
Di antara fardhunya tayammum ialah tertib (berurutan). Jadi wajib mendahulukan
muka daripada kedua tangan. Baik tayammum itu sebagai gantinya wudhu’ maupun
gantinya mandi janābah. Sebab tayammum itu wajib bersuci pada dua anggota. Jadi
106

sama dengan wudhu’, menurut Hadits ‘Ammār r.a. Andaikata dia lupa melaksanakan
tertib ini, tidak sah tayammumnya menurut madzhab yang kuat, sama dengan
wudhu’.
Tidak disyaratkan tertib di dalam mengambil tanah untuk kedua anggota tayammum
tersebut menurut qaul yang ashaḥḥ. Sehingga andaikata orang itu memukulkan
kedua tangannya di atas tanah, dan kemudian dia mengusap mukanya dengan tangan
kanannya, setelah itu tangan kanannya itu diusap dengan tangan kirinya, sah dan
cukup tayammumnya. Demikian pula andaikata dia mengambil tanah itu dengan
kain, kemudian mengusap muka dengan sebagian kain itu dan mengusap kedua
tangannya dengan bagian yang lain dari kain itu, cukup tayammumnya.
Orang yang bertayammum wajib melepaskan cincin pada pukulan kali yang kedua,
tidak cukup dengan hanya digerak-gerakkannya. Lain halnya pada ketika berwudhu’.
Sebab tanah itu tidak boleh sampai ke bawah jari yang bercincin itu. Wallāhu a‘lam.
Cabang Permasalahan (3)
Andaikata orang itu bertayammum, sedangkan pada tangannya ada najis, dan orang
itu memukulkan kedua tangannya pada tanah yang suci kemudian mengusap
mukanya, boleh menurut qaul yang ashaḥḥ. Tidak boleh mengusap tangan yang ada
najisnya, tanpa khilāf. Sebagaimana tidak sah membasuh tangan yang ada najis di
dalam wudhu’.
Andaikata orang itu sedang bertayammum lalu kejatuhan najis, tidak batal
tayammumnya menurut madzhab yang kuat. Andaikata orang itu bertayammum
sebelum berijtihad menentukan qiblat, maka mengenai sah atau tidaknya
tayammumnya ada dua wajah. Sama dengan masalahnya orang yang pada anggota
tayammumnya ada najis. Wallāhu a‘lam.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
ُ ‫سا َعلَى ا ْل ُو‬
(‫ض ْو ِء‬ ْ ُ‫ َو تَ ْق ِد ْي ُم ا ْليُ ْمنَى َعلَى ا ْلي‬،ُ‫س ِميَة‬
ً ‫ َو ا ْل ُم َوااَل ةُ قِيَا‬،‫س َرى‬ ْ َ‫سنَنُهُ ثَاَل ثَةُ أ‬
ْ َّ‫ الت‬:‫شيَا َء‬ ُ ‫و‬.).
َ
107

[Sunnat-sunnatnya tayammum ada tiga, yaitu membaca basmalah, mendahulukan


tangan kanan daripada yang kiri, dan berturut-turut. Semua itu dikiaskan dengan
wudhu’].
Di antara sunnat-sunnatnya tayammum lagi ialah memperingan (mempersedikitkan)
tanah yang diambil jika berlebihan; hendaknya melepaskan cincin pada pukulan
yang pertama; hendaknya menghadap ke qiblat sebagaimana dalam wudhu’, dan
hendaknya setelah pukulan yang kedua jari-jemarinya itu saling dimasukkan satu
kepada yang lainnya. Imām Nawawī berkata di dalam asal kitab ar-Raudhah: Juga
(disunnatkan) membaca dua syahadat sesudah tayammum itu, sebagaimana wudhu’
dan mandi. Wallāhu a‘lam.

Fasal
Perihal Perkara-perkara Yang Membatalkan Tayammum
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
َّ ‫ َو ُرؤْ يَةُ ا ْل َما ِء فِ ْي َغ ْي ِر ال‬،‫ض ْو َء‬
(ُ‫ َو ال ِّر َّدة‬،‫صاَل ِة‬ ْ َ‫ي يُ ْب ِط ُل التَّيَ ُّم َم ثَاَل ثَةُ أ‬
ُ ‫ َما يُ ْبطُ ُل ا ْل ُو‬:‫شيَا َء‬ ْ َ‫ف‬.)
ْ ‫ َو الَّ ِذ‬:‫ض ٌل‬
[Perkara yang membatalkan tayammum ada tiga. Yaitu (pertama:) perkara-perkara
yang dapat membatalkan wudhu’, (kedua:) melihat air pada selain waktu
mengerjakan shalat, dan (ketiga:) riddah (murtad)].
Jika tayammum sudah dianggap sah karena telah memenuhi syarat-syaratnya, lalu
orangnya berhadats, maka batal tayammumnya. Sebab tayammum itu bersuci yang
dapat membuat wenangnya melakukan shalat, jadi ia boleh batal dengan sebab
berhadats sebagaimana yang berlaku pada wudhu’.
Mengenai batalnya tayammum sebab hadats ini, tidak dibedakan antara tayammum
dengan sebab ketiadaan air dan tayammum ketika ada air, seperti tayammum orang
sakit. Jadi andaikata orang itu bertayammum sebab tidak ada air, lalu dia melihat air
sebelum masuk waktu shalat, maka batal tayammumnya. Sebab sabda Nabi s.a.w.:
ُ‫ فَإ ِ َذا َو َج َد ْال َما َء فَ ْليَ ِم َّسهُ بَ َش َرتَه‬. َ‫ َو لَوْ لَ ْم يَ ِج ِد ْال َما َء َع ْش َر ِسنِ ْين‬،‫ص ِع ْي ُد الطَّيِّبُ طَهُوْ ُر ْال ُم ْسلِ ِم‬
َّ ‫ال‬.
108

“Tanah yang suci itu boleh dibuat bersuci oleh orang Islam, meskipun tidak
pernah menemukan air selama sepuluh tahun. Apabila telah menemukan air,
hendaklah ia menyentuhkan air itu pada kulitnya.”
At-Tirmidzī berkata: Hadits ini Hadits Ḥasan lagi Shaḥīḥ.
Lain daripada itu, air itu asalnya untuk bersuci, sedangkan tayammum merupakan
penggantinya. Jadi sama dengan melihat air di tengah-tengah tayammumnya. Sebab
melihat air pada pertengahan melakukan tayammum itu boleh membatalkan
tayammum. Demikian kata Imām Ibnu Ri‘fah. Batalnya tayammum ini sudah
menjadi ijma‘ Ulama.
Ketahuilah, bahwa menduga adanya air itu sama dengan melihat air. Misalnya ada
orang melihat bayangan air waktu hari panas terik, lalu menyangkanya air; atau di
dekatnya ada mendung tebal; atau datang satu rombongan dan orang itu mempunyai
dugaan kuat bahwa rombongan itu membawa air. Demikian itu apabila adanya air itu
tidak dibarengi dengan adanya hal-hal yang dapat mencegah orang tersebut dari
menggunakan air. Jika terhadap hal-hal yang dapat mencegah orang tersebut dari
menggunakan air, misalnya dia melihat air tetapi dia sendiri membutuhkan air itu
untuk diminum karena dahaga seperti yang diterangkan di muka; ataupun di dekat
tempat air itu ada sesuatu yang boleh mengganggu, seperti adanya binatang buas
atau ada musuhnya; ataupun dia melihat air itu berada di dalam sumur tetapi sulit
untuk mengambilnya waktu itu, maka dalam keadaan yang demikian ini
tayammumnya tidak batal. Karena sebab-sebab tersebut di atas, tidak dapat menolak
sahnya tayammum pada permulaan. Jadi lebih utama dianggap tidak membatalkan
(pada pertengahan tayammum).
Apabila pada pertengahan shalat orang itu melihat air, maka dilihat dulu; jika
shalatnya itu berupa shalat yang tidak wajib diqadha’, seperti shalatnya musafir,
menurut zhahirnya madzhab dan telah dinash oleh Imām Syāfi‘ī, tidak batal
shalatnya dan tidak batal pula tayammumnya. Sebab dia termasuk orang yang
bertayammum yang berada dalam keadaan shalat yang tidak wajib mengulangi. Jadi
sama dengan ketika orang itu melihat air sesudah shalat. Lain daripada itu,
109

membatalkan shalat dan tayammum berarti membatalkan ibadah yang telah dianggap
cukup. Dengan mengerjakan shalat, berarti dia telah melakukan sesuatu yang diniati.
Dan mendapat asal (yakni air) sesudah mengerjakan penggantinya (yakni
tayammum) itu tidak boleh membatalkan hukumnya pengganti. Seperti ada orang
membayar kaffārah, dia sudah melakukan puasa lalu menemukan budak (hamba),
orang tersebut tidak wajib mengeluarkan kaffārah budak.
Jika shalatnya tidak dapat membebaskan kewajiban qadha’, seperti shalatnya orang
yang muqim di rumah dengan tayammum, maka batal shalatnya menurut qaul yang
shaḥīḥ. Sebab andaikata shalatnya telah sempurna sekalipun, tetap tidak dianggap
sah dan dia wajib mengqadha’. Jadi tidak perlu disempurnakan dan diulangi. Ada
yang mengatakan wajib menyempurnakan shalatnya dan wajib mengulangi. Wallāhu
a‘lam
Cabang Permasalahan (1)
Ketahuilah, bahwa orang yang shalat dengan menggunakan tayammum di tempat
yang biasanya tidak ada air tidak wajib mengqadha’. Baik orang tersebut seorang
yang musafir maupun orang muqim. Jika dia berada di tempat yang biasanya ada air,
maka wajib dia mengqadha’. Baik dia orang musafir maupun orang muqim.
Demikian keterangan Imām Nawawī yang terdapat di dalam kitab Syaraḥ al-
Muhadzdzab.
Masalah ini juga telah diterangkan oleh Imām Rāfi‘ī pada akhir bab tayammum,
fasal mengqadha’ shalat dengan berbagai macam ‘udzur. Oleh karena itu, apa yang
selama ini dibuat contoh oleh para Ulama mengenai tidak wajibnya mengqadha’
shalat waktu bepergian, berlaku juga, apa yang biasa terjadi pada waktu bepergian
itu biasanya tidak ada air. Lain dengan di rumah, biasanya ada air. Hal yang
demikian ini perlu sekali kamu ketahui, sebab masalah ini masalah penting dan
bagus. Wallāhu a‘lam.
Ketahuilah, kata pengarang “Riddah” itu yang dimaksudkan ialah bahwa riddah
(murtad) itu dapat membatalkan tayammum. Demikian itu yang shaḥīḥ dan masyhur.
110

Mengenai masalah tayammum dengan wudhu’ itu ada tiga wajah. Qaul yang shaḥīḥ,
batal tayammumnya orang yang murtad, dan bukan wudhu’nya. Letak
perbedaannya, tayammum itu hanya membuat kewenangan. Kalau orangnya murtad,
kewenangan itu tidak akan terjadi. Lain dengan wudhu’, sebab wudhu’ itu boleh
menghilangkan hadats. Jadi wudhu’ itu mempunyai kekuatan untuk melestarikan
hukum berwudhu’. Oleh karena itulah, maka mandinya orang yang murtad tidak
batal dengan sebab murtadnya, menurut qaul yang masyhur. Ada yang mengatakan:
tayammum itu sama dengan wudhu’. Wallāhu a‘lam.
 
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(‫ض َع َها َعلَى طُ ْه ٍر‬
َ ‫صلِّ ْي َو اَل إِعَا َدةَ َعلَ ْي ِه إِنْ َو‬ َ ‫ب ا ْل َجبَائِ ِر يَ ْم‬
َ ُ‫ َو يَتَيَ َّم ُم َو ي‬،‫س ُح َعلَ ْي َها‬ ُ ‫صا ِح‬
َ ‫و‬.).
َ
[Orang yang mempunyai jabīrah, yakni pembalut pada anggota wudhu’nya, cukup
mengusap pembalutnya itu dan bertayammum kemudian shalat. Dan tidak wajib
mengulangi shalatnya, jika waktu meletakkan pembalut itu dia dalam keadaan suci].
Ketahuilah, pembalut jabīrah itu ada kalanya karena pecah tulang dan ada kalanya
karena tulang yang meleset. Orang yang pecah tulangnya atau meleset tulangnya
kadang-kadang memerlukan jabīrah (pembalut) dan kadang-kadang tidak
memerlukan. Jika memang pembalutan itu diperlukan, karena khawatir
mempengaruhi kesehatan badannya atau anggot badannya menurut apa yang telah
diterangkan di muka mengenai masalah sakit, orang tersebut boleh meletakkan
jabīrah (pembalut). Kemudian dilihat, jika pada waktu bersuci dia boleh melepaskan
pembalut itu tanpa menimbulkan bahaya sebagaimana yang telah diterangkan di
dalam bab sakit, maka dia wajib melepaskan pembalut itu dan wajib membasuh
bagian yang tidak sakit dan membasuh bagian yang sakit jika dimungkinkan. Jika
tidak, harus mengusap pembalut itu dengan tanah, jika tepat pada anggota
tayammum.
Jika pembalut itu tidak boleh dilepaskan kecuali menimbulkan bahaya sebagaimana
yang tersebut di dalam bab sakit, seperti khawatir hilangnya nyawa, atau hilangnya
anggota tubuh atau manfaat dari anggota tubuh itu, atau khawatir timbul cacat yang
111

buruk pada anggota yang kelihatan, maka orang itu tidak diharuskan melepaskan
pembalut itu. Tetapi ada beberapa hal yang wajib ia kerjakan, antara lain yaitu:
1. Wajib membasuh anggota yang sehat menurut madzhab yang kuat.
2. Wajib membasuh apa saja yang dapat dibasuh, termasuk kulit-kulit yang
ada di bawah pinggiran pembalut, dengan meletakkan kain yang telah
dibasahi atau dengan memeras kain itu untuk membasuh tempat-tempat
yang dapat dibasuh dengan air yang menetes dari kain yang dibasahi itu.
3. Wajib mengusap pembalut iitu dengan air menurut qaul yang masyhur,
sebagaimana yang telah diterangkan oleh pengarang. Usapan itu untuk
anggota yang sehat yang tertutup oleh pembalut. Dan wajib mengusap
seluruh pembalut itu menurut qaul yang shaḥīḥ.
4. Wajib tayammum selain mengusap pembalut, menurut qaul yang
masyhur.
5. Kemudian jika orang itu sedang junub, menurut qaul yang masyhur,
orang itu boleh memilih. Boleh mendahulukan membasuh anggota yang
sehat dan boleh mendahulukan tayammum. Jika orang itu hanya
mempunyai hadats kecil, menurut qaul yang shaḥīḥ, orang itu tidak boleh
berpindah dari satu anggota kepada anggota yang lain sebelum sempurna
sucinya (anggota yang mesti didahulukan). Jadi kalau pembalut itu ada di
tangan misalnya, maka wajib mendahulukan tayammum daripada
mengusap kepala.
Jika pembalutnya ada di dua atau tiga tempat, maka tayammumnya hendaklah
dikalikan, yakni tidak hanya sekali. Imām Nawawī berkata: Jika lukanya menyeluruh
pada keempat anggota wudhu’, para Ulama madzhab Syāfi‘ī berkata: Cukup sekali
tayammum untuk keempat anggota itu. Sebab dengan demikian, tertib anggota
menjadi gugur dengan gugurnya kewajiban membasuh. Wallāhu a‘lam.
Kemudian, apa yang telah saya tuturkan di muka mengenai wajibnya membasuh
anggota yang sehat dan mengusap pembalut serta wajib tayammum, itu dapat
dianggap cukup setelah memenuhi dua syarat:
112

1. Anggota sehat yang tertutup oleh pembalut harus anggota yang tidak dapat
ditinggalkan untuk mengikat pembalut.
2. Meletakkan pembalut harus dalam keadaan suci. Jika tidak, wajib mencopot
dan mengulangi meletakkannya dalam keadaan suci jika boleh. Jika tidak
boleh, pembalut itu dibiarkan dan wajib mengqadha’ shalat apabila sudah
sembuh. Berkata Imām Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah dengan
mengikuti Imām Rāafi‘ī tanpa khilāf.
Adapun jika orang tersebut tidak memerlukan pembalut, tetapi takut dikenakan air,
dia harus membasuh anggota yang sehat sedapat-dapatnya, dengan meletakkan kain
yang dibasahi dengan perlahan-lahan dan menekan kain itu agar anggota yang sehat
boleh mendapat basuhan dari air yang menetes. Dalam keadaan semacam ini, orang
itu wajib tayammum tanpa khilāf, sebagaimana yang dikatakan oleh Imām Nawawī.
Maksudnya agar tempat retaknya tulang tidak terkena cucian.
Tidak wajib mengusap tempat yang sakit dengan air. Walaupun orangnya tidak takut
apa-apa. Demikian kata para Ulama Madzhab Syāfi‘ī. Kemudian jika orang itu
bertayammum, sedangkan yang sakit itu ada pada anggota tayammum, maka wajib
menjalankan (menyapukan) tanah di atas tempat yang sakit itu. Demikian juga kalau
lukanya berlobang dan terbuka, dan orang boleh menjalankan (menyapukan) tanah
di atas lukanya itu, dia pun wajib menjalankan (menyapukan) tanah di atas luka itu.
Ketahuilah, bahwa luka itu kadang-kadang perlu ditempeli dengan kain atau kapas
dan lain sebagainya. Jika demikian, maka kain yang ditempelkan itu hukumnya sama
dengan hukumnya pembalut dengan segala perinciannya. Dan kadang-kadang luka
itu tidak perlu ditempel dengan kain. Jika demikian keadaannya, maka wajib
membasuh anggota yang sehat dan bertayammum untuk kulit yang ada lukanya.
Tidak wajib mengusap kulit yang luka dengan air dan tidak wajib memberi pembalut
untuk diusap menurut apa yang dikatakan oleh Jumhur-ul-Ulama, yaitu qaul yang
shaḥīḥ.
Kemudian, jika orang itu membasuh anggota yang sehat dan bertayammum karena
retak tulang atau karena luka, serta mengusap pembalut yang menutupi, atau tidak
113

ada yang menutup, dan dia sudah melakukan shalat fardhu, lalu datang shalat fardhu
lain, orang tersebut tidak wajib mengulangi mandinya, jika waktu itu dia sedang
junub, dan tidak wajib mengulangi wudhu’nya jika waktu itu dia hanya berhadats
kecil, menurut qaul yang shaḥīḥ
Cabang Permasalahan (2)
Andaikata orang yang junub atau orang yang berhadats kecil tidak menemukan air
kecuali air yang tidak cukup untuk bersuci, orang tersebut wajib menggunakan air
itu menurut qaul yang shaḥīḥ dan juga wajib tayammum untuk sisa anggotanya.
Andaikata orang itu tidak menemukan tanah kecuali tanah yang sedikit, tidak cukup
untuk tayammum, wajib menggunakan tanah itu menurut madzhab yang kuat.
Demikian juga kalau di badannya ada najis, kemudian tidak menemukan air kecuali
air yang cukup untuk membasuh sebagian dari najis itu, maka wajib membasuhnya
menurut madzhab yang kuat.
Jadi andaikata orang itu masih berhadas kecil atau sedang junub atau di badannya
ada najis, dan dia tidak menemukan air kecuali air yang hanya cukup untuk salah
satunya, maka dia wajib menggunakan air itu untuk mencuci najis itu lalu
bertayammum. Karena mensucikan najis itu tidak ada gantinya.
Andaikata di dalam perjalanannya, seorang musafir melewati air. Akan tetapi ia
tidak mau menggunakan air itu. Padahal waktu shalat sudah masuk, kemudian
setelah sampai di kejauhan dia bertayammum dan shalat, hal itu boleh dan tidak
wajib mengulangi shalatnya menurut madzhab yang kuat.
Andaikata orang itu tidak menemukan air dan tidak menemukan tanah, ia wajib
shalat karena memuliakan waktu dan wajib mengulangi shalatnya sesudah
menemukan air. Shalatnya tetap dikatakan sah. Jadi kalau orang itu menemukan air,
wajib mengulangi shalatnya.
Jika orang itu menemukan tanah, apakah dia wajib mengulangi shalatnya? Dilihat
dulu. Jika tanah itu ditemukan di tempat yang boleh menggugurkan qadha’, wajib
mengulangi shalat. Jika tidak, maka tidak wajib mengulanginya. Sebab tidak ada
114

gunanya shalat dengan tayammum, shalat itu wajib diulang. Malah menurut kata
sebagian Ulama, tidak boleh diqadha’.
Kemudian, orang yang tidak menemukan air dan tanah dalam keadaan junub, apakah
wajib membaca al-Fātiḥah dalam shalatnya? Menurut apa yang menjadi kandungan
di dalam kata Imām Rāfi‘ī mengenai masalah ini di dalam bab tayammum, tidak
wajib membaca al-Fātiḥah, dan orang itu harus membaca dzikir-dzikir yang isinya
sepadan dengan surat al-Fātiḥah. Hal yang demikian juga diikuti oleh Imām
Nawawī. Namun di dalam bab mandi Imām Nawawī menganggap shaḥīḥ wajibnya
membaca surat al-Fātiḥah.
Andaikata orang itu bertayammum karena janābah, lalu berhadats, haram baginya
melakukan hal-hal yang diharamkan untuk orang-orang yang berhadats kecil. Tetapi
tidak haram membaca al-Qur’ān dan tinggal di masjid. Kemudian dengan melihat
air, membaca al-Qur’ān menjadi haram, dan menjadi haram pula apa-apa yang
diharamkan kepada janābah, hingga orang tersebut mandi. Kecuali jika ada hal-hal
yang dapat menghalangi dari menggunakan air itu. Baik penghalang itu dipandang
dari sudut syar‘ī seperti dahaga, maupun penghalang ḥissī seperti ada binatang buas
atau ada musuh, sebagaimana yang telah diterangkan di muka, dan lain sebagainya.
Wallāhu a‘lam.
Masalah
Seorang musafir menemukan wadah berisi air yang disediakan untuk minum, orang
tersebut tidak boleh menggunakan air itu untuk wudhu’, dan dia wajib tayammum.
Sebab wadah berisi air yang ditempatkan di situ adalah untuk diminum. Demikian
keterangan al-Mutawallī dan ar-Ruyānī. Ar-Ruyānī menukil masalah ini dari para
Ulama Madzhab Syāfi‘ī. Wallāhu a‘lam.
Fasal
TUNTUNAN HAID, NIFAS DAN ISTIHADHOH

Berkata Syaikh Abu Syuja’, darah yang keluar dari farji ada tiga macam. Yaitu darah
haidh, darah nifas dan darah istihadah. Darah haikd adalah darah yang keluar dari
115

farji seorang wanita secara normal (sehat), tidak sesudah bersalin. Darah nifas ialah
darah yang keluar beriringan dengan saat melahirkan bayi. Darah istihadhah ialah
darah yang keluar pada selain saat-saat keluarnya darah haidh dan nifas.

Darah yang keluar dari Rahim secara tabi’I artinya menurt kebiasaan yang sehat
tanpa danya gejala adanya penyakit dinamakan darah haidh. Darah haidh merupakan
ketentuan dari Allah atas tiap-tiap wanita keturunan adam. Sebagiamana yang telah
diterangkan oleh Rasullah s.a.w didalam hadistnya yang mulia.

Haid secara Bahasa artinya mengalir. (al-Mu’tamad, I/115). Secara istilah adalah
darah yang keluar dari kemaluan wanita pada waktu tertentu yang berwarna hitam,
kental dan berbau tidak sedap. (fiqh lin Nisa).
2. Istihadoh adalah darah yang keluar di luar waktu haid dan nifas . (Kifayatul
Akhyar, I/94) atau keluar langsung setelah masa haid dan nifas. Berwarna
merah, encer, tidak berbau busuk, membeku.
3. Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. (Kifayatul Akhyar, I/94).
 
Penulis kitab Kifayatul Akhyar berkata;
‫وأقل زمان تحيض فيه الجارية تسع سنين وال حد ألكثره‬
Dan minimal usia wanita haid yaitu Sembilan tahun dan tidak ada Batasan
maksimal. (Kifayatul Akhyar, I/96).
Aisyah Radhiallahu Anha berkata;
‫بحديث عائشة أن النبي صلى هللا عليه وسلم بنى بها وهي بنت تسع سنين وقد قالت عائشة إذا بلغت الجارية‬
‫تسع سنين فهي امرأة‬
‘Aaisyah berkata : ‘Apabila telah mencapai usia sembilan tahun, maka ia seorang
wanita dewasa/baligh” [Sunan At-Tirmidziy, 2/402].
Taqiyuddin Abu Bakr al-Hushni asy-Syafi’I rahimahullah ta’ala berpendapat bahwa
tidak ada batasan minimal usia wanita yang haid harus sembilan tahun, kapan saja ia
melihat darah haid itu keluar maka ia telah haid (baligh).
116

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan,


‫ بل لو قدر أنها بعد ستين أو سبعين رأت الدم المعروف من الرحم لكان حيضا‬، ‫وال حد لسن تحيض فيه المرأة‬
Tidak ada batasan usia untuk masa haid wanita. Sehingga andai ada wanita dengan
usia di atas 60 atau 70 tahun mengeluarkan darah dengan ciri yang umumnya dari
rahim, maka terhitung haid. (Majmu’ Fatawa, 19/240)

Penulis kitab Ghayah wa Taqrib (Matan Abi Syuja’) berkata,


‫ ست أو سبع‬: ‫ خمسة عشر يوما وغالبه‬: ‫ يوم وليلة وأثره‬: ‫وأقل الحيض‬
Batas minimal haid adalah sehari semalam, sedangkan batas maksimalnya adalah 15
hari, dan umumnya haid terjadi selama 6 atau 7 hari. (Matan Ghayah wa Taqrib, Abi
Syuja’, hlm. 51)
Dr. Muhammad az-Zuhaily berkata dalam kitabnya al-Mu’tamad jika kurang dari
sehari semalam maka itu darah penyakit, maka berwudhu dan shalat, dan
mengerjakan shalat yang tertinggal, jika puasa maka puasanya sah. (al-Mu’tamad,
I/121).
Adapun batas maksimal haid 15 hari, sebagaimana yang dikatakan oleh Atho’; Aku
melihat para wanita haid sehari dan ada yang lima belas hari, dan berkata Abdullah
bin Zubairi rahimahullah berkata wanita-wanita kami haid sehari semalam dan lima
belas hari. (Mughni al_muhtaj, I/109).
Permulaan dan Akhir Masa Haid
1. Permulaan haid diketahui dengan keluarnya darah pada masa kemungkinan
terjadinya haid. Dengan mengetahui ciri-cirinya.
2. Akhir masa haid diketahui dengan;
 Keluarnya cairan putih dari rahim, yaitu sebagai tanda suci.
 Kering sempurna, jika tidak ada cairan putih. Ketika itu dia dapat mengetahui
bahwa dirinya telah suci. Misalnya jiak dia tempelkan kapas putih ke tempat
keluarnya darah dan ternyata kapas tersebut masih bersih, maka ketika itu dia
telah suci, dan hendaknya dia mandi, lalu shalat. Namun jika kapas itu masih
merah, kuning atau coklat, maka jangan shalat (masih haid).
117

Pada masa lalu, kaum wanita mengirim wadah yang di dalamnya terdapat kapas,
padanya terdapat warna kekuningan, maka beliau berkata, “Jangan tergesa-gesa
(untuk menganggap telah suci), sebelum kalian mendapatkan cairan putih.” (HR.
Bukhari)
Adapun jika cairan kekuningan dan keruh tersebut keluar pada masa-masa suci
seorang wanita, maka dia dalam kondisi masa suci, seorang wanita tidak boleh
meninggalkan shalatnya dan tidak harus mandi, karena hal tersebut tidak
mewajibkan mandi dan tidak dianggap junub.
Berdasarkan hadits Ummu Athiyah radhiallahu anha, dia berkata,
‫كنا ال نعد الصفرة والكدرة بعد الطهر‬
“Kami dahulu tidak menganggap apa-apa (bukan haid) cairan kekungingan dan
keruh yang keluar setelah masa suci.” (HR. Abu Daud, 307.  Bukhari, no. 320,
meriwayatkan juga tanpa menyebutkan ‘setelah masa suci’)
Adapun jika hal tersebut bersambung dengan masa haid, maka dia dianggap haid.
Catatan penting;
1. Jika wanita telah bersih dari haid, tapi tidak mendapati air makai a boleh
bertayammum, boleh melakukan jima. (Syarah Muslim, I/593)
2. Jika darah yang keluar melebihi batas waktu kebiasaannya, ia berada pada
dua kondisi;
 Apabila mampu membedakan antara darah haid dengan darah lainnya. Maka
jika darahnya berwarna hitam, kental dan berbau tidak sedap berarti ia masih
dalam masa haid, maka tidak boleh shalat, jima dan hukum haid lainnya.
Namun jika berbeda dengan darah haid maka ia segera mandi, dan boleh
melakukan shalat, jima dan yang lainnya.
3. Apa yang harus dilakukan oleh seorang wanita jika darah haid keluar selama
dua hari, lalu berhenti di hari ke tiga, tetapi keluar lagi pada hari ke empat,
dan seterusnya ? Menurut pendapat yang benar, berhrntinya darah salama
masa haid yang biasa dialamo tetap dianggap darah haid, sehingga
118

berhentinya darah haid tersebut tidak berpengaruh apa-apa, selam tidak


terlihat tanda-tanda suci. (Fatawa Mar’ah, 26).
4. Apakah wanita hamil bisa mengalami haid ?
 Kebanyakan ulama berpendapat bahwa wanita hamil tidak haid.
 Imam asy-Syafi’I rahimahullah berpendapat bahwa wanita hamil bisa haid.
Sebagaimana Dr. Muhammad Az-Zuhaily berpendapat bahwa wanita
menyusui bisa hamil demikian pula wanita haid, karena hukum asalanya
keduanya tidak haid, namun jika keduanya melihat darah haid makai a dalam
kondisi haid. (al-Mu’tamad, I/122).
 
Larangan Bagi wanita Haid.
1. Shalat
Dari Abu Sai’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ص ْم فَ َذلِ َك نُ ْق‬
‫صانُ ِدينِ َها‬ ُ َ‫ َولَ ْم ت‬، ‫ص ِّل‬
َ ُ‫ضتْ لَ ْم ت‬ َ ‫أَلَ ْي‬
َ ‫س إِ َذا َحا‬
“Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah
kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim
no. 79)
Dari Mu’adzah, ia berkata bahwa ada seorang wanita yang berkata kepada ‘Aisyah,
‫يض َم َع النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – فَالَ يَأْ ُم ُرنَا‬ ِ ‫صالَتَ َها إِ َذا طَ ُه َرتْ فَقَالَتْ أَ َح ُرو ِريَّةٌ أَ ْن‬
ُ ‫ت ُكنَّا نَ ِح‬ َ ‫أَت َْج ِزى إِ ْحدَانَا‬
ُ‫ أَ ْو قَالَتْ فَالَ نَ ْف َعلُه‬. ‫ِب ِه‬
“Apakah kami perlu mengqodho’ shalat kami ketika suci?” ‘Aisyah menjawab,
“Apakah engkau seorang Haruri? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami
untuk mengqodho’nya. Atau ‘Aisyah berkata, “Kami pun tidak mengqodho’nya.”
(HR. Bukhari no. 321).
Catatan penting;
 Jika wanita mulai haid menjelang ashar, padahal ia belum shalat dzuhur,
maka ia harus mengqhodo shalat zuhur yang wajib ia kerjakan semasa belum
haid.
119

 Apabila wanita haid suci menjelang shalat asar dan ketika mandi telah masuk
waktu shalat asar, maka ia harus mengerjakan shalat zuhur dan asar pada hari
itu. Begitupun jika ia suci sebelum fajar terbit, maka harus mengerjakan
shakat maghrib dan isya dapa malam itu, karena waktu shakat yang kedua
dan shalat pertama masuk dalam kondosi uzur. Demikian perdapat dari Imam
asy-Syafii, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal. (Majmu’ Fatawa,
II/334 secara singkat).
2. Puasa
Dalam hadits Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
ْ‫ قَالَت‬.‫سأ َ ُل‬
ْ َ‫ت قُ ْلتُ لَسْتُ بِ َح ُرو ِريَّ ٍة َولَ ِكنِّى أ‬
ِ ‫صالَةَ فَقَالَتْ أَ َح ُرو ِريَّةٌ أَ ْن‬ ِ ‫ص ْو َم َوالَ تَ ْق‬
َّ ‫ضى ال‬ ِ ِ‫َما بَا ُل ا ْل َحائ‬
ِ ‫ض تَ ْق‬
َّ ‫ضى ال‬
‫صالَ ِة‬ َ َ‫ص ْو ِم َوالَ نُؤْ َم ُر بِق‬
َّ ‫ضا ِء ال‬ َ َ‫صيبُنَا َذلِ َك فَنُؤْ َم ُر ِبق‬
َّ ‫ضا ِء ال‬ ِ ُ‫ َكانَ ي‬.
‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’
shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku
menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab,
‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’
puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR. Muslim no. 335)
Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haid dan
nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
28/ 20-21)
Catatan penting;
 Jika seorang wanita yang haid seci sebelum fajar dan belum mandi dan ia
berniat puasa maka puasanya sah. Ini merupakan pendapat jumhur Ulama.
(Fathul Baari, I/192).
 Apabila wanita haid suci sebelum waktu terbenam, maka tidak perlu baginya
berpuasa di sisa waktu yang ada, karena sejak awal ia tidak berniat puasa.
3. Jima’ (hubungan suami istri)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat akan haramnya
menyetubuhi wanita haid berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang
shahih.” (Al Majmu’, 2: 359).
120

Allah Ta’ala berfirman,
َ ِّ‫فَا ْعتَ ِزلُوا الن‬
ِ ‫سا َء فِي ا ْل َم ِحي‬
‫ض‬
“Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari (hubungan intim dengan)
wanita di waktu haid.” (QS. Al Baqarah: 222). Imam Nawawi berkata,
“Mahidh dalam ayat bisa bermakna darah haid, ada pula yang mengatakan waktu
haid dan juga ada yang berkata tempat keluarnya haid yaitu kemaluan. … Dan
menurut ulama Syafi’iyah, maksud mahidhadalah darah haid.” (Al Majmu’, 2: 343)
Dalam hadits disebutkan,
‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ضا أَ ِو ا ْم َرأَةً فِى ُدبُ ِرهَا أَ ْو َكا ِهنًا فَقَ ْد َكفَ َر بِ َما أُ ْن ِز َل َعلَى ُم َح َّم ٍد‬
ً ِ‫ َمنْ أَتَى َحائ‬-
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya,
maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu
‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih). Al Muhamili dalam Al Majmu’ (2: 359)
menyebutkan bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
menyetubuhi wanita haid, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.”
Hubungan seks yang dibolehkan dengan wanita haid adalah bercumbu selama tidak
melakukan jima’ (senggama) di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,
َ ‫اصنَ ُعوا ُك َّل ش َْى ٍء إِالَّ النِّ َك‬
‫اح‬ ْ
“Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haid) selain jima’ (di kemaluan).”
(HR. Muslim no. 302)
Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan,
‫ أَ َم َرهَا‬، ‫ش َرهَا‬
ِ ‫سو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – أَنْ يُبَا‬
ُ ‫ فَأ َ َرا َد َر‬، ‫ضا‬
ً ِ‫شةَ قَالَتْ َكانَتْ إِ ْحدَانَا إِ َذا َكانَتْ َحائ‬
َ ِ‫عَنْ عَائ‬
‫ قَالَتْ َوأَيُّ ُك ْم يَ ْملِ ُك إِ ْربَهُ َك َما َكانَ النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – يَ ْملِ ُك‬. ‫ش ُرهَا‬ َ ‫أَنْ تَتَّ ِز َر فِى فَ ْو ِر َح ْي‬
ِ ‫ضتِ َها ثُ َّم يُبَا‬
ُ‫إِ ْربَه‬
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ada yang mengalami haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin
bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar
menutupi tempat memancarnya darah haid, kemudian beliau tetap mencumbunya (di
atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan
121

hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


menahannya?”   Artinya di selain tempat keluarnya darah haid atau selain
kemaluannya.
4. Ijma’ ulama mengatakan bahwa wanita haid haram melakukan thowaf.
Dalilnya ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam  bersabda padanya,
ِ ‫ َغ ْي َر أَنْ الَ تَطُوفِى بِا ْلبَ ْي‬، ‫اج‬
‫ت َحتَّى تَ ْط ُه ِرى‬ ُّ ‫فَا ْف َعلِى َما يَ ْف َع ُل ا ْل َح‬
“Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari
melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.”  (HR. Bukhari no. 305 dan
Muslim no. 1211)
5. Menyentuh al-Qur’an
Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
َ‫سهُ إِاَّل ا ْل ُمطَهَّرُون‬
ُّ ‫اَل يَ َم‬
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam,
‫س القُ ْرآن إِالَّ َوأَ ْنتَ طَا ِه ٌر‬
ُّ ‫الَ تَ ُم‬
“Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR. Al
Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Bagaimana dengan membaca Al Qur’an? Para ulama empat madzhab sepakat
bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats baik hadats besar maupun
kecil selama tidak menyentuhnya.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas
untuk membaca Al Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya,
karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al
Qur’an tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau
menyentuh Al Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain
yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen). Demikian pula
untuk menulis Al Qur’an di kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka diperbolehkan
122

dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10:
209-210)
Hal-Hal yang Masih Dibolehkan bagi Wanita Haid dan Nifas
1. Membaca Al Qur’an tanpa menyentuhnya. Ini pendapat yang terkenal dari
Imam asy-Syafi’I. pendapat ini dikuatkan oleh riwayat Ummu Athiyyah yang
mengatakan, “Kami diperintahkan agar keluar rumah pada hari raya,
sehingga kami membawa anak-anak gadis bahkan wanita-wanita yang haid
dan menematkan mereka di belakang kaum muslimin mereka ikut
mengucapkan takbir dan berdoa seperti kaum muslimin serta mengharap
berkah dan kesucian hari raya tersebut. (HR. al-Bukhari dan  Muslim.
2. Berdzikir.
3. Sujud Tilawah
4. Menghadiri shalat ‘ied.
5. Masuk masjid karena tidak ada dalil tegas yang melarangnya.
6. Menuapi dan memberikan minum kepada suami.
7. Melayani suami selama tidak melakukan jima’ (hubungan intim di
kemaluan).
8. Tidur bersama suami.
 
B. NIFAS
1. Definisi
Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan.
2. Waktu Nifas. Muhammad az-Zuhaily mengatakan bahwa waktu paling
sedikit nifas yatu satu tetes dan terkadang ada wanita yang melahirkan yang
ada darah nifasnya. Paling lama nifas yaitu enam puluh hari. (al-Mu’tamad,
I/125).
3. Jumhur ulama berpendapat bahwa jika wanita terus mengeluarkan darah
lebih dari itu maka ia harus mandi dan shalat. Dalilnya
ً‫اس َها أَ ْربَ ِعيْنَ َي ْو ًما أَ ْو أَ ْربَ ِعيْنَ لَ ْيلَة‬
ِ َ‫سلَّ َم تَ ْق ُع ُد بَ ْع َد نِف‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ َ‫ت النُّف‬
ُ ‫سا ُء َعلَى َع ْه ِد َر‬
َ ِ‫س ْو ِل هللا‬ ِ َ‫َكان‬
123

“Dahulu wanita nifas pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan diri
(dari shalat, puasa, dan lainnya) setelah nifas selama 40 hari atau 40 malam. (HR.
Abu Dawud no. 311, At-Tirmidzi no. 139, Ibnu Majah no. 648).
4. Ulama sepakat bahwa semua hukum yang berkaitan dengan wanita yang
mengalami nifas sama dengan hukum wanita yang sedang haid, baik halal,
haram, makruh dan mandub. (Nailul Authar, I/286).
5. Perbedaan antara nifas dengan haid terletak pada kedudukannya yang tidak
berpengaruh pada iddah, karena masa iddah otomatis berhenti saat
melahirkan. (Shohih Fiqh Sunnah, I/187).
 C. ISTIHADHOH
1. Istihadoh adalah darah yang keluar di luar waktu haid dan nifas atau keluar
langsung setelah masa haid dan nifas. Berwarna merah, encer, tidak berbau
busuk, membeku.
2. Jika darah istihadhoh keluar selain pada masa haid dan nifas maka kondisi ini
tidak masalah.
3. Jika darah istihadhoh keluar setelah masa haid. Maka ada empat kondisi,
yaitu,
 Jika memiliki kebiasaan haid yang jelas dan tahu masa haidnya, maka ia
harus menunggu hingga masa kebiasan haidnya berakhir lalu mandi dan
shalat. Apabila masih ada darah yang keluar maka itu dianggap darah
 Jika tidak wanita tidak mengetahui masa haidnya, tetapi dapat membedakan
antara darah haid dan darah istihadhoh maka jika keluar darah haid maka
dilarang melakukan shalat. Namun jika darah itu tekah berubah menjadi
darah istihadhoh maka dia harus shalat.
 Wanita yang mengalami haid pertama dan langsung istithadhoh sehingga ia
tidak mampu membedakan. Maka kasus wanita seperti ini disamakan dengan
kebanyakan wanita yang berada di sekitarnya.
 Jika lupa dengan kebiasaan haidnya maka dan tidak mampu membedakan
maka hukumnya sama dengan poin tiga.
124

4. Hukum wanita haid


 Wanita yang istihadoh sama seperti wanita suci.
 Wanita yang istihadhoh boleh melakukan berbagai macam ibadah.
 Wanita yang istihadhoh tidak perlu wudhu setiap hendak shalat.
 Wanita yang istihadhoh boleh melakukan jima’
 Wanita yang istihadhoh boleh I’tikaf di masjid

KITAB SHALAT

FASAL TENTANG SYARAT SHALAT


125

Berkata Syaikh Abu Syuja’, shalat-shalat yang difardhukan itu ada lima yaitu sholat
zuhur. Permulaan waktunya sejak tergelincirnya matahari dan akhir waktunya
hingga baying-bayang suatu benda telah sepadab dengan benda itu selain baying-
bayang yang telah ada sejak matajari tergelincir. 
ُ‫ إِ ِذ ال َّشرْ ط‬،‫ت ال ُّشرُوْ طُ َعلَى اأْل َرْ َكا ِن أِل َنَّهَا أَوْ لَى بِالتَّ ْق ِدي ِْم‬
ِ ‫ َو قُ ِّد َم‬.‫ْس ِم ْنهَا‬
َ ‫ َو لَي‬،‫صاَل ِة‬ ِ ‫ال َّشرْ طُ َما يَتَ َوقَّفُ َعلَ ْي ِه‬
َّ ‫ص َّحةُ ال‬
‫ث َو َجنَابَ ٍة‬ ٍ ‫ارةٌ ع َْن َح َد‬ َ َ‫ طَه‬:‫ أَ َح ُدهَا‬:ٌ‫صاَل ِة خَ ْم َسة‬ َّ ‫ ( ُشرُوْ طُ ال‬.‫صاَل ِة َو ا ْستِ ْم َرا ُرهُ فِ ْيهَا‬
َّ ‫َما يَ ِجبُ تَ ْق ِد ْي ُمهُ َعلَى ال‬
ِ ‫ث أَ ِو النَّ َج‬
‫س‬ ِ ‫ب َعلَى ْال َح َد‬
ِ َّ‫ َر ْف ُع ْال َم ْن ِع ْال ُمتَ َرت‬:‫ َو شَرْ عًا‬.‫َس‬
ِ ‫ النَّظَافَةُ َو ْال ُخلُوْ صُ ِمنَ ال َّدن‬،)ً‫ لُ َغة‬:ُ‫الطَّهَا َرة‬.
Syarat adalah Suatu hal yang menjadikan sahnya shalat, namun bukan bagian dari
shalat. Syarat-syarat shalat lebih didahulukan daripada rukun-rukunnya sebab syarat
lebih utama didahulukan karena syarat adalah hal yang wajib didahulukan atas shalat
dan wajib harus selalu ada dalam shalat. Syarat-syarat shalat ada lima. Yang pertam
adalah suci dari hadats dan janabah. Bersuci secara bahasa adalah bersih dan lepas
dari kotoran. Sedang secara syara‘ adalah menghilangkan penghalang yang berupa
hadats atau najis.
(‫ص ٍة ُم ْفتَتَحًا )فَاأْل ُوْ لَى‬
َ ْ‫ضا ٍء َم ْخصُو‬ َ ‫او – ا ْستِ ْع َما ُل ْال َما ِء فِ ْي أَ ْع‬ ِ ‫ض ِّم ْال َو‬
َ ِ‫(ال ُوضُوْ ُء) هُ َو – ب‬ ْ :‫ث‬ ِ ‫ارةُ ع َِن ْال َح َد‬َ َ‫ي الطَّه‬ ِ َ‫أ‬
ِ ْ‫ َو َكانَ ا ْبتِدَا ُء ُوجُوْ بِ ِه َم َع ا ْبتِدَا ِء ُوجُو‬.‫ َما يَتَ َوضَّأ ُ بِ ِه‬:‫ َو بِفَ ْت ِحهَا‬.‫بِنِيَّ ٍة‬.
‫ب ْال َم ْكتُوْ بَ ِة لَ ْيلَةَ اإْل ِ ْس َرا ِء‬
Syarat Shalat Ke-1
(Untuk yang pertama) yakni bersuci dari hadats adalah dengan cara (berwudhu’).
Lafazh wudhu’ dengan membaca dhammah wāw-nya bermakna menggunakan air
pada anggota-anggota tertentu yang diawali dengan sebuah niat. Dan dengan terbaca
fatḥah wāw-nya bermakna sesuatu yang digunakan untuk berwudhu’. Awal
diwajibkannya berwudhu’ adalah bersamaan dengan kewajiban shalat lima waktu
pada malam Isrā’-nya Nabi s.a.w.
(ُ‫س َو اَل ) َو ُشرُوْ طُه‬ َ ‫َث َو اَل ي ُِز ْي ُل النَّ َج‬ َ ‫ فَاَل يَرْ فَ ُع ْال َحد‬،)‫ق‬ ْ ‫ ( َما ٌء ُم‬:‫ أَ َح ُدهَا‬.ٌ‫ي ْال ُوضُوْ ِء َك ُشرُوْ ِط ْال ُغ ْس ِل َخ ْم َسة‬
ٌ َ‫طل‬ ِ َ‫أ‬
‫ َو إِ ْن َر َش َح ِم ْن‬،‫ َو هُ َو َما يَقَ ُع َعلَ ْي ِه ا ْس ُم ْال َما ِء بِاَل قَ ْي ٍد‬،ُ‫طلَق‬ْ ‫ص ُل َسائِ َر الطَّهَا َر ِة – َو لَوْ َم ْسنُوْ نَةً – إِاَّل ْال َما ُء ْال ُم‬
ُ ْ‫يَح‬
‫ف َما اَل ي ُْذ َك ُر إِاَّل ُمقَيَّدًا‬ ِ ‫ بِ ِخاَل‬.‫ أَوْ قَ ْي ٍد بِ ُم َوافَقَ ِة ْال َواقِ ِع َك َما ِء ْالبَحْ ِر‬،ُ‫ك فِ ْي ِه ْال َخلِ ْيط‬َ ِ‫ أَ ِو ا ْستُ ْهل‬،‫َار ْال َما ِء الطَّهُوْ ِر ْال ُم ْغلَى‬
ِ ‫بِخ‬
ْ‫ أَو‬،‫ َو لَوْ ِم ْن طُه ِْر َحنَفِ ٍّي لَ ْم يَ ْن ِو‬،‫ث) أَصْ غ ََر أَوْ أَ ْكبَ َر‬ ٍ ‫ ِم ْن ( َر ْف ِع َح َد‬،‫ض طَهَا َر ٍة‬ ِ ْ‫ ( َغ ْي ُر ُم ْستَ ْع َم ٍل فِ ْي) فَر‬،‫َك َما ِء ْال َورْ ِد‬
.‫ أَيْ ُدوْ نَ ْالقُلَّتَي ِْن‬، ‫ (قَلِ ْياًل ) أَيْ َحا َل َكوْ ِن ْال ُم ْستَ ْع َم ِل قَلِ ْياًل‬.ُ‫س) َو لَوْ َم ْعفُ ًّوا َع ْنه‬ ٍ ‫(و) إِزَالَ ِة (نَ َج‬ َ .‫اف‬ ٍ ‫صبِ ٍّي لَ ْم يُ َمي ِّْز لِطَ َو‬ َ
‫ فَ ُعلِ َم أَ َّن‬.‫ َو إِ ْن قَ َّل بَ ْع ُد بِتَ ْف ِر ْيقِ ِه‬، ْ‫ َك َما لَوْ ُج ِم َع ْال ُمتَنَ ِّجسُ فَبَلَ َغ قُلَّتَي ِْن َو لَ ْم يَتَ َغيَّر‬،ٌ‫فَإ ِ ْن ُج ِم َع ْال ُم ْستَ ْع َم ُل فَبَلَ َغ قُلَّتَ ْي ِن فَ ُمطَهِّر‬
126

‫ب‬ َ ‫ َكأ َ ْن َجا َو َز َم ْن ِك‬،‫ أَيْ َو بَ ْع َد فَصْ لِ ِه َع ِن ْال َم َح ِّل ْال ُم ْستَ ْع َم ِل َو لَوْ ُح ْك ًما‬،‫ُت إِاَّل َم َع قِلَّ ِة ْال َما ِء‬
ُ ‫ااْل ِ ْستِ ْع َما َل اَل يَ ْثب‬
ِّ‫صا ُل ْال َما ِء ِمنَ ْالكَف‬ َ ِ‫ث ا ْنف‬ِ ‫ اَل يَضُرُّ فِي ْال ُمحْ ِد‬،‫ نَ َع ْم‬.‫ َو إِ ْن عَا َد لِ َم َحلِّ ِه أَ ِو ا ْنتَقَ َل ِم ْن يَ ٍد أِل ُ ْخ َرى‬º،ُ‫ْال ُمتَ َوضِّ ِئ أَوْ ُر ْكبَتَه‬
ُ‫ص ْد ِر ِم َّما يَ ْغلِبُ فِ ْي ِه التَّقَا ُذف‬ ْ ِ ُ‫ َو اَل فِي ْال ُجن‬،‫َّاع ِد‬
َّ ‫س إِلَى نَحْ ِو ال‬ِ ‫صالُهُ ِمنَ الرَّأ‬ َ ِ‫ب ا ْنف‬ ِ ‫إِلَى الس‬.
Syarat Wudhu’
(Syarat-syaratnya wudhu’) seperti halnya syarat-syaratnya mandi berjumlah lima
syarat. Syarat yang pertama adalah (menggunakan air mutlak). Maka hadats dan
najis tidak akan hilang, begitu pula tidak akan dapat membuahkan kesucian lain
walaupun itu sunnah kecuali dengan menggunakan air yang mutlak. Air mutlak
adalah sebuah penamaan air tersebut terikat dengan sebab mencocoki terhadap
realita yang terjadi seperti air laut walaupun air tersebut menetes dari uap air suci
yang mendidih atau larut di dalamnya sesuatu yang mencampuri. Hal ini berbeda
dengan air yang tidak disebut kecuali selalu terikat dengan nama lain seperti air
mawar. Air mutlak tersebut haruslah (belum digunakan untuk) kefardhuan bersuci,
yakni (dari menghilangkan hadats) kecil ataupun besar walaupun bekas bersuci dari
madzhab Ḥanafiyyah yang tidak menggunakan niat atau dari seorang anak kecil
yang belum tamyiz untuk ibadah thawāf (dan belum digunakan untuk
menghilangkan najis) walaupun najis tersebut dima‘fuw (sedang keadaan air yang
digunakan tersebut adalah air yang jumlahnya sedikit) maksudnya adalah air yang
kurang dari dua qullah. Jika seandainya ada air musta‘mal dikumpulkan hingga
mencapai dua qullah, maka air tersebut dihukumi suci dan mensucikan seperti
halnya ada air yang terkena najis kemudian dikumpulkan hingga mencapai dua
qullah dan sifat air menjadi sedikit dengan memisah-misahkannya. Maka dari itu
dapat diketahui, bahwa air musta‘mal tidak akan ada kecuali pada air yang
jumlahnya sedikit dan setelah terpisahnya air dari tempat digunakannya air tersebut
walaupun secara hukum saja seperti melampauinya air dari pundaknya orang yang
berwudhu’ atau kedua lututnya walaupun air tersebut kembali ke tempat semula atau
air berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Benar bahwa air yang telah
terpisah walaupun secara hukum dikatakan musta‘mal namun tidak masalah
terpisahnya air dari telapak tangan menuju lengan bagi seorang yang hadats dan bagi
127

orang mandi junub, dari kepala menuju semisal dada yakni dari setiap anggota yang
secara umumnya air tersebut menetes.
 
(Cabangan Masalah). Kalau seandainya seorang yang berwudhu’ memasukkan
tangannya dengan maksud mandi menghilangkan hadats ataupun orang tersebut
tidak berniat seperti itu, namun setelah berniat mandi junub, atau setelah mengulang
tiga kali dalam membasuh wajah seorang yang hadats kecil atau setelah basuhan
pertama – jika ia meringkas dengan satu basuhan saja – dengan tanpa berniat ightirāf
dan juga tidak bertujuan mengambil air karena tujuan lain selain bersuci maka air
tersebut menjadi musta‘mal untuk selain tangannya dan baginya diperbolehkan
untuk membasuh lengannya dengan air yang berada pada tangannya.
َ ْ‫صفَاتِ ِه ِم ْن طَع ٍْم أَوْ لَوْ ٍن أَو‬
(‫)و‬ ِ ‫ بِأ َ ْن تَ َغيَّ َر أَ َح ُد‬،‫ق اس ِْم ْال َما ِء َعلَ ْي ِه‬ ْ ِ‫ْث يَ ْمنَ ُع إ‬
َ ‫طاَل‬ ُ ‫َغ ْي ُر ( ُمتَ َغي ٍَّر) تَ َغيُّرًا ( َكثِ ْيرًا) بِ َحي‬
ْ‫ َو إِنَّ َما يُؤَ ثِّ ُر التَّ َغيُّ ُر إِ ْن َكانَ (بِخَ لِي ٍْط) أَي‬،ِّ‫صح‬
َ َ ‫ َو لَوْ تَ ْق ِدي ِْريًّا أَوْ َكانَ التَّ َغيُّ ُر بِ َما َعلَى عُضْ ِو ْال ُمتَطَه ِِّر فِي اأْل‬،‫ْح‬ ٍ ‫ِري‬
ٍ ‫ي ْال َع ْي ِن (طَا ِه ٍر) َو قَ ْد ( َغنِ َي) ْال َما ُء ( َع ْنهُ) َك ْز َعفَ َر‬ ْ
َ‫ َو ثَ َم َر َش َج ٍر نَبَت‬،‫ان‬ ِ ‫ َو هُ َو َما اَل يَتَ َميَّ ُز فِ ْي َرأ‬،‫طا لِ ْل َما ٍء‬
ً ِ‫ُمخَال‬
‫ضرُّ تَ َغيُّ ٌر اَل يَ ْمنَ ُع ااْل ِ ْس َم لِقِلَّتِ ِه َو‬ ِ ‫ب َو ِم ْل‬
َ ُ‫ َو اَل ي‬.‫ح َما ٍء َو إِ ْن طُ ِر َحا فِ ْي ِه‬ ٍ ‫ اَل تُ َرا‬، َ‫ق طُ ِر َح ثُ َّم تَفَتَّت‬ٍ ‫ َو َو َر‬،‫ب ْال َما ِء‬ َ ْ‫قُر‬
ْ‫ َكعُوْ ٍد َو ُد ْه ٍن َو لَو‬،‫ َو هُ َو َما يَتَ َميَّ ُز لِلنَّا ِظ ِر‬،ُ‫اور‬ ِ ‫ َو َخ َر َج بِقَوْ لِ ْي بِ َخلِي ِْط ْال ُم َج‬.ٌ‫ك أَه َُو َكثِ ْي ٌر أَوْ قَلِ ْيل‬
َّ ‫ بِأ َ ْن َش‬، ‫لَ ِو احْ تِ َمااًل‬
ُ ‫ َو ِم ْنهُ أَ ْيضًا َما ٌء أُ ْغلِ َي فِ ْي ِه نَحْ َو بُ ٍّر َو تَ ْم ٍر َحي‬.‫ ِخاَل فًا لِ َج ْم ٍع‬،‫ َو ِم ْنهُ ْالبُ ُخوْ ُر َو إِ ْن َكثُ َر َو ظَهَ َر نَحْ َو ِر ْي ِح ِه‬، َ‫ُمطَيِّبَ ْين‬
‫ْث‬
ٌ‫ك فِ ْي َش ْي ٍء أَ ُم َخالِط‬
َّ ‫ َو لَوْ َش‬،‫ْث لَهُ ا ْس ٌم آ َخ َر َك ْال َم َرقَ ِة‬ُ ‫ص َل إِلَى َح ٍّد بِ َحي‬ ِ َ‫ بِأ َ ْن لَ ْم ي‬،ً‫صا ُل َع ْي ٍن فِ ْي ِه ُم َخالِطَة‬
َ ِ‫لَ ْم يُ ْعلَ ِم ا ْنف‬
ِ ‫ لَهُ ُح ْك ُم ْال ُم َج‬،ٌ‫اور‬
‫ ِم ْن نَحْ ِو ِط ْي ٍن َو‬،‫ َك َما فِ ْي َمقَ ِّر ِه َو َم َم ِّر ِه‬،ُ‫ َو بِقُوْ لِ ْي َغنِ ٌّي َع ْنهُ َما اَل يُ ْستَ ْغنَى َع ْنه‬.‫او ِر‬ ِ ‫هُ َو أَ ْم ُم َج‬
‫ت ال َّش َج َرةُ ع َِن‬ِ ‫َت َو بَ ُع َد‬ ٍ ‫ث أَوْ بِأَوْ َرا‬
ْ ‫ق ُمتَنَاثِ َر ٍة بِنَ ْف ِسهَا َو إِ ْن تَفَتَّت‬ ِ ‫ َو َكالتَّ َغي ُِّر بِطُوْ ِل ْال ُم ْك‬،‫ت‬ ٍ ُ‫طُحْ ل‬
ٍ ِّ‫ب ُمتَفَت‬
ٍ ‫ت َو ِكب ِْر ْي‬
‫ ( َو لَوْ َكانَ ) ْال َما ُء ( َكثِ ْيرًا) أَيْ قُلَّتَ ْي ِن أَوْ أَ ْكثَ َر فِ ْي صُوْ َرت َِي التَّ ْغيِي ِْر بِالطَّا ِه ِر َو‬.ُ‫س) َو أَ ْن قَ َّل التَّ َغيُّر‬ ٍ ‫ (أَوْ بِنَ َج‬.‫ْال َما ِء‬
ِ ‫النَّ َج‬.
‫س‬
(Dan) tidak (ada perubahan) dengan perubahan (yang banyak) sekira perubahan
tersebut dapat mencegah kemutlakan nama air, sebagaimana perubahan yang terjadi
pada salah satu sifatnya air yakni dari rasa, warna dan baunya walaupun
perubahannya hanya secara perkiraan atau adanya perubahan sebab sesuatu yang
berada pada anggota orang yang bersuci menurut pendapat ashaḥḥ. Perubahan hanya
akan terjadi apabila perubahan disebabkan oleh (sesuatu yang mencampuri air) yakni
mukhālith – mukhālith adalah benda yang tidak terlihat berbeda dengan air (yang
128

bersifat suci) dan (air tersebut dapat terhindar dari percampuran tersebut) seperti
minyak za‘faran, buah dari pohon yang tumbuh di dekat air dan dedaunan yang
dijatuhkan kemudian hancur di dalamnya, bukan debu dan garam air walaupun
dijatuhkan ke dalam air. Tidak masalah sebuah perubahan yang tidak merubah
kemutlakan nama air sebab perubahannya sedikit, walaupun terjadi keraguan
sebagaimana seorang yang ragu apakah perubahan tersebut banyak atau sedikit.
Dikecualikan dari ucapan saya: mukhālith adalah mujāwir. Mujāwir adalah benda
yang terlihat berbeda dengan air seperti kayu, minyak walaupun keduanya dibuat
wewangian. Sebagian dari benda mujāwir adalah tetesan air yang mendidih
walaupun sangat banyak dan baunya tampak jelas, berbeda dengan pendapat
sekelompok ulama’. Sebagian lagi adalah air yang mendidih sedang di dalamnya
terdapat sejenis gandum dan kurma sekira tidak diketahui terpisahnya sebuah bentuk
benda yang mencampuri air dengan tidak terjadinya penamaan yang lain seperti air
kuah. Kalau seandainya sebuah benda diragukan apakah mukhālith ataupun mujāwir,
maka benda itu dihukumi mujāwir. Dikecualikan pula dengan ucapanku: dapat
dihindarkan dari air adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan seperti halnya kasus
air yang berada pada tempat menetapnya air dan tempat mengalirnya air, (137)
seperti sejenis lumpur, lumut yang hancur, belerang, dan seperti perubahan sebab
diam yang terlalu lama atau dedaunan yang berguguran dengan sendirinya walaupun
hancur dan pohonnya jauh dari air tersebut. (Atau perubahan terjadi dengan sebab
najis) walaupun perubahannya hanya sedikit (dan walaupun adanya) air (tersebut
banyak) yakni dua qullah lebih dalam dua contoh perubahan dengan menggunakan
perkara yang suci dan najis.

ٌ ‫ ِذ َرا‬:‫ َو بِ ْال ِم َسا َح ِة فِي ْال ُم َرب َِّع‬،‫ي تَ ْق ِر ْيبًا‬


،‫ع َو ُربُ ٌع طُوْ اًل َو َعرْ ضًا َو ُع ْمقًا‬ ْ ‫ َخ ْم ُس ِمائَ ِة ِر‬:‫َو ْالقُلَّتَا ِن بِ ْال َو ْز ِن‬
ٍّ ‫ط ِل بَ ْغدَا ِد‬
ِ ‫اع النَّج‬
‫ َو ه َُو‬،‫َّار‬ ِ ‫َان ُع ْمقًا بِ ِذ َر‬ ِ ‫ َو ِذ َراع‬،‫اع اآْل َد ِم ِّي‬ ِ ِ‫ع ِم ْن َسائِ ِر ْال َج َوان‬
ِ ‫ب بِ ِذ َر‬ ِ ‫ َو فِي ْال ُم َدو‬.‫اع ْاليَ ِد ْال ُم ْعتَ ِدلَ ِة‬
ٌ ‫ ِذ َرا‬:‫َّر‬ ِ ‫بِ ِذ َر‬
‫س‬ ْ ‫ َو إِ ْن تُيُقِّن‬، ‫ك فِ ْي َما ٍء أَ ْبلَ َغهُ َما أَ ْم اَل‬
ٍ ‫َت قِلَّتُهُ قَ ْب َل بِ ُماَل قَا ِة نَ َج‬ َّ ‫ َكأ َ ْن َش‬، ‫َّس قُلَّتَا َما ٍء َو لَ ِو احْ تِ َمااًل‬
َ ‫ َو اَل تَنَج‬.ٌ‫ع َو ُربُع‬ ٌ ‫ِذ َرا‬
‫ َو لَوْ بَا َل فِي ْالبَحْ ِر َمثَاًل‬.‫س فِ ْي َما ٍء َكثِي ٍْر‬
ٍ ‫ َو اَل يَ ِجبُ التَّبَا ُع ُد ِم ْن نَ َج‬.‫ت النَّ َجا َسةُ فِ ْي ِه‬
ِ ‫ َو إِ ِن ا ْستُ ْهلِ َك‬،‫َما لَ ْم يَتَ َغيَّرْ بِ ِه‬
129

َ ْ‫ أَوْ ِمنَ ْال ُمتَ َغي ِِّر أَ َح ُد أَو‬،‫ق أَنَّهَا ِم ْن َعي ِْن النَّ َجا َس ِة‬
ْ‫ َو لَو‬. ‫ َو إِاَّل فَاَل‬،‫صافِ ِه بِهَا‬ َ َّ‫ت ِم ْنهُ َر ْغ َوةٌ فَ ِه َي ن َِج َسةٌ إِ ْن تَ َحق‬ ْ ‫فَارْ تَفَ َع‬
ْ َ‫ت ِم ْن أَجْ ِل الطَّرْ ح ق‬
ُ‫ط َرةٌ َعلَى َش ْي ٍء لَ ْم تُنَجِّ ْسه‬ ْ ‫طُ ِر َح‬،
ْ ‫ فَ َوقَ َع‬،ٌ‫ت فِ ْي ِه بَ ْع َرة‬
ِ
Ukuran air dua qullah dengan timbangan adalah kurang-lebih 500 liter Baghdad,
sedang dua qullah dengan alat ukur dalam wadah kubus adalah 1 ¼ hasta orang
normal setiap panjang, lebar dan dalamnya. Sedang dalam wadah silinder atau bulat
adalah dengan diameter 1 hasta manusia disetiap sisi dan dalamnya 2 hasta dengan
hasta tangan tukang kayu, yakni 1 ¼ hasta tangan biasa. Air yang berjumlah dua
qullah tidak dapat dihukumi najis – walaupun masih kemungkinan seperti diragukan
apakah ari tersebut sudah mencapai dua qullah ataupun belum dan walaupun
sebelumnya telah diyakini sedikitnya jumlah air tersebut – dengan sebab terkena
najis selama najis tersebut tidak merubah sifat air walaupun najis tersebut larut di
dalamnya.
Tidak wajib menjauhi najis di air yang berjumlah banyak Kalau seandainya
seseorang kencing di laut, kemudian terjadi buih, maka buih tersebut dihukumi najis
bila jelas buih itu dari air kencingnya atau dari air yang telah berubah salah satu sifat
air dengan sebab air kencing tersebut, dan bila tidak seperti itu maka tidaklah
dihukumi najis. Jika sebuah kotoran kering dilemparkan ke dalam air, lalu dari
pelemparan tersebut menimbulkan percikan air yang mengenai pada suatu benda,
maka benda tersebut tidak dihukumi najis.
‫ َغ ْي َر‬،‫ص ِر ْال ُم ْعتَ ِد ِل‬ َ َ‫س إِلَ ْي ِه ي َُرى بِ ْالب‬ ُ ‫َو يُنَجِّسُ قَلِ ْي ُل ْال َما ِء – َو هُ َو َما ُدوْ نَ ْالقُلَّتَ ْي ِن – َحي‬
ِ ‫ْث لَ ْم يَ ُك ْن َو‬
ٍ ‫اردًا بِ ُوصُوْ ِل ن ََج‬
‫ اَل بِ ُوصُوْ ِل َم ْيتَ ٍة اَل َد َم‬.‫ َو إِ ْن َكثُ َر‬،‫ب َو َمائِ ٍع‬ َّ ‫ َو لَوْ َم ْعفُ ًّوا َع ْن ِه فِي ال‬،‫َم ْعفُ ٍّو َع ْنهُ فِي ْال َما ِء‬
ٍ َ‫ َك َغي ِْر ِه ِم ْن ُرط‬،‫صاَل ِة‬
‫ اَل‬. ُ‫صابَ ْتهُ – َو لَوْ يَ ِس ْيرًا – فَ ِح ْينَئِ ٍذ يَ ْنجُس‬ َ َ‫ إِاَّل إِ ْن تَ َغيَّ َر َما أ‬،‫ع‬
ٍ ‫ب َو َو ْز‬ٍ ‫ َك َع ْق َر‬،‫ق عُضْ ٍو ِم ْنهَا‬ ِّ ‫لِ ِج ْن ِسهَا َسائِ ٌل ِع ْن َد َش‬
‫ َو لَوْ طُ ِر َح فِ ْي ِه َم ْيتَةٌ ِم ْن‬،‫ق‬ ِ َ‫ َو اَل بِ َم ْيتَ ٍة َكانَ نَ ْش ُؤهَا ِمنَ ْال َما ِء َك ْال َعل‬،‫ ِخاَل فًا لِ َج ْم ٍع‬،‫َع فَيَ ْنجُسُ بِ ِه َما‬
ٍ ‫ض ْفد‬
ِ ‫َسرْ طَا ٍن َو‬
:‫ك‬
ٍ ِ‫َب َمال‬َ ‫َار َكثِ ْيرُوْ نَ ِم ْن أَئِ َّمتِنَا َم ْذه‬
َ ‫اخت‬ْ ‫ َو‬.‫طلَقًا‬ْ ‫أَثَ َر لِطَرْ ح ْال َح ِّي ُم‬ ‫ َو اَل‬،‫ف‬ٍ َّ‫ار ُح َغي َْر ُم َكل‬ِ َّ‫ َو إِ ْن َكانَ الط‬،‫س‬ َ ‫ك نَ َج‬ َ ِ‫ذل‬
ِ
.‫ك‬ٍ ِ‫ َو هُ َو َم ْذهَبُ َمال‬،‫ اَل يَ ْنجُسُ قَلِ ْيلُهُ بِاَل تَ َغي ٍُّر‬:‫َك َرا ِك ٍد َو فِي ْالقَ ِدي ِْم‬ ْ‫اري‬ ْ ‫أَ َّن ْال َما َء اَل يَ ْنجُسُ ُم‬
ِ ‫ َو ْال َج‬،‫طلَقًا ِإاَّل بِالتَّ َغي ُِّر‬
ْ َ‫َّس ي‬
َ ‫ َو ْال َما ُء ْالقَلِ ْي ُل إِ َذا تَنَج‬.ً‫ت النَّ َجا َسةُ َمائِ َعةً أَوْ َجا ِم َدة‬
‫طهُ ُر بِبُلُوْ ِغ ِه قُلَّتَ ْي ِن – َو لَوْ بِ َما ٍء‬ ِ َ‫ َس َوا ٌء َكان‬:‫ع‬ ِ ْ‫قَا َل فِي ْال َمجْ ُمو‬
‫ص َع ْنهُ َو َكانَ ْالبَاقِ ْي‬ ْ َ‫ َو ْال َكثِ ْي ُر ي‬،‫ْث اَل تَ َغيُّ َر بِ ِه‬
َ ِ‫طهُ ُر بِ َز َوا ِل تَ َغي ُِّر ِه بِنَ ْف ِس ِه أَوْ بِ َما ٍء ِز ْي َد َعلَ ْي ِه أَوْ نُق‬ ُ ‫س – َحي‬ ٍ ِّ‫ُمتَنَج‬
‫ َكثِ ْيرًا‬.
130

Air yang jumlahnya sedikit yakni air yang kurang dari dua qullah dapat menjadi
najis – bila air itu tidak dialirkan dengan sebab masuknya najis pada air tersebut
dengan najis yang dapat dilihat dengan mata orang yang normal, yang tidak
dima‘fuw di dalam air walaupun dima‘fuw di dalam shalat, seperti halnya hukum
selain air yakni dari perkara yang basah dan cair walaupun cairan yang berjumlah
banyak. Tidak najis dengan sebab masuknya bangkai yang tidak memiliki jenis
darah yang mengalir saat anggota tubuhnya dirobek seperti scorpio (kalajengking)
dan cecak kecuali bangkai tersebut merubah sifat air walaupun dengan perubahan
yang sedikit, maka pada saat seperti itu air menjadi najis. Tidak dengan masuknya
bangkai kepiting dan katak, maka air menjadi najis dengan sebab dua bangkai hewan
tersebut, sementara segolongan ulama’ berpendapat lain. Dan juga tidak najis dengan
sebab bangkai dari hewan yang muncul dari air seperti halnya lintah. Kalau
seandainya bangkai-bangkai itu dilempar ke dalam air, maka air dihukumi najis
walaupun yang melempar adalah selainnya orang yang mukallaf. Tidak masalah
melempar hewan pada waktu masih hidup secara mutlak. Mayoritas ulama’ kita
lebih memilih pendapat Imām Mālik yang mengatakan bahwa air tidak dihukumi
najis secara mutlak kecuali air menjadi berubah. Air yang mengalir seperti halnya air
yang diam. Dalam qaul qadīm Imām Syāfi‘ī disebutkan bahwa tidak dihukumi najis
sedikitnya air tanpa perubahan dan itu adalah madzhab Imām Mālik. Dan Majmū‘-
nya Imām Nawawī mengatakan: Baik adanya najis tersebut cair ataupun padat. Air
sedikit yang terkena najis dapat menjadi suci dengan sampainya air tersebut menjadi
dua qullah – walaupun dengan menggunakan air yang terkena najis – sekira tidak
ditemukan perubahan pada sifat air tersebut. Sedangkan air banyak yang terkena
najis dapat suci dengan sebab hilangnya perubahan pada air itu dengan sendirinya
atau dengan air yang ditambahkan atau dikurangi sedang sisanya masih banyak.
 
(‫)و‬َ :‫ ( َو) ثَالِثُهَا‬. ‫ فَاَل يَ ْكفِ ْي أَ ْن يَ َم َّسهُ ْال َما ُء بِاَل ِجرْ يَا ٍن أِل َنَّهُ اَل يُ َس َّمى ُغ ْساًل‬،‫ ( َج ِريُّ َما ٍء َعلَى عُضْ ٍو) َم ْغسُوْ ٍل‬:‫ثَانِ ْيهَا‬
‫ (أَ ْن‬:‫(و) َرابِ ُعهَا‬
َ .‫ ِخاَل فًا لِ َج ْم ٍع‬،‫ص ْند ٍَل‬َ ‫ضا ًّرا) َك َز ْعفَ َرا ٍن َو‬ َ ‫(أَ ْن اَل يَ ُكوْ نَ َعلَ ْي ِه) أَيْ َعلَى ْالعُضْ ِو ( ُم َغيَّ ٌر لِ ْل َما ِء تَ َغيُّرًا‬
ِ ‫ بِ ِخاَل‬،‫ ( َكنُوْ َر ٍة) َو َش ْم ٍع َو ُد ْه ٍن َجا ِم ٍد َو َع ْي ِن ُحب ٍْر َو ِحنَّا ٍء‬،‫اَل يَ ُكوْ نَ عَلى ْالعُضْ ِو َحائِلٌ) بَ ْينَ ْال َما ِء َو ْال َم ْغسُوْ ِل‬
‫ف‬
131

– َ‫ َو َك َذا يُ ْشتَ َرطُ – َعلَى َما َج َز َم بِ ِه َكثِ ْيرُوْ ن‬.‫ت ْال َما ُء َعلَ ْي ِه – َو أَثَ َر ُحب ٍْر َو ِحنَّا ٍء‬ ِ ُ‫ار أَيْ َمائِ ٍع – َو إِ ْن لَ ْم يَ ْثب‬
ٍ ‫ُد ْه ٍن َج‬
‫ َو‬،‫ ِخاَل فًا ِل َج ْم ٍع ِم ْنهُ ُم ْالغَزَ الِ ُّي َو ال َّزرْ َك ِش ُّي َو َغ ْي ُرهُ َما‬،ُ‫ظ ْف ٍر يَ ْمنَ ُع ُوصُوْ َل ْال َما ِء لِ َما تَحْ تَه‬
ُ َ‫أَ ْن اَل يَ ُكوْ نَ َو َس ٌخ تَحْ ت‬
‫ار اأْل َ ْذ َر ِع ُّي َو َغ ْي ُرهُ إِلَى‬
َ ‫ َو أَ َش‬.‫خ ُدوْ نَ نَحْ ِو ْال َع ِج ْي ِن‬
ِ ‫ص َّرحُوْ ا بِ ْال ُم َسا َم َح ِة َع َّما تَحْ تَهَا ِمنَ ْال َو َس‬
َ ‫أَطَالُوْ ا فِ ْي تَرْ ِج ْي ِح ِه َو‬
‫ ِم ْن َعد َِم ْال ُم َسا َم َح ِة بِ َش ْي ٍء ِم َّما تَحْ تَهَا‬،‫ض ِة َو َغي ِْرهَا‬ َ ْ‫ بِ َما فِي الرَّو‬،‫َّح فِي التَّتِ َّم ِة َو َغي ِْرهَا‬ َ ‫صر‬ َ ‫ َو قَ ْد‬.‫ْف َمقَالَتِ ِه ْم‬
ِ ‫ضع‬ َ
ٍ ‫ بِ ِخاَل‬،‫ص َّحةَ ْال ُوضُوْ ِء‬
‫ف َما‬ ِ ‫ار بِأَنَّهُ يَ ْمنَ ُع‬
ٍ َ‫ص َل ِم ْن ُغب‬
َ ‫خ َح‬ٍ ‫ َو أَ ْفتَى ْالبَغ َِويُّ فِ ْي َو َس‬.‫ْث َمنَ َع ُوصُوْ ِل ْال َما ِء بِ َم َحلِّ ِه‬ ُ ‫َحي‬

ِ ‫ َو َجزَ َم بِ ِه فِي اأْل َ ْن َو‬.ُ‫ق ْال ُمتَ َج ِّمد‬


‫ار‬ ُ ْ‫نَ َشأ َ ِم ْن بَ َدنِ ِه َو هُ َو ْال ِعر‬.
(Syarat yang kedua dari wudhu’) adalah (mengalirkan air pada anggota yang
dibasuh), maka tidak cukup mengusapkan air tanpa mengalirkan karena hal tersebut
tidak dinamakan membasuh. (Syarat ketiga dari wudhu’) adalah (pada anggota
ketiga dari wudhu’) adalah (pada anggota wudhu’ tidak terdapat sesuatu yang dapat
merubah air dengan perubahan yang membahayakan seperti minyak za‘faran dan
kayu cendana, sementara sekelompok ulama’ berpendapat lain. (Syarat yang
keempat dari wudhu’) adalah (pada anggota wudhu’ tidak ada penghalang) di antara
air dan anggota yang dibasuh (seperti kapur), lilin, minyak yang telah mengeras, dzat
tinta dan inai. Berbeda dengan minyak yang cair –walaupun air tidak menetap pada
anggota wudlu – dan bekas tinta dan inai. Begitu pula disyaratkan – menurut
mayoritas ulama’ – tidak adanya kotoran kuku yang dapat mencegah masuknya air
pada bagian di bawah kuku tersebut. Sementara sekelompok ulama’ berpendapat
lain, sebagian ulama’ tersebut adalah Imām al-Ghazālī, Imām az-Zarkasyī dan selain
keduanya. Mereka bersikukuh memperkuat pendapatnya dan menjelaskan bahwa
sesuatu yang berada di bawah kuku yakni dari kotoran bukan sejenis adonan roti
merupakan dispensasi (rukhshah). Imām al-Adzra‘ī dan selainnya memberi isyarat
atas lemahnya pendapat mereka. Imām Mutawallī dalam kitab Tatimah dan
selainnya menjelaskan dengan menggunakan pendapat yang tertuang dalam ar-
Raudhah dan selainnya bahwa kotoran yang berada di bawah kuku, jika dapat
menghalangi masuknya air ke tempatnya tidaklah mendapatkan dispensasi. Imām al-
Baghawī berfatwa bahwa kotoran yang dihasilkan dari debu itu dapat menghalangi
sahnya wudhu’, berbeda dengan keringat yang mengeras yang muncul dari tubuhnya
132

sendiri dan Imām Yūsuf telah mengambil keputusan dalam kitab al-Anwār-nya
sesuai dengan hal tersebut.
(‫ فَاَل يَت ََوضَّأ ُ – ) َو‬،‫ظ ُّن ُد ُخوْ لِ ِه‬
َ ‫ َو يُ ْشتَ َرطُ لَهُ أَ ْيضًا‬.‫ض ٍة‬ ٍ ِ‫ث) َك َسل‬
َ ‫س َو ُم ْستَ َحا‬ ٍ ‫ ( ُد ُخوْ ُل َو ْق‬:‫خَ ا ِم ُسهَا‬
ٍ ‫ت لِدَائِ ِم َح َد‬
‫ َو‬،‫ َو تَ ِحيَّ ٍة قَ ْب َل ُد ُخوْ ِل ْال َم ْس ِج ِد‬،‫صاَل ِة َجنَا َز ٍة قَ ْب َل ْال ُغ ْس ِل‬ ٍ َ‫ض أَوْ نَ ْف ٍل ُم َؤق‬
ِ ‫ت قَ ْب َل َو ْق‬
َ ِ‫ َو ل‬،‫ت فِ ْعلِ ِه‬ ٍ ْ‫َك ْال ُمتَيَ ِّم ِم – لِفَر‬
ْ ‫ لِ ْل ُخ‬:‫ أَ َح ُدهُ َما‬،‫ث‬
ِ ‫ب دَائِ ٍم ْال َح َد‬
ٍ ‫ َو لَ ِز َم ُوضُوْ آ ِن أَوْ تَيَ ُّم َما ِن َعلَى خَ ِط ْي‬،‫ض‬
‫طبَتَ ْي ِن َو‬ ِ ْ‫ب ْال ُمتَأ َ ِّخ َر ِة قَ ْب َل فِ ْع ِل ْالفَر‬
ِ ِ‫لِل َّر َوات‬
‫ض – َكالتَّيَ ُّم ِم َو َك َذا ُغ ْس ُل‬ٍ ْ‫ َو يَ ِجبُ َعلَ ْي ِه ْال ُوضُوْ ُء لِ ُكلِّ فَر‬،‫ َو يَ ْكفِ ْي َوا ِح ٌد لَهُ َما لِ َغي ِْر ِه‬،‫صاَل ِة ُج ْم َع ٍة‬ َ ِ‫اآْل َخ ُر بَ ْع َدهُ َما ل‬
َّ ‫س ُمبَاد ََرةٌ بِال‬
ْ‫ فَلَو‬،‫صاَل ِة‬ ٍ ِ‫ َو َعلَى نَحْ ِو َسل‬.‫ض ِعهَا‬ ِ ْ‫ َو إِ ْن لَ ْم تَ ُزلْ ع َْن َمو‬،‫صابَ ِة‬ ْ ُ‫ْالفَرْ ج َو إِ ْبدَا ُل ْالق‬
َ ‫طنَ ِة الَّتِ ْي بِفَ ِم ِه َو ْال َع‬ ِ
ُ‫ب إِلَى َم ْس ِج ٍد لَ ْم يَضُرُّ ه‬
ٍ ‫ت َو َك َذهَا‬ ْ ‫ار َج َما َع ٍة أَوْ ُج ْم َع ٍة َو إِ ْن أُ ِّخ َر‬
ِ ‫ت ع َْن أَ َّو ِل ْال َو ْق‬ ِ َ‫أَ َّخ َر لِ َمصْ لَ َحتِهَا َكا ْنتِظ‬.
(Syarat wudhu’ yang kelima) adalah (masuknya waktu shalat bagi seorang yang
selalu hadats) seperti orang yang beser dan istiḥādhah, dan disyaratkan pula baginya
untuk menduga masuknya waktu shalat, maka baginya tidak diperbolehkan
berwudhu’ – seperti halnya orang yang tayammum – untuk shalat fardhu ataupun
sunnah sebelum masuknya waktu untuk mengerjakannya, dan untuk shalat janazah
sebelum memandikannya, dan untuk shalat tahiyyat-ul-masjid sebelum masuk
masjid, dan untuk shalat rawatib yang diakhirkan sebelum melakukan shalat fardhu.
Wajib melakukan dua wudhu’ atau dua tayammum bagi seorang khatib yang selalu
hadats, satu wudhu’ untuk dua khutbah dan satunya setelah dua khutbah untuk
melakukan shalat jum‘at, dan dicukupkan satu wudhu’ untuk kedua hal tersebut
baginya untuk berwudhu’ di setiap akan melaksanakan shalat fardhu’ seperti halnya
tayammum. Begitu pula wajib membasuh vagina dan mengganti kapuk yang berada
pada bibir vagina dan mengganti pembalut walaupun pembalut tersebut tidak
bergeser dari tempatnya. Dan bagi sejenis beser kencing diwajibkan untuk bersegera
melaksanakan shalat. Kalau seandainya ia mengakhirkan shalat karena untuk
kemaslahatan shalat seperti menunggu jama‘ah atau shalat jum‘at – walaupun shalat
tersebut diakhirkan dari awal waktu – dan seperti berangkat menuju masjid, maka
hukumnya tidaklah masalah baginya.

Fasal
‫‪133‬‬

‫‪Rukun Shalat‬‬

‫‪Berkata Syaikh Abu Syuja’, rukunnya shalat ada delapan belas, yaitu niat.‬‬
‫‪Telah kamu ketahui bahwa shalat yang diwajibkan oleh syarak itu mengandung‬‬
‫‪beberapa rukun, sunnat-sunnat Ab’dah dan Sunnat-sunnat Hai’ah. Antara syarat-‬‬
‫‪syarat tersebut yaitu niat.‬‬
‫‪ ‬‬
‫صاَل ِة(‬ ‫الط َمأْنِ ْينَ ِة فِ ْي َم َحالِّهَا ُر ْكنًا َو ِ‬
‫احدًا )أَرْ كَانُ ال َّ‬ ‫ضهَا‪ :‬أَرْ بَ َعةُ َع َش َر‪ ،‬بِ َج ْع ِل ُّ‬
‫‪.‬أَيْ فُرُوْ ُ‬
‫ي النِّيَّ ِة (قَصْ ُد فِ ْعلِهَا) أَ ِ‬
‫ي‬ ‫ت”‪( .‬فَيَ ِجبُ فِ ْيهَا) أَ ِ‬ ‫ب‪ ،‬لِ َخبَ ِر‪“ :‬إِنَّ َما اأْل َ ْع َما ُل بِالنِّيَّا ِ‬
‫أَ َح ُدهَا‪( :‬نِيَّةٌ) َو ِه َي ْالقَصْ ُد بِ ْالقَ ْل ِ‬
‫ض ْال َو ْق ِ‬
‫ت‪.‬‬ ‫صاَل ِة‪ ،‬لِتَتَ َميَّ ُز ع َْن بَقِيَّ ِة اأْل َ ْف َعا ِل ( َو تَ ْعيِ ْينُهَا) ِم ْن ظُه ٍْر أَوْ َغي ِْرهَا‪ ،‬لِتَتَ َميَّ َز ع َْن َغي ِْرهَا‪ ،‬فَاَل يَ ْكفِ ْي نِيَّةُ فَرْ ِ‬
‫ال َّ‬
‫ب‪ ،‬فَيَ ِجبُ فِ ْيهَا التَّ ْعيِي ُ‪ْº‬ن‬ ‫ب َو ال ُّسنَ ِن ْال ُمؤَ قَّتَ ِة أَوْ َذا ِ‬
‫ت ال َّسبَ ِ‬ ‫ق‪َ ،‬كال َّر َواتِ ِ‬ ‫صاَل ةُ ْال َم ْفعُوْ لَةُ (نَ ْفاًل ) َغ ْي َر ُم ْ‬
‫طل َ ٍ‬ ‫( َو لَوْ ) َكانَ ِ‬
‫ت ال َّ‬
‫صاَل ٍة لَهَا ُسنَّةٌ قَ ْبلَهَا َو‬‫الظه ِْر ْالقَ ْبلِيَّ ِة أَ ِو ْالبَ ْع ِديَّ ِة‪َ ،‬و إِ ْن لَ ْم يُ َؤ ِّخ ِر ْالقَ ْبلِيَّةَ‪َ .‬و ِم ْثلُهَا ُكلُّ َ‬
‫ضافَ ِة إِلَى َما يُ َعيِّنُهَا َك ُسنَّ ِة ُّ‬
‫بِاإْل ِ َ‬
‫اح َدةُ َو‬ ‫صاَل ةُ ْال َع ْي ِد َو ْال ِو ْت ِر َس َوا ٌء ْال َو ِ‬
‫َر‪ ،‬فَاَل يَ ْكفِ ْي َ‬ ‫ُسنَّةٌ بَ ْع َدهَا‪َ ،‬و َك ِع ْي ِ‪º‬د اأْل َضْ َحى أَ ِو اأْل َ ْكبَ ِر أَ ِو ْالفِ ْ‬
‫ط ِر أَ ِو اأْل َصْ غ ِ‬
‫ال َّزائِ َدةُ َعلَ ْيهَا‪َ ،‬و يَ ْكفِ ْي نِيَّةُ ْال ِو ْت ِر ِم ْن َغي ِْر َع َد ٍد‪َ .‬و يُحْ َم ُل َعلَى َما ي ُِر ْي ُدهُ َعلَى اأْل َوْ َج ِه‪َ ،‬و اَل يَ ْكفِ ْي فِ ْي ِه نِيَّةُ ُسنَّ ِة ْال ِع َشا ِء‬
‫ق فَاَل يَ ِجبُ‬ ‫طل َ ُ‬‫ف) قَ َم ٍر‪ .‬أَ َّما النَّفَ ُل ْال ُم ْ‬
‫س أَوْ ( ُخسُوْ ِ‬
‫ف َش ْم ٍ‬ ‫ْح َو الضُّ َحى‪َ ،‬و َكا ْستِ ْسقَا ٍء َو ُكسُوْ ِ‬ ‫أَوْ َراتِبَتِهَا‪َ ،‬و التَّ َر ِ‬
‫اوي ِ‬
‫صاَل ِة اأْل َوَّابِ ْينَ ‪،‬‬‫صاَل ِة‪َ ،‬ك َما فِ ْي َر ْك َعت َِي التَّ ِحيَّ ِة َو ْال ُوضُوْ ِء َو ااْل ِ ْستِ َخا َر ِة‪َ ،‬و َك َذا َ‬
‫فِ ْي ِه تَ ْعيِي ٌ‪ْº‬ن بَلْ يَ ْكفِ ْي فِ ْي ِه نِيَّةُ فِ ْع ِل ال َّ‬
‫َاو ْي ِه أَنَّهُ اَل بُ َّد‬
‫َعلَى َما قَالَهُ َش ْي ُخنَا ابْنُ ِزيَا ٍد َو ْال َعاَّل َمةُ ال ُّسيُوْ ِط ُّي َر ِح َمهُ َما هللاُ تَ َعالَى‪َ .‬و الَّ ِذيْ َج َز َم بِ ِه َش ْي ُخنَا فِ ْي فَت ِ‬
‫ض‪َ ،‬و لَوْ ِكفَايَةً أَوْ ن َْذرًا‪َ ،‬و إِ ْن َكانَ النَّ ِ‬
‫اويْ‬ ‫ض فِ ْي ِه) أَيْ فِي ْالفَرْ ِ‬
‫فِ ْيهَا ِمنَ التَّ َعي ُِّن َكالضُّ َحى‪َ ( .‬و) تَ ِجبُ (نِيَّةُ فَرْ ٍ‬
‫ض ْال ُج ْم َع ِة‪َ ،‬و إِ ْن أَ ْد َر َ‬
‫ك اإْل ِ َما َم فِ ْي تَ َشهُّ ِدهَا‬ ‫الظه ِْر) َمثَاًل ‪ ،‬أَوْ فَرْ َ‬
‫ض ُّ‬‫صلِّ ْي فَرْ َ‬ ‫‪.‬صبًِيّ‪ًّº‬ا‪ ،‬لِيَتَ َميَّزَ َع ِن النَّ ْف ِل‪َ ( .‬كأ ُ َ‬
‫َ‬
‫‪(Rukun-rukun shalat) yakni kefardhuannya ada 14 dengan menjadikan‬‬
‫‪tuma’nīnah sebagai satu rukun di dalamanya. Yang pertama adalah (niat). Niat‬‬
‫‪adalah menyengaja dalam hati. Dasar dari niat ini adalah hadits Nabi: Sahnya‬‬
‫‪dari amal perbuatan hanyalah dari niatnya. (Wajib di dalam niat untuk‬‬
‫‪menyengaja melaksanakan shalat) supaya shalat menjadi berbeda dengan‬‬
‫‪pekerjaan yang lain (dan wajib untuk menentukannya) dari shalat Zhuhur, atau‬‬
‫‪selainnya agar shalat Zhuhur berbeda dari shalat lainnya, maka tidaklah cukup‬‬
‫‪berniat fardhu dengan waktu yang mutlak (walaupun) shalat yang dikerjakan‬‬
‫‪(adalah shalat sunnah) selain shalat mutlak seperti shalat rawātib, shalat sunnah‬‬
‫‪yang memiliki waktu atau sebab, maka wajib untuk menentukan shalat itu‬‬
134

dengan menyandarkan, pada hal yang dapat menentukan seperti sunnah Zhuhur
qabliyyah atau ba‘diyyah – walaupun sunnah qabliyyah diakhirkan dari
fardhunya dan seperti halnya Zhuhur adalah setiap shalat yang memiliki
kesunnahan sebelum dan setelahnya – , Dan seperti shalat ‘Īd-ul-Adhḥā (akbar),
atau ‘Īd-ul-Fithri (ashghar), – maka tidaklah cukup berniat shalat ‘Īd – , seperti
shalat witir – baik satu raka‘at ataupun lebih, cukup niat witir tanpa
menyebutkan jumlah raka‘atnya dan diarahkan kepada raka‘at yang dikehendaki
menurut pendapat yang unggul, tidak cukup dalam shalat witir ini dengan hanya
berniat shalat sunnah ‘Isyā’ atau rawātib-nya – , seperti shalat tarāwiḥ, dhuḥā,
istisqā’, gerhana matahari dan rembulan. Sedangkan bila shalat sunnah tersebut
adalah shalat sunnah mutlak, maka cukup di dalamnya berniat melakukan shalat
saja seperti halnya niat di dalam shalat dua raka‘at tahiyyat-ul-masjid, dua rakaat
wudhū’ dan istikhārah, begitu pula shalat awwābīn seperti yang telah dipaparkan
oleh guru kita Ibnu Ziyād dan al-‘Allāmah as-Suyūthī – semoga Allah
mengasihinya – . Sedang pendapat yang diputuskan oleh guru kita Ibnu Ḥajar
dalam Fatāwī-nya adalah wajibnya menentukan shalat awwābīn seperti shalat
dhuḥā. (Wajib untuk berniat fardhu di dalam shalat yang fardhu) – walaupun
fardhu kifāyah atau nadzar dan walaupun orang yang berniat adalah anak kecil –
agar niat fardhu itu membedakan dengan kesunnahan. (Contoh niatnya: Saya
shalat kefardhuan Zhuhur) atau kefardhuan jum‘at walaupun hanya menemukan
imām dalam tasyahhudnya.

(‫ ( َو ) َو س َُّن‬.‫ص‬ ِ ‫ق َم ْعنَى اإْل ِ ْخاَل‬ َ َّ‫ َو لِيَت ََحق‬،‫ف َم ْن أَوْ َجبَهَا‬ ِ ‫ ُخرُوْ جًا ِم ْن ِخاَل‬،)‫ضافَةٌ إِلَى هللاِ) (تَ َعالَى‬ َ ِ‫فِي النِّيَّ ِة (إ‬
‫ َو‬.‫ ِخاَل فًا لِ َما ا ْعتَ َم َدهُ اأْل َ ْذ َر ِع ُّي‬،‫ضا ٍء) َو اَل يَ ِجبُ َو ِإ ْن َكانَ َعلَ ْي ِه فَائِتَةٌ ُم َماثِلَةٌ لِ ْل ُم َؤ َّدا ِة‬
َ َ‫تَ َعرُّ ضٌ أِل َدَا ٍء أَوْ ق‬
ٌ‫ ( َو) تَ َعرُّ ض‬،‫طعًا لِتَاَل ُعبِ ِه‬ْ َ‫ت ق‬ َ َ‫ص َّحةُ اأْل َدَا ِء بِنِيَّ ِة ْالق‬
ْ َ‫ َو إِاَّل بَطُل‬،‫ َو َع ْك ُسهُ إِ ْن ُع ِذ َر بِنَحْ ِو َغي ٍْم‬،‫ضا ِء‬ ِ ُّ‫صح‬ َ َ ‫اأْل‬
ْ ُ‫ ( َو) س ُّن (ن‬.‫ض لَهُ َما‬ َ ‫ف َم ْن أَوْ َج‬
‫ق بِ َمن َِويٍّ ) قَ ْب َل‬
ٌ ‫ط‬ َ ُّ‫ب التَّ َعر‬ ِ ‫ج ِم ْن ِخاَل‬ ِ ْ‫ت) لِ ْل ُخرُو‬
ٍ ‫(اِل ْستِ ْقبَا ٍل َو َع َد ِد َر َك َعا‬
ْ‫ال النَّيَّ ِة أَوْ اَل ؟ أَوْ هَل‬
ِ ‫ هَلْ أَتَى بِ َك َم‬:‫ك‬ َّ ‫ َو لَوْ َش‬.ُ‫ف َم ْن أَوْ َجبَه‬ ِ ‫ َو ُخرُوْ جًا ِم ْن ِخاَل‬،‫ب‬ َ ‫ لِيُ َسا ِع َد اللِّ َسانُ ْالقَ ْل‬º،‫التَّ ْكبِي ِْر‬
ْ‫ أَو‬،ُ‫صاَل تُه‬
َ ‫ت‬ ْ َ‫ بَطَل‬ ‫ أَوْ بَ ْع َد إِ ْتيَانِ ِه بِ ُر ْك ٍن َو لَوْ قَوْ لِيًا َك ْالقِ َرا َء ِة‬،‫نَ َوى ظُ ْهرًا أَوْ َعصْ رًا؟ فَإ ِ ْن َذ َك َر بَ ْع َد طُوْ ِل َز َما ٍن‬
‫قَ ْبلَهُما فَاَل‬.
135

(Disunnahkan) di dalam niat (untuk menyandarkan lafazh Allah ta‘ālā), karena


keluar dari perselisihan ‘ulamā’ yang mewajibkannya dan sekaligus sebagai
ungkapan bentuk nyata makna keikhlasan. (Menyebutkan lafazh ‘adā’ ataupun
qadhā’), hukumnya tidak wajib walaupun baginya memiliki shalat yang telah
terlewat waktunya yang menyamai dengan shalat yang dikerjakan, berbeda
dengan pendapat yang menjadi pedoman Imām Adzra‘ī. Menurut pendapat yang
ashaḥ shalat yang sedang dikerjakan sah diniati dengan qadha’, begitu pula
sebaliknya, jika ada ‘udzur semacam mendung, dan bila tidak ada ‘udzur, maka
shalat batal secara mutlak sebab mempermainkan shalat. Sunnah pula
menyebutkan (menghadap qiblat dan jumlah raka‘at), untuk keluar dari
perbedaan ‘ulamā’ yang mewajibkan penyebutan dua hal tersebut (mengucapkan
hal yang diniatkan) sebelum takbīr supaya lidah membantu terhadap hati, dan
untuk keluar dari perselisihan ‘ulamā’ yang mewajibkannya. Jika seorang yang
shalat ragu, apakah telah berniat shalat Zhuhur atau ‘Ashar?, maka jika ia ingat
setelah waktu yang lama atau setelah mengerjakan satu rukun – walaupun rukun
qauli seperti membaca surat al-Fātiḥah – maka shalatnya batal. Atau ingat
sebelum kedua hal tersebut, maka tidaklah batal.

(‫صلِّ ْي يَحْ ُر ُم ) َو‬ َ ‫ك أِل َ َّن ْال ُم‬ َ َ‫ (تَ ْكبِ ْي ُر تَ َحرُّ ٍم) لِ ْل َخبَ ِر ْال ُمتَّف‬:‫ثَانِ ْيهَا‬
َّ ‫ “إِ َذا قُ ْمتَ إِلَى ال‬:‫ق َعلَ ْي ِه‬
َ ِ‫ ُس َّم َي بِذل‬.” ْ‫صاَل ِة فَ َكبِّر‬
َ ‫ض َر ْال ُم‬
ُّ‫صلِّ ْي َم ْعنَاهُ ال َّدال‬ َّ ‫ َو ُج ِع َل فَاتِ َحةَ ال‬،‫صاَل ِة‬
ِ ْ‫صاَل ِة لِيَ ْستَح‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ‫َعلَ ْي ِه بِ ِه َما َكانَ َحاَل اًل لَهُ قَ ْبلَهُ ِم ْن ُم ْف ِسدَا‬
َ ِ‫اب َذ ْين‬
‫ك‬ ِ ‫ َو ِم ْن ثَ َّم ِز ْي َد فِ ْي تِ ْك َر‬،ُ‫َعلَى َعظَ َم ِة َم ْن تَهَيَّأ َ لِ ِخ ْد َمتِ ِه َحتَّى تَتِ َّم لَهُ ْالهَ ْيبَةُ َو ْال ُخ ُشوْ ع‬
َ ‫ار ِه لِيَ ُدوْ َم ا ْستِصْ َح‬
‫ بَلْ اَل‬،‫ارنَتُهَا بِ ِه‬
َ َ‫صاَل ِة فَت َِجبُ ُمق‬َّ ‫ (النِّيَّةُ) أِل َ َّن التَّ ْكبِ ْي َر أَ َّو ُل أَرْ َكا ِن ال‬،‫ ( َم ْقرُوْ نًا بِ ِه) أَيْ بِالتَّ ْكبِي ِْر‬.‫صاَل تِ ِه‬
َ ‫فِ ْي َج ِمي ِْع‬
‫ َو‬،‫ َو َكوْ نِ ِه إِ َما ًما أَوْ َمأْ ُموْ ًما فِي ْال ُج ْم َع ِة‬،‫ص ِر‬
ِ ‫ َك ْالقَصْ ِر لِ ْلقَا‬.‫ض َر ُكلُّ ُم ْعتَبَ ٍر فِ ْيهَا ِم َّما َم َّر َو َغي ِْر ِه‬
ِ ْ‫بُ َّد أَ ْن يَ ْستَح‬
َ ‫ َو فِ ْي قَوْ ٍل‬.‫ك ُكلِّ ِه إِلَى الرَّا ِء‬
،‫ص َّح َحهُ الرَّافِ ِع ُّي‬ َ ِ‫ ثُ َّم يَ ْستَ ِمرُّ ُم ْستَصْ ِحبًا لِذل‬.‫ َم َع ا ْبتِدَائِ ِه‬،‫ْالقُ ْد َو ِة لِ َمأْ ُموْ ٍم فِ ْي َغي ِْرهَا‬
ُ‫ أَنَّهُ يَ ْكفِ ْي فِ ْيهَا ْال ُمقَارنَة‬:‫َزَالي‬
ُّ ‫اختَا َرهُ اإْل ِ َما ُم َو ْالغ‬ ِ ‫ْح ْال ُم ْخت‬
ْ ‫َار َما‬ ِ ْ‫ َو فِي ْال َمجْ ُمو‬.‫يَ ْكفِ ْي قَرْ نُهَا بِأ َ َّولِ ِه‬
ِ ‫ع َو التَّ ْنقِي‬
ُ‫ص َّوبَه‬ ُّ ‫ إِنَّهُ ْال َح‬:‫ َو قَا َل ابْنُ ال ِّر ْف َع ِة‬.‫صاَل ِة‬
َ ‫ َو‬.ُ‫ق الَّ ِذيْ اَل يَجُوْ ُز ِس َواه‬ ُ ‫ْالعُرْ فِيَّةُ ِع ْن َد ْال َع َو ِام بِ َحي‬
ِ ْ‫ْث يُ َع ُّد ُم ْستَح‬
َّ ‫ضرًا لِل‬
‫ يَجُوْ ُز تَ ْق ِد ْي ُم النِّيَّ ِة َعلَى‬:‫ َو ِع ْن َد اأْل َئِ َّم ِة الثَّاَل ثَ ِة‬.‫اس ْال َم ْذ ُموْ ِم‬
ِ ‫ َم ْن لَ ْم يَقُلْ بِ ِه َوقَ َع فِي ْال َو ْس َو‬:‫ َو قَا َل‬،‫ال ُّس ْب ِك ُّي‬
‫ َو اَل يَ ْكفِ ْي أُ َكبِّ ُر‬. ْ‫ أَ ِو هللاُ اأْل َ ْكبَر‬،‫اع‬ ِ َ‫ (هللاُ أَ ْكبَرُ) لِاْل ِ تِّب‬:ُ‫ ( َو يَتَ َعيَّنُ ) فِ ْي ِه َعلَى ْالقَا ِد ِر لَ ْفظ‬.‫التَّ ْكبِي ِْر بِال َّز َم ِن ْاليَ ِسي ِْر‬
136

‫ف يُ َغي ِِّر‬ ٍ ْ‫ َو ِزيَا َدةُ َحر‬.ُ‫ف ِمنَ هّللا ُ أَ ْكبَر‬ ٍ ْ‫إخاَل ٌل بِ َحر‬ ْ ُّ‫ َو يَضُر‬.ُ‫ َو اَل الرَّحْ منُ أَ ْكبَر‬،‫ظ ُم‬ ِّ ‫ أَوْ أُ َع‬،ٌ‫ َو اَل هّللا ُ َكبِ ْير‬،َ ‫هّللا‬
َ‫ َو ت َْخلِ ُل َوا ٍو َسا ِكنَ ٍة َو ُمت ََح ِّر َك ٍة بَ ْين‬،‫ َو ِزيَا َدةُ َوا ٍو قَب َْل ْال َجاَل لَ ِة‬،‫ف بَ ْع َد ْالبَا ِء‬
ٍ ِ‫ َو َكأَل‬،ِ‫ َك َم ِّد هَ ْم َز ِة هللا‬،‫ْال َم ْعنَى‬
ٌ‫ َو اَل يَضُرُّ َو ْقفَةٌ يَ ِس ْي َرة‬.‫ف الَّتِ ْي بَ ْينَ الاَّل ِم َو ْالهَا ِء إِلَى َح ٍّد اَل يَ َراهُ أَ َح ٌد ِمنَ ْالقُرَّا ِء‬
ِ ِ‫ َو َك َذا ِزيَا َدةُ َم ِّد اأْل َل‬º،‫ْال َكلِ َمتَي ِْن‬
َ ‫ َو اَل‬،‫س‬
‫ض ُّم الرَّا ِء‬ ِ ُّ‫ َو ِه َي َس ْكتَةُ التَّنَف‬،‫بَ ْينَ َكلِ َمتَ ْي ِه‬.
(Rukun shalat yang kedua adalah takbīrat-ul-iḥrām) sebab hadits yang telah
disepakati: Jikalau engkau mengerjakan shalat, maka bertakbirlah. Takbīr ini
dinamakan demikian sebab dengan takbīrat-ul-iḥrām orang yang shalat
diharamkan melakukan seseuatu yang sebelumnya halal yakni dari melakukan
hal-hal yang dapat merusak keabsahan shalat. Takbīrat-ul-iḥrām dijadikan
sebagai pembuka shalat, supaya orang yang shalat dapat menghadirkan makna
yang terkandung di dalamnya, yakni makna keagungan dzāt yang ia persiapkan
untuk melayaninya hingga sempurnalah makna merasa takut dan khusū‘.

Oleh sebab itu, takbīrat-ul-iḥrām ditambah dengan mengulanginya supaya dua


hal tersebut selalu ada di dalam seluruh shalatnya. (Takbir tersebut wajib
dilaksanakan bersamaan dengan sebuah niat) sebab takbir adalah awal dari
rukun-rukun shalat, maka wajib untuk membarengkan niat dengannya, bahkan
wajib untuk menghadirkan setiap komponen penting dalam niat yakni dari
keterangan yang telah lewat dan selainnya seperti menghadirkan qashar bagi
orang yang meringkas shalat, menjadi imām atau ma’mūm di dalam shalat
jum‘at dan niat mengikuti imām bagi ma’mūm di selain shalat jum‘at yang
disertakan di permulaan takbīrat-ul-iḥrām kemudian seluruh niat yang
dihadirkan ikut berlangsung terus sampai lafazh rā’ dari takbīrat-ul-iḥrām.
Dalam satu pendapat yang dibenarkan oleh Imām Rāfi‘ī disebutkan: Cukup
untuk membarengkan niat di awal takbīr. Imām Nawawī dalam Majmū‘ dan
Taḥqīq-nya menyatakan: Pendapat yang dipilih adalah pendapat yang telah
dipilih oleh Imām al-Ḥaramain dan Imām al-Ghazalī bahwa cukup
membarengkan niat secara umumnya bagi orang awam. (Dan cukup pula
menghadirkan niat secara umumnya) sekira seorang yang shalat dianggap telah
137

menghadirkan shalat. Imām Ibnu Rif‘ah mengatakan bahwa pendapat itu adalah
pendapat yang benar yang tidak boleh selain itu, hal itu juga dibenarkan oleh
Imām Subkī dan beliau berkata: Siapapun yang tidak berpendapat demikian,
maka ia akan terjerumus dalam waswas yang dihina. Sedang menurut tiga imām
selain Syāfi‘iyyah diperbolehkan mendahulukan niat atas takbīrat-ul-iḥrām
dengan jarak yang sedikit. (Diharuskan dalam takbīrat-ul-iḥrām) – bagi orang
yang mampu, untuk menggunakan lafazh (Allāhu Akbar) karena mengikuti Nabi
s.a.w. atau Allāh-ul-Akbar, tidak cukup lafazh Akbarullāh atau U‘azhimu dan
juga tidak lafazh ar-Raḥmānu Akbar. Merusak satu huruf dari lafazh Allāhu
Akbar dapat menjadi masalah, begitu pula menambah huruf yang dapat merubah
makna seperti memanjangkan hamzah dari lafazh Allah dan seperti alif setelah
bā’ dan menambahi wāwu sebelum lafazh jalālah, menyela-nyelai wāwu yang
mati dan berharakat di antara dua kalimat, begitu pula menambah panjang alif
yang berada di antara lām dan hā’ sampai dengan panjang yang tidak dibenarkan
oleh ‘ulamā’ pun dari ahli membaca al-Qur’ān. Tidak masalah berhenti sejenak
di antara dua kalimat takbīr ya‘ni sebatas diam untuk mengambil nafas dan juga
tidak masalah membaca dhammah rā’ dari lafazh akbar.
 
ٌ ْ‫]فَر‬: ‫ أِل َنَّهُ لَ َّما َد َخ َل بِاأْل ُوْ لَى خَ َر َج‬،‫ َدخَ َل فِ ْيهَا بِ ْال َو ْت ِر َو َخ َر َج ِم ْنهَا بِال َّش ْف ِع‬:ٍّ‫َاح بِ ُكل‬
[‫ع‬ َ ‫َاويًا ااْل ِ ْفتِت‬
ِ ‫تن‬ ٍ ‫لَوْ َكبَّ َر َمرَّا‬
‫ َو اَل تَ َخلَّ َل ُمب ِْط ٌل َكإِعَا َد ِة لَ ْف ِظ‬، َ‫ فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْن ِو ذلِك‬،‫ َو ه َك َذا‬.‫ط ِع اأْل ُوْ لَى‬
ْ َ‫ض ِّمنَةٌ لِق‬ َ َ‫َاح بِهَا ُمت‬ ِ ‫ أِل َ َّن نِيَّةَ ااْل ِ ْفتِت‬،‫بِالثَّانِيَ ِة‬
ْ‫ فَ َما بَ ْع َد اأْل ُوْ لَى ِذ ْك ٌر اَل يُ َؤثِّر‬،‫النِّيَّ ِة‬.
(Cabangan Masalah). Jikalau seseorang yang shalat melakukan takbīrat-ul-
iḥrām berulang-ulang dengan niat memulai shalat di setiap takbīrnya, maka
orang itu akan masuk shalat dengan takbīr yang ganjil dan akan keluar dari shalat
dengan takbīr yang genap, sebab jika seorang tersebut masuk dengan takbīr yang
pertama, maka ia akan keluar dengan takbīr yang kedua karena niat memulai
shalat dengan takbīr yang kedua menyimpan pemutusan terhadap yang awal dan
begitu seterusnya. Jika orang tersebut tidak berniat seperti itu, dan tidak ada
penyela-nyelaan perkara yang membatalkan sama sekali seperti mengulang
138

lafazh niat, maka takbīr setelah yang pertama adalah dzikir yang tidak membawa
pengaruh apa-apa.
 
(ُ‫)و يَ ِجبُ إِ ْس َما ُعه‬َ ‫ ( َك َسائِ ِر ُر ْك ٍن‬.‫َط‬ ٍ ‫ض ِم ْن نَحْ ِو لَغ‬ َ ‫َار‬ ِ ‫ َو اَل ع‬،‫ص ِح ْي َح ْال َّس ْم ِع‬ َ َ‫ (نَ ْف َسهُ) إِ ْن َكان‬،‫ي التَّ ْكبِي ِْر‬ ِ َ‫أ‬
ِ َ‫ ( َو س َُّن َج ْز ُم َرائِ ِه) أ‬.‫ب ْالقَوْ لِ ِّي لِ ُحصُوْ ِل ال ُّسنَّ ِة‬
‫ي‬ ِ ْ‫ع ْال َم ْن ُدو‬
ُ ‫ َو يُ ْعتَبَ ُر إِ ْس َما‬.‫قَوْ لِ ٍّي) ِمنَ ْالفَاتِ َح ِة َو التَّ َشهُّ ِد َو ال َّساَل ِم‬
ْ‫ ( َو َر ْف ُع َكفَّ ْي ِه) أَو‬،‫ت‬ ِ ‫ف َم ْن أَوْ َجبَهُ َو َج ْه ٌر بِ ِه إِل ِ َم ٍام َك َسائِ ِر تَ ْكبِ ْي َرا‬
ِ ‫ت ااْل ِ ْنتِقَااَل‬ ِ ‫ ُخرُوْ جًا َم ْن ِخاَل‬º،‫التَّ ْكبِي ِْر‬
‫صابِ ِع ِه َما تَ ْف ِر ْيقًا‬ َ َ‫ْق أ‬ِ ‫ َو َم َع تَ ْف ِري‬.ُ‫ َو يُ ْك َرهُ ِخاَل فُه‬،‫ف) أَيْ َم َع َك ْشفِ ِه َما‬ ٍ ‫ (بِ َك ْش‬،‫إِحْ دَاهُ َما إِ ْن تَ َعس ََّر َر ْف ُع اأْل ُ ْخ َرى‬
‫ َو‬،‫ َو إِ ْبهَا َماهُ ُشحْ َمت َْي أُ ُذنَ ْي ِه‬،‫صابِ ِع ِه َعلَى أُ ُذنَ ْي ِه‬ َ َ‫ط َرافُ أ‬ ْ َ‫ي أ‬ ُ ‫(خَذ َو) أَيْ ُمقَابِ َل ( ِم ْن َكبَ ْي ِه) بِ َحي‬
َ ‫ْث يُ َحا ِذ‬ ْ ،‫َو َسطًا‬

َ .‫ َو ه ِذ ِه ْال َك ْيفِيَّةُ تُ َس ُّن ( َم َع) َج ِمي ِْع تَ ْكبِي ِْر (تَ َحرُّ ٍم) بِأ َ ْن يُ ْق ِرنَهُ بِ ِه ا ْبتِدَا ًء َو يُ ْن ِه ْي ِه َما َمعًا‬.‫اع‬
)‫(و‬ ِ َ‫ لِاْل ِ تِّب‬،‫َرا َحتَاهُ َم ْن ِكبَ ْي ِه‬
ِ ِ‫ ( َو) َر ْف ًع ( ِم ْن تَ َشهُّ ٍد أَو ٍَّل) ل‬.‫ع‬
ِ َ‫التِّب‬
‫اع‬ ِ ْ‫ ( َو َر ْف ٍع ِم ْنهُ) أَيْ ِمنَ الرُّ ُكو‬.‫ق َكثِ ْي َر ٍة‬ ِ ‫اع ْال َو‬
ٍ ‫ار ِد ِم ْن طُ ُر‬ ِ َ‫التِّب‬ ٍ ْ‫َم َع ( ُر ُكو‬
ِ ِ ‫ع) ل‬
‫ار ِه) َو َر ُّدهُ َما ِمنَ ال َّر ْف ِع إِلَى‬ ِ ‫ (آ ِخ ًذا بِيَ ِم ْينِ ِه) ُكوْ َع (يَ َس‬.‫اع‬
ِ َ‫التِّب‬ َ ْ‫ص ْد ِر ِه) َو فَو‬
ِ ِ‫ق ُس َّرتِ ِه ل‬ َ َ‫ ( َو َوضْ ُعهُ َما تَحْ ت‬.‫فِ ْي ِه َما‬
ُ‫ َو ا ْعتَ َم َده‬،‫ال ْال ُمتَولّي‬ َ َ‫ ق‬.‫ص ْد ِر‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ‫ ثُ َّم ا ْستِ ْئن‬،‫ص ْد ِر أَوْ لَى ِم ْن إِرْ َسالِ ِه َما بِ ْال ُكلِّيَّ ِة‬
ِ ْ‫َاف َر ْف ِع ِه َما ِإلَى تَح‬ َّ ‫تَحْ تَ ال‬
‫ق َر ْأ َسهُ قَلِ ْياًل ثُ َّم يَرْ فَ َع‬ ْ ‫ضع ُسجُوْ ِد ِه َو ي‬
َ ‫ُط ِر‬ ِ ِ ْ‫ يَ ْنبَ ِغ ْي أَ ْن يَ ْنظُ َر قَ ْب َل ال َّر ْف ِع َو التَّ ْكبِي ِْر إِلَى َمو‬:ُ‫ َغ ْي ُره‬.
(Wajib untuk memperdengarkan) takbīr (terhadap dirinya sendiri), jika
pendengarannya normal dan tidak ada hal yang menghalangi seperti suara gaduh.
(Kewajiban itu seperti halnya rukun-rukun lain yang diucapkan atau rukūn qaulī)
yakni fātiḥah, tasyahhud dan salām. Mendengarkan bacaan yang sunnah
dipertimbangkan untuk mendapatkan kesunnahan. (Disunnahkan untuk membaca
sukūn dari rā’) lafazh takbir agar keluar dari perselisihan ‘ulamā’ yang
mewajibkannya. Sunnah mengeraskan takbir bagi imām seperti takbīr-takbīr
untuk berpindah rukun. (Sunnah mengangkat kedua telapak tangan) atau salah
satunya jika yang lain sulit diangkat (dengan membuka keduannya).
Dimakruhkan dengan selain cara itu, dan besertaan dengan merenggangkan jari-
jari keduanya dengan renggang yang sedang, serta (sejajar) dengan (dua pundak)
sekira ujung jari-jarinya sejajar di atas kedua telinganya dan kedua ibu jari
sajajar pada putik telinga, sedang kedua telapak tangan sejajar pada dua
pundaknya sebab mengikuti Nabi s.a.w.
139

Tata cara ini disunnahkan (besertaan) dengan seluruh takbīrat-ul-(iḥrām) dengan


cara membarengkan permulaan mengangkat kedua tangan dengan permulaan
takbīr dan mengakhir keduanya bersamaan. (Dan besertaan pula dengan rukū‘)
sebab mengikuti Nabi s.a.w. dari hadits yang diriwayatkan oleh berbagai rawi
yang sangat banyak, (beranjak dari) rukū‘, (bangun dari tasyahhud awal) sebab
mengikuti Nabi s.a.w. dalam dua permasalahan tersebut. (Disunnahkan
meletakkan keuda telapak tangan di bawah dada) dan di atas pusar sebab
mengikuti Nabi s.a.w. (dengan posisi tangan kanan) meraih (pergelangan tangan
kirinya). Mengembalikan kedua telapak tangan di bawah dada saat beranjak
bangun, itu lebih utama dibanding dengan melepaskannya secara keseluruhan,
kemudian mengulangi mengangkat kedua telapak tangan itu di bawah dada.
Imām Mutawallī mengatakan – dan pendapat beliau dipakai pedoman oleh
‘ulamā’ lain – bahwa sebaiknya sebelum mengangkat kedua tangannya dan
takbīr untuk melihat arah sujūdnya dan menundukkan sedikit kepalanya lalu baru
mengangkat keduanya.

(‫)و‬ َ ‫ب‬ ِ ْ‫ص ُل ْالقِيَا ُم بِنَص‬ ُ ْ‫ َو يَح‬.‫ض) َو لَوْ َم ْن ُدوْ رًا أَوْ ُم َعادًا‬ ٍ ْ‫ (قِيَا ُم قَا ِد ٍر) َعلَ ْي ِه بِنَ ْف ِس ِه أَوْ بِ َغي ِْر ِه (فِ ْي فَر‬:‫ثَالِثُهَا‬
‫ َو يُ ْك َرهُ ااْل ِ ْستِنَا ُد اَل‬.َ‫ْث لَوْ َزا َل لَ َسقَط‬ ِ ‫ أَيْ ِعظَا ِم ِه الَّتِ ْي ِه َي َمفَا‬ ‫ظه ِْر ِه‬
ُ ‫صلُهُ َو لَوْ بِا ْستِنَا ٍد إِلَى َش ْي ٍء بِ َحي‬ َ ‫ار‬ِ َ‫فِق‬
ُ‫ق َعلَ ْي ِه قِيَا ٌم) بِأ َ ْن لَ ِحقَه‬
َّ ‫ ( َو لِ َعا ِج ٍز َش‬.‫ب‬ ِ ‫صا‬ ِ ْ‫بِا ْن ِحنَا ٍء إِ ْن َكانَ أَ ْق َربُ إِلَى أَقَ ِّل الرُّ ُكو‬
َ ِ‫ ِإ ْن لَ ْم يَ ْع ِج ْز ع َْن تَ َم ِام ااْل ِ ْنت‬،‫ع‬
)‫(صاَل ةٌ قَا ِعدًا‬ َ ُ‫ْث يَ ْذهَبُ َم َعهَا ُخ ُشوْ ُعه‬ ُ ‫ضبَطَهَا اإْل ِ َما ُم بِأ َ ْن تَ ُكوْ نُ بِ َحي‬ َ ‫ْث اَل تُحْ تَ َم ُل عَا َدةً َو‬ ُ ‫بِ ِه َم َشقَّةٌ َش ِد ْي َدةٌ بِ َحي‬

ِ ْ‫اع ُد لِلرُّ ُكو‬


‫ع‬ ِ َ‫ َو يَ ْن َحنِي ْالق‬.‫ك َح َدثَهُ إِاَّل بِ ْالقُعُوْ ِد‬ُ ‫س اَل يَ ْستَ ْم َس‬ ٍ ِ‫ َو َسل‬،‫س إِ ْن قَا َم‬ ٍ ‫ب َسفِ ْينَ ٍة َخافَ نَحْ َو دَوْ َرا ِن َر ْأ‬ ِ ‫َك َرا ِك‬
‫ْث تَ َحا ِذيْ َج ْبهَتُهُ َما قُ َّدا َم ُر ْكبَتَ ْي ِه‬ ُ ‫بِ َحي‬.
(Rukun shalat) yang ketiga adalah (berdiri bagi yang mampu) dengan diri sendiri
atau bantuan orang lain (di dalam shalat yang fardhu) walaupun shalat yang
dinadzari atau yang diulangi. Rukun berdiri ini dapat hasil terwujud dengan
menegakkan tulang punggungnya walaupun bersandar pada sesuatu yang bila
tidak ada, maka akan terjatuh, dan hukum bersandar adalah makruh. Tidak sah
berdiri dengan cara membungkuk jika posisinya mendekati pada minimal rukū‘
bila ia masih mampu untuk dapat berdiri tegak dengan sempurna. (Sedangkan
140

bagi orang lemah yang berat untuk berdiri) dengan kesulitan yang begitu berat
sekira tidak dapat ditanggung secara adatnya . Imām al-Ḥaramain membatasi
kesulitan tersebut dengan batasan sekira hal itu dapat menghilangkan
kekhusyū‘an, (maka shalatnya dengan cara duduk) seperti penumpang kapal laut
yang takut semacam pusing kepala jika berdiri, dan orang yang beser kencing
yang tidak dapat menahan hadatsnya kecuali dengan duduk. Bagi orang yang
shalat duduk, maka rukū‘-nya dengan membungkuk sekira keningnya sejajar
dengan tempat yang berada di depan kedua lututnya.
 
ٌ ْ‫]فر‬: ‫س فِ ْي‬
[َ‫ع‬ ٍ ْ‫صلَّى فِ ْي َج َما َع ٍة إِاَّل َم َع ُجلُو‬ َ ‫ اَل إِ ْن‬،َ‫ْض أَ ْم َكنَهُ ْالقِيَا ُم بِاَل َم َشقَّ ٍة لَ ِو ا ْنفَ َرد‬
ٍ ‫ يَجُوْ ُز لِ َم ِري‬:‫قَا َل َش ْي ُخنَا‬
ْ َ‫ َو َك َذا إِ َذا قَ َرأَ ْالفَاتِ َحةَ فَق‬.َ‫ض ُل ااْل ِ ْنفِ َراد‬
‫ط لَ ْم‬ َ ‫ َو إِ ْن َكانَ اأْل َ ْف‬،‫ضهَا‬ ِ ‫س فِ ْي بَ ْع‬ ِ ْ‫صاَل ةُ َم َعهُ ْم َم َع ْال ُجلُو‬
َّ ‫ ال‬،‫ضهَا‬ ِ ‫بَ ْع‬
َ ‫ َو ِإ ْن َكانَ اأْل َ ْف‬،‫ أَوْ َو السُّوْ َرةَ قَ َع َد فِ ْيهَا َجازَ لَهُ قِ َرا َءتُهَا َم َع ْالقُعُوْ ِد‬،‫يَ ْق ُع ْد‬.
‫ اِ ْنتَهَى‬.‫ض ُل تَرْ َكهَا‬
(Cabangan Masalah). Guru kita berkata: Diperbolehkan bagi orang sakit yang
mungkin untuk berdiri dengan tanpa kesulitan bila ia shalat sendiri – bukan bila
jamā‘ah – kecuali dengan posisi duduk di sebagian shalatnya untuk melakukan
shalat berjamā‘ah besertaan duduk di sebagian shalatnya – walaupun yang lebih
utama baginya untuk shalat sendiri – . Begitu pula bagi seseorang ketika hanya
dapat membaca surat al-Fātiḥah saja dengan tidak duduk atau membaca surat al-
Qur’ān dengan duduk, maka diperbolehkan baginya untuk membaca surat al-
Qur’ān dengan duduk walaupun yang lebih utama baginya adalah
menginggalkannya – selesai.
 
،‫صلَّى ُمضْ طَ ِجعًا َعلَى َج ْنبِ ِه‬ َّ ‫ فَإ ِ ْن ع ََج َز َع ِن ال‬،ُ‫ ثُ َّم التَّ َورُّ ك‬،ُ‫ ثُ َّم التَّ َربُّع‬، ُ‫ض ُل لِ ْلقَا ِع ِد ااْل ِ ْفتِ َراش‬
َ ‫صاَل ِة قَا ِعدًا‬ َ ‫َو اأْل َ ْف‬
َ ‫ فَ ُم ْست َْلقِيًا َعلَى ظَه ِْر ِه َو أَ ْخ َم‬.‫ب اأْل َ ْي َس ِر بِاَل ع ُْذ ٍر‬
‫صاهُ إِلَى‬ ِ ‫ َو يُ ْك َرهُ َعلَى ْال َج ْن‬،‫ُم ْستَ ْقبِاًل لِ ْلقِ ْبلَ ِة بِ َوجْ ِه ِه َو ُمقَ َّد ِم بَ َدنِ ِه‬
‫ب ْالقِ ْبلَ ِة َرا ِكعًا َو‬ َ ‫ َو أَ ْن يُوْ ِمى َء إِلَى‬،َ‫ض َع تَحْ تَ َر ْأ ِس ِه نَحْ َو ِم َخ َّد ٍة لِيَ ْستَ ْقبِ َل بِ َوجْ ِه ِه ْالقِ ْبلَة‬
ِ ْ‫صو‬ َ َ‫ َو يَ ِجبُ أَ ْن ي‬،‫ْالقِ ْبلَ ِة‬
َ ‫ فَإ ِ ْن َع َج َز َع ِن اإْل ِ ْي َما ِء بِ َر ْأ ِس ِه أَوْ َمأ‬.‫ إِ ْن َع َج َز َع ْنهُ َما‬،‫ع‬
ِ ْ‫ َو بِال ُّسجُوْ ِد أَ ْخفَضُ ِمنَ اإْل ِ ْي َما ِء إِلَى الرُّ ُكو‬،‫َسا ِجدًا‬
‫ َو إِنَّ َما أَ َّخرُوا‬.‫صاَل ةُ َما دَا َم َع ْقلُهُ ثَابِتًا‬ َّ ‫ فَاَل تَ ْسقُطُ َع ْنهُ ال‬،‫صاَل ِة َعلَى قَ ْلبِ ِه‬
َّ ‫ أَجْ َرى أَ ْف َعا َل ال‬،‫ فَإ ِ ْن َع َج َز‬.‫بِأَجْ فَانِ ِه‬
ْ َ‫ض ِة فَق‬
‫ط‬ َ ‫ َو هُ َو ُر ْك ٌن فِي ْالفَ ِر ْي‬،‫القِيَا َم ع َْن َسابِقَ ْي ِه َم َع تَقَ ُّد ِم ِه َعلَ ْي ِه َما أِل َنَّهُ َما ُر ْكنَا ِن َحتَّى فِي النَّ ْف ِل‬.
ْ
141

Yang lebih utama bagi seorang yang shalat dengan posisi duduk adalah duduk
iftirāsy, lalu tarabbu‘ , kemudian tawarruk. Jika ia tidak mampu shalat dengan
duduk, maka shalat dengan cara tidur miring dengan sisi tubuh sebelah kanan
serta menghadapkan wajah dan bagian depan tubuhnya ke qiblat. Makruh
hukumnya tidur miring dengan menggunakan sisi tubuh sebelah kiri tanpa ada
alasan. Kemudian jika tidak mampu dengan tidur miring, maka dengan posisi
terlentang dan kedua telapak kakinya dihadapkan ke qiblat. Wajib untuk
meletakkan semacam bantal di bawah kepalanya supaya wajahnya dapat
menghadap qiblat dan wajib untuk memberi isyarat ke arah qiblat pada saat
rukū‘, jika tidak mampu untuk melakukan rukū‘ dan sujūd. Bila tidak mampu
memberi isyarat dengan kepalanya, maka dengan pelupuk mata. dan bila tidak
mampu juga maka semua pekerjaan-pekerjaan shalat dilakukan dengan hatinya.
Tidaklah gugur kewajiban melakukan shalat selama akalnya masih ada. Para
‘ulamā’ mengakhirkan rukun berdiri dari dua rukun yang mendahuluinya
padahal rukun berdiri lebih dahulu dikerjakan dari keduanya sebab kedua rukun
tersebut adalah dua rukun sampai pada shalat yang sunnah. Sedangkan berdiri
merupakan rukun dalam shalat wajib saja.
 
(‫ َو يَ ْل َز ُم ْال ُمضْ طَ ِج ُع ) َك ُمتَنَفِّ ٍل‬.‫ َم َع ْالقُ ْد َر ِة َعلَى ْالقِيَ ِام أَ ِو ْالقُعُوْ ِد‬،‫ُصلِّ َي النَّ ْف َل قَا ِعدًا َو ُمضْ طَ ِجعًا‬
َ ‫فَيَجُوْ ُز لَهُ أَ ْن ي‬
َ ‫ إِطَالَةُ ْالقِيَ ِام أَ ْف‬:‫ع‬
‫ض ُل‬ ِ ْ‫ َو فِي ْال َمجْ ُمو‬.‫اع‬ ِ َ‫ أَ َّما ُم ْست َْلقِيًا فَاَل ي‬،‫ع َو ال ُّسجُوْ ِد‬
ِ ‫صحُّ َم َع إِ ْم َكا ِن ااْل ِ ضْ ِط َج‬ ِ ْ‫ْالقُعُوْ َد لِلرُّ ُكو‬
ْ ْ ‫ ت‬:‫ض ِة‬
َ ‫َط ِو ْي ُل ال ُّسجُوْ ِد أَ ْف‬ ِ ‫ ِم ْن تَ ْكثِي ِْر ال َّر َك َعا‬.
ِ ْ‫ض ُل ِم ْن تَط ِو ْي ِل الرُّ ُكو‬
‫ع‬ َ ْ‫ َو فِي الرَّو‬.‫ت‬
Seperti halnya orang yang melaksanakan shalat sunnah, maka diperbolehkan
baginya untuk melaksanakan shalat sunnah dengan posisi duduk dan tidur miring
besertaan mampu untuk berdiri atau duduk. Wajib bagi orang yang shalat dengan
tidur miring untuk duduk ketika rukū‘ dan sujūd. Sedangkan tidur terlentang
hukumnya tidaklah sah selama masih mungkin untuk tidur miring. Dalam
majmū‘ disebutkan: Memanjangkan berdiri lebih utama di banding dengan
memanjangkan rukū‘.
142

ِ ‫صاَل ةَ لِ َم ْن لَ ْم يَ ْق َرأُ بِفَاتِ َح ِة ْال ِكتَا‬


(‫ أَيْ ) َو‬.”‫ب‬ َ ‫ “اَل‬:‫ لِ َخبَ ِر ال َّش ْي َخ ْي ِن‬،‫ (قِ َرا َءةُ فَاتِ َح ِة ُكلُّ َر ْك َع ٍة) فِ ْي قِيَا ِمهَا‬:‫َرابِ ُعهَا‬
ْ‫ َو لَو‬،‫ْث لَ ْم يُ ْد ِر ْك َز َمنًا يَ َس ُع ْالفَاتِ َحةَ ِم ْن قِيَ ِام اإْل ِ َم ِام‬
ُ ‫ق) فَاَل تَ ِجبُ َعلَ ْي ِه فِ ْيهَا َحي‬ ٍ ْ‫ (إِاَّل َر ْك َعةَ َم ْسبُو‬.‫فِ ْي ُك ِّل َر ْك َع ٍة‬
‫ فَلَ ْم يَقُ ْم ِمنَ ال ُّسجُوْ ِد‬،‫ُط ِء َح َر َك ٍة‬ ْ ‫ف ْال َمأْ ُموْ ِم َع ْنهُ بِزَ حْ َم ٍة أَوْ نِ ْسيَا ٍن أَوْ ب‬
ِ ُّ‫ت لِ َس ْبقِ ِه فِي اأْل ُوْ لَى َو تَ َخل‬
ِ ‫فِ ْي ُك ِّل ال َّر َك َعا‬
.ُ‫ فَيَتَ َح َّم ُل اإْل ِ َما ُم ْال ُمتَطَهِّ ُر فِ ْي َغي ِْر ال َّر ْك َع ِة ال َّزائِ َد ِة ْالفَاتِ َحةَ أَوْ بَقِيَّتَهَا َع ْنه‬،‫فِ ْي ُك ٍّل ِم َّما بَ ْع َدهَا إِاَّل َو اإْل ِ َما ُم َرا ِك ٍع‬
ْ ‫ك اإْل ِ َما َم إِاَّل َو هُ َو ُم ْعتَ ِد ٌل لَغ‬
ُ‫َت َر ْك َعتُه‬ ِ ‫ق لَ ْم يَ ْشت َِغلْ بِ ُسنَّ ٍة إِل ِ ْت َم ِام ْالفَاتِ َح ِة فَلَ ْم يُ ْد ِر‬
ٌ ْ‫ َو لَوْ تَأ َ َّخ َر َم ْسبُو‬.
(Rukun shalat yang keempat adalah membaca surat al-Fātiḥah di setiap rakaat)
pada waktu berdiri sebab hadits yang diriwayatkan oleh Bukhārī-Muslim:
Tidaklah sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fātiḥah. Maksudnya
di setiap raka‘at. (Kecuali rakaatnya ma’mūm tertinggal) maka tidaklah wajib
baginya untuk membaca surat al-Fātiḥah sekira ma’mūm itu tidak menemukan
waktu yang cukup untuk membaca surat al-Fātiḥah saat berdirinya imām,
sekalipun hal tersebut terjadi di setiap rakaat awal dan tertinggalnya ma’mūm
karena keadaan berdesakan, lupa, lambat gerakannya lalu ia tidak dapat berdiri
dari sujūd berada pada posisi rukū‘, maka imam yang suci dan tidak berada pada
rakaat tambahan akan menanggung al-Fātiḥah atau sisa al-Fātiḥah darinya.
Jikalau ma’mūm masbūq yang tidak tersibukkan dengan kesunnahan
mengkhirkan diri dari imām untuk menyelesaikan al-Fātiḥah-nya lalu tidak
menemui imām kecuali imām sudah dalam posisi i‘tidāl, maka raka‘atnya tidak
dihitung.
(‫ َو َك َذا ِم ْن ُكلِّ سُوْ َر ٍة ) َم َع بَ ْس َملَ ٍة‬.‫ أِل َنَّهُ قَ َرأَهَا ثُ َّم ْالفَاتِ َحةَ َو َع َّدهَا آيَةً ِم ْنهَا‬،‫أَيْ َم َع قِ َرا َء ِة ْالبَ ْس َملَ ِة فَإِنَّهَا آيَةٌ ِم ْنهَا‬
‫ فَإ ِ َذا ُخفِّفَ بَطَ َل ِم ْنهَا‬.‫ أِل َ َّن ْال َحرْ فَ ْال ُم َش َّد َد بِ َحرْ فَي ِْن‬،‫ َو ِه َي أَرْ بَ ُع َع َش َر ٍة‬،‫ت) فِ ْيهَا‬ ٍ ‫(و) َم َع (تَ ْش ِد ْيدَا‬ َ .‫َغ ْي َر بَ َرا َءة‬
‫ َو ِه َي‬،‫اح ٌد َو أَرْ بَعُوْ نَ َحرْ فًا‬
ِ ‫ف ِمائَةٌ َو َو‬ٍ ِ‫ك بِاَل أَل‬ِ ِ‫ َو ِه َي َعلَى قِ َرا َء ِة َمل‬،‫ف) فِ ْيهَا‬
ٍ ْ‫(رعَايَ ِة ُحرُو‬
ِ ‫(و) َم َع‬ َ .‫ف‬ ٌ ْ‫َحر‬
‫ فَلَوْ أَ ْب َد َل‬.‫ضا ٍد َو َغي ِْرهَا‬
َ ‫ج‬ٍ ‫ َك َم ْخ َر‬،‫ي ْال ُحرُوْ ف‬ ِ َ‫ار ُجهَا) أ‬ ِ َ‫(و َمخ‬َ .‫َم َع تَ ْش ِد ْيدَاتِهَا ِمائةٌ َو َخ ْم َسةٌ َو خَ ْمسُوْ نَ َحرْ فًا‬
ْ‫ْر تَا ِء أَ ْن َع ْمتَ أَو‬
ِ ‫ َك َكس‬،‫ أَوْ لَ َحنَ لَحْ نًا يُ َغيِّ ُر ْال َم ْعنَى‬،‫ضادًا بِظَا ٍء‬
َ ْ‫ َو لَو‬،‫قَا ِد ٌر أَوْ َم ْن أَ ْم َكنَهُ التَّ َعلُّ ُم َحرْ فًا بِآ َخ َر‬
‫ إِ ْن‬.‫ نَ َع ْم‬.ُ‫ َو إِاَّل فَقِ َرا َءتُه‬،ُ‫صاَل تُه‬
َ ‫ت‬ ْ َ‫ فَإ ِ ْن تَ َع َّم َد ذلِكَ َو َعلِ َم تَحْ ِر ْي َمهُ بَطُل‬،‫ض ِّمهَا‬
َ ‫ك اَل‬ ِ ‫ْر َك‬
َ ‫اف إِيَّا‬ ِ ‫ض ِّمهَا َو َكس‬ َ
ْ ‫ أَ َّما عَا ِج ٌز لَ ْم يُ ْم ِك ْنهُ التَّ َعلُّ َم فَاَل تَ ْبطَلْ قِ َرا َءتُهُ ُم‬.‫اب قَ ْب َل طُوْ ِل ْالفَصْ ِل َك َّم َل َعلَ ْيهَا‬
‫ َو َك َذا اَل ِح ٌن‬،‫طلَقًا‬ َّ ‫أَعَا َدهُ ال‬
َ ‫ص َو‬
َ‫ َو إِاَّل ُك ِره‬،‫د َح ُر َم‬ºَ ‫ ل ِكنَّهُ إِ ْن تَ َع َّم‬،ُ‫َال نَ ْعبُد‬
ِ ‫حد‬ِ ‫ َكفَ ْت‬،‫لَحْ نًا اَل يُ َغيِّ ُر ْال َم ْعنَى‬.
(Al-Fātiḥah tersebut haruslah besertaan dengan bacaan basmalah) sebab
basmalah adalah sebagian ayat dari al-Fātiḥah dan Nabi s.a.w. sendiri juga
143

membaca basmalah lalu membaca al-Fātiḥah dan Nabi menganggap basmalah


sebagai ayat darinya. Begitu pula setiap ayat selain surat Barā’ah. (bersertaan
dengan tasydīd-tasydīdnya). Jumlahnya ada 14, sebab huruf yang ditasydīd itu
dihitung dua huruf. Maka jika huruf itu diringankan hilanglah satu huruf dari al-
Fātiḥah, (besertaan menjaga huruf-hurufnya). Jumlahnya dengan membaca
lafazh (‫ك‬
ِ ِ‫ ) َمل‬tanpa alif adalah 141 huruf dan bila ditambah tasydīd-nya, maka
jumlah totalnya adalah 155 huruf, (dan menjaga tempat keluarnya huruf) seperti
makhraj (‫)ضاد‬
َ dan selainnya. Jikalau seseorang yang mampu atau mungkin untuk
belajar mengganti satu huruf dengan huruf yang lain walaupun (‫)ضاد‬
َ dengan (
‫ )ظَاء‬atau keliru dalam membaca dengan kekeliruan yang dapat merubah makna
seperti membaca kasrah tā’ dari lafazh ( َ‫ )أَ ْن َع ْمت‬atau membaca dhammah dan
meng-kasrah lafazh (‫ك‬
َ ‫)إِيَّا‬, bukan mendhammahnya, maka jika ia menyengaja hal
itu dan tahu keharamannya batallah shalatnya. Jika tidak sengaja atau tidak tahu
keharamannya, maka yang batal hanyalah bacaannya. Benar batal bacaannya,
jika seseorang tersebut mengulangi dengan benar sebelum pemisah yang lama,
maka diperbolehkan untuk menyempurnakan bacaannya. Sedangkan orang yang
tidak mampu untuk belajar maka tidaklah batal bacaannya secara mutlak, begitu
pula keliru bacaan yang tidak merubah makna seperti membaca fatḥah lafazh (
‫ )دَال‬dari (ُ‫ )نَ ْعبُد‬namun jika disengaja hukumnya haram dan bila tidak hukumnya
makruh.
َ‫اف ْال ُمتَ َر ِّد َد ِة بَ ْينَهَا َو بَ ْين‬
ِ َ‫ق بِ ْالق‬
ِ ‫ط‬ْ ُّ‫ْن َو ْال ُمتَأ َ ِّخ ِر ْينَ فِي ْالهَ ْم ُد هللِ بِ ْالهَا ِء َو فِي الن‬ºَ ‫ف بَ ْينَ ْال ُمتَقَ ِّد ِمي‬
ٌ ‫َو َوقَ َع ِخاَل‬
ِ ‫ج ْال َو ْق‬ ْ
‫ ل ِك ْن َجزَ َم‬.‫ت‬ ِ ْ‫اج بِ ْالبُطاَل ِن فِ ْي ِه َما إِاَّل إِ ْن تَ َع َّذ َر َعلَ ْي ِه التَّ َعلُّ ُم قَب َْل ُخرُو‬
ِ َ‫ح ْال ِمنه‬
ِ ْ‫ َو َج َز َم َش ْي ُخنَا فِ ْي شَر‬.‫اف‬ ِ ‫ْال َك‬
‫ َو لَوْ خَ فَّفَ قَا ِد ٌر أَوْ عَا ِج ٌز ُمقَصِّ ٌر‬.‫ض ْي َو ابْنُ ال ِّر ْف َع ِة‬ ِ ‫ َو فِي اأْل ُوْ لَى ْالقَا‬،‫ص َّح ِة فِي الثَّانِيَ ِة َش ْي ُخهُ َز َك ِريَّا‬ِّ ‫بِال‬
َ‫ َو لَوْ خَ فَّف‬.‫ك ْال َكلِ َم ِة‬
َ ‫ َو إِاَّل فَقِ َرا َءتُهُ لِتِ ْل‬،‫د َو َعلِ َم‬ºَ ‫صاَل تَهُ إِ ْن تَ َع َّم‬
َ ‫ت‬ ِ ‫ك اإْل ِ ْدغ‬
ْ َ‫َام بَطَل‬ ِّ َ‫ُم َش َّددًا َكأ َ ْن قَ َرأَ اَلْ َرحْ م ِن بِف‬
َ ‫ َو لَوْ َش َّد َد ُمخَ فَّفًا‬.‫ َو إِاَّل َس َج َد ِلل َّسه ِْو‬،‫س‬
ºُ‫ َو يَحْ ُر ُم تَ ْع ُّم ُده‬،َّ‫صح‬ ِ ‫ضوْ ُء ال َّش ْم‬ َ ُ‫ َكفَ َر أِل َنَّه‬،ُ‫ عَا ِمدًا عَالِ ًما َم ْعنَاه‬،َ‫إِيَّاك‬
َ‫ َك َو ْقفَ ٍة لَ ِط ْيفَ ٍة بَ ْينَ ال ِّس ْي ِن َو التَّا ِء ِم ْن نَ ْستَ ِع ْين‬.
Terjadi perbedaan pendapat di antara ‘ulamā’ kurun awal dan kurun akhir di
ْ dengan menggunakan (‫ )ه‬dan di dalam mengucapkan (‫اف‬ººَ‫)الق‬
dalam (ِ‫ ُد هلل‬º‫)الهَ ْم‬
dengan makhraj di antara (‫ )ق‬dan (‫)ك‬. Guru kita telah memutuskan dalam kitab
144

syarḥ minhāj-nya dengan hukum batal di dalam dua kasus di atas, kecuali bagi
orang yang sulit untuk belajar sebelum keluarnya waktu shalat. Namun gurunya
guru kita; Imām Zakariyyā memutuskan hukum sah pada kasus kedua, al-Qādhī
dan Ibnu Rif‘ah menghukumi sah pada kasus awal. Jikalau seorang yang mampu
atau tidak mampu, namun ceroboh meringankan huruf yang bertasydīd seperti
ِ ْ‫ )اَلْ َرح‬dengan tanpa meng-idghām-kan, maka batallah shalatnya
membaca (‫من‬
jika ia menyengaja dan mengetahui keharamannya, dan jika tidak sengaja dan
mengetahui, maka yang batal hanyalah bacaan dari kalimat itu. Jikalau seseorang
meringankan bacaan ( َ‫ )إِيَّاك‬dengan sengaja dan mengetahui artinya, maka orang
tersebut menjadi kafir sebab makna dari lafazh tersebut menjadi sinar matahari,
dan jika tidak maka dianjurkan melakukan sujud sahwi. Jikalau lafazh yang
ringan ditasydīd, maka sah shalatnya namun hukumnya haram bila disengaja
seperti keharaman diam sebentar di antara huruf (‫ )ال ِّسيْن‬dan (‫ )التَّاء‬dari lafazh (
َ‫)نَ ْستَ ِع ْين‬

(‫َم َع ِرعَايَ ِة ( ُم َوااَل ٍة) فِ ْيهَا بِأ َ ْن يَأْتِ ْي بِ َكلِ َماتِهَا َعلَى ْال َواَل ِء بِأ َ ْن اَل يَ ْفص َُل بَ ْينَ َش ْي ٍء ِم ْنهَا َو َما بَ ْع َدهُ بِأ َ ْكثَ َر ِم ْن ) َو‬

ِ ‫ َكبَع‬،َّ‫ َو إِ ْن قَل‬،‫صاَل ِة فِ ْيهَا‬


‫ْض‬ َّ ‫ق بِال‬ ُ َّ‫ (بِتَ َخلُّ ِل ِذ ْك ٍر أَجْ نَبِ ٍّي) اَل يَتَ َعل‬،‫ (فَي ُِع ْيدُ) قِ َرا َءةُ ْالفَاتِ َح ِة‬،‫س أَ ِو ْال َع ِّي‬
ِ ُّ‫َس ْكتَ ِة التَّنَف‬
)‫د ْالفَاتِ َحةَ (بِــــــ‬ºُ ‫ (اَل ) يَ ِع ْي‬.‫اض‬
ِ ‫ار ِه بِاإْل ِ ْع َر‬
ِ ‫َار ِجهَا إِل ِ ْش َع‬
ِ ‫س َو إِ ْن س َُّن فِ ْيهَا َكخ‬ ٍ ‫ َو َك َح ْم ِد عَا ِط‬،‫آيَ ٍة ِم ْن َغي ِْرهَا‬
‫ َو ا ْستِ َعا َذ ٍة ِم ْن‬،‫ال َرحْ َم ٍة‬ ِ َ‫ ( َو ُدعَا ٍء) ِم ْن سُؤ‬،ُ‫ك (تَأْ ِمي ٍْن َو ُسجُوْ ٍد) ِلتِاَل َو ِة إِ َما ِم ِه َم َعه‬
َ ،‫صاَل ِة‬ َّ ‫ق بِال‬ٌ ُّ‫تَ َخلُّ ِل َما لَهُ تَ َعل‬
‫ أَ ِو اآْل يَةَ الَّتِ ْي يُ َس ُّن‬،‫ك ِمنَ ال َّشا ِه ِد ْينَ (لِقِ َرا َء ِة إِ َما ِم ِه) ْالفَاتِ َحةَ أَوْ آيَةَ السَّجْ َد ِة‬
َ ِ‫ بَلَى َو أَنَا َعلَى ذل‬:ُ‫ َو قَوْ ل‬،‫ب‬ ٍ ‫َع َذا‬
‫صلِّ ْي آيَةً أَوْ َس ِم َع‬ َ ‫ فَلَوْ قَ َرأَ ْال ُم‬.‫َار ِجهَا‬
ِ ‫صاَل ٍة َو خ‬ َ ‫ فِ ْي‬،ُ‫ َمأْ ُموْ ًما أَوْ َغ ْي َره‬،‫ارى ِء َو السَّا ِم ِع‬ ِ َ‫فِ ْيهَا َما ُذ ِك َر لِ ُك ِّل ِمنَ ْالق‬
ِ َ‫ح َعلَ ْي ِه) أ‬
‫ي اإْل ِ َم ِام إِ َذا تَ َوقَّفَ فِ ْيهَا‬ ِ ‫ ( َو) اَل (بِفَ ْت‬. ُّ‫ َك َما أَ ْفتَى بِ ِه النَّ َو ِوي‬،‫صاَل ةُ َعلَ ْي ِه‬
َّ ‫ب ال‬ ِ ‫آيَةً فِ ْيهَا ا ْس ُم ُم َح َّم ٍد لَ ْم تُ ْن َد‬
ِ‫ َو تَ ْق ِد ْي ُم نَحْ ُو ُس ْب َحانَ هللا‬.َ‫ َو ِإاَّل قَطَ َع ْال ُم َوااَل ة‬، َ‫ال َش ْي ُخنَا إِ ْن َسكَت‬ َ َ‫ َك َما ق‬ ُ‫ َو َم َحلُّه‬،‫ح‬ ِ ‫ َو لَوْ َم َع ْالفَ ْت‬،‫بِقَصْ ِد ْالقِ َرا َء ِة‬
ُ ‫ت طَا َل) فِ ْيهَا بِ َحي‬
‫ْث زَ ا َد‬ ٍ ْ‫ ( َو) يَ ِع ْي ُد ْالفَاتِ َحة بِتَخَ لُّ ِل ( ُس ُكو‬.َ‫ أِل َنَّهُ ِح ْينَئِ ٍذ بِ َم ْعنَى تَنَبَّه‬،‫ط ُعهَا َعلَى اأْل َوْ َج ِه‬
َ ‫ح يَ ْق‬ ِ ‫قَ ْب َل ْالفَ ْت‬
‫ت‬ُ ْ‫ أَ ِو ال ُّس ُكو‬،‫ فَلَوْ َكانَ تَ َخ ُّل ُل ال ِّذ ْك ِر اأْل َجْ نَبِ ِّي‬.‫ ِم ْن َج ْه ٍل َو َس ْه ٍو‬،)‫اح ِة (بِاَل ع ُْذ ٍر فِ ْي ِه َما‬ َ ‫َعلَى َس ْكتَ ِة ااْل ِ ْستِ َر‬
‫ َك َما لَوْ َكر ََّر آيَةً ِم ْنهَا فِ ْي َم َحلِّهَا َو لَوْ لِ َغي ِْر‬،َّ‫ضر‬ ُ ْ‫ أَوْ َكانَ ال ُّس ُكو‬، ‫ َس ْه ًوا أَوْ َج ْهاًل‬،ُ‫الطَّ ِو ْيل‬
ُ َ‫ لَ ْم ي‬،‫ت لِتَ َذ ُّك ِر آيَ ٍة‬
‫ َعلَى اأْل َوْ َج ِه‬،َّ‫ أَوْ عَا َد إِلَى َما قَ َرأَهُ قَ ْب ٌل َو ا ْستَ َمر‬،‫ع ُْذ ٍر‬.
(Dan besertaan menjaga kesinambungan dalam al-Fātiḥah) dengan cara
membaca kalimat al-Fātiḥah secara sambung menyambung dengan tidak
145

memisah di antara sesuatu dari al-Fātiḥah dengan lafazh setelahnya dengan jarak
waktu lebih dari berhenti mengambil nafas atau berhenti sebab tersengal-sengal.
(Maka bacaan al-Fātiḥah harus diulang dengan sebab disela-selai dengan dzikir
lain) yang tidak berhubungan dengan al-Fātiḥah walaupun sedikit seperti
setengah ayat dari selain al-Fātiḥah dan seperti ucapan al-Ḥamdulillāh orang
yang bersin – walaupun bacaan tersebut sunnah diucapkan dalam shalat seperti di
luar shalat – sebab hal itu menunjukkan berpaling dari bacaan al-Fātiḥah. (Tidak
mengulang bacaan) al-Fātiḥah (dengan) sebab disela-selai dengan sesuatu yang
berhubungan dengan shalat seperti (mengucapkan amin, sujūd) tilāwah besertaan
imām, (doa) meminta rahmat dan menjauhkan dari ‘adzab dan ucapan: (‫بَلَى َو أَنَا‬
َ‫ – ) َعلَى ذلِكَ ِمنَ ال َّشا ِه ِد ْين‬Benar, aku atas hal itu menjadi saksi – (sebab bacaan al-
Fātiḥah), ayat sajadah dari imām atau ayat yang disunnahkan di dalamnya untuk
meminta hal yang telah disebutkan bagi setiap orang yang membaca dan yang
mendengar, baik ma’mūm atau imām, di dalam shalat atau di luarnya. Jikalau
seseorang yang shalat membaca ayat atau mendengar ayat yang di dalam ayat itu
terdapat nama Nabi Muḥammad s.a.w., maka tidak disunnahkan untuk membaca
shalawat kepadanya, seperti yang telah difatwatkan oleh Imām Nawawī. (Dan
juga tidak mengulangi bacaan al-Fātiḥah dengan sebab menuntun bacaan imām)
ketika imam terhenti bacaannya dengan niat membaca al-Qur’ān walaupun
besertaan dengan niat menuntun imām. Hal itu dilakukan – seperti yang telah
disampaikan oleh guru kita – jika imām diam jika imām tidak terdiam maka
terputuslah kesinambungan bacaan al-Fātiḥah-nya. Mendahulukan semacam
bacaan (ِ‫ ) ُس ْب َحانَ هللا‬sebelum menurun dapat memutus kesinambungan al-Fātiḥah
menurut pendapat yang aujah, sebab bacaan (ِ‫ ْب َحانَ هللا‬ºº‫)س‬,
ُ dengan demikian
bermakna mengingatkan. (Wajib mengulang) bacaan al-Fātiḥah dengan sebab
disela-selai (dengan diam yang lama) dalam al-Fātiḥah sekira melebihi dari diam
untuk istirahat (dengan tanpa sebuah alasan pada dua kasus itu) yakni alasan
tidak tahu atau lupa. Jikalau penyela-nyelaan dzikir yang lain atau diam yang
lama itu dilakukan karena lupa atau tidak tahu atau karena diam untuk mengingat
146

ayat, maka hal tersebut tidaklah masalah seperti kasus mengulang-ulang ayat dari
al-Fātiḥah ditempatnya walaupun tidak ada alasan atau walaupun mengulangi
terhadap lafazh yang dibaca sebelum selesainya al-Fātiḥah dan dilanjutkan
menurut pendapat yang aujah.

ٌ ْ‫]فَر‬: ٍّ‫(و اَل أَثَ َر لِشَك‬


[‫ع‬ َ .‫ فَأَتَ َّمهَا ثُ َّم َذ َك َر أَنَّهُ بَ ْس َم َل أَعَا َد ُكلَّهَا َعلَى اأْل َوْ َج ِه‬،‫ك فِ ْي أَ ْثنَا ِء ْالفَاتِ َح ِة هَلْ بَ ْس َم َل‬َّ ‫لَوْ َش‬
ِ ‫ذ ُم‬ºٍ ِ‫ أِل َ َّن الظَّا ِه َر ِح ْينَئ‬،‫ي ْالفَاتِ َح ِة‬
‫ضيُّهَا‬ ِ َ‫ (بَ ْع َد تَ َما ِمهَا) أ‬.‫ أَوْ آيَ ٍة فَأ َ ْكثَ َر ِم ْنهَا‬،‫ف) فَأ َ ْكثَ َر ِمنَ ْالفَاتِ َح ِة‬
ٍ ْ‫ك َحر‬ ِ ْ‫فِ ْي تَر‬
‫ك هَلْ قَ َرأَهَا أَوْ اَل ؟ أِل َ َّن اأْل َصْ َل َع َد َم‬ َّ ‫ ( َو ا ْستَأْنَفَ ) ُوجُوْ بًا إِ ْن َش‬.ً‫تَا َّمة‬
ِ َ‫ك فِ ْي ِه (قَ ْبلَهُ) أ‬
َّ ‫ َك َما لَوْ َش‬.‫ي التَّ َم ِام‬
‫ أَوْ بَ ْع َدهُ فِ ْي نَحْ ِو َوضْ ِع‬،‫ك فِ ْي أَصْ ٍل ال ُّسجُوْ ِد َمثَاًل أَتَى بِ ِه‬ َّ ‫ فَلَوْ َش‬.‫ك َسائِ ِر اأْل َرْ َكا ِن‬ َ ِ‫ َو َك ْالفَاتِ َح ِة فِ ْي ذل‬.‫قِ َرا َءتِهَا‬
ِ { ‫ َو لَوْ قَ َرأَهَا غَافِاًل فَفَ ِطنَ ِع ْن َد‬.‫ لَ ْم يَ ْل َز ْمهُ َش ْي ٌء‬º،‫ْاليَ ِد‬
‫ َو‬.‫ص َراطَ الَّ ِذ ْينَ } َو لَ ْم يَتَيَقَّ ْن قِ َرا َءتَهَا لَ ِز َمهُ ا ْستِ ْئنَافُهَا‬
ُ‫ ل ِك ْن يُ ْشتَ َرط‬.‫ف اَل فِي التَّ َشهُّ ِد َما لَ ْم ي ُِخ َّل بِ ْال َم ْعنَى‬ ْ ‫يَ ِجبُ التَّرْ تِيْبُ فِي ْالفَاتِ َح ِة بِأ َ ْن يَأْتِ َي بِهَا َعلَى ن‬
ِ ْ‫َظ ِمهَا ْال َم ْعرُو‬
ِ ‫ْق ْال َو ْق‬
‫ َو اَل‬،‫ت‬ ِ ‫ضي‬ِ ‫ َو َم ْن َجه َُل َج ِم ْي َع ْالفَاتِ َح ِة َو لَ ْم يُ ْم ِك ْنهُ تَ َعلُّ ُمهَا قَ ْب َل‬.‫ت َو ُم َوااَل ةٌ َك ْالفَاتِ َح ِة‬
ٍ ‫فِ ْي ِه ِرعَايَةُ تَ ْش ِد ْيدَا‬
‫ َو ِه َي‬،‫ف ْالفَاتِ َح ِة‬ ِ ْ‫ت َو لَوْ ُمتَفَ ِّرقَةً اَل يَ ْنقُضُ ُحرُوْ فُهَا ع َْن ُحرُو‬ ٍ ‫ لَ ِز َمهُ قِ َرا َءةُ َس ْب ُع آيَا‬،‫ف‬ٍ ‫قِ َرا َءتُهَا فِ ْي نَحْ ِو ُمصْ َح‬
‫ْض ْالفَاتِ َح ِة َكر ََّرهُ لِيَ ْبلُ َغ‬
ِ ‫ك َو لَوْ قَ َد َر َعلَى بَع‬ِ ِ‫ف َمال‬ِ ِ‫ت أَل‬
ِ ‫ت ِمائَةٌ َو ِستَّةٌ َو خَ ْمسُوْ نَ َحرْ فًا بِإ ِ ْثبَا‬ ِ ‫بِ ْالبَ ْس َملَ ِة بِالتَّ ْش ِد ْيدَا‬
ٌ ْ‫ فَ ُوقُو‬،َ‫اع ِم ْن ِذ ْك ٍر َكذلِك‬
‫ف بَقَ ْد ِرهَا‬ ٍ ‫ َو إِ ْن لَ ْم يَ ْق ِدرْ َعلَى بَد ٍَل فَ َس ْب َعةُ أَ ْن َو‬،‫قَ ْد َرهَا‬.
(Cabangan Masalah). Jikalau seseorang ragu di tengah bacaan al-Fātiḥah,
apakah telah membaca basmalah, lantas ia menyempurnakan bacaan al-Fātiḥah-
nya kemudian ia ingat bahwa dirinya telah membaca basmalah, maka wajib
baginya untuk mengulangi seluruh al-Fātiḥah-nya menurut pendapat yang lebih
unggul. (Tidaklah berpengaruh keraguan di dalam meninggalkan satu huruf atau
lebih dari al-Fātiḥah satu ayat atau lebih darinya (setelah sempurna membaca al-
Fātiḥah) sebab dengan demikian secara zhahir, al-Fātiḥah telah dibaca dengan
sempurna. (Wajib untuk mengulangi bacaan al-Fātiḥah) bila keraguan terjadi
sebelum sempurnanya) bacaan itu, seperti halnya hukum bila terjadi keraguan
apakah telah membaca al-Fātiḥah atau belum? Sebab hukum asalnya adalah
belum membacanya. Seperti hukumnya al-Fātiḥah tersebut adalah setiap rukun-
rukun shalat, contohnya; jika terjadi keraguan telah sujud atau belum, maka
wajib untuk mengerjakan sujud, atau keraguan terjadi setelah sujud dalam
147

meletakkan semacam tangan, maka tidak wajib baginya untuk mengerjakan


sesuatu apapun. Jika seseorang membaca al-Fātiḥah dalam keadaan lupa, lantas
sadar pada saat membaca ( َ‫)ص َراطَ الَّ ِذ ْين‬
ِ dan ia tidak yakin telah membaca surat
sebelumnya, maka wajib baginya untuk mengulanginya. Wajib untuk
mentartibkan bacaan al-Fātiḥah dengan cara membaca al-Fātiḥah sesuai dengan
urutan yang telah diketahui, bukan tartib dalam tasyahhud selama tidak merubah
maknanya, namun diisyaratkan di dalam tasyahhud untuk tetap memperhatikan
tasydīd dan kesinambungannya seperti halnya al-Fātiḥah. Barang siapa yang
tidak mengerti seluruh bacaan al-Fātiḥah dan tidak mungkin untuk
mempelajarinya sebelum habisnya waktu shalat dan juga tidak mungkin untuk
membacanya pada semacam mushḥaf, maka wajib untuk membaca tujuh ayat –
walaupun terpisah-pisah – yang tidak kurang dari huruf-huruf al-Fātiḥah. Al-
Fātiḥah dengan basmalah dan semua tasydīd-nya berjumlah 156 huruf dengan
menetapkan alif dari lafazh (‫ك‬
ِ ِ‫) َمال‬. Jikalau seseorang hanya mampu membaca
sebagian dari surat al-Fātiḥah, maka wajib baginya untuk mengulang-ulangnya
sampai kadar huruf al-Fātiḥah. Jika ia tidak mampu untuk membaca tujuh ayat
sebagai pengganti al-Fātiḥah, maka wajib baginya tujuh macam dzikir dengan
jumlah huruf yang sama pula dengan al-Fātiḥah. Jika masih tidak mampu maka
baginya hanya berkewajiban berdiri dengan kadar waktu cukup untuk membaca
al-Fātiḥah.

(‫ًًّرا إِ ْن أَ ِمنَ ) َو س َُّن‬ºّ ‫ (اِ ْفتِتَاحٌ) أَيْ ُدعَا ُؤهُ ِس‬.‫صاَل ةَ َجنَا َز ٍة‬ َ ‫ َما َعدَا‬،‫ض أَوْ نَ ْف ٍل‬ ٍ ْ‫ يَ ِجبُ (بَ ْع َد تَ َحرُّ ٍم) بِفَر‬:‫َو قِي َْل‬
ْ‫ (أَو‬.‫ ( َما لَ ْم يُ ْش ِر ْع) فِ ْي تَ َع ُّو ٍذ أَوْ قِ َرا َء ٍة َو لَوْ َس ْه ًوا‬،‫ع اإْل ِ َم ِام‬ ُ ‫ب َعلَى ظَنِّ ْال َمأْ ُموْ ِم إِ ْد َرا‬
ِ ْ‫ك ُر ُكو‬ َ َ‫ت َو َغل‬ ِ ‫فَوْ تَ ْال َو ْق‬
ُ ‫ (فَوْ تَ سُوْ َر ٍة) َحي‬،‫ي ْال َمأْ ُموْ ُم‬
‫ َك َما‬.ُ‫ْث تُ َس ُّن لَه‬ ْ ْ
ِ َ‫ ( َو ِإ ْن خَ افَ ) أ‬.‫ َو إِ ْن أَ َّمنَ َم َع تَأ ِم ْينِ ِه‬،‫يَجْ لِسُ َمأ ُموْ ٌم) َم َع إِ َما ِم ِه‬
‫ َو َو َر َد‬.ُ‫ َو قَ ْد اَل يَقَع‬،‫ات السُّوْ َر ِة َموْ هُوْ ٌم‬ ُ ‫ َو فَ َو‬،‫ق‬ َ ‫ أِل َ َّن إِ ْد َرا‬:‫ال‬
ِ ‫ك ااْل ِ ْفتِت‬
ٌ َّ‫َاح ُم َحق‬ َ َ‫ب َو ق‬ِ ‫ح ْال ُعبَا‬
ِ ْ‫َذ َك َر َش ْي ُخنَا فِ ْي شَر‬
‫ض‬َ ْ‫ت َو اأْل َر‬ ِ ‫ْت َوجْ ِه َي أَيْ َذاتِ ْي لِلَّ ِذيْ فَطَ َر السَّم َوا‬ ُ ‫ َو َّجه‬:‫ َو ِه َي‬،‫ضلُهَا َما َر َواهُ ُم ْسلِ ٌم‬ َ ‫ َو أَ ْف‬.ٌ‫فِ ْي ِه أَ ْد ِعيَةٌ َكثِ ْي َرة‬
‫ي َو‬ َ ‫صاَل تِ ْي َو نُ ُس ِك ْي َو َمحْ يَا‬ َ ‫ إِ َّن‬. َ‫ َو َما أَنَا ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِك ْين‬،‫ق ُم ْسلِ ًما‬ِّ ‫َحنِ ْيفًا أَيْ َمائِاًل َع ِن اأْل َ ْديَا ِن إِلَى ال ِّد ْي ِن ْال َح‬
‫ َو يُ َس ُّن لِ َمأْ ُموْ ٍم يَ ْس َم ُع قِ َرا َءةَ إِ َما ِم ِه‬. َ‫ َو أَنَا ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِم ْين‬،‫ت‬
ُ ْ‫ك أُ ِمر‬
َ ِ‫ َو بِذل‬،ُ‫ك لَه‬ َ ‫ اَل َش ِر ْي‬، َ‫َم َماتِ ْي هللِ َربِّ ْال َعالَ ِم ْين‬
ً ‫ط ِو ْي ِل لَ ْف‬
‫ظا‬ ْ َّ‫ت َرضُوْ ا بِالت‬ ٍ ‫ َو إِ َما ُم َمحْ صُوْ ِر ْينَ َغ ْي َر أَ ِرقَّا َء َو اَل نِ َسا ٌء ُمتَ َز ِّو َجا‬،ُ‫ َو يَ ِز ْي ُد نَ ْدبًا ْال ُم ْنفَ ِرد‬،‫ع بِ ِه‬
ُ ‫اإْل ِ ْس َرا‬
148

ْ ‫ َو لَ ْم يَ ُك ِن ْال َم ْس ِج ُد َم‬.ُ‫ َو إِ ْن قَ َّل ُحضُوْ ُره‬،‫ط َر ْأ َغ ْي ُرهُ ْم‬


‫ اللَّهُ َّم بَا ِع ْد بَ ْينِ ْي َو‬:‫ َو ِم ْنهُ َما َر َواهُ ال َّش ْيخَا ِن‬.‫طرُوْ قًا‬ ْ َ‫َو لَ ْم ي‬
َ‫اي َك َما يُنَقَّى الثَّوْ بُ اأْل َ ْبيَضُ ِمن‬ َ َ‫طاي‬ ِ ‫ق َو ْال َم ْغ ِر‬
َ ‫ اللَّهُ َّم نَقِّنِ ْي ِم ْن َخ‬.‫ب‬ ِ ‫ي َك َما بَا َعدْتَ بَ ْينَ ْال َم ْش ِر‬
َ ‫طايَا‬َ َ‫بَ ْينَ خ‬
‫صاَل ِة‬ َ ‫َاح َو تَ ْكبِي ِْر‬ ٍ ‫د ا ْفتِت‬ºَ ‫ (فَـــــ) بَ ْع‬.‫ج َو ْالبَ َر ِد‬
ِ ‫ي َك َما يُ ْغ َس ُل الثَّوْ بُ بِ ْال َما ِء َو الثَّ ْل‬
َ ‫ اللَّهُ َّم ا ْغ ِس ْلنِ ْي ِم ْن خَ طَايَا‬.‫َس‬
ِ ‫ال َّدن‬
َ َ‫ َو إِ ْن َجل‬.‫ًًّرا َو لَوْ فِي ْال َجه ِْريَّ ِة‬ºّ ‫ ِس‬،‫صاَل ة ْال َجنَازَ ِة‬
‫س َم َع إِ َما ِم ِه ( ُك َّل‬ َ ‫ يُ َس ُّن (تَ َع ُّو ٌذ) َو لَوْ فِ ْي‬ ‫ِع ْي ٍد إِ ْن أَتَى بِ ِه َما‬
ُ‫ َو يُ ْك َرهُ تَرْ ُكه‬،ُ‫ َو هُ َو فِي اأْل ُوْ لَى آ َكد‬.‫ر ْك َع ٍة) َما لَ ْم يُ ْش ِر ْع فِ ْي قِ َرا َء ٍة َو لَوْ َس ْه ًوا‬.
َ
(Disunnahkan) – sebagian pendapat menghukumi wajib – (setelah takbīrat-ul-
iḥrām) shalat yang wajib ataupun sunnah selain shalat janazah (untuk membaca
doa iftitāḥ) dengan pelan. Doa itu dibaca jika orang yang shalat tidak takut
habisnya waktu shalat, ada dugaan kuat dari ma’mūm menemukan rukū‘nya
imām, (dan selama ia belum membaca) ta‘awwudz atau membaca surat –
walaupun ia lupa – , (atau selama ma’mūm belum duduk) bersama imām –
walaupun ma’mūm telah membaca amin bersama aminnya imām – (dan
walaupun ma’mūm takut kehilangan waktu membaca surat-suratan) jika bacaan
surat tersebut disunnahkan baginya seperti yang telah disampaikan oleh guru kita
dalam syarḥ ‘ubāb. Guru kita berkata: Sebab menemukan doa iftitāḥ ini dapat
dipastikan, sedangkan hilangnya waktu membaca surat masih praduga dan
terkadang tidak terjadi. Doa iftitāḥ yang telah diajarkan oleh Nabi s.a.w. banyak
sekali, yang paling utama adalah doa yang telah diriwayatkan oleh Imām Muslim
ُ ‫)و َّجه‬
yakni doa: (‫ْت َوجْ ِه َي‬ َ sampai selesai. Maksudnya adalah: “Saya hadapkan
diriku kepada Dzāt pencipta langit dan bumi dengan condong menjauhi semua
agama menuju kepada agama yang benar dengan pasrah. Dan aku bukanlah
sebagian dari orang-orang yang menduakan Allah, sesungguhnya shalat,
ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tidak ada
sekutu bagi-Nya dan dengan itu aku diperintahkan dan Aku adalah sebagian
dari orang-orang yang muslim.” Disunnahkan bagi seorang ma’mūm yang
mendengar bacaan imāmnya untuk mempercepat bacaan doa iftitāḥnya.
Disunnahkan pula untuk menambahkan doa iftitāḥ bagi seorang yang shalat
sendiri dan imām yang teringkas jamā‘ahnya – selain pada budak dan wanita
yang telah menikah – dengan catatan ma’mūm telah menyatakan dengan ucapan
149

kerelaannya dengan panjangnya bacaan doa tersebut, jamā‘ah tidak diisi dengan
selain jamā‘ahnya – walaupun jumlahnya sedikit dan selama masjid tempat
jamā‘ah tidak berada di tepi jalan tempat lalu-lalang, dengan doa yang telah
diajarkan oleh Nabi s.a.w. Sebagian doa itu adalah doa yang diriwayatkan oleh
ِ َ‫ )اللَّهُ َّم ب‬sampai akhir. Artinya: Ya Allah jauhkanlah di antara
Bukhārī-Muslim: (‫اع ْد‬
diriku dan kesalahan-kesalahanku seperti halnya engkau telah menjauhkan di
antara arah timur dan barat, Ya Allah, bersihkanlah diriku dari kesalahan-
kesalahanku seperti dibersihkannya baju putih dari kotoran. Ya Allah, basuhlah
semua kesalahanku seperti halnya baju yang dibasuh dengan air, salju dan
embun. (Kemudian) setelah membaca doa iftitāḥ dan takbīr dari shalat hari-raya
– jika dua hal tersebut dikerjakan – disunnahkan (untuk membaca ta‘awwudz) –
walaupun di dalam shalat jenazah – secara pelan walaupun dalam shalat yang
sunnah untuk mengeraskan bacaan dan walaupun setelah duduk bersamaan
dengan imam, (di setiap rakaat) selama belum membaca surat al-Fātiḥah –
walaupun lupa – Membawa ta‘awwudz di raka‘at pertama hukumnya lebih
dianjurkan dan makruh untuk meninggalkannya.
 
ْ َ‫ َو إِ ْن تَ َعلَّق‬،‫ ِخاَل فًا لِ َج ْم ٍع ( ِم ْنهَا) أَيْ ِمنَ ْالفَاتِ َح ِة‬،‫س ُك ِّل آيَ ٍة) َحتَّى َعلَى آ ِخ ِر ْالبَ ْس َملَ ِة‬ ْ ٌ ‫يُ َس ُّن ( َو ْق‬
(‫ت ) َو‬ ِ ‫ف َعلَى َرأ‬
‫ فَإ ِ ْن‬،‫ف َو اَل ُم ْنتَهَى آيَ ٍة ِع ْن َدنَا‬ َ ‫ َو اأْل َوْ لَى أَ ْن اَل يَقِفَ َعلَى {أَ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم} أِل َنَّهُ لَي‬.‫اع‬
ٍ ‫ْس بِ َو ْق‬ ِ َ‫ لِاْل ِ تِّب‬،‫بِ َما بَ ْع َدهَا‬
َ‫ َو َحسُن‬.ِّ‫ْف َو ْال َمد‬ِ ‫ بِالتَّ ْخفِي‬. َ‫ آ ِم ْين‬:ُ‫ ( َو) يُ َس ُّن (تَأْ ِمي ٌْن) أَيْ قَوْ لُه‬.‫َوقَفَ َعلَى ه َذا لَ ْم تُ َس َّن اإْل ِ عَا َدةُ ِم ْن أَ َّو ِل اآْل يَ ِة‬
ِّ‫ظ بِ َش ْي ٍء ِس َوى َرب‬ ْ َّ‫ َما لَ ْم يَتَلَف‬،‫صاَل ِة بَ ْع َد َس ْكتَ ٍة لَ ِط ْيفَ ِة‬ ِ َ‫ي ْالفَاتِ َح ِة َو لَوْ خ‬
َّ ‫ار َج ال‬ ِ َ‫ ( َعقِبَهَا) أ‬، َ‫ َربِّ ْال َعالَ ِم ْين‬:ُ‫ِزيَا َدة‬
‫ ( َو) س َُّن لِ َمأْ ُموْ ِم فِي ْال َجه ِْريَّ ِة‬.ُ‫وم لِقِ َرا َء ِة إِ َم ٍام تَ ْبعًا لَه‬ ِ ‫ َحتَّى لِ ْل َمأْ ُم‬،‫ َو يُ َس ُّن ْال َج ْه ُر بِ ِه فِي ْال َجه ِْريَّ ِة‬.‫ا ْغفِرْ لِ ْي‬
‫ فَإِنَّهُ َم ْن‬.‫ “إِ َذا أَ َّمنَ اإْل ِ َما ُم أَيْ أَ َرا َد التَّأْ ِم ْينَ فَأ َ ِّمنُوْ ا‬:‫ لِ َخبَ ِر ال َّشيْخَ ْي ِن‬،ُ‫تَأْ ِمي ٌْن ( َم َع) تَأْ ِم ْي ِن (إِ َما ِم ِه إِ ْن َس ِم َع) قِ َرا َءتَه‬
‫ َو‬.‫ارنَةَ اإْل ِ َم ِام إِاَّل ه َذا‬
َ َ‫ْس لَنَا َما يُ َس ُّن فِ ْي ِه ت ََحرِّيْ ُمق‬ َ ‫ َو لَي‬º.”‫ق تَأْ ِم ْينُهُ تَأْ ِم ْينَ ْال َماَل ئِ َك ِة ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن َذ ْنبِ ِه‬
َ َ‫َواف‬
.‫ َو إِ ْن أَ َّخ َر إِ َما ُمهُ َع ِن ال َّز َم ِن ْال َم ْسنُوْ ِن فِ ْي ِه التَّأْ ِميْنُ أَ َّمنَ ْال َمأْ ُموْ ُم َج ْهرًا‬.‫ب تَأْ ِم ْينِ ِه‬
َ ِ‫إِ َذا لَ ْم يَتَّفِ ْق لَهُ ُم َوافَقَتَهُ أَ َّمنَ َعق‬
ِ ‫ َو يُ َس َّكنُ ِع ْن َد ْال َو ْق‬،‫ح‬
‫ف‬ ِ ‫ َم ْبنِ ْي َعلَى ْالفَ ْت‬، ْ‫ َو آ ِمي ٌْن اِ ْس ُم فِ ْع ٍل بِ َم ْعنَى ا ْستَ ِجب‬.
(Dan) disunnahkan (untuk berhenti di setiap akhir ayat) sampai di akhir
bismillāh, berbeda dengan pendapat sekelompok ‘ulamā’, (dari surat al-Fātiḥah)
– walaupun ayat itu masih berhubungan dengan ayat setelahnya – sebab
150

mengikuti Nabi s.a.w. Yang lebih utama adalah tidak berhenti pada ayat ( َ‫أَ ْن َع ْمت‬
‫ ) َعلَ ْي ِه ْم‬sebab ayat tersebut bukanlah tempatnya berhenti dan bukan akhir ayat
menurut kita madzhab Syāfi‘iyyah. Maka jika berhenti pada ayat tersebut
tidaklah disunnahkan untuk mengulangi dari awal ayat. (Dan) disunnahkan
(membaca amin). Lafazh amin dibaca ringan dan panjang, dan bagus bila
ditambah lafazh ( َ‫( ) َربِّ ْال َعالَ ِم ْين‬setelah bacaan al-Fātiḥah) – walaupun di luar shalat
– setelah berhenti sebentar selama belum mengucapkan sesuatu apapun selain
lafazh (‫رْ ِل ْي‬ººِ‫)ربِّ ا ْغف‬
َ – Ya Tuhan ampunilah diriku. Disunnahkan mengeraskan
bacaan amin dalam shalat yang disunnahkan untuk membaca keras, – sampai
pada ma’mūm -, karena bacaan al-Fātiḥahnya imam sebab mengikuti sang imām.
(Disunnahkan) bagi ma’mūm – di dalam shalat yang sunnah untuk mengeraskan
suara – untuk membaca amin (besertaan) aminnya (imām jika ma’mūm
mendengar) bacaan al-Fātiḥah sebab hadits yang diriwayatkan Bukhārī-Muslim:
Jika imām membaca amin – maksudnya imām mengharapkan membaca amin –
maka aminlah kalian semua. Sebab siapapun yang mencocoki aminnya dengan
amin malaikat, maka dosanya yang telah lewat akan diampuni. Tidaklah bagi kita
ada sesuatu hal yang disunnahkan untuk menunggu untuk membarengi imām,
kecuali bacaan amin ini. Jika bacaan aminnya imām tidak cocok dengan bacaan
amin ma’mūm, maka ma’mūm membaca setelah aminnya imām. Jikalau imām
mengakhirkan dari waktu disunnahkannya membaca amin, maka mu’mūm
membaca amin dengan keras sebelumnya imām. Lafazh amin adalah nama fi‘il
dengan makna ( ْ‫ – )ا ْستَ ِجب‬kabulkanlah doa kami -, yang dimabnikan fatḥah dan
dibaca sukūn ketika berhenti.
 
ٌ ْ‫]فَر‬: ‫يُ َس ُّن لِإْل ِ َم ِام أَ ْن يَ ْس ُكتَ فِي ْال َجه ِْريَّة بِقَ ْد ِر قِ َرا َء ِة ْال َمأْ ُموْ ِم ْالفَاتِ َحةَ ِإ ْن َعلِ َم أَنَّهُ يَ ْق َر ُؤهَا فِ ْي َس ْكتَ ٍة َك َما ه َُو‬
[‫ع‬
ْ َ‫ َو ِح ْينَئِ ٍذ فَي‬:‫ قَا َل َش ْي ُخنَا‬.‫ َو ِه َي أَوْ لَى‬،‫ َو أَ ْن يَ ْشتَ ِغ َل فِ ْي ه ِذ ِه ال َّس ْكتَ ِة بِ ُدعَا ٍء أَوْ قِ َرا َء ٍة‬،ٌ‫ظَا ِهر‬
‫ظهَ ُر أَنَّهُ ي َُرا ِعي‬
‫ْب َو ْال ُم َوااَل ةَ بَ ْينَهَا َو بَ ْينَ َما يَ ْق َر ُؤهَا َو بَ ْع َدهَا‬
َ ‫التَّرْ تِي‬.
(Cabangan Masalah). Disunnahkan bagi seorang imām untuk diam dalam
shalat yang sunnah membaca keras dengan kadar bacaan al-Fātiḥah seorang
151

ma’mūm. Hal itu dilakukan jika imām tahu bahwa ma’mūm membaca al-Fātiḥah
di waktu diamnya imām seperti hukum yang telah jelas. Dan disunnahkan bagi
imām untuk menyibukkan di saat diam tersebut dengan doa atau membaca surat-
suratan, sedang membaca surat lebih utama. Guru kita berkata: Dengan demikian
maka jelaslah bahwa imām harus menjaga tartib dan kesinambungan di antara
ayat yang dibaca dan ayat setelahnya.
 

ِ ْ‫ َو بَ ْينَ آ ِخ ِرهَا َو تَ ْكبِ ْي َر ِة الرُّ ُكو‬،‫ بَ ْينَ آ ِم ْينَ َو السُّوْ َرة‬،ِ ‫يُ َس ُّن َس َكتَةٌ لَ ِط ْيفَةٌ بِقَ ْد ِر ُس ْب َحانَ هّللا‬
[ٌ‫]فَائِ َدة‬: َ‫ َو بَ ْين‬،‫ع‬
‫َاح َو بَ ْينَهُ َو بَ ْينَ التَّ َع ُّو ِذ َو ْب ْينَهُ َو بَ ْينَ ْالبَ ْس َملَ ِة‬
ِ ‫التَّ َحرُّ ِم َو ُدعَا ِء ااْل ِ ْفتِت‬.
(Fā’idah). Disunnahkan untuk diam sejenak dengan kadar bacaan ( ِ ‫ ) ُس ْب َحانَ هّللا‬di
antara bacaan amin dan surat-suratan, antara akhirnya amin dan takbīr untuk
rukū‘, di antara takbīrat-ul-iḥrām dan doa iftitāḥ, di antara doa iftitāḥ dan
ta‘awwudz, dan di antara bacaan ta‘awwudz dan bacaan bismillāh.

َ َّ‫ نَص‬.‫ َو يُ َس ُّن لِ َم ْن قَ َرأَهَا ِم ْن أَ ْثنَا ِء سُوْ َر ِة ْالبَ ْس َملَ ِة‬.‫ث (بَ ْع َدهَا) أَيْ بَ ْع َد ْالفَاتِ َح ِة‬
(‫)و‬ ٌ ‫ َو اأْل َوْ لَى ثَاَل‬،‫س َُّن آيَةٌ فَأ َ ْكثَر‬
‫ظ‬ْ َ‫ َو بِإِعَا َد ِة ْالفَاتِ َح ِة إِ ْن لَ ْم يَحْ ف‬،‫ص ُل أَصْ ُل ال ُّسنَّ ِة بِتَ ْك ِري ِْر سُوْ َر ٍة َوا ِح َد ٍة فِي ال َّر ْك َعتَ ْي ِن‬
َ ْ‫ َو يَح‬.‫َعلَ ْي ِه ال َّشافِ ِع ِّي‬
‫ َك َما فِي‬، ُ‫ْث لَ ْم يَ ِر ِد ْالبَعْض‬ ُ ‫ َو سُوْ َر ٍة َكا ِملَ ٍة َحي‬،‫ َو بِقِ َرا َء ِة ْالبَ ْس َملَ ِة اَل بِقَصْ ِد أَنَّها الَّتِ ْي ِه َي أَ َّو ُل ْالفَاتِ َح ِة‬،‫َغ ْي َرهَا‬
‫ َو خَ َر َج بِبَ ْع ِدهَا َما لَوْ قَ َّد َمهَا‬.‫ َو يُ ْك َرهُ تَرْ ُكهَا ِرعَايَةً لِ َم ْن أَوْ َجبَهَا‬.‫ْض طَ ِو ْيلَ ٍة َو إِ ْن طَا َل‬ ِ ‫ض ُل ِم ْن بَع‬ َ ‫ْح أَ ْف‬ ِ ‫التَّ َر‬
ِ ‫اوي‬
َ‫ َو إِ ْن َع َجز‬.‫ َو يَ ْنبَ ِغ ْي أَ ْن اَل يَ ْق َرأَ َغي َْر ْالفَاتِ َح ِة َم ْن يَ ْل َحنُ فِ ْي ِه لَحْ نًا يُ َغيِّ ُر ْال َم ْعنَى‬.‫ك‬
َ ِ‫ بَلْ يُ ْك َرهُ ذل‬، ُ‫َعلَ ْيهَا فَاَل تُحْ َسب‬
ُ‫ ْالحُرْ َمة‬:‫َضى كَاَل ُم اإْل ِ َم ِام‬َ ‫ َو ُم ْقت‬.‫ك السُّوْ َر ِة َجائِ ٌز‬ ُ ْ‫ َو تَر‬.‫ضرُوْ َرة‬ َ ‫ْس بِقُرْ آ ٍن بِاَل‬ َ ‫ أِل َنَّهُ يَتَ َكلَّ ُم بِ َما لَي‬،‫ َع ِن التَّ َعلُّ ِم‬.
(Dan) disunnahkan membaca satu ayat atau lebih, dan yang lebih utama adalah
tiga ayat (setelah al-Fātiḥah). Disunnahkan bagi seorang yang membaca
basmalah seperti yang telah dijelaskan oleh Imām Syāfi‘ī. Kesunnahan membaca
surat akan di dapat dengan mengulang satu surat di dua rakaat, dengan
mengulang sebagian al-Fātiḥah bagi orang yang tidak hafal selain itu, dan
dengan membaca basmalah namun tidak bertujuan menugucapkan basmalah dari
awal surat al-Fātiḥah. Membaca surat yang sempurna – sekira tidak ada ajaran
dari Nabi untuk membaca sebagian surat seperti shalat tarāwīḥ – lebih utama
dibanding dengan sebagian surat yang panjang walaupun panjang. Dimakruhkan
152

untuk meninggalkan bacaan surat untuk menjaga perselisihan ‘ulamā’ yang


mewajibkannya. Dikecualikan dari setelah al-Fātiḥah adalah bacaan surat
sebelum membaca al-Fātiḥah, maka bacaan tersebut tidaklah dianggap, bahkan
hal itu hukumnya dimakruhkan. Sebaiknya tidak membaca selain al-Fātiḥah bagi
seorang yang keliru dalam bacaan dengan kekeliruan yang dapat merubah makna
– walaupun orang itu tidak mampu untuk belajar – sebab orang tersebut akhirnya
berkata dengan sesuatu yang bukan al-Qur’ān tanpa ada darurat, sedangkan
meninggalkan membaca surat-suratan, hukumnya diperbolehkan. Dan
keterangan Imām Ḥaramain mengindikasikan hukum haram.
 
(‫)و‬
َ ‫ك‬ ٍ ْ‫تُ َس ُّن (فِي) ال َّر ْك َعتَ ْي ِن (اأْل ُوْ لَيَ ْي ِن) ِم ْن ُربَا ِعيَّ ٍة أَوْ ثُاَل ثِيَّ ٍة َو اَل تُ َس ُّن فِي اأْل َ ِخيْرتَ ْي ِن إِاَّل لِ َم ْسبُو‬
ُ ‫ق بِأ َ ْن لَ ْم يُ ْد ِر‬
‫ط َع ْنهُ لِ َكوْ نِ ِه‬ َ ‫اأْل ُوْ لَيَ ْي ِن َم َع ِإ َما ِم ِه فَيَقُ َر ُؤهَا فِ ْي بَاقِ ْي‬
ْ ُ‫ َما َل ْم تَ ْسق‬،ُ‫صاَل تِ ِه إِ َذا تَدَا َر َكهُ َو لَ ْم يَ ُك ْن قَ َرأَهَا فِ ْي َما أَ ْد َر َكه‬
‫ َو يُ َس ُّن أَ ْن يُطَ ِّو َل قِ َرا َءةَ اأْل ُوْ لَى َعلَى‬.‫ أِل َ َّن اإْل ِ َما َم إِ َذا ت ََح َّم َل َع ْنهُ ْالفَاتِ َحةَ فَالسُّوْ َرةَ أَوْ لَى‬،ُ‫َم ْسبُوقًا فِ ْي َما أَ ْد َر َكه‬
‫ َما لَ ْم تَ ُك ِن الَّتِ ْي‬،‫ َو َعلَى التَّ َوالِ ْي‬،‫ف‬ ِ ‫ب ْال ُمصْ َح‬ ْ ‫ َما لَ ْم يَ ِر ْد نَصٌّ بِت‬،‫الثَّانِيَ ِة‬
ِ ‫ َو أَ ْن يَ ْق َرأَ َعلَى تَرْ تِ ْي‬.‫َط ِو ْي ِل الثَّانِيَ ِة‬
‫ب؟ أَ ِو‬ ِ ‫ق نَظَرًا لِلتَّرْ تِ ْي‬ َ َ‫ فَهَلْ يَ ْق َرأُ ْالفَل‬،‫ص‬ َ ‫َط ِو ْي ُل اأْل ُوْ لَى َكأ َ ْن قَ َرأَ اإْل ِ ْخاَل‬ ْ ‫ َو ت‬، ُ‫ض التَّرْ تِيْب‬ ْ َ‫تَلِ ْيهَا أ‬
َ ‫ط َو ُل َو لَوْ تَ َعا َر‬
ُ ْ
ُ‫ َو إِنَّ َما تُ َس ُّن قِ َرا َءة‬.‫اج‬ ِ َ‫ح ْال ِم ْنه‬ ِ ْ‫ قَالَهُ َش ْي ُخنَا فِ ْي شَر‬.ُ‫ َو اأْل َ ْق َربُ اأْل َ َّول‬،ٌ‫ْال َكوْ ثَ ِر نَظَرًا لِتَط ِو ْي ِل اأْل وْ لَى؟ ُك ٌّل ُمحْ تَ ِمل‬
‫ أَ َّما َمأْ ُموْ ٌم لَ ْم‬.‫ تَحْ ُر ُم‬:‫ َو قِ ْي َل‬.ُ‫اآْل يَ ِة ( ِل) إِ َم ِام َو ُم ْنفَ ِر ٍد َو ( َغي ِْر َمأْ ُموْ ٍم َس ِم َع) قِ َرا َءةَ إِ َما ِم ِه فِي ْال َجه ِْريَّ ِة فَتُ ْك َرهُ لَه‬
‫ ل ِك ْن يُ َس ُّن لَهُ َك َما فِ ْي أُوْ لَيِي ال ِّس ِّريَّ ِة تَأْ ِخ ْي ُر فَاتِ َحتِ ِه ع َْن‬.‫ًًّرا‬ºّ ‫ فَيَ ْق َر ْأ ِس‬،ُ‫صوْ تًا اَل يُ َميِّ ُز ُحرُوْ فَه‬
َ ‫ أَوْ َس ِم َع‬،‫يَ ْس َم ْعهَا‬
ُ‫ َو أَقَ َّرهُ ابْن‬،‫ َو قَا َل ْال ُمت ََولِّ ْي‬.‫ذ يَ ْشتَ ِغ ُل بِال ُّدعَا ِء اَل ْالقِ َرا َء ِة‬ºٍ ِ‫ َو ِح ْينَئ‬،‫فَاتِ َح ِة إِ َما ِم ِه إِ ْن ظَ َّن إِ ْد َرا َكهَا قَ ْب َل ُر ُكوْ ِع ِه‬
ْ ‫ان قَوْ ٍل بِ ْالب‬
‫ُطاَل ِن‬ ِ َ‫ َو لِ َج َري‬º،‫ف فِي ااْل ِ ْعتِدَا ِد بِهَا ِح ْينَئِ ٍذ‬ ِ ‫ لِ ْل ِخاَل‬،‫ع فِ ْيهَا قَ ْبلَهُ َو لَوْ فِي ال َّس ِّريَّ ِة‬ ُ ْ‫ يُ ْك َرهُ ال ُّشرُو‬:‫ال ِّر ْف َع ِة‬
ُ‫إِ ْن فَ َر َغ ِم ْنهَا قَ ْبلَه‬.
(Disunnahkan) membaca ayat al-Qur’ān (di dalam) dua raka‘at (awal) dari shalat
yang ber-raka‘at empat atau tiga, tidak disunnahkan di dua raka‘at yang akhir,
kecuali bagi seorang ma’mūm masbūq yang tidak menemukan dua raka‘at awal
bersamaan dengan imāmnya, maka diperbolehkan bagi ma’mūm itu untuk
membaca ayat di sisa raka‘atnya, jika ia melanjutkan shalatnya sedang dirinya
belum membaca surat tersebut di raka‘at yang ia dapatkan bersamaan imām dan
selama ayat tersebut tidak gugur kesunnahannya sebab dirinya adalah ma’mūm
masbūq dalam raka‘at yang ia dapatkan dari imām. Hal itu disebabkan ketika
153

seorang imām mampu menanggung al-Fātiḥah dari seorang ma’mūm, maka


bacaan surat-suratan lebih utama untuk ditanggung. Disunnahkan untuk
memanjangkan bacaan surat raka‘at awal mengalahkan panjang raka‘at kedua
selama tidak ada keterangan dari Nabi s.a.w. untuk memanjangkan raka‘at yang
kedua. Disunnahkan pula untuk membaca surat dengan tartib sesuai urutan
mushḥaf dan secara beruntun, selama ayat yang setelah tidak lebih panjang. Jika
mentartibkan surat berlawanan dengan memanjangkan surat di raka‘at awal
seperti membaca surat al-Ikhlāsh pada raka‘at awal maka apakah pada raka‘at
kedua membaca surat al-Falaq karena melihat tartib mushḥaf? atau membaca
surat al-Kautsar agar bacaan raka‘at awal lebih panjang? Semuanya masih
mungkin benar, sedang yang lebih dekat kebenarannya adalah yang awal yakni
membaca al-Falaq seperti yang telah disampaikan oleh guru kita dalam Syaraḥ
Minhāj. Disunnahkannya membaca ayat hanyalah bagi seorang imām dan
seorang yang shalat sendiri (dan selain ma’mūm yang mendengar bacaan) dari
sang imām di dalam shalat yang disunnahkan membaca keras, maka
dimakruhkan bagi ma’mūm untuk membaca surat. Sebagian pendapat
menghukumi haram. Sedangkan bagi ma’mūm yang tidak mendengar bacaan
ayat dari imām atau mendengar suatu yang tidak dapat dibedakan huruf-
hurufnya, maka diperbolehkan baginya untuk membaca surat dengan pelan,
namun disunnahkan baginya – seperti di dua raka‘at awal shalat yang sunnah
untuk membaca pelan – untuk mengakhirkan bacaan al-Fātiḥahnya dari al-
Fātiḥah imāmnya jika ia menduga dapat menemukan rukū‘ besertaan imām. Di
waktu menanti bacaan imām selesai, ma’mūm menyibukkan diri dengan berdoa
bukan membaca surat. Imām al-Mutawallī berkata: – pendapat ini telah diakui
oleh Imām Ibnu Rif‘ah – : Dimakruhkan untuk membaca al-Fātiḥah sebelum
imāmnya walaupun di dalam shalat yang sunnah untuk melirihkan bacaan sebab
keluar dari perselisihan ‘ulamā’ tentang dianggap sahnya bacaan al-Fātiḥah
dengan kondisi demikian tersebut, dan sebab adanya shalat jika ma’mūm lebih
dahulu selesai membaca al-Fātiḥah sebelum imāmnya.
154

 
ٌ ْ‫]فَر‬: ‫ أَ ْن يَ ْشتَ ِغ َل بِ ُدعَا ٍء‬،‫ أَوْ ِمنَ التَّ َشهُّ ِد اأْل َّو ِل قَ ْب َل اإْل ِ َم ِام‬،‫يُ َس ُّن لِ َمأْ ُموْ ٍم فَ َر َغ ِمنَ ْالفَاتِ َح ِة فِي الثَّالِثَ ِة أَ ِو الرَّابِ َع ِة‬
[‫ع‬
‫ أَوْ قِ َرا َء ٍة فِي اأْل ُوْ لَى َو ِه َي أَوْ لَى‬،‫فِ ْي ِه َما‬.
(Cabangan Masalah). Disunnahkan bagi seorang ma’mūm yang telah selesai
membaca al-Fātiḥah di raka‘at yang ketiga atau keempat atau telah selesai
membaca tasyahhud di raka‘at awal sebelum imāmnya, untuk menyibukkan diri
membaca doa setelahnya atau membaca surat setelah raka‘at ketiga dan keempat
dan itu lebih baik

(‫)و‬
َ ‫ك َو) فِ ْي‬ َ ‫(ال ُج ْم َع ِة َو ْال ُمنَافِقُوْ نَ أَوْ َسبِّحْ َو هَلْ أَتَا‬
ْ ُ‫صاَل تِه ( ُج ْم َع ٍة َو ِع َشائِهَا) سُوْ َرة‬ َ )‫ض ِر (فِ ْي‬ ِ ‫يُ َس ُّن لِ ْل َحا‬
ْ ‫ َو) فِ ْي َم ْغ ِربِهَا‬.‫ت (آلم تَ ْن ِز ْيلٌ) السَّجْ َد ِة ( َو هَلْ أَتَى‬
‫ َو‬.) ُ‫(ال َكافِرُوْ نَ َو اإْل ِ ْخاَل ص‬ ُ ‫ي ْال ُج ْم َع ِة إِ َذا اتَّ َس َع ْال َو ْق‬
ِ َ‫صب ِْحهَا) أ‬ ُ (
ِ ‫ب َو الطَّ َو‬
‫اف َو التَّ ِحيَّ ِة َو‬ ِ ‫ َو فِ ْي َر ْك َعت َِي ْالفَجْ ِر َو ْال َم ْغ ِر‬،‫ْح ْال ُج ْم َع ِة َو َغي ِْرهَا لِ ْل ُم َسافِ ِر‬ ِ ‫صب‬ ُ ‫يُ َس ُّن قِ َرا َءتُهُ َما فِ ْي‬
‫اع فِي ْال ُك ِّل‬
ِ َ‫ لِاْل ِ تِّب‬،‫ااْل ِ ْستِ َخا َر ِة َو اإْل ِ حْ َر ِام‬.
(Disunnahkan) bagi seorang yang bukan musāfir (di dalam) shalat (Jum‘at dan shalat
‘Isyā’-nya) untuk membaca surat (al-Jum‘ah dan al-Munāfiqūn atau surat al-A‘lā
dan al-Ghāsyiyyah.) Disunnahkan di dalam (shalat Shubuḥ hari Jum‘at) ketika
waktunya masih longgar (untuk membaca surat Alif Lām Mīm) as-Sajdah (dan Hal
Atā). Sedangkan di salam shalat Maghribnya disunnahkan (membaca surat al-
Kāfirūn dan al-Ikhlāsh). Disunnahkan membaca dua surat tersebut di shalat Shubuḥ
hari Jum‘at dan selainnya bagi seorang musāfir dan di dua raka‘at shalat Shubuḥ,
Maghrib, Thawāf, tahiyyat, istikhārah, dan shalat akan iḥrām. Semua itu sebab
mengikuti Nabi s.a.w.
 
ٌ ْ‫]فَر‬: ‫ أَوْ قَ َرأَ فِي اأْل ُوْ لَى َما فِي الثَّانِيَ ِة قَ َرأَ فِ ْيهَا َما فِي‬،‫ن فِي اأْل ُوْ لَى أَتَى بِ ِه َما فِي الثَّانِيَ ِة‬ºِ ‫ك ِإحْ دَى ْال ُم َعيَّنَتَ ْي‬
[‫ع‬ َ ‫لَوْ ت ََر‬
‫َان‬ ٍ ‫ْق َو ْق‬
ِ ‫ سُوْ َرت‬:‫ت‬ ِ ‫ضي‬ ِ ‫ َو ِع ْن َد‬.‫ قَطَ َعهَا َو قَ َرأَ ْال ُم َعيَّنَةَ نَ ْدبًا‬،‫ َو لَوْ َس ْه ًوا‬º،‫ َو لَوْ َش َر َع فِ ْي َغي ِْر السُّوْ َر ِة ْال ُم َعيَّنَ ِة‬.‫اأْل ُوْ لَى‬
ْ َ‫ َو لَوْ لَ ْم يَحْ ف‬.‫ ِخاَل فًا لِ ْلفَا َرقِ ْي‬،‫ْض الطَّ ِو ْيلَتَ ْي ِن ْال ُم َعيَّنَتَ ْي ِن‬
‫ْن قَ َرأَهَا َو يُ ْب ِد ُل‬ºِ ‫ظ ِإاَّل إِحْ دَى ْال ُم َعيَّنَتَي‬ َ ‫ص ْي َرتَا ِن أَ ْف‬
ِ َ‫ق‬
ِ ‫ض ُل ِم ْن بَع‬
}‫ َو َس ِم َع قِ َرا َءةَ اإْل ِ َم ِام {هَلْ أَتَى‬، ‫ْح ْال ُج ْم َع ِة َمثَاًل‬ ِ ‫صب‬ ُ ‫ َو لَ ِو ا ْقتَدَى فِ ْي ثَانِيَ ِة‬.‫اأْل ُ ْخ َرى بِسُوْ َر ٍة َحفِظَهَا َو إِ ْن فَاتَهُ ْال َواَل ُء‬
ُ‫ضيَّة‬ ِ ‫ َك َما أَ ْفتَى بِ ِه ْال َك َما ُل ال َّردَا ُد َو تَبِ َعهُ َش ْي ُخنَا فِ ْي فَت‬.ٌ‫فَيَ ْق َرأُ فِ ْي ثَانِيَتِ ِه إِ َذا قَا َم بَ ْع َد َساَل ِم اإْل ِ َم ِام الم تَ ْن ِز ْيل‬
ِ َ‫ ل ِك ْن ق‬.‫َاو ْي ِه‬
155

‫ َو‬.‫ َو إِ َذا قَ َرأَ اإْل ِ َما ُم َغي َْرهَا قَ َرأَهُ َما ْال َمأْ ُموْ ُم فِ ْي ثَانِيَتِ ِه‬،‫اج أَنَّهُ يَ ْق َرأُ فِ ْي ثَانِيَتِ ِه ِإ َذا قَا َم هَلْ أَتَى‬
ِ َ‫ح ْال ِم ْنه‬
ِ ْ‫كَاَل ِم ِه فِ ْي شَر‬
‫ َك َما أَ ْفتَى بِ ِه َش ْي ُخنَا‬.‫ع الثَّانِيَ ِة فَ َك َما لَوْ لَ ْم يَ ْق َر ْأ َش ْيئًا فَيَ ْق َرأُ السَّجْ َدةَ َو هَلْ أَتَى فِ ْي ثَانِيَتِ ِه‬ِ ْ‫إِ ْن أَ ْد َركَ اإْل ِ َما َم فِ ْي ُر ُكو‬.

(Cabangan Masalah). Jika seorang yang shalat meninggalkan salah satu surat yang
telah ditentukan di raka‘at awal, maka dua surat tersebut dibaca di raka‘at yang
kedua atau surat yang semestinya dibaca di raka‘at yang kedua dibaca di raka‘at
awal, maka di raka‘at kedua membaca surat yang seharusnya dibaca di raka‘at awal.
Jika seseorang membaca surat selain yang telah ditentukan – walaupun lupa – maka
baginya sunnah memotong surat tersebut dan membaca surat yang telah ditentukan.
Membaca dua surat yang pendek di saat waktu shalat telah hampir habis, lebih utama
dibanding dengan membaca sebagian surat yang panjang yang telah ditentukan.
Berbeda dengan pendapat Imām al-Fāraqī. Jika seseorang tidak hafal kecuali salah
satu surat yang telah ditentukan, maka baginya sunnah membaca salah satu surat
tersebut dan mengganti surat yang lain dengan surat yang ia hafal walaupun tidak
runtut dengan mushḥaf. Jika seseorang menjadi ma’mūm di raka‘at kedua dari shalat
shubuh hari Jum‘at – sebagai contoh – dan ia mendengar bacaan Imām surat Hal
Atā, maka sunnah baginya di raka‘at yang kedua – ketika ia telah berdiri setelah
salam imam – untuk membaca surat Alif Lām Mīm Tanzīl seperti yang telah
difatwakan oleh Imām al-Kamāl ar-Radād dan pendapat ini diikuti oleh guru kita
dalam kitab Fatāwā-nya, namun pendapat guru kita dalam Syaraḥ Minhāj lebih
condong untuk membaca di raka‘at keduanya – setelah beranjak berdiri – surat Hal
Atā. Ketika seorang imam membaca selain dua surat yang telah ditentukkan, maka
ma’mum membaca dua surat itu di raka‘at keduanya. Jika ma’mum menemukan
imam di rukū‘ raka‘at kedua, maka imam dianggap tidak membaca sesuatu apapun
hingga disunnahkan baginya untuk membaca surat as-Sajadah dan Hal Atā di
raka‘at keduanya seperti yang telah difatwakan oleh guru kita.
 
[ٌ‫]تَ ْنبِ ْيه‬: ‫س‬ ِ ‫ب ال َّش ْم‬ ِ ْ‫ض ْي بَ ْينَ ُغرُو‬ ِ ‫ْح َو أُوْ لَيَي ْال ِع َشا َءي ِْن َو ُج ْم َع ٍة َو فِ ْي َما يَ ْق‬
ِ ‫صب‬ ُ ‫يُ َس ُّن ْال َج ْه ُر بِ ْالقِ َرا َء ِة لِ َغي ِْر َمأْ ُموْ ِم فِ ْي‬
‫ َو يُ ْك َرهُ لِ ْل َمأْ ُموْ ِم‬.‫ف ْالقَ َم ِر‬
ِ ْ‫ضانَ َو ُخسُو‬ َ ‫ْح َو ِو ْت ِر َر َم‬ِ ‫اوي‬ِ ‫ضا ًء َو التَّ َر‬ َ َ‫ َو لَوْ ق‬:‫ن قَا َل َش ْي ُخنَا‬ºِ ‫ َو فِي ْال ِع ْي َد ْي‬،‫َو طُلُوْ ِعهَا‬
156

‫ َو‬.‫ع‬ ِ ْ‫ َك َما فِي ْال َمجْ ُمو‬.ُ‫ فَيُ ْك َره‬،ٍّ‫صل‬ َ ‫َّش َعلَى نَحْ ِو نَائِ ٍم أَوْ ُم‬ َ ‫ص ٍّل َو َغ ْي ُرهُ إِ ْن َشو‬ َ ‫ َو اَل يَجْ هَ ُر ُم‬.ُ‫ لِلنَّه ِْي َع ْنه‬،ُ‫ْال َج ْهر‬
ْ‫صلِّ ْينَ أَي‬
َ ‫ف َعلَى ْال ُم‬ٌ ‫ْج َد َو ْق‬ ِ ‫ أِل َ َّن ْال َمس‬،‫طلَقًا‬ ْ ‫صلِّ ْي ُم‬
َ ‫ضهُ ُم ْال َم ْن َع ِمنَ ْال َجه ُِر بِقُرْ آ ٍن أَوْ َغي ِْر ِه بِ َحضْ َر ِة ْال ُم‬
ُ ‫ث بَ ْع‬ َ ‫بَ َح‬
ْ ‫ار فِي النَّ َوافِ ِل ْال ُم‬
‫طلَقَ ِة لَ ْياًل‬ ِ ‫ َو يَتَ َو َّسطُ بَ ْينَ ْال َجه ِْر َو اإْل ِ ْس َر‬،‫صالَةً ُدوْ نَ ْال ُو َّعا ِظ َو ْالقُرَّا ِء‬َ َ‫أ‬
(Disunnahkan untuk mengeraskan bacaan bagi selain ma’mūm di dalam shalat
Shubuḥ, dua raka‘at awal shalat ‘Isyā’, shalat Jum‘at, shalat yang diqadhā’ di antara
waktu tenggelam dan terbitnya matahari, shalat dua hari-raya. – Guru kita berkata:
Walaupun shalat Hari-raya tersebut adalah shalat qadhā’ – , shalat tarāwīḥ, witir
malam bulan Ramadhān dan shalat Gerhana rembulan. Dimakruhkan bagi ma’mūm
untuk mengeraskan bacaan sebab adanya larangan tentang hal itu. Orang yang shalat
dan selainnya dilarang untuk mengeraskan bacaan jika hal tersebut dapat
mengganggu terhadap semacam orang yang tidur atau orang yang shalat, maka
hukumnya makruh seperti keterangan dalam kitab Majmū‘. Sebagian ‘ulamā’
melarang mengeraskan bacaan al-Qur’ān atau selainnya disamping orang yang shalat
secara mutlak, sebab masjid adalah tanah waqaf untuk orang yang shalat secara
hukum asalnya, bukan untuk penceramah, dan pembaca al-Qur’ān. Disunnahkan
dalam shalat sunnah mutlak di malam hari untuk membaca di antara keras dan pelan.
 
ْ
َ ُ‫ بَلْ يَرْ فَ ُع ِم ْنه‬،)‫ع‬
(‫)و‬ ٍ ْ‫ (اَل ) فِ ْي َر ْف ٍع ( ِم ْن ُر ُكو‬،‫اع‬ ِ َ‫ض َو َر ْف ٍع) لِاْل ِ تِّب‬
ٍ ‫س َُّن لِ ُم ْنفَ ِر ٍد َو إِ َم ٍام َو َمأ ُموْ ٍم (تَ ْكبِ ْي ٌر فِ ْي ُك ِّل َخ ْف‬
‫ص َل بِ َج ْل َس ِة‬ ِ ‫ص َل إِلَى ْال ُم ْنت‬
َ َ‫ َو إِ ْن ف‬،‫َقل إِلَ ْي ِه‬ ِ َ‫ي التَّ ْكبِي ِْر إِلَى أَ ْن ي‬
ِ َ‫ ( َو) س َُّن ( َم ُّدهُ) أ‬،ُ‫ َس ِم َع هّللا ُ لِ َم ْن َح ِم َده‬:ً‫قَائِال‬
‫ ل ِك ْن إِ ْن نَ َوى ال ِّذ ْك َر‬،‫ ( َو) س َُّن ( َج ْه ٌر بِ ِه) أَيْ بِالتَّ ْكبِي ِْر لِاْل ِ ْنتِقَا ِل َكالتَّ َحرُّ ِم (إِل ِ َم ٍام) َو َك َذا ُمبَلّ ٍغ اُحْ تِي َْج إِلَ ْي ِه‬.‫ااْل ِ ْستِ َرا َح ِة‬
ِ َ‫ بِاتِّف‬،ٌ‫ إِ َّن التَّ ْبلِ ْي َغ بِ ْد َعةٌ ُم ْن َك َرة‬:‫ضهُ ْم‬
‫اق‬ ِ َ‫ح ْال ِم ْنه‬
َ َ‫ ق‬.‫اج‬
ُ ‫ال بَ ْع‬ ِ ْ‫ َك َما قَا َل َش ْي ُخنَا فِ ْي شَر‬.ُ‫صاَل تُه‬ َ ‫ت‬ ْ َ‫ َو إِاَّل بَطَل‬،َ‫أَوْ َو اإْل ِ ْس َماع‬
‫ (لِ َغي ِْر ِه) ِم ْن ُم ْنفَ ِر ٍد َو َمأْ ُموْ ٍم‬.‫ي ْال َج ْه ُر بِ ِه‬
ِ َ‫ ( َو ُك ِرهَ) أ‬.‫ت اإْل ِ َم ِام‬ َ َ‫ْث بَلَ َغ ْال َمأْ ُموْ ِم ْين‬
ُ ْ‫صو‬ ُ ‫ َحي‬،‫اأْل َئِ َّم ِة اأْل َرْ بَ َع ِة‬.
(Dan) disunnahkan bagi orang yang shalat sendiri, imām dan ma’mūm (untuk
membaca takbīr di setiap turun dan bangun) sebab mengikuti Nabi s.a.w., (bukan)
bangun (dari rukū‘) akan tetapi bangunlah dari rukū‘ dengan mengucapkan ( ُ ‫َس ِم َع هّللا‬
ُ‫ َده‬ºº‫ – )لِ َم ْن َح ِم‬semoga Allah menerima pujian dari hamba yang memujinya – .
(Disunnahkan untuk memanjangkan bacaan takbīr) sampai ke tempat yang dituju,
walaupun dipisah dengan duduk istirahat. (Disunnahkan) untuk membaca keras
dengan bacaan takbīr) untuk berpindah rukun seperti halnya takbīrat-ul-iḥrām (bagi
157

seorang imām) begitu pula bagi seorang penyampai suara yang dibutuhkan, namun
jika berniat dzikir atau niat dzikir dan memberi pendengaran orang lain. Jika tidak
berniat sedemikian itu, maka shalat penyampai suara tersebut batal seperti yang telah
disampaikan oleh guru kita dalam Syaraḥ Minhaj. Sebagian ‘ulamā’ mengatakan:
Bahwa menyampaikan suara imām adalah bid‘ah yang diingkari menurut
kesepakatan ‘ulamā’ madzhab empat sekira suara imām masih dapat sampai pada
para ma’mūm. Dimakruhkan mengeraskan takbīr (bagi selain imām) ya‘ni bagi
orang yang shalat sendiri dan berma’mūm (sebagai sebagai ma’mūm).

(‫)و‬َ ‫صابِ ِع‬ َ َ ‫ فَاَل يَ ْكفِ ْي ُوصُوْ ُل اأْل‬،‫صابِ ِع ِمنَ ْال َكفَّ ْي ِن‬ َ َ ‫ْث تَنَا ُل َرا َحتَاهُ) َو هُ َما َما َعدَا اأْل‬ ُ ‫ع بِا ْن ِحنَا ٍء بِ َحي‬
ٌ ْ‫ ( ُر ُكو‬:‫خَ ا ِم ُسهَا‬
‫ظه ٍْر َو‬ َ ُ‫ع (تَس ِْويَة‬ ِ ْ‫ ( َو س َُّن) فِي الرُّ ُكو‬.‫ع‬ ِ ْ‫ ه َذا أَقَلُّ الرُّ ُكو‬.‫( ُر ْكبَتَ ْي ِه) لَوْ أَ َرا َد َوضْ َعهُ َما َعلَ ْي ِه َما ِع ْن َد ا ْعتِدَا ِل ْال ُخ ْلقَ ِة‬
‫ ( َو أَ ْخ ُذ ُر ْكبَتَ ْي ِه) َم َع نَصْ بِ ِه َما َو تَ ْف ِر ْيقِ ِه َما (بِ َكفَّ ْي ِه) َم َع‬.‫اع‬
ِ َ‫ لِاْل ِ تِّب‬،‫صفِ ْي َح ِة ْال َوا ِح َد ِة‬ ِ َ‫ق) بِأ َ ْن يَ ُم َّدهُ َما َحتَّى ي‬
َّ ‫ص ْي َرا َكال‬ ٍ ُ‫ُعن‬
ِ ‫ َو أَقَلُّ التَّ ْسبِي‬.‫اع‬
‫ْح فِ ْي ِه َو‬ ِ َ‫ ثَاَل ثًا) لِاْل ِ تِّب‬،‫ط ( َو قَوْ ُل ُس ْب َحانَ َربِّ َي ْال َع ِظي ِْم َو بِ َح ْم ِد ِه‬ َ َ‫َك ْشفِ ِه َما َو تَ ْف ِرقَ ِة أ‬
ً ‫صابِ َعهُ َما تَ ْف ِر ْيقًا َو َس‬
،‫ت‬ُ ‫ك آ َم ْن‬ َ ِ‫ َو ب‬،‫ْت‬ ُ ‫ك َر َكع‬ َ َ‫ اللهُ َّم ل‬:‫ َو يَ ِز ْي ُد ِم ْن َم َّر نَ ْدبًا‬.َ‫ َو أَ ْكثَ َرهُ ِإحْ دَى َع ْش َرة‬،ِ‫ َو لَوْ بِنَحْ ِو ُسب َْحانَ هللا‬،ً‫فِي ال ُّسجُوْ ِد َم َّرة‬
‫ت بِ ِه قَ َد ِم ْي‬ْ َّ‫ َو َما ا ْستَقَل‬، ْ‫ْريْ َو بَ َش ِري‬ ِ ‫صبِ ْي َو َشع‬ َ ‫َظ ِم ْي َو َع‬ ْ ‫ص ِريْ َو ُم ِّخ ْي َو ع‬ َ َ‫ك َس ْم ِع ْي َو ب‬ َ َ‫ خَ َش َع ل‬.‫ت‬ُ ‫ك أَ ْسلَ ْم‬َ َ‫َو ل‬
‫ َو لَ ِو‬.‫ اللهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْي‬،‫ك‬ َ َ‫ ُس ْب َحان‬:‫ َو يُ َس ُّن فِ ْي ِه َو فِي ال ُّسجُوْ ِد‬. َ‫أَيْ َج ِم ْي ُع َج َس ِديْ هللِ َربِّ ْال َعالَ ِم ْين‬
َ ‫ك اللهُ َّم َو بِ َح ْم ِد‬
‫ض ُل ِم ْن ِزيَا َد ِة‬ َ ‫ْت إِلَى آ ِخ ِر ِه أَ ْف‬
ُ ‫ت َم َع اللهُ َّم لَكَ َر َكع‬ ُ ‫ َو ثَاَل‬،ُ‫ضل‬
ٍ ‫ث تَ ْسبِ ْي َحا‬ َ ‫ْح أَ ِو ال ِّذ ْك ِر فَالتَّ ْسبِ ْي ُح أَ ْف‬ َ َ‫ا ْقت‬
ِ ‫ص َر َعلَى التَّ ْسبِي‬
‫ َو‬.‫س َع ِن الظَّه ِْر فِ ْي ِه‬ ْ
ِ ‫ض الرَّأ‬ِ ‫ع َو ْال ُمبَالَ َغةُ فِ ْي خَ ْف‬
ِ ْ‫صا ُر َعلَى أَقَ ِّل الرُّ ُكو‬
َ ِ‫ َو يُ ْك َرهُ ااْل ِ ْقت‬.َ‫ْح إِلَى إِحْ دَى َع ْش َرة‬ ِ ‫التَّ ْسبِي‬
ُ َ‫ َو لِ َغي ِْر ِه أَ ْن ي‬.‫ع َو ال ُّسجُوْ ِد‬ ْ
َ ‫ض َّم فِ ْي ِه َما بَع‬
ُ‫ْضه‬ ِ ْ‫ فِي الرُّ ُكو‬،‫ َو بَطنِ ِه ع َْن فَ ِخ َذ ْي ِه‬،‫يُ َس ُّن لِ َذ َك ٍر أَ ْن يُ َجافِ َي ِمرْ فَقَ ْي ِه ع َْن َج ْنبَ ْي ِه‬
‫ْض‬
ٍ ‫لِبَع‬.
(Rukun shalat yang kelima) adalah (rukū‘ dengan membungkuk, sekira dua telapak
tangannya) – Dua telapak tangan adalah anggota selain jari-jari tangan ya‘ni dari
telapak tangan, maka tidaklah cukup sampainya jari-jari tangan saja – (memperoleh
dua lututnya). Jika orang yang shalat menghendaki untuk meletakkan dua telapak
tangan tersebut di atas kedua lututnya ketika bentuknya standar. Dan ini adalah
minimal dari rukū‘. (Disunnahkan) di dalam rukū‘ (untuk meratakan punggung dan
leher) dengan cara memanjangkan keduanya sampai menjadi seperti satu papan
sebab mengikuti Nabi s.a.w. (Dan memegang dua lututnya besertaan dengan
menegakkan dan merenggangkan keduanya (dengan kedua telapak tangannya)
158

beserta membuka dan merenggangkan jari-jari keduanya dengan posisi sedang.


(Sunnah mengucapkan lafazh: (‫ – ) ُس ْب َحانَ َربِّ َي ْال َع ِظي ِْم َو بِ َح ْم ِد ِه‬Maha Suci Allah Tuhanku
yang Maha Agung dan dengan pujian padanya – sebanyak tiga kali), sebab
mengikuti Nabi s.a.w. Minimal dari tasbīḥ di dalam rukū‘ dan sujūd adalah satu kali
walaupun dengan hanya sejenis ucapan (ِ‫ ْب َحانَ هللا‬ºº‫)س‬
ُ – Maha Suci Allah – dan
maksimalnya adalah sebelas kali. Sunnah bagi orang yang telah disebutkan untuk
ُ ‫اللهُ َّم لَكَ َر َكع‬     ) sampai selesai. Artinya: Ya Allah, karena-Mu, aku
menambahi doa: (‫ْت‬
rukū‘ dan dengan-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku pasrah, pendengaran,
penglihatan, sumsum, tulang, otot, rambut dan kulitku tunduk kepada-Mu, dan
seluruh jasadku hanyalah untuk Allah ta‘ālā Tuhan semesta alam. Disunnahkan di
َ َ‫ ) ُس ْب َحان‬sampai selesai. Artinya: Maha
dalam rukū‘ dan sujūd untuk berdoa: (       ‫ك اللهُ َّم‬
Suci Engkau, ya Allah dan dengan pujian kepadamu, ya Allah ampunilah diriku.
Jikalau seorang yang shalat menghendaki untuk meringkas tasbīḥ atau dzikir, maka
tasbīḥ lebih utama, tiga bacaan tasbīḥ besertaan membaca doa: Ya Allah, karena-Mu,
aku sujūd – sampai selesai doa – lebih utama dibanding dengan menambahi tasbīḥ
sampai sebelas kali. Dimakruhkan meringkas terhadap minimal rukū‘ dan
dimakruhkan pula untuk berlebihan dalam menundukkan kepala dari punggung pada
waktu rukū‘. Disunnahkan bagi seorang lelaki untuk merenggangkan dua siku-
sikunya dari dua sisi tubuhnya dan menjauhkan perutnya dari dua pahanya saat rukū‘
dan sujūd. Sedangkan bagi selain lelaki disunnahkan untuk mengumpulkan sebagian
anggota dengan anggota yang lain di dalam rukū‘ dan sujūd.
 
[ٌ‫]تَ ْنبِ ْيه‬: ‫ع َج َعلَهُ ُر ُكوْ عًا لَ ْم‬
ِ ْ‫ي لِ ُسجُوْ ِد تِاَل َو ٍة فَلَ َّما بَلَ َغ َح َّد الرُّ ُكو‬ ِّ ‫ص َد بِ ْالهَ ِو‬
ِ ْ‫ي لِلرُّ ُكو‬
َّ ‫ فَلَوْ ه َِو‬،ُ‫ع َغ ْي َره‬ ُ ‫يَ ِجبُ أَ ْن اَل يَ ْق‬
‫ك َغ ْي ُر‬ َّ ‫ َو لَوْ َش‬.‫س بَ ْينَ السَّجْ َدتَيْن‬ ِ ْ‫ َكنَ ِظي ِْر ِه ِمنَ ااْل ِ ْعتِدَا ِل َو ال ُّسجُوْ ِد َو ْال ُجلُو‬،ُ‫ب ثُ َّم يَرْ َكع‬ َ ‫ص‬ ِ َ‫ بَلْ يَ ْل َز ْمهُ أَ ْن يَ ْنت‬،‫ف‬
ِ ‫يَ ْك‬
َ ِ‫ َمأْ ُموْ ٍم َو هُ َو َسا ِج ٌد هَلْ َر َك َع؟ لَ ِز َمهُ ااْل ِ ْنت‬.
‫ َو اَل يَجُوْ ُز لَهُ ْالقِيَا ُم َرا ِكعًا‬،ُ‫صابُ فَوْ رًا ثُ َّم الرُّ ُكوْ ع‬
(Peringatan). Wajib untuk tidak berniat saat turun melakukan rukū‘ selain berniat
rukū‘. Jika orang yang shalat turun untuk sujūd tilāwah kemudian saat sampai
batasan rukū‘ ia jadikan sebagai rukū‘, maka hal itu tidak mencukupi, bahkan wajib
baginya untuk berdiri tegak lantas rukū‘ kembali, seperti halnya kasus rukū‘ adalah
159

i‘tidāl, sujūd, duduk di antara dua sujūd. Jika selain ma’mūm merasa ragu, sedang ia
berada pada posisi sujūd apakah telah rukū‘? Maka wajib baginya segera untuk
berdiri tegak kemudian rukū‘, tidak diperbolehkan baginya untuk berdiri langsung
dengan posisi rukū‘

(‫)و‬َ ‫ع (لِبَ ْد ٍء) بِأ َ ْن يَعُوْ َد لِ َما َكانَ َعلَ ْي ِه‬


ِ ْ‫ق (بِ َعوْ ٍد) بَ ْع َد الرُّ ُكو‬ ُ َّ‫ َو يَتَ َحق‬º.‫ َعلَى ْال ُم ْعتَ َم ِد‬،‫َسا ِد ُسهَا (اِ ْعتِدَالٌ) َو لَوْ فِ ْي نَ ْف ٍل‬
‫ َو‬.ُ‫صاَل تُه‬ َ ‫ت‬ َ َ‫ك فِ ْي إِ ْت َما ِم ِه عَا َد إِلَ ْي ِه َغ ْي ُر ْال َمأْ ُموْ ِم فَوْ رًا ُوجُوْ بًا َو إِاَّل ب‬
ْ َ ‫طل‬ َّ ‫ َو لَوْ َش‬.‫ قَائِ ًما َكانَ أَوْ قَا ِعدًا‬،‫قَ ْب َل ُر ُكوْ ِع ِه‬
ُ‫ع ( َس ِم َع هللا لِ َم ْن َح ِم َدهُ) أَيْ تَقَبَّ َل ِم ْنه‬ ْ ْ
ِ ْ‫ ( َو يُ َس ُّن أَ ْن يَقُوْ َل فِ ْي َر ْف ِع ِه) ِمنَ الرُّ ُكو‬.‫ْال َمأ ُموْ ُم يَأتِ ْي بِ َر ْك َع ٍة بَ ْع َد َساَل ِم ِإ َما ِم ِه‬
‫ك ْال َح ْم ُد ِملْ ُء‬ َ :‫ب) لِاْل ِ ْعتِدَا ِل‬
َ َ‫(ربَّنا ل‬ ٍ ‫صا‬ َ ِ‫ ( َو) أَ ْن يَقُوْ َل (بَ ْع َد ا ْنت‬.‫ َو ْال َج ْه ُر بِ ِه إِل ِ َم ٍام َو ُمبَلِّ ٍغ أِل َنَّهُ ِذ ْك ُر ا ْنتِقَا ٍل‬،ُ‫َح ْم َده‬
‫ َو‬،ٌ‫صفَة‬ ِ ‫ َو ِملْ ُء بِال َّر ْف ِع‬.‫ش‬ ِ ْ‫ َك ْال ُكرْ ِس ِّي َو ْال َعر‬،‫ض َو ِملْ ُء َما ِش ْئتَ ِم ْن َش ْي ٍء بَ ْعدُ) أَيْ بَ ْع َدهُ َما‬ ِ ْ‫ت َو ِملْ ُء اأْل َر‬ ِ ‫السَّم َوا‬
َ‫ َو ُكلُّنَا لَك‬،ُ‫ق َما قَا َل ْال َع ْبد‬
ُّ ‫ أَ ْه ُل الثَّنَا ِء َو ْال َمجْ ِد أَ َح‬:َّ‫ َو أَ ْن ي ُِز ْي َد َم ْن َمر‬،‫ أَيْ َمالِئًا بِتَ ْق ِدي ِْر َكوْ نِ ِه ِج ْس ًما‬.ٌ‫ب َحال‬
ِ ْ‫بِالنَّص‬
‫ َو اَل يَ ْنفَ ُع َذا ْال َج ِّد ِم ْنكَ ْال َج ُّد‬، َ‫ اَل َمانِ َع لِ َما أَ ْعطَيْتَ َو اَل ُم ْع ِط َي لِ َما َمنَعْت‬،‫ َع ْب ٌد‬.
(Rukun shalat yang keenam) adalah (i‘tidāl) walaupun di dalam shalat sunnah
menurut pendapat yang mu‘tamad. I‘tidāl dapat terwujud dengan (kembali) setelah
rukū‘ (ke posisi semula) dengan cara kembali menuju posisi sebelum rukū‘, baik
berdiri ataupun duduk. Jika selain ma’mūm ragu atas kesempurnaan dari i‘tidāl,
maka ia wajib (harus) segera kembali, dan jika tidak, maka batallah shalatnya.
Sedangkan bagi ma’mūm yang ragu diharuskan baginya untuk menambah satu
raka‘at setelah salam imām-nya. Disunnahkan di saat bangkit dari rukū‘
mengucapkan lafazh : (ُ‫ – ) َس ِم َع هللا لِ َم ْن َح ِم َده‬Semoga Allah menerima pujian dari hamba
yang memujinya – dengan suara yang keras bagi imām dan penyampai suara sebab
lafazh tersebut merupakan dzikir berpindah rukun. (Disunnahkan pula)
mengucapkan (setelah berdiri tegak) untuk i‘tidāl (doa: (ُ‫ك ْال َح ْمد‬
َ َ‫ – ) َربَّنا ل‬sampai selesai
– Artinya: Ya Tuhanku, bagi-Mu segala pujian yang memenuhi seluruh langit, bumi
dan memenuhi segala sesuatu yang Engkau kehendaki setelah itu. Maksudnya
setelah langit dan bumi seperti kursi dan ‘arsy. Lafazh ( ‫ ) ِملْ ُء‬dengan i‘rāb rafa‘
adalah sebuah sifat dan dengan i‘rāb nasab adalah tarkīb ḥāl maksudnya sesuatu
yang memenuhi dengan mengira-ngirakan pujian tersebut menjadi sebuah jisim.
Disunnahkan bagi orang yang telah disebutkan di atas untuk menambah doa: ( ‫أَ ْه ُل‬
160

‫ )الثَّنَا ِء َو ْال َمجْ ِد‬sampai selesai. Artinya: Wahai ahli pemangku pujian dan keagungan,
sebuah hal yang sudah semestinya diucapkan oleh seorang hamba dan kami semua
adalah hamba-Mu. Tiada yang mencegah atas apa yang Engkau berikan dan
tiadalah pemberian atas apa yang Engkau cegah dan tidaklah sifat kaya memberi
manfaat terhadap dzat yang kaya.
 
َ ‫ َو هُ َو إِلَى ِم ْن َش ْي ٍء بَ ْع ُد‬،‫ب َعلَى اأْل َوْ َج ِه‬
(‫)و‬ ِ ِ‫ بَ ْع َد ال ِّذ ْك ِر الرَّات‬،‫ْح) أَيْ فِي ا ْعتِدَا ِل َر ْك َعتِ ِه الثَّانِيَ ِة‬ ٍ ‫صب‬ ُ ِ‫ت ب‬ ٌ ْ‫س َُّن (قُنُو‬
َ .‫ َكبَقِيَّ ِة ال َّسنَ ِة‬،‫ف اأْل َ َّو ِل‬
‫(و بِ َسائِ ِر‬ ِ ْ‫ َو يُ ْك َرهُ فِي النِّص‬،‫اع‬ ِ َ‫ضانَ ) لِاْل ِ تِّب‬ َ ‫ف أَ ِخي ٍْر ِم ْن َر َم‬ ٍ ْ‫(و ْت ُر نِص‬
ِ ‫( َو) ا ْعتِدَا ٍل آ ِخ ِر‬
ْ‫ َو لَو‬. َ‫ت بِ ْال ُم ْسلِ ِم ْين‬ ِ ‫ َو لَوْ َم ْسبُوْ قًا قَنَتَ َم َع إِ َما ِم ِه (لِن‬،‫س فِي ا ْعتِدَا ِل ال َّر ْك َع ِة اأْل َ ِخ ْي َر ِة‬
ْ َ‫َازلَ ٍة) نَ َزل‬ ِ ‫َم ْكتُوْ بَ ٍة) ِمنَ ْال َخ ْم‬
‫ َو ْالقَحْ ِط َو‬،‫ َو َس َوا ٌء فِ ْيهَا ْالخَ وْ فُ َو لَوْ ِم ْن َع ُد ٍّو ُم ْسلِ ٍم‬،‫اع‬ ِ ‫ْر ْال َعالِ ِم أَ ِو ال ُّش َج‬
ِ َ‫اع َو ذلِكَ لِاْل ِ تِّب‬ ِ ‫َوا ِحدًا تَ َع َّدى نَ ْف ُعهُ َكأَس‬
َ ‫(رافِعًا يَ َد ْي ِه) َح ْذ َو َم ْن َكبَ ْي ِه َو لَوْ َح‬
،‫ال الثَّنَا ِء‬ َ .‫ فَاَل يُ َس ُّن فِ ْي ِه َما‬،ُ‫ َو َخ َر َج بِ ْال َم ْكتُوْ بَ ِة النَّ ْف ُل َو لَوْ ِع ْيدًا َو ْال َم ْن ُذوْ َرة‬.‫ْال َوبَا ِء‬
ْ َ‫ ُج ِع َل ب‬،‫ َك َد ْفع بَاَل ٍء َع ْنهُ فِ ْي بَقِيَّ ِة ُع ْم ِر ِه‬،‫ص ْي ِل َش ْي ٍء‬
.‫ط ِن َكفَّ ْي ِه إِلَى ال َّس َما ِء‬ ِ ِ ْ‫ْث َدعَا لِتَح‬ ُ ‫ َو َحي‬،‫اع‬ ِ َ‫ لِاْل ِ تِّب‬،‫َك َسائِ ِر اأْل َ ْد ِعيَ ِة‬
، َ‫ اللهُ َّم ا ْه ِدنِ ْي فِ ْي َم ْن هَ َديْت‬:‫ (بِنَحْ ِو‬،‫ب َحالَةَ ال ُّدعَا ِء‬ ٍ ‫ َو يُ ْك َرهُ ال َّر ْف ُع لِ َخ ِط ْي‬.‫أَوْ لِ َر ْف ِع بَاَل ٍء َوقَ َع بِ ِه ُج ِع َل ظَ ْه َرهُ َما إِلَ ْيهَا‬
ِ َ‫ َو ب‬.‫ أَيْ َم َعهُ ْم أِل َ ْن َد َر َج فِ ْي ُسلُ ِك ِه ْم‬، َ‫ َو تَ َولَّنِ ْي فِ ْي َم ْن تَ َولَّيْت‬، َ‫آخ ِر ِه) أَيْ َو عَافِنِ ْي فِ ْي َم ْن عَافَيْت‬
‫ار ْك لِ ْي فِ ْي َما‬ ِ ‫إِلَى‬
. َ‫ َو إِنَّهُ اَل يَ ِذلُّ َم ْن َوالَيْتَ َو اَل يَ ِع ُّز َم ْن عَا َديْت‬،‫ك‬ َ ‫ضى َعلَ ْي‬ َ ‫ض ْي َو اَل يُ ْق‬ ِ ‫ك تَ ْق‬ َ َ‫ َو قِنِ ْي َش َّر َما ق‬، َ‫أَ ْعطَيْت‬
َ َّ‫ضيْتَ فَإِن‬
‫صاَل ةُ َو ال َّساَل ُم َعلَى‬ َ ‫ أَ ْستَ ْغفِرُكَ َو أَتُوْ بُ إِلَ ْي‬، َ‫ضيْت‬
َّ ‫ َو تُ َس ُّن آ ِخ َرهُ ال‬.‫ك‬ َ َ‫ك ْال َح ْم ُد َعلَى َما ق‬ َ َ‫ فَل‬، َ‫تَبَار ْكتَ َربَّنَا َوتَ َعالَيْت‬
ُ‫ َو اَل تُ َس ُّن أَ َّولَه‬،‫النَّبِ ِّي َو َعلَى آلِ ِه‬.
(Dan) disunnahkan (membaca doa qunut dalam shalat Shubuḥ), maksudnya di waktu
i‘tidāl raka‘at shalat Shubuḥ yang kedua setelah membaca dzikir yang telah biasa
dibaca menurut pendapat aujah. Doa tersebut adalah sampai pada lafazh (ُ‫) ِم ْن َش ْي ٍء بَ ْعد‬
(dan) di dalam i‘tidāl raka‘at akhir (shalat witir separuh akhir dari bulan Ramadhān),
sebab mengikuti Nabi s.a.w. Dimakruhkan melakukan qunut pada pertengahan awal
Ramadhān, seperti dimakruhkannya qunut di pertengahan bulan lain di tahun yang
ada. (Disunnahkan pula di shalat-shalat fardhu yang lain) dari shalat lima waktu di
saat i‘tidāl raka‘at terakhir – walaupun bagi ma’mūm masbūq yang telah melakukan
doa qunut bersama imām, (karena bencana yang menimpa) terhadap orang-orang
muslim walaupun satu orang namun bermanfaat untuk umum seperti orang ‘ālim
yang ditawan atau seorang yang pemberani. Semua itu sebab mengikuti Nabi s.a.w.
Baik bencana tersebut terjadi sebab ketakutan walaupun dari musuh dari kalangan
161

umat muslim atau kelaparan dan wabah penyakit. Dikecualikan dari (dengan shalat
fardhu) adalah shalat sunnah – walaupun shalat hari raya – dan shalat yang
dinadzari, maka tidak disunnahkan qunut di dua shalat tersebut. (Tata caranya doa
qunut adalah dengan mengangkat kedua tangannya) sejajar dengan dua pundaknya
walaupun saat memuji Allah seperti doa-doa lain, sebab mengikuti Nabi s.a.w.
Jikalau seorang berdoa untuk menghasilkan sesuatu seperti menolak bencana di sisa
umurnya, maka bagian dalam telapak tangannya diarahkan ke langit, atau untuk
menghilangkan bencana, maka bagian luar dari telapak tangan diarahkan ke langit.
Dimakruhkan untuk mengangkat tangan bagi seorang khathīb saat berdoa. (Dengan
doa: ( َ‫ – )اللهُ َّم ا ْه ِدنِ ْي فِ ْي َم ْن هَ َديْت‬sampai akhir doa) – Artinya: Ya Allah, berilah petunjuk
padaku besertaan dengan orang yang telah Engkau beri petunjuk dan berilah
kesehatan diriku besertaan dengan orang yang telah Engkau beri kesehatan,
kasihanilah diriku besertaan dengan orang-orang yang telah Engkau kasihi, –
supaya diriku masuk dalam golongan orang tersebut – berilah keberkahan pada
diriku terhadap apa yang telah Engkau berikan, jagalah diriku dari sesuatu jelek
yang Engkau taqdirkan, maka sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang membuat
hukum dan tiada hukum bagi-Mu, dan sesungguhnya tidaklah hina orang-orang
yang Engkau kasihi dan tidaklah mulia orang-orang yang Engkau musuhi.
Bertambah keberkahan-Mu wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi Engkau, maka
bagi-Mu segala puji atas segala hal yang telah Engkau putuskan, aku meminta
ampun dan bertaubat kepada-Mu. Disunnahkan di akhir qunut untuk membaca
shalawat dan salam kepada Nabi s.a.w. dan keluarganya, dan tidak disunnahkan di
awal doa qunut.
 
‫ َو‬، َ‫ك َو نَ ْستَ ْه ِد ْيك‬َ ‫ك َو نَ ْستَ ْغفِ ُر‬ ºَ ُ‫ اللَّهُ َّم ِإنَّا نَ ْستَ ِع ْين‬:‫ َو هُ َو‬،‫ْح‬
ِ ‫ت بِ ِه فِي الصُّ ب‬ ُ ُ‫َويَ ِز ْي ُد فِ ْي ِه ِم ْن َم َّر قُنُوْ تَ ُع َم َر الَّ ِذيْ كان يَ ْقن‬
‫ اللّهُ َّم إِيَّاك‬.‫ك‬َ ‫ك َم ْن يَ ْف ُج ُر‬ ُ ‫ َو ن َْخلَ ُع َو نَ ْت ُر‬، َ‫ك َو اَل نَ ْكفُرُك‬ َ ‫ نَ ْش ُك ُر‬،ُ‫ك ْالخَ ْي َر ُكلَّه‬
َ ‫ َو نُ ْثنِ ْي َعلَ ْي‬،‫ك‬
َ ‫ك َو نَتَ َو َّك ُل َعلَ ْي‬
َ ِ‫نُ ْؤ ِمنُ ب‬
‫ك إِ َّن َع َذابَكَ ْال ِج َّد‬َ َ‫ك َون َْخ َشى َع َذاب‬ َ َ‫ع نَرْ جُوْ َرحْ َمت‬ ِ ‫ َو إِلَ ْيكَ نَ ْس َعى َو نَحْ فِ ُد أَيْ نُس‬،ُ‫صلِّ ْي َو نَ ْس ُجد‬
ُ ‫ْر‬ َ ُ‫ك ن‬َ َ‫ َو ل‬،ُ‫نَ ْعبُد‬
‫ فَ ِم ْن ثَ َّم لَوْ أَ َرا َد أَ َح َدهُ َما فَقَ ِط‬،‫ْح ْال َم ْذ ُكوْ ِر أَ َّواًل ثَابِتًا َع ِن النَّبِ ِّي قُ ِّد َم َعلَى ه َذا‬ ُ ْ‫ َو لَ َّما َكانَ قُنُو‬.‫ق‬
ِ ‫ت الصُّ ب‬ ٌ ‫ار ُم ْل ِح‬
ِ َّ‫بِ ْال ُكف‬
‫ص َدهُ َكآ ِخ ِر ْالبَقَ َر ِة َو َك َذا‬ ِ ْ‫ات ْالقُنُو‬
َ َ‫ فَيُجْ ِزى ُء َع ْنهَا آيَةً ت‬،‫ت‬
ْ ‫ض َّمن‬
َ َ‫َت ُدعَا ٌء إِ ْن ق‬ ُ ‫ َو اَل يَتَ َعيَّنُ َكلِ َم‬،‫ص َر َعلَى اأْل َ َّو ِل‬
َ َ‫ا ْقت‬
162

‫ْح ثُ َّم يَ ْختِ ُم بِسُؤَ ا ِل َر ْف ِع‬


ِ ‫ت الصُّ ب‬ ِ ْ‫َازلَ ٍة يَأْتِ ْي بِقُنُو‬ ْ
ِ ‫ َو الَّ ِذيْ يَتَّ َجهُ أَ َّن ْالقَانِتَ لِن‬:‫ قَا َل َش ْي ُخنَا‬.‫ض َو لَوْ َغ ْي َر َمأثُوْ ٍر‬ ٍ ْ‫ُدعَا ُء َمح‬
،‫طلَقًا‬ ْ ‫ اَل َمأْ ُموْ ٌم لَ ْم يَ ْس َم ْعهُ َو ُم ْنفَ ِر ٌد فَي ُِسرَّا ِن بِ ِه ُم‬،‫ (إِ َما ٌم) َو لَوْ فِي ال ِّس ِّريَّ ِة‬،‫ نَ ْدبًا‬،‫ت‬ ِ ْ‫ي ْالقُنُو‬ِ َ‫ ( َو َجهَّ َر بِ ِه) أ‬.‫ازلَ ِة‬ َ ‫تِ ْل‬
ِ َّ‫ك الن‬
.‫صاَل ةُ َعلَى النَّبِ ِّي فَيُؤَ ِّمنُ لَهَا َعلَى اأْل َوْ َج ِه‬ َّ ‫ ال‬:‫ َو ِمنَ ال ُّدعَا ِء‬.ُ‫( َو أَ َّمنَ ) َج ْهرًا ( َمأْ ُموْ ٌم) َس ِم َع قُنُوْ تَ إِ َما ِم ِه لِل ُّدعَا ِء ِم ْنه‬
‫ًًّرا‬ºّ ‫ت ِس‬ َ ‫ أَ َّما َمأْ ُموْ ٌم لَ ْم يَ ْس َم ْعهُ أَوْ َس ِم َع‬.‫ًًّرا‬ºّ ‫آخ ِر ِه فَيَقُوْ لُهُ ِس‬
ْ ُ‫صوْ تًا اَل يَ ْفهَ ْمهُ فيَ ْقن‬ َ َّ‫ فَإِن‬:‫أ َّما الثَّنَا ُء َو هُ َو‬.
ِ ‫ك تَ ْق‬
ِ ‫ض ْي إِلَى‬
Disunnahkan bagi orang yang telah lalu untuk menambahi doa qunut yang
َ ُ‫ – )اللَّهُ َّم إِنَّا نَ ْستَ ِع ْين‬sampai
digunakan sahabat ‘Umar r.a. di dalam shalat Shubuḥ ya‘ni: ( ‫ك‬
akhir – . Artinya: Ya Allah sesungguhnya kami meminta pertolongan, meminta
ampun dan meminta petunjuk kepada-Mu, kami beriman dan pasrah kepada-Mu,
kami memuji-Mu dengan seluruh kebagusan, kami bersyukur dan tidak mengkufuri-
Mu, kami melepaskan dan meninggalkan orang yang mendurhakai-Mu. Ya Allah,
hanya kepada-Mu kami menyembah, bagi-Mu, kami shalat dan sujud, kepada-Mu
kami melangkah dan bersegera dengan mengharapkan rahmat-Mu dan kami takut
akan siksa-Mu. Sesungguhnya siksamu yang pedih terhadap orang-orang kafir akan
terjadi. Ketika doa qunut Shubuḥ yang telah disebutkan pertama kali adalah doa dari
Nabi s.a.w., maka doa qunut tersebut didahulukan dari doa yang terakhir ini. Oleh
karena itu, jika ingin berdoa dengan salah satunya saja, maka pakailah hanya doa
yang awal. Kalimat-kalimat doa qunut tidaklah tertentu, maka mencukupi sebagai
pengganti doa qunut ayat yang mencakup doa jika berniat menjadikannya doa qunut.
Seperti ayat dari akhir surat al-Baqarah. Begitu pula cukup dengan murni sebuah doa
walaupun doa yang tidak diajarkan oleh Nabi s.a.w. Guru kita berkata: Pendapat
yang dapat dipertimbangkan adalah bahwa qunut sebab bencana yang menimpa
menggunakan doa qunut shalat Shubuḥ lantas diakhiri dengan meminta dihilangkan
bencana tersebut. (Sunnah bagi imām untuk mengeraskan suara dengan doa qunut)
walaupun di dalam shalat yang disunnahkan melirihkan bacaan, bukan bagi seorang
ma’mūm yang tidak mendengar doa qunut imām dan bukan bagi seorang yang shalat
sendiri, maka keduanya sunnah melirihkan bacaan doa qunut secara mutlak. (Dan
sunnah membaca amin) dengan keras (bagi seorang ma’mūm) yang mendengar
bacaan qunut imāmnya karena doa darinya. Sebagian dari doa adalah shalawat Nabi
s.a.w., maka ma’mūm membaca amin sebab bacaan shalawat tersebut menurut
‫‪163‬‬

‫– ‪) – sampai selesai‬فَإِنَّكَ تَ ْق ِ‬
‫ض ْي( ‪pendapat yang aujah. Sedangkan pujian – ya‘ni lafazh‬‬
‫‪dibaca dengan pelan. Adapun ma’mūm yang tidak mendengar bacaan doa qunut‬‬
‫‪imām atau mendengar suara yang tidak dapat difahami, maka ma’mūm tersebut‬‬
‫‪mambaca doa qunut dengan pelan.‬‬
‫‪ ‬‬
‫صيْصُ نَ ْف ِس ِه بِ ُدعَا ٍء(‬
‫ْص نَ ْف ِس ِه بِال ُّدعَا ِء‪ .‬فَيَقُوْ ُل اإْل ِ َما ُم‪ :‬ا ْه ِدنَا‪َ ) ،‬و ُك ِرهَ إِل ِ َم ٍام ت َْخ ِ‬ ‫أَيْ بِ ُدعَا ِء ْالقُنُوْ ِ‬
‫ت‪ ،‬لِلنَّه ِْي ع َْن ت َْخ ِ‬
‫صي ِ‬
‫ضيَّتُهُ أَ َّن َسائِ َر اأْل َ ْد ِعيَ ِة َكذلِكَ ‪َ ،‬و يَتَ َعيّنُ َح ْملُهُ َعلَى َما لَ ْم يَ ِر ْد َع ْنهُ َو ه َُو إِ َما ٌم‬ ‫ُطفَ َعلَ ْي ِه بِلَ ْف ِظ ْال َج ْم ِع‪َ .‬و قَ ِ‬
‫َو َما ع ِ‬
‫اص‬
‫ص ِ‬ ‫اختِ َ‬ ‫ضهُ ْم َعلَى ْ‬ ‫اظ‪ِ :‬إ َّن أَ ْد ِعيَتَهُ‪ُ º‬كلُّهَا بِلَ ْف ِظ اإْل ِ ْف َرا ِد‪َ ،‬و ِم ْن ثَ َّم َج َرى بَ ْع ُ‬
‫ال بَعْضُ ْال ُحفَّ ِ‬ ‫بِلَ ْف ِظ اإْل ِ ْف َرا ِد َو ه َُو َكثِ ْيرٌ‪ .‬قَ َ‬
‫‪.‬ال َج ْم ِع بِ ْالقُنُوْ ِ‬
‫ت‬ ‫ْ‬
‫)‪(Dimakruhkan bagi seorang imām mengkhususkan doa qunut untuk dirinya sendiri‬‬
‫– )ا ْه‪ِ º‬دنَا( ‪sebab ada larangan dari hal itu, maka imam mengucapkan dengan doa:‬‬
‫‪berilah petunjuk pada kami – dan lafazh yang disambung dengan lafazh tersebut‬‬
‫‪dengan menggunakan bentuk jama‘. Larangan tersebut memberi pengertian bahwa‬‬
‫‪seluruh doa hukumnya juga seperti itu, namun hal itu diarahkan kepada doa yang‬‬
‫‪tidak diajarkan dari Nabi s.a.w. sebab Nabi ketika menjadi imām berdoa dengan‬‬
‫‪bentuk mufrad sangatlah banyak. Sebagian ‘ulamā’ ahli hadits mengatakan bahwa‬‬
‫’‪doa-doa Nabi seluruhnya memakai bentuk mufrad, oleh karenanya sebagian ‘ulamā‬‬
‫‪menentukan bentuk jama‘ pada doa qunut.‬‬

‫)و(‬‫ك َ‬ ‫َسابِ ُعهَا‪ُ ( :‬سجُوْ ٌد َم َّرتَ ْي ِن) ُكلُّ َر َك َع ٍة‪َ ( ،‬علَى َغي ِْر َمحْ ُموْ ٍل) لَهُ‪َ ( ،‬و إِ ْن تَ َح َّر َ‬
‫ك بِ َح َر َكتِ ِه) َو لَوْ نَحْ َو َس ِري ٍْر يَتَ َح َّر ُ‬
‫ف ِم ْن‬‫َّك بِ َح َر َكتِ ِه َكطَ َر ٍ‬
‫ْس بِ َمحْ ُموْ ٍل لَهُ فَاَل يَضُرُّ ال ُّسجُوْ ُد َعلَ ْي ِه‪َ ،‬ك َما إِ َذا َس َج َد َعلَى َمحْ ُموْ ٍل لَ ْم يَتَ َحر ْ‬‫بِ َح َر َكتِ ِه أِل َنَّهُ لَي َ‬
‫ك بِ َح َر َكتِ ِه‪َ ،‬كطَ َر ٍ‬
‫ف ِم ْن‬ ‫ِردَائِ ِه الطَّ ِوي ِْل‪َ .‬و َخ َر َج بِقَوْ لِ ْي‪َ :‬علَى َغي ِْر َمحْ ُموْ ٍل لَهُ‪َ ،‬ما لَوْ َس َج َد َعلَى َمحْ ُموْ ٍل يَت ََح َّر ُ‬
‫صحُّ َعلَى يَ ِد‬ ‫صاَل ةُ إِ ْن تَ َع َّم َد َو َعلِ َم تَحْ ِر ْي َمهُ‪َ ،‬و إِاَّل أَعَا َد ال ُّسجُوْ دَ‪َ .‬و يَ ِ‬‫ت ال َّ‬ ‫صحُّ ‪ ،‬فَإ ِ ْن َس َج َد َعلَ ْي ِه بَطَلَ ِ‬ ‫َع َما َمتِ ِه‪ ،‬فَاَل يَ ِ‬
‫ب‬‫صحَّ‪َ ،‬و َو َج َ‬ ‫ق بِ َج ْبهَتِ ِه َ‬‫ص َ‬ ‫ص ِل‪َ ،‬و لَوْ َس َج َد َعلَى َش ْي ٍء فَ ْالتَ َ‬ ‫َغي ِْر ِه‪َ ،‬و َعلَى نَحْ ِو َم ْن ِدي ٍْل بِيَ ِد ِه أِل َنَّهُ فِ ْي ُح ْك ِم ْال ُم ْنفَ ِ‬
‫س أَوْ‬ ‫ْ‬
‫س) بِأ َ ْن تَرْ تَفِ َع َع ِج ْي َزتُهُ َو َما َحوْ لَهَا َعلَى َرأ ِس ِه َو َم ْن َكبَ ْي ِه‪ِ º،‬لاْل ِ تِّبَ ِ‬
‫اع‪ .‬فَلَ ِو ا ْن َع َك َ‬ ‫إِ َزالَتُهُ لِل ُّسجُوْ ِد الثَّانِ ْي‪َ ( .‬م َع تَ ْن ِك ْي ٍ‬
‫ف) أَيْ‬ ‫ْض َج ْبهَتِ ِه بِ َك ْش ٍ‬‫ك أَجْ زَأَهُ‪( ،‬بِ َوضْ ِع بَع ِ‬ ‫تَ َسا َويَا لَ ْم يُجْ ِز ْئهُ‪ .‬نَ َع ْم‪ ،‬إِ ْن َكانَ بِ ِه ِعلَّةٌ اَل يَ ْم ِكنُهُ َم َعهَا ال ُّسجُوْ ُد إِاَّل َكذلِ َ‬
‫صحُّ ‪.‬‬ ‫صحَّ‪ ،‬إِاَّل أَ ْن يَ ُكوْ نَ لِ َج َرا َح ٍة َو َش َّ‬
‫ق َعلَ ْي ِه إِزَ الَتُهُ َم َشقَّةً َش ِد ْي َدةً‪ ،‬فَيَ ِ‬ ‫صابَ ٍة لَ ْم يَ ِ‬
‫ف‪ .‬فَإ ِ ْن َكانَ َعلَ ْيهَا َحائِ ٌل َك َع َ‬ ‫َم َع َك ْش ٍ‬
‫ْ‬ ‫( َو) َم َع (تَ َحا ُم ٍل) بِ َج ْبهَتِ ِه فَقَ ْ‬
‫صاَّل هُ‪ ،‬بِأ َ ْن يَنَا َل ثِقَ َل َرأ ِس ِه‪ِ ،‬خاَل فًا لِإْل ِ َم ِام‪َ ( .‬و ) َوضْ ِع بَع ِ‬
‫ْض ( ُر ْكبَتَ ْي ِه َو)‬ ‫ط َعلَى ُم َ‬
‫ف َو‬‫صابِ ِع قَ َد َم ْي ِه) ُدوْ نَ َما َعدَا ذلِكَ‪َ ،‬ك ْال َحرْ ِ‬ ‫ط ِن (أَ َ‬ ‫ْض بَ ْ‬ ‫ط ِن َكفَّ ْي ِه) ِمنَ الرَّا َح ِة َو بُطُوْ ِن اأْل َ َ‬ ‫ْض (بَ ْ‬
‫صابِ ِع ( َو) بَع ِ‬ ‫بَع ِ‬
164

ْ َ‫صابِ ُع قَ َد َم ْي ِه َو قَد ََر َعلَى َوضْ ع َش ْي ٍء ِم ْن ب‬


َ ‫ َك َما ا ْقت‬، ْ‫طنِ ِه َما لَ ْم يَ ِجب‬
ُ‫َضاه‬ َ َ‫ت أ‬ ْ ‫ َو لَوْ قُ ِط َع‬.‫صابِ ِع َو ظَه ِْر ِه َما‬ َ َ ‫اف اأْل‬ ِ ‫ط َر‬ ْ َ‫أ‬
ِ
‫ف َغي ِْر الرُّ ْكبَتَ ْي ِن‬
ِ ‫ َك َك ْش‬،‫ َو اَل يَ ِجبُ التَّ َحا ُم ُل َعلَ ْيهَا بَلْ يُ َس ُّن‬.‫كَاَل ُم ال َّش ْي َخ ْي ِن‬.
(Rukun shalat yang ketujuh) adalah (sujūd dua kali) di setiap satu raka‘at (di selain
sesuatu yang dibawa) oleh orang yang shalat (walaupun sesuatu itu bergerak dengan
gerakannya), meskipun semacam ranjang yang bergerak dengan gerakannya sebab
ranjang itu bukan sesuatu yang dibawa, maka tidaklah masalah sujūd di atasnya
seperti ketika seseorang sujūd di atas sesuatu yang dibawa yang tidak bergerak
dengan gerakannya semisal dari ujung selendang yang panjang. Dikecualikan
dengan ucapankanku – di atas selain sesuatu yang dibawa – adalah permasalahan
ketika seseorang sujūd di atas sesuatu yang dibawa yang bergerak dengan
gerakannya seperti ujung serban, maka sujūdnya tidaklah sah. Jika seseorang sujūd
di atasnya, maka shalatnya batal bila hal tersebut disengaja dan ia mengetahui
keharamannya, dan jika tidak maka harus mengulangi sujūdnya. Sah sujūd di atas
tangan orang lain dan di atas semacam sapu tangan yang berada di atas tangannya
sebab sapu tangan tersebut dihukumi sesuatu yang telah terpisah. Jikalau seseorang
sujūd di atas sesuatu, kemudian sesuatu itu melekat di keningnya, maka sujūdnya sah
dan wajib untuk menghilangkannya untuk sujūd yang kedua kali. (Sujūd tersebut
haruslah besertaan dengan menyungkur) dengan cara mengangkat pantat dan
sekitarnya dengan posisi lebih tinggi dari kepalanya dan dua pundaknya sebab
mengikuti Nabi s.a.w. Jika seseorang justru membalik posisi tersebut atau sejajar,
maka hukumnya tidak mencukupi. Benar tidak mencukupi, namun jika ia memiliki
penyakit yang tidak mungkin untuk sujūd kecuali dengan cara seperti itu maka
hukumnya mencukupi, (dan dengan meletakkan sebagian keningnya besertaan
terbuka). Jika kening tersebut terdapat penghalang seperti perban, maka sujūd
tersebut tidaklah sah kecuali jika penghalang itu disebabkan karena luka dan sulit
untuk menghilangkannya dengan kesulitan yang luar biasa, maka hukumnya sah.
(besertaan pula dengan menekan) keningnya saja pada tempat shalat dengan cara
menggunakan berat kepalanya, berbeda dengan pendapat dari Imām al-Ḥaramain.
(Dan) meletakkan sebagian (dua lututnya), sebagian (batin kedua telapak tangannya)
165

ya‘ni dari telapak tangan dan batin jari-jari, (sebagian batin jari-jari dua telapak kaki)
bukan selain itu seperti tepi jari, ujung jari dan bagian luar dari keduanya. Jika jari-
jari dua telapak kaki terpotong, namun masih mampu untuk meletakkan sesuatu dari
dua telapak kaki, maka hukumnya tidaklah wajib, seperti yang telah disampaikan
oleh dua guru kita; Imām Nawawī dan Imām Rāfi‘ī. Tidak wajib untuk menekan
terhadap anggota-anggota ini selain kening, namun hukumnya sunnah saja seperti
tidak wajibnya membuka anggota sujūd selain dua lutut.
 
(‫ن أَ َّواًل ) َو س َُّن‬ºِ ‫ َو يُ َس ُّن َوضْ ُع الرُّ ْكبَتَ ْي‬.ُ‫ َو ِم ْن ثَ َّم اُ ْختِ ْي َر ُوجُوْ بُه‬،‫ْح‬ َ ‫ف) بَلْ يَتَأ َ َّك ُد لِ َخبَ ٍر‬
ٍ ‫ص ِحي‬ ٍ ‫(وضْ ُع أَ ْن‬ َ ‫فِي ال ُّسجُوْ ِد‬
ُ‫ ثُ َّم َج ْبهَتَه‬،‫صابِ َعهُ َمضْ ُموْ َمةً لِ ْلقِ ْبلَ ِة‬
َ َ‫َاشرًا أ‬
ِ ‫ض َو ن‬ ِ ْ‫ َرافِعًا ِذ َرا َع ْي ِه ع َِن اأْل َر‬،‫ ثُ َّم َكفَّ ْي ِه َح ْذ َو َم ْن َكبَ ْي ِه‬،‫ُمتَفَ ِّرقَتَ ْي ِن قَ ْد َر ِشب ٍْر‬
‫ َو يُ َس ُّن فَ ْت ُح َع ْينَ ْي ِه‬.‫ َو إِب َْرا ُزهُ َما ِم ْن َذ ْيلِ ِه‬،‫صابِ َعهُ َما لِ ْلقِ ْبلَ ِة‬
َ َ‫ق قَ َد َم ْي ِه قَ ْد َر ِشب ٍْر َو نَصْ بُهُ َما ُم َو ِّجهًا أ‬
ُ ‫ َو تَ ْف ِر ْي‬،‫َو أَ ْنفَهُ َمعًا‬
،‫ف‬ ِ ‫ب ْال َم ْذ ُكوْ ِر َو َع َد ُم َوضْ ِع اأْل َ ْن‬ ِ ‫ َو يُ ْك َرهُ ُم َخالَفَةُ التَّرْ تِ ْي‬.‫ َو أَقَ َّرهُ ال َّزرْ َك ِش ُّي‬،‫َحالَةَ ال ُّسجُوْ ِد َك َما قَالَهُ ابْنُ َع ْب ِد ال َّساَل ِم‬
َ‫ َو بِك‬،‫ت‬ ُ ‫ك َس َج ْد‬ َ َ‫ اللّهُ َّم ل‬:‫ َو يَ ِز ْي ُد َم ْن َم َّر نَ ْدبًا‬.‫اع‬
ِ َ‫ ُس ْب َحانَ َربِّ َي اأْل َ ْعلَى َو بِ َح ْم ِد ِه ثَاَل ثًا) فِي ال ُّسجُوْ ِد لِاْل ِ تِّب‬:ُ‫( َو قَوْ ل‬
ُ‫ك هّللا ُ أَحْ َسن‬
َ ‫ار‬َ َ‫ تَب‬،‫ص َرهُ بِ َحوْ لِ ِه َو قُ َّوتِ ِه‬
َ َ‫ق َس ْم َعهُ َو ب‬ َّ ‫ص َّو َرهُ َو َش‬ َ ‫ َس َج َد َوجْ ِه َي لِلَّ ِذيْ خَ لَقَهُ َو‬.‫ت‬ ُ ‫ َو لَكَ أَ ْسلَ ْم‬،‫ت‬
ُ ‫آ َم ْن‬
. َ‫ك ِم ْن ُعقُوْ بَتِك‬ َ ِ‫ َو بِ ُم َعافَات‬، َ‫ضاكَ ِم ْن َس َخ ِطك‬ َ ‫ اللّهُ َّم إِنِّ ْي أَ ُعوْ ُذ بِ ِر‬:‫ َو ِم َّما َو َر َد فِ ْي ِه‬.‫ َو يُ َس ُّن إِ ْكثَا ُر ال ُّدعَا ِء فِ ْي ِه‬. َ‫ْال َخالِقِ ْين‬
‫ َو أَ َّولَهُ َو‬،ُ‫ك اللّهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْي َذ ْنبِ ْي ُكلَّهُ ِدقَّهُ َو ِجلَّه‬
َ ‫ك أَ ْنتَ َك َما أَ ْثنَيْتَ َعلَى نَ ْف ِس‬ َ ‫ص ْي ثَنَا ًء َعلَ ْي‬ِ ْ‫ اَل أُح‬،َ‫ك ِم ْنك‬ َ ِ‫َو أَ ُعوْ ُذ ب‬
ْ ْ ‫ ت‬:‫ض ِة‬
َ ‫َط ِو ْي ُل ال ُّسجُوْ ِد أَ ْف‬
ِ ْ‫ض ُل ِم ْن تَط ِوي ِْل الرُّ ُكو‬
‫ع‬ َ ْ‫ قَا َل فِي الرَّو‬.ُ‫ َو َعاَل نِيَتَهُ َو ِس َّره‬،ُ‫آ ِخ َره‬.

(Disunnahkan) di dalam sujūd (untuk meletakkan hidung), bahkan sangat dianjurkan


sebab adanya keterangan dari hadits yang shaḥīḥ. Oleh karenanya, kewajiban hal itu
dipilih sebagian ‘ulamā’. Disunnahkan untuk awal kalinya meletakkan dua lutut
yang terpisah dengan jarak satu kilan (jengkal – JW) disusul dengan meletakkan dua
telapak tangan sejajar dengan pundak sedang dua lengannya diangkat dari tanah dan
membentangkan jari-jari tangan dengan posisi saling berhimpitan, kemudian disusul
dengan meletakkan kening dan hidung bersamaan, merenggangkan dua telapak kaki
dengan jarak satu kilan dan menegakkan keduanya dengan menghadapkan jari-
jarinya ke arah qiblat. Sunnah untuk memperlihatkan kedua jari-jari kaki dari sela-
sela pucuk kain penutup bawah. Disunnahkan untuk membuka kedua matanya saat
166

sujūd seperti yang telah disampaikan oleh Ibnu ‘Abd-is-Salām dan telah diakui oleh
Imām Zarkasyī.

Dimakruhkan untuk menyimpang dari tartib yang telah disebutkan dan tidak
meletakkan hidung. (Sunnah mengucapkan: ( ‫ – ) ُس ْب َحانَ َرب َِّي اأْل َ ْعلَى َو بِ َح ْم ِد ِه‬Maha Suci
Allah. Tuhanku dan dengan pujian pada-Nya – sebanyak tiga kali), saat sujūd sebab
mengikuti Nabi s.a.w. Sunnah menambahkan doa bagi orang yang telah lalu: ( َ‫اللّهُ َّم لَك‬
ُ ‫ – ) َس َج ْد‬sampai akhir – Ya Allah, untuk-Mu, aku sujūd, dengan-Mu aku beriman dan
‫ت‬
kepada-Mu aku pasrah, jasadku sujūd kepada dzāt yang menciptakannya,
membentuk rupa, memberi pendengaran dan penglihatan padanya dengan daya dan
kekuatannya. Bertambah keberkahan Allah sebagai sebagus-bagusnya pencipta.
Disunnahkan untuk memperbanyak membaca doa pada waktu sujūd. Sebagian doa
yang telah diajarkan Nabi s.a.w. adalah doa: ( ‫ – )اللّهُ َّم ِإنِّ ْي أَ ُعوْ ُذ‬Ya Allah, sesungguhnya
aku meminta perlindungan dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dengan
pengampunan-Mu. Dari siksa-Mu, dan aku meminta perlindungan dengan-Mu dari
murka-Mu, tiadalah terhitung pujian kepada-Mu seperti Engkau memuji atas dzāt-
Mu, ya Allah ampunilah seluruh dosaku, kecil dan besarnya dosa awal dan
akhirnya, dan yang tampak jelas dan samar. Imām Nawawī dalam kitab Raudhah-
nya berkata: Memanjangkan sujūd lebih utama dibanding dengan memanjangkan
rukū‘

(‫ فَلَوْ َرفَ َع ) َو‬،ُ‫ص َد بِ َر ْف ِع ِه َغي َْره‬ ُ ‫ َو يَ ِجبُ أَ ْن اَل يَ ْق‬.‫ َو لَوْ فِ ْي نَ ْف ٍل َعلَى ْال ُم ْعتَ َم ِد‬º،‫ي السَّجْ َدتَي ِْن‬
ِ َ‫ ( ُجلُوْ سٌ بَ ْينَهُ َما) أ‬:‫ثَا ِمنُهَا‬
ِ ْ‫ َو اَل يَضُرُّ إِدَا َمةُ َوضْ ِع يَ َد ْي ِه َعلَى اأْل َر‬.َ‫ب أَعَا َد ال ُّسجُوْ د‬
،‫ض إِلَى السَّجْ َد ِة الثَّانِيَ ِة اِتِّفَاقًا‬ ٍ ‫ْع َع ْق َر‬
ِ ‫فَ ِزعًا ِم ْن نَحْ ِو لَس‬
ِ َ‫ فَ َكانَا ق‬،‫ َو اَل ا ْعتِ َدااًل ) أِل َنَّهُ َما َغ ْي ُر َم ْقصُوْ َد ْي ِن لِ َذاتِ ِه َما بَلْ ُش ِرعَا لِ ْلفَصْ ِل‬،ُ‫ط ِّولُه‬
.‫صي َْري ِْن‬ َ ُ‫ ( َو اَل ي‬.‫ِخاَل فًا لِ َم ْن َوهَ َم فِ ْي ِه‬
ْ ‫ط‬
‫لت‬ َ َ‫س عَا ِمدًا عَالِ ًما ب‬ِ ْ‫َال أَقَ َّل التَّ َشهُّ ِد فِي ْال ُجلُو‬ِ ‫ قَ ْد َر ْالفَاتِ َح ِة فِي ااْل ِ ْعتِد‬ ‫ع فِ ْي ِه‬
ِ ْ‫ق ِذ ْك ِر ِه ْال َم ْشرُو‬
َ ْ‫فَإ ِ ْن طَ َّو َل أَ َح َدهُ َما فَو‬
ُ‫صاَل تُه‬.
َ
(Rukun shalat yang kedelapan) adalah (duduk di antara dua sujūd) walaupun di
dalam shalat sunnah menurut pendapat yang mu‘tamad. Wajib untuk tidak berniat
ketika bangun dari sujūd selain untuk duduk. Jika seseorang yang shalat bangun dari
167

sujūd sebab tersentak dari semacam sengatan kalajengking, maka wajib untuk
mengulang sujūdnya. Tidak masalah untuk selalu meletakkan kedua tangannya di
atas tanah sampai sujūd yang kedua sesuai dengan kesepakatan ‘ulamā’, berbeda
bagi ‘ulamā’ yang mengira batalnya shalat (Tidak diperbolehkan memanjangkannya
dan juga tidak memanjangkan i‘tidāl), sebab keduanya bukanlah sebuah tujuan,
namun keduanya disyarī‘atkan sebagai pemisah, maka keduanya pendek waktunya.
Jika salah satu dari keduanya dipanjangkan melebihi dari dzikir yang dianjurkan di
dalamnya ya‘ni kadar membaca al-Fātiḥah di dalam masalah i‘tidāl dan dengan
kadar minimal tasyahhud dalam kasus duduk di antara dua sujūd disertai
kesengajaan dan mengetahui keharamannya, maka shalatnya batal.
 
َ ُ‫ َو َك َذا فِ ْي تَ َشهُّ ٍد أَ ِخي ٍْر إِ ْن تَ َعقَّبَه‬،‫اح ٍة‬
(‫)و س َُّن فِ ْي ِه‬ َ ‫(و) فِ ْي (تَ َشهُّ ِد أَ َّو ٍل) َو َج ْل َس ِة ا ْستِ َر‬َ ،‫ْال ُجلُوْ سُ بَ ْينَ السَّجْ َدتَ ْي ِن‬
‫اضعًا َكفَّ ْي ِه) َعلَى فَ ِخ َذ ْي ِه قَ ِر ْيبًا‬
ِ ‫(و‬ َ ،‫ض‬ َ ْ‫ْث يَلِ ْي ظَ ْه ُرهَا اأْل َر‬ ُ ‫ب يُ ْس َراهُ بِ َحي‬ِ ‫س َعلَى َك ْع‬ َ ِ‫ (اِ ْفتِ َراشٌ ) بِأ َ ْن يَجْ ل‬.‫ُسجُوْ ُد َس ْه ٍو‬
‫ َو‬:ُ‫ إِلَى آ ِخ ِر ِه) تَتِ َّمتُه‬،‫ َربِّ ا ْغفِرْ لِ ْي‬: ‫ (قَائِاًل‬،ُ‫صابِ َعه‬ َ َ‫ نَا ِشرًا أ‬،‫صابِ ِع‬ َ َ ‫ْث تَ َسا ِمتُهُ َما ُر ُؤوْ سُ اأْل‬ُ ‫ِم ْن ُر ْكبَتَ ْي ِه بِ َحي‬
‫ ( َو) س َُّن‬.‫ ثَاَل ثًا‬،‫ اِ ْغفِرْ لِ ْي‬:ُ‫ َو يُ ْك َره‬.‫اع‬ِ َ‫ لِاْل ِ تِّب‬.‫ َو عَافِنِ ْي‬،‫ َو ا ْه ِدنِ ْي‬،‫ َو ارْ ُز ْقنِ ْي‬،‫ َو ارْ فَ ْعنِ ْي‬،‫ َو اجْ بُرْ نِ ْي‬،‫ارْ َح ْمنِ ْي‬
ْ‫ َو إِ ْن ت ََر َكهَا اإْل ِ َما ُم ِخاَل فًا لِ َشي ِْخنَا (لِقِيَ ٍام) أَي‬،‫ َو لَوْ فِ ْي نَ ْف ِل‬،‫اع‬ ِ ْ‫( َج ْل َسةُ ا ْستِ َرا َح ٍة) بِقَ ْد ِر ْال ُجلُو‬
ِ َ‫س بَ ْينَ السَّجْ َدتَيْن لِاْل ِ تَّب‬
ْ َ‫ َو يُ َس ُّن ا ْعتِ َما ٌد َعلَى ب‬.‫ ع َْن ُسجُوْ ٍد لِ َغي ِْر تِاَل َو ٍة‬،‫أِل َجْ لِ ِه‬.
‫ط ِن َكفَّ ْي ِه فِ ْي قِيَ ٍام ِم ْن ُسجُوْ ٍد َو قُعُوْ ٍد‬

(Disunnahkan dalam) duduk di antara dua sujūd (dan) di dalam (tasyahhud awal),
duduk istirahat dan begitu pula ia dalam tasyahhud akhir – jika tasyahhud itu diiring-
iringi setelahnya dengan sujūd sahwi – (untuk duduk iftirāsy) dengan cara duduk di
atas mata kaki kiri sekira bagian luarnya menempel tanah, (dengan meletakkan dua
telapak tangannya) di atas dua paha dekat dengan dua lutut sekira jari-jari tangan
sejajar dengannya, dengan posisi jari-jari terbentang serta (sambil mengucapkan ( ِّ‫َرب‬
‫ا ْغفِرْ لِ ْي‬،) – wahai Tuhan ampunilah diriku – sampai selesai) kesempurnaan doanya:
Tambahlah: kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rizki diriku, berilah
petunjuk padaku dan sehatkanlah diriku. Kesunnahan ini sebab mengikuti Nabi
s.a.w. Dimakruhkan untuk membaca (‫ – )اِ ْغفِرْ لِ ْي‬ampunilah diriku – sebanyak tiga
kali. (Dan) disunnahkan (duduk istirahat) dengan kadar duduk di antara dua sujūd,
168

sebab mengikuti Nabi s.a.w., walaupun di dalam shalat sunnah dan walaupun imam
meninggalkannya berbeda dengan pendapat guru kita, (karena untuk berdiri) dari
sujūd selain sujūd tilāwah. Disunnahkan ketika bangun dari sujūd dan duduk untuk
berpegangan dengan batin dua telapak tangan.
 
َ ‫ ِخاَل فًا‬،‫ َو لَوْ َكانَا فِ ْي نَ ْف ٍل‬،ُ‫ َو ااْل ِ ْعتِدَال‬،‫ َو ْال ُجلُوْ سُ بَ ْينَهُ َما‬º،‫ع َو ال ُّسجُوْ َدي ِْن‬ ْ
(‫)و‬ ِ ْ‫ (طُ َمأنِ ْينَةٌ فِ ْي ُكلٍّ ) ِمنَ الرُّ ُكو‬:‫تَا ِس ُعهَا‬
ُ‫ص ُل َما ا ْنتَقَ َل إِلَ ْي ِه َع َّما ا ْنتقَ َل َع ْنه‬
ِ َ‫ْث يَ ْنف‬ َ ‫ضابِطُهَا أَ ْن تَ ْستَقِ َّر أَ ْع‬
ُ ‫ضا ُؤهُ بِ َحي‬ َ ‫ َو‬.‫ار‬ ِ ‫لِأْل َ ْن َو‬.
(Rukun shalat yang kesembilan) adalah (thuma’nīnah di setiap) rukū‘, dua sujūd,
duduk di antara dua sujūd dan i‘tidāl, walaupun keduanya di dalam shalat sunnah,
berbeda dengan pendapat yang tertera dalam kitab al-Anwār. Batasan dari
thuma’nīnah adalah diamnya anggota sekira rukun yang dituju terpisah dengan
rukun yang ditinggalkan.
 
(‫ َساَل ٌم َعلَ ْيكَ أَيُّهَا ) َو‬:ُ‫آخ ِر ِه) تَتِ َّمتُه‬
ِ ‫َّات هللِ إِلَى‬ ُ ‫ (التَّ ِحي‬: ُّ‫ َو أَقَلَّهُ) َما َر َواهُ ال َّشافِ ِع ُّي َو التِّرْ ِم ِذي‬،ٌ‫ (تَ َشهُّ ٌد أَ ِخ ْير‬:‫َاش ُرهَا‬
ِ ‫ع‬
‫مح َّمدًا َرسُوْ ُل‬ َ ‫ أَ ْشهَ ُد أَ ْن اَل إِلهَ إِاَّل هللاُ َو أَ َّن‬، َ‫ َساَل ٌم َعلَ ْينَا َو َعلَى ِعبَا ِد هّللا ِ الصَّالِ ِح ْين‬،ُ‫النَّبِ ُّي َو َرحْ َمةُ هّللا ِ َو بَ َر َكاتُه‬
‫ اَل‬،‫ض َعي ِْن‬ِ ْ‫ْريْفُ ال َّساَل ِم فِي ْال َمو‬ ِ ‫ َو تَع‬،‫ َو أَ ْش ِه ُد الثَّانِ ْي‬،‫ات‬ ُ َ‫ات الطَّيِّب‬ ُ ‫صلَ َو‬
َّ ‫ات ال‬ُ ‫ ْال ُمبَا َر َك‬:‫ َو يُ َس ُّن لِ ُك ِّل ِزيَا َد ٍة‬.ِ‫هللا‬
‫ َو ُم َح َّم ٍد بِأَحْ َم َد َو‬،‫ َكالنَّبِ ِّي بِال َّرسُوْ ِل َو َع ْك ِس ِه‬،‫ َو اَل يَجُوْ ُز ِإ ْبدَا ُل لَ ْف ٍظ ِم ْن ه َذا اأْل َقَ ِّل َو لَوْ بِ ُم َرا ِدفِ ِه‬،ُ‫ْالبَ ْس َملَةَ قَ ْبلَه‬
‫ َو َع َد َم‬،‫ت‬ ِ ‫ َو يَ ِجبُ أَ ْن يُ َر‬.ُ‫ اَل َو أَ َّن ُم َح َّمدًا َرسُوْ لُه‬،ُ‫ َو أَ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُه‬:‫ َو يَ ْكفِ ْي‬،‫َغي ِْر ِه‬
ِ ‫اع َي هُنَا التَّ ْش ِد ْيدَا‬
ْ َ‫ فَلَوْ أ‬.‫ْب إِ ْن لَ ْم يُ ِخ َّل بِ ْال َم ْعنَى‬
‫ظهَ َر النُّوْ نَ ْال ُم ْد َغ َمةَ فِي الاَّل ِم فِ ْي أَ ْن اَل إِلهَ إِاَّل‬ َ ‫ َو ْال ُم َوااَل ةَ اَل التَّرتِي‬،‫ف بِآ َخ َر‬
ٍ ْ‫إِ ْبدَا ِل َحر‬
‫د‬ºُ ‫ َو يَجُوْ ُز فِي النَّبِ ِّي ْالهَ ْم َزةُ َو التَّ ْش ِد ْي‬.ِ‫َال ُم َح َّم ٍد فِ ْي َرا ِء َرسُوْ ِل هللا‬ َ ‫ َك َما لَوْ ت ََر‬،ُ‫هللاُ أَ ْبطَ َل لِتَرْ ِك ِه َش َّدةً ِم ْنه‬.
ِ ‫ك إِ ْدغَا َم د‬

(Rukun shalat yang kesepuluh) adalah (tasyahhud akhir. Minimalnya) adalah hadits
ُ ‫ – )التَّ ِحي‬segala
yang diriwayatkan oleh Imām Syāfi‘ī dan Imām Tirmidzī (yakni: ( ِ‫َّات هلل‬
penghormatan bagi Allah – sampai selesai), kesempurnaannya: Salam sejahtera,
rahmat dan barakah-Nya semoga tercurahkan padamu wahai Nabi, salam bagi kita
semua dan hamba-Nya yang shalih, aku bersaksi tiada Tuhan selian Allah dan
sesunggguhnya Muḥammad adalah utusan Allah. Disunnahkan bagi setiap orang
ُ َ‫ات الطَّيِّب‬
yang shalat untuk menambahkan lafazh: (‫ات‬ ُ ‫صلَ َو‬ ْ – yang diberkahi,
ُ ‫)ال ُمبَا َر َك‬
َّ ‫ات ال‬
shalat-shalat, ‘amal-‘amal shāliḥ – menambahkan lafazh: (ُ‫ ِهد‬º‫ )أَ ْش‬yang kedua dan
‫‪169‬‬

‫)الس ‪º‬اَل ِم( ‪mema‘rifahkan lafazh‬‬


‫َّ‬ ‫‪di dua tempat. Tidak sunnah membaca basmalah‬‬
‫‪sebelum tasyahhud.‬‬
‫‪Dilarang mengganti lafazh dari minimal tasyahhud ini walaupun dengan lafazh yang‬‬
‫) ُم َح َّم ٍد( ‪) dan sebaliknya, lafazh‬ال َّرسُوْ ِل( ‪) diganti dengan‬النَّبِ ِّي( ‪semakna, seperti lafazh‬‬
‫– ) َو أَ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهُ( ‪) dan selainnya. Cukup mengucapkan‬أَحْ َمدَ( ‪diganti dengan‬‬
‫أَ َّن ُم َح َّمدًا( ‪sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah – , Tidak lafazh‬‬
‫‪).‬رسُوْ لُهُ‬
‫‪َ Dalam tasyahhud ini wajib untuk menjaga tasydīd-tasydīd yang ada, tidak‬‬
‫‪mengganti satu huruf dengan huruf yang lain dan terus-menerus. Tidak wajib untuk‬‬
‫)النُّوْ نَ ( ‪tartib jika hal itu tidak sampai merusak ma‘na. Jikalau seorang menampakkan‬‬
‫‪) maka dapat‬أَ ْن اَل إِل‪ºº‬هَ إِاَّل هللاُ( ‪) dalam‬الاَّل ِم( ‪yang semestinya di-idghām-kan dengan‬‬
‫‪membatalkan shalat sebab ia telah meninggalkan satu tasydīd dari tasyahhud. Seperti‬‬
‫)را ِء( ‪ُ ) pada‬م َح َّم ٍد( ‪) lafazh‬دَا ِل( ‪kasus jikalau meninggalkan meng-idghām-kan‬‬
‫( ‪َ lafazh‬‬
‫‪).‬را ِء َر ُس‪ºº‬وْ ِل هللاِ‬
‫َ‬ ‫‪) menggunakan ḥamzah dan‬النَّبِ ِّي ( ‪Diperbolehkan di dalam lafazh‬‬
‫‪tasydīd.‬‬

‫صلِّ ) أَيْ َ‬
‫)و(‬ ‫صاَل ةٌ َعلَى النَّبِ ِّي) (بَ ْع َدهُ) أَيْ بَ ْع َ‪º‬د تَ َشهُّ ٍد أَ ِخي ٍْر‪ ،‬فَاَل تُجْ ِزى ُء قَ ْبلَهُ‪َ ( .‬و أَقَلُّهَا‪ :‬اللّهُ َّم َ‬
‫َحا ِديْ َع َش َرهَا‪َ ( :‬‬
‫(و س َُّن‬‫صلَّى هللاُ ( َعلَى ُم َح َّم ٍد)‪ ،‬أَوْ َعلَى َرسُوْ لِ ِه‪ ،‬أَوْ َعلَى النَّبِ ِّي‪ُ ،‬دوْ نَ أَحْ َمدَ‪َ .‬‬ ‫اِرْ َح ْمهُ َرحْ َمةً َم ْقرُوْ نَةً بِالتَّ ْع ِظي ِْم‪ ،‬أَوْ َ‬
‫صاَل ِة َعلَى اآْل ِل بِ ِزيَا َد ِة َو آلِ ِه‪َ ،‬م َع أَقَ ِّل ال َّ‬
‫صاَل ِة اَل‬ ‫ص ُل أَقَلُّ ال َّ‬ ‫فِ ْي) تَ َشهُّ ٍد (أَ ِخي ٍْر) َو قِ ْي َل‪ :‬يَ ِجبُ ‪َ ( .‬‬
‫صاَل ةٌ َعلَى آلِ ِه) فَيَحْ ُ‬
‫ْف‪َ ،‬و أِل َ َّن فِ ْيهَا نَ ْق ُل رُ ْك ٍن قَوْ لِ ٍّي َعلَى قَوْ ٍل‪َ ،‬و ه َُو ُم ْب ِط ٌل َعلَى قَوْ ٍل‪َ .‬و‬‫ص ِّح‪ِ ،‬لبِنَائِ ِه َعلَى التَّ ْخفِي ِ‬ ‫فِي اأْل َ َّو ِل َعلَى اأْل َ َ‬
‫آل ُم َح َّم ٍد‪،‬‬ ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى ِ‬ ‫ْث فِ ْي ِه‪َ ( .‬و يُ َس ُّن أَ ْك َملُهَا فِ ْي تَ َشهُّ ٍد) أَ ِخي ٍْر‪َ ،‬و هُ َو‪ :‬اللّهُ َّم َ‬
‫ص َّح ِة أَ َحا ِدي َ‬
‫اختِ ْي َر ُمقَابِلُهُ لِ ِ‬
‫ْ‬
‫ار ْكتَ َعلَى إِ ْب َرا ِه ْي َم َو‬ ‫ار ْك َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى ِ‬
‫آل ُم َح َّم ٍد‪َ ،‬ك َما بَ َ‬ ‫صلَّيْتَ َعلَى إِب َْرا ِه ْي َم َو َعلَى ِ‬
‫آل إِ ْب َرا ِه ْي َم‪َ ،‬و بَ ِ‬ ‫َك َما َ‬
‫صاَل ةَ َع ْنهُ‪َ ،‬و اَل بَأْ َ‬
‫س بِ ِزيَا َد ِة َسيِّ ِدنَا‬ ‫ْس هُنَا إِ ْف َرا ُد ال َّ‬
‫ك َح ِم ْي ٌد َم ِج ْي ٌد‪َ .‬و ال َّساَل ُم تَقَ َّد َم فِي التَّ َشهُّ ِد فَلَي َ‬
‫آل إِ ْب َرا ِه ْي َم‪ ،‬إِنَّ َ‬
‫َعلَى ِ‬
‫قَ ْب َل ُم َح َّم ٍد‪َ ( .‬و) س َُّن فِ ْي تَ َشهُّ ٍد أَ ِخي ٍْر ( ُدعَا ٌء) بَ ْع َد َما ُذ ِك َر ُكلُّهُ‪َ .‬و أَ َّما التَّ َشهُّ ُد اأْل َ َّو ُل فَيُ ْك َرهُ فِ ْي ِه ال ُّدعَا ُء لبِنَائِ ِه َعلَى‬
‫ضلُ‪َ ،‬و آ ِك ُدهُ َما أَوْ َجبَهُ بَعْضُ ْال ُعلَ َما ِء‪َ ،‬و هُ َو‪ :‬اللّهُ َّم إِنِّ ْي‬ ‫ْف‪ ،‬إِاَّل إِ ْن فَ َر َغ قَ ْب َل إِ َما ِم ِه فَيَ ْد ُعوْ ِح ْينَئِ ٍذ‪َ .‬و َمأْثُوْ ُرهُ أَ ْف َ‬
‫التَّ ْخفِي ِ‬
‫ت‪َ ،‬و ِم ْن فِ ْتنَ ِة ْال َم ِسي ِ‬
‫ْح ال َّدجَّا ِل‪َ .‬و يُ ْك َرهُ‬ ‫ار‪َ ،‬و ِم ْن فِ ْتنَ ِة ْال َمحْ يَا َو ْال َم َما ِ‬ ‫ب النَّ ِ‬‫ب ْالقَب ِْر‪َ ،‬و ِم ْن َع َذا ِ‬ ‫ك ِم ْن َع َذا ِ‬ ‫أَ ُعوْ ُذ بِ َ‬
‫ت‪َ ،‬و َما أَ ْنتَ أَ ْعلَ ُم بِ ِه‬ ‫ت‪َ ،‬و َما أَ ْس َر ْف ُ‬ ‫ت َو َما أَ ْعلَ ْن ُ‬ ‫ت‪َ ،‬و َما أَس َْررْ ُ‬ ‫ت َو َما أَ َّخرْ ُ‬‫تَرْ ُكهُ‪َ .‬و ِم ْنهُ‪ :‬اللّهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْي َما قَ َّد ْم ُ‬
‫ت نَ ْف ِس ْي ظُ ْل ًما َكبِ ْيرًا‬
‫ِمنِّ ْي‪ .‬أَ ْنتَ ْال ُمقَ ِّد ُم َو أَ ْنتَ ْال ُم َؤ ِّخرُ‪ ،‬اَل إِلهَ إِاَّل أَ ْنتَ ‪َ .‬ر َواهُ َما ُم ْسلِ ٍم‪َ .‬و ِم ْنهُ أَ ْيضًا‪ :‬اللّهُ َّم إِنِ ْي ظَلَ ْم ُ‬
‫اريُّ ‪َ .‬و يُ َس ُّن أَ ْن‬‫ب إِاَّل أَ ْنتَ ‪ ،‬فَا ْغفِرْ لِ ْي َم ْغفِ َرةً ِم ْن ِع ْن ِدكَ ‪ ،‬إِنَّكَ أَ ْنتَ ْال َغفُوْ ُر ال َّر ِح ْي ُم‪َ .‬ر َواهُ ْالبُخَ ِ‬
‫َكثِ ْيرًا َو اَل يَ ْغفِ ُر ال ُّذنُوْ َ‬
170

‫صاَل ةُ َعلَى النَّبِ ِّي بَ ْع َد أَ ْد ِعيَ ِة‬ َّ ‫ َو ال‬،‫ص ُدعَا ُء اإْل ِ َم ِام ع َْن قَ ْد ِر أَقَ ِّل التَّ َشهُّ ِد‬
َّ ‫ تُ ْك َرهُ ال‬:‫ قَا َل َش ْي ُخنَا‬.‫صاَل ِة َعلَى النَّبِ ِّي‬ َ ُ‫يَ ْنق‬
‫التَّ َشهُّ ِد‬.
(Rukun shalat yang kesebelas) adalah (membaca shalawat pada Nabi) s.a.w.,
(setelah tasyahhud akhir). Tidaklah cukup membaca sebelumnya. (Minimalnya
َ ‫ – )اللّهُ َّم‬Ya Allah berikanlah rahmat kepada Nabi disertai
adalah: (‫لِّ َعلَى ُم َح َّم ٍد‬º ‫ص‬
dengan pengagungan – atau menggunakan lafazh (‫صلَّى هللاُ َعلَى ُم َح َّم ٍد‬
َ ), atau (‫) َعلَى َرسُوْ لِ ِه‬
atau (‫ ) َعلَى النَّبِ ِّي‬bukan lafazh (َ‫ د‬º‫)أَحْ َم‬. (Disunnahkan di dalam) tasyahhud akhir –
sebagian pendapat menghukumi wajib –(untuk bershalawat kepada keluarganya
Nabi) maka kesunnahan shalawat kepada keluarga Nabi akan didapat dengan
menambahkan lafazh (‫ ) َو آلِ ِه‬besertaan minimal shalawat. Tidak sunnah menambahi
pada tasyahhud awal menurut pendapt yang ashaḥḥ sebab tasyahhud awal dikerjakan
secara cepat, dan satu pendapat mengatakan bahwa membaca shalawat pada keluarga
Nabi termasuk memindah rukun yang berakibat membatalkan shalat. Sedang
perbandingan dari pendapat yang ashaḥḥ ini lebih dipilih sebab beberapa hadits yang
shaḥīḥ tentang disunnahkannya hak itu. (Disunnahkan untuk menyempurnakan
َ ‫ – )اللّهُ َّم‬sampai akhir – . Ya Allah,
bacaan tasyahhud) akhir ya‘ni: ( ‫ ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد‬º ‫ص‬
berikanlah rahmat kepada Muḥammad dan keluarganya seperti Engkau memberi
rahmat kepada Ibrāhīm dan keluarganya, barakahilah Muḥammad dan keluarganya
seperti Engkau telah memberi barakah terhadap Ibrāhīm dan keluarganya.
Sesungguhnya Engkau adalah Dzāt yang terpuji dan agung. Lafazh salam telah
disebutkan sebelumnya di dalam shalawat ini menyendirikan lafazh shalawat
darinya. Tidak masalah menambahi lafazh (‫يِّ ِدنَا‬ºººº‫)س‬
َ sebelum lafazh (‫) ُم َح َّم ٍد‬.
(Disunnahkan di dalam tasyahhud akhir untuk berdoa) setelah membaca itu semua.
Sedangkan tasyahhud awal hukumnya makruh untuk membaca doa sebab tasyahhud
awal dikerjakan dengan cepat kecuali ma’mūm telah selesai membaca tasyahhud
sebelum imāmnya, maka saat itulah diperbolehkan berdoa. Berdoa dengan doa yang
telah diajarkan Nabi s.a.w. itu lebih utama dan yang paling dianjurkan adalah doa
َ ºِ‫وْ ُذ ب‬ºº‫ – )اللّهُ َّم إِنِّ ْي أَ ُع‬Ya Allah,
yang telah ditetapkan oleh sebagian ‘ulamā’ ya‘ni: ( ‫ك‬
sesungguhnya aku meminta perlindungan dari-Mu dari siksa kubur, dari siksa
171

neraka, dari fitnah kehidupan dan kematian, fitnah al-Masīḥ-ud-Dajjāl.


Dimakruhkan untuk meninggalkan doa tersebut. Sebagian doa lagi adalah: ( ْ‫اللّهُ َّم ا ْغفِر‬
‫ – )لِ ْي‬Ya Allah, ampunilah dosaku yang telah lewat dan dosaku yang akhir, dosa
yang aku sembunyikan dan yang tampak, dosa yang melampaui batas, dan dosa
yang Engkau lebih tahu daripada diriku. Engkaulah Maha Awwal dan Maha Akhir,
tiada tuhan selain Engkau. Dua Hadits di atas adalah hadits riwayat Muslim.
ُ ‫ – )اللّهُ َّم إِنِ ْي ظَلَ ْم‬Ya Allah, sesungguhnya aku adalah orang
Sebagian lagi adalah: ( ‫ت‬
yang zhalim terhadap diriku dengan kezhaliman yang besar dan banyak. Tiadalah
yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah dosaku dengang
pengampunan dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun dan
Maha Penyayang. Hadits riwayat Bukhārī. Disunnahkan bagi imām untuk
mengurangi doa dari kadar minimal bacaan tasyahhud dan shalawat Nabi s.a.w.
Guru kita berkata: Dimakruhkan membaca shalawat Nabi s.a.w. setelah membaca
doa-doa tasyahhud.
 
(‫ك فِ ْي ِه) أَيْ فِ ْي قُعُوْ ِد التَّ َشهُّ ِد ) َو‬ َّ ‫ (قُعُوْ ٌد لَهُ َما) أَيْ لِلتَّ َشهُّ ِد َو ال‬:‫ثَانِ َي َع َش َرهَا‬
ٌ ُّ‫ ( َو س َُّن تَ َور‬.‫ َو َك َذا لِل َّساَل ِم‬،‫صاَل ِة‬
ِ ‫ َو هُ َو َكااْل ِ ْفتِ َر‬.‫ َو اَل َم ْن يَ ْس ُج ُد لِ َس ْه ٍو‬،‫ق فِ ْي تَ َشهُّ ِد ِإ َما ِم ِه اأْل َ ِخي ِْر‬
،‫اش‬ ُ ‫ فَاَل يَتَ َو َّر‬.‫ َو هُ َو َما يَ ْعقِبُهُ َساَل ٌم‬،‫اأْل َ ِخي ِْر‬
ٌ ْ‫ك َم ْسبُو‬
)‫ف ُر ْكبَتَ ْي ِه‬ ِ ْ‫ق َو َر َكهُ بِاأْل َر‬
ِ ‫ ( َو َوضْ ُع يَ َد ْي ِه فِ ْي) قَعُوْ ِد (تَ َشهُّ َد ْي ِه َعلَى طَ َر‬.‫ض‬ ُ ‫ص‬ِ ‫لَ ِك ْن ي ُْخ ِر ُج يُ ْس َراهُ ِم ْن ِجهَ ِة يُ ْمنَاهُ َو ي ُْل‬
ِ ‫صابِ َع (يُ ْمنَاهُ ِإاَّل ْال ُم َسب َِّحةَ) بِ َكس‬
‫ْر‬ َ َ‫ ( َو قَابِضًا) أ‬،‫ض َم لَهَا‬ َ ‫صابِ َع يُس َْراهُ) َم َع‬ َ َ‫ (نَا ِشرًا أ‬،‫صابِ ِع‬ َ َ ‫ْث تُ َسا ِمتُهُ رُ ُؤوْ سُ اأْل‬ ُ ‫بِ َحي‬
)َ‫( ِع ْندَ) هَ ْم َز ِة (إِاَّل هللا‬ ‫ي ْال ُم َسب َِّحةَ َم َع إِ َمالَتِهَا قَلِ ْياًل‬
ِ َ‫ ( َو) س َُّن ( َر ْف ُعهَا) أ‬.‫ َو ِه َي الَّتِ ْي تَلِي اإْل ِ ْبهَا َم فَيُرْ ِسلُهَا‬،‫ْالبَا ِء‬
،‫ض ُل قَبْضُ اإْل ِ ْبهَ ِام بِ َج ْنبِهَا‬ َ ‫َ ْف‬
‫ َو اأْل‬،‫ض ْعهَا بَلْ تَ ْبقَى َمرفُوْ َعةً إِلَى ْالقِيَ ِام أَ ِو ال َّساَل ِم‬ ِ َ‫ ( َو إِدَا َمتُهُ) أ‬.‫اع‬
َ َ‫ فَاَل ي‬.‫ي ال َّر ْف ِع‬ ِ َ‫التِّب‬
ِ ‫ل‬
‫ض َع ْاليُ ْمنَى َعلَى َغي ِْر‬
َ ‫ َو لَوْ َو‬. َ‫ َك َعاقِ ِد ثَاَل ث ٍة َو خَ ْم ِس ْين‬،‫ف الرَّا َح ِة‬ َ ‫ض َع َر ْأ‬
ِ ْ‫س اإْل ِ ْبهَ ِام ِع ْن َد أَ ْسفَلِهَا َعلَى َحر‬ َ َ‫بِأ َ ْن ي‬
‫ ( َو) س َُّن (نَظَ ٌر إِلَ ْيهَا) أَيْ قَصْ ُر النَّظَ ِر‬.ُ‫صاَل ِة ِع ْن َد ِإاَّل هللا‬ ِ ‫ َو اَل يُ َس ُّن َر ْف ُعهَا‬،‫الرُّ ْكبَ ِة يُ ِش ْي ُر بِ َسبَّابَتِهَا ِح ْينَئِ ٍذ‬
َّ ‫خَار َج ال‬
‫ َك َما قَا َل َش ْي ُخنَا‬،‫ َو لَوْ َم ْستُوْ َرةً بِنَحْ ِو َك ٍّم‬،‫إِلَى ْال ُم َسب َِّح ِة َحا َل َر ْف ِعهَا‬.
(Rukun shalat yang kedua belas) adalah (duduk untuk membaca tasyahhud dan
shalawat Nabi) begitu pula untuk salam. (Disunnahkan duduk tawarruk) di dalam
tasyahhud akhir ya‘ni duduk yang diiring-iringi dengan salam, maka tidak
disunnahkan untuk duduk tawarruk bagi ma’mūm masbūq di dalam tasyahhudnya
imām yang akhir dan juga tidak sunnah bagi seseorang yang akan sujud sahwi.
172

Duduk tawarruk seperti halnya duduk iftirāsy namun kaki kirinya dikeluarkan dari
arah kaki kanannya dan pantatnya ditempelkan di tanah. (Sunnah untuk meletakkan
dua lengannya di dalam) dua (tasyahhudnya di atas ujung lututnya) sekira ujung jari-
jarinya sejajar dengan ujung lutut (dengan membentangkan jari-jari kirinya)
besertaan dengan merapatkannya (dan mengepalkan) jari-jari (tangan kanannya
ْ dengan membaca kasrah huruf (‫ا ِء‬ºَ‫)الب‬-nya
kecuali jari penunjuk). Lafazh ( َ‫)ال ُم َسب َِّحة‬ ْ
memiliki ma‘na jari yang berada di samping ibu jari – maka lepaskanlah jari
penunjuk tersebut. (Dan) disunnahkan (untuk mengangkat jari penunjuk) dengan
agak condong (ketika) sampai ucapan ḥamzah (lafazh (َ‫ ))إِاَّل هللا‬sebab mengikuti Nabi
s.a.w. (Sunnah melanggengkannya), maka jangan meletakkannya namun biarkan jari
tersebut terangkat sampai berdiri atau salām. Yang lebih utama adalah dengan
menggenggam ibu jari di samping jari penunjuk dengan cara meletakkan ujung ibu
jari di bawah jari penunjuk di atas pinggir telapak tangan seperti orang yang
membentuk angka 53. Jikalau seorang yang shalat meletakkan telapak tangan kanan
di selain lutut, maka baginya disunnahkan untuk memberi isyārah dengan jari
penunjuknya pada saat sampai lafazh ( َ‫)إِاَّل هللا‬, tidak sunnah mengangkat jari penunjuk
ketika sampai pada lafazh itu di luar shalat. (Disunnahkan untuk melihat jari
penunjuk) maksudnya hanya melihat jari itu saat jari diangkat walaupun tertutup
dengan semacam lengan baju seperti yang telah diungkapkan oleh guru kita

(‫)و‬ َ ،‫ تَ ْسلِ ْي َمةٌ أُوْ لَى‬:‫ث َع َش َرهَا‬


َ ‫ َو اَل يُجْ ِزى ُء َساَل ٌم َعلَ ْي ُك ْم‬،‫ َو يُ ْك َرهُ َعلَ ْي ُك ُم ال َّساَل ُم‬،‫ ال َّساَل ُم َعلَ ْي ُك ْم) لِاْل ِ تِّبَاع‬:‫(و أَقَلُّهَا‬ َ ِ‫ثَال‬
)‫ ( َو س َُّن‬.‫ح اإْل ِ رْ َشا ِد لِ َش ْي ِخنَا‬ َّ ‫ بَلْ تَ ْبطُ ُل ال‬.‫بالتَّ ْن ِكي ِْر َو اَل َساَل ُم هّللا ِ أَوْ َساَل ِم ْي َعلَ ْي ُك ْم‬
ِ ْ‫ َك َما فِ ْي شَر‬.‫صاَل ةُ إِ ْن تَ َع َّم َد َو َعلِ َم‬
‫ت ُج ْم َع ٍة َو ُوجُوْ ِد‬ ِ ‫ج َو ْق‬
ِ ْ‫ث َو ُخرُو‬ ٍ ‫ض بَ ْع َد اأْل ُوْ لَى ُمن‬
ٍ ‫ َك َح َد‬،‫َاف‬ َ ‫ َو تَحْ ُر ُم ِإ ْن َع َر‬،ُ‫تَ ْسلِ ْي َمةٌ (ثَانِيَةٌ) َو ِإ ْن تَ َر َكهَا إِ َما ُمه‬
‫ َعلَى ْال َم ْنقُوْ ِل فِ ْي َغي ِْر‬،‫ َو بَ َر َكاتِ ِه‬: َ‫ ُدوْ ن‬،‫ ( َو) يُ َس ُّن أَ ْن يُ ْق ِرنَ ُكاًّل ِمنَ التَّ ْسلِ ْي َمتَ ْي ِن (بِ َرحْ َم ِة هللاِ) أَيْ َم َعهَا‬.ً‫َار ُس ْت َرة‬
ٍ ‫ع‬
‫ت فِ ْي ِه َما) َحتَّى يَ َرى خَ َّدهُ اأْل َ ْي َمنَ فِي اأْل ُوْ لَى َو‬ ْ ‫(و) َم َع‬
ٍ ‫(التِفَا‬ ٍ ‫ ل ِك ْن اُ ْختِ ْي َر نَ ْدبُهَا لِثُبُوْ تِهَا ِم ْن ِع َّد ِة طُ ُر‬.‫ْال َجنَازَ ِة‬
َ .‫ق‬
‫اأْل َ ْي َس َر فِي الثَّانِيَ ِة‬.
(Rukun shalat yang ketiga belas) adalah (salām pertama minimalnya adalah ucapan (‫ا‬
‫ – )ل َّساَل ُم َعلَ ْي ُك ْم‬Salām bagi kalian semua – ) sebab mengikuti Nabi s.a.w. Dimakruhkan
َّ ‫) َعلَ ْي ُك ُم‬, tidak cukup dengan lafazh ( ‫اَل ٌم َعلَ ْي ُك ْم‬ººº‫)س‬
dengan lafazh (‫اَل ُم‬ººº‫الس‬ َ dengan
173

menakirahkan lafazh (‫ ) َساَل ٌم‬dan juga tidak dengan lafazh (ِ ‫ ) َساَل ُم هّللا‬atau lafazh (‫َساَل ِم ْي‬
‫ ) َعلَ ْي ُك ْم‬bahkan lafazh tersebut membatalkan shalat jika disengaja dan menggetahui
keharamannya seperti keterangan di dalam kitab Irsyād milik guru kita.
(Disunnahkan) salām (yang kedua) walaupun imām meninggalkannya. Haram
melakukan salām yang kedua jika setelah salam yang awal terjadi sebuah hal yang
menafikan keabsahan shalat seperti hadats, keluarnya waktu jum‘at dan adanya
penutup aurat bagi seorang yang shalat telanjang. (Disunnahkan) untuk
membarengkan setiap satu dari dua salām besertaan dengan (lafazh ( ِ‫)رحْ َمةُ هللا‬
َ ) tanpa
menambahi lafazh (ُ‫)و بَ َر َكاتُه‬
َ menurut pendapat yang telah dikutip selain dalam shalat
janazah, namun pendapat yang dipilih justru menghukumi sunnah menambahi lafazh
(ُ‫)و بَ َر َكاتُه‬
َ sebab adanya hadits dari beberapa rawi, (dan) besertaan (dengan menoleh di
saat dua salām tersebut) sampai pipi kanan terlihat pada salām pertama dan pipi kiri
pada salām kedua.
 
[ºٌ‫]تَ ْنبِ ْيه‬: ‫ي ال َّساَل َم َعلَى َم ْن اِ ْلتَفَتَ ه َُو إِلَ ْي ِه ِم َّم ْن ع َْن يَ ِم ْينِ ِه بِالتَّ ْسلِ ْي َم ِة‬ َ ‫يُ َس ُّن لِ ُكلٍّ ِمنَ اإْل ِ َم ِام َو ْال َمأْ ُموْ ِم َو ْال ُم ْنفَ ِر ِد أَ ْن يَ ْن ِو‬
‫ َو بِأَيَّتِ ِه َما َشا َء َعلَى َم ْن خَ ْلفَهُ َو أَ َما َمهُ َو‬، ٍّ‫س َو ِجن‬ ٍ ‫ ِم ْن َماَل ئِ َك ٍة َو ُم ْؤ ِمنِ ْي إِ ْن‬،‫ار ِه بِالتَّ ْسلِ ْي َم ِة الثَّانِيَ ِة‬ ُ
ِ ‫ َو ع َْن يَ َس‬،‫اأْل وْ لَى‬
º،‫ َو بِالثَّانِيَ ِة إِ ْن َكانَ ع َْن يَ ِم ْينِ ِه‬،ُ‫ي َساَل َم ْي ِه َشا َء إِ ْن َكانَ َخ ْلفَه‬ ِّ َ ‫ي ال َّر َّد َعلَى اإْل ِ َم ِام بِأ‬ َ ‫ َو لِ ْل َمأْ ُموْ ِم أَ ْن يَ ْن ِو‬.ُ‫ضل‬
َ ‫بِاأْل ُوْ لَى أَ ْف‬
‫ فَيَ ْن ِو ْي ِه َم ْن َعلَى يَ ِم ْي ِن ْال ُم َسلِّ ِم‬،‫ْض‬ ْ ُ
ٍ ‫ي بَعْضُ ْال َمأ ُموْ ِم ْينَ ال َّر َّد َعلَى بَع‬ َ ‫ َو يُ َس ُّن أَ ْن يَ ْن ِو‬.‫ار ِه‬ ِ ‫َو بِاأْل وْ لَى إِ ْن َكانَ ع َْن يَ َس‬
‫ َو بِاأْل ُوْ لَى أَوْ لَى‬،‫ َو َم ْن َخ ْلفَهُ َو أَ َما َمهُ بِأَيَّتِ ِه َما َشا َء‬،‫ار ِه بِاأْل ُوْ لَى‬
ِ ‫بِالتَّ ْسلِ ْي َم ِة الثَّانِيَ ِة َو َم ْن َعلَى يَ َس‬.
(Peringatan). Disunnahkan bagi setiap imām, ma’mūm dan orang yang shalat sendiri
untuk berniat memberi salām dengan salām pertama terhadap orang yang menoleh
padanya dari arah kanan, dan dengan salām kedua terhadap orang yang menoleh dari
arah kirinya, ya‘ni dari malaikat, manusia dan jinn yang mu’min. Dan dengan salām
manapun terhadap orang yang berada di belakang dan depannya, namun dengan
salām pertama lebih baik. Bagi ma’mūm disunnahkan untuk berniat mengembalikan
salām terhadap imām dengan salām manapun jika ma’mūm berada di belakangnya,
dengan salām kedua jika berada di samping kanannya, dan dengan salām pertama
jika berada di samping kirinya. Disunnahkan bagi sebagian ma’mūm untuk berniat
mengembalikan salām terhadap sebagian ma’mūm yang lain, maka sebagian
‫‪174‬‬

‫‪ma’mūm itu berniat mengembalikan salām terhadap orang yang berada di samping‬‬
‫‪kanannya dengan salām kedua, dengan salam pertama terhadap orang yang berada di‬‬
‫‪samping kirinya, dan dengan salām manapun terhadap orang yang berada di arah‬‬
‫‪belakang dan depannya, namun yang lebih utama dengan salām pertama.‬‬
‫‪ ‬‬
‫ف فِ ْي ُوجُوْ بِهَا‪َ ،‬و أَ ْن يُ ْد ِر َج ال َّساَل َم‪َ ،‬و ‪]:‬فُرُوْ ٌ‬
‫ع[‬ ‫صاَل ِة بِالتَّ ْسلِ ْي َم ِة اأْل ُوْ لَى ُخرُوْ جًا ِمنَ ْال ِخاَل ِ‬ ‫ج ِمنَ ال َّ‬ ‫يُ َس ُّن نِيَّةُ ْال ُخرُوْ ِ‬
‫ت‪َ ،‬و أَ ْن يُ َسلِّ َم ْال َمأْ ُموْ ُم بَ ْع َد تَ ْسلِ ْي َمتَي اإْل ِ َم ِام‬
‫‪.‬أَ ْن يَ ْبتَ ِدئَةُ‪ُ º‬م ْستَ ْقبِاًل بِ َوجْ ِه ِه ْالقِ ْبلَةَ‪َ ،‬و أَ ْن يُ ْن ِهيَهُ َم َع تَ َم ِام ااْل ِ ْلتِفَا ِ‬
‫‪(Cabangan Masalah). Disunnahkan untuk berniat keluar dari shalat dengan salām‬‬
‫‪pertama sebab menghindari perbedaan ‘ulamā’ yang mewajibkanya. Sunnah‬‬
‫‪mempercepat bacaan salām,  mengawali salām dengan menghadap qiblat,‬‬
‫‪mengakhiri salām besertaan sempurnanya menoleh dan sunnah bagi ma’mūm untuk‬‬
‫‪melakukan salām setelah dua salām imāmnya.‬‬

‫)و(‬ ‫ب بِتَ ْق ِدي ِْم ُر ْك ٍن فِ ْعلِ ٍّي‪َ ،‬كأ َ ْن َ‬


‫َرابِ َع َع َش َرهَا‪( :‬تَرْ تِيْبٌ بَ ْينَ أَرْ َكانِهَا) ْال ُمتَقَ ِّد َمةَ َك َما ُذ ِك َر‪ .‬فَإ ِ ْن تَ َع َّم َد اإْل ِ ْخاَل َل بِالتَّرْ تِ ْي ِ‬
‫صاَل تُهُ‪ .‬أَ َّما تَ ْق ِد ْي ُم الرُّ ْك ِن ْالقَوْ لِ ِّي فَاَل يَضُرُّ إِاَّل ال َّساَل ِم‪َ .‬و التَّرْ تِيْبُ بَ ْينَ ال ُّسن َِن َكالسُّوْ َر ِة بَ ْع َد‬ ‫ت َ‬ ‫ع‪ ،‬بَطَلَ ْ‬ ‫َس َج َد قَ ْب َل الرُّ ُكوْ ِ‬
‫ب (بِتَرْ ِ‬
‫ك‬ ‫صاَل ِة‪ ،‬شَرْ طٌ لِاْل ِ ْعتِدَا ِ‪º‬د بِ ُسنِّيَّتِهَا‪َ ( ،‬و لَوْ َسهَا َغ ْي ُر َمأْ ُموْ ٍم) فِي التَّرْ تِ ْي ِ‬ ‫ْالفَاتِ َح ِة‪َ ،‬و ال ُّدعَا ِء بَ ْع َد التَّ َشهُّ ِد َو ال َّ‬
‫غ ِم ْثلِ ِه أَتَى‬
‫ك‪ .‬فَإ ِ ْن تَذ َّك َر قَب َْل بُلُوْ ِ‬‫ع‪ ،‬أَوْ َر َك َع قَ ْب َل ْالفَاتِ َح ِة‪ ،‬لَغَا َما فَ َعلَهُ َحتَّى يَأْتِ َي بِ ْال َم ْترُوْ ِ‬ ‫رُ ْك ٍن) َكأ َ ْن َس َج َد قَ ْب َل الرُّ ُكوْ ِ‬
‫ك َرا ِكعًا هَلْ قَ َرأَ ْالفَاتِ َحةَ‪ ،‬أَوْ‬ ‫ك) هُ َو أَيْ َغ ْي ُر ْال َمأْ ُموْ ِم فِ ْي ُر ْك ٍن هَلْ فَ َع َل أَ ْم اَل ‪َ ،‬كأ َ ْن َش َّ‬ ‫بِ ِه‪َ ،‬و إِاَّل فَ َسيَأْتِ ْي بَيَانُهُ‪( .‬أَوْ َش َّ‬
‫َسا ِجدًا هَلْ َر َك َع أَ ِو ا ْعتَد ََل‪( ،‬أَتَى بِ ِه) فَوْ رًا ُوجُوْ بًا (إِ ْن َكانَ ) ال َّش ُّك (قَ ْب َل فِ ْعلِ ِه ِم ْثلَهُ) أَيْ ِم ْث َل ْال َم ْش ُكوْ ِ‬
‫ك فِ ْي ِه ِم ْن َر ْك َع ٍة‬
‫أُ ْخ َرى ( َو إِاَّل ) أَيْ َو إِ ْن لَ ْم يَتَ َذ َّكرْ َحتَّى فَ َع َل ِم ْثلَهُ فِ ْي َر ْكع ٍة أُ ْخ َرى (أَجْ زَأَهُ) ع َْن َم ْترُوْ ِك ِه‪َ ،‬و لَغَا َما بَ ْينَهُ َما‪ .‬ه َذا ُكلُّهُ‬
‫ط هُنَا‬‫صاَل تُهُ‪َ .‬و لَ ْم يُ ْشتَ َر ْ‬ ‫ت َ‬ ‫ك َو َم َحلَّهُ‪ ،‬فَإ ِ ْن َجهَ َل َع ْينَهُ َو َج َّو َز أَنَّهُ النِّيَّةَ أَوْ تَ ْكبِ ْي َرةَ اإْل ِ حْ َر ِام بَطَلَ ْ‬
‫إِ ْن َعلِ َم َع ْينَ ْال َم ْترُوْ ِ‬
‫طا َل ْالفَصْ ُل َعلَى اأْل َوْ َج ِه‪ .‬أَوْ أَنَّهُ َغي َْرهُ َما أَ َخ َذ بِاأْل َس َْوأَ َو‬ ‫ض ُّي ُر ْك ٍن‪ ،‬أَوْ أَنَّهُ ال َّساَل ُم يُ َسلِّ ُم‪َ ،‬و إِ ْن َ‬‫طُوْ ُل فَصْ ٍل َو اَل ُم ِ‬
‫صاَل ِة َك ُسجُوْ ِد تِاَل َو ٍة لَ ْم يُجْ ِز ْئهُ‪ .‬أَ َّما‬
‫صاَل تِ ِه‪ .‬نَ َع ْم‪ ،‬إِ ْن لَ ْم يَ ُك ِن ْال ِم ْث ُل ِمنَ ال َّ‬‫ك) ْالبَاقِ ْي ِم ْن َ‬ ‫بَنَى َعلَى َما فَ َعلَهُ‪َ ( ،‬و تَدَا َر َ‬
‫ك ْالفَاتِ َحةَ فَيَ ْق َر ُؤهَا َو يَ ْس َعى َخ ْلفَهُ‪َ ،‬و بَ ْع َ‪º‬د رُ ُكوْ ِع ِه َما لَ ْم‬ ‫ع إِ َما ِم ِه أَنَّهُ ت ََر َ‬ ‫َمأْ ُموْ ٌم َعلِ َم أَوْ َش َّ‬
‫ك قَ ْب َل ُر ُكوْ ِع ِه َو بَ ْع َد ُر ُكوْ ِ‬
‫‪.‬يَ ُع ْد إِلَى ْالقِيَ ِام لِقِ َرا َءتِ ِه ْالفَاتِ َحةَ بَلْ يَتَّبِ ُع إِ َما َمهُ َو يُ َ‬
‫صلِّ ْي َر ْك َعةً بَ ْع َد َساَل ِم اإْل ِ َم ِام‬
‫‪(Rukun shalat yang keempat belas adalah tartib) di antara rukun-rukun yang telah‬‬
‫‪disebut sebelumnya. Maka jika ada kesengajaan merusak tartib dengan‬‬
‫‪mendahulukan rukun fi‘lī seperti sujūd sebelum rukū‘ maka batallah shalatnya.‬‬
‫‪Sedangkan mendahulukan rukun qaulī hukumnya tidaklah masalah kecuali salām.‬‬
175

Tartib di antara sunnah seperti surat-suratan setelah membaca al-Fātiḥah, doa


sebelum bacaan tasyahhud dan shalawat merupakan syarat untuk mendapatkan
kesunnahannya. (Jikalau selain ma’mūm lupa) di dalam tartib (dengan meninggalkan
satu rukun) seperti sujūd sebelum rukū‘ atau rukū‘ sebelum membaca a-Fātiḥah,
maka apa yang telah dikerjakan tiada gunanya sampai ia mengerjakan terhadap
rukun yang ditinggal. Jika ia ingat sebelum sampai rukun yang sama dengan yang
ditinggal, maka baginya harus mengerjakan rukun yang ditinggal dan jika tidak
semacam itu, maka keterangannya akan dijelaskan nanti. (Atau selain ma’mūm ragu)
di dalam rukun, apakah telah mengerjakannya atau belum, seperti keraguan orang
yang rukū‘, apakah telah membaca al-Fātiḥah?, atau keraguan orang yang sujūd,
apakah telah rukū‘ atau i‘tidāl?, (maka wajib baginya untuk segera mengerjakan
rukun yang diragukan jika keraguan tersebut sebelum mengerjakan rukun yang
menyamai) terhadap rukun yang diragukan dari raka‘at lain. (Jika ia tidak ingat)
sampai mengerjakan terhadap rukun yang diragukan dalam raka‘at lain (maka hal
tersebut mencukupi baginya) dari rukun yang ditinggalkan dan rukun yang berada di
antara keduanya tidak berarti.
Ini semua jika ia tahu persis bentuk rukun yang ditinggal dan tempatnya, jika ia tidak
tahu dan ia menduga niat dan takbīrat-ul-iḥrām, maka shalatnya batal. – Dalam bab
ini tidak disyaratkan harus adanya pemisah yang lama dan juga tidak lewatnya satu
rukun – , atau ia menduga salām, maka baginya harus salām walaupun waktu
pemisahnya telah lama menurut pendapat yang aujah, atau menduga selain dari
keduanya, maka ambillah yang lebih hati-hati dan teruskan atas apa yang telah
dikerjakan, (setelah itu penuhilah kekurangan) sisa shalat. Benar bila telah sampai
rukun yang sama mencukupi dari rukun yang ditinggal namun jika rukun yang sama
tersebut bukan dari bagian shalat seperti sujūd tilāwah, maka hukumnya tidak
mencukupi. Sedangkan ma’mūm yang mengetahui atau ragu sebelum rukū‘nya dan
setelah rukū‘nya imām bahwa dirinya meninggalkan al-Fātiḥah, maka bacalah al-
Fātiḥah tersebut dan kejarlah imām. Bila hal itu terjadi setelah rukū‘nya dan rukū‘
176

imām, maka tidak diperbolehkan baginya untuk kembali berdiri untuk membaca al-
Fātiḥah namun ikutilah imām dan shalatlah satu raka‘at setelah salām imām.
 
َ ‫ )س َُّن ُد ُخوْ ُل‬:ُ‫صاَل ِة قَا ُموْ ا ُك َسالَى} َو ْال َك َسل‬
ٌ ْ‫]فَر‬: (‫صاَل ٍة بِنَ َشا ٍط‬
[‫ع‬ ِ ‫أِل َنَّهُ تَ َعالَى َذ َّم ت‬
َّ ‫ { َو إِ َذا قَا ُموْ ا إِلَى ال‬:‫َار ِك ْي ِه بِقَوْ لِ ِه‬
َ ‫ ( َو) س َُّن (فِ ْيهَا) أَيْ فِ ْي‬.‫ع‬
،‫صاَل تِ ِه ُكلِّهَا‬ ِ ْ‫ب) ِمنَ ال َّش َوا ِغ ِل أِل َنَّهُ أَ ْق َربُ إِلَى ْال ُخ ُشو‬
ٍ ‫اغ قَ ْل‬
ِ ‫ ( َو فِ َر‬.‫ْالفُتُوْ ُر َو التَّ َوانِ ْي‬
َ‫ َو ذلِك‬،‫ث بِأ َ َح ِدهَا‬َ َ‫ار ِح ِه) بِأ َ ْن اَل يَ ْعب‬
ِ ‫ ( َو بِ َج َو‬.‫ق بِاآْل ِخ َر ِة‬ َ َّ‫ض َر فِ ْي ِه َغ ْي َر َما هُ َو فِ ْي ِه َو إِ ْن تَ َعل‬ِ ْ‫ع بِقَ ْلبِ ِه) بِأ َ ْن اَل يُح‬
ٌ ْ‫( ُخ ُشو‬
‫اشعُوْ نَ } َو اِل ْنتِفَا ِء‬
ِ َ‫صاَل تِ ِه ْم خ‬َ ‫ {قَ ْد أَ ْفلَ َح ْال ُم ْؤ ِمنُوْ نَ الَّ ِذ ْينَ هُ ْم فِ ْي‬:‫لِثَنَا ِء هللاِ تَ َعالَى فِ ْي ِكتَابِ ِه ْال َع ِزي ِْز َعلَى فَا ِعلَ ْي ِه بِقَوْ لِ ِه‬
‫ َو ِم َّما‬.‫ص َّح ِة‬ ِّ ‫ َو أِل َ َّن لَنَا َوجْ هًا اِ ْختَا َرهُ َج ْم ٌع أَنَّهُ شَرْ طٌ لِل‬.ُ‫َّح ْي َحة‬
ِ ‫ْث الص‬ ُ ‫ت َعلَ ْي ِه اأْل َ َحا ِدي‬ْ َّ‫صاَل ِة بِا ْنتِفَائِ ِه َك َما َدل‬ ِ ‫ثَ َوا‬
َّ ‫ب ال‬
‫ َو أَنَّكَ ُربَّ َما تَ َجلَّى َعلَ ْي ِه‬،‫َاج ْي ِه‬
ِ ‫ يُن‬.‫ك الَّ ِذيْ يَ ْعلَ ُم ال ِّس َّر َو أَ ْخفَى‬ِ ْ‫ك ْال ُملُو‬ِ َ‫ضا ُرهُ أَنَّهُ بَ ْينَ يَ َديْ َمل‬
َ ْ‫ص ُل ْال ُخ ُشوْ ع ا ْستِح‬ ُ ْ‫يَح‬
ٌّ ‫ارفُ بِاهللِ ُم َح َّم ٌد ْالبَ ْك ِر‬
:‫ي رضي هللا عنه‬ ْ ُ‫ َو قَا َل َسيِّ ِديْ ْالق‬.ُ‫صاَل تَه‬
ِ ‫طبُ ْال َع‬ ِّ ‫بِ ْالقَه ِْر لِ َعد َِم ْالقِيَ ِام بِ َح‬
َ ‫ق ُربُوْ بِيَّتِ ِه فَ َر َّد َعلَ ْي ِه‬
َ‫ {أَفَاَل يَتَ َدبَّرُوْ ن‬:‫ قَا َل تَ َعالَى‬.‫ع َو ال ُّسجُوْ ِد ( َو تَ َدبُّ ُر قِ َرا َء ٍة) أَيْ تَأ َ ُّم ِل َم َعانِ ْيهَا‬ِ ْ‫ث ْال ُخ ُشوْ َع إِطَالَةُ الرُّ ُكو‬ ُ ‫إِ َّن ِم َّما يُوْ ِر‬
‫ ( َو) س َُّن (إِدَا َمةُ نَظَ ٍر َم َح َّل‬،‫ ( َو) تَ َدبُّ ُر ( ِذ ْك ٍر) قِيَاسًا َعلَى ْالقِ َرا َء ِة‬.‫ع‬ ِ ْ‫ْالقُرْ آنَ } َو أِل َ َّن بِ ِه يَ ْك َم ُل َم ْقصُوْ ُد ْال ُخ ُشو‬
.‫صاَل ِة ْال َجنَا َز ِة‬
َ ‫ أَوْ فِ ْي‬،‫الظ ْل َم ِة‬ُّ ‫ َو إِ ْن َكانَ ِع ْن َد ْال َك ْعبَ ِة أَوْ فِي‬،‫ َو لَوْ أَ ْعم ًى‬،‫ع‬ ِ ْ‫ُسجُوْ ِد ِه) أِل َ َّن ذلِكَ أَ ْق َربُ إِلَى ْال ُخ ُشو‬
‫ َو اَل يُ ْك َرهُ تَ ْغ ِميْضُ َع ْينَ ْي ِه إِ ْن لَ ْم‬،‫ْح فِ ْي ِه‬ َ ‫ص َر نَظَ َرهُ َعلَى ُم َسبِّ َحتِ ِه ِع ْن َد َر ْف ِعهَا فِي التَّ َشهُّ ِد لِ َخبَ ٍر‬
ٍ ‫ص ِحي‬ ِ ‫ ال ُّسنَّةُ أَ ْن يَ ْق‬،‫نَ َع ْم‬
‫ض َررًا‬ ْ ‫يَخ‬.
َ ‫َف‬
(Cabangan Masalah). Disunnahkan masuk mengerjakan shalat dengan semangat
sebab Allah s.w.t. mencela terhadap orang yang meninggalkan hal itu dalam firman-
Nya yang artinya: “Dan ketika orang-orang munāfiq mengerjakan shalat, maka
ْ dalam firman
mereka mengerjakan dengan bermalas-malasan.” Lafazh (‫ ُل‬º ‫)ال َك َس‬
Allah di atas berma‘na tidak semangat dan malas. (Dan mengosongkan hati) dari
berbagai macam urusan sebab hal itu lebih mendekatkan terhadap khusyū‘.
(Disunnahkan di dalam) seluruh shalat (untuk khusyū‘ dengan hatinya) dengan cara
tidak menghadirkan selain hal yang sedang dijalani walaupun urusan akhirat.
(Khusyū‘ dengan anggota tubuhnya) dengan cara tidak bermain dengan salah satu
anggota itu.
Kesunnahan itu karena pujian Allah s.w.t. terhadap pelakunya di dalam Kitāb-Nya
yang mulia yang artinya: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman ya‘ni
orang-orang yang khusyū‘ di dalam shalatnya,” dan sebab hilangnya pahala sebab
tiadanya khusyū‘ seperti yang telah ditunjukkan hadits-hadits Nabi s.a.w. yang
177

shaḥīḥ, dan sebab adanya satu pendapat yang dipilih sekelompok ‘ulamā’ bahwa
khusyū‘ merupakan syarat sah shalat. Sebagian hal yang dapat menghasilkan
khusyū‘ adalah membayangkan bahwa dirinya berada di sisi raja diraja yang
mengetahui perkara yang samar dan paling samar sedang berbisik kepadanya, dan
membayangkan bahwa Allah tampak jelas dengan memaksa terhadap orang yang
meninggalkan khusyū‘ sebab hak ketuhanannya tidak dipenuhi hingga shalatnya
tidak diterima. Sayyid al-Quthb al-‘Ārif Billāh Muḥammad al-Bakriyyī r.a.
mengatakan bahwa sebagian hal yang dapat mewariskan kekhusyū‘an adalah
memanjangkan rukū‘ dan sujūd. (Disunnahkan untuk merenungkan ma‘na-ma‘na
bacaan al-Qur’ān). Allah berfirman yang artinya: “Apakah mereka semua tidak
merenungkan ma‘na al-Qur’an.” Dan dengan hal itu, maka sempurnalah tujuan
dari khusyū‘ (dan) merenungkan (ma‘na dzikir) disamakan dengan bacaan al-
Qur’ān. (Sunnah untuk tidak memalingkan pandangan dari tempat sujūdnya) sebab
hal itu lebih mendekatkan terhadap khusyū‘ walaupun orang buta – dan walaupun di
depan Ka‘bah, di kegelapan atau dalam shalat janazah. Benar sunnah untuk selalu
melihat tempat sujūdnya, namun disunnahkan untuk hanya melihat jari telunjuk saat
jari tersebut diangkat dalam tasyahhud akhir sebab adanya hadits yang shaḥīḥ. Tidak
dimakruhkan untuk memejamkan kedua matanya jika tidak ditakutkan bahaya.
 
[ٌ‫]فَائِ َدة‬: ُ‫ َو الَّ ِذيْ يَتَّ َجه‬.ٌ‫ َو فِ ْي ُع ُموْ ِم ِه نَظَر‬:‫ قَا َل َش ْي ُخنَا‬.‫صاَل ِة‬
َّ ‫ك َش ْي ٍء ِم ْن ُسنَ ِن ال‬ُ ْ‫صلِّي ال َّذ َك َر َو َغ ْي َرهُ تَر‬ َ ‫يُ ْك َرهُ لِ ْل ُم‬
ِ ْ‫ف فِي ْال ُوجُو‬
‫ب‬ ٌ ‫صهُ بِ َما َو َر َد فِ ْي ِه نَ ْه ٌي أَوْ ِخاَل‬
ُ ‫ص ْي‬ ِ ‫ت َْخ‬.
(Fā’idah). Dimakruhkan bagi seorang yang shalat, lelaki maupun yang lainnya
meninggalkan sesuatu dari kesunnahan shalat. Guru kita berkata: Keumuman hal
tersebut masih perlu dipertimbangkan sedang pendapat yang tepat adalah
mengkhususkan kemakruhan itu terhadap sesuatu yang terdapat larangan untuk
meninggalkan atau perbedaan dalam kewajibannya

(‫ أَيْ يُ َس ُّن اإْل ِ ْس َرا ُر بِ ِه َما لِ ُم ْنفَ ِر ٍد َو َمأْ ُموْ ٍم َو إِ َم ٍام لَ ْم ي ُِر ْد تَ ْعلِ ْي َم ) َو‬.‫صاَل ِة‬ َّ ‫ي ال‬ ِ َ‫س َُّن ( ِذ ْك ٌر َو ُدعَا ٌء ِس ًّرا َعقِبَهَا) أ‬
‫ت ُج ْملَةً ِم ْنهَا فِ ْي ِكتَابِ ْي ِإرْ َشا ُد ْال ِعبَا ِد‬ ُ ْ‫ْث َكثِي َْرةٌ َذكَر‬ ٌ ‫ َو َو َر َد فِ ْي ِه َما أَ َحا ِدي‬.‫ض ِر ْينَ َو اَل تَأْ ِم ْينَهُ ْم لِ ُدعَائِ ِه بِ َس َما ِع ِه‬
ِ ‫ْال َحا‬
178

‫ أَيُّ ال ُّدعَا ِء أَ ْس َمعُ؟ أَيْ أَ ْق َربُ إِلَى اإْل ِ َجابَ ِة؟‬:ِ‫ “قِ ْي َل لِ َرسُوْ ِل هللا‬:‫ َو َر َوى التِّرْ ِم ِذيُّ ع َْن أَبِ ْي أُ َما َمةَ قَا َل‬.‫اطلُ ْبهُ فَإِنَّهُ ُم ِه ٌّم‬
ْ َ‫ف‬
‫ “ ُكنَّا َم َع النَّبِ ِّي فَ ُكنَّا إِ َذا‬:‫ال‬ َ َ‫ َو َر َوى ال َّش ْي َخا ِن ع َْن أَبِ ْي ُموْ َسى ق‬.”‫ت‬ ِ ‫ت ْال َم ْكتُوْ بَا‬ َّ ‫ َو ُدبُ ُر ال‬،‫ َجوْ فُ اللَّ ْي ِل‬:‫قَا َل‬
ِ ‫صلَ َوا‬
َ‫ يَأَيُّهَا النَّاسُ اِرْ بِعُوْ ا َعلَى أَ ْنفُ ِس ُك ْم فَإِنَّ ُك ْم اَل تَ ْد ُعوْ ن‬:‫ال النَّبِ ُّي‬
َ َ‫ فَق‬،‫ت أَصْ َواتُنَا‬ ْ ‫أَ ْش َر ْفنَا َعلَى َوا ٍد هَلَّ ْلنَا َو َكبَّ ُرنَا َو ارْ تَفَ َع‬
‫ال ال َّشافِ ِع ُّي فِي‬ َ َ‫ َو ق‬.‫ار بِال ِّذ ْك ِر َو ال ُّدعَا ِء‬ ِ ‫ اِحْ تَ َّج بِ ِه ْالبَ ْيهَقِ ُّي َو َغ ْي ُرهُ لِإْل ِ ْس َر‬.” ٌ‫ إِنَّهُ َح ِك ْي ٌم َس ِم ْي ٌع قَ ِريْب‬،‫ص َّم َو اَل غَائِبًا‬
َ َ‫أ‬
‫ إِاَّل أَ ْن يَ ُكوْ نَ إِ َما ًما ي ُِر ْي ُد‬،‫ َو ي ُْخفِيَا ال ِّذ ْك َر‬،‫صاَل ِة‬َّ ‫ أَ ْختَا ُر لِإْل ِ َم ِام َو ْال َمأْ ُموْ ِم أَ ْن يَ ْذ ُك َرا هللاَ تَ َعالَى بَ ْع َد ال َّساَل ِم ِمنَ ال‬:‫اأْل ُ ِّم‬
ْ ِ‫صاَل تِكَ َو اَل تُخَاف‬
‫ت‬ َ ِ‫ { َو اَل تَجْ هَرْ ب‬:ُ‫ فَإ ِ َّن هللاَ تَ َعالَى يَقُوْ ل‬، ُّ‫أَ ْن يُتَ َعلَّ َم ِم ْنهُ فَيَجْ هَ ُر َحتَّى يَ َرى أَنَّهُ قَ ْد تُ َعلِّ َم ِم ْنهُ ثُ َّم يُ ِسر‬
‫ ِا ْنتَهَى‬. َ‫ت َحتَّى اَل تُ ْس ِم َع نَ ْف َسك‬
ْ ِ‫ َو اَل تُخَاف‬،‫ك‬َ ‫ َو اَل تَجْ هَرْ َحتَّى تُ ْس ِم َع َغ ْي َر‬،‫ َو هللاُ أَ ْعلَ ُم ال ُّدعَا ُء‬ ‫بِهَا} يَ ْعنِ ْي‬.
(Disunnahkan berdzikir dan berdoa dengan pelan setelah shalat). Maksudnya
disunnahkan untuk melakukan keduanya dengan pelan bagi seorang yang shalat
sendiri, ma’mūm dan imām yang tidak ingin mengajarkan ma’mūm yang hadir dan
juga tidak ingin bacaan amin dari ma’mūm sebab mendengar doa dari sang imām.
Dalam dzikir dan doa ini terdapat beberapa hadits yang banyak yang telah saya
sebutkan sebagian darinya dalam kitabku yang bernama Irsyād-ul-‘Ibād, maka
carilah kitab tersebut sebab kitab itu sangat penting. Imām Tirmidzī meriwayatkan
dari Abū Umāmah yang berkata: Rasūl s.a.w. ditanya: Doa manakah yang lebih
cepat dikabulkan? Rasūl menjawab: Doa di tengah malam dan setelah shalat
fardhu Dua guru kita Imām Bukhārī (dan) Muslim meriwayatkan dari Abū Mūsā
yang berkata: Kami bersama Nabi s.a.w., lalu sesampainya kami di dekat jurang,
maka kami membaca tahlīl dan bertakbīr dan suara-suara kami sangat lantang, lantas
Rasūl s.a.w. bersabda: Wahai manusia, kasihanilah diri kalian, sungguh kalian
tidak berdoa terhadap Dzāt yang tuli dan Dzāt yang tidak hadir. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Bijaksana, Maha Mendengar dan Maha Dekat. Hadits itu
dijadikan dasar oleh Imām Baihaqī dan selainnya untuk melirihkan suara terhadap
dzikir dan doa. Imām Syāfi‘ī menyatakan dalam kitab al-Umm: Saya memilih bagi
seorang imām dan ma’mūm untuk berdzikir kepada Allah setelah salām dari shalat
dan melirihkan terhadap dzikir kecuali ia menjadi imām yang menghendaki untuk
mengajari ma’mūm, maka imām mengeraskan suaranya sampai imām melihat bahwa
ma’mūm telah mengikutinya lantas imām melirihkan suaranya, sesungguhnya Allah
telah berfirman yang artinya: Janganlah kalian mengeraskan doa kalian dan
179

janganlah melirihkannya. Maksudnya adalah doa, janganlah kamu mengeraskan


doa sampai terdengar orang lain dan jangan melirihkannya sampai tidak terdengar
olehmu. – selesai – Maqālah Imām Syāfi‘ī.

 
َ ‫ص ُل تَ ْش ِويْشٌ َعلَى ُم‬
[ٌ‫]فَائِ َدة‬: ‫صلٍّ فَيَ ْنبَ ِغ ْي حُرْ َمتُهَا‬ ُ ‫ أَ َّما ْال ُمبَالَ َغةُ فِي ْال َجه ِْر بِ ِه َما فِي ْال َم ْس ِج ِد بِ َحي‬:‫قَا َل َش ْي ُخنَا‬.
َ ْ‫ْث يَح‬
(Fā’idah) Guru kita berkata: Terlalu keras dalam berdzikir dan berdoa di dalam
masjid sekira mengganggu terhadap orang yang shalat sebaiknya hukumnya haram.
 
ٌ ْ‫]فُرُو‬: ‫ َو تَأْ ِميْنُ َمأْ ُموْ ٍم َس ِم َع ُدعَا ِء‬. َ‫ َو ْال َخ ْت ُم بِ ِه َما َو بِآ ِم ْين‬،‫صاَل ِة َعلَى النَّبِ ِّي‬
[‫ع‬ َّ ‫يُ َس ُّن اِ ْفتِتَا ُح ال ُّدعَا ِء بِ ْال َح ْم ِد هّلل ِ َو ال‬
‫ َو ا ْستِ ْقبَا ُل ْالقِ ْبلَ ِة َحالَةَ ال ِّذ ْك ِر‬.ُ‫ َو َم ْس ُح ْال َوجْ ِه بِ ِه َما بَ ْع َده‬،‫ َو َر ْف ُع يَ َد ْي ِه الطَّا ِه َرتَ ْي ِن َح ْذ َو َم ْن ِكبَ ْي ِه‬.‫ك‬ َ ِ‫ َو إِ ْن َحفَظَ ذل‬،‫اإْل ِ َم ِام‬
‫ض ُل َج ْع ُل يَ ِم ْينِ ِه‬ َ ‫ض ُل لَهُ فَاأْل َ ْف‬ َ ‫صاَّل هُ الَّ ِذيْ هُ َو أَ ْف‬
َ ‫ك ْالقِيَا َم ِم ْن ُم‬ َ ‫ أَ َّما اإْل ِ َما ُم إِ َذا تَ َر‬.‫ إِ ْن َكانَ ُم ْنفَ ِردًا أَوْ َمأْ ُموْ ًما‬،‫أَ ِو ال ُّدعَا ِء‬
ُ‫ص َرافُهُ اَل يُنَافِ ْي نَ ْدبُ ال ِّذ ْك ِر لَهُ َعقِبَهَا أِل َنَّه‬ َ َ‫ ق‬.‫اره إِلَى ْالقِ ْبلَ ِة‬ ْ
ِ ‫ َو ا ْن‬.‫ َو لَوْ فِي ال ُّدعَا ِء‬:‫ال َش ْي ُخنَا‬ ِ ‫إِلَى ْال َمأ ُموْ ِم ْينَ َو يَ َس‬
‫ضيَّةُ كَاَل ِم ِه ْم‬ ِ َ‫ َو ق‬.ُ‫ت بِ ِه َك َمالُهُ اَل َغ ْي ُره‬ ُ ِ‫ َو إِنَّ َما ْالفَائ‬،‫ت بِفِ ْع ِل الرَّاتِبَ ِة‬ُ ْ‫ َو اَل يَفُو‬،‫ص ِرفُ ِإلَ ْي ِه‬ َ ‫يَأْتِ ْي بِ ِه فِ ْي َم َحلِّ ِه الَّ ِذيْ يَ ْن‬
‫ارئُهُ َو‬ ِ َ‫ْب ق‬ ِ ْ‫ َو اَل يَأْتِ ْي ه َذا فِي ْالقُر‬. ُّ‫ َو نَظَ َر فِ ْي ِه اأْل َ ْسن َِوي‬،ُ‫حُ صُوْ ُل ثَ َوابُ ال ِّذ ْك ِر َو إِن َجهَ َل َم ْعنَاه‬
َ ‫آن لِلتَّ َعبُّ ِد بِلَ ْف ِظ ِه فَأُثِي‬
‫ اِ ْنتَهَى‬.‫ْرفَهُ َو لَوْ بِ َوجْ ٍه‬ ِ ‫ف ال ِّذ ْك ِر اَل بُ َّد أَ ْن يَع‬ ِ ‫ بِ ِخاَل‬،ُ‫ف َم ْعنَاه‬ ِ ‫إِ ْن لَ ْم يَع‬.
ْ ‫ْر‬
(Cabangan Masalah). Disunnahkan untuk mengawali doa dengan memuji Allah
dan shalawat atas Nabi s.a.w. dan mengakhiri dengan keduanya dan dengan amin.
Sunnah membaca amin bagi ma’mūm yang mendengar doa sang imām walaupun
ma’mūm hafal dengan doa tersebut. Sunnah mengangkat kedua tangan yang suci
sejajar dengan kedua pundaknya, mengusap wajah dengan keduanya setelah berdoa,
menghadap qiblat saat berdzikir dan doa, jika shalat sendiri atau menjadi seorang
ma’mūm. Sedangkan imam, jika tidak beranjak dari tempat shalatnya, maka yang
lebih utama baginya adalah menjadikan sisi tubuh sebelah kanannya menghadap
ma’mūm dan sisi kirinya menghadap qiblat. Guru kita berkata: Walaupun pada
waktu berdoa. Beranjaknya imām tidak menghilangkan kesunnahan dari dzikir
baginya setelah itu sebab imām dapat mengerjakan dzikir tersebut di tempat yang
dituju. Dzikir tidak hilang kesunnahannya dengan melakukan shalat rawātib, sedang
yang hilang hanyalah kesempurnaannya, bukan selain itu. Komentar dari para
180

‘ulamā’ memberikan pemahaman bahwa pahala dzikir dapat didapat walaupun tidak
mengerti ma‘nanya. Imām Asnawī membuat penyamaan hukum dalam masalah ini
dan penyamaan ini tidak akan terjadi dalam kasus membaca al-Qur’ān sebab al-
Qur’ān memang difungsikan untuk dibuat ibadah bagi pembacanya walaupun tidak
mengerti ma‘nanya berbeda dengan masalah dzikir yang diharuskan mengetahui
ma‘nanya, walaupun dari satu sisi. – Selesai.
 
،‫صفٍّ أَو ٍَّل‬ َ ‫ نَحْ ِو‬،ٌ‫ض ْيلَة‬ ِ َ‫ارضْ هُ ف‬ ُ ‫ض ُع َحي‬
ِ ‫ْث لَ ْم تُ َع‬ ِ ْ‫صاَل تِ ِه ِليَ ْشهَ َد لَهُ ْال َمو‬ َ ‫ض ِع‬ ِ ْ‫ض أَوْ نَ ْف ٍل ِم ْن َمو‬ ٍ ْ‫َو يُ ْندَبُ أَ ْن يَ ْنتَقِ َل ِلفَر‬
‫ إِاَّل فِ ْي نَافِلَ ِة‬،‫ أَوْ تَهَا ُونًا بِ ِه‬،ُ‫ض ُل إِ ْن أَ ِمنَ فَوْ تَه‬َ ‫ف فِ ْي بَ ْيتِ ِه أَ ْف‬
ِ ‫ َو النَّ ْف ُل لِ َغي ِْر ْال ُم ْعتَ ِك‬.‫ص َل بِكَاَل ِم إِ ْن َسا ٍن‬
َ َ‫فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْنتَقِلْ ف‬
‫ َو أَ ْن يَ ُكوْ نَ ا ْنتِقَا ُل ْال َمأْ ُموْ ِم بَ ْع َد ا ْنتِقَا ِل‬،‫ أَوْ َو َر َد فِي ْال َم ْس ِج ِد َكالضُّ َحى‬،ُ‫ أَوْ َما س َُّن فِ ْي ِه ْال َج َما َعة‬،‫ْال ُم ْب ِك ِر لِ ْل ُج ْم َع ِة‬
‫إِ َما ِم ِه‬.
Disunnahkan untuk berpindah tempat karena melaksanakan shalat fardhu ataupun
shalat sunnah dari tempat shalatnya supaya tempat tersebut menjadi saksi baginya
sekira tidak menghilangkan fadhīlah semacam shaf awal. Jika tidak mau berpindah
tempat, maka pisahlah dengan menggunakan ucapan manusia. Shalat sunnah di
rumah bagi selain orang yang i‘tikāf lebih utama – dibanding dilaksanakan di masjid
– jika tidak khawatir habisnya waktu atau mengabaikannya, kecuali shalat yang
disunnahkan untuk berada di awal waktu di hari Jum‘at, yang disunnahkan
berjamā‘ah atau shalat yang Nabi s.a.w. laksanakan di masjid seperti shalat Dhuḥā.
Disunnahkan berpindahnya ma’mūm setelah berpindahnya imām.
 
(‫ب‬َ ‫ َو َما بَ ْينَهُ َو بَ ْينَ ) َو نُ ِد‬.‫اع فَأ َ ْكثَ َر‬
ٍ ‫ص طُوْ ُل ارْ تِفَا ِع ِه ثُلُثَا ِذ َر‬ ِ ‫َار) أَوْ َع ُموْ ٍد ِم ْن ُكلِّ َش‬
ٍ ‫اخ‬ ٍ ‫صلٍّ (تَ َوجُّ هٌ لِنَحْ ُو ِجد‬ َ ‫لِ ُم‬
ٍ ‫ ثُ َّم إِ ْن ع َِج َز َع ْنهُ (فَــــ) لِنَحْ ِو ( َعصًا َم ْغرُوْ زَ ةً) َك َمت‬،َّ‫ُع فَأَقَل‬
َ ‫ (فَـــــ) إِ ْن لَ ْم يَ ِج ْدهُ نُ ِد‬،‫َاع‬
‫ب‬ ٍ ‫صلِّ ْي ثَاَل ثَةُ أَ ْذر‬
َ ‫ب ْال ُم‬
ِ ِ‫َعق‬
‫ لِ َخبَ ِر أَبِ ْي‬،‫ َو ه َُو أَوْ لَى‬، ‫ُع َعرْ ضًا أَوْ طُوْ اًل‬ ًّ ‫ ثُ َّم إ ْن َع ِج َز َع ْنهُ خَطَّ أَمامهُ خ‬،‫صلًّى) َك َسجَّا َد ٍة‬
ٍ ‫َطا فِ ْي ثَاَل ثَ ِة أَ ْذر‬ َ َ ِ َ ‫(بَ ْسطُ ُم‬
،‫طًا‬
ّ ‫ فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن َم َعهُ َعصًا فَ ْليَ ُخطَّ َخ‬،‫صبْ َعصًا‬ ِ ‫ فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ِج ْد فَ ْليَ ْن‬،‫صلَّى أَ َح ُد ُك ْم فَ ْليَجْ َعلْ أَ َما َم َوجْ ِه ِه َش ْيئًا‬
َ ‫ “إِ َذا‬:َ‫دَاود‬
‫ َو التَّرْ تِيْبُ ْال َم ْذ ُكوْ ُر‬.‫ظهَ ُر فِي ْال ُم َرا ِد‬ ْ َ‫ َو قُ ِّد َم َعلَى ْال َخطِّ أِل َنَّهُ أ‬،‫صلَّى‬
َ ‫ْس بِ ْال َخطِّ ْال ُم‬
َ ‫ َو قِي‬.”ُ‫ثُ َّم اَل يَضُرُّ هُ َما َم َّر أَ َما َمه‬
.‫َت َك ْال َعد َِم‬ْ ‫ فَ َمتَى َع َد َل ع َْن ُر ْتبَ ٍة إِلَى َما ُدوْ نَهَا َم َع ْالقُ ْد َر ِة َعلَ ْيهَا َكان‬.ِّ‫ ِخاَل فًا لِ َما يُوْ ِهمهُ كَاَل ُم ابنُ ْال ُم ْق ِري‬،ُ‫هُ َو ْال ُم ْعتَ َمد‬
َ ‫صفٍّ ُس ْت َرةٌ لِ َم ْن خَ ْلفَهُ إِ ْن قَر‬
َ َ‫ ق‬.ُ‫ُب ِم ْنه‬
‫ال‬ ِ ‫َو يُ َس ُّن أَ ْن اَل يَجْ َع َل ال ُّس ْت َرةَ ت َْلقَا َء َوجْ ِه ِه بَلْ ع َْن يَ ِم ْينِ ِه أَوْ يَ َس‬
َ ُّ‫ َو ُكل‬،‫ار ِه‬
‫ اِ ْنتَهَى‬.ُ‫ ُس ْت َرةُ اإْل ِ َم ِام ُس ْت َرةُ َم ْن خَ ْلفَه‬: ُّ‫البَغ َِوي‬.
ْ
181

(Disunnahkan) bagi seorang yang shalat (untuk menghadap sejenis dinding) atau
tiang ya‘ni dari setiap perkara yang tampak dengan tinggi 2/3 hasta lebih, dan jarak
antara dinding dengan tumit orang shalat 3 hasta ke bahwa. Lantas jika tidak mampu
dari sejenis dinding, maka dengan sejenis tongkat yang ditancapkan seperti perkakas.
Jika tidak menemukannya, maka disunnahkan membentangkan tempat shalat seperti
sajadah, lantas jika tidak mampu maka menggaris di depannya dengan panjang dan
lebar 3 hasta.
Menggaris dengan memanjang ini lebih utama dibanding melebar sebab hadits yang
diriwayatkan oleh Abū Dāwūd: Ketika salah satu di antara kalian shalat, maka
jadikanlah di depan wajah kalian sesuatu, jika tidak ditemukan, maka tegakkanlah
tongkat, jika ia tidak membawa tongkat, maka garislah, kemudian tidak akan
membahayakan sesuatu yang melintas di depannya. Disamakan dengan garis adalah
tempat shalat, dan ia lebih didahulukan dari pada garis sebab tempat shalat seperti
sajadah tersebut lebih jelas dari yang dikehendaki. Tartib yang telah disebutkan
adalah pendapat yang mu‘tamad, berbeda dengan pendapat dari pemahaman
komentar Imām Ibn-ul-Muqrī. Jika seseorang beralih dari penggunaan tingkat teratas
menuju tingkat sebawahnya besertaan mampu untuk tingkat teratas tersebut, maka
penggunaan itu dianggap seperti tidak ada. Disunnahkan untuk tidak menjadikan
sutrah atau penghalang tepat di depan wajahnya, namun jadikanlah di samping
kanan atau kirinya. Setiap barisan merupakan sutrah bagi orang yang berada di
belakangnya jika jaraknya dekat. Imām Baghawī menyatakan: Sutrah-nya imām
adalah sutrah-nya ma’mūm yang ada di belakangnya. – Selesai – .
 
‫ ُك ٌّل ُمحْ تَ َم ٌل َو ظَا ِه ُر قَوْ لِ ِه ْم‬:‫ت ال ُّس ْت َرةُ َو ْالقُرْ بُ ِمنَ اإْل ِ َم ِام أَ ِو الصَّفِّ اأْل َ َّو ِل فَ َما الَّ ِذيْ يُقَ َّد ُم؟ قَا َل َش ْي ُخنَا‬ َ ‫َو لَوْ تَ َعا َر‬
ِ ‫ض‬
‫ اِ ْنتَهَى‬.‫ضا َعفَ ِة تَ ْق ِد ْي ُم نَحْ ِو الصَّفِّ اأْل َ َّو ِل‬
َ ‫َار َج َم ْس ِج ِد ِه ْال ُم ْختَصِّ بِ ْال ُم‬
ِ ‫َّف اأْل َ َّو ُل فِ ْي َم ْس ِج ِد ِه َو ِإ ْن َكانَ خ‬
ُّ ‫يُقَ َّد ُم الص‬.
Jikalau terjadi pertentangan di antara sutrah dengan dekat terhadap imām atau
dengan barisan awal maka manakah yang harus didahulukan? Guru kita mengatakan:
Semuanya masih mungkin benar dan kejelasan komentar para ‘ulamā’ yang lebih
mendahulukan barisan awal di masjid Nabi s.a.w., walaupun barisan awal itu berada
182

di luar masjid yang ditertentukan dengan berlipat pahalanya menyimpulkan lebih


didahulukannya semacam barisan awal. – Selesai – .
‫ َو قَ ْد تَ َع َّدى بِ ُمرُوْ ِر ِه‬،‫صلَّى إِلَى َش ْي ٍء ِم ْنهَا فَيُ َس ُّن لَهُ َو لِ َغي ِْر ِه َد ْف ُع َما ٍّر بَ ْينَهُ َو بَ ْينَ ال ُّس ْت َر ِة ْال ُم ْستَوْ فِيَ ِة لِل ُّشرُوْ ِط‬َ ‫َو إِ َذا‬
ٍ ْ‫صرْ بِ ُوقُو‬
‫ف‬ ِّ َ‫ َو إِ ْن لَ ْم يَ ِج ِد ْال َمارُّ َسبِ ْياًل َما لَ ْم يُق‬،ُ‫ َو يَحْ ُر ُم ْال ُمرُوْ ُر بَ ْينَهُ َو بَ ْينَ ال ُّس ْت َر ِة ِح ْينَ يُ َس ُّن لَهُ ال َّد ْفع‬.‫لِ َكوْ نِ ِه ُم َكلَّفًا‬
ْ ‫ف َو إِ ْن َكثُ َر‬
‫ت َحتَّى يَ ُس َّدهَا‬ ِ ْ‫ق الصُّ فُو‬ ِ ‫صفٍّ آخَ َر بَ ْينَ يَ َد ْي ِه فَلِد‬
َ ْ‫َاخ ٍل خَ ر‬ َ ‫ق أَوْ فِ ْي‬
َ ‫صفٍّ َم َع فُرْ َج ٍة فِ ْي‬ ٍ ‫فِ ْي طَ ِر ْي‬.
Ketika seseorang shalat dengan sesuatu dari sutrah tersebut, maka disunnahkan
baginya untuk mencegah orang yang lewat di antara dirinya dan sutrah yang
memenuhi persyaratan, dan orang tersebut telah ceroboh dengan lewat di depan
orang yang shalat sebab dirinya adalah orang mukallaf. Haram untuk lewat di antara
orang yang shalat dan sutrah-nya saat disunnahkan baginya untuk menolak yang
lewat walaupun tidak menemukan jalan selama ia tidak ceroboh dengan shalat di
jalan atau berada di barisan padahal masih ada tempat kosong di barisan lain atau di
depannya. Maka bagi seorang yang masuk boleh untuk menerobos barisan walaupun
sangat banyak sampai ia menutup tempat kosong tersebut

Fasal
Shalat Jamaah.

Syeikh Abu Syuja’ berkata, Shalat wajib itu hukumnya adalah sunnat muakadah.
Bagi makmum wajib niat berjamaah, sedangkan bagi imam niat berjamaah itu tidak
wajib.
Yang menjadi dalil disyariatkannya shlat jamah adalah kitab Al Quran, Sunnah
Rasul dan Ijimak Ulama.
183

Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī)
sepakat bahwa shalat jamaah disyariatkan dan wajib ditampakkan di hadapan
manusia. Apabila penduduk suatu negeri tidak mau menunaikan shalat jamaah maka
mereka boleh diperangi karena hal tersebut.
 
Mereka berbeda pendapat, apakah shalat fardhu wajib dilakukan secara berjamaah di
luar shalat Jum‘at?
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya fardhu Kifāyah.”
Segolongan ulama Syāfi‘iyyah berkata: “Hukumnya sunnah.”
Mālik berkata: “Hukumnya Sunnah Mu’akkadah.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya fardhu Kifāyah.”
Dalam, Syaraḥ-ul-Karkhī disebutkan: “Hukumnya Sunnah Mu’akkadah.”
Segolongan ulama Ḥanafiyyah juga mengatakan: “Hukumnya sunnah.”
Aḥmad berkata: “Hukumnya fardhu ‘Ain, tapi ia bukan syarat sahnya shalat. Apabila
seseorang shalat sendirian padahal dia mampu berjamaah maka dia berdosa tapi
shalatnya sah.”
 
Mereka sepakat bahwa jumlah minimal shalat jamaah yang dianggap sah dalam
shalat fardhu selain shalat Jum‘at adalah dua orang, yaitu Imām dan seorang
ma’mum yang berdiri di sebelah kanannya.
 
Mereka berbeda pendapat, apakah boleh mengulang shalat dengan adzan dan Iqāmat
di masjid yang ada Imām resminya?
Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya makruh.”
Mālik berkata: “Apabila masjid tersebut memiliki Imām resmi dan dia telah shalat di
dalamnya maka tidak boleh mengulang shalat secara mutlak.”
Ulama Syāfi‘iyyah berkata: “Hukumnya dibolehkan di masjid-masjid pasar yang di
dalamnya ditunaikan shalat secara berulang-ulang, bukan masjid-masjid yang ada di
jalan raya.”
184

Aḥmad berkata: “Hukumnya dibolehkan secara mutlak.”


 
Mereka berbeda pendapat tentang doa-doa yang boleh dibaca dalam shalat.
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Tidak boleh berdoa dalam shalat kecuali dengan
doa-doa yang berasal dari al-Qur’ān dan sunnah yang shaḥīḥ.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Orang yang shalat boleh berdoa sesuka hatinya yang
berhubungan dengan urusan agama dan dunia.”
 
Mereka berbeda pendapat tentang doa Qunut dalam shalat Shubuḥ.
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Membaca Qunut dalam shalat Shubuḥ tidak
disunnahkan.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Membaca Qunut dalam shalat Shubuḥ kukumnya
sunnah.
Kemudian pengikut Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berbeda pendapat tentang orang yang
shalat di belakang Imām yang membaca Qunut dalam shalat Shubuḥ, apakah dia
boleh mengikutinya atau tidak?
Abū Ḥanīfah berkata: “Dia tidak boleh mengikutinya.”
Aḥmad berkata: “Dia boleh mengikutinya.”
 
Mereka berbeda pendapat, apakah kaum wanita dianjurkan shalat fardhu berjamaah
bila mereka berkumpul?
Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya makruh dalam shalat fardhu, bukan shalat
sunnah.”
Mālik berkata: “Hukumnya makruh untuk keduanya.”
Ibnu Aimān meriwayatkan dari Mālik bahwa hukumnya tidak makruh, baik shalat
fardhu maupun shalat sunnah. Justru disunnahkan agar menunaikan keduanya secara
berjamaah.
185

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad – dalam riwayat yang masyhur darinya – berkata: “Kaum
perempuan disunnahkan agar menunaikan shalat fardhu secara berjamaah dan
imamnya berdiri bersama mereka dalam shaf di tengah.
 
Mereka sepakat bahwa kaum remaja perempuan dilarang (dimakruhkan) menghadiri
shalat jamaah kaum lelaki.
 
Mereka berbeda pendapat tentang nenek-nenek apakah mereka boleh menghadiri
shalat jamaah kaum lelaki?
Mālik dan Aḥmad berkata: “Hukumnya tidak makruh secara mutlak.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Makruh bagi mereka menghadirinya kecuali dalam shalat
‘Isyā’ dan Shubuḥ saja.”
Demikian menurut salah satu dari dua riwayat darinya. Pendapat ini juga
diriwayatkan oleh Muḥammad dari Abū Ayyūb darinya. Sedangkan dalam riwayat
lain disebutkan: “Mereka boleh keluar saat shalat dua Hari Raya (‘Īdain) saja.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya makruh bagi nenek-nenek sebagaimana
dimakruhkan bagi gadis, bila nenek-nenek tersebut masih mengundang nafsu kaum
lelaki sebagaimana halnya gadis. Sedangkan bila dia tidak lagi mengundang nafsu
maka hukumnya tidak makruh.”
[Aku mengatakan] “Menurut pendapatku kaum wanita boleh menghadiri shalat
jamaah dan tempat mereka berada di shaf paling akhir. Hal ini berdasarkan hadits-
hadits yang membolehkannya, juga berdasarkan praktek yang dilakukan pada masa
Rasūlullāh s.a.w. serta generasi pertama umat ini (masa Sahabat). Jadi, hukumnya
tidak makruh, malah disunnahkan. Pendapat yang mengatakan makruh dengan
alasan akan menimbulkan fitnah tertolak dengan dalil-dalil yang membolehkannya.

Fasal
186

Shalat Qashar
 
Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī)
sepakat bahwa boleh mengqashar shalat dalam perjalanan.
 
Mereka berbeda pendapat, apakah qashar merupakan rukhshah atau azimah?
Abū Ḥanīfah berkata: “Ia adalah azimah.” Bahkan dia berpendapat keras dalam
masalah ini, sampai-sampai dia mengataan: “Apabila seseorang shalat Zhuhur 4
rakaat tanpa duduk setelah 2 rakaat maka shalatnya batal.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Ia adalah rukhshah.”
Ada pula riwayat dari Mālik bahwa qashar merupakan azimah, seperti madzhab Abū
Ḥanīfah.
 
Mereka berbeda pendapat tentang perjalanan yang dibolehkan mengqashar shalat.
Abū Ḥanīfah berkata: “Perjalanan 3 hari dengan onta dan jalan kaki.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “16 Farsakh.”
Mereka yang mengatakan bahwa qashar merupakan rukhshah (dispensasi) berbeda
pendapat, apakah ia lebih utama dari menunaikan shalat secara sempurna?
Mālik, asy-Syāfi‘ī – dalam salah satu dari dua pendapatnya – dan Aḥmad berkata:
“Qashar lebih utama.”
Asy-Syāfi‘ī berkata dalam pendapat lainnya: “Menunaikan secara sempurna lebih
utama.”
 
Mereka semua sepakat bahwa shalat Shubuḥ dan shalat Maghrib tidak diqashar. .
 
Mereka sepakat bahwa rukhshah berupa qashar dan berbuka puasa hanya berkaitan
dengan perjalanan wajib dan mubah.
 
187

Mereka berbeda pendapat tentang perjalanan dalam rangka melakukan maksiat,


apakah pelakunya boleh menjalankan rukhshah yang dibolehkan oleh syariat?
Abū Ḥanīfah berkata: “Semua rukhshah (dispensasi) dibolehkan.”
Mālik dalam salah satu dari dua riwayat darinya berkata: “Yang dibolehkan hanyalah
makan bangkai saja.”
Mālik – dalam riwayat yang masyhur darinya – , asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata:
“Tidak ada rukhshah yang dibolehkan secara mutlak.”
 
Mereka berbeda pendapat tentang musāfir yang selalu bersama keluarganya, seperti
pelaut, duta (utusan) penguasa (atau pengirim surat) dan kusir keledai.
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Mereka boleh menjalankan rukhshah
yang dibolehkan, akan tetapi menyempurnakannya lebih utama, karena dia ada di
negerinya sendiri.”
Aḥmad berkata: “Tidak ada rukhshah.” Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari
Mālik.
 
Mereka sepakat bahwa apabila seseorang bepergian tanpa berniat mendatangi daerah
tertentu maka tidak ada rukhshah baginya. Kecuali riwayat dari Abū Ḥanīfah bahwa
apabila seseorang dalam kondisi demikian lalu dia bepergian selama 3 hari maka dia
boleh mengqashar shalat setelah itu.

Mengenai shalat berjamah, para ulama bersepakat bahw sunnah muakkad; sunnah
yang sangat dianjurkan dan diutamakan.Allah swt telah menjelaskan dalam kitabnya
yang memerintahkan untuk dikerjakan sampai dalam keadaan takut. Maka dari itu
Allah SWT berfirman :
188

‫واذا كنت فيهم فاقمت لهم ااصلوة فلتقم طاءفة منهم معك والياخذوا اسلحتهم فاذا سجدوا فليكونوا من وراءكم‬
‫ ود الذين كفروا لوتغفلون عن‬ ‫ولتات طاءفة اخري لم يصلوا فليصلوا معك ولياخذوا حذرهم واسلحتهم‬
‫اسلحتكم وامتعتكمفيميلون عليكم ميلة واحدة والجناح عليكم ان كان بكم اذي من مطر اوكنتم مرضي ان‬
‫ تضعوا اسلحتكم وخذوا حذركم ان هللا اعد للكفرين عذابا مهينا‬.

“Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabat) lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama mereka, maka hendaklah segolongan mereka
berdiri(shalat) bersamamu dan menyandang senjata. Kemudianapabila mereka
yang shalat bersamamu sujud, maka hendaklah mereka pindah kebelakangmuuntuk
menghadapi musuh dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
bersembahyang. Lalu bersembahyanglah mereka bersamamu, dan hendaklah
mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya
kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbumu
dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakan senjata-senjatamu, jika
kamu mendapat kesusahan karena hujan atau memang sakit, dan siap siagalah
kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan adzab yang menghinkakan bagi
orang-orang kafir itu.” (Qs. An-Nisa : 102)

Ayat ini menjelaskan tentang pentingnya shalat berjamaah walaupun dalam keadaan
berperang, dalam keadaan ini pasukan muslim saling bergantian shalat berjamaah
dengan tetap siap siaga membawa senjata. Seharusnya negara yang sudah aman dan
damai, dapat melaksanakan shalat berjamaah dalam setiap shalat  lima waktu. Tetapi
kenyataannya masih ada orang muslimyang menganggap shalat berjamaah itu biasa
saja, yang penting shalat walaupun sendiri dan dijadikan sebagai formalitas dalam
melaksanakan shalat wajib, bahkan masih ada yang lalai ataupun meninggalkan
shalat secara sengaja.
189

‫والذي نفسي بيده لقد هممت ان امر بحطب فيحتطب ثم امر بالصالة فيوءذن لها ثم امر رجال فيوءم الناس ثم‬
‫اخالف الي رجاال فاحرق عليهم بيوتهم والذي نفسي بيده لو يعلن انه يجد عرقا سمينا مرماتين حسنتين لشهد‬
‫العشاء‬

“Demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh aku bermaksud hendak
menyuruh orang-orang mengumpulkan kayu bakar, kemudian menyuruh seseorang
menyerukan adzan, lalu menyuruh seseorang pula untuk nenjadi imam bagi orang
banyak. Maka saya akan mendatangi orang-orang yang tidak ikut berjamaah, lantas
aku bakar rumah-rumah mereka.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAWberkata kepada seseorang pemuda buta yang meminta  kepada


rasulullah agar diberi keringanan, lalubeliau bersabda kepadanya “Apakah kamu
mendengar adzan?” dia menjawab “ya”, beliau bersabda “Maka penuhilah panggilan
itu!”

Hadist ini menjelaskan bahwa jika seorang muslim mendengar adzan berkumandang,
maka hendaklah memenuhi panggilan tersebut untuk melaksanakan shalat
berjamaah. Meskipun orang itu buta, tuli, ataupun cacat yang lainnya, Nabi tetap
menyuruh umatnya untuk shalat dan tidak ada keringanan kecuali sakitnya benar-
benar parah yang tidak memungkinkan untuk shalat berjamaah.

Pada dasarnya shalat berjamaah bukanlah termasuk syarat sahnya shalat, sehingga
apabila dikerjakan sendirianpun tetap sah. Tetapi banyak keutamaan dari shalat
berjamaah diantaranya, Allah SWT akan melipatgandakan pahala orang yang
berjamaah

Rasulullah SAW bersabda :


190

‫ ضعفا وذالك انه اذا توضا‬  ‫صالة الرجل في الجماعة تضعف علي صالته في ببته وفي سوقه خمسا وعشرين‬
‫فاحسن الوضوء ثم خرج الي المسجد ال يخرجه اال الصالة لم يخط خطوة اال رفعت له بها درجة وحط عنه بها‬
‫ اللهم صل عليه اللهم ارحمه وال يزال‬ ‫خطينة فاذا صلي لم تزل المالءكة تصلي عليه ما دام في مصتاله‬
‫احدكم في صالة ما انتظر الصالة‬

“ Shalat seorang laki-laki dengan berjamaah dibanding shalatnya dirumah atau


dipasarnya lebih utama (dilipatgandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali
lipat. Yang demikian itu, karena bila dia berwudhu dengan menyempurnakan
wudhunya lalu keluar dari rumahnya menujumasjid, dia tidak keluar kecuali untuk
melaksanakan shalat berjamaah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkhnya
kecuali akan ditinggalkan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya.
Apabila dia melaksanakan , maka malaikat akan turun untuk mendoakannya selama
dia masih ditempat shalatnya, Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah rahmatilah dia.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)

Adapun dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda :

‫صالة ااجماعة افضل من صالة الفذ بسبع وعشرين درجة‬

“Shalat berjamaah lebih utama 27 derajat dibanding shalat sendirian.” (H.R.


Bukhari dan Muslim)

Keutamaan shalat berjamaah dibanding shalat sendirian adalah lebih utama 27


derajat dan malaikat akan turun untuk mendoakannya sedangkan shalat sendirian
belum tentu diterima oleh Allah dan pahalanya hanya sedikit

Fasal

Shalat Jum‘at.
191

Berkata Syekh Abu Syuja’, syarat-syarat Jumat yaitu ada 7 macam yang pertama
Islam.
Ibnu Fāris berkata: Para ulama berbeda pendapat tentang arti Jum‘at.
Sebagian ulama mengatakan: “Dinamakan Jum‘at karena manusia berkumpul pada
hari itu di suatu tempat (masjid) untuk menunaikan shalat secara berjamaah.”
Ulama lainnya mengatakan: “Dinamakan hari Jum‘at karena penciptaan Nabi Ādam
a.s. dikumpulkan (selesai) pada hari itu.”
 
Mereka sepakat bahwa shalat Jum‘at wajib atas penduduk kota (orang-orang yang
muqīm, bukan musāfir).
 ‫صاَل ِة ِم ْن يَوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا إِلَ ٰى ِذ ْك ِر هَّللا ِ َو َذرُوا ْالبَ ْي َع ۚ ٰ َذلِ ُك ْم خَ ْي ٌر لَ ُك ْم إِ ْن ُك ْنتُ ْم‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا نُو ِد‬
َّ ‫ي لِل‬
َ‫تَ ْعلَ ُمون‬

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli, yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [al-Jumu’ah/62:9].
Kewajiban shalat Jum’at merupakan kewajiban besar setiap pekan. Dan al-
hamdulillâh banyak kaum Muslimin nampak memperhatikan hal ini. Namun dalil
dan perincian dalam masalah ini banyak yang belum mengetahuinya. Inilah sedikit
keterangan tentang ayat yang memerintahkan shalat Jum’at tersebut.

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala : ‫وا‬ººُ‫ا الَّ ِذينَ آ َمن‬ººَ‫ا أَيُّه‬ººَ‫ ي‬Hai orang-orang beriman…
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allâh ‘hai orang-orang beriman’
adalah pembicaraan kepada orang-orang mukallaf dengan ijma’ dan keluar dari
pembicaraan ini, yaitu orang-orang sakit, lumpuh, musafir, budak, dan wanita
dengan berdasarkan dalil.” Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
orang-orang yang diperintahkan menghadiri Jum’at hanyalah laki-laki merdeka;
bukan wanita, budak, dan anak-anak. Dan diberi udzur (atau dima’afkan; yakni,
tidak wajib bagi): musafir, orang sakit, pengurus orang sakit, dan halangan-halangan
semacamnya, sebagaimana ini disebutkan dalam kitab-kitab furu’ (fiqih)”.
192

Adapun dalil perkataan Ulama di atas antara lain adalah sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam : ْ‫صبِ ٌّي أَو‬
َ ْ‫ك أَوْ ا ْم َرأَةٌ أَو‬
ٌ ‫ق َوا ِجبٌ َعلَى ُك ِّل ُم ْسلِ ٍم فِي َج َما َع ٍة إِاَّل أَرْ بَ َعةً َع ْب ٌد َم ْملُو‬
ٌّ ‫ْال ُج ُم َعةُ َح‬
ٌ‫ريض‬ºº
ِ ‫ َم‬Jum’at itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjama’ah, kecuali empat
(golongan), yaitu; hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa berjama’ah merupakan syarat shalat Jum’at.
Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah meriwayatkan dari Ali bin Abi Thâlib
Radhiyallahu anhu, ia berkata: ‫ الَ َج َما َعةَ يَوْ َم ُج ُم َع ٍة إِالَّ َم َع ا ِإل َم ِام‬Tidak ada jama’ah (shalat
Jum’at) pada hari Jum’at kecuali bersama imam. Firman Allâh Ta’ala: ‫صاَل ِة‬ َ ‫إِ َذا نُو ِد‬
َّ ‫ي لِل‬
‫ ِم ْن يَوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة‬apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at… Yang dimaksudkan
dengan seruan di sini adalah adzan Jum’at ketika khatib naik mimbar dan duduk di
atasnya, sebagaimana dilakukan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫س اإْل ِ َما ُم َعلَى ْال ِم ْنبَ ِر َعلَى َع ْه ِد النَّبِ ِّي‬
َ َ‫ب ب ِْن يَ ِزي َد قَا َل َكانَ النِّدَا ُء يَوْ َم ْال ُج ُم َع ِة أَ َّولُهُ إِ َذا َجل‬
ِ ِ‫ع َْن السَّائ‬
‫ َو َسلَّ َم َوأَبِي بَ ْك ٍر َو ُع َم َر‬c ‫ال أَبُو‬
َ َ‫ ق‬.‫ث َعلَى ال َّزوْ َرا ِء‬ َ ِ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َو َكثُ َر النَّاسُ زَ ا َد النِّدَا َء الثَّال‬ ِ ‫فَلَ َّما َكانَ ع ُْث َمانُ َر‬
‫ة‬ºِ َ‫ُّوق بِ ْال َم ِدين‬ ِ ْ‫َعبْد هَّللا ِ ال َّزوْ َرا ُء َمو‬
ِ ‫ض ٌع بِالس‬

Dari as-Saib bin Yazid, ia berkata, “Dahulu pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma , adzan pada hari Jum’at
pertama kalinya adalah ketika imam sudah duduk di atas mimbar. Tatkala ‘Utsmân
Radhiyallahu anhu (menjadi khalifah, Pen.) orang-orang bertambah banyak, beliau
Radhiyallahu anhu menambah adzan ketiga di Zaura”. Abu Abdillah (Imam al-
Bukhâri rahimahullah ) berkata, “Az-Zaura’ adalah nama satu tempat di pasar
Madinah”. [HR al-Bukhâri, no. 870]. Disebut adzan ketiga karena adzan itu adalah
tambahan dari adzan di depan imam setelah naik mimbar dan iqamat shalat. Imam
Ibnu Katsir rahimahullah (8/122) setelah menyebutkan hadits di atas, mengatakan,
“maksudnya adalah adzan itu dikumandangkan di atas sebuah rumah yang disebut
az-Zaura`, dan az-Zaura’ adalah rumah yang paling tinggi di Madinah di dekat
masjid.”[6] Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala : ِ ‫ فَا ْس َعوْ ا إِلَ ٰى ِذ ْك ِر هَّللا‬maka bersegeralah
kamu kepada dzikrullâh (mengingat Allâh). Syaikh Abdurahmân as-Sa’di
193

rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya, orang-


orang Mukmin, untuk menghadiri shalat Jum’at dan bersegera kepadanya, dan
memperhatikannya sejak adzan shalat kumandangkan. Yang dimaksud dengan sa’i
di sini, adalah bergegas kepadanya, memperhatikannya dan menjadikannya
kesibukan terpenting. Maksudnya bukan berlari, karena perbuatan ini terlarang
ketika pergi menuju shalat.[7] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang-
orang yang wajib menghadiri shalat Jum’at tetapi tidak mendatanginya dengan
ancaman yang keras, sebagaimana diriwayatkan dari Abdullâh bin Umar
Radhiyallahu anhuma dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa keduanya
mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbarnya:
َ‫افِلِين‬ººَ‫ونُ َّن ِم ْن ْالغ‬ºº‫وبِ ِه ْم ثُ َّم لَيَ ُك‬ººُ‫ت أَوْ لَيَ ْختِ َم َّن هَّللا ُ َعلَى قُل‬
ِ ‫ا‬ºº‫ َوا ٌم ع َْن َو ْد ِع ِه ْم ْال ُج ُم َع‬ºº‫ لَيَ ْنتَ ِهيَ َّن أَ ْق‬Hendaklah orang
yang suka meninggalkan shalat Jum’at menghentikan perbuatan mereka, atau benar-
benar Allâh akan menutup hati mereka, kemudian mereka benar-benar menjadi
termasuk orang-orang yang lalai. [HR Muslim]. Kemudian bahwa yang dimaksud
dengan dzikrullâh (mengingat Allâh) dalam ayat ini adalah shalat Jum’at dan
khutbahnya. Imam Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allâh ‘menuju
dzikrullâh’ yaitu shalat. Ada yang mengatakan khutbah dan shalat. Ini dikatakan
oleh Sa’id bin Jubair. Ibnul ‘Arabi berkata, ‘Yang benar bahwa semuanya wajib,
yang pertama adalah khutbah. Ini adalah pendapat para Ulama kita kecuali Abdul-
Mâlik bin al-Majisyun; ia berpendapat (mendengarkan) khutbah itu sunnah. Dalil
wajibnya mendengarkan khutbah adalah khutbah itu menyebabkan jual beli menjadi
haram. Seandainya khutbah tidak wajib, niscaya ia tidak akan menyebabkan jual beli
menjadi haram, karena sesuatu yang mustahab (sunah) tidak menyebabkan yang
mubah menjadi haram.”

Firman Allâh Ta’ala: ‫ َع‬ººْ‫ َو َذرُوا ْالبَي‬dan tinggalkanlah jual beli. Imam Ibnu Katsir
rahimahullah berkata, “Yaitu bersegeralah menuju dzikrullâh dan tinggalkan jual-
beli ketika adzan (Jum’at) telah dikumandangkan. Oleh karena itu, para Ulama –
semoga Allâh meridhai mereka- bersepakat tentang haramnya jual-beli setelah adzan
194

kedua. Namun Ulama berbeda pendapat, apakah jual beli itu sah (atau) tidak ?! Jika
ada yang melakukannya. Mereka terbagi menjadi dua pendapat. Zhahir ayat
(menunjukkan) bahwa jual beli itu tidak sah sebagaimana telah dijelaskan di dalam
tempatnya (kitab fiqih, Pen.). Wallâhu a’lam”. Walaupun ayat ini memerintahkan
agar meninggalkan jual-beli, tetapi bagi orang yang berkewajiban melaksanakan
Jum’at juga harus meninggalkan semua pekerjaan setelah adzan dikumandangkan.
Imam al-Alûsi rahimahullah berkata, “Yaitu, tinggalkan mu’amalah (intraksi atau
pekerjaan antar sesama manusia), karena jual-beli merupakan majaz (kiasan) dari
mu’amalah, sehingga mencakup menjual, membeli, sewa-menyewa, dan bentuk-
bentuk mu’amalah lainnya. Atau (kata) jual-beli menunjukkan (perbuatan) yang
lainnya berdasarkan dalil nash, dan kemungkinan ini yang lebih utama. Perintah
(untuk meninggalkan mu’amalah, Pen.) ini menunjukkan wajib, sehingga semua itu
(mu’amalah ketika adzan berkumandang) haram.

Bahkan telah diriwayatkan dari ‘Atha` Radhiyallahu anhu, keharaman kesenangan


yang mubah (pada asalnya), suami menggauli istrinya, menulis tulisan juga
(diharamkan).” Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla secara
khusus menyebut jual-beli, karena jual-beli pekerjaan yang paling banyak dilakukan
oleh orang-orang pasar. Namun orang yang tidak wajib menghadiri shalat Jum’at
maka tidak dilarang dari jual-beli”. Firman Allâh Azza wa Jalla : ‫ٰ َذلِ ُك ْم َخ ْي ٌر لَ ُك ْم إِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
َ‫ون‬ººº‫ تَ ْعلَ ُم‬yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Syaikh
Abdurahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Yang demikian itu lebih baik bagimu
dari pada kesibukanmu dengan jual-beli dan kamu kehilangan shalat wajib yang
termasuk kewajiban yang besar. Jika kamu mengetahui bahwa apa yang ada di sisi
Allâh itu lebih baik dan lebih kekal, dan bahwa orang yang lebih mementingkan
dunia dari pada agama, maka ia telah merugi dengan kerugian yang sebenarnya, dari
arah yang ia menyangka akan mendapatkan keuntungan. Dan perintah meninggalkan
jual-beli ini ditetapkan waktunya (yaitu) selama shalat”.
195

Wanita tidak diwajibkan shalat Jum’at, namun dibolehkan mengikuti shalat Jum’at
di masjid. Jika wanita shalat sendiri di rumahnya maka ia shalat Zhuhur,
sebagaimana laki-laki yang tidak bisa mengikuti shalat Juma’t. Syaikh Abdul-‘Aziz
bin Bâz rahimahullah pernah ditanya, “Jika aku tidak shalat Jum’at bersama jama’ah
di masjid, apakah aku shalat di rumah dua raka’at dengan niat Jum’at atau aku shalat
empat raka’at dengan niat Zhuhur?” Beliau rahimahullah menjawab, “Barangsiapa
tidak menghadiri shalat Jum’at bersama umat Islam karena ‘udzur (halangan) syar’i,
berupa sakit atau sebab-sebab lainnya, (maka) ia shalat Zhuhur. Demikian juga
wanita (yang tidak menghadiri shalat Jum’at), (maka) ia shalat Zhuhur. Demikian
juga musafir, penduduk padang pasir/desa (yang tidak menghadiri shalat Jum’at),
maka mereka shalat Zhuhur. Hal itu ditunjukkan oleh Sunnah (Nabi), dan ini
merupakan pendapat mayoritas ulama; (sedangkan) orang yang menyelisihi dari
(pendapat) mereka tidak dianggap. Demikian juga orang yang sengaja meninggalkan
shalat Jum’at, lalu ia bertaubat kepada Allâh Ta’ala, (maka) ia melakukan shalat
Zhuhur”. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah juga pernah
ditanya: “Berkaitan dengan shalat Jum’at bagi wanita, berapa raka’at yang
dikerjakan wanita yang shalat di rumahnya? Syukran”. Beliau menjawab: “Jika
wanita shalat bersama imam di masjid, (maka) ia melakukan shalat seperti imam.
Namun jika wanita shalat di rumahnya, (maka) ia melakukan shalat Zhuhur, empat
raka’at”.

Makmum masbuq (tertinggal) dari shalat Jum’at yang masih mendapatkan raka’at
imam, maka ia menggenapi raka’at yang kurang. Seseorang dianggap mendapatkan
raka’at imam jika mendapatkan ruku’ bersama imam. Namun jika ia sudah tidak
mendapati raka’at imam, maka ia melakukan shalat empat raka’at, yaitu shalat
Zhuhur, karena ia telah kehilangan jama’ah yang merupakan syarat shalat Jum’at.
Hal ini sebagaimana penjelasan dari banyak ulama, antara lain sebagai berikut.

1. Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata di dalam kitab al-Ausath (4/100):


“Sebagian Ulama berkata, ‘Barangsiapa mendapati satu raka’at dari shalat Jum’at
196

(bersama imam, Pen.), (maka) ia manambah satu raka’at lagi. Jika ia (makmum
masbuq, Pen.) mendapati mereka (imam dan makmum) duduk (tasyahud), (maka) ia
shalat empat raka’at (yaitu shalat Zhuhur, Pen.). Demikian ini dikatakan oleh Ibnu
Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Anas bin Mâlik, Sa’id bin Musayyib, al-Hasan, asy-Sya’bi,
‘Alqomah, al-Aswad, ‘Urwah, an-Nakha’i, dan az-Zuhri”. Kemudian Ibnul-Mundzir
menyebutkan riwayat-riwayat itu dengan sanad-sanadnya.

2. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, ‫ك‬ ِ ‫ ْد ِر‬ºُ‫ ةَ َو َم ْن لَ ْم ي‬º‫ك ْال ُج ْم َع‬
َ ‫ك ال َّر ْك َعةَ فَقَ ْد أَ ْد َر‬
َ ‫َم ْن أَ ْد َر‬
‫ُصلِّ أَرْ بَعًا‬
َ ‫ ال َّر ْك َعةَ فَ ْلي‬Barangsiapa (dari makmum masbuq, Pen.) mendapati satu raka’at
(dari shalat Jum’at bersama imam, Pen.), (maka) ia telah mandapatkan Jum’at. Dan
barangsiapa tidak mendapatkan Jum’at, hendaklah ia shalat empat raka’at (yaitu
shalat Zhuhur, Pen.).

3. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata, ،‫صلَّى إِلَ ْيهَا أُ ْخ َرى‬


َ ‫ك ال َّر ُج ُل يَوْ َم ْال ُج ْم َع ِة َر ْك َعةً؛‬
َ ‫إِ َذا أَ ْد َر‬
‫صلَّى أَرْ بَعًا‬
َ ‫ فَإ ِ َذا َو َج َدهُ ْم ُجلُوْ سًا؛‬Jika seorang laki-laki (dari makmum masbuq, Pen.) pada
hari Jum’at mendapati satu raka’at (dari shalat Jum’at bersama imam, Pen.), (maka)
ia menambah lagi satu raka’at. Namun jika mendapati mereka duduk (tasyahud),
(maka) ia shalat empat raka’at (yaitu shalat Zhuhur, Pen.). [Riwayat Abdur- Razaq
dalam al-Mushannaf, 3/234, sanadnya shahîh

Di dalam ayat yang mulia ini terdapat berbagai petunjuk, antara lain:

1. Kewajiban shalat Jum’at bagi laki-laki dewasa, merdeka, sehat, dan mukim.

2. Kewajiban bersegera menuju dzikrullâh dengan berjalan tenang.

3. Keharaman jual-beli dan mu’amalah lainnya bagi orang yang wajib Jum’at setelah
adzan berkumandang.

4. Bagi wanita atau laki-laki yang tidak mengikuti shalat Jum’at atau tertinggal,
maka melakukan shalat Zhuhur.

5. Urgensi ilmu di dalam ketaatan kepada Allâh.


197

 
Mereka berbeda pendapat tentang penduduk desa.
Abū Ḥanīfah berkata: “Shalat Jum‘at tidak wajib atas mereka.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Shalat Jum‘at wajib atas mereka bila jumlah
mereka mencapai batas sahnya shalat Jum‘at.”
 
Mereka berbeda pendapat tentang jumlah Jamaah shalat Jum‘at.
Abū Ḥanīfah berkata: “Shalat Jum‘at sah bila mereka berjumlah tiga orang selain
imam.”
Mālik berkata: “Shalat Jum‘at sah dengan jumlah yang umum berlaku di suatu desa,
di mana bisa dikumandangkan Iqāmat dan seandainya mereka berjual-beli bisa
dilakukan tanpa pembatasan.” Hanya saja dia melarang bila jumlahnya tiga atau
empat orang.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Shalat Jum‘at sah bila jumlah Jamaahnya mencapai 40 orang.”
Pendapat ini juga yang masyhur dari Aḥmad dalam riwayatnya. Ada pula riwayat
darinya bahwa yang sah adalah bila jumlah Jamaahnya mencapai 50 orang. Jumlah
ini dengan syarat bahwa mereka harus (a) baligh, (b) berakal, (c) menetap, dan (d)
merdeka.
 
Mereka sepakat bahwa dua khuthbah merupakan syarat sahnya shalat Jum‘at.
Kecuali Abū Ḥanīfah yang mengatakan: Apabila Khathīb mengatakan:
“Alḥamdulillāh” lalu turun maka itu sudah cukup dan tidak perlu mengucapkan yang
lain.
 
Mereka sepakat bahwa shalat Jum‘at tidak wajib atas anak kecil, budak, musāfir, dan
perempuan. Kecuali riwayat dari Aḥmad untuk budak saja.
 
Mereka sepakat bahwa apabila orang buta tidak mendapati orang yang menuntunnya
maka dia tidak wajib menunaikan shalat Jum‘at.
198

 
Mereka berbeda pendapat bila orang buta mendapati orang yang menuntunnya.
Abū Ḥanīfah berkata: “Dia tidak wajib menunaikan shalat Jum‘at.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Dia wajib menunaikan shalat Jum‘at.” .
 
Mereka sepakat bahwa berdiri dalam dua khuthbah disyaratkan.
 
Mereka berbeda pendapat tentang wajibnya berdiri dalam dua khuthbah.
Mālik, asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya wajib.”
Asy-Syāfi‘ī juga mewajibkan duduk di antara dua khuthbah, sementara Imām Mālik
menganggapnya sunnah.
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad juga berkata: “Semuanya sunnah.” .
 
Mereka berbeda pendapat tentang khuthbah yang sah dalam shalat Jum‘at.
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila Khathīb berkhutbah dengan mengucapkan satu
Tasbīḥ maka hukumnya sah dan cukup untuk dua khuthbah dan tidak perlu
mengucapkan dua kali Tasbīḥ.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Di antara syarat khuthbah yang dianggap sah
adalah membaca Ḥamdalah, membaca shalawat atas Nabi s.a.w., membaca ayat al-
Qur’ān dan memberi nasehat.”
Menurut Imām Mālik, dalam hal ini ada dua riwayat darinya seperti dua madzhab di
atas.
Ulama ahli bahasa berkata: “Kata Khuthbah merupakan kata jadian dari kata
Mukhāthabah.”
Sebagian mereka berkata: “Dinamakan khutbah karena mereka mengucapkannya
dalam momen-momen penting dan urusan-urusan besar.”
Mimbar menurut mereka diambil dari kata: “Nabara”, yang artinya seseorang
bersuara keras, karena orang yang berkhuthbah menyampaikan khuthbahnya dengan
suara keras.
199

 
Mereka sepakat bahwa bepergian pada hari Jum‘at sebelum menunaikan shalat
Jum‘at tidak dianjurkan.
 
Mereka berbeda pendapat, apakah bepergian pada hari Jum‘at sebelum shalat Jum‘at
dibolehkan?
Abū Ḥanīfah berkata: “Boleh bepergian pada hari Jum‘at sebelum matahari
tergelincir dan setelahnya selama shalat belum dimulai, akan tetapi hukumnya
makruh.”
Mālik berkata: “Aku suka bila seseorang tidak keluar setelah fajar terbit, akan tetapi
hukumnya tidak haram. Jika setelah matahari tergelincir, maka tidak baik bepergian
sebelum shalat Jum‘at.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Tidak boleh bepergian setelah matahari tergelincir sampai dia
menunaikan shalat Jum‘at.”
Dalam hal ini hanya ada satu pendapat. Kecuali bila dia takut tertinggal oleh
temannya. Lalu apakah boleh bepergian sebelum dan sesudah fajar terbit? Dalam hal
ini ada dua pendapat beliau.
Aḥmad berkata: “Tidak boleh bepergian pada hari Jum‘at setelah matahari
tergelincir sebelum menunaikan shalat Jum‘at.” Dalam hal ini hanya ada satu
riwayat darinya.
Adapun bepergian sebelum matahari tergelincir, apakah dibolehkan atau tidak?
Dalam hal ini ada beberapa riwayat darinya.
Pertama, hukumnya tidak boleh.
Kedua, hukumnya dibolehkan tapi makruh, seperti madzhab Mālik.
Ketiga, boleh untuk berjihad saja.
Tentang mendirikan shalat Jum‘at, Abū Ḥanīfah dan Aḥmad – dalam salah satu dari
dua riwayat darinya – berkata: “Tidak sah mendirikan shalat Jum‘at tanpa idzin
Imām (penguasa).”
200

Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad dalam riwayat lain berkata: “Apabila shalat Jum‘at
didirikan tanpa idzin Imām maka hukumnya sah.” Meskipun mereka tetap
menganjurkan agar minta idzin.
 
Mereka berbeda pendapat, apakah shalat Jum‘at sah bila jamaahnya terdiri dari pada
budak dan musafir?
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Shalatnya sah.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Shalatnya tidak sah.”
 
Mereka berbeda pendapat, apakah musafir atau budak boleh menjadi Imām shalat
Jum‘at?
Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī dan Mālik – dalam riwayat Asyhab – berkata: “Hukumnya
dibolehkan.”
Mālik – dalam riwayat Ibn-ul-Qāsim – dan Aḥmad – dalam riwayat yang
mengatakan bahwa shalat Jum‘at tidak wajib atas budak – berkata: “Hukumnya tidak
dibolehkan.”
 
Mereka berbeda pendapat, apakah makruh menunaikan shalat Zhuhur secara
berjamaah pada hari Jum‘at bagi orang-orang yang tidak bisa menghadiri shalat
Jum‘at?
Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya makruh.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Tidak makruh.”
 
Mereka berbeda pendapat tentang berbicara saat khuthbah Jum‘at bagi orang yang
tidak mendengarnya karena jauh dari Khathīb.
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya mubah.” Hanya saja keduanya
menganjurkan agar diam.
Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak boleh berbicara saat Khathīb sedang khuthbah, baik dia
mendengarnya atau tidak.”
201

Akan tetapi ulama Ḥanafiyyah generasi akhir meriwayatkan darinya bahwa


hukumnya dibolehkan, seperti madzhab jamaah.
Mālik berkata: “Wajib diam dan mendengarkan saat Khathīb berkhuthbah, baik
jaraknya dekat maupun jauh.”
 
Mereka berbeda pendapat tentang orang yang berbicara saat Khathīb sedang
berkhuthbah padahal dia mendengar khuthbah tersebut.
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Qadīm-nya berkata: “Haram
berbicara saat khuthbah baik bagi Khathīb maupun orang yang mendengarkan.”
Hanya saja Mālik berpendapat bahwa Khathīb boleh berbicara yang berkaitan
dengan maslahat shalat, misalnya dia memperingatkan orang-orang yang baru masuk
masjid agar tidak melangkahi pundak-pundak jamaah. Apabila dia berbicara
langsung kepada orang tertentu maka orang yang diajak bicara boleh menjawabnya.
Sebagaimana yang dilakukan ‘Utsmān terhadap ‘Umar r.a.
Asy-Syāfi‘ī dalam al-Umm berkata: “Tidak haram atas keduanya, tapi hanya
makruh.”
Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari Aḥmad. Adapun riwayat yang masyhur
dari Aḥmad adalah bahwa orang yang mendengar haram berbicara, sementara
Khathīb tidak dilarang.
 
Mereka berbeda pendapat tentang mendirikan shalat Jum‘at di satu kota di dua
tempat.
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Tidak boleh menunaikan shalat
Jum‘at kecuali di satu tempat di suatu kota.”
Aḥmad berkata dalam riwayat yang masyhur darinya: “Boleh menunaikan shalat
Jum‘at di beberapa tempat di satu kota, asalkan kota tersebut besar dan perlu
mendirikan beberapa shalat Jum‘at di dalamnya, baik kota tersebut memiliki satu sisi
maupun dua sisi.”
202

Abū Yūsuf berkata: “Apabila suatu kota memiliki dua sisi seperti Baghdād maka
dibolehkan.”
Ath-Thahawī berkata: “Pendapat yang benar menurut madzhab kami adalah bahwa
tidak boleh mendirikan shalat Jum‘at lebih dari satu tempat di suatu kota. Kecuali
bila kota tersebut besar dan sulit menyatukan kaum muslimin dalam satu masjid,
maka dalam kondisi tersebut dibolehkan mendirikn shalat Jum‘at di dua tempat. Dan
bila kondisinya memerlukan lebih dari itu maka dibolehkan.”
 
Mereka berbeda pendapat tentang bolehnya mendirikan shalat Jum‘at sebelum
matahari tergelincir.
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Tidak boleh.”
Aḥmad berkata: “Boleh mendirikan shalat Jum‘at sebelum matahari tergelincir.”
Ada pula riwayat lain darinya bahwa boleh mendirikan shalat Jum‘at pada jam ke-6.
Pendapat ini dipilih oleh al-Khiraqī.
 
Mereka berbeda pendapat bila hari Jum‘at bertepatan dengan Hari Raya (‘Īd).
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Shalat Jum‘at tidak gugur meskipun
bertepatan dengan Hari Raya, dan shalat Hari Raya juga tidak gugur meskipun
bertepatan dengan hari Jum‘at.
Aḥmad berkata: “Apabila seseorang melakukan keduanya maka hal tersebut lebih
utama. Dan bila dia telah menghadiri shalat ‘Īd maka shalat Jum‘at gugur.”
 
Mereka berbeda pendapat, apakah makruh berbicara ketika Imām keluar sampai dia
memulai khuthbah dan saat dia turun dari mimbar sampai dia memulai shalat?
Abū Ḥanīfah berkata: “Bila Imām telah keluar maka tidak boleh berbicara sampai
dia memulai shalat.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Tidak mengapa berbicara pada dua waktu
tersebut.”
 
203

Mereka berbeda pendapat tentang salamnya Imām kepada jamaah ketika dia
menghadap ke arah mereka di atas mimbar.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Imām tidak perlu mengucapkan salam.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Imām harus mengucapkan salam.”
Aku mengatakan: “Menurut Abū Ḥanīfah dan Mālik, Imām tidak perlu
mengucapkan salam ketika dia telah naik ke atas mimbar. Keduannya mengatakan
demikian karena sang Imām telah mengucapkan salam kepada jamaah saat dia keluar
ketika masih berada di atas tanah sehingga tidak perlu lagi mengulangnya ketika dia
telah berada di atas mimbar.”
 
Mereka berbeda pendapat, apakah dibolehkan bila orang yang shalat (imam) bukan
orang yang berkhuthbah?
Abū Ḥanīfah berkata: “Boleh bila ada ‘udzur (halangan) dan tidak boleh bila tidak
ada ‘udzur.”
Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari Aḥmad. Ada pula riwayat darinya bahwa
hukumnya tidak dibolehkan.
Menurut Imām asy-Syāfi‘ī, dalam hal ini ada dua pendapat seperti dua madzhab di
atas.
Mālik berkata: “Tidak boleh menunaikan shalat kecuali orang yang berkhuthbah.

Fasal

Sholat Hari Raya

Berkata Syeikh Abu Syuja’, sholat dua hari raya adalah sunnat muakkadah, sholat
hari raya itu dua rakaat, pada rakaat pertama membaca takbir tujuh kali selain
takbiratur ikhram dan pada rakaat kedua membaca takbir 5 kali selain takbir berdiri.
Setlah shalat diadakan kutbah dua kali. 
204

Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī)
sepakat bahwa shalat ‘Īd (Hari Raya Fithri dan ‘Idul-Adhḥā) hukumnya disyariatkan.
Menurut ‘ulamā’ bahasa, dinamakan ‘Īd karena orang-orang biasa melakukannya
pada waktu tertentu dan mengulangnya pada waktu yang sama.
 

Pendapat ketiga berdalil dengan berbagai dalil diantaranya,

1.Firman Allah Ta’ala:

)2-1 :‫ (سورة الكوثر‬  ْ‫ك َوا ْن َحر‬ َ َ‫ف‬


َ ِّ‫ص ِّل لِ َرب‬

"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka


dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah." (QS. Al-Kautsar: 1-2)

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Al-Mughni mengatakan, "Yang terkenal


dalam tafsir (tentang ayat ini) maksudnya adalah shalat Id."

Sebagian ulama berpendapat bahwa maksud ayat tadi adalah keumuman shalat.
Bukan khusus shalat Id. Arti ayat adalah perintah untuk mengesakan Allah Ta’ala
dengan shalat dan berkorban.

Maka hal itu seperti dalam firman-Nya,

"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk


Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An’am: 162)

Yang memilih makna ayat ini adalah Ibnu Jarir. 12/724 dan Ibnu Katsir, 8/502.
Dengan demikian, maka ayat ini tidak dapat dijadikan dalil wajibnya shalat Id.

2. Sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan keluar (untuk


shalat), bahkan beliau memerintahkan juga para wanita untuk keluar (untuk shalat).
205

Diriwayatkan oleh Bukhari (324) dan Muslim (890) dari Ummu Atiyyah radhiallahu
anha, dia berkata,

‫ فَأ َ َّما‬، ‫ُور‬


ِ ‫ت ْال ُخد‬ َ ‫ق َو ْال ُحي‬
ِ ‫َّض َو َذ َوا‬ ْ ِ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن نُ ْخ ِر َجه َُّن فِي ْالف‬
َ ِ‫ط ِر َواألَضْ َحى ْال َع َوات‬ َ ِ ‫أَ َم َرنَا َرسُو ُل هَّللا‬
. ٌ‫ إِحْ دَانَا ال يَ ُكونُ لَهَا ِج ْلبَاب‬، ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫ قُ ْل‬. َ‫ْال ُحيَّضُ فَيَ ْعت َِز ْلنَ الصَّالةَ َويَ ْشهَ ْدنَ ْال َخ ْي َر َو َد ْع َوةَ ْال ُم ْسلِ ِمين‬
َ ‫ يَا َرس‬: ‫ت‬
‫ لِتُ ْلبِ ْسهَا أُ ْختُهَا ِم ْن ِج ْلبَابِهَا‬: ‫قَا َل‬

"Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk keluar di hari


raya Idul Fitri dan Idul Adha. Baik wanita yang baru balig, wanita sedang haid dan
wanita perawan. Sementara orang yang haid dipisahkan dari (tempat) shalat. Agar
mereka dapat menyaksikan kebaikan dan doa umat Islam." Saya berkata, ‘Wahai
Rasulullah, ada di antara kami yang tidak mempunyai jilbab." Beliau mengatakan,
"Sebaiknya saudara perempuannya memberinya jilbab."

Kata 'Al-Awatiq' adalah jamak dari kata ‘Atiq' yaitu wanita yang telah atau hampir
balig atau layak untuk menikah.

Kata 'Dzawatil Khudur’ adalah para perawan

Berdalil dengan hadits ini tentang kewajiban shalat Id, lebih kuat dari ayat tadi.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Majmu Al-Fatawa, 16/214 mengatakan,

"Pendapat saya bahwa shalat Id itu fardu ain. Tidak dibolehkan bagi laki-laki
meninggalkannya, mereka harus hadir. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam
memerintahkannya, bahkan beliau memerintahkan para wanita yang baru balig dan
para gadis untuk keluar shalat Id. Bahkan beliau memerintahkan wanita haid untuk
keluar (ke tempat shalat Id) akan tetapi dipisahkan dari tempat shalat. Hal ini
semakin menguatkan kewajibannya."

Beliau juga mengatakan, 16/217:


206

"Yang terkuat sesuai dalil yang ada bahwa shalat Id adalah fardu ain. Hal itu
diwajibkan kepada seluruh laki-laki untuk menghadiri shalat Id, kecuali yang
mempunyai uzur."

Syekh Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu Al-Fatawa, 13/7 mengomentari


pendapat yang mengatakan (shalat Id) fardu ain, "Pendapat ini yang lebih kuat
berdasarkan dalil yang ada dan lebih mendekati kebenaran."

Kemudian mereka berbeda pendapat, apakah ia wajib?


Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya wajib ‘Ain seperti shalat Jum‘at.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya sunnah.”
Aḥmad berkata: “Hukumnya Fardhu Kifāyah. Apabila ada sebagian yang
melakukannya maka kewajibannya gugur dari sebagian lainnya, seperti Jihad dan
shalat jenazah.”
 
Mereka berbeda pendapat tentang syarat-syaratnya.
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Di antara syaratnya adalah menetap (muqim),
ada jumlahnya dan idzin dari penguasa.” Ini berdasarkan riwayat dari Aḥmad
tentang keharusan meminta idzin kepada penguasa dalam shalat Jum‘at.
Abū Ḥanīfah menambahkan: “Harus dilakukan di kota.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Semua yang disebutkan di atas bukan syarat.” Dia
membolehkan ditunaikan secara sendiri-sendiri baik laki-laki maupun perempuan.
Ada pula riwayat yang sama dari Aḥmad.
 
Mereka sepakat bahwa dalam shalat ‘Īd disunnahkan memanggil dengan ucapan
“ash-Shalātu Jāmi‘atan.”
 
Mereka berbeda pendapat tentang jumlah Takbīr setelah Takbīrat-ul-Iḥrām.
Abū Ḥanīfah berkata: “3 takbir pada rakaat pertama dan 3 takbir pada rakaat kedua.”
207

Mālik dan Aḥmad berkata: “6 takbir pada rakaat pertama dan 5 takbir pada rakaat
kedua.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “7 takbir pada rakaat pertama dan 5 takbir pada rakaat kedua.”
 
Mereka sepakat (kecuali Abū Ḥanīfah dan Mālik) bahwa ada dzikir yang diucapkan
di antara setiap dua takbir, yaitu memuji Allah dan membaca shalawat atas Nabi
s.a.w.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Justru harus membaca takbir tersebut secara
berturut-turut (tanpa diselingi dengan dzikir).”
 
Mereka berbeda pendapat tentang mendahulukan takbir-takbir tersebut atas
membaca surah al-Fātiḥah pada 2 rakaatnya.
Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Harus mendahulukan takbir atas bacaan pada 2
rakaatnya.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Boleh berturut-turut di antara dua bacaan, yakni pada rakaat
pertama membaca takbir sebelum membaca al-Fātiḥah dan pada rakaat kedua
membaca takbir setelah membaca al-Fātiḥah.”
Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat darinya seperti dua madzhab di atas.
 
Mereka sepakat bahwa dianjurkan mengangkat kedua tangan pada setiap takbir.
Kecuali Mālik yang mengatakan: “Mengangkat kedua tangan hanya saat Takbīrat-
ul-Iḥrām saja.” Demikianlah menurut salah satu dari dua riwayat darinya. Menurut
riwayat lainnya adalah seperti pendapat jamā‘ah.
 
Mereka sepakat bahwa membaca takbir pada Hari Raya Naḥar disunnahkan.
 
Mereka berbeda pendapat tentang membaca takbir pada Hari Raya ‘Īd-ul-Fithri.
208

Mereka semua mengatakan: “Dianjurkan membaca takbir pada Hari Raya ‘Īd-ul-
Fithri.” Kecuali Abū Ḥanīfah yang mengatakan: “Tidak dianjurkan membaca takbir
pada Hari Raya ‘Īd-ul-Fithri.”
Aku (Ibnu Hubairah) mengatakan: “Pendapat yang benar adalah bahwa membaca
takbir pada Hari Raya ‘Īd-ul-Fithri lebih ditekankan daripada hari-hari lainnya.
Berdasarkan firman Allah s.w.t.:
َ‫ْال ُعس َْر َو لِتُ ْك ِملُوا ْال ِع َّدةَ َو لِتُ َكبِّرُوا هللاَ عَلى َما هَدَا ُك ْم َو لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (Qs. al-Baqarah [2]: 185).
Maksudnya adalah takbir pada Hari Raya ‘Īd-ul-Fithri.”
 
Mereka berbeda pendapat tentang permulaan dan akhir membaca takbir.
Mālik berkata: “Membaca takbir dianjurkan pada Hari Raya ‘Īd-ul-Fithri, bukan
malamnya. Dan ia dimulai sejak awal hari sampai imām keluar (untuk menunaikan
shalat ‘Īd).”
Menurut asy-Syāfi‘ī, dalam hal ini ada tiga pendapat tentang waktu akhir
membacanya.
Pertama, sampai imām keluar ke tempat shalat.
Kedua, sampai imām memulai shalat.
Ketiga, sampai imām selesai shalat. Adapun permulaannya adalah sejak Hilāl (bulan
sabit) terlihat.
Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat tentang waktu akhirnya.
Pertama, ketika imām telah keluar.
Kedua, setelah imām selesai menyampaikan dua khutbah. Adapun permulaannya
adalah seperti madzhab asy-Syāfi‘ī.
 
Mereka berbeda pendapat tentang sifatnya (redaksinya).
209

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Bacaan takbirnya adalah: “Allāhu Akbar, Allāhu
Akbar, Lā Ilāha Illallāhu Wallāhu Akbar, Allāhu Akbar, Wa Lillāh-il-Ḥamd.”
Takbirnya dibaca genap di awal dan akhir.”
Mālik berkata: “Sifatnya (redaksinya) adalah “Allāhu Akbar” sebanyak tiga kali
saja.”
Ada pula riwayat darinya bahwa yang sunnah adalah mengucapkan “Allāhu Akbar,
Allāhu Akbar, Lā Ilāha Illallāhu Wallāhu Akbar, Allāhu Akbar, Wa Lillāh-il-Ḥamd.”
‘Abd-ul-Wahhāb berkata: “Membaca genap di awal dan akhirnya lebih disukai
olehnya.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Takbirnya dibaca tiga kali secara berturut-turut di awal, lalu
tiga kali berturut-turut di akhir.”
Aku (Ibnu Hubairah) mengatakan: “Masing-masing memiliki pendapat. Akan tetapi
yang paling baik adalah yang dikatakan oleh asy-Syāfi‘ī, karena tiga adalah jumlah
minimal jama‘.”
 
Mereka berbeda pendapat tentang permulaan dan akhir membaca akhir pada Hari
Naḥar (10 Dzul-Ḥijjah) dan Tasyrīq (11, 12, dan 13 Dzul-Ḥijjah) bagi orang yang
tidak Iḥrām dan orang yang Iḥrām.
Abū Ḥanīfah berkata: “Orang yang tidak Iḥrām dan orang yang Iḥrām mulai
membaca takbir sejak shalat Shubuḥ pada hari ‘Arafah sampai shalat ‘Ashar hari
Naḥar, kemudian setelah itu berhenti.”
Menurutnya tidak ada bedanya antara keduanya baik awal maupun akhirnya.
Mālik berkata: “Takbir dibaca setelah shalat Zhuhur pada hari Naḥar dan terus
dibaca setelah selesai menunaikan shalat fardhu lainnya sampai shalat Shubuḥ pada
akhir hari Tasyrīq, yaitu hari keempat dari hari Naḥar. Takbir dibaca seusai shalat
fardhu lalu berhenti setelahnya. Ini berlaku bagi orang yang tidak Iḥrām dan orang
yang Iḥrām.”
Menurut asy-Syāfi‘ī, dalam hal ini ada beberapa pendapat.
210

Pertama, yang paling masyhur adalah, takbir diucapkan seusai shalat Zhuhur pada
hari Naḥar dan berakhir setelah shalat Shubuḥ pada akhir hari Tasyrīq, seperti
madzhab Mālik.
Kedua, takbir diucapkan seusai shalat Maghrib pada malam hari Naḥar dan berakhir
setelah shalat Shubuḥ pada akhir hari Tasyrīq.
Ketiga, takbir diucapkan setelah shalat Shubuh pada hari ‘Arafah dan berakhir
setelah shalat ‘Ashar pada akhir hari Tasyrīq. Inilah yang diamalkan oleh para
pengikutnya tanpa membedakan antara orang yang tidak Iḥrām dengan orang yang
Iḥrām.
Aḥmad berkata: “Apabila orang tersebut tidak Iḥrām maka dia membaca takbir
seusai shalat Shubuḥ pada hari ‘Arafah sampai setelah shalat ‘Ashar pada hari
Tasyrīq. Sedangkan bila dia Iḥrām maka dia membaca takbir seusai shalat Zhuhur
hari Naḥar dan berakhir setelah ‘Ashar pada hari Tasyrīq.
 
Mereka sepakat bahwa takbir diucapkan orang yang tidak Iḥrām dan orang yang
Iḥrām di belakang para Jamā‘ah.
 
Mereka berbeda pendapat tentang orang yang shalat sendirian pada waktu-waktu
tersebut baik orang yang tidak Iḥrām maupun orang yang Iḥrām, apakah dia harus
membaca takbir?
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya berkata: “Orang
yang shalat sendirian tidak perlu membaca takbir.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad dalam riwayat lain berkata: “Orang yang shalat
sendirian juga membaca takbir.”
 
Mereka sepakat bahwa takbir tidak dibaca seusai shalat-shalat sunnah pada waktu-
waktu tersebutt. Kecuali menurut salah satu dari dua riwayat dari Imām asy-Syāfi‘ī
bahwa takbir juga dibaca seusai shalat-shalat sunnah.
 
211

Mereka berbeda pendapat tentang orang yang ketinggalan shalat Hari Raya (‘Īd)
bersama imām.
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Dia tidak perlu mengqadha’.”
Aḥmad berkata: “Dia mengqadha’ sendirian bila waktunya masih ada setelah imam
keluar.”
Menurut Imām asy-Syāfi‘ī, dalam hal ini ada dua pendapat seperti dua madzhab di
atas.
Kemudian mereka yang berpendapat bahwa boleh mengqadha’ berbeda pendapat
tentang caranya.
Aḥmad berkata dalam riwayat yang paling masyhur darinya: “Dia menunaikannya 4
rakaat seperti shalat Zhuhur dengan mengucapkan salam di akhirnya. Bila dia mau,
dia boleh memisahnya dengan salam setiap 2 rakaat.” Pendapat inilah yang dipilih
oleh al-Khiraqī dan Abū Bakar.
Ada pula riwayat lain dari Aḥmad bahwa orang tersebut menunaikan shalat 2 rakaat
seperti shalatnya imām. Ini adalah madzhab Mālik dan pendapat asy-Syāfi‘ī menurut
pendapat yang mengatakan bahwa harus mengqadha’nya.
Ada pula riwayat ketiga darinya yaitu bahwa orang tersebut boleh memilih untuk
menunaikannya 2 rakaat atau 4 rakaat.
 
Mereka sepakat bahwa yang sunnah adalah imam memimpin shalat ‘Īd di tempat
shalat (lapangan dsb.) di tanah lapang, bukan di dalam masjid. Apabila shalat ‘Īd
dilaksanakan di masjid karena memperhatikan jamā‘ah yang lemah dan tidak mampu
maka hukumnya dibolehkan. Kecuali ‘ulamā’ Syāfi‘iyyah yang mengatakan bahwa
shalat ‘Īd lebih utama dilaksanakan di masjid bila masjidnya luas.
 
Mereka berbeda pendapat tentang bolehnya menunaikan shalat sunnah sebelum
shalat ‘Īd (Hari Raya) dan setelahnya bagi yang menghadirinya di tempat shalat atau
masjid.
212

Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak boleh menunaikan shalat sunnah sebelum shalat ‘Īd,
tapi boleh menunaikannya setelahnya bila mau.” Dalam hal ini beliau tidak
membedakan antara tempat shalat atau tempat lainnya dan juga tidak membedakan
antara imām dengan ma’mūm.
Mālik berkata: “Apabila shalatnya dilakukan di tempat shalat maka tidak boleh
menunaikan shalat sunnah sebelumnya atau sesudahnya, baik orang tersebut menjadi
imām atau ma’mūm.”
Namun bila shalat tersebut dilaksanakan di masjid, dalam hal ini ada dua riwayat
darinya.
Pertama, melarang, sebagaimana bila shalatnya dilakukan di tempat shalat (seperti
lapangan dsb.).
Kedua, dia boleh menunaikan shalat sunnah di masjid sebelum duduk dan setelah
duduk. Berbeda bila ia dilaksanakan di tempat shalat.
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Boleh menunaikan shalat sunnah sebelum shalat ‘Īd maupun
sesudahnya, baik di tempat shalat maupun di tempat lain. Kecuali imām; bila dia
telah muncul di hadapan jamā‘ah maka dia tidak boleh menunaikan shalat sebelum
shalat ‘Īd.”
Aḥmad berkata: “Tidak boleh menunaikan shalat sunnah sebelum shalat ‘Īd maupun
sesudahnya, baik orang tersebut menjadi imām maupun ma’mūm, baik di tempat
shalat maupun di masjid

Fasal
Sholat Gerhana

Shalat gerhana adalah shalat sunnah muakkadah yang ditetapkan dalam syariat Islam
sebagaimana para ulama telah menyepakatinya.Dalilnya adalah firman Allah SWT. :
213

ُ‫ ُجدُوا هَّلِل ِ الَّ ِذي َخلَقَه َُّن ِإ ْن ُك ْنتُ ْم إِيَّاه‬º‫اس‬ ِ º‫س َواَل لِ ْلقَ َم‬
ْ ‫ر َو‬º َّ ِ‫ ُجدُوا ل‬º‫ ُر اَل ت َْس‬º‫ ْمسُ َو ْالقَ َم‬º‫الش‬
ِ ‫ ْم‬º‫لش‬ َّ ‫ا ُر َو‬ººَ‫ ُل َوالنَّه‬º‫ ِه اللَّ ْي‬ºِ‫َو ِم ْن آيَات‬
َ‫تَ ْعبُ ُدون‬

“Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya
matahari dan bulan. Janganla kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi
sujudlah kepada Allah Yang Menciptakan keduanya. “ (QS. Fushshilat: 37)

Maksud dari perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Yang Menciptakan


matahari dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana matahari dan
gerhana bulan.Selain itu juga Rasulullah SAW bersabda:

َ ‫ فَا ْدعُوا هَّللا َ َو‬،‫ فَإ ِ َذا َرأَ ْيتُ ُموهُ َما‬،‫ت أَ َح ٍد َوالَ لِ َحيَاتِ ِه‬
‫لُّوا َحتَّى‬º‫ص‬ ِ ْ‫ الَ يَ ْن َك ِسفَا ِن لِ َمو‬،ِ ‫ت هَّللا‬ َ ‫إِ َّن ال َّش ْم‬
ِ ‫س َوالقَ َم َر آيَتَا ِن ِم ْن آيَا‬
‫يَ ْن َجلِ َي‬

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-


tanda kebesaran Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian
seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat
dan berdoalah hingga selesai fenomena itu.” (HR. Bukhari no. 1043, Muslim no.
915)

Shalat gerhana disyariatkan kepada siapa saja, baik dalam keadaan muqim di
negerinya atau dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau untuk
perempuan. Atau diperintahkan kepada orang-orang yang wajib melakukan shalat
Jumat. Namun meski demikian, kedudukan shalat ini tidak sampai kepada derajat
wajib, sebab dalam hadits lain disebutkan bahwa tidak ada kewajiban selain shalat 5
waktu semata.

B. Pelaksanaan Shalat Gerhana


214

Shalat gerhana matahari dan bulan dikerjakan dengan cara berjamaah, sebab dahulu
Rasulullah SAW. mengerjakannya dengan berjamaah di masjid. Shalat gerhana
secara berjamaah dilandasi oleh hadits Aisyah ra.

Shalat gerhana dilakukan tanpa didahului dengan azan atau iqamat. Yang


disunnahkan hanyalah panggilan shalat dengan lafaz “Ash  Shalatu Jamiah“.
Dalilnya adalah hadits berikut: Dari Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa
Rasulullah SAW. mengutus orang yang memanggil shalat dengan lafaz: Ash shalatu
jamiah”. (HR. Muttafaqun alaihi).

Namun shalat ini boleh juga dilakukan dengan sirr (merendahkan suara)


maupun dengan jahr (mengeraskannya).

Juga disunnahkan untuk mandi sunnah sebelum melakukan shalat gerhana, sebab


shalat ini disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah

Shalat ini juga dilakukan dengan khutbah menurut pendapat Asy Syafi`i.


Khutbahnya seperti layaknya khutbah Idul Fithri dan Idul Adha dan juga khutbah
Jumat. 

Dalilnya adalah hadits Aisyah ra. berkata,”Sesungguhnya ketika Nabi SAW selesai
dari shalatnya, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan memuji
Allah, kemudian bersabda,”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda
dari tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana
disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana,
maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu.”
(HR.  Muttafaqun ‘alaih)

Dalam khutbah itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk bertaubatdari dosa serta


untuk mengerjakan kebajikan dengan bersedekah, doa dan istighfar (minta ampun).
215

Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa dalam shalat ini disunnahkan untuk


diberikan peringatan (al-wa`zh) kepada para jamaah yang hadir setelah shalat,
namun bukan berbentuk khutbah formal di mimbar. Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
juga tidak mengatakan bahwa dalam shalat gerhana ada khutbah, sebab pembicaraan
nabi SAW setelah shalat dianggap oleh mereka sekedar memberikan penjelasan
tentang hal itu.

C. Tata Cara Teknis Shalat Gerhana

Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat.Masing-masing rakaat dilakukan dengan


2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2 ruku` dan 2 sujud.

Dalil yang melandasi hal tersebut adalah: Dari Abdullah bin Amru berkata, “Tatkala
terjadi gerhana matahari pada masa nabi SAW., orang-orang diserukan untuk
shalat “As-shalatu jamiah”.  Nabi melakukan 2 ruku` dalam satu rakaat kemudian
berdiri dan kembali melakukan 2 ruku` untuk rakaat yang kedua. Kemudian matahari
kembali nampak. . Aisyah ra. berkata,”Belum pernah aku sujud dan ruku` yang lebih
panjang dari ini.” (HR. Muttafaqun alaihi)

Lebih utama bila pada rakaat pertama pada berdiri yang pertama setelah Al-Fatihah
dibaca surat seperti Al Baqarah dalam panjangnya. Sedangkan berdiri yang kedua
masih pada rakaat pertamadibaca surat dengan kadar sekitar 200-an ayat, seperti Ali
Imran. Sedangkan pada rakaat kedua pada berdiri yang pertama dibaca surat yang
panjangnya sekitar 250-an ayat, seperti An-Nisa. Dan pada berdiri yang kedua
dianjurkan membaca ayat yang panjangnya sekitar 150-an ayat seperti Al-Maidah.

Disunnahkan untuk memanjangkan ruku` dan sujud dengan bertasbih kepada Allah
SWT, baik pada 2 rukuk dan sujud rakaat pertama maupun pada 2 ruku` dan sujud
pada rakaat kedua.
216

Yang dimaksud dengan panjang disini memang sangat panjang, sebab bila
dikadarkan dengan ukuran bacaan ayat Al-Quran, bisa dibandingkan dengan
membaca 100, 80, 70 dan 50 ayat surat Al-Baqarah. Panjang rukuk dan sujud
pertama pada rakaat pertama seputar 100 ayat surat Al-Baqarah, pada ruku` dan
sujud kedua dari rakaat pertama seputar 80 ayat surat Al-Baqarah. Dan seputar 70
ayat untuk rukuk dan sujud pertama dari rakaat kedua. Dan sujud dan rukuk terakhir
sekadar 50 ayat.

Dalilnya adalah hadits shahih yang keshahihannya telah disepakati oleh para ulama
hadits.

Dari Ibnu Abbas ra. berkata,”Terjadi gerhana matahari dan Rasulullah


SAW. melakukan shalat gerhana. Beliau beridri sangat panjang sekira membaca
surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku` sangat panjang lalu berdiri lagi dengan
sangat panjang namun sedikit lebih pendek dari yang pertama. Lalu ruku` lagi tapi
sedikit lebih pendek dari ruku` yang pertama. Kemudian beliau sujud. Lalu beliau
berdiri lagi dengan sangat panjang namun sidikit lebih pendek dari yang pertama,
kemudian ruku` panjang namun sedikit lebih pendek dari sebelumnya

Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī)
sepakat bahwa shalat gerhana matahari hukumnya Sunnah Mu’akkadah dan
dianjurkan berjamā‘ah.
‘Ulamā’ ahli bahasa berkata: “Kata Khusūf berasal dari kata Kasaf-uys-Syai’u, bila
sesuatu hilang cahayanya. Khusūf adalah hilangnya cahaya. Dikatakan “inkhasafat-
ul-Bi’ru” bila dasar sumur retak-retak.”
 
Mereka berbeda pendapat tentang caranya.
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Jumlahnya 2 rakaat dan setiap rakaatnya
ada dua ruku‘ dengan memperlama bacaan pada rakaat pertama yang lamanya
217

seperti membaca surah al-Baqarah, lalu memperlama ruku‘ dan sujud agar setelah
selesai matahari telah muncul”, sebagaimana yang telah kami uraikan sebelumnya
dalam kitab ini dalam Musnad Ibni ‘Abbās.
Abū Ḥanīfah berkata: “Sifatnya seperti shalat sunnah yang biasa kami lakukan, yaitu
pada setiap rakaatnya hanya ada satu ruku‘, kemudian setelah itu berdoa sampai
matahari muncul.”
 
Mereka berbeda pendapat tentang membaca dalam shalat gerhana, apakah dibaca
dengan suara keras atau lirih?
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Bacaannya lirih.”
Aḥmad berkata: “Bacaannya keras.” Pendapat ini disetujui oleh dua murid Abū
Ḥanīfah yaitu Abū Yūsuf dan Muḥammad.
 
Mereka berbeda pendapat, apakah shalat gerhana ada khutbahnya?
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan Aḥmad dalam riwayat yang masyhur darinya berkata:
“Tidak disunnahkan berkhutbah dalam shalat gerhana matahari, begitu pula dalam
shalat gerhana bulan.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Ada dua khutbah setelah menunaikannya baik shalat gerhana
matahari atau gerhana bulan.”
Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari Aḥmad.
 
Mereka berbeda pendapat apabila gerhana matahari terjadi pada waktu-waktu yang
dilarang menunaikan shalat di dalamnya, apakah boleh menunaikan shalat pada
waktu tersebut?
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad dalam riwayat yang masyhur darinya berkata: Tidak boleh
shalat pada waktu tersebut dan diganti dengan membaca Tasbīḥ.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Boleh menunaikan shalat pada waktu tersebut.”
Menurut Mālik, dalam hal ini ada tiga riwayat darinya.
Pertama, boleh menunaikan shalat gerhana setiap saat (pada semua waktu).
218

Kedua, hanya boleh menunaikan shalat gerhana pada waktu-waktu yang dibolehkan
menunaikan shalat di dalamnya dan tidak boleh menunaikannya pada waktu-waktu
terlarang.
Ketiga, shalat gerhana boleh dilakukan selama matahari belum tergelincir dan tidak
boleh setelah matahari tergelincir, karena menyesuaikan dengan shalat Hari Raya
(‘Īd).
 
Mereka berbeda pendapat, apakah disunnahkan menunaikan shalat gerhana bulan
secara berjamā‘ah atau hanya dianjurkan menunaikannya sendiri-sendiri?
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Tidak disunnahkan berjamā‘ah dan harus
dilaksanakan sendiri-sendiri.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Disunnahkan agar menunaikannya secara
berjamā‘ah.” Keduanya berkata: “Disunnahkan agar membaca dengan suara keras.”
 
Mereka sepakat (Ijma‘) bahwa dalam shalat gerhana matahari dan bulan
disunnahkan agar menyeru dengan ucapan: “Ash-shalātu Jāmi‘atan.”

Fasal
Shalat Istisqā’.
 
Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī)
sepakat bahwa Istisqā’ adalah minta hujan kepada Allah s.w.t. Berdoa, meminta, dan
memohon ampun saat itu hukumnya disunnahkan.
 
Mereka berbeda pendapat, apakah disunnahkan menunaikan shalat untuk meminta
hujan atau tidak?
219

Mālik, asy-Syāfi‘ī, Aḥmad dan dua murid Abū Ḥanīfah, yaitu Abū Yūsuf dan
Muḥammad, berkata: “Disunnahkan menunaikan shalat Istisqā’ secara berjamā‘ah.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak disunnahkan menunaikan shalat Istisqā’. Yang
dianjurkan adalah imam keluar bersama massa untuk berdoa. Bila mereka shalat
sendiri-sendiri maka dibolehkan.”
 
Mereka yang berpendapat bahwa shalat Istisqā’ hukumnya sunnah berbeda pendapat
tentang sifatnya (tata caranya).
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Caranya seperti shalat ‘Īd, yaitu pada rakaat
pertama membaca takbir 6 kali selain Takbīrat-ul-Iḥrām, sedangkan pada rakaat
kedua membaca takbir 5 kali selain Takbīrat-ul-Iḥrām.” Hanya saja asy-Syāfi‘ī
berkata: “Pada rakaat pertama takbir dibaca 7 kali selain Takbīrat-ul-Iḥrām dengan
suara keras.”
Mālik berkata: “Sifatnya adalah 2 rakaat seperti shalat-shalat lainnya dengan
membaca takbir seperti biasa dengan suara keras.”
 
Mereka berbeda pendapat, apakah disunnahkan berkhutbah dalam shalat Istisqā’?
Mālik, asy-Syāfi‘ī, Aḥmad dalam riwayat yang dipilih oleh al-Khiraqī Ibnu Ḥamīd
dan ‘Abd-ul-‘Azīz berkata: “Disunnahkan berkhutbah dua kali setelah shalat
Istisqā’.”
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad dalam riwayat yang sesuai dengan nash perkataannya
berkata: “Tidak ada khutbah dalam shalat Istisqā’. Yang ada hanyalah doa dan
Istighfār.”
Aku (Ibnu Hubairah) mengatakan: “Aku menganjurkan agar berdoa dengan doa
yang diriwayatkan oleh Anas r.a. yang telah kami sebutkan dalam buku ini.”
 
Mereka berbeda pendapat, apakah disunnahkan memindahkan selendang?
Mereka mengatakan: “Disunnahkan memindahkan selendang sebagai sikap optimis
agar keadaan berubah.”
220

Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak disunnahkan.”


 
Mereka sepakat bahwa apabila tidak turun hujan pada hari pertama maka shalat
Istisqā’ kembali dilakukan pada hari kedua. Bila hujan tidak juga turun pada hari
kedua maka diulang lagi pada hari ketiga.
Asy-Syāfi‘ī berkata dalam salah satu pendapatnya: “Apabila hujan tidak turun pada
hari pertama maka orang-orang disuruh berpuasa selama 3 hari lalu shalat Istisqā’
diulang lagi.”
 
Mereka sepakat bahwa apabila kaum muslimin khawatir bertambahnya hujan akan
menambah musibah maka disunnahkan berdoa agar hujan dihentikan, tanpa perlu
melakukan shalat. Wallāhu A‘lam.

Fasal
Shalat Khauf.

Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī)
sepakat bahwa rasa takut mempengaruhi tata cara shalat dan sifatnya (caranya),
bukan rakaatnya, berdasarkan firman Allah s.w.t.:

َ‫صاَل ةَ فَ ْلتَقُ ْم طَآئِفَةٌ ِّم ْنهُ ْم َّم َعك‬


َّ ‫َو ِإ َذا ُك ْنتَ فِ ْي ِه ْم فَأَقَ ْمتَ لَهُ ُم ال‬
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu
hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan
dari mereka berdiri (salat) besertamu.” (Qs. an-Nisā’ [4]: 102).
221

Abū Ḥanīfah berpendapat dengan merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
‘Umar bahwa imām harus membagi mereka menjadi dua kelompok. Satu kelompok
berdiri menghadapi musuh sementara kelompok lainnya di belakangnya, lalu imām
shalat mengimami kelompok pertama yaitu kelompok yang di belakangnya 1 rakaat
dengan dua sujud. Bila dia telah mengangkat kepalanya dari sujud kedua maka
kelompok ini (kelompok pertama) bergeser menuju ke arah musuh, lalu kelompok
kedua maju dan ikut shalat bersama imām dengan 1 rakaat dan dua sujud, lalu imām
membaca Tasyahhud dan Salām, tapi mereka tidak salām dan bergeser ke musuh,
lalu kelompok pertama datang dan menunaikan shalat 1 rakaat dengan dua sujud
tanpa membaca lalu kembali ke tempat mereka, kemudian kelompok kedua datang
lalu shalat 1 rakaat dengan dua sujud dengan bacaan dan Tasyahhud lalu salām.
Menurut Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad, mereka merujuk pada hadits yang
diriwayatkan oleh Sahl bin Abī Hatsmah tentang shalat Khauf. Hadits ini telah
dibahas dalam buku ini.
Yaitu bahwa imam membagi mereka menjadi dua kelompok, satu kelompok
menghadap ke arah musuh sementara kelompok lainnya di belakangnya. Lalu beliau
shalat dengan kelompok di belakangnya 1 rakaat dan tetap berdiri, sementara
kelompok yang ikut shalat dengannya menyempurnakan shalatnya sendiri-sendiri
dengan membaca surah al-Fātiḥah, surah lainnya sampai selesai (salām), lalu mereka
bangkit (setelah salam) untuk berjaga-jaga. Kemudian kelompok kedua yang
menghadap ke arah musuh datang lalu shalat dengan Nabi s.a.w. pada rakaat kedua,
lalu beliau duduk Tasyahhud, sementara kelompok kedua menyempurnakan rakaat
berikutnya sendiri-sendiri dengan membaca surah al-Fātiḥah dan surah lainnya.
Dalam kondisi demikian imām memperlama Tasyahhudnya sampai mereka selesai
Tasyahhud lalu beliau salām bersama mereka.
Hanya saja ada riwayat lain dari Mālik, yaitu bahwa imām salām tanpa menunggu
kelompok kedua.
Meskipun mereka berbeda pendapat tentang sifatnya (tata caranya), tapi mereka
sepakat dalam hal lainnya yaitu:
222

 
Mereka sepakat bahwa shalat Khauf hanya boleh dilakukan dengan tiga syarat:
a) Musuh berada di selain arah qiblat sehingga mereka tidak bisa shalat sampai
membelakangi qiblat, atau mereka berada di sebelah kanan dan sebelah
kirinya.
b) Musuh kemungkinan besar menyerang pasukan Islam ketika mereka
(pasukan Islam) tidak memerangi mereka.
c) Jumlah kaum muslimin banyak sehingga mereka bisa dibagi menjadi dua
kelompok, satu kelompok berhadapan dengan musuh dan kelompok lain di
belakang imām. Kecuali Abū Ḥanīfah yang berpendapat bahwa musuh tidak
harus berada di selain arah qiblat, tapi bisa dari arah mana saja. Menurutnya
shalat Khauf boleh dilakukan bila dikhawatirkan musuh menyerang secara
tiba-tiba.
 
Mereka sepakat bahwa shalat Khauf tetap berlaku hukumnya setelah Nabi s.a.w.
wafat dan tidak dinasakh
 
Mereka sepakat bahwa shalat Khauf saat muqīm (menetap) terdiri dari 4 rakaat dan
tidak diqashar, sedangkan dalam perjalanan terdiri dari 2 rakaat, baik shalat tersebut
asalnya 4 rakaat atau murni 2 rakaat. Bila asalnya 2 rakaat maka hukumnya tidak
berbeda, baik saat muqīm maupun dalam perjalanan maupun saat takut.
 
Mereka sepakat bahwa seluruh sifat yang diriwayatkan dari Nabi s.a.w. berkaitan
dengan shalat Khauf hukumnya dianggap (berlaku). Yang diperselisihkan oleh
mereka hanyalah mana yang dianggap paling kuat. Hanya saja asy-Syāfi‘ī dalam
salah satu dari dua pendapatnya berkata: “Apabila seseorang menunaikan shalat
Khauf berdasarkan pendapat Abū Ḥanīfah yang melandaskan pendapatnya pada
riwayat Ibnu ‘Umar maka shalatnya tidak sah.” Demikianlah yang diriwayatkan oleh
Abuth-Thayyib Thāhir bin ‘Abdillāh ath-Thabarī.
223

 
Mereka berbeda pendapat tentang shalat saat perang.
Abū Ḥanīfah berkata: “Shalat mereka tidak sah dalam kondisi tersebut dan harus
ditunda sampai mereka bisa shalat dalam kondisi tidak berperang.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Dia tidak boleh menundanya, karena shalat
tersebut boleh dilakukan sesuai kondisi dan hukumnya sah.”
Mereka berbeda pendapat, apakah shalat jamā‘ah boleh dilaksanakan saat suasana
sangat takut ketika sedang naik kendaraan?
Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya tidak boleh.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Hukumnya dibolehkan.”
 
Mereka sepakat bahwa membawa senjata saat shalat Khauf disyariatkan.
 
Mereka berbeda pendapat, apakah wajib membawa senjata saat shalat Khauf atau
tidak?
Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī – dalam salah satu dari dua pendapatnya -, dan Aḥmad
berkata: “Hukumnya disunnahkan dan tidak wajib.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī, berkata – dalam pendapat lainnya yang paling kuat – ,
“Hukumnya wajib.”
 
Mereka sepakat bahwa apabila pasukan Islam melihat banyak orang yang diduga
musuh lalu mereka menunaikan shalat Khauf lalu ternyata rombongan yang diduga
tersebut bukan musuh maka shalat mereka tidak sah dan harus diulang. Kecuali asy-
Syāfi‘ī yang mengatakan dalam salah satu dari dua riwayat darinya bahwa shalat
tersebut tidak perlu diulang dan hukumnya sah.

Fasal
224

Pakaian yang Makruh dan yang Tidak Makruh untuk Dipakai.

Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī)
sepakat bahwa laki-laki tidak boleh memakai pakaian sutra selain dalam peperangan.
 
Kemudian mereka berbeda pendapat, apakah boleh memakai sutra saat perang?
Mālik dan asy-Syāfi‘ī membolehkannya, sementara , Abū Ḥanīfah dan Aḥmad –
dalam salah satu dari dua riwayat darinya – menganggapnya makruh.
 
Mereka berbeda pendapat tentang hukum duduk di atas kain sutra dan bersandar
kepadanya.
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya haram seperti halnya
memakainya.” Sementara Abū Ḥanīfah membolehkannya

Fasal

Sutera Dan Emas

Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫الَ ت َْلبَسُوا ْال َح ِري َر فَإِنَّهُ َم ْن لَبِ َسهُ فِى ال ُّد ْنيَا لَ ْم يَ ْلبَ ْسهُ فِى اآل ِخ َر ِة‬
“Janganlah kalian memakai sutera karena siapa yang mengenakannya di dunia,
maka ia tidak mengenakannya di akhirat.” (HR. Bukhari no. 5633 dan Muslim no.
2069). Padahal pakaian penduduk surga adalah sutera. Jadi seakan-akan hadits di
atas adalah kinayah (ibarat) untuk tidak masuk surga. Allah Ta’ala berfirman
mengenai pakaian penduduk surga,
‫َولِبَا ُسهُ ْم فِيهَا َح ِري ٌر‬
225

“Dan pakaian mereka adalah sutera” (QS. Al Hajj: 23).


Juga terdapat riwayat dari Hudzaifah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ َوالَ تَأْ ُكلُوا فِى‬، ‫ض ِة‬
‫ فَإِنَّهَا لَهُ ْم فِى ال ُّد ْنيَا‬، ‫ص َحافِهَا‬ َّ ِ‫ب َو ْالف‬ َ َ‫الَ ت َْلبَسُوا ْال َح ِري َر َوالَ الدِّيب‬
ِ َ‫اج َوالَ تَ ْش َربُوا فِى آنِيَ ِة ال َّذه‬
ِ ‫َولَنَا فِى‬
‫اآلخ َر ِة‬
“Janganlah kalian mengenakan pakaian sutera dan juga dibaaj (sejenis sutera).
Janganlah kalian minum di bejana dari emas dan perak. Jangan pula makan di
mangkoknya. Karena wadah semacam itu adalah untuk orang kafir di dunia,
sedangkan bagi kita nanti di akhirat.” (HR. Bukhari no. 5426 dan Muslim no. 2067).
Begitu pula dari ‘Umar bin Khottob, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
َ َ‫إِنَّ َما يَ ْلبَسُ ْال َح ِري َر فِى ال ُّد ْنيَا َم ْن الَ َخال‬
ِ ‫ق لَهُ فِى‬
‫اآلخ َر ِة‬

“Sesungguhnya yang mengenakan sutera di dunia, ia tidak akan mendapatkan


bagian di akhirat” (HR. Bukhari no. 5835 dan Muslim no. 2068)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang kafir mereka bisa
mengenakan emas dan perak di dunia. Adapun di akhirat, mereka tidak akan
mendapatkan bagian apa-apa. Sedangkan orang muslim, mereka akan mengenakan
perak dan emas di surga. Dan mereka akan mendapatkan kenikmatan yang lain yang
tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah
terbetik dalam hati.” (Syarh Shahih Muslim, 14: 36)
Dari Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ور أُ َّمتِى َوأُ ِح َّل ِإلنَاثِ ِه ْم‬ ِ ‫حُرِّ َم لِبَاسُ ْال َح ِر‬
ِ َ‫ير َوال َّذه‬
ِ ‫ب َعلَى ُذ ُك‬

“Diharamkan bagi laki-laki dari umatku sutera dan emas, namun dihalalkan bagi
perempuan.” (HR. Tirmidzi no. 1720).
Di antara hikmah kenapa sampai emas dan sutera dilarang:
1- Tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang kafir sebagaimana disebutkan dalam
hadits Hudzaifah di atas.
226

2- Tasyabbuh (penyerupaan) dengan wanita.


3- Berlebihan dalam mengenakan sutera bukanlah sifat jantan dari laki-laki. Memang
laki-laki dituntut pula untuk berhias diri namun tidak berlebih-lebihan.
Laki-laki Muslim dilarang menggunakan pakaian dari sutra. Dari Abu Sa’id Al
Khudri radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫وإن د َخل الجنَّةَ لبِسه أه ُل الجنَّ ِة ولم يلبَسْه هو‬


ْ ‫َمن لبِس الحري َر في ال ُّدنيا لم يلبَسْه في اآلخر ِة‬

“Barangsiapa yang memakai pakaian dari sutra di dunia, dia tidak akan
memakainya di akhirat. Walaupun ia masuk surga dan penduduk surga yang lain
memakainya, namun ia tidak memakainya” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, no.
5437, dishahihkan oleh Al Aini dalam Nukhabul Afkar 13/277).
Ath Thahawi rahimahullah mengatakan:
‫اآلثار متواترة بذلك‬

“Hadits-hadits tentang ini (larangan memakai sutra) mutawatir” (Syarah Ma’anil


Atsar, 4/246).
Mutawatir artinya hadits tentang ini sangat banyak dan shahih sehingga mencapai
tingkat yakin.
Wanita boleh menggunakan sutra
Dan larangan ini berlaku untuk laki-laki. Adapun wanita dibolehkan menggunakan
pakaian sutra. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
‫ذكورها‬
ِ ‫ و ُح ِّرم على‬،‫ث أُمتي‬
ِ ‫أُح َّل الذهبُ والحري ُر إلنا‬

“Dihalalkan emas dan sutra bagi wanita dari kalangan umatku, dan diharamkan
bagi kaum laki-lakinya” (HR. An Nasa’i no. 5163, dishahihkan Al Albani dalam
Shahih An Nasa’i).
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan:
227

،‫ أما الرجال فلبسه حرام عليهم إال للضرورة؛ كمن بجلده حكة لجرب ونحوه‬،‫لبس الحرير حالل للنساء مطلقا‬
‫فيجوز له لبسه حتى تزول الضرورة‬.
“Penggunaan sutra bagi wanita hukumnya halal secara mutlak. Adapun laki-laki,
maka haram memakainya kecuali jika darurat. Semisal jika di kulitnya ada penyakit
gatal karena kudis atau semacamnya. Dalam keadaan demikian maka boleh
menggunakannya hingga hilangnya kondisi darurat” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah,
pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 8434).
Penggunaan sutra untuk selain pakaian
Perlu diketahui bahwa laki-laki tidak hanya dilarang menggunakan sutra, namun
juga dilarang sengaja duduk di atas sutra. Dari Hudzaifah radhiallahu’anhu beliau
berkata:
َ ِ‫اج َوأَ ْن نَجْ ل‬
‫س َعلَ ْي ِه‬ ِ ‫ْس ْال َح ِر‬
ِ َ‫ير َوالدِّيب‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن لُب‬
َ ‫نَهَانَا النَّبِ ُّي‬

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang kami memakai pakaian sutra dan


dibaj (sutra yang bergambar), dan melarang kami duduk di atasnya” (HR. Bukhari
no. 5837).
Imam An Nawawi mengatakan:
‫ْس َو ْال ُجلُوسُ َعلَ ْي ِه َوااِل ْستِنَا ُد إلَ ْي ِه َوالتَّ َغطِّي بِ ِه َواِتِّخَا ُذهُ َس ْترًا‬ ِ ‫اج َو ْال َح ِر‬
ِ ‫ير فِي اللُّب‬ ِ َ‫يَحْ ُر ُم َعلَى ال َّرج ُِل ا ْستِ ْع َما ُل الدِّيب‬
ُ‫ َواَل ِخاَل فَ فِي َش ْي ٍء ِم ْن هَ َذا إاَّل َوجْ هًا ُم ْن َكرًا َح َكاهُ الرَّافِ ِع ُّي أَنَّهُ يَجُو ُز لِلرِّ َجا ِل ْال ُجلُوس‬, ‫َو َسائِ ُر ُوجُو ِه ا ْستِ ْع َمالِ ِه‬
‫ َوأَ َّما‬, ‫ فَأ َ َّما اللُّبْسُ فَ ُمجْ َم ٌع َعلَ ْي ِه‬, ‫ هَ َذا َم ْذهَبُنَا‬, ‫يح‬ ِ ‫ص ِري ٌح ُمنَابِ ٌذ لِهَ َذا ْال َح ِدي‬
َّ ‫ث ال‬
ِ ‫ص ِح‬ َ ٌ‫ َوهَ َذا ْال َوجْ هُ بَا ِط ٌل َو َغلَط‬, ‫َعلَ ْي ِه‬
‫ وَأِل َ َّن‬, َ‫يث ُح َذ ْيفَة‬
ُ ‫ َدلِيلُنَا َح ِد‬. ‫ك َوأَحْ َم ُد َو ُم َح َّم ٌد َودَا ُود َو َغ ْي ُرهُ ْم‬
ٌ ِ‫ َو َوافَقَنَا َعلَى تَحْ ِري ِم ِه َمال‬، َ‫َما ِس َواهُ فَ َج َّو َزهُ أَبُو َحنِيفَة‬
‫ْس َموْ جُو ٌد فِي ْالبَاقِي‬ ِ ‫ب تَحْ ِر ِيم اللُّب‬َ َ‫َسب‬

“Lelaki diharamkan menggunakan sutra untuk pakaian, atau untuk dijadikan alas
duduk, atau alas sandaran, atau untuk menyelimuti diri, atau sebagai penutup
sesuatu, atau segala bentuk penggunaan. Tidak ada khilaf dalam masalah ini kecuali
satu pendapat yang munkar yang disebutkan oleh Ar Raf’i bahwa laki-laki
dibolehkan duduk di atas sutra. Ini pendapat yang batil dan sangat jelas kelirunya,
tidak boleh dipegang, karena hadits shahih di atas. Ini adalah madzhab kami.
228

Adapun memakai pakaian sutra, maka ini disepakati haramnya. Adapun penggunaan
selain pakaian, Abu Hanifah membolehkannya. Adapun Malik, Ahmad, Muhammad,
Daud dan selainnya sepakat dengan kami akan keharamannya. Dalil kami adalah
hadits Hudzaifah. Dan karena sebab pelarangan menggunakan pakaian sutra, ini juga
terdapat pada penggunaan sutra untuk selain pakaian” (Al Majmu’, 4/321).
Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya: “apa hukum menggunakan selimut, bed cover atau
sprei dari sutra”? Beliau menjawab:
‫ال يجوز للرجل استعمال األغطية والفرش من الحرير ؛ ألن هللا حرمه على الرجال‬

“tidak diperbolehkan laki-laki menggunakan selimut atau sprei dari sutra, karena
Allah telah haramkan sutra bagi laki-laki” (Muntaqa Fatawa Al Fauzan, 7/95).
Dibolehkan menggunakan sutra untuk pengobatan
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memberikan kelonggaran bagi laki-laki
untuk menggunakan sutra dalam pengobatan. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu
beliau berkata:
ِ ‫ْس ْال َح ِر‬
‫ير لِ ِح َّك ٍة بِ ِه َما‬ ُّ ِ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ل‬
ِ ‫لزبَي ِْر َو َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن فِي لُب‬ َ ‫ص النَّبِ ُّي‬
َ ‫َر َّخ‬

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memberikan kelonggaran untuk Zubair dan


Abdurrahman untuk memakai sutra karena penyakit gatal yang mereka derita” (HR.
Bukhari no. 5839, Muslim no. 2076).
Ibnu Hajar mengatakan:
‫َت بِ ِه ِعلَّة يُخَ فِّفهَا لُبْس ْال َح ِرير‬
ْ ‫ فِي ِه َداَل لَة َعلَى أَ َّن النَّهْي ع َْن لُبْس ْال َح ِرير اَل يَ ْد ُخل فِي ِه َم ْن َكان‬: ُّ‫ال الطَّبَ ِري‬
َ َ‫ق‬

“Ath Thabari menjelaskan: dalam hadits ini terdapat dalil bahwa larangan
menggunakan sutra tidak termasuk di dalamnya orang yang memiliki penyakit yang
bisa diringankan dengam memakai sutra” (Fathul Baari, 16/400).
Sehingga dibolehkan menggunakan sutra jika ada kebutuhan untuk menyembuhkan
penyakit atau kondisi darurat
229

Fasal
Penyelengaraan Mayit

Setiap jenazah seorang muslim memiliki hak untuk disholatkan. Tidak hanya sholat,
tetapi mengurus segala keperluannya.
Dalam Islam, hukum fardhu terbagi menjadi dua yaitu fardhu’ain dan fardhu
kifayah. Fardhu’ain diperuntukkan untuk ibadah yang wajib dikerjakan oleh semua
orang tanpa terkecuali.
Adapun fardhu kifayah adalah hukum yang sifatnya apabila sudah ada yang
mengerjakan maka hukum tersebut gugur untuk yang lainnya.
Untuk sholat jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah.
Artinya, bila ada yang sudah melakukannya maka hukum ini gugur untuk orang lain
di sekitarnya.
Namun, apabila tidak ada satupun orang yang mengurusi jenazahnya termasuk
mensholatkannya maka semua orang mendapatkan dosanya.
Keutamaan
Salah satu keutamaan melaksanakan sholat jenazah maka ia akan mendapatkan
pahala. Bila ia tidak hanya mensholatkan tetapi juga mengantarkan maka pahala
yang didapatkan menjadi lebih banyak.
Rasulullah SAW menggambarkan pahala dari dilaksanakannya sholat jenazah
hingga mengantarkannya dalam bentuk qirath.
Sebagaimana hadist Nabi SAW,
Barang siapa menshalatkan jenazah dan tidak mengiringinya (ke pemakaman), ia
akan memperoleh pahala sebesar satu qirath. Jika dia juga mengiringinya (hingga
pemakamannya), ia akan memperoleh dua qirath.
Ditanyakan, “Apa itu dua qirath?” Beliau menjawab, “Yang terkecil di antaranya
semisal Gunung Uhud.” (HR. Muslim)
230

Jadi, kalau kamu melaksanakan sholat jenazah sekaligus mengantarkannya maka


akan mendapatkan pahala sebesar gunung uhud.
Tata Cara
Tidak seperti sholat pada umumnya yang mana diawali dengan takbiratul ihram dan
diakhiri dengan salam. Sholat jenazah memiliki tata cara khusus dalam
pelaksanaannya.
Sholat ini dilakukan dengan empat kali takbir. Setiap takbir dibacakan ayat dan doa
yang berbeda.
Namun, yang paling awal untuk dilakukan sebelum memulai sholat jenazah adalah
dengan melafadzkan niat.
Lafadz niat sholat jenazah adalah sebagai berikut,
Untuk laki-laki:
‫ض ا ْل ِكفَايَ ِة َمأْ ُم ْو ًما ِهللِ تَ َعالَى‬
َ ‫ت فَ ْر‬ ِ ِّ‫صلِّى َعلَى َه َذاا ْل َمي‬
ٍ ‫ت اَ ْربَ َع تَ ْكبِ َرا‬ َ ُ‫ا‬

“Ushalli’alaahadzal mayyiti arba’a takbiraatin fardlal kifaayati ma’muuman lillahit


ta’aala”
Artinya,
Aku niat sholat atas mayit ini dengan empat takbir fardlu kirayah, sebagai makmum
karena Allah taala.
Untuk Perempuan:
‫ض ا ْل ِكفَايَ ِة َمأْ ُم ْو ًما ِهللِ تَ َعالَى‬
َ ‫ت فَ ْر‬
ٍ ‫صلِّى َعلَى َه ِذ ِه ا ْل َميِّتَ ِة اَ ْربَ َع تَ ْكبِ َرا‬
َ ُ‫ا‬

Ushollii ‘alaa haadzihill mayyitati arba’a takbirootin fardhol kifaayati ma’muuman


lillaahi ta’aalaa
Artinya,
“Aku niat sholat atas mayit ini dengan empat takbir fardlu kirayah, sebagai
makmum karena Allah taala.”
Setelah itu maka mulai membaca ayat dan doa-doa di setiap takbir. Bacaan sholat
jenazah yang berada di dalam keempat takbir tersebut adalah sebagai berikut:
231

Pada takbir pertama diawali dengan membaca ummul kitab yaitu surat Al-Fatihah.
Dilanjut dengan takbir kedua dengan membaca sholawat nabi.
Lalu, dilanjut dengan takbir ketiga dengan membaca doa untuk mayit.
Terakhir, takbir keempat membaca doa untuk jenazah lagi dan untuk umum.

Doa Sholat Jenazah


Bacaan doa sholat jenazah yang diucapkan ketika takbir ketiga adalah sebagai
berikut,
ِ ‫س ْلهُ بِا ْل َما ِء َوالثَّ ْل‬
َ‫ج َوا ْلبَ َر ِد َونَقِّ ِه ِمن‬ ِّ ‫ار َح ْمهُ َوعَافِ ِه َواعْفُ َع ْنهُ َوأَ ْك ِر ْم نُ ُزلَهُ َو َو‬
ِ ‫س ْع ُمد َْخلَهُ َوا ْغ‬ ْ ‫اللَّ ُه َّم ا ْغفِ ْر لَهُ َو‬
ْ‫س َوأَ ْب ِد ْلهُ دَا ًرا َخ ْي ًرا ِمنْ دَا ِر ِه َوأَ ْهالً َخ ْي ًرا ِمنْ أَ ْهلِ ِه َوز َْو ًجا َخ ْي ًرا ِمن‬ َ َ‫ا ْل َخطَايَا َك َما نَقَّيْتَ الثَّ ْو َب األَ ْبي‬
ِ َ‫ض ِمنَ ال َّدن‬
ِ ‫ز َْو ِج ِه َوأَ ْد ِخ ْلهُ ا ْل َجنَّةَ َوأَ ِع ْذهُ ِمنْ َع َذا‬
ِ ‫ب ا ْلقَ ْب ِر أَ ْو ِمنْ َع َذا‬
‫ب النَّا ِر‬

“Allahummaghfirlahu wahamhu wa’aafihi wa’fu anhu, wa akrim nuzulahu wawassi’


madkhalahu wa aghsilhu minal khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubulabyadlu minad
danas. Wa abdilhu daaraan khairam mind daarihi wa ahlan khairam min ahlihi wa
ad khilhul jannata waaidzhu min ‘adsaabil qabri wa min ‘adsaabin naar.”

Artinya,
“Ya Allah, ampunilah din, belas kasihanilah dia, hapuskanlah dan ampinulah dosa-
dosanya, mulyakan tempatnya (ialah surga) dan luaskanlah kuburannya.
Basuhkanlah kesalahan-kesalahannya sampai bersih sebagaimana bersihnya kain
putih dari kotoran.”

“Gantikanlah rumah lebih baik daripada rumahnya yang dulu, keluarganya lebih
baik daripada keluarganya yang dulit; dan masukkanlah ia ke dalam surge dan
jauhkanlah ia dari siksa kubur dan siksa api neraka.”

Apabila yang meninggal adalah peremupuan maka kata hu pada doa tersebut diganti
menjadi ha.
232

Kemudian dilanjutkan sebagaimana yang juga dilafadzkan pada takbir keempat,


yaitu:
ُ‫اللَّ ُه َّم الَ ت َْح ِر ْمنَا أَ ْج َرهُ َوالَ تَ ْفتِنَّا بَ ْع َدهُ َو ا ْغفِ ْر لَنَا َولَه‬

Allahumma laa tahrrimna aj-rahu walaa taftinnaa ba’dahu wagh firlanaa walahu
“Ya Allah, janganlah engkau menutup-nutupi pahala mayit ini kepada kami dan
janganlah diberikan fitnah kepada kami setelah kami meninggalkan mayit tersebut,
ampunilah kami dan ampunilah dia.”
Kesimpulan
Demikianlah penjelasan tentang sholat jenazah berikut bacaan dan tata cara sholat
jenazah yang sekiranya perlu kamu ketahui. Semoga pembahasan ini dapat
meningkatkan keimanan kita dengan mengetahui bahwa akhirat abadi dan dunia
hanya sementara

KITAB ZAKAT

Fasal
Pencampuran Milik

Berkata Syeikh Abu Syuja, dua orang yang mencampur harta itu menunaikan
zakatnya sebagaimana zakatnya seorang diri, dengan tujuh macam syarat yaitu harus
tunggal kandangnya
Baik itu harta milik pria maupun wanita, milik suami maupun istri. Semua orang
mempunyai hak kepemilikan penuh terhadap harta pribadinya.
233

Dalam Alquran, Allah Ta’ala telah membedakan antara harta suami dan harta istri.
Hal tersebut diungkapkan dalam pembahasan pembagian warisan. Allah Ta’ala
berfirman,
َ‫صين‬ ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬ِ ‫َولَ ُك ْم نِصْ فُ َما تَ َركَ أَ ْز َوا ُج ُك ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَه َُّن َولَ ٌد فَإ ِ ْن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكنَ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫بِهَا أَوْ َد ْي ٍن َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَإ ِ ْن َكانَ لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَه َُّن الثُّ ُمنُ ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
‫صيَّ ٍة‬
‫تُوصُونَ بِهَا أَوْ َد ْي ٍن‬
“Kalian wahai para suami, berhak mendapatkan warisan seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh para istri, jika istri tidak mempunyai anak. Namun, Jika istrimu
itu mempunyai anak, maka kamu berhak mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya. Warisan itu dibagi sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat dan
sesudah dibayar utangnya. Para istrimu berhak memperoleh warisan seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Namun, jika kamu
mempunyai anak, maka istrimu hanya berhak memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan. Warisan itu dibagi sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat
dan sesudah dilunasi utang-utangmu.” (QS. An Nisa: 12)
Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala membedakan antara harta suami dan harta istri. Si
suami baru berhak menguasai harta istrinya kalau istrinya sudah meninggal itupun
dalam jumlah tertentu yang ditetapkan syariat. Begitu juga si istri.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Istri juga memiliki harta yang dapat diperoleh dari
bekerja, ataupun dari mas kawin, atau warisan orang tuanya dan sumber-sumber
lainnya.
Bahkan Allah Ta’ala melarang para suami untuk mengambil kembali harta yang
pernah diserahkan kepada istrinya, seperti pemberian berupa maskawin.
Allah Ta’ala berfirman,
‫ج َوآتَ ْيتُ ْم إِحْ دَاه َُّن قِ ْنطَارًا فَاَل تَأْ ُخ ُذوا ِم ْنهُ َش ْيئًا‬ ٍ ْ‫َوإِ ْن أَ َر ْدتُ ُم ا ْستِ ْبدَا َل زَ و‬
ٍ ْ‫ج َم َكانَ زَ و‬

“Dan jika kamu ingin mencerai istrimu dan menikahi wanita lainnya, sedang kamu
telah memberikan kepada istrimu itu harta yang banyak, maka janganlah kamu
234

mengambil kembali dari istrimu itu sedikit pun dari harta yang sudah kamu
berikan.” (QS. An Nisa: 20)

Karena harta itu sudah sepenuhnya milik si istri. Istri-lah yang berhak
membelanjakannya atau mensedekahkannya sesuai keinginannya walaupun tanpa
seizin suami. Suami hanya berhak mencicipi harta istrinya, itupun jika si istri ridho
memberikannya pada suami.
Allah Ta’ala berfirman,
‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً فَإ ِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيئًا َم ِريئًا‬
َ ‫َوآتُوا النِّ َسا َء‬

“Berikanlah maskawin kepada wanita yang kamu nikahi berupa pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika istrimu menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka silahkan makan (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 4)
Kedua, Suami-istri menggabungkan harta mereka dalam satu tabungan
Pembahasan semisal ini dibahas oleh ulama dalam masalah “zakat harta syarikah”
atau harta gabungan.
Yaitu, bila dua orang atau lebih menggabungkan harta mereka. Kalau dihitung harta
perorang dari mereka maka nishob belum tercapai. Namun, karena digabungkan,
maka hasilnya mencapai nishob. Kemudian harta ini dikelola dan diperlakukan
seakan-akan harta yang satu. Maksudnya, ketika harta ini dikelola oleh pihak ketiga
misalnya, setiap pengeluaran dan keuntungan yang mengalir dianggap harta
gabungan juga.
Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat antara para ulama. Apakah harta
gabungan yang sudah mencapai nishob dikenakan zakat? ataukah tidak wajib zakat,
jikalau harta perorang yang ikut andil dalam gabungan tersebut belum sampai
nishobnya.
Dengan kata lain, sampai tidaknya nishob harta, apakah ditinjau dari sisi jumlah
harta yang terkumpul atau dari sisi pemilik harta tersebut?
235

Pendapat yang kuat menurut hemat kami adalah, yang menyatakan bahwa nishob
harta zakat selain dari hewan ternak, maka dihitung dari jumlah yang dimiliki oleh
pemilik harta tersebut.
Contoh: apabila kita perkirakan nishob zakat harta adalah 50 juta rupiah. Bila ada 3
orang menghimpun modal untuk usaha masing-masing 20 juta rupiah, maka
gabungan harta tersebut yang berjumlah 60 juta. Walaupun tampaknya sudah lebih
dari nishob, namun jika ditilik dari masing-masing pihak yang bergabung, uang
mereka belum sampai nishob, maka gabungan harta tersebut belum terkena wajib
pajak, karena belum sampai nishob.
Pendapat ini yang dinilai kuat oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Utsaimin,
disebutkan oleh beliau dalam kitabnya Syarh Mumti’ jilid 6 hal 66.
Dengan demikian, bila suami dan istri keduanya mempunyai penghasilan tetap,
kemudian menggabungkan uang mereka berdua dalam satu tabungan. Maka wajib
tidaknya zakat dalam harta tabungan itu tergantung sampai tidaknya nishob dari
harta masing-masing mereka.
Idealnya, seharusnya mereka berdua menghitung pemasukan harta mereka masing-
masing. Mungkin saja pemasukan suami lebih banyak daripada si istri. Sehingga
kemungkinan besar harta suami lebih cepat mencapai nishob dibandingkan harta
istri.
Ketahuilah bahwa dalam harta peninggalan suami maupun istri ada harta yang
diwarisi oleh orang lain, seperti orang tua suami atau istri. Untuk itu, jalan terbaik
adalah dengan mengetahui jumlah harta masing-masing walaupun tidak terlalu
mendetil, asalkan penghitungan ini tidak melahirkan sengketa dan pertikaian antar
keluarga.
Jangan sampai terjadi penguasaan istri terhadap harta suaminya ketika suaminya
sudah meninggal. Begitu juga sebaliknya jika istri meninggal, jangan sampai suami
menguasai seluruh harta istri. Dengan dalih harta ini adalah milik bersama. Karena,
harta bersama pun bisa diketahui prosentase harta dari andil masing-masing anggota.
236

Fasal

Nishab Emas dan Perak

Syekh Zakariya al-Anshari menjelaskan sedikit hikmah dari kewajiban zakat emas
dan perak, beliau berkata:
‫ائِ ِر‬ºº‫ا ِم ْن) َس‬ºº‫اةَ (فِي َغي ِْر ِه َم‬ºº‫(واَل ) زَ َك‬ َ ‫ائِ َم ِة‬ºº‫الس‬َّ ‫يَ ِة‬ºº‫اش‬ ِ ‫ا ِء َك ْال َم‬ºº‫ َّدا ِن لِلنَّ َم‬ºº‫ةَ ُم َع‬ºº‫ض‬
َّ ِ‫َب َو ْالف‬
َ ‫ َّذه‬ºº‫ك أَ َّن ال‬
َ ººِ‫َو ْال َم ْعنَى فِي َذل‬
‫ َل‬º‫ص‬ ْ َ ‫ ِة وَأِل َ َّن اأْل‬ºَ‫يَ ِة ْال َعا ِمل‬º‫اش‬
ِ ‫ك َو َع ْنبَ ٍر أِل َنَّهَا ُم َع َّدةٌ لِاِل ْستِ ْع َما ِل َك ْال َم‬
ٍ ‫ت َوفَ ْيرُو َز َج َولُ ْؤلُ ٍؤ َو ِم ْس‬ ْ
ٍ ‫(ال َج َوا ِه ِر) َونَحْ ِوهَا َكيَاقُو‬
ُ ْ‫َع َد ُم ال َّز َكا ِة إاَّل فِي َما أَ ْثبَتَهَا ال َّشر‬
‫ع فِي ِه‬
“Hikmah zakat wajib atas emas dan perak adalah sesungguhnya keduanya
dipersiapkan untuk berkembang sebagaimana binatang ternak yang sâimah (tidak
dipekerjakan). Selain dua barang itu, tidak ada kewajiban zakat atas barang-barang
berharga (berupa logam atau sejenisnya) seperti yaqut, fairuz, intan, misik dan
‘ambar karena sesungguhnya barang-barang tersebut dipersiapkan untuk dipakai
sebagaimana binatang ternak yang dipekerjakan, dan karena sesungguhnya hukum
asal dalam syariat adalah tidak ada kewajiban zakat kecuali pada harta yang telah
ditetapkan oleh syariat.”
Karena Islam memandang emas dan perak termasuk dari harta yang memiliki potensi
berkembang sebagaimana binatang ternak, maka ia mewajibkan zakat atas keduanya
bila telah mencapai nishab dan haul (satu tahun), baik berupa emas dan perak
batangan, leburan, logam, bejana, suvenir, ukiran, dan lain sebagainya. Namun jika
emas dan perak dipergunakan sebagai perhiasan yang halal seperti kalung, anting,
dan gelang yang dipakai oleh para wanita, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya
kecuali menurut mazhab Hanafi.
Sedangkan perhiasan emas dan perak yang dipergunakan secara haram, seperti
perhiasan emas yang dipakai oleh orang laki-laki, atau perhiasan yang dikenakan
melampaui batas kewajaran, wajib dizakati. Menurut sebagian ulama, batas
237

kewajaran dalam menggunakan perhiasaan emas atau perak adalah apabila berat
perhiasan yang dikenakan tidak melebihi 720 gram (200 mitsqal).

Kewajiban zakat emas dan perak ditemukan dasarnya pada hadits riwayat Abu
Dawud rahimahullah:

َ‫رُون‬º‫كَ ِع ْش‬ºَ‫ونَ ل‬º‫ ْى ٌء َحتَّى يَ ُك‬º‫ك َش‬ َ ‫ َولَي‬، ‫ةُ َد َرا ِه َم‬º‫ا خَ ْم َس‬ºَ‫ وْ ُل فَفِيه‬º‫ك ِمائَتَا ِدرْ ه ٍَم َو َحا َل َعلَ ْيهَا ْال َح‬
َ ºْ‫ْس َعلَي‬ ْ ‫فَإ ِ َذا َكان‬
َ َ‫َت ل‬
َ‫ب َذلِك‬ ٍ ‫ك َو َحا َل َعلَ ْيهَا ْال َحوْ ُل فَفِيهَا نِصْ فُ ِدين‬
ِ ‫ فَ َما زَا َد فَبِ ِح َسا‬، ‫َار‬ ْ ‫ فَإ ِ َذا َكان‬، ‫“ ِدينَارًا‬
َ َ‫َت ل‬

Jika engkau memiliki perak 200 dirham dan telah mencapai haul (satu tahun), maka
darinya wajib zakat 5 dirham. Dan untuk emas, anda tidak wajib menzakatinya
kecuali telah mencapai 20 dinar, maka darinya wajib zakat setengah dinar, lalu
dalam setiap kelebihannya wajib dizakati sesuai prosentasenya.” (HR. Abu Dawud)

Dalam hadits ini ditegaskan bahwa zakat emas dan perak wajib dibayarkan ketika
sudah mencapai nishab dan telah melewati masa haul. Dan dari hadits ini pula dapat
pifahami bahwa zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 persen dari aset emas dan perak
yang dimiliki. Sebab, 5 dirham adalah 2,5 persen dari 200 dirham, begitu pula
setengah dinar adalah 2,5 persen dari 20 dinar. Hanya saja, dalam urusan konversi
(perubahan dari satuan ke satuan yang lain, dalam hal ini dari satuan mitsqal ke
satuan gram) emas dan perak, para ulama berbeda pendapat. Sehingga, dalam ukuran
emas dan perak tertentu, menurut sebagian ulama wajib dizakati sebab telah
mencapai nishab, sedangkan menurut ulama yang lain tidak wajib zakat sebab belum
mencapai nishab. Di atas telah disampaikan bahwa nishab emas murni adalah 20
dinar/20 mitsqal sedangkan nishab perak murni adalah 200 dirham.
238

Fasal

Nishab Hasil Tanaman Sawah

Hasil pertanian wajib dikenai zakat. Beberapa dalil yang mendukung hal ini adalah:

ِ ْ‫ت َما َك َس ْبتُ ْم َو ِم َّما أَ ْخ َرجْ نَا لَ ُك ْم ِمنَ اأْل َر‬


‫ض‬ ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا أَ ْنفِقُوا ِم ْن طَيِّبَا‬
239

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 267).

Kata “‫ ” ِم ْن‬di sini menunjukkan sebagian, artinya tidak semua hasil bumi itu dizakati.
‫ت َوالنَّ ْخ َل َوال َّزرْ َع ُم ْختَلِفًا أُ ُكلُهُ َوال َّز ْيتُونَ َوالرُّ َّمانَ ُمتَ َشابِهًا َو َغي َْر‬
ٍ ‫ت َو َغ ْي َر َم ْعرُو َشا‬ ٍ ‫َوه َُو الَّ ِذي أَ ْن َشأ َ َجنَّا‬
ٍ ‫ت َم ْعرُو َشا‬
َ ‫ُمتَ َشابِ ٍه ُكلُوا ِم ْن ثَ َم ِر ِه إِ َذا أَ ْث َم َر َوآَتُوا َحقَّهُ يَوْ َم َح‬
‫صا ِد ِه‬
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun
dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya).
Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir
miskin).” (QS. Al An’am: 141).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ٌ‫ص َدقَة‬ ٍ ‫س أَوْ ُس‬
َ ‫ق‬ َ ‫َولَي‬
ِ ‫ْس فِي َما ُدونَ َخ ْم‬
“Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.”
Dalil-dalil ini menunjukkan wajibnya zakat hasil pertanian yang dipanen dari muka
bumi, namun tidak semuanya terkena zakat dan tidak semua jenis terkena zakat.
Akan tetapi, yang dikenai adalah jenis tertentu dengan kadar tertentu.

Pertama, para ulama sepakat bahwa hasil pertanian yang wajib dizakati ada empat
macam, yaitu: sya’ir (gandum kasar), hinthoh (gandum halus), kurma dan kismis
(anggur kering).
‫ بَ َعثَهُ َما‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ُول هللا‬ َ ‫ أَ َّن َرس‬: ‫ض َى هَّللا ُ َع ْنهُ َما‬ ِ ‫ى َو ُم َعا ٍذ َر‬ِّ ‫ع َْن أَبِى بُرْ دَة ع َْن أَبِى ُمو َسى األَ ْش َع ِر‬
ْ
ِ ‫ فَأ َ َم َرهُ ْم أَ ْن اَل يَأ ُخ ُذوا إِالَّ ِمنَ ْال ِح ْنطَ ِة َوال َّش ِع‬،‫اس‬
ِ ‫ير َوالتَّ ْم ِر َوال َّزبِي‬
‫ب‬ َ َّ‫إِلَى ْاليَ َم ِن يُ َعلِّ َما ِن الن‬

Dari Abu Burdah, bahwa Abu Musa Al-Asy’ari dan Mu’adz bin Jabal radhiallahu
‘anhuma pernah diutus ke Yaman untuk mengajarkan perkara agama. Nabi
240

shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar tidak mengambil zakat


pertanian kecuali dari empat jenis tanaman: hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum
kasar), kurma, dan zabib (kismis).
Dari Al Harits dari Ali, beliau mengatakan:
‫الصدقة عن أربع من البر فإن لم يكن بر فتمر فإن لم يكن تمر فزبيب فإن لم يكن زبيب فشعير‬

“Zakat (pertanian) hanya untuk empat komoditi: Burr (gandum halus), jika tidak
ada maka kurma, jika tidak ada kurma maka zabib (kismis), jika tidak ada zabib
maka sya’ir (gandum kasar).”

Dari Thalhah bin Yahya, beliau mengatakan: Saya bertanya kepada Abdul Hamid
dan Musa bin Thalhah tentang zakat pertanian. Keduanya menjawab,
‫إنما الصدقة في الحنطة والتمر والزبيب‬

“Zakat hanya ditarik dari hinthah (gandum halus), kurma, dan zabib(kismis).”
Kedua, jumhur (mayoritas) ulama meluaskan zakat hasil pertanian ini pada tanaman
lain yang memiliki ‘illah (sebab hukum) yang sama. Jumhur ulama berselisih
pandangan mengenai ‘illah (sebab) zakat hasil pertanian.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada segala
sesuatu yang ditanam baik hubub (biji-bijian), tsimar (buah-buahan) dan sayur-
sayuran.
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada
tanaman yang merupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan.
Imam Ahmad berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang
dapat disimpan dan ditakar.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang
dapat disimpan.
Tiga pendapat terakhir ini dinilai lebih kuat. Sedangkan pendapat Abu Hanifah
adalah pendapat yang lemah dengan alasan beberapa dalil berikut,
241

َ ‫ت َو ِه َى ْالبُقُو ُل فَقَا َل « لَي‬


‫ْس فِيهَا َش ْى ٌء‬ ِ ‫ يَسْأَلُهُ َع ِن ْال ُخضْ َر َوا‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َب إِلَى النَّبِ ِّى‬
َ ‫ع َْن ُم َعا ٍذ أَنَّهُ َكت‬

Dari Mu’adz, ia menulis surat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
bertanya mengenai sayur-sayuran (apakah dikenai zakat). Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sayur-sayuran tidaklah dikenai zakat.”

Hadits ini menunjukkan bahwa sayuran tidak dikenai kewajiban zakat.


‫ بَ َعثَهُ َما‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬: ‫ع َْن طَ ْل َحةَ ْب ِن يَحْ يَى ع َْن أَبِى بُرْ َدةَ ع َْن أَبِى ُمو َسى َو ُم َعا ِذ ْب ِن َجبَ ٍل‬
ِ ‫َاف األَرْ بَ َع ِة ال َّش ِع‬
‫ير‬ َّ ‫« الَ تَأْ ُخ َذا فِى ال‬: ‫وقَا َل‬.
ِ ‫ص َدقَ ِة إِالَّ ِم ْن هَ ِذ ِه األَصْ ن‬ َ ‫اس أَ ْم َر ِدينَ ِه ْم‬
َ َّ‫إِلَى ْاليَ َم ِن فَأ َ َم َرهُ َما أَ ْن يُ َعلِّ َما الن‬
.» ‫ب َوالتَّ ْم ِر‬ ِ ‫َو ْال ِح ْنطَ ِة َوال َّزبِي‬

Dari Tholhah bin Yahya, dari Abu Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal
berkata bahwa  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus keduanya ke
Yaman dan memerintahkan kepada mereka untuk mengajarkan agama. Lalu beliau
bersabda, “Janganlah menarik zakat selain pada empat komoditi: gandum kasar,
gandum halus, kismis dan kurma.”
Hadits ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian bukanlah untuk seluruh
tanaman.
Sedangkan pendapat ulama Zhohiriyah yang menyatakan bahwa zakat hasil
pertanian hanya terbatas pada empat komoditi tadi, maka dapat disanggah dengan
dua alasan berikut:
1. Kita bisa beralasan dengan hadits Mu’adz di atas bahwa tidak ada zakat pada
sayur-sayuran. Ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian diambil dari
tanaman yang bisa disimpan dalam waktu yang lama dan tidak mudah rusak.
Sedangkan sayur-sayuran tidaklah memiliki sifat demikian.
2. Empat komoditi yang disebutkan dalam hadits adalah makanan pokok yang
ada pada saat itu. Bagaimana mungkin ini hanya berlaku untuk makanan
pokok seperti saat itu saja dan tidak berlaku untuk negeri lainnya? Karena
242

syari’at tidaklah membuat ‘illah suatu hukum dengan nama semata namun
dilihat dari sifat atau ciri-cirinya.
Pendapat Imam Syafi’i lebih dicenderungi karena hadits-hadits yang telah
disebutkan di atas memiliki ‘illah (sebab hukum) yang dapat ditarik di mana
gandum, kurma dan kismis adalah makanan pokok di masa silam –karena menjadi
suatu kebutuhan primer- dan makanan tersebut bisa disimpan. Sehingga hal ini dapat
diqiyaskan atau dianalogikan pada padi, gandum, jagung, sagu dan singkong  yang
memiliki ‘illah yang sama.

Nishob zakat pertanian


Nishob zakat pertanian adalah 5 wasaq. Demikian pendapat jumhur (mayoritas)
ulama, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Dalil yang mendukung pendapat
jumhur adalah hadits,
ٌ‫ص َدقَة‬ ٍ ‫س أَوْ ُس‬
َ ‫ق‬ َ ‫َولَي‬
ِ ‫ْس فِي َما ُدونَ َخ ْم‬
“Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.”
1 wasaq = 60 sho’, 1 sho’ = 4 mud.
Nishob zakat pertanian = 5 wasaq x 60 sho’/wasaq = 300 sho’ x 4 mud = 1200 mud.
Ukuran mud adalah ukuran dua telapak tangan penuh dari pria sedang.
Lalu bagaimana konversi nishob zakat ini ke timbangan (kg)?
Perlu dipahami bahwa sho’ adalah ukuran untuk takaran. Sebagian ulama
menyatakan bahwa satu sho’ kira-kira sama dengan 2,4 kg. Syaikh Ibnu Baz
menyatakan, 1 sho’ kira-kira 3 kg. Namun yang tepat jika kita ingin mengetahui
ukuran satu sho’ dalam timbangan (kg) tidak ada ukuran baku untuk semua benda
yang ditimbang. Karena setiap benda memiliki massa jenis yang berbeda. Yang
paling afdhol untuk mengetahui besar sho’, setiap barang ditakar terlebih dahulu.
Hasil ini kemudian dikonversikan ke dalam timbangan (kiloan).
Taruhlah jika kita menganggap 1 sho’ sama dengan 2,4 kg, maka nishob zakat
tanaman = 5 wasaq x  60 sho’/ wasaq x 2,4 kg/ sho’ = 720 kg.
243

Dari sini, jika hasil pertanian telah melampaui 1 ton (1000 kg), maka sudah terkena
wajib zakat.
Catatan: Jika hasil pertanian tidak memenuhi nishob, belum tentu tidak dikenai
zakat. Jika pertanian tersebut diniatkan untuk perdagangan, maka bisa masuk dalam
perhitungan zakat perdagangan sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Kadar zakat hasil pertanian
Pertama, jika tanaman diairi dengan air hujan atau dengan air sungai tanpa ada
biaya yang dikeluarkan atau bahkan tanaman tersebut tidak membutuhkan air,
dikenai zakat sebesar 10 %.
Kedua, jika tanaman diairi dengan air yang memerlukan biaya untuk pengairan
misalnya membutuhkan pompa untuk menarik air dari sumbernya, seperti ini dikenai
zakat sebesar 5%.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ح نِصْ فُ ْال ُع ْش ِر‬
ِ ْ‫ َو َما ُسقِ َى بِالنَّض‬، ‫ًّا ْال ُع ْش ُر‬ºّ‫ت ال َّس َما ُء َو ْال ُعيُونُ أَوْ َكانَ َعثَ ِرًي‬
ِ َ‫فِي َما َسق‬
“Tanaman yang diairi dengan air hujan atau dengan mata air atau dengan air tada
hujan, maka dikenai zakat 1/10 (10%). Sedangkan tanaman yang diairi dengan
mengeluarkan biaya, maka dikenai zakat 1/20 (5%).”
Jika sawah sebagiannya diairi air hujan dan sebagian waktunya diairi air dengan
biaya, maka zakatnya adalah ¾ x 1/10 = 3/40 = 7,5 %. Dan jika tidak diketahui
manakah yang lebih banyak dengan biaya ataukah dengan air hujan, maka diambil
yang lebih besar manfaatnya dan lebih hati-hati. Dalam kondisi ini lebih baik
mengambil kadar zakat 1/10.
Catatan: Hitungan 10% dan 5% adalah dari hasil panen dan tidak dikurangi dengan
biaya untuk menggarap lahan dan biaya operasional lainnya.
Contoh: Hasil panen padi yang diairi dengan mengeluarkan biaya sebesar 1 ton.
Zakat yang dikeluarkan adalah 10% dari 1 ton, yaitu 100 kg dari hasil panen.
244

Kapan zakat hasil pertanian dikeluarkan?


Dalam zakat hasil pertanian tidak menunggu haul, setiap kali panen ada kewajiban
zakat.
Kewajiban zakat disyaratkan ketika biji tanaman telah keras (matang), demikian pula
tsimar (seperti kurma dan anggur) telah pantas dipetik (dipanen). Sebelum waktu
tersebut tidaklah ada kewajiban zakat. Dan di sini tidak mesti seluruh tanaman
matang. Jika sebagiannya telah matang, maka seluruh tanaman sudah teranggap
matang.
Zakat buah-buahan dikeluarkan setelah diperkirakan berapa takaran jika buah
tersebut menjadi kering. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
ُ‫ص ْال ِعنَبُ َك َما ي ُْخ َرصُ النَّ ْخ ُل َوتُ ْؤخَ ُذ زَ َكاتُه‬
َ ‫ أَ ْن ي ُْخ َر‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ب ْب ِن أَ ِسي ٍد قَا َل أَ َم َر َرسُو ُل هَّللا‬
ِ ‫ع َْن َعتَّا‬
‫زَ بِيبًا َك َما تُ ْؤ َخ ُذ َز َكاةُ النَّ ْخ ِل تَ ْمرًا‬
Dari ‘Attab bin Asid, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk menaksir anggur sebagaimana menaksir kurma. Zakatnya
diambil ketika telah menjadi anggur kering (kismis) sebagaimana zakat kurma
diambil setelah menjadi kering.”

Walau hadits ini dho’if (dinilai lemah) namun telah ada hadits shahih yang
disebutkan sebelumnya yang menyebutkan dengan lafazh zabib (anggur kering atau
kismis) dan tamr (kurma kering).

Fasal

Zakat Barang Dagangan


245

Barang dagangan (‘urudhudh tijaroh) yang dimaksud di sini adalah yang


diperjualbelikan untuk mencari untung.
Dalil akan wajibnya zakat perdagangan adalah firman Allah Ta’ala,

ِ ْ‫ت َما َك َس ْبتُ ْم َو ِم َّما أَ ْخ َرجْ نَا لَ ُك ْم ِمنَ اأْل َر‬


‫ض‬ ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا أَ ْنفِقُوا ِم ْن طَيِّبَا‬
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 267). Imam Bukhari meletakkan Bab dalam kitab
Zakat dalam kitab shahihnya, di mana beliau berkata,
ِ ‫ص َدقَ ِة ْال َك ْس‬
‫ب َوالتِّ َجا َر ِة‬ َ ‫باب‬
“Bab: Zakat hasil usaha dan tijaroh (perdagangan)”, setelah itu beliau rahimahullah
membawakan ayat di atas.
Kata Ibnul ‘Arobi,
َ‫ التِّ َجا َرة‬: ‫{ َما َك َس ْبتُ ْم } يَ ْعنِي‬
“Yang dimaksud ‘hasil usaha kalian’ adalah perdagangan”.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para ulama empat madzhab dan ulama
lainnya –kecuali yang keliru dalam hal ini- berpendapat wajibnya zakat barang
dagangan, baik pedagang adalah seorang yang bermukim atau musafir. Begitu pula
tetap terkena kewajiban zakat walau si pedagang bertujuan dengan membeli barang
ketika harga murah dan menjualnya kembali ketika harganya melonjak. … ”
Syarat zakat barang dagangan
1. Barang tersebut dimiliki atas pilihan sendiri dengan cara yang mubah baik
lewat jalan cari untung (mu’awadhot) seperti jual beli dan sewa atau  secara
cuma-cuma (tabaru’at) seperti hadiah dan wasiat.
2. Barang tersebut bukan termasuk harta yang asalnya wajib dizakati seperti
hewan ternak, emas, dan perak. Karena tidak boleh ada dua wajib zakat
dalam satu harta berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan zakat pada emas
dan perak –misalnya- itu lebih kuat dari zakat perdagangan, karena zakat
246

tersebut disepakati oleh para ulama. Kecuali jika zakat tersebut di bawah
nishob, maka bisa saja terkena zakat tijaroh.
3. Barang tersebut sejak awal dibeli diniatkan untuk diperdagangkan, karena
setiap amalan tergantung niatnya.  Dan tijaroh (perdagangan) termasuk
amalan, maka harus ada niat untuk didagangkan sebagaimana niatan dalam
amalan lainnya.
4. Nilai barang tersebut telah mencapai salah satu nishob dari emas atau perak,
mana yang paling hati-hati dan lebih membahagiakan miskin. Sebagaimana
dijelaskan bahwa nishob perak itulah yang lebih rendah dan nantinya yang
jadi patokan dalam nishob.
5. Telah mencapai haul (melalui masa satu tahun hijriyah). Jika barang
dagangan saat pembelian menggunakan mata uang yang telah mencapai
nishob, atau harganya telah melampaui nishob emas atau perak, maka haul
dihitung dari waktu pembelian tersebut.
Kapan nishob teranggap pada zakat barang dagangan?
1. Haul baru dihitung setelah nilai barang dagangan mencapai nishob.
2. Menurut jumhur (mayoritas ulama), nishob yang teranggap adalah pada
keseluruhan haul (selama satu tahun). Jika nilai barang dagangan di
pertengahan haul kurang dari nishob, lalu bertambah lagi, maka perhitungan
haul dimulai lagi dari awal saat nilainya mencapai nishob. Adapun jika
pedagang tidak mengetahui kalau nilai barang dagangannya turun dari nishob
di tengah-tengah haul, maka asalnya dianggap bahwa nilai barang dagangan
masih mencapai nishob.
Apakah mengeluarkan zakat barang dagangan dengan barangnya atau nilainya?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wajib mengeluarkan zakat barang dagangan
dengan nilainya karena nishob barang dagangan adalah dengan nilainya. Sedangkan
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya berpandangan
bahwa pedagang boleh memilih dikeluarkan dari barang dagangan ataukah dari
247

nilainya. Adapun Ibnu Taimiyah memilih manakah yang lebih maslahat bagi
golongan penerima zakat.
Perhitungan zakat barang dagangan
Perhitungan zakat barang dagangan = nilai barang dagangan* + uang dagang
yang ada + piutang yang diharapkan – utang yang jatuh tempo**.
* dengan harga saat jatuh haul, bukan harga saat beli.
** utang yang dimaksud adalah utang yang jatuh tempo pada tahun tersebut (tahun
pengeluaran zakat). Jadi bukan dimaksud seluruh hutang pedagang yang ada. Karena
jika seluruhnya, bisa jadi ia tidak ada zakat bagi dirinya.
Kalau mencapai nishob, maka dikeluarkan zakat sebesar 2,5% atau 1/40.

Fasal

Zakat Fitrah

Adanya kewajiban memberikan zakat fitrah telah diatur secara rinci dalam Al Qurán
dan hadits. Berikut adalah beberapa uraian tentang dalil mengenai zakat fitrah.
1. Terkait Kewajiban Berzakat Fitrah
Dalam Al Qurán Surat Al Baqarah ayat 110, telah dijelaskan perintah untuk
menunaikan zakat. Berdasarkan ayat tersebut, dapat ketahui bahwa sifat zakat
fitrah adalah wajib, sebagaimana perintah untuk melaksanakan sholat lima
waktu. Zakat fitrah penting untuk dilakukan, bukan demi meraih
keistimewaan di mata manusia, melainkan untuk dilihat oleh Allah SWT.
Sementara itu pada Hadits yang diriwayatkan Bukhari no. 25 dan Muslim no.
22, dijelaskan bahwa perintah berzakat, shalat dan bersyahadat itu langsung
dari Allah untuk Rasulullah. Maka kemudian perintah ini juga berlaku untuk
semua umat beliau.
2. Waktu Utama Pelaksanaan Zakat Fitrah
248

Ada berbagai ketentuan zakat fitrah yang perlu dipahami. Salah satunya
adalah tentang waktu zakat fitrah. Dalil menunjukkan bahwa zakat fitrah bisa
disampaikan kepada yang berhak sebelum sholat Idul Fitri dimulai.
Sementara itu, ada juga yang menunjukkan bahwa zakat fitrah bisa
disampaikan satu atau dua hari sebelum sholat Idul Fitri.
Al Bukhari meriwayatkan dalam salah satu hadits yang shahih, sebagai
berikut:
“Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fitri kepada
orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu
sehari atau dua hari sebelum hari Raya ‘Idul Fitri.” (HR. Bukhari no. 1511).
Sementara itu, para fuqaha menyampaikan bahwa penunaian zakat fitrah bisa
dilaksanakan sejak awal Ramadhan. Bila zakat dibayarkan setelah sholat Idul
Fitri, maka tergolong sebagai sedekah.
3. Manfaat Melaksanakan Zakat Fitrah
Segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT tentu memiliki nilai
kebaikan. Hikmah zakat fitrah sendiri bisa didapatkan tidak hanya oleh sang
penerima, tapi juga pemberi zakat. Dalam Al Qurán surat At Taubah ayat
103, Allah berfirman terkait manfaat zakat fitrah untuk menentramkan dan
membersihkan jiwa.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”

Fasal

Orang Yang Berhak Penerima Zakat Fitrah


249

Ketentuan tentang penerima zakat fitrah juga telah diatur dalam Al Qurán
surat At Taubah ayat 60.
۞ ‫يل ٱهَّلل ِ َوٱ ْب ِن‬ ِ ِ‫ب َو ْٱل ٰ َغ ِر ِمينَ َوفِى َسب‬ ُ َ‫ص َد ٰق‬
ِ ‫ت لِ ْلفُقَ َرٓا ِء َو ْٱل َم ٰ َس ِكي ِن َو ْٱل ٰ َع ِملِينَ َعلَ ْيهَا َو ْٱل ُم َؤلَّفَ ِة قُلُوبُهُ ْم َوفِى ٱل ِّرقَا‬ َّ ‫إِنَّ َما ٱل‬
‫يضةً ِّمنَ ٱهَّلل ِ ۗ َوٱهَّلل ُ َعلِي ٌم َح ِكي ٌم‬
َ ‫ٱل َّسبِي ِل ۖ فَ ِر‬
Arab-Latin: Innamaṣ-ṣadaqātu lil-fuqarā`i wal-masākīni wal-'āmilīna 'alaihā wal-
mu`allafati qulụbuhum wa fir-riqābi wal-gārimīna wa fī sabīlillāhi wabnis-sabīl,
farīḍatam minallāh, wallāhu 'alīmun ḥakīm

Terjemah Arti: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,


orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa ada delapan kategori orang yang
berhak menerima zakat fitrah, yaitu:
 Orang fakir, yakni orang yang tidak punya harta maupun tenaga untuk
bekerja memenuhi hidup dirinya. 
 Orang miskin, yaitu orang yang berpenghasilan namun masih sangat
kekurangan untuk mencukupi hidupnya dan keluarganya.
 Amil zakat, yakni orang pilihan yang menyalurkan zakat (panitia zakat)
 Mualaf, orang yang tergolong baru masuk Islam serta belum mantap tingkat
keimanannya.
 Hamba sahaya, atau orang muslim yang belum dimerdekakan dari
majikannya.
 Algharim, seseorang yang memiliki hutang (bukan karena maksiat) dan tidak
sanggup membayarnya.
250

 Fii sabilillah, orang yang berjuang untuk melakukan sesuatu di jalan Allah,
tanpa imbalan ataupun gaji.
 Ibnu Sabil, yaitu musafir yang mengalami kesengsaraan.

Fasal

Sedekah Tathawwu’

Salah satu amalan yang dianjurkan dalam islam adalah bersedekah. kita
diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk senantiasa berbagi rizki kepada sesama yang
membutuhkan. nah shodaqoh semacam ini bisa dikatakan sebagai shadaqah sunnah
atau shodaqoh tathawwu'.

Shodaqoh sunnah (tathawwu') adalah shodaqoh yang diberikan seorang muslim


kepada pihak lain baik itu individu/perorangan maupun badan/kelembagaan secara
sukarela (tidak diwajibkan) tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah nominal tertentu.
sedekah tathawwu juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang
sebagai kebajikan dan tambahan amal ibadah yang semuanya semata mata hanya
mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata.

Shodaqoh sunnah (tatawwu') itu boleh diberikan kepada siapa saja, baik Muslim atau
non Muslim. Berbeda dengan zakat, baik zakat maal atau zakat fitrah yang kita
ketahui hanya boleh diberikan kepada orang-orang yang beragama Islam saja.

KITAB PUASA

Fasal
251

Perihal Puasa Tathawwu’

Puasa sunnah atau puasa tathawwu‘ adalah puasa selain puasa wajib, yakni puasa
yang apabila dilaksanakan mendapatkan pahala dan jika tidak dilaksanakan tidak
berdosa. Sabda Rasulullah Saw. :

‫ ْه ُر‬º‫ َش‬,‫ا َل‬ººَ‫ ق‬,‫يَ ِام‬º‫الص‬


ِّ َ ‫رْ نِ ْي َع َّمافَ َر‬ººِ‫وْ َل هللاِ أَ ْخب‬º‫ار ُس‬
َّ َ‫ض هللاُ َعل‬
َ‫ي ِمن‬ َ ‫أَ َّن َر ُجالً َسأ َ َل النَّبِ ُّي‬
َ َ‫ي‬: ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَقَا َل‬
)‫لم‬ººººººº‫ا رى و مس‬ººººººº‫ َّو َع (رواه البخ‬ºººººººَ‫ إِالَّ أَ ْن تَط‬,َ‫ ال‬,‫ا َل‬ºººººººَ‫ ق‬,ُ‫ ُره‬ºººººººْ‫ي َغي‬ َّ َ‫لْ َعل‬ºººººººَ‫ ه‬,‫ا َل‬ºººººººَ‫ ق‬, َ‫ان‬ººººººº‫ض‬ َ ‫َر َم‬
“Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw., dia bertanya, Ya
Rasulullah jelaskanlah kepadaku tentang puasa yang difardlukan kepadaku ?,
Rasulullah menjawab, bulan Ramadlan, dia bertanya lagi, adakah puasa yang lain ?,
Rasulullah menjawab, tidak ada, kecuali engkau mengerjakan puasa tathawwu‘
(puasa sunnah) “. (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun tatacara melaksanakannya, syarat dan rukunnya serta hal-hal yang


membatalkannya sama dengan puasa wajib, yang membedakan hanyalah niatnya.
Puasa sunnah terdiri atas :
1. Puasa Senin-Kamis
Puasa Senin-Kamis adalah puasa yang dilakukan pada hari Senin dan Kamis.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. :
ِ ‫ْن َو ْال َخ ِمي‬ºِ ‫يَا َم ْا ِال ْثنَي‬ººººº‫ص‬
)‫ذى‬ººººº‫ْس (رواه الترم‬ ِ ‫ رَّى‬ººººº‫لَّ َم يَتَ َح‬ººººº‫ ِه َو َس‬ºººººْ‫لَى هللاُ َعلَي‬ººººº‫ص‬
َ ‫انَ النَّبِ ِّى‬ººººº‫ةَ َك‬ººººº‫ع َْن عَائِ َش‬
“Dari Aisyah Ra., bahwasanya Nabi Saw. memilih puasa pada hari Senin dan
Kamis”. (HR. At Tirmidzi).

Adapun alasan beliau puasa pada hari Senin dan Kamis dijelaskan dalam hadits
berikut :
َ ‫ْرضُ َع َملِ ْي َوأَنَا‬ ُ ٍ ‫تُ ْع َرضُ ْاالَ ْع َما ُل ُكلُّ ْاثنَ ْي ِن َو َخ ِم ْي‬
)‫صائِ ٌم (رواه احمد‬ ِ ‫س فَأ ِحبُّ أَ ْن يُع‬
252

“Amal-amal kita ditunjukkan keada Allah pada setiap hari Senin dan Kamis, karena
itu aku suka ketika amal-amalku ditunjukkan kepada Allah aku sedang berpuasa ”.
(HR. Ahmad).
َّ َ‫ت فِ ْي ِه َوأُ ْن ِز َل َعل‬
)‫ي فِ ْي ِه (رواه مسلم‬ ُ ‫ت فِ ْي ِه َوبُ ِع ْث‬
ُ ‫َذالِكَ يَوْ ٌم ُولِ ْد‬

“Hari itu aku dilahirkan dan hari itu p ula aku diangkat menjadi rasul serta hari itu
pula Al Qur‘an diturunkan kepadaku”. (HR. Muslim).
‫ْن‬ºِ ‫لُّ ِا ْثنَي‬ºº‫ َرضُ ُك‬ºْ‫ إِ َّن ْاالَ ْع َما َل تُع‬: ‫ فَقَا َل‬,ُ‫ فَقِ ْي َل لَه‬,‫ْس‬
ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ أَ ْكثَ َر َمايَصُوْ ُم ْا ِال ْثنَ ْي ِن َو ْالخَ ِمي‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
)‫س فَيَ ْغفِ ُر هللاُ لِ ُكلِّ ُم ْسلِ ٍم اَوْ لِ ُك ِّل ُم ْؤ ِم ٍن إِالَّ ْال ُمتَهَا ِج ِر ْينَ فَيَقُوْ ُل أَ ِخ ُرهُ َما (رواه احمد‬ ٍ ‫َو َخ ِم ْي‬

“Sesungguhnya Nabi Saw. sering ber puasa pada hari Senin dan Kamis, lalu
ditanyakan orang kepada beliau dan beliau menjawab, sesungguhnya amalan-amalan
dipersembahkan p ada hari Senin dan Kamis, maka Allah berkenan mengampuni
setiap muslim dan setiap mukmin kecuali dua orang yang bermusuhan, maka firman-
Nya, tangguhkanlah kedua mereka itu ”. (HR. Ahmad).

2. Puasa ‘Asyura
Puasa ‘Asyura adalah puasa yang dilakukan pada hari ‘Asyura, yakni tanggal 10
bulan Muharram. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw :
‫ يُ َكفِّ ُر‬: ‫ا َل‬ººَ‫ فَق‬,‫وْ َرا ِء‬º‫َاش‬ َ ِ ‫ أَ َّن َرسُو ُل هَّللا‬,ُ‫ض َي هَّللا ُ عَنه‬
ِ ‫ئِ َل ع َْن‬º‫لَّ َم ُس‬º‫ ِه َو َس‬º‫لَّى هَّللا ُ َعلَي‬º‫ص‬
ُ ‫وْ ُم ع‬ººَ‫يَا ُم ي‬º‫ص‬ ِ ‫ع َْن أَبِ ْي قَتَا َدةَ َر‬
ِ ‫ال َّسنَةَ ْال َما‬
)‫ضيَةَ (رواه مسلم‬
Dari Abu Qatadah Ra. bahwasanya Rasulullah Saw. ditanya tentang puasa hari
‘Asyura. beliau menjawab, “(Puasa tersebut) menghapuskan dosa satu tahun yang
lalu”. (HR. Muslim)

3. Puasa Sya‘ban
Puasa Sya‘ban adalah puasa yang dilakukan pada bulan Sya‘ban khususnya pada
tanggal 15 atau pertengahan bulan. Puasa Sya‘ban dilakukan sebagai persiapan
menghadapi puasa Ramadlan. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw. :
253

َ ‫صيَا َم َشه ِْر قَطٌّ إِالَّ َر َم‬


َ‫ضان‬ ِ ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ ْستَ ْك َم َل‬ ُ ‫ َما َرأَي‬,‫ت‬
َ ِ‫ْت َرسُوْ ُل هللا‬ ْ َ‫ض َي هَّللا ُ عَنهَا قَال‬
ِ ‫ع َْن عَائِ َشةَ َر‬
)‫صيَا ًما فِى َش ْعبَانَ (رواه البخارى ومسلم‬ ِ ُ‫ْت فِ ْى َشه ِْر أَ ْكثَ َر ِم ْنه‬
ُ ‫َو َما َرأَي‬
Dari Aisyah Ra. berkata, “Saya tidak melihat Rasulullah Saw. ber puasa satu bulan
penuh kecuali pada bulan Ramadlan dan saya tidak melihat bulan yang paling
banyak untuk beliau ber puasa kecuali bulan Sya‘ban”. (HR. Bukhari dan Muslim).

4. Puasa Syawal
Puasa Syawal adalah puasa yang dikerjakan selama enam hari di bulan Syawal
setelah melaksanakan puasa Ramadan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. :

ُ‫ضانَ ثُ َّم أَ ْتبَ َعه‬ َ ِ ‫ أَ َّن َرسُو ُل هَّللا‬,ُ‫ض َي هَّللا ُ عَنه‬


َ ‫ َم ْن‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
َ ‫صا َم َر َم‬ ِ ‫ارى َر‬
ِ ‫ص‬َ ‫ب ْاالَ ْن‬
َ ْ‫ع َْن أَبِى أَيُّو‬
)‫صيَ ِام ال َّد ْه ِر (رواه مسلم‬ ِ ‫ِستًّا ِم ْن َشوَّا ٍل َكانَ َك‬
Dari Abu Ayub Al Anshary Ra. sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, “Barang
siapa puasa pada bulan Ramadan kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada
bulan Syawal, sama seperti berpuasa sepanjang tahun”. (HR. Muslim).
Puasa Syawal boleh dilakukan kapan saja selama masih berada di bulan Syawal,
tetapi yang utama dilakukan selama enam hari berturut-turut mulai tanggal 2 sampai
7 bulan Syawal.

5. Puasa Arafah
Puasa Arafah adalah puasa yang dilakukan pada tanggal sembilan bulan Dzulhijjah.
Puasa Arafah dianjurkan bagi mereka yang tidak menunaikan ibadah haji. Sebelum
melaksanakan puasa Arafah kaum muslimin juga melaksanakan puasa Tarwiyah,
yakni tanggal delapan bulan Dzulhijjah. Puasa Tarwiyah dan puasa Arafah
pahalanya sangat besar, yakni dapat menghapus dosa-dosa tahun lalu dan tahun yang
akan datang. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw :
254

ِ ‫صوْ ُم َع َرفَةَ يُ َكفِّ َر ال َّسنَةَ ْال َم‬


َ‫اضيَة‬ َ ِ ‫ أَ َّن َرسُو ُل هَّللا‬: ‫ قَا َل‬,ُ‫ض َي هَّللا ُ عَنه‬
َ : ‫ قَا َل‬,‫صلَّى هَّللا ُ َعلَي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ع َْن أَبِ ْي قَتَا َدةَ َر‬
)‫َو ْالبَاقِيَةَ (رواه مسلم‬
Dari Abu Qatadah Ra. berkata, sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, “Puasa
Arofah itu dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang.”
(HR. Muslim).

6. Puasa Abyadl
Puasa Abyadl adalah puasa yang dilakukan pada pertengahan bulan Qamariyah,
yakni tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw :

ُ ‫ يَا أَبَا َذ ٍّر‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَي ِه َو َسلَّ َم‬


ُ َ‫ص ْمتَ ِمنَ ال َّشه ِْر ثَالَثَةٌ ف‬
‫ص ْم‬ َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ ق‬,ُ‫ض َي هَّللا ُ عَنه‬
َ َ‫ ق‬,‫ال‬ ِ ‫ع َْن أَبِى َذ ٍّر َر‬
)‫س َع ْش َرةَ (رواه احمد والنسائ‬ َ ‫ث َع ْش َرةَ َوأَرْ بَ َع َع ْش َرةَ َوخَ ْم‬
َ َ‫ثَال‬
Dari Abu Dzar berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Abu Dzar, jika engkau
berpuasa dalam satu bulan tiga hari, puasalah pada hari yang bertepatan dengan
tanggal 13, 14 dan 15.” (HR. Ahmad dan Nasa‘i).

7. Puasa Dawud
Puasa Dawud adalah puasanya Nabi Dawud As. yakni puasa yang dilakukan secara
selang-seling setiap harinya (sehari puasa sehari tidak). Sebagaimana sabda
Rasulullah Saw :
ِ ‫ أَ َحبُّ الصِّ يَ ِام إِلَى هللاِ َع َّز َو َج َّل‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَي ِه َو َسلَّ َم‬
‫صيَا ُم دَا ُو َد َعلَ ْي ِه ال َّسالَ ُم َكانَ يَصُوْ ُم يَوْ ًما‬ َ ِ ‫قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
)‫َويُ ْْف ِط ُر يَوْ ًما (رواه النسائ‬
1. Rasulullah Saw. bersabda, “Puasa yang paling dicintai Allah ‘Ajja wa Jalla
adalah puasa Nabi Dawud As. beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari” (HR.
Nasa‘i).

Beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang muslim yang melakukan puasa
sunnah :
255

1. Niat di malam hari atau ketika ingat,


2. Makan sahur pada dini hari,
3. Menghindari makan dan minum serta hal-hal yang dapat membatalkan puasa,
4. Menahan diri dari perbuatan tercela dan menjaga lisan dari perkataan yang
kotor,
5. Memperbanyak amal ibadah dan berdoa serta shadaqah,
6. Menyegerakan berbuka jika telah mendengar adzan Maghrib, dan berdoa
ketika berbuka,

Fasal

Perihal I’tikaf

Syeikh Abu Syuja berkata, I’tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat tertentu dan
dengan tata cara tertentu. Secara literal (lughatan), kata “‫ ”اال ْعتِكاف‬berarti “‫”االحتباس‬
(memenjarakan). Ada juga yang mendefinisikannya dengan:
‫ت ْال َعا ِديَّ ِة‬ ِ ‫َحبْسُ النَّ ْف‬
َ َّ‫س ع َْن الت‬
ِ ‫صرُّ فَا‬
“Menahan diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan”.
Dalam terminologi syar’i (syar’an), para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan
i’tikaf dikarenakan perbedaan pandangan dalam penentuan syarat dan rukun i’tikaf.
Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum bahwa i’tikaf adalah:
ِ ِ‫ْال ُم ْكث فِي ْال َم ْس ِجد لعبادة هللا ِم ْن َش ْخص َم ْخصُوص ب‬
َ ‫صفَ ٍة َم ْخص‬
‫ُوصة‬
“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh
orang tertentu dengan tata cara tertentu”.
Tempat i’tikaf: di masjid yang digunakan untuk shalat berjamaah, meskipun tidak
digunakan untuk jum’atan seperti mushalla.
256

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku
untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al
Baqarah: 125).
Allah berfirman, yang artinya, “Janganlah kalian melakukan hubungan suami-istri
ketika kalian sedang i’tikaf di masjid ….” (Q.s. Al-Baqarah:187)
Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
ُ‫ ثُ َّم ا ْعتَ َكفَ أَ ْز َوا ُجه‬، ُ ‫ضانَ َحتَّى تَ َوفَّاهُ هَّللا‬
َ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – َكانَ يَ ْعتَ ِكفُ ْال َع ْش َر األَ َوا ِخ َر ِم ْن َر َم‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
‫ِم ْن بَ ْع ِد ِه‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal
beliau.”
Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
َ ‫َكانَ َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – يَ ْعتَ ِكفُ ْال َع ْش َر األَ َوا ِخ َر ِم ْن َر َم‬
َ‫ضان‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan


Ramadhan.”
Imam Al-Bukhari membuat judul bab “Bab (anjuran) i’tikaf di sepuluh hari terakhir
dan (boleh) i’tikaf di semua masjid“. (Shahih Bukhari, 7:382)
Kapan memulai i’tikaf?
Dianjurkan untuk memulai i’tikaf di malam tanggal 21 setelah magrib, kemudian
mulai masuk ke tempat khusus (semacam tenda atau sekat) setelah subuh pagi
harinya (tanggal 21 Ramadan).
Dari Aisyah radhiallahu‘anha; beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Aku membuatkan tenda
untuk beliau. Lalu beliau shalat subuh kemudian masuk ke tenda i’tikafnya.” (H.r.
Al-Bukhari dan Muslim)
Rukun i’tikaf
1. Niat. Letak niat itu di hati dan tidak boleh dilafalkan. Sebatas keinginan untuk
itikaf itu sudah dianggap berniat untuk i’tikaf.
257

2. Dilakukan di masjid, baik masjid untuk jumatan mauapun yang tidak digunakan
untuk jumatan.
3. Menetap di masjid.

Pembatal i’tikaf
1. Hubungan biologis dan segala pengantarnya.
2. Keluar masjid tanpa kebutuhan.
3. Haid dan nifas.
4. Gila atau mabuk.

Yang diperbolehkan ketika i’tikaf


1. Keluar masjid karena kebutuhan mendesak, seperti: makan, buang hajat, dan hal
lain yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid.
2.Mengeluarkan sebagian anggota badan dari masjid.
3. Makan, minum, tidur, dan berbicara.
4. Wudhu di masjid.
5. Bermuamalah dan melakukan perbuatan (selain ibadah) di masjid, kecuali jual
beli.
6. Menggunakan minyak rambut, parfum, dan semacamnya.

Yang dimakruhkan ketika i’tikaf


1. Menyibukkan diri dengan kegiatan yang tidak bermanfaat, baik ucapan maupun
perbuatan.
2. Tidak mau berbicara ketika i’tikaf (iktikaf), dengan anggapan itu merupakan
bentuk ibadah. Perbuatan ini termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya.
Mandi ketika i’tikaf
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan bahwa hukum mandi ketika
i’tikaf dibagi menjadi tiga:
1. Wajib, yaitu mandi karena junub.
258

2. Boleh, yaitu mandi untuk menghilangkan bau badan dan kotoran yang melekat di
badan.
3. Terlarang, yaitu mandi sebatas untuk mendinginkan badan. (Majmu’ fatawa wa
Rasail Ibnu Utsaimin, 20:178)

I’tikaf bagi wanita


Diperbolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf bersama suaminya atau
sendirian, dengan syarat: ada izin dari walinya (suami atau orang tuanya) serta aman
dari fitnah atau berdua-duaan dengan laki-laki. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha
mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadan sampai Allah merwafatkan beliau. Kemudian para istri
beliau beri’tikaf setelah beliau meninggal.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim).
Diperbolehkan bagi wanita mustahadhah untuk melakukan i’tikaf. Dari ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha; beliau mengatakan, “Salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang sedang istihadhah beri’tikaf bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Terkadang wanita ini melihat darah kekuningan dan darah kemerahan ….”
(H.r. Al-Bukhari)

Batasan “dianggap telah keluar masjid”


Orang yang i’tikaf dianggap keluar masjid jika dia keluar dengan seluruh badannya.
Jika orang i’tikaf hanya mengeluarkan sebagian badannya maka tidak disebut keluar
masjid.
‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah memasukkan kepala beliau ke ruanganku ketika aku berada di dalam,
kemudian aku menyisir rambut beliau, sedangkan aku dalam kondisi haid.” (H.r. Al-
Bukhari dan Muslim)

KITAB HAJI
259

Fasal
Perihal haram dalam berihram

Berkata Syeikh Abu Syuja’, orang yang berihram haram melakukan sepuluh perkara
yaitu memakai pakaian yang berjahit, menutup kepala laki-laki dan menutup muka
bagi wanita.

Larangan ihram yang seandainya dilakukan oleh orang yang berhaji atau berumroh,
maka wajib baginya menunaikan fidyah, puasa, atau memberi makan. Yang dilarang
bagi orang yang berihram adalah sebagai berikut:
1. Mencukur rambut dari seluruh badan (seperti rambut kepala, bulu ketiak,
bulu kemaluan, kumis dan jenggot).
2. Menggunting kuku.
3. Menutup kepala dan menutup wajah bagi perempuan kecuali jika lewat laki-
laki yang bukan mahrom di hadapannya.
4. Mengenakan pakaian berjahit yang menampakkan bentuk lekuk tubuh bagi
laki-laki seperti baju, celana dan sepatu.
5. Menggunakan harum-haruman.
6. Memburu hewan darat yang halal dimakan. Yang tidak termasuk dalam
larangan adalah: (1) hewan ternak (seperti kambing, sapi, unta, dan ayam),
(2) hasil tangkapan di air, (3) hewan yang haram dimakan (seperti hewan
buas, hewan yang bertaring dan burung yang bercakar), (4) hewan yang
diperintahkan untuk dibunuh (seperti kalajengking, tikus dan anjing), (5)
hewan yang mengamuk (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 210-211)
7. Melakukan khitbah dan akad nikah.
8. Jima’ (hubungan intim). Jika dilakukan sebelum tahallul awwal (sebelum
melempar jumroh Aqobah), maka ibadah hajinya batal. Hanya saja ibadah
tersebut wajib disempurnakan dan pelakunya wajib menyembelih seekor unta
untuk dibagikan kepada orang miskin di tanah suci. Apabila tidak mampu,
260

maka ia wajib berpuasa selama sepuluh hari, tiga hari pada masa haji dan
tujuh hari ketika telah kembali ke negerinya. Jika dilakukan setelah tahallul
awwal, maka ibadah hajinya tidak batal. Hanya saja ia wajib keluar ke tanah
halal dan berihram kembali lalu melakukan thowaf ifadhoh lagi karena ia
telah membatalkan ihramnya dan wajib memperbaharuinya. Dan  ia wajib
menyembelih seekor kambing.
9. Mencumbu istri di selain kemaluan. Jika keluar mani, maka wajib
menyembelih seekor unta. Jika tidak keluar mani, maka wajib menyembelih
seekor kambing. Hajinya tidaklah batal dalam dua keadaan tersebut (Taisirul
Fiqh, 358-359).

Tiga keadaan seseorang melakukan larangan ihram


1. Dalam keadaan lupa, tidak tahu, atau dipaksa, maka tidak ada dosa dan tidak
ada fidyah.
2. Jika melakukannya dengan sengaja, namun karena ada uzur dan kebutuhan
mendesak, maka ia dikenakan fidyah. Seperti terpaksa ingin mencukur
rambut (baik rambut kepala atau ketiaknya), atau ingin mengenakan pakaian
berjahit karena mungkin ada penyakit dan faktor pendorong lainnya.
3. Jika melakukannya dengan sengaja dan tanpa adanya uzur atau tidak ada
kebutuhan mendesak, maka ia dikenakan fidyah ditambah dan terkena dosa
sehingga wajib bertaubat dengan taubat yang nashuhah (tulus).

Pembagian larangan ihram berdasarkan hukum fidyah yang dikenakan


1. Yang tidak ada fidyah, yaitu akad nikah.
2. Fidyah dengan seekor unta, yaitu jima’ (hubungan intim) sebelum tahallul
awwal, ditambah ibadah hajinya tidak sah.
3. Fidyah jaza’ atau yang semisalnya, yaitu ketika berburu hewan darat.
Caranya adalah ia menyembelih hewan yang semisal, lalu ia memberi makan
kepada orang miskin di tanah haram. Atau bisa pula ia membeli makanan
261

(dengan harga semisal hewan tadi), lalu ia memberi makan setiap orang 
miskin dengan satu mud, atau ia berpuasa selama beberapa hari sesuai
dengan jumlah mud makanan yang harus ia beli.
4. Selain tiga larangan di atas, maka fidyahnya adalah memilih: [1]  berpuasa
tiga hari, [2] memberi makan kepada 6 orang miskin, setiap orang miskin
diberi 1 mud dari burr (gandum) atau beras, [3] menyembelih seekor
kambing. (Al Hajj Al Muyassar, 68-71)
Catatan:
1. Jika wanita yang berniat tamattu’ mengalami haidh sebelum thowaf dan takut
luput dari amalan haji, maka ia berihram dan  meniatkannya menjadi qiron.
Wanita haidh dan nifas melakukan seluruh manasik selain thowaf di Ka’bah.
2. Wanita adalah seperti laki-laki dalam hal larangan-larangan saat ihram
kecuali dalam beberapa keadaan: (1) mengenakan pakaian berjahit, wanita
tetap boleh mengenakannya selama tidak bertabarruj (memamerkan
kecantikan dirinya), (2) menutup kepala, (3) tidak menutup wajah kecuali
jika terdapat laki-laki non mahram.
3. Orang yang berihram maupun tidak berihram diharamkan memotong
pepohonan dan rerumputan yang ada di tanah haram. Hal ini serupa dengan
memburu hewan, jika dilakukan, maka ada fidyah. Begitu pula dilarang
membunuh hewan buruan dan menebang pepohonan di Madinah, namun
tidak ada fidyah jika melanggar hal itu.

Kaedah dalam masalah menggunakan harum-haruman ketika ihram


1. Boleh menghirup bau tanaman yang memiliki aroma yang harum. Hal ini
disepakati oleh para ulama.
2. Boleh menghirup bau sesuatu yang memiliki aroma harum dan
mengkonsumsinya seperti buah-buahan yang dimakan atau digunakan
sebagai obat. Hal ini juga disepakati oleh para ulama.
262

3. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum (harum-haruman)


dan memang digunakan untuk maksud tersebut seperti minyak misik, kapur
barus, minyak ambar, dan za’faron, maka ada fidyah jika digunakan ketika
berihram.
4. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum, namun digunakan
untuk maksud lain, maka hal ini pun terkena fidyah (An Nawazil fil Hajj,
198).

Hal-hal yang dibolehkan ketika ihram


1. Mandi dengan air dan sabun yang tidak berbau harum.
2. Mencuci pakaian ihram dan mengganti dengan lainnya.
3. Mengikat izar (pakaian bawah atau sarung ihram).
4. Berbekam.
5. Menutupi badan dengan pakaian berjahit asal tidak dipakai.
6. Menyembelih hewan ternak (bukan hewan buruan).
7. Bersiwak atau menggosok gigi walau ada bau harum dalam pasta giginya
selama bukan maksud digunakan untuk parfum.
8. Memakai kacamata.
9. Berdagang.
10. Menyisir rambut.

Tahallul
Tahallul artinya keluar dari keadaan ihram. Tahallul ada dua macam: (1) tahallul
awwal (tahallul shugro), dan (2) tahalluts tsani (tahallul kubro).
Tahallul awwal ketika telah melakukan: (1) lempar jumroh pada hari Nahr (10
Dzulhijjah), (2) mencukur atau memendekkan rambut. Jika telah tahallul awwal,
maka sudah boleh melakukan seluruh larangan ihram (seperti memakai minyak
wangi), memakai pakaian berjahit dan yang masih tidak dibolehkan adalah yang
berkaitan dengan istri.
263

Tahalluts tsani ditambah dengan melakukan thowaf ifadhoh (yang termasuk thowaf
rukun). Ketika telah tahalluts tsani, maka telah halal segala sesuatu termasuk jima’
(hubungan intim) dengan istri (Fiqhus Sunah, 1: 500).

Fasal

Perihal DAM

Setiap jamaah Haji yang tiba di tanah suci selalu ditawari untuk membayar dam
yaitu menyembelih seekor kambing, sebab kebanyakan jamaah Haji Indonesia
mengambil jenis Haji Tamatu’.  Bahkan ada jamaah Haji yang sudah diambil dam
nya saat masih berada di asrama Haji Indonesia.
 
Tawaran membayar dam ini juga terlihat banyak di rumah sakit Indonesia, jamaah
Haji yang sakit tersebut diminta untuk membayar sejumlah uang untuk membayar
dam oleh oknum petugas Haji atau para mukimin yang berkeliaran dirumah sakit.
Mereka memungut dam tersebut tanpa memberitahukan hukum tentang dam tersebut
kepada jamaah Haji dan penyebab dam itu harus dibayar.

Oleh sebab itu jamaah Haji hendaknya memperdalam hukum tentang Haji ini,
sehingga mengetahui dengan jelas penyebab dam ini harus dibayarkan ketika mereka
uzur atau sakit. Sebab didalam hukum fiqih, seseorang harus membayar dam jika
wajib haji itu tidak dilaksanakan. Dam dalam kitab Matan Taqrib karya Syekh Abu
Syuja’ terbagi atas beberapa kriteria, sesuai dengan larangan haji yang dilaksanakan
atau kewajiban haji yang ditinggalkan. Kriteria dam untuk orang yang meninggalkan
wajib haji dalam Matan Taqrib adalah sebagai berikut. 
Artinya, “Dam wajib disebabkan meninggalkan ibadah (dalam hal ini wajib haji)
dipilih secara berurutan (sesuai kondisi). Yang pertama, dengan seekor kambing.
264

Jika tidak ada kambing, maka ditunaikan dengan berpuasa sepuluh hari. Tiga hari
ketika berada di Mekkah, dan tujuh hari ketika kembali ke kampung halaman.”

Dalam mazhab Imam Syafii, bahwasanya wajib Haji mencakup lima hal berikut.
1. Memulai Ihram dari Miqat. Seseorang yang memulai haji akan melaksanakan
ihram, dengan berniat, lalu mengenakan pakaian ihram. Amaliyah ihram ini harus
dilakukan di miqat yang telah ditetapkan. Miqat dibagi menjadi dua, yaitu miqat
zamani dan miqat makani. Miqat zamani ini adalah waktu bagi seorang jamaah haji
untuk memulai ihram, mulai bulan Syawwal sampai bulan Dzulhijjah. Kemudian,
selain memerhatikan waktunya, penting diketahui untuk miqat makani adalah lokasi
tempat dimulainya ihram. Lokasi miqat makani ini berbeda-beda berdasarkan daerah
masing-masing, dan disebutkan tiap-tiap patokannya dalam berbagai kitab fikih.
2. Menginap (Mabit) di Muzdalifah. Kegiatan ini dilakukan seusai ritual wukuf di
Arafah, tepatnya saat terbenamnya matahari. Muzdalifah ini adalah lokasi di antara
Arafah dan Mina. Hendaknya menginap di sana sekiranya sebagian malam saja,
tidak wajib sampai Subuh esok hari tiba.
3. Melempar Jumrah. Setelah menginap di Muzdalifah seorang jamaah haji menuju
tempat-tempat jumrah, dan melempar masing-masing tujuh kerikil. Waktunya
merentang sejak tengah malam Idul Adha sampai waktu maghrib. Jumrah sendiri ada
tiga macam: Jumrah ula, jumrah wustha dan jumrah aqabah.
4. Menginap di Mina pada dua malam hari Tasyriq. Setelah ritual melempar jumrah,
jamaah haji menuju Mina dan menginap di sana pada hari Tasyriq. Menginap ini
diartikan untuk bermalam pada sebagian besar waktu pada dua hari Tasyriq di Mina
itu.
5. Thawaf wada’. Thawaf ini dilakukan setelah menunaikan semua amalan haji, dan
hendak keluar dari Mekkah.
265

KITAB JUAL BELI

Fasal Perihal Riba

Dalam kamus Lisaanul ‘Arab, kata riba diambil dari kata ‫ َربَا‬. Jika seseorang berkata
َّ ‫ا‬ºººَ‫ َرب‬artinya sesuatu itu bertambah dan tumbuh. Jika orang
‫ ًوا َو َربًا‬ºººْ‫وْ َرب‬ºººُ‫ ْي ُئ يَرْ ب‬ººº‫الش‬
menyatakan ُ‫ أَرْ بَيـْتُه‬artinya aku telah menambahnya dan menumbuhkannya. Dalam al-
ِ ‫ص َدقَا‬
Qur-an disebutkan: ‫ت‬ َّ ‫…“ َويُرْ بِي ال‬Dan menyuburkan sedekah…” [Al-Ba-qarah/2:
276] Dari kata itu diambillah istilah riba yang hukumnya haram, Allah Ta’ala
ِ َّ‫“ َو َما آتَ ْيتُ ْم ِم ْن ِربًا لِيَرْ بُ َو فِي أَ ْم َوا ِل الن‬Dan sesuatu riba (tambahan)
berfirman: ِ ‫اس فَاَل يَرْ بُو ِع ْن َد هَّللا‬
yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah…” [Ar-Ruum/30: 39] Maka dikatakan, ‫( َربَا ْال َما ُل‬Harta itu
telah bertambah). Adapun definisi riba menurut istilah fuqaha’ (ahli fiqih) ialah
memberi tambahan pada hal-hal yang khusus. Dalam kitab Mughnil Muhtaaj
disebutkan bahwa riba adalah akad pertukaran barang tertentu dengan tidak
diketahui (bahwa kedua barang yang ditukar) itu sama dalam pandangan syari’at,
baik dilakukan saat akad ataupun dengan menangguhkan (mengakhirkan) dua barang
yang ditukarkan atau salah satunya. Riba hukumnya haram baik dalam al-Qur-an, as-
Sunnah maupun ijma’. Allah Ta’ala berfirman, َ‫ا بَقِ َي ِمن‬ºº‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو َذرُوا َم‬
ْ º‫ا إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُم‬ººَ‫“ ال ِّرب‬Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
َ‫ؤ ِمنِين‬º
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
[Al-Baqarah/2: 278] Allah Ta’ala juga berfirman: ‫…“ َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” [Al-Baqarah/2: 275]
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman: ‫“ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا ال ِّربَا‬Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba…” [Ali ‘Imran/3: 130] Dalam as-
Sunnah banyak sekali didapatkan hadits-hadits yang mengharamkan riba. Imam
Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata: َ‫لَ َعن‬
َ َ‫ َوق‬.‫ا ِه َد ْي ِه‬ºº‫هُ َو َش‬ººَ‫هُ َو َكاتِب‬ººَ‫ا َو ُموْ ِكل‬ººَ‫ َل ال ِّرب‬ºº‫لَّ َم آ ِك‬ºº‫ ِه َو َس‬ººْ‫لَّى هللاُ َعلَي‬ºº‫ص‬
‫ َوا ٌء‬ºº‫ هُ ْم َس‬:‫ال‬ºº َ ِ‫وْ ُل هللا‬ºº‫ر ُس‬.
َ “Rasulullah
266

Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba, yang memberi riba,
penulisnya dan dua saksinya,” dan beliau bersabda, “mereka semua sama.” Dalam
hadits yang sudah disepakati keshahihannya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu,
ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‫ ْب َع‬º ‫الس‬ َّ ‫وا‬ººُ‫إِجْ تَنِب‬
‫ آ ِك َل الرِّ بَا‬:‫ت! َو َذ َك َر ِم ْنه َُّن‬ ْ “Jauhilah tujuh perkara yang membawa kehancuran,” dan
ِ ‫ال ُموْ بِقَا‬.
beliau menyebutkan di antaranya, “Memakan riba.” Dan telah datang ijma’ atas
haramnya riba. Imam ‘Ali bin Husain bin Muhammad atau yang lebih dikenal
dengan sebutan as-Saghadi, menyebutkan dalam kitab an-Nutf bahwa riba menjadi
tiga bentuk yaitu: 1. Riba dalam hal peminjaman. 2. Riba dalam hal hutang. 3. Riba
dalam hal gadaian.
A. Riba Dalam Hal Pinjaman Bentuk riba dalam hal pinjaman ada dua sifat
(gambaran):
1. Seseorang meminjam uang 10 dirham tetapi harus mengembalikan 11 atau 12
dirham dan lain sebagainya.
2. Ia mengambil manfaat (keuntungan) pribadi dengan pinjaman tersebut, yaitu
dengan cara si peminjam harus menjual barang miliknya kepadanya dengan harga
yang lebih murah dari harga pasaran atau ia harus menyewakan barang itu
kepadanya atau memberinya atau ia (si peminjam) harus bekerja untuk si pemberi
pinjaman dengan pekerjaan yang membantu urusan-urusannya atau ia harus
meminjamkan sesuatu kepadanya atau ia harus membeli sesuatu darinya dengan
harga yang lebih mahal dari harga pasaran atau ia harus menyewa suatu sewaan
darinya, dan begitu seterusnya. Sifat (gambaran) riba yang pertama misalnya,
seseorang meminta kepada orang lain sejumlah uang dengan cara meminjam, ia
meminta darinya sebanyak 10.000 riyal, lalu Ahmad (si pemberi pinjaman) berkata,
“Engkau harus mengembalikan uang pinjaman itu kepada saya sebesar 11.000 riyal,”
atau ia berkata, “Engkau harus memberi saya tambahan walaupun sedikit.” Maka
inilah riba dan hukumnya haram. Dan masuk dalam kategori ini pinjaman dari bank-
bank dengan memberikan tambahan sebagai imbalan pinjaman yang ia terima. Allah
Ta’ala berfirman: َ‫ون‬ºº‫وا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُح‬ººُ‫ا َعفَةً ۖ َواتَّق‬º‫ض‬ ْ َ‫ا أ‬ººَ‫أْ ُكلُوا ال ِّرب‬ººَ‫وا اَل ت‬ººُ‫ا الَّ ِذينَ آ َمن‬ººَ‫“ يَا أَيُّه‬Hai
َ ‫ َعافًا ُم‬º‫ض‬
267

orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah agar kamu mendapat keberuntungan.” [Ali
‘Imran/3: 130]
Abu Bakar al-Jashshash rahimahullah berkata, “Riba yang dulu dikenal dan
dilakukan oleh orang-orang Arab hanyalah berupa pinjaman dirham dan dinar
sampai batas waktu tertentu dengan memberikan sejumlah tambahan dalam
pinjaman sesuai dengan kesepakatan mereka. Ini adalah riba nasi-ah dan riba seperti
ini sangat masyhur di kalangan orang Arab pada masa Jahiliyyah, dan ketika al-Qur-
an turun, maka datanglah pengharaman ini. Sifat (gambaran) yang kedua misalnya,
si pemberi pinjaman mengambil manfaat (keuntungan) pribadi dari pinjaman yang ia
berikan. Misalnya, seseorang meminjam sejumlah uang dari orang lain, lalu
Muhammad (si pemberi pinjaman) meminta kepada orang tersebut agar ia menjual
sesuatu miliknya kepadanya atau memberinya sesuatu ataupun yang lainnya sebagai
imbalan dari pinjaman yang ia berikan kepadanya. Maka ia telah mengambil
keuntungan pribadi dari pinjamannya, dan ini termasuk riba.
B. Riba Dalam Hal Hutang Bentuk riba kedua ialah riba dalam hal hutang, yaitu
seseorang menjual barang kepada orang lain dengan cara diakhirkan
pembayarannya, ketika waktu pembayaran tiba si pemberi hutang memintanya untuk
segera melunasi hutangnya dengan berkata, “Berikan aku tambahan beberapa
dirham,” maka perbuatan ini juga termasuk riba. Misalnya seseorang meminjam
uang dari orang lain sebesar 10.000 riyal dan akan dibayar pada waktu tertentu
(sesuai dengan kesepakatan). Ketika waktu pembayaran hutang telah tiba, ia tidak
mampu untuk membayarnya, lalu ia (si pemberi pinjaman) berkata kepadanya,
“Engkau bayar hakku sekarang atau engkau harus memberiku tambahan atas 10.000
riyal yang engkau pinjam dan waktu pembayarannya akan diakhirkan lagi.” Maka ini
juga termasuk riba.
C. Riba Dalam Pegadaian Bentuk riba yang ketiga ialah riba dalam pegadaian. Riba
dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dari para ulama ‫رحمهم هللا‬.
268

Fasal

Perihal Khiyar Dalam Jual Beli

Khiyar secara bahasa adalah kata nama dari ikhtiyar yang berarti mencari
yang baik dari dua urusan yang baik meneruskan akad atau membatalkannya.
Sedangkan menurut istilah kalangan ulama’ fiqh yaitu mencari yang baik dari
dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya. Dari sini terlihat
bahwa makna secara istilah tidak begitu berbeda dengan makna secara bahasa.
Oleh sebab itu, sebagian ulama terkini mendefinisikan khiyar secara syar’i
sebagai “hak orang yang berakad dalam membatalkan akad atau meneruskannya
karena ada sebab-sebab secara syar’i yang dapat membatalkannya sesuai dengan
kesepakatan ketika berakad.” Dapat diartikan juga bahwa khiyar adalah tuntutan
untuk memilih dua hal: meneruskan transaksi atau membatalkannya.
Menurut Ghufron A. Mas’adi, Khiyar adalah hak yang di miliki ‘aqidain
untuk memilih antara meneruskan akad atau membatalkannya dalam hal khiyar
syarat dan khiyar ‘aib, atau hak memilih salah satu dari sejumlah benda dalam
khiyar ta’yin. Sebagian khiyar adakalanya bersumber dari kesepakan seperti
khiyar syarat dan khiyar ta’yin, dan sebagian lainnya bersumber dari ketetapam
syara; seperti khiyar ‘aib.

A. Dalil Pensyariatan Khiyar


Hak khiyar telah ditetapkan oleh al-qur’an, sunnah dan ijma’.
Adapun dalil al-qur’an sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-baqarah ayat
275 yang artinya “Allah telah menghalalkan jual beli”. Lafal jual beli dalam ayat
ini adalah umum meliputi semua akad jual beli dengan begitu ia menjadi mubah
(boleh) untuk semua termasuk di dalamnya ada khiyar.
Dalil dari sunnah di antaranya adalah sabda rasulullah yang diriwayatkan
oleh Ibnu Umar bahwa seseorang laki-laki diceritakan kepada nabi dia suka
269

menipu dalam jual beli, maka nabi berkata kepadanya: “jika kamu menjual
sesuatu, maka katakan tidak ada penipuan.” Hadis ini adalah tentang bolehnya
menetapkan khiyar syarat kepada pembeli begitu juga dengan pembeli secara
qiyas.
Adapun dalil ijma’, ulama telah sepakat tentang bolehnya melakukan khiyar
syarat dalam jual beli karena akad jual beli adalah akad mubah dan bolehnya jual
beli termasuk sesuatu yang sudah diketahui dari urusan agama secara pasti
dengan begitu khiyar juga termasuk didalamnya.

B. Pembagian Khiyar
1. Khiyar Majlis
Majlis secara bahasa adalah bentuk masdar mimi dari julus yang
berarti tempat duduk, dan maksud dari majlis akad seperti yang terlihat dari
ucapan kalangan ahli fiqh adalah tempat kedua orang yang berakad berada
dari sejak mulai berakad sampai sempurna, berlaku dan wajibnya akad.
Dengan begitu majlis akad merupakan tempat berkumpul dan terjadinya akad
apa pun keadaan pihak yang berakad.
Adapun khiyar majlis menurut terminology kalangan ulama fiqh
adalah hak syar’i yang dengannya masing-masing orang yang berakad
memiliki hak untuk meneruskan akad atau membatalkannya selama
keduanya berada dalam majlis, sebelum berpisah atau saling memilih, jika
keduanya berpisah setelah saling membeli dan masing-masing tidak
meninggalkan jual beli atau berpisah atas dasar ini, maka jual beli menjadi
wajib dan dari sini jelas bahwa penggabungan kata khiyar kepada majlis
termasuk penggabungan sesuatu kepada tempat.
Menurut Saleh Al-Fauzan, khiyar majlis adalah tempat yang
dijadikan berlangsungnya transaksi jual beli. Kedua pihak yang melakukan
jual beli memiliki hak pilih selama masih berada dalam majelis. Dalilnya,
bias kita lihat dari apa yang disabdakan oleh rasulullah:
270

“jika ada dua orang yang mengadakan transaksi jual beli, maka
kedua pihak mempunyai hak khiyar (memilih antara meneruskan atau
membatalkan jual beli) selama mereka belum terpisah dan masih berada di
tempat akad.”
Khiyar majlis dipegang teguh oleh fuqaha Syafi’iyah dan Hanabilah
berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim di mana rasulullah SAW.
Bersabda:
“masing-masing dari penjual dan pembeli memiliki hak khiyar
selama keduanya belum berpisah.”
Sedangkan fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah menyangkal kebenaran
jenis khiyar ini. Menurut mereka akad telah sempurna dan bersifat lazim
(pasti) semata berdasarkan kerelaan kedua belah pihak yang dinyatakan
secara formal melalui ijab dan qabul.

2. Khiyar Syarat
Khiyar syarat adalah kedua belah pihak yang berakad atau salah
satunya menetapkan syarat waktu untuk menunggu apakah ia akan
meneruskan akad atau membatalkannya ketika masih dalam tempo.
Menurut Imam Taqiyuddin, khiyar syarat yaitu jika kedua belah pihak
yang mengadakan transaksi dengan mengajukan syarat adanya khiyar dalam
akadnya atau setelah akad, yaitu semasa khiyar majlis berlangsung, dalam
tempo yang sama-sama diketahui oleh kedua belah pihak.
Khiyar syarat berakhir dengan salah satu dari bebab berikut ini :
a. Terjadi penegasan pembatalan akad atau penetapannya.
b. Berakhirnya batas waktu khiyar.
c. Terjadinya kerusakan pada objek akad.
d. Terjadinya penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak
pembeli baik dari segi jumlah.
271

e. Wafatnya shahibul khiyar, ini menurut pendapat mazhab Hanafiyah


dan Hanabilah. Sedangkan mazhab Syafi’iyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa hak khiyar dapat berpindah ke pada ahli waris
ketika shahibul khiyar wafat.

3. Khiyar Ta’yin
Yaitu hak yang dimiliki oleh pembeli untuk memastikan pilihan atas
sejumlah benda sejenis dan setara sifat atau harganya, khiyar ini hanya
berlaku pada akad muawwadha al-amaliyah yang mengakibatkan
perpindahan hak milik, seperti jual beli. Yang demikian ini merupakan
konsep fuqaha Hanafiyah.
Imam Syafi’I dan Ahmad ibn Hambal menyangkal konsep khiyar
ta’yin ini dengan alasan bahwa salah satu syarat obyek akad adalah harus
jelas.
Keabsahan khiyar ta’yin menurut fuqaha mazhab Hanafiyah harus
memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
a. Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek akad
b. Sifat dan nilai benda-benda yang menjadi obyek pilihan harus
setara dengan harga harus jelas. Jika sifat dan nilai masing-masing
benda berbeda jauh, maka tidak ada artinya khiyar ta’yin ini.
c. Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih dari tiga hari.

4. Khiyar ‘Aib
Kata khiyar aib secara bahasa adalah bentuk murakkab idlafi yang
terdiri dari khiyar dan ‘aib. Kemudian dirangkai menjadi satu, yang
merupakan penyandaran sesuatu kepada sebabnya. Artinya khiyar yang
sebabnya adalah ‘aib (cacat).
Secara istilah yakni hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ia menemukan cacat pada obyek akad yang mana pihak
272

lain tidak memberitahukannya pada saat akad. Khiyar ‘aib ini didasarkan
pada riwayat hadis di mana nabi Muhammad SAW. Bersabda:
“seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak
halal seorang muslim menjual kepada saudaranya sesuatu yang
mengandung kecuali ia harus menjelaskan kepadanya”.
Khiyar ‘aib harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. ‘Aib (cacat) tersebut terjadi sebelum akad, atau setelah akad
namun belum terjadi peneyerahan. Jika cacat tersebut terjadi
setelah penyerahan atau terjadi dalam penguasaan pembeli maka
tidak berlaku hak khiyar.
b. Pihak pembeli tidak mengetahui akad tersebut ketika berlangsung
akad atau ketika berlangsung penyerahan. Jika pihak pembeli
sebelumnya telah mengatahuinya, tidak ada hak khiyar baginya.
c. Tidak ada kesepakatan bersyarat bahwasanya penjual tidak
bertanggung jawab terhadap segala cacat yang ada. Jika ada
kesepakatan bersyarat seperti itu, maka hak khiyar pihak pembeli
menjadi gugur.
Khiyar ‘aib ini berlaku semenjak pihak pembeli mengetahui adanya
cacat setelah berlangsungnya akad. Adapun batas waktu untuk menuntut
pembatalan akad terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Menurut
fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah, batas waktunya berlaku secara tarakhi.
Artinya pihak yang dirugikan tidak harus menuntut pembatalan akad ketika
ia mengetahui cacat tersebut. Sedangkan menurut fuqaha Malikyah dan dan
Syafiyah, batas waktunya berlaku secara faura (seketika). Artinya pihak yang
dirugikan harus menggunakan hak khiyar secapat mungkin. Jika ia mengulur-
ulur waktu tanpa alasan yang dapat dibenarkan maka hak khiyar gugur dan
akad dianggap telah lazim (pasti).
Jika belum terjadi penyerahan, maka pihak yang dirugikan dapat
membatalkan akad secara berlangsung, tanpa keputusan qadhi. Namun jika
273

telah terjadi serah terima, maka menurut fuqaha Hanafiyah tidak dapat
difasahkan kecuali melalui keputusan qadhi. Hal ini untuk menghindari
timbulnya persengketaan kedua belah pihak.
Hak khiyar ‘aib akan gugur apabila:
a. Pihak yang dirugikan merelakan setelah ia mengetahui cacat
tersebut.
b. Pihak yang rugikan sengaja tidak menuntut pembatalan akad.
c. Terjadi kerusakan atau cacat baru dalam penguasaan pihak
pembeli.
d. Terjadi pengembangan atau penambahan dalam penguasaan pihak
pembeli.

5. Khiyar Ru’yat
Adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum
melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya
dalam batas waktu yang memungkinkan telah terjadi perubahan atasnya.
Konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqaha Hanafiyah, Malikiyah,
Hanabiyah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada
di tempat) atau benda yang belum pernah diperiksa, berdasarkan keterangan
hadis:
“Barang siapa membeli sesuatu yang belum pernah di lihatnya,
maka baginya hak khiyar ketika melihatnya.”
Imam Syafi’I menyangkal keberadaan khiyar ru’yat ini, karena
menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada di tempat) sejak
semula tidak sah.
Syarat Khiyar Ru’yah bagi yang membolehkannya antara lain:
a. Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada
dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.
274

b. Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan


mengembalikan saat transaksi.
c. Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau
sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.

C. Hikmah diadakanya Khiyar


Khiyar dalam jual beli termasuk dari keindahan Islam. Karena  terkadang
terjadi jual beli secara mendadak tanpa berpikir dan merenungkan harga dan
manfaat barang yang dibeli. Karena alasan itulah, Islam memberikan kesempatan
untuk mempertimbangkan yang dinamakan khiyar, keduanya bisa memilih di
sela-selanya yang sesuai salah satu dari keduanya berupa meneruskan jual beli
atau membatalkannya.
Dari Hakim bin Hizam r.a ia berkata: 'Rasulullah SAW bersabda:
“Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak memilih selama
keduanya belum berpisah,” atau beliau bersabda: “sampai keduanya berpisah.
Maka jika keduanya benar dan menjelaskan, niscaya diberi berkah untuk
keduanya dalam transaksi keduanya, dan jika keduanya menyembunyikan dan
berdusta, niscaya dihapus berkah jual beli keduanya.” (Muttafaqun 'alaih)
Dengan demikian khiyar dalam jual beli mempunyai hikmah-hikmah yang
khusus antara lain:
1. Mengurangi efek ganguan dalam transaksi sejak dini.
2. Membersihkan unsur suka sama suka dari noda-noda
3. Kepuasan ‘aqid
4. Penjual mempunyai peluang atau kesempatan untuk bermusyawaray
kepada orang terpercaya mengenai harga yang sesuai dengan barang
dagangan.
5. Menghilangkan unsur kelalaian atau penipuan bagi pihak akad.
275

Fasal
Perihal Salam ( Pesan Memesan )

Salam berasal dari kata As salaf yang artinya pendahuluan, karena pemesan
barang menyerahkan uangnya dimuka. Para ahli fiqh menamainya al mahawi’ij
(barang-barang mendesak) karena sejenis jual beli yang dilakukan secara
mendesak walaupun barang yang diperjualbelikan tidak ada ditempat.
“mendesak jika dilihat dari sisi pembeli karena ia sangat membutuhkan barang
tersebut, sedangkan dari sisi penjual karena ia sangat membutuhkan uangnya.
Dalam akad salam , harga barang pesanan yang sudah disepakati tidak dapat
berubah selama jangka waktu akad. Apabila barang yang dikirim tidak sesuai
dengan ketentuan yang telah disepakati sebelumnya, maka pembeli boleh
melakukan khiar, yaitu memilih apakah transaksi dilanjutkan atau dibatalkan.
Apabila pembeli menerima untuk melanjutkan, sedangkan kualitasnya lebih
rendah maka pembeli akan mengakui adanya kerugian dan tidak boleh meminta
pengurangan harga karean harga sudah disepakati dalam akad sehingga tidak
dapat diubah. Demikian juga kebalikannya, jika kualitasnya lebih tinggi, penjual
tidak dapat meminta tambahan harga dan pembeli tidak boleh mengakui adanya
karena kalau diakui sebagai keuntungan dapat dipersamakan dengan riba
Sumber hukum akad salam
1. Al-Qur’an
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya
dengan benar….” (Qs. 2 : 282)
“hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu….” (QS. 5 : 1)
2. Al- hadis
“barang siapa melakukan salam hendaknya ia melakukannya dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka
waktu yang diketahui “. (HR. Bukhari Muslim)
276

A. JENIS AKAD SALAM


1. Salam, adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum
ada ketika transaksi dilakukan pembeli melakukan pembayaran dimuka
sedangkan penyerahan barang dilakukan dikemudian hari.
2. Salam parallel, adalah melaksanakan dua transaksi salam yaitu antara
pembeli dan penjual, serta antara penjual dan pemasok. Hal ini terjadi ketika
penjual tidak memiliki barang pesanan dan memesan kepada pihak lain untuk
menyediakan barang pesanan tersebut.
Salam parallel dibolehkan asalkan akad salam kedua tidak tergantung pada
akad salam yang pertama, yaitu akad antara penjual dan pemasok tidak
tergantung pada akad antara pembeli dan penjual. Juka saling tergantung atau
menjadi syarat (terjadi ta’alluq) maka tidak diperbolehkan. Jadi akad antara
penjual dan pemasok harus terpisah dari akad antara pembeli dan penjual.
Beberapa ulama kontemporer melarang transaksi salam parallel terutama ika
perdagangan dan transaksi semacam ini dilakukan secara terus-menerus
karena dapat menjerumus kepada riba.

B. RUKUN DAN KETENTUAN SYARIAH AKAD SALAM


Rukun salam ada tiga, yaitu:
1. Pelaku, terdiri atas penjual dan pembeli
2. Objek akad, yaitu berupa barang yang akan diserahkan dan modal salam.
3. Ijab Kabul

Ketentuan syariahnya adalah sebagai berikut:


1. Pelaku harus cakap hukum dan baligh
2. Objek akad
a. Ketentuan syariah yang terkait dengan modal salam adalah:
277

1. Modal salam harus diketahui jenis dan jumlahnya


2. Modal salam berbentuk uang tunai. Para ulama berbeda pendapat
masalah boleh tidaknya pembayaran dalam bentuk aset perdagangan.
Beberapa ulama menaggapinya boleh, sebagian lagi tidak boleh.
3. Modal salam diserahkan ketika akad berlangsung, tidak boleh utang
atau merupakan pelunasan piutang.

b. Ketentuan syariah untuk barang salam adalah:


1. Barang tersebut harus dapat dibedakan atau diidentifikasi,
mempunyai spesifikasi dan karakteristik yang jelas dalam dalam hal
kualitas, jenis, ukuran, dan lain sebagainya sehingga tidak ada ketidak
pastian.
2. Barang tersebut harus dapat dikuantifikasi atau ditakar (ditimbang)
3. Waktu penyerahan barang harus jelas untuk menhindari ketidak
pastian.
4. Barang tidak harus ditangan penjual tetapi harus ada pada waktu
ditentukan.
5. Apabila barang yang dipesan tidak ada pada waktu yang ditentukan,
maka akad akan menjadi rusak (fasakh) dan pembeli dapat memilih
apakah menunggu sampai dengan barang yang dipesan tersedia atau
membatalkan akad sehingga penjual harus mengembalikan dana
yang telah diterimanya.
6. Apabila barang yang dikirm cacat atau tidak sesuai dengan yang
disepakati dalam akad, maka pembeli boleh melakukan khair
(memilih untuk menerima atau menolak). Jika pilihannya adalah
menolak maka si penjual memiliki utang yang dapat diselesaikan
dengan pengambilan dana atau menyerahkan produk yang sesuai
dengan akad.
278

7. Apabila barang yang dikirm memiliki kalitas yang lebih baik, maka
penjual tidak boleh meminta tambahan pembayaran dan hal ini
dianggap sebagai pelayanan terhadap kepuasan pelanggan.
8. Apabia barang yang dikirm kualitasnya lebih rendah, maka pembeli
boleh memilih antara menolak atau menerimanya. Apabila pembeli
memilih untuk menerimanya maka pembeli tidak boleh meminta
pengurangan harga.
9. Barang boleh dikirim sebelum jatuh tempo asalkan disetujui oleh
kedua belah pihak, dan dengan syarat kualitas serta jumlah brang
sesuai dengan kesepakatan, dan tidak boleh menuntut penambahan
harga.
10. Penjualan kembali barang yang dipesan sebelum diterima tidak
dibolehkan secara syariah.
11. Kaidah penggantian barang yang dipesan dengan barang lain. Para
ulama melarang penggantian spesifikasi barang yang tidak sesuai
dengan spesifikasi yang dipesan.
12. Apabila tempat penyerahan barang tidak disebutkan, akad tetap sah.
Namun sebaiknya dijelaskan dalam akad, apabila tidak disebutkan
maka harus dikirim ketempat yang menjadi kebiasaan, misalnya
gudang pembel.

 RUKUN AKAD SALAM


1. Muslam atau pembeli
2. Muslam ilaihi atau penjual
3. Modal atau uang
4. Muslam fiihi atau barang
5. Sighat atau ucapan
279

 Landasan Syari’ah
Landasan syari’ah transaksi bai’ as-salam terdapat dalam Al-Qur’an
dan al-hadits.
a. Al-Qur’an (al-bbaqarah : 282)
“hai orng-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya….”

b. Al-hadits (ibnu majah)


“barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas
pula untuk jangka waktu yang diketahui.”
 Syarat akad salam
a. Modal transaksi akad salam
1. Modal harus diketahui, barang yang akan disuplai harus
diketahui jenis, kualitas, dan jumlahnya. Hukum awal
mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus dalam bentuk
uang tunai.
2. Penerimaan pembayaran salam
Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam
dilakukan ditempat kontrak. Hal ini adalah untuk encegah
praktik riba melalui mekanisme salam.

b. Al-muslam fiihi (barang)


1. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang
2. Harus biasa diidentifikasi secara jelas
3. Penyerahan barang dilakukan dikemudian hari
4. Penyerahan barang harus ditunda padasuatu waktu kemudian
280

5. Bolehnya menentukan tanggal waktu dimasa yang akan dating


untuk penyerahan barang
6. Tempat penyerahan
7. Penggantian muslam fiihi dengan barang lain

Fasal

Perihal Rahn (Gadaian)

Gadai atau al-rahn (‫)الرهن‬ secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,wal


habs) yaitu penetapan dan penahanan. Akad rahn dalam istilah terminologi
disebut dengan barang jaminan. Menurut syara’, al-Rahn (gadai) adalah
menjadikan benda yang berharga sebagai jaminan hutang, yang akan digunakan
untuk melunasi hutang tersebut ketika tidak mampu melunasi hutang. Dalam
islam, rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa
adanya imbalan.
Selain Pengertian rahn yang dikemukakan diatas, terdapat juga pengertian
gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli yaitu sebagai berikut:
a. Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah mengemukakan gadai (rahn) adalah
menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya
itu.
b. Hanafiyah mendefinisikan rahn adalah Menjadikan sesuatu (barang) sebagai
jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar
hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian.
c. Malikiyah mendefinisikan gadai (rahn) adalah sesuatu yang bernilai harta
yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap
(mengikat) atau menjadi tetap.
281

Berdasarkan pengertian rahn (gadai) yang dikemukakan oleh beberapa ahli


diatas, dapat diketahui bahwa rahn (gadai) adalah menahan barang jaminan yang
bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang
diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak
yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali
seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang
menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang ditentukan.
Sifat rahn secara umum dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma,
sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin)
tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murtahin kepada rahin adalah
utang,bukan penukar atas barang yang digadaikan.Jadi, pada intinya
pelaksannaan gadai adalah suatu kegiatan hutang piutang antara kedua belah
pihak, dengan menjadikan suatu barang yang berharga atau bernilai sebagai
jaminannya.
A. Dasar Hukum
a. Al-Qur’an
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan dalam
islam berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dalam surat al-Baqarah ayat
283 Allah berfirman :
ِ ِ ِ
‫ضا‬ ُ ‫وض ةٌ ۖ فَ ِإ ْن أَم َن َب ْع‬
ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬ َ ُ‫َوإِ ْن ُكْنتُ ْم َعلَ ٰى َس َف ٍر َومَلْ جَت ُدوا َكاتبً ا فَ ِر َه ا ٌن َم ْقب‬

َّ ‫َف ْلُي َؤ ِّد الَّ ِذي ْاؤمُتِ َن أ ََما َنتَ هُ َولْيَت َِّق اللَّهَ َربَّهُ ۗ َواَل تَكْتُ ُم وا‬
ُ‫الش َه َاد َة ۚ َو َم ْن يَكْتُ ْم َه ا فَِإنَّه‬
ِ ‫مِب‬ ‫مِث‬
ٌ ‫آ ٌ َق ْلبُهُ ۗ َواللَّهُ َا َت ْع َملُو َن َعل‬
)٢٨٣( ‫يم‬
Artinya:” Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
282

dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia


bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah : 283)
Para ulama fiqh sepakat bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam
perjalanan dan dalam keadaan hadir di tempat, asal barang jaminan itu bisa
langsung dipegang/dikuasai secara hukum oleh si piutang. Maksudnya,
karena tidak semua barang jaminan bisa dipegang / dikuasai oleh si pemberi
piutang secara langsung, maka paling tidak ada semacam pegangan yang
dapat menjamin bahwa barang dalam status al-Marhun (menjadi jaminan
hutang). Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah,
maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah itu.
b. Hadits
Kemudian dalam sebuah HR. Bukhari, Kitab Ar-Rahn dikatakan
Bahwa:

‫اش َتَرى طَ َع ًام ا ِم ْن‬


ْ ‫عن عائش ة رض ي اهلل عنه ا أن الن يب ﷺ‬

)‫أج ِل فِْر َهنَهُ ِد ْر َعهُ (صحيح البخاري‬ ِ


ْ ‫َي ُه ْود ْي إىل‬
Artinya : “Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi saw membeli makanan
secara tidak tunai dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya”.
(HR. Bukhari)
Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa Rasul SAW.
menggadaikan baju besinya itu, adalah kasus ar-rahn pertama dalam islam
dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw. Berdasarkan ayat dan hadis-hadis
diatas, para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad ar-rahn itu
dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya
dalam rangka hubungan antar sesama manusia.
283

B. Rukun dan Syarat Rahn


Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda, memiliki beberapa rukun, antara
lain :
1. Akad dan ijab Kabul (serah terima), yaitu pernyataan adanya perjanjian
gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting
di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para
pihak.
2. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai
(murtahin).
3. Barang yang dijadikan jaminan (marhun), Para ulama fiqih sepakat
mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual beli.
Menurut ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun sebagai berikut:
a. dapat diperjual-belikan
b. bermanfaat
c. Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti halnya dalam
jual beli.
d. Barang tersebut dimiliki oleh rahin. Tidak sah menggadaikan barang
milik orang lain tanpa ijin pemiliknya.
e. dipegang (dikuasai) oleh rahin
f. bisa diserahkan baik materinya ataupun manfaatnya
g. Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik orang lain, yakni
bukan milik bersama. Akan tetapi menurut Malikiyah, Syafi‟iyah dan
Hanabilah, barang milik bersama boleh digadaikan.
4. Utang (marhun bih)

Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun rahn


itu hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh
pemilik barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan
284

menerima barang anggunan tersebut). Disamping itu , untuk sempurna dan


mengikatnya akad rahn ini, maka di perlukan al-qabd (penguasaan barang).
Adapaun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan
tanggungan, dan utang, menurut ulama madzhab hanafi termaksuk syarat-
syarat rahn, bukan rukunnya.
Adapun syarat-syarat Rahn antara lain :
1. Rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (yang menerima gadai)
Tentang pemberi dan penerima gadai, disyaratkan:
a. Tidak gila, tidak mabuk
b. Dewasa, baligh
c. Berakal
d. Mumayyis
e. Mengerti hukum
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah cukup berakal saja (seperti anak
mumayyis) dengan catatan dalam akadnya harus mendapat persetujuan dari
walinya.
2. Sighat (lafadz)
Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad ar-rahn itu tidak boleh dikaitkan
dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, karena
akad gadai sama dengan jual beli. Apabila akad itu disertai dengan syarat
tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal.
Sedangkan akad sah misalnya orang yang berutang apabila tenggang waktu
utang telah habis ( jatuh tempo) dan utang belum dibayar, maka ar-rahn itu
diperpanjang satu bulan, atau pemberi utang itu mensyaratkan bahwa harta
agunan itu boleh dimanfaatkan.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa apabila
syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad, maka syarat
diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabi’at rahn maka
syarat akan batal. Adapun syarat yang diperbolehkan, misalnya, untuk sahnya
285

ar-rahn itu pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang
saksi.
3. Marhun bih (utang)
Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan
utang yang tetap, dengan kata lain utang tersebut bukan merupakan utang yang
bertambah-tambah atau utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang
tersebut merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah
merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba
ini bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam.
4. Marhun (barang yang dijadikan jaminan)
menurut para fiqih adalah barang jaminan itu bernilai harta yang dapat
dengan utang, barang jaminan itu bernilai harta yang dapat dimanfaatkan,
barang jaminan itu harus jelas dan tertentu, barang jaminan itu milik sah orang
yang berutang dan tidak terkait dengan hak orang lain, barang jaminan itu
merupakan barang yang utuh dan tidak terpisah-pisah, dan ia dapat diserahkan
baik materinya maupun manfaatnya.
Disamping syarat-syarat di atas, para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa
ar-rahn itu baru dianggap sempurna apabila barang yang di rahn-kan itu secara
hukum sudah berada ditangan pemberi utang. Dan uang yang dibutuhkan telah
diterima peminjam uang. Apabila jaminan itu berupa benda tidak bergerak
seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah itu yang diberikan,
tetapi cukup surat jaminan tanah atau surat-surat tanah yang diberikan kepada
orang yang memberi piutang.
Syarat yang terakhir demi kesempurnaan ar-rahn adalah bahwa barang
jaminan itu dikuasai secara hukum oleh pemberi hutang. Syarat ini menjadi
penting karena Allah dalam (Q.S. al-Baqarah:283) menyatakan barang jaminan
itu dipegang atau dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang . Apabila barang
jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang, maka akad rahn bersifat
mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, utang itu terkait dengan
286

barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan
dapat dijual dan utang itu dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu
ada kelebihan uang, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya.
C. Pemanfaatan Barang Rahn
Para ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan
untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi tanggung jawab
pemiliknya, yaitu orang yang berhutang. Hal ini sejalan dengan sabda
Rasulullah yang mengatakan :
“pemilik barang jaminan (angunan ) berhak atas segala hasil barang
jaminan dan ia juga bertanggung jawab atas segala biaya barang jaminan itu.”
(HR. asy-Syafii dan ad-Daruquthni ).
Para ulama fiqih juga sepakat mengatakan bahwa barang yang dijadikan
barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama
sekali, kerena itu termasuk tindakan yang menyia-nyiakan harta yang dilarang
Rasulullah saw. ( HR. at-Tirmizi). Akan tetapi, bolehkah pihak pemegang
barang jaminan memanfaatkan barang jaminan itu, sekalipun mendapat izin dari
pemilik barang jaminan ? Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat para
ulama.
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa, pemegang barang jamianan tidak
boleh memanfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya
secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah
sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan apabila orang yang berutang itu
tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia boleh menjual atau menghargai
barang itu untuk melunasi piutangnya. Alasan jumhur ulama ini adalah sabda
Rasulullah saw. Yang berbunyi :
“Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil
( dari barang jaminan ) dan resiko (yang ditimbulkan atas barang itu) menjadi
tanggung jawabnya.” (HR. al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn Hibban dari Abu
Hurairah).
287

Akan tetapi apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan


memanfaatkan barang itu selama ditangannya, maka sebagaian ulama Hanafiyah
membolehkannya, karena dengan adanya izin, maka tidak ada halangan bagi
pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi,
sebagian ulama Hanafiyah lainnya, ulama Malikiyah, dan ulama Syafiiyah
berpendapat, sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang
jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu.
Karena, apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan
itu merupakan riba. Sekalipun diizinkan dan diridhai pemilik barang. Bahkan
menurut mereka, rida dan izin dalam hal ini cenderung dalam keadaan terpaksa,
karena khawatir tidak akan mendapat uang yang akan dipinjam itu.
Ar-rahn (gadai) yang dikemukakan para ulama fiqh klasik hanya bersifat
pribadi. Artinya, utang piutang itu hanya terjadi antara seorang yang
memerlukan dengan seseorang yang memiliki kelebihan harta.
Di zaman sekarang, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, ar-
rahn (gadai) tidak saja berlaku antar pribadi, melainkan juga antara pribadi
dengan lembaga-lembaga keuangan, seperti bank. Untuk mendapatkan kredit
dari lembaga keuangan, pihak bank juga menuntut barang jaminan yang boleh
dipegang bank sebagai jaminan atas kredit itu.
D. Berakhirnya Rahn
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak
boleh ada syarat-syarat, semisal ketika akad gadai diucapkan “apabila rahin
tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka
marhun (jaminan) menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab
ada kemungkinan pada waktu pembayaran telah ditentukan untuk membayar
utang harga marhun akan lebih kecil dari pada utang rahin (orang yang
memberikan jaminan) yang harus dibayar, yang mengakibatkan kerugian pada
pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu
288

pembayaran lebih besar jumlahnya dari pada utang yang harus dibayar, yang
akibatnya akan merugikan rahin.
Apabila syarat diatas diadakan dalam akad gadai, akad gadai tetap sah tetapi
syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu
pembayaran yang telah ditentukan, rahin belum membayar utangnya, hak
murtahin adalah menjual jaminan atau marhun, pembeliannya boleh murtahin
(orang yang menerima) itu sendiri atau yang lain tetapi harus dengan harga yang
umum berlaku pada waktu itu. Hak murtahinhanyalah sebesar piutangnya,
dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utangnya,
sisanya dikembalikan pada rahin. Sebaliknya, harga penjualan marhun kurang
dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.
Berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi yang artinya “Rahn
itu tidak boleh dimiliki, rahn itu milik orang yang menggadaikan. Ia berhak atas
keuntungan dan kerugiannya.”
Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai
berikut:
a) Barang gadai telah diserahkan kembali pada pemiliknya.
b) Rahin telah membayar hutangnya.
c) Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun dengan pemindahan
oleh murtahin.
d) Pembatalan oleh murtahin meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
e) Rusaknya barang rahin bukan oleh tindakan atau pengguna murtahin.
289

Fasal

Perihal Hajr ( Pencegahan Bertindak)

Berkata Syaikh Abu Syujak tentang Hajr (Pencegahan Bertindak dalam harta)
diberlakukan atas enam macam orang yaitu anak kecil, orang gila, orang bodoh yang
menghambur-hamburkan hartanya.

Hajr menurut Bahasa adalah mencegah atau meghalangi. Oleh karena itu rumah
yang dipagar kelilingnya dinamakan mahjarah, sebab bangunan rumah itu terhalangi
dari dimasuki oleh orang lain.

Hajr menurut istilah adalah mencegah membelanjakan harta, yaitu ada dua macam,
sebagaimana yang di tunjuk oleh pengarang, yaitu mencegah demi kemaslahatan
orang yang dicegah dan mencegahnya demi kemaslahatan orang lain.

Pencegahan yang pertama adalah demi kemaslahatan diri orang yang dicegah itu
sendiri. Diantara macam yang pertama ini adalah anak kecil. Termasuk orang gila
demikian pula pada orang yang tidur dengan tindakan nya batal. Termasuk juga
encegah orang menghambur-hamburkan hartanya (safih).

Adapun pencegahan terhadap orang yang sakit adalah demi melindungi para
pewaris, yaitu jumlah yang lebih dari sepertiga harta, setelah dilunasi hutang-
hutangnya. Orang sakit tidak boleh dihalangi tindakannya dalam membelanjakan
sepertiga hartanya.

Al-Hajr berarti larangan dan penyempitan/pembatasan. Istilah hukum perdata


berarti pengampuan. Al-Hajr dalam fikih Islam ditemui dalam pembahasan tindakan
kecakapan melakukan tindakan hukum bagi seseorang. Al-Hajr maksudnya
290

seseorang dilarang melakukan tindakan hukum. Berkenaan dengan al-Hajr para


ulama membuat definisi. Ulama mazhab Hanafi membuat definisi:

a. Larangan bagi seseorang untuk melaksanakan akad dan bertindak secara


hukum terhadap hartanya. Apabila seseorang yang berstatus dibawah
pengampuan melakukan tindakan hukum terhadap hartanya, seperti jual-beli
atau hibah, maka tindakannya tidak sah.
b. Larangan khusus yang berhubungan dengan pribadi tertentu dalam tindakan
hukum tertentu pula.

Berdasarkan definisi kedua ini, apabila orang yang berada dalam pengampuan
melakukan suatu tindakan yang bersifat ucapan atau pernyataan, maka akad yang
dilakukannya itu tidak sah, kecuali ia mendapat izin dari walinya (pengampunya).
Selama yang bersangkutan masih berstatus pengampuan, segala kegiatan atau
tindakan yang berakibat merugikan harta benda, maka kegiatan itu harus diambil
dari hartanya, dan jika tidak punya harta, diminta kepada wali yang mengampunya.
Namun, walaupun bagaimana hukuman fisik tidak boleh dilakukan kepada orang
yang berada dalam pengampuan. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan:

“Status hukum yang diberikan syara’ kepada seseorang sehingga dia dilarang
melakukan tindakan hukum di luar batas kemampuannya atau melakukan suatu
tindakan pemindahan hak milik melebihi sepertiga hartanya”

Mereka berpendapat, bahwa penentuan seseorang benar dibawah pengampuan


didasarkan kepada ketentuan syara’. Orang yang dilarang melakukan tindakan
hukum diluar batas kemampuannya adalah anak kecil, orang gila, orang dungu, dan
orang jatuh pailit. Mereka semua dilarang melakukan tindakan secara hukum seperti
jual-beli atau pemindahan hak milik lainnya. Apabila melakukan hal itu, maka
tindakannya tidak berlaku dengan sendirinya. Namun, sebagai akibat dari tindakan
hukum yang mereka lakukan, mereka harus mendapat izin dari walinya. Sedangkan
orang yang dilarang memindahtangankan hak miliknya melebihi sepertiga hartanya
291

adalah orang sakit yang diduga keras penyakitnya tidak akan sembuh lagi, sehingga
penyakitnya itu berakhir dengan kematian.

Segala bentuk jual-beli dari orang seperti ini tidak dilarang. Tindakan
pemindahan hak secara sukarela seperti hibah, wasiat dan sedekah hanya dibolehkan
sampai sepertiga hartanya. Selebihnya tidak dapat dibenarkan.

Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali mendefinisikan al-Hajr dengan:

“Larangan melakukan tindakan hukum terhadap seseorang, baik larangan


tindakan hukum yang ditujukan kepada anak kecil, orang gila dan orang dungu, atau
muncul dari hakim, seperti larangan bagi seseorang pedagang untuk menjual
barangnya melebihi harga pasar”

Secara etimologi, al-hajr berarti larangan, penyempitan dan pembatasan. Hajara


‘alaihi hajran, artinya seseorang dilarang melakukan tindakan hukum. Dalam al-
Qur’an, kata al-Hajr juga digunakan dalam arti akal, karena akal dapat menghambat
seseorang melakukan perbuatan yang berakibat buruk.

Secara terminologi, dijumpai beberapa definisi al-Hajr yang dikemukakan para


ulama fiqh. Akan tetapi, pada dasarnya, definisi-definisi itu secara substansial adalah
sama. Di kalangan ulama Hanafiyah sendiri terdapat dua definisi, yaitu:

Pertama, Larangan bagi seseorang untuk melaksanakan akad dan bertindak


hukum terhadap hartanya.

Apabila seseorang yang berstatus di bawah pengampuan melakukan tindakan


hukum dalam bentuk perkataan yang berakibat kepada hartanya, seperti jual beli atau
hibah, maka tindakannya itu tidak dapat dilaksanakan, serta segala akibat akad itu
tidak berlaku, karena akadnya sendiri tidak sah.

Kedua, Larangan khusus yang berkaitan dengan pribadi tertentu dalam tindakan
hukum tertentu pula.
292

Apabila orang yang dalam pengampuan melakukan suatu tindakan hukum yang
bersifat ucapan atau pernyataan, transaksi yang ia lakukan itu tidak sah, kecuali bila
ia mendapatkan izin dari walinya (yang mengampunya). Apabila orang yang dalam
status pengampuan melakukan suatu tindakan mengakibatkan kerugian harta benda,
maka kerugian harta benda, maka kerugian itu harus diganti dengan hartanya, jika ia
punya harta, atau diminta kepada wali yang mengampunya. Namun, hukuman yang
bersifat fisik tidak boleh dikenakan kepada orang-orang yang berada dalam
pengampuan itu.

Ulama Malikiyah mendefinisikan al-Hajr dengan:

Status hukum yang diberikan syara’ kepada seseorang sehingga ia dilarang


melakukan tindakan hukum diluar batas kemampuannya, atau melakukan seuatu
tindakan pemindahan hak milik melebihi sepertiga hartanya.

Mereka berpendapat bahwa penentuan seseorang berada di bawah


pengampuannya didasarkan kepada ketentuan syara’. Orang yang dilarang
melakukan tindakan hukum di luar batas kemampuannya, menurut mereka, adalah
anak kecil, orang dungu, orang yang jatuh pailit, dan sebagainya. Mereka semua
dilarang melakukan tindakan hukum seperti jual-beli, atau melakukan perpindahan
hak milik lainnya. Apabila mereka melakukan suatu tindakan hukum. Maka akibat
dari tindakan hukum itu tidak berlaku dengan sendirinya, sebagaimana yang berlaku
bagi orang yang tidak dalam pengampuan, tetapi akibat hukum tindakan mereka
harus mendapat izin dari wali pengampunya. Sedangkan orang yang dilarang
memindahtangankan hak miliknya melebihi sepertiga hartanya, adalah orang sakit
yang diduga keras tidak akan sembuh lagi, sehingga penyakitnya itu membawa
kepada kematiannya (mardh al-maut). Segala bentuk transaksi jual beli orang seperti
ini tidak dilarang. Berkenaan dengan tindakan pemindahan hak milik secara
sukarela, seperti hibah, wasiat, dan sedekah, hanya diberlakukan dan diperbolehkan
sampai sepertiga hartanya.Lebih dari itu tidka dibenarkan.
293

Kemudian, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, mendefinisikan al-Hajr dengan:

Larangan melakukan tindakan hukum terhadap seseorang, baik larangan itu


datangnya dari syara’ seperti larangan tindakan hukum yang ditujukan kepada anak
kecil, orang gila, orang dungu, maupun muncul dari hakim, seperti larangan bagi
seseorang pedagang untuk menjual barangnya.

Dilihat dari segi tujuannya, ulam fiqh membagi al-Hajr kepada dua bentuk:

1. Untuk kemaslahatan orang yang berada dibawah pengampuan, seperti anak


kecil, orang gila, orang dungu, dan pemboros.
2. Untuk kemaslahatan orang lain, seperti orang pailit (debitor pailit) dan orang
yang sedang dalam keadaan sakit parah (mardh al-maut).

Penyebab al-Hajr itu ada yang disepakati oleh para ulama fiqh dan ada pula
yang diperselisihkan. Penyebab yang disepakati oleh ulama fiqh adalah seperti
pengampuan terhadap anak kecil dan orang gila, karena mereka belum cakap
bertindak secara hukum. Penyebab yang diperselisihkan adalah pengampuan
terhadap orang dungu dan orang berhutang. Pengampuan terhadap mereka bukan
karena tidak cakap melakukan tindakan hukum, tetapi bertujuan untuk
menghindarkan orang lain dari kemudharatan, sebagai akibat dari tindakan mereka
dan mencegah terjadi mudharat pada diri mereka sendiri (orang dungu).

Pengampuan (Hajr) Terhadap Pihak Yang Pailit

Ulama fiqh menyatakan, bahwa seseorang yang dinyatakan pailit, apabila ia


terlilit hutang sedangkan harta bendanya tidak mencukupi untuk melunasi seluruh
hutangnya. Ulama fiqh berbeda pendapat, apakah kepada orang itu dikenakan al-
Hajr atau tidak?

Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa orang yang pailit tidak dikenakan al-
Hajr, karena merendahkan status mereka sebagai manusia bebas dan mengekang hak
asasi mereka. Menurut Abu Hanifah, mudharat yang dialami orang itu lebih berat
294

dari mudharat yang dialami kreditor. Oleh sebab itu, bahwa seluruh tindakan orang
pailit, baik yang brsifat pemindahan hak dengan ganti rugi maupun tanpa ganti rugi
dianggap sah.

Hak hakim satu-satunya adalah memerintahkan untuk memprioritaskan


pembayaran hutang-hutangnya pada orang lain. Bila dia enggan membayar
hutangnya, maka dia dapat dipenjarakan (hukuman badan), sampai ia melunasi
hutang-hutangnya.

Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan Jumhur ulama
berpendapat bahwa orang pailit (debitor pailit) dapat dikenakan status hukumnya
dibawah pengampuan. Dengan demikian dia tidak dibenarkan bertindak secara
hukum yang bersifat pemindahan hak milik (hartanya). Sebagai alasan mereka
adalah tindakan Rasulullah terhadap Mu’az bin Jabal yang dililit hutang. Jumhur
ulama berpendapat bahwa status seseorang yang pailit berada dibawah pengampuan
adalah berdasarkan penetapan hakim. Dengan demikian, apabila dia mengadakan
tindakan hukum sebelum ada penetapan dari hakim (pengadilan), maka tindakannya
itu dianggap sah.

Menurut ulama Mazhab Maliki seseorang yang pailit baru dikenakan status
hukumnya dibawah pengampuan, setelah ada pengaduan dari kreditor dan kemudian
mendapat penetapan dari hakim. Hakim dalam persoalan ini mempuanyai wewenang
untuk memenjarakan orang tersebut dan menjual hartanya untuk pembayaran
hutangnya.

Setelah seseorang dinyatakan pailit dan berada dibawah pengampuan, maka


akibatnya:

1. Ia dilarang melakukan tindakan hukum terhadap hartanya, kecuali untuk


keperluan hidupnya.
295

2. Ia boleh dipenjarakan untuk menjaga keselamatan dirinya, karena ada


kemungkinan di luar penjara, jiwanya terancam. Untuk memenjarakan orang pailit
harus memenuhi ketentuan:

a. Hutangnya itu bersifat mendesak untuk dibayar.


b. Ia mampu membayar hutang, tapi enggan membayarnya.
c. Para kreditor menuntut kepada pengadilan (hakim) untuk
memenjarakannya.

3. Hartanya dijual untuk membayar hutang-hutangnya

4. Harta orang lain yang masih ada ditangannya harus dikembalikan kepada
pemiliknya

5. Sekiranya dia tidak dipenjarakan, maka dia harus diawasi secara terus menerus
(Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani). Sedangkan
menurut Jumhur ulama tidak perlu ia diawasi secara terus menerus, karena akan
menghambat geraknya untuk mencari rezeki guna melunasi hutangnya (perhatikan
kembali surat al-Baqarah: 280)

Hajr bisa diberlakukan oleh hakim terhadap orang yang mempumyai hutang
yang jatuh pailit atas permintaan orang-orang yang memberikan hutang atau oleh
sebagian dari mereka sehingga hak mereka tidak terancam hilang. Syaratnya adalah
jika harta orang yang berhutang tidak mencukupi untuk membayar hutangnya.
Lebih baik lagi pemberlakuan hajr ini dipublikasikan agar orang lain tidak
melakukan transaksi dengannya.

Ada empat hukum yang terkait dengan hajr terhadap orang yang berhutang yang
jatuh pailit sebagai berikut :

1. Keterkaitan hak orang-orang yang member hutang dengan harta bendanya


( penghutang yang pailit ).
296

2. Larangan membelanjakan hartanya ketika terkena hajr, namun pembelanjaan


yang dilakukan sebelum terkena hajr tetap boleh .
3. Seorang hakim berhak menjual hartanya dan membayarkannya kepada orang-
orang yang memberikannya hutang. Pembagiannya dimulai dariorang yang
mempunyai gadai padannya. Hakim membayarkannya lebih kecil dari
hutangnya atau sesuai dengan harga barang yang digadaikan. Kemudian hakim
baru membayarkan hutang-hutangnya yang lain dengan cara yang adil.
4. Orang yang mendapati hartanya ditangan pihak penghutang yang jatuh pailit
lebih berhak atas harta itu dari pada pemberi hutang yang lain. Hal ini jika
barang dagangan masih ada dan belum rusak sedikitpun serta tidak bertambah.
Selain itu, jika penjual belum menerima harganya dan jika tidak ada orang
mempunyai hak atas harta itu,seperti hak hibah,syuf’ah dan lain sebagainya.

Orang yang jatuh pailit berhak mendapatkan nafkah dari hartanya untuk dirinya dan
orang-orang yang menjadi tanggungannya. Rumahnya yang dijadikan tempat
tinggal tidak boleh dijual.

Dasar Hajr Terhadap Muflis ( Orang yang Pailit )

Dasar pemberlakuan hajr terhadap muflis adalah hadits yang diriwayatkan


ka’ab ibnu Malik :

“ Sesungguhnya nabi S.A.W melarang berbelanja terhadap Mu’azd ibnu Jabal,


dan beliau menjual hartanya .” ( Riwayat Al-Baihaqi ).

Diriwayatkan dari Abdur-Rahman, ia berkata, Mu’azd ibnu Jabal adalah


seorang pemuda yang dermawan. Ia tidak pernah menahan sesuatu pun ditangannya.
Ia terus saja memberI sehingga ia tenggelam dalam hutang. Kemudian ia datang
kepada nabi S.A.W dan menceritakan hal tersebut kepada beliau agar menjadi
perentara terhadap orang-orang yang menghutanginya. Sekiranya mereka
membiarkan seseorang. Tentulah mereka membiarkan Mu’azd demi Rasulullah
297

S.A.W. kemudian beliau menjual harta Mu’azd sehingga ia tidak mempunyai apa-
apa.

Pencabutan status dibawah pengampuan orang pailit

Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa hukum itu berlaku sesuai dengan illatnya.
Apabila ada illatnya maka hukum berlaku, dan apabila illatnya hilang maka hukum
itu tidak berlaku. Dalam persoalan orang yang dinyatakan jatuh pailit dan berada
dalam status dibawah pengampuan. Apabila hartanya yang ada telah dibagikan
kepada pemberi piutang oleh hakim apakah statusnya sebagai orang yang dibawah
pengampuan hapus dengan sendirinya. Dalam hal ini jumhur ulama fiqh
berpendapat :

Ulama syafi’iah dan hanabilah mengemukakan bahwa “ apabila harta si pailit


telah dibagi kepada pemberi piutang sesuai dengan perbandingannya, dan sekalipun
tidak lunas, maka status di bawah pengampuan dinyatakan dihapus, karena sebab
yang menjadikan ia berada dibawah pengampuan telah hilang”.

Sebagian ulama syafi’iah dan hanabilah berpendapat juga bahwa status orang
pailit sebagai orang yang berada dibawah pengampuan tidah hapus, kecuali dengan
keputusan hakim, karena penetapannya sebagai orang yang berstatus dibawah
pengampuan didasarkan pada keputusan hakim, maka pembatalannya pun harus
dengan keputusan hakim.
298

Fasal

Perihal Shuluh (Perdamaian)

Dalam konteks islam perdamaian juga disebut sebagai al-sulh.  al-ulh adalah


perpindahan dari hak atau pengakuan dengan konpensasi untuk mengakhiri atau
menghindari terjadinya perselisihan. Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa
terjadinya perdamaian setelah adanya pertikaian atau takut terjadinya perselisihan
dengan melakukan upaya preventif terhadap hal tersebut. Lain lagi menurut Ibn
Qudmah, al-Sulh berarti sebuah kesepakatan (ma'qadah) yang berorientsi pada
perbaikan antara dua pihak yang bertikai. 

Perdamaian merupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia, karena dalam
kedamaian itu terciptanya dinamika yang sehat, harmonis dan humanis dalam setiap
interaksi antar sesama. Dalam suasana aman dan damai, manusia akan hidup dengan
penuh ketenangan dan kegembiraan juga bisa melaksanakan kewajiban dalam
bingkai perdamaian. 

Oleh karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu sesuai dengan
entitasnya sebagai makhluk yang mengemban tugas sebagai pembawa amanah
Tuhan untuk memakmurkan dunia ini. Bahkan kehadiran damai dalam kehidupan
setiap mahluk merupakan tuntutan, karena dibalik ungkapan damai itu menyimpan
keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan. Itulah misi dan tujuan
diturunkannya Islam kepada manusia. 

Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan
dendam kesumat di antara umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam
menunjukan, bagaimana sikap tasmuh  dan kasih sayang kaum muslimin terhadap
pemeluk agama lain, baik yang tergolong ke dalam ahl al-Kitab maupun kaum
299

mushrik, bahkan terhadap seluruh makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih


sayang, keharmonisan dan dan kedamaian.

Dalam konteks islam perdamaian juga disebut sebagai al-sulh.  al-ulh adalah


perpindahan dari hak atau pengakuan dengan konpensasi untuk mengakhiri atau
menghindari terjadinya perselisihan. Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa
terjadinya perdamaian setelah adanya pertikaian atau takut terjadinya perselisihan
dengan melakukan upaya preventif terhadap hal tersebut. Lain lagi menurut Ibn
Qudmah, al-Sulh berarti sebuah kesepakatan (ma'qadah) yang berorientsi pada
perbaikan antara dua pihak yang bertikai. 

Sedangkan Prof Zuhayli mendefinisikan al-ulh sama dengan al-Hudnah yaitu


berdamai (mualahah) dengan ahl al-harb (musuh perang) untuk menghentikan
perang dalam batas waktu tertentu dengan konpensasi dan tetap mengakui agamanya
atau tidak, meskipun tidak di bawah otoritas pemerintah Islam. Sedangkan
terminologi al-amn,  adalah sebuah kesepakatan untuk menghentikan peperangan dan
pembunuhan dengan pihak musuh.

Dari beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa konsep al-ulh lebih


umum, karena tidak spesifik berkaitan dengan perdamaian dalam posisi sebagai
lawan perang. Hal ini karena al-sulh merupakan solusi atas dimensi konflik yang
terjadi dalam semua lini interaksi sosial, dari komunitas yang paling kecil hingga
yang paling besar.

Hal ini terlihat dari beberapa bentuk klasifikasi al-Sulh yang di antaranya adalah:

1) Perdamaian antara penegak keadilan dengan kelompok separatis (ahl al-baghy).

2). Perdamaian antara suami istri ketika takut terjadinya perceraian.

3). Perdamaian antara dua sengketa pembunuhan.


300

 4).Perdamaian antara kaum muslimin dengan kaum kafir.

5).Perdamaian dua sengketa dalam harta.

Sedangkan al-amn  terdiri dari dua bentuk, yaitu yang bersifat khusus (khs) dan
umum ('am). Perjanjian perdamaian yang bersifat khusus yaitu yang terdiri dari
kelompok dengan jumlah terbatas, sedangkan yang umum adalah dari jumlah yang
tidak terbatas dan yang berhak melakukan negoisasi perundingan perdamaian adalah
pemimpin. Semua konsepsi pengertian perdamaian seperti yang tersurat di atas
merupakan wacana damai dari sudut pandang fiqhiyah (juristik), dan itu umumnya
masih dilatarbelakangi oleh adanya klasifikasi wilayah yang berdasarkan identitas
agama, seperti dr al-islm dan dr al-harb.
Secara bahasa, kata al- shulhu (  ‫لح‬ºº‫ ) الص‬Berarti ‫تراع‬ºº‫ع ال‬ºº‫ قط‬artinya: Memutus
pertengkaran / perselisihan.

            Secara istilah(Syara’) ulama mendefinisikan shulhu sebagai berikut:

1.      Menurut Taqiy al- Din Abu Bakar Ibnu Muhammad al- Husaini

ِ َ‫ال َع ْق ُد الَّ ِذىْ يَ ْنقَ ِط ُع بِ ِه ُخصُوْ َمةُ ال ُمتَخ‬


‫اص َمي ِْن‬

Artinya: “ Akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang bertengkar


(berselisih)”

2.      Hasby Ash- Siddiqie dalam bukunya Pengantar Fiqih Muamalah berpendapat
bahwa yang dimaksud al- Shulh adalah:

ِ َ‫ق َعلَى َما يَرْ تَفِ ُع بِ ِه النِّز‬


‫اع‬ ِّ ‫َان فِي َح‬ ُ ِ‫َع ْق ُد يَتَّف‬
ِ ‫ق فِ ْي ِه ال ُمتَن‬
ِ ‫َاز ع‬

“Akad yang disepakati  dua orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan
sesuatu, dengan akad itu dapat hilang perselisihan”.
301

3.      Sayyid Sabiq berpenddapat bahwa yang dimaksud dengan al –Shulhu  adalah suatu
jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang berlawanan.

            Dari beberapa definisi di atas maka dapat di simpulkan bahwa “Shulhu
adalah suatu usaha untuk mendamaikan dua pihak yang berselisihan, bertengkar,
saling dendam, dan bermusuhan dalam mempertahankan hak, dengan usaha tersebut
dapat di harapkan akan berakhir perselisihan”. Dengan kata lain, sebagai mana yang
di ungkapkan oleh Wahbah Zulhaily shulhu adalah ”akad untuk mengakhiri semua
bentuk pertengkaran atau perselisihan”[4].

B.     Dasar Hukum al- Shulh

Perdamaian (al- shulh) disyari’atkan oleh Allah SWT. Sebagaimana yang tertuang
dalam Al- Qur’an:

َ‫اال ُم ْؤ ِمنُوْ نَ إِ ْخ َوةٌ فَأَصْ لِحُوْ ابَ ْينَ أَ َخ َو ْي ُك ْم َواتَّقُوْ اهللا َلَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُموْ ن‬
ْ ‫إِنَّ َم‬

“Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara


kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”

(Qs. Al Hujurat : 10).

‫َوالصُّ ْل ُح خَ ْي ٌر‬

“Perdamaian itu lebih baik “(Al- Nisa:128)

            Disamping firman- firman Allah, Rasulullah SAW. Juga menganjurkan untuk
melaksanakan perdamaian dalam salah satu hadis yang di riwayatkan oleh Ibnu
Hibban dan Tirmizi dari Umar Bin Auf Al- Muzanni Rasulullah Saw. Bersabda:

)‫صلَحًا أَ َح َّل َح َرا ًما َو َح َّر َم َحالالً(رواه ابن حبان‬ ْ


َ ‫الصُّل ُح َجائِ ٌز بَ ْينَ ال ُم ْسلِ َم ْي ِن إآل‬   
302

 ”Mendamaikan dua muslim ( yang berselisih) itu hukumnya boleh kecuali


perdamaina yang mengarah kepada upaya mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram”. (HR. Ibnu Hibban dan Turmudzi).

Contoh menghalalkan yang haram seperti berdamai untuk menghalalkan riba.


Contoh mengharamkan yang halal berdamai untuk mengharamkan jual beli yang
sah.

C. Rukun dan Syarat al- Shulh

a.Rukun Shulh

1. Mhusalih yaitu dua belah pihak yang melakukan akad sulhu untuk
mengakhiri pertengkaran atau perselisihan.
2. Mushalih ‘anhu yaitu persoala yang diperselisihkan
3. Mushalih bih yaitu sesuatu yang dilakukan oelh salah satu pihak terhadap
lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut dengan istilah 
badal al-Shulh
4. Shigat ijab kabul yang masing-masing dilakukan oleh dua pihak yang
berdamai. Seperti ucapan “aku bayar utangku kepadamu yang berjumlah
lima puluh ribu dengan seratus ribu (ucapan pihak pertama)”. Kemudian,
pihak kedua menjawab “saya terima”.

            Jika telah di ikrarkan maka konsekuensinya kedua belah pihak harus
melaksanakannya. Masing – masing pihak tidak dibenarkan untuk mengundurkan
diri dengan jalan memfasaknya kecuali di sepakati oleh kedua belah pihak.

b.Syarat- syarat Shulhu:

1. Syarat yang berhubungan dengan Musahlih( orang yang berdamai) yaitu


disyaratkan mereka adalah orang yang tindakannya di nyatakan sah secara
hukum. Jika tidak seperti anak kecil dan orang gila maka tidak sah.
303

2. Syarat yang berhubungan dengan Musahlih bih.


a) Berbentuk harta yang dapat di nilai, diserah- terimakan, dan berguna.
b) Di ketahui secara jelas sehingga tidak ada kesamaran yang dapat
menimbulkan perselisihan.
3. Syarat yang berhubungan dengan Mushalih anhu yaitu sesuatu yang di
perkirakan termasuk hak manusia yang boleh diiwadkan (diganti). Jika
berkaitan dengan hak- hak Allah maka tidak dapat bershulhu.

D. Macam – macam Shulhu

            Dijelaskan dalam buku Fiqh, Syafi’iyah oleh Idris Ahmad bahwa al- shulhu
(perdamaian) di bagi menjadi 4 bagian berikut ini.

a. Perdamaian antara muslimin dengan kafir, yaitu membuat perjanjian untuk


meletakkan senjata dalam masa tertentu, secara bebas atau dengan jalan
mengganti kerugian yang di atur dalam undang – undang yang di sepakati
dua belah pihak.
b. Perdamaian antara kepala negara (Imam/ Khalifah) dengan pemberontak,
yakni membuat perjanjian- perjanjian atau peraturan mengenai keamanan
dalam negara yang harus dia taati, lengkapnya dapat di lihat dalam
pembahasan khusus tentang bughat.
c. Perdamaian antara suami dan istri yaitu membuat perjanjia dan aturan –
aturan pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah haknya
kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
d. Perdamaian dalam mua’malat, yaitu membentuk perdamain dalam masalah
yang ada kaitannya dalam  perselisihan yang terjadi dalam masalah
muamalat.[7]
304

Di jelaskan oleh Sayyid Sabiq bahwa al –shulhu (perdamaian) di bagi menjadi 3


macam. Yaitu:

a.       Perdamaian tentang iqrar;


b.      Perdamaian tentang inkar;
c.       Perdamaian tentang sukut;

Adapun dilihat dari keabsahannya dibagi menjadi dua:

1.      Shulhu Ibra yaitu melepaskan sebagian dari apa yang menjadi haknya. Shulhu ibra
ini tidak terkait oleh syarat.

2.      Shulhu Muawadah yaitu berpalingnya satu orang dari haknya kepada orang lain.
Hukum yang berlaku pada sulhu ini adalah hukum jual beli.

F. Ketentuan – ketentuan yang terkai shulh

            Shulh memiliki ketentuan sebagai berikut:

a. Jika akad perdamaian dibuat dengan materi yang berupa pengakuan atas
harta yang di sengketakan, perdamain itu diakui sebagai kepemilikan.
b. Jika seluruh atau sebagian dari penggantian objek perdamaian diambil
dari seseorang yang berhak atas penggantian itu, penggantian objek
perdamaian berupa barang yang di gugat dari perdamaian itu, yakni bisa
seluruhnya atau sebagiannya, dinyatakan sah.
c. Jika akad perdamaian dibuat dengan pengakuan tentang mamfaat suatu
harta, hukum akad perdamaian itu adalah sama dengan hukum akad
ijarah.
d. Suatu perdamaian dengan cara penolakan atau bersikap diam saja, dengan
demikian penggugat berhak atas harta penggantinya, sedangkan tergugat
berhak untuk tidak melakukan sumpah dan selesainya sengketa.
305

e. Hak syuf’ah (hak untuk d dahulukan/preference) yang melekat pada suatu


benda tidak bergerak berlaku sebagai pengganti objek perdamaian.
f. Jika seseorang yang berhak atas harta itu lalu mengambil sebagian atau
seluruh benda tidak bergerak itu, penggugat harus mengembalikan
sejumlah pengganti perdamaian itu kepada tergugat seluruhnya atau
sebagian, dan penggugat itu berhak mengajukan gugatan itu kepada orang
yang menuntut dan yang punya hak tersebut.
g. Jika seluruah atau sebagian dari pengganti kerugian itu di ambil oleh
penggugat, penggugat berhak mengajukan gugatan atas penggantian
perdamaian.
h. Jika pihak penggugat berkeinginan memperoleh kembali hartanya, dan
menyetujui suatu perdamaian untuk mendapat sebagian daripadanya,
serta membebaskan tergugat dari sisa perkara yang di ajukan, penggugat
dianggap telah menerima pembayaran sebagian dari tuntutannya dan
membebaskan sisanya.
i. Jika seseorang melaksanakan suatu perdamaian dengan orang lain tentang
sebagian dari tuntutannya kepada orang itu, orang yang melaksanakan
perdamaian itu dianggap telah menerima pembayaran sebagian dari
tuntutannya dan telah melepaskan haknya terhadap sisanya.
j. Jika seseorang melakukan suatu perdamaian dengan suatu utang yang
segera harus dibayar, diubah menjadi utang yang dapat dibayarkan
kembali pada kemudian hari, ia dianggap telah melepaskan haknya
pembayaran segera.

G.  Berakhirnya Shulh

            Adapun berakhirnya shulh ini ada dengan dua cara yaitu:

a. Ibra: membebaskan debitor dari sebagian kewajibannya.


306

b. Mufadhah: penggantian dengan yang lain dengan cara menghibahkan


(shulhu hibah), menjual (shulhu bay), atau menyewakan (shulhu ijarah)
sebagian barang yang dituntut oleh penggugat.

Fasal

Perihal Hawalah (Pemindahan Hutang)

Menurut bahasa yang dimaksud dengan hawalah ialah al-intiqal dan al-
tahwil, yang artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al –
Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hawalah menurut bahasa ialah:
‫النقل من محل ْالى محل‬
Artinya: “ Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain”

Sedangkan pengertian hawalah menurut istilah, Para Ulama berbeda – beda


dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:

a. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah:


‫نَ ْق ُل ْال ُمطَالَبَ ِة ِم ْن ِذ َّم ِة ْال َم ْديُوْ ِن إِلَى ِذ َّم ِة ْال ُم ْلتَزَ ْم‬
Artinya: “Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang
berhutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.”

b. Ibrahim Al-banjuri berpendapat bahwa hiwalah ialah:


‫ق ِم ْن ِذ َّم ِة ْال ُم ِحي ِْل إِلَى ِذ َّم ِة ْال ُم َحا ِل َعلَ ْي ِه‬
َّ ‫نَ ْق ُل ْال َح‬
Artinya: “Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi
beban yang menerima pemindahan.”
307

c. Menurut Taqiyyudin, yang dimaksud dengan hiwalah ialah:


‫إ ْنتِقَا ُل ال ِّد ْي ِن ِم ْن ِذ َّم ٍة إِلَي ِذ َّم ٍة‬
Artinya: “Pemindahan utang dari beban sesorang menjadi beban orang
lain.”

B. DASAR HUKUM HAWALAH


Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’:

1. Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa
Rasulullah saw, bersabda:
‫مطل ا لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي فليتبع‬
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya
merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang
mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.
(HR Jama’ah)

Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang


menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang
kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia
mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan
demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az
Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in)
menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur
ulama berpendapat : perintah itu bersifat sunnah.

2. Ijma’
308

Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang


yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh
sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.

C. RUKUN HAWALAH
Menurut Mazhab Hanafi, rukun hawalah hanya: ijab (pernyataan melakukan
hawalah), dari pihak pertama dan qabul (pernyataan menerima hawalah) dari pihak
kedua dan ketiga.
Menurut Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hawalah ada 6(enam):
1. Pihak pertama
2. Pihak kedua
3. Pihak ketiga
4. Ada hutang pihak pertama kepada pihak kedua.
5. Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama.
6. Ada sighah (pernyataan hawalah).
D. SYARAT-SYARAT HAWALAH
Didalam bukunya Sayyid Sabiq syarat sah hiwalah ada empat yaitu;
 Ada kerelaan muhil (orang yang berhutang dan ingin memindahkan
hutang)
 Ada persetujuan dari muhal (orang yang memberi hutang)
 Hutang yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam
pengakuan
 Adanya kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang
menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya
dan waktu pembayarannya.Dengan hiwalah hutang muhil bebas.

E. JENIS-JENIS HAWALAH
Menurut Mazhab Hanafi, ada dua jenis hawalah yaitu hawalah Muthlaqoh
dan hawalah Muqoyyadah.
309

a. Hawalah Muthlaqoh
Terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang
kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak
ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A
mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang
pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab
Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini
sebagai kafalah.
b. Hawalah Muqoyyadah
Terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih
karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz)
berdasarkan kesepakatan para ulama.

F. HAKIKAT HAWALAH

Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa hawalah adalah


pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual hutang dengan hutang. Hal ini
karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang
paling dianggap sahih di kalangan Syafi’iah dan juga menurut salah satu riwayat di
kalangan Hanabilah. Dasarnya adalah Hadist yang artinya : “jika salah seorang dari
kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, maka terimalah”
(HR.Bukhari dan Muslim)
Yang sahih menurut Hanabilah bahwa hawalah adalah murni transaksi irfaq
(memberi manfaat) bukan yang lainnya.
Ibnu al-Qayyim berkata, “Kaidah-kaidah syara’ mendukung dibolehkannya
hawalah, dan ini sesuai dengan qiyas.
310

G. BEBAN MUHIL SETELAH HAWALAH

Apabila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil


gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah
atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini
adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut Imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang
lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia
belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal
‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang
menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.

H. BERAKHIRNYA AKAD HAWALAH


Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini,
a. Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah
belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh.
Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali
lagi kepada Muhil.
b. Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau
bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hawalah sementara
Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
c. Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada
Muhal. Ini berarti akad hawalah benar-benar telah dipenuhi
oleh semua pihak.
d. Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta
hawalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab
kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka
berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
311

e. Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah


kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
f. Jika Muhal menghapus bukukan kewajiban membayar hutang
kepada Muhal Alaih.

Fasal

Perihal Dhaman

1. Hutang yang boleh Dijamin


Dhaman adalah menjamin atau menanggung hutang yang sudah pasti dalam
tanggungan itu sah hukumnya, apabila jumlahnya sudah jelas. Orang yang
mempunyai hak boleh menangih haknya orang yang menjamin atau orang yang
dijamin, apabila jaminan itu sesuai dengan apaa yang telah di terangkan.
Apabila dhamina (peminjam) telah membayar hutangnya, maka ia boleh menarik
kembali jaminanya, yaitu uang dari orang yang dijamin, apabila jaminan dan
pembayarannya itu mendapat izin dari orang yang dijamin.
2. Hutang yang tidak boleh Dilamin
Menjamin hutang yang tidak jelas itu tidak sah hukumnya, begitu juga
menjamin hutang yang tidak wajib, kecuali darkul mabi’ (hutang pembayaran
barang yang mesti dijual).
Dasar diperbolehkan menjamin hutang adalah firman Allah Swt:
ِ ‫َولِ َم ْن َجااَ بِ ِه ِح ْم ُل بِ َع ْم ٍر َواَنَا بِ ِه ز‬
)72 ‫َع ْى ٌم (ىوسف‬
“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.”(QS. Yusuf: 72)
312

Menjamin hutang yang tidak jelas jumlahnya itu tidak sah hukumnya, sebab
mengandung gharar (penipuan), sedangkan gharar (penipuan) adalah di larang oleh
agama.
Adapun menjamin hutang yang tidak wajib yaitu hutang yang belum tetap adalah
tidak sah, sebab jaminan tersebut adalah untuk menetapkan hak. Misalnya seseorang
berkata kepada temannya:” Hutangkanlah barang ini kepada si Fulan, dan saya
menjamin gantinya.” Yang di kecualikan di sini adalah darkul mabi’ yaitu menjamin
pembayaran kembali harga barang yang telah di beli. Apabila pembeli khawatir atas
barang yang telah di beli itu menjadi hak orang lain, atau barang itu bukan pemilik
penjual atau barang itu cacat. Dhaman (menjamin) seperti berarti dhaman
(menjamin) hutang yang belum tetap. Dhaman darkul mabi’ ini boleh karena adanya
hajat. Menuruut sebagian ulama tidak boleh.

Fasal

Kafalah

Al-kafalah menurut bahasa berartial-dhaman(jaminan), hamalah (beban) dan


za’amah (tanggugan). Sedangkamenurut istilh yang dimaksud dengan al-kfalah atau
al dhaman sebagai mana dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:

1. Menurut mazhab hanafi bahwa al kafalah memiliki dua pengertian, yang


pertama arti al kafalah ialah : “ menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain
dalam penagiha dalam jiwa, utang atau zat benda.”

Pengertian al kafalah yang kedua ialah :”menggabungkan dzima kepada dzima yang
lain dalam pokok (asal) utang”.
313

2. Menurut mazhab maliki bahwa alkafalah ialah : “orang yang mempunyai hak
mengerjakan tanggungn pemberi beban serta beban nya sendiri yang disatukan, baik
menanggung pekerjaan yang sesuai(sama) maupun pekerjaa yang berbeda”.
3. Menurut mahab hambali bahwa yang dimaksud al kafalah : “iltizam sesuatu
yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibeban kan
atau iltizm orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta(pemiliknya) kepada
orng yang mempunyai hak”.
4. Menurut mazhab syafi’I bahwa yang dimaksud al kalah ialah :” akad yang
mentapkan iltizam hak yang tetp pada tanggungan(beban) yang lain atau
menghadirkan sebendayang dibeban kan atau menghadirkan badan oleh orang yang
berhak menghadirkan nya”.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan diatas bahwa al kafalah terdiri dari 3


pengertian, yaitu :
Al kafalat al adayn, al kafalat al a’in dan al kafalat abdan.
5. Menurut sayyid sabiq yangdimaksud al kafalah ialah proses penggabungan
tanggunan kafil menjadi beban ashil dalam tuntutan dengan benda(materi) yang
sama, baik hutang , barang maupun pekerjaan.
6. Menurut imam taqiy al-din bahwa yang dimaksud al kafalah ialah:
“pengumpulan suatu beban kepada beban lain”.
7. Menurut hasbi ash shidiqi bahwa yang dimaksud al kafalah ialah :
“menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam penagihan”.
Kafalahau (Menanngung atau menjamin secara fisik ) orang lain hukumnya
boleh dalam firman Allah Swt:
َ‫فَ ُخ ٌذ اَ َح َد َم َكا اِ نَا نَ َراكَ ِمنَ ال ُمحْ ِسنِ ْين‬
)78 ‫( يوسف‬
“ Maka ambillah salah seorang di antara kami sebagai gantinya, sesungguhnya
kami melihat kamu termasuk orang orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 78 )
314

Rukun dan syarat al-kafalah

Meurut Mashab Nahafi bahwa rukun al-kafalah adalah satu, yaitu ijab dan Kabul
(al-jaziri, 1969:226). Sedangkan menurut para ulama yang lainnya bahwa rukun dan
syarat al-kafalah adalah sebagai berikut :

1. Dhamin, kafil atau za’im yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan
sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya (mahjur) dan
dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
2. Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang
bepiutang atau diketahui oleh orang yang menjamin.
3. Madmun ‘anhu atau makful ‘anhu adalah orang yang berhutang.
4. Madmun bih atau makfulbih adalah utang, barang atau orang, disyaratkan
pada makfulbih dapat diketahui dan tetap keadaanya, baik sudah tetap maupun akan
tetap.
5. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz berarti menjamin, tdak digantungkan
kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.

MACAM-MACAM AL-KAFALAH

Secara umum (garis besar) bahwa al-kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu
kafalah dengan jiwa dan kafalah dengan harta. Kafalah dengan jiwa dkenal pula
dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adany kemestian (keharusan) pada pihak penjamin
(al-kafil, al-dhamin, atau al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung
kepada yang ia janjikan tanggungan (makfullah)

Penanggungan (jaminan) yang menyangkut masalah manusaia adalah boleh


hukumnya, orang ang di tanggung tidak mesti mengetahui permasalahan, karena
kafalah menyangkut badan bukan harta. Penanggungan tentang hak allah, seperti had
al-khamar dan had menuduh zna adalah tidak sah, sebab nabi SAW. Bersabda:

Yang artinya : “tidak ada kafalah dalam had” (riwayat al-baihaqi).


315

Alasan berikutnya ialah, karena menggugurkan dan menolak had adalah perkara
syubhat,o leh karena itu tidak ada kekuatan jaminan yang dapat dipegang an tidaklah
mungkin had dapat dilakukan kecuali oleh orang yang bersangkutan.

Mazhab syafi’iberpendapat bahwa kafalah dinyatakan sah dengan menghadirkan


orang yag terkena kewajiban menyangkut hak manusia, seperti qishash dan qadzab,
karena kedua hal tersebut menurut syafi’ayah termasuk hak yang zalim, adapun bila
yang menyangkut had yang telah ditentukan oleh allah, maka hal itu tidak sah
dengan kafalah.

Ibnu hazm menolak pendapat tersebut, menjamin dengan menjamin dengan


menghadirkan badan dengan pokoknya tidak boleh, baik menyangkut persoalan
harta maupun menyangkut masalah had, karena syarat apapun yang tidak terdapat
dalam kitaullah adalah bathil.

Namun demikian, sebagian ulama membenarkan adanya kafalah jiwa (kafalah bil al-
wajh),dengan alasan bahwa rasulullah SAW. Pernah menjamin urusan tuduhan,
namun menurut ibnu hazm bahwa hadist yang menceritakan tentang penjaminan
rasulullah SAW. Pada masalah tuduhan adalah bathil, karena hadist tersebut
diriwayatkan oleh ibrahim bin khaitsam bin arrak, dia adalah dhaif dan tidak boleh
diambil periwayatanya.

Jika seseorang menjamn akan menghadirkan seseorang, maka orang tersebut akan
menghadirkannya, bila ia tidak dapat menghadirkannya, sedangkan penjamin masih
hidup atau penjamin itu sendiri berhalangan hadir, menurut mazhab maliki dan
penduduk madinah penjamin wajib membayar hutang orang yang ditanggungnya,
dalam hal ini rasulullah SAW. Besabda:

Yang artinya: “penjamin adalah yang berkewajiban membayar” (riwayat abu


dawud).
316

Sedangkan menurut mazhab hanafi bahwa penjamin (kafil atau dhamin) harus
ditahan sampai ia dapat menghadikan orang tersebut atau sampai penjamin
mengetahui bahwa asbil telah meninggal dunia, dalam keadaan demikian penjamin
tidak berkewajiban membayar dengan harta, kecuali ketika menjamin mensyaratkan
demikian (akan membayarnya).

Menurut mazhab syafi’I, bila asbil telah meninggal dunia, maka kafil tidak wajib
membayar kewajibanya, karena ia tidak menjamin harta tapi menjamin orangnya dan
kafil dinyatakan bebas tanggung jawab (sabiq,t.t:161).

Kafalah yang kedua ialah kafalah harta, yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh
dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Kafalah harta ada
tiga macam, yaitu:

1. Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi beban


orang lain, dalam hadits salamah bin aqwa bahwa nabi SAW. Tidak mau
menshalatkan mayat yang mempunyai kewajiban membayar hutang, kemudian
qhatadah ra. Berkata: “shalatkanlah dia dan saya akan membayar hutangnya,
rasulullah kemudian mensholatkanya”.

Dalam kafalah utang disyaratkan sebagai berikut:

a. Hendalah nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi jaminan,
seperti utang Qiradh, upah dan mahar, seperti seseorang berkata: “juallah benda itu
kepada A dn aku berkewajiban menjamin pembayaran nya dengan harga sekian”,
maka harga penjulan benda tersebut adalah jelas, hal disyaratkan menurut Mazhab
Syafi’i. Sementara Abu Hanifah, Malik dan Abu Yusuf berpendapat boleh menjamin
sesuatu yang nilainya belum ditentukan.
b. Hendaklah barang yang dijamin diketahui menurut Mazhab Syafi’I dan Ibnu
Hazm bahwa seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak dikeahui, sebab it
317

perbuatan tersebut adalah gharar, sementara itu Abu Hanifah, Malik dan Ahmad
berpendapat bahwa sesorang boleh menjamin sesuatu yang tidak diketahui.
2. Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-
benda tertentu yang ada ditangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang
dighasab dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, disyaratkan materi
tersebut yang dijamin untuk asbil seperti dalam kasus ghasab. Namun bila bukan
bentuk jamina, maka kafalah batal.
3. Khafalah dengan ‘aib, maksudnya bahwa barang yang didapati berupa harta
terjual dan mendapat bahaya (cacat), karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-
hal lainya, maka ia (pembawa barang) sebagai jaminan untuk hak pembeli pada
penjual, seperti jika terbukti barang yang dijual adalah milik orang lain atau barang
tersebut barang gadai.

Pelaksanaan Al-khafalah

Al-khafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk yaitu :

1. Munjaz (tanjiz)ialah tangungan yang ditunaikan seketika, seperti seseorang


berkata : “saya tangung sifilan dan saya jamin sifulan sekarang”, lafaz yang
menunjukkan al-khafalah menurut para ulama adalah seperti lafaz : tahammaltu,
takaffaltu, dhamintu, anakafil laka, anazaim, huwa laka’indi atau huwa laka’alaya.
Apabila akad penanggungan terjadi, maka penanggungan itu menggikuti akad utang,
apakah harus dibayar ketika itu, ditanguhkan atau dicicil, kecuali disyaratkan pada
penanggungan.
2. Mu’allaq (ta’liq) adalah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu,
seperti seseorang berkata :”Jika kamu mengutangkan pada anakku, maka aku yang
akan membayarnya” atau “ jika kamu ditagih pada A, maka aku yang akan
membayarnya”.
3. Mu’aqqat (taukit) adalah tanggungan ang harus dibayar dengan dikaitkan
pada suatu waktu, seperti ucapan seseorang : “Bila ditagih pada bulan ramadhan,
318

maka aku yang menanggung pembayaran utangmu”, menurut mazhab Hanafi


penanggungan seperti ini adalah sah tetapi menurut mazhab Syafi’I adalah batal.
Apabila akad telah berlangsung maka madmunlah boleh menagih kepada kafil
(orang yang menanggung beban) atau madmun ‘anhu atau makful ‘anhu (yang
berhutang), hal ini dijelaskan oleh para ulama jamhur.

Pembayaran Dhamin

Apabila orang yang menjamin (dhamin) memenuhi kewajibanya dengan


membayar utang orang yang ia jamin, ia boleh meminta kembali kepada madmun
‘anhu apabila pembayaran itu atas izinya, dalam hal ini para ulama bersepakat,
namun mereka berbeda pendapat apabila penjamin membayar atau menunaikan
beban orang yang ia jamin tana izin oran yang dijami bebannya, menurut al-Syafi’I
dan Abu Hanifah bahwa membayar utang orang yang dijamin tanpa izin darinya
adalah sunah, dhamin tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang ia
jamin, menurut mazhab Maliki bahwa dhamin berhak menangih kembali kepada
madmun ‘anhu.

Ibnu hazm berpendapat bahwa dhamin tidak berhak menagih kembali kepada
madmun ‘anhu atas apa yang telah dia bayarkan, baik dengan izin madmun ‘anhu
maupun tidak (sabiq, t.t: 164). Apabila orang yang ditanggung tidak ada, kafil
berkewajiban menjamin dan tidak dapat mengelak dari tuntutan kecuali dengan
membayar atau orang yang mengutangkan menyatakan bebas untuk kafil dari utang
orang yang mengutangkan adalah mem-fasakh-kan akad kafalah, sekalipun makful
‘anhu dan kafil tidak rela.

Dhaman

Dhaman hukumnya bleh apabila hutang udah itu sudah pasti dalam tanggungan.
Dalam Hadis Nabi Saw: ) ‫قَا َل اَ ب ُْؤ قَتَا َدتَ اَنَا اَتَفَ َك ُل بِ ِه ( رؤاه ابن مال جه‬
319

“......Abu Qatadah berkata, “ Sayalah yang bertanggung jawab atas


hutangnya.”( HR. Ibnu Majah )

Fasal

Syarikat

Syarikat (Perkongsian) diperbolehkan dengan lima syarat yaitu harus


mengenai mata uang dirham dan dinar, hendaknya tunggal jenis dan macamnya.
Kedua harusnya dicampur, masing-masing salah satu dari keduanya harus memberi
ijin yang lainnya dalma meniagakan harta perngkongsian itu dan untung rugi
berdasarkan jumlah harta yang dikongsikan.
Perkataan syarikat menurut bahas berarti pencampuran, menurut istilah
syarak adalah tetapnya hak dalam satu perkara bagi dua orang atau lebih dengan
merata mengikut banyak sedikitnya.

Syirkah dalam fiqih Islam ada beberapa macam: di antaranya yang kembali kepada
perjanjiannya, dan ada juga yang kembali kepada kepemilikan. Dari sisi hukumnya
menurut syariat, ada yang disepakati boleh, ada juga yang masih diperselisihkan
hukumnya. Di sini kita akan mengulas apa yang penulis perkirakan amat dibutuhkan
oleh seorang usahawan muslim untuk diketahui hukum-hukumnya:

Definisi Syirkah

Syirkah dalam bahasa Arabnya berarti pencampuran atau interaksi. Bisa juga artinya
membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang
ada.
320

Sementara dalam terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk
mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang
disebut Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan
Syirkatul Uqud (Syirkah Transaksional).

Disyariatkannya Syirkah

Syirkah disyariatkan berdasarkan ijma”/konsensus kaum muslimin. Sandaran ijma”


tersebut adalah beberapa dalil tegas berikut:

Firman Allah: “…tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…” (An-Nisa: 12)

Saudara-saudara seibu itu bersekutu atau beraliansi dalam memiliki sepertiga


warisan sebelum dibagi-bagikan kepada yang lain.

Firman Allah: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah.” (Al-Anfal:
41)

Harta rampasan perang adalah milik Rasulullah dan kaum muslimin secara kolektif
sebelum dibagi-bagikan. Mereka semua-nya beraliansi dalam kepemilikan harta
tersebut.

Riwayat yang shahih bahwa al-Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam keduanya
bersyarikat dalam perniagaan. Mereka membeli barang-barang secara kontan dan
nasi’ah. Berita itu sampai kepada Rasulullah a. Maka beliau memerintahkan agar
menerima barang-barang yang mereka beli dengan kontan dan menolak barang-
barang yang mereka beli dengan nasi’ah.

Macam-macam Syirkah
321

Syirkah itu ada dua macam:

Pertama: Syirkah Hak Milik (Syirkatul Amlak).

Yaitu per-sekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang
dengan salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan.

Kedua: Syirkah Transaksional (Syirkatul Uqud).

Yakni akad kerjasama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan.

Macam-macam Syirkah Transaksional

Syirkah transaksional menurut mayoritas ulama terbagi menjadi beberapa bagian


berikut:

1. Syirkatul “Inan.

Yakni persekutuan dalam modal, usaha dan keuntungan. Yaitu kerjasama antara dua
orang atau lebih dengan modal yang mereka miliki bersama untuk membuka usaha
yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama. Jadi modal berasal
dari mereka semua, usaha juga dilakukan mereka bersama, untuk kemudian
keuntungan juga dibagi pula bersama. Syirkah semacam ini berdasarkan ijma”
dibolehkan, namun secara rincinya masih ada yang diperselisihkan.

2. Syirkatul Abdan (syirkah usaha).

Yakni kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh
mereka, seperti kerjasama sesama dokter di klinik, atau sesama tukang jahit atau
tukang cukur dalam salah satu pekerjaan. Semuanya dibolehkan. Namun Imam
Syafi”ie melarangnya. Dise-but juga dengan Syirkah Shanai wat Taqabbul.
322

3. Syirkatul Wujuh.

Yakni kerjasama dua pihak atau lebih dalam keuntungan dari apa yang mereka beli
dengan nama baik mereka. Tak seorangpun yang memiliki modal. Namun masing-
masing memilik nama baik di tengah masyarakat. Mereka membe-li sesuatu (untuk
dijual kembali) secara hutang, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama. Syirkah
semacam ini juga diboleh-kan menurut kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, namun
tidak sah menurut kalangan Malikiyah dan Syafi”iyah.

4. Syirkatul Mufawadhah.

Yakni setiap kerjasama di mana masing-masing pihak yang beraliansi memiliki


modal, usaha dan hutang piutang yang sama, dari mulai berjalannya kerja sama hing-
ga akhir. Yakni kerja sama yang mengandung unsur penjaminan dan hak-hak yang
sama dalam modal, usaha dan hutang. Kerja sama ini juga dibolehkan menurut
mayoritas ulama, namun dilarang oleh Syafi”i. Kemungkinan yang ditolak oleh
Imam Syafi”i adalah bentuk aplikasi lain dari Syirkatul Mufawadhah, yakni ketika
dua orang melakukan perjanjian untuk bersekutu dalam memiliki segala keuntungan
dan kerugian, baik karena harta atau karena sebab lainnya.

Beberapa Hukum Syirkatul ‘Inan

Telah dijelaskan sebelumnya dalam definisi syirkah ini, bah-wa artinya yaitu kerja
sama dua pihak atau lebih dengan modal mereka bersama, untuk berusaha bersama
dan membagi keun-tungan bersama. Jadi merupakan persukutan dalam modal, usaha
dan keuntungan.

Hukum Syirkatul “Inan

Syirkah semacam ini dibolehkan berdasarkan ijma”. Kalau-pun ada perbedaan,


hanya dalam beberapa bentuk rincian dan satuannya. Yang telah kami paparkan
323

tentang disyariatkannya bentuk syirkah secara umum merupakan dalil disyariatknya


Syir-katul “Inan ini secara khusus, karena ia termasuk dari jenis kerja sama yang
disyariatkan.

Rukun-rukun Syirkatul ‘Inan

Rukun-rukun Syirkatul ‘Inan ada tiga:

Rukun pertama: Dua transaktor. Keduanya harus memiliki kompetensi, yakni akil
baligh dan mampu membuat pilihan. Boleh saja beraliansi dengan non muslim
dengan catatan pihak non muslim itu tidak boleh mengurus modal sendirian, karena
dikhawatirkan akan memasuki lubang-lubang bisnis yang diha-ramkan. Kalau segala
aktivitas non muslim itu selalu dipantau oleh pihak muslim, tidak menjadi masalah.
Dan persoalannya akan lebih bebas dan terbuka bila beraliansi dengan sesama
muslim.

Yang patut diingatkan pada kesempatan ini adalah bahwa beraliansi dalam bisnis dan
berinteraksi seringkali melahirkan ke-akraban dan cinta kasih yang terkadang
menyebabkan -dalam aliansi muslim dengan kafir- lemahnya pemahaman al-Wala
(loyalitas) dan al-Bara” (antipati). Hal itu merupakan salah satu lubang bencana.

Maka seorang muslim terus meninggikan nilai keyakinan-nya dan bekerja agar
andilnya dalam kerja sama itu menjadi pintu dakwah mengajak ke jalan Allah,
dengan kenyataan dirinya seba-gai muslim yang jujur dan amanah dalam pandangan
pihak kafir, demikian juga dengan sikapnya yang selalu menepati janji dan
komitmen bersama.

Rukun kedua: Objek Transaksi. Objek transaksi ini meliputi modal, usaha dan
keuntungan.
324

Pertama: Modal.

Disyaratkan dalam modal tersebut beberapa hal berikut:

* Harus diketahui. Kalau tidak diketahui jumlahnya, hanya spekulatif, tidaklah sah.
Karena modal itu akan menjadi rujukan ketika aliansi dibubarkan. Dan hal tidak
mungkin dilakukan tanpa mengetahui jumlah modal.

* Hendaknya modal itu riil. Yakni ada pada saat transaksi pembelian. Karena dengan
itulah aliansi ini bisa terlaksana, sehingga eksistensinya dibutuhkan. Kalau saat
transaksi tidak ada, maka transaksi dianggap batal.

* Tidak merupakan hutang pada orang yang kesulitan, demi menghindari terjadinya
riba. Karena dalam hal ini orang yang berhutang bisa tertuduh menangguhkan
pembayaran hutangnya agar bertambah nilainya. Atau orang yang memberi hutang
tertu-duh telah mengorbankan diri menuntut orang yang berhutang untuk menambah
jumlah hutangnya karena telah dikembangkan.

Pencampuran modal dan kesamaan jumlahnya bukan merupakan syarat sahnya


bentuk syirkahini. Akan tetapi garansi terhadap modal yang hangus hanya bisa
dilakukan dalam aliansi ini dengan adanya pencampuran harta secara hakiki atau
secara justifikatif. Caranya, masing-masing melepaskan modal dari pe-ngelola dan
tanggungjawabnya secara pribadi untuk dimasukkan dalam pengelolaan dan
tanggung jawab bersama.

Dan tidak disyaratkan bahwa kedua harta tersebut harus sama jenisnya, sebagaimana
yang menjadi pendapat madzhab Hanafiyah dan Hambaliyah. Misalnya salah satu
pihak meng-operasikan modalnya dalam bentuk dolar dan pihak lain dalam bentuk
Rupiah. Ketika hendak dipisahkan, kedua modal itu dihi-tung dengan dua cara
berbeda:
325

1. Kalau dalam mengelola bisnis mereka menggunakan kedua jenis mata uang
tersebut secara bersamaan, masing-masing membawa pulang uangnya baru
kemudian keuntungan yang ada dibagi dua.

2. Kalau mereka hanya menggunakan satu jenis mata uang dalam beroperasi,
sementara masing-masing modal sudah ditukar dengan mata uang tersebut, maka
dengan dasar itu juga modal mereka telah dipisahkan dan penilaiannya didasari oleh
mata uang tersebut menurut nilai tukarnya pada hari transaksi.

Kedua: Usaha.

Adapun berhubungan dengan usaha, masing-masing pihak bebas mengoperasikan


modalnya sebagaimana layaknya para pedagang dan menurut kebiasaan yang
berlaku di antara mereka. Kalau orang yang mengelola modal orang saja bebas
mengope-rasikan hartanya, apalagi bisnis patner dalam syirkah ini. Karena
mengelola modal orang lain hanya merupakan syirkahpraktis, bukan syirkah
substansial. Sementara dalam kasus ini yang terjadi adalah syirkah praktis dan
sekaligus substansial secara bersamaan.

Masing-masing pihak yang beraliansi bisa menyerahkan usaha itu kepada yang lain,
namun itu dijadikan syarat pada awal transaksi menurut pendapat ulama yang paling
benar. Karena hak untuk mengoperasikan harta dimiliki oleh mereka berdua. Namun
masing-masing pihak juga bisa mengundurkan diri dari haknya tersebut untuk
diberikan kepada pihak lain, lalu menyerahkan operasionalnya kepada orang
tersebut, sesuai dengan kepentingan yang ada.

Ketiga: Keuntungan.

Sehubungan dengan keuntungan itu disyaratkan sebagai berikut:


326

* Harus diketahui jumlahnya. Kalau jumlahnya tidak dike-tahui, syirkah tersebut


dianggap rusak, kecuali kalau terdapat kebiasaan setempat yang sudah merata yang
membolehkan pem-bagian keuntungan dengan cara tertentu, hal itu boleh dilakukan.

* Harus merupakan sejumlah keuntungan dengan prosen-tasi tertentu. Kalau berupa


nilai uang tertentu saja, maka syirkah itu tidak sah. Karena ada kemungkinan bahwa
aliansi tersebut hanya menghasilkan keuntungan kadar itu saja, sehingga tidak bisa
dibuktikan syirkah dalam keuntungannya.

Boleh saja terdapat perbedaan keuntungan antara sesama mitra usaha. Tidak
disyaratkan bahwa keuntungan harus sesuai dengan jumlah modal. Karena
keuntungan selain juga ditentukan oleh modal, juga ditentukan oleh usaha.
Terkadang salah seorang di antara mereka memiliki keahlian yang lebih dari yang
lain, se-hingga tidak rela bila disamaratakan keuntungan mereka. Itu adalah pen-
dapat yang dipilih oleh Hanafiyah dan Hambaliyah.

Rukun ketiga: Pelafalan akad/perjanjian. Perjanjian dapat terlaksana dengan adanya


indikasi ke arah itu menurut kebiasaan, melalui ucapan dan tindakan, berdasarkan
kaidah yang ada bahwa yang dijadikan ukuran adalah pengertian dan hakikat
sebenarnya, bukan sekedar ucapan dan bentuk lahiriyahnya saja.

Berakhirnya Syirkah ini

Asal daripada syirkah ini adalah bentuk kerja sama usaha yang dibolehkan (bukan
lazim). Masing-masing daripada pihak yang bersekutu boleh membatalkan
perjanjian kapan saja dia kehendaki. Namun kalangan Malikiyah berbeda pendapat
dalam hal itu. Mereka menyatakan bahwa kerja sama itu terlaksana dengan semata-
mata adanya perjanjian. Kalau salah seorang ingin memberhentikan kerja sama
tersebut, tidak begitu saja dapat dipenuhi. Dan bila ia ingin mengambil kembali
hartanya maka hal itu harus diputuskan oleh hakim. Kalau hakim melihat sudah
327

selayaknya dijual sahamnya, segera dijual. Bila tidak, maka ditunggu saat yang tepat
untuk menjualnya.

Pendapat yang benar menurut kami adalah syirkah itu terlaksana dengan berjalannya
usaha, dan itu terus berlangsung hingga modalnya selesai diputar. Yakni setelah
modal tersebut diputar dan kembali menjadi uang kontan. Agar dapat mencegah
bahaya terhadap pihak lain atas terjadinya keputusan mendadak setelah usaha baru
dimulai.

Dan satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa dasar dari syirkah ini menurut para
ulama fiqih adalah penjaminan dan amanah. Masing-masing dari pihak yang
beraliansi menjadi pen-jamin atau wakil, sekaligus yang mewakilkan kepada yang
lain. Ia dapat beroperasi dalam apa yang menjadi haknya menurut hukum asal, dan
juga dalam apa yang menjadi hak pihak lain dengan status sebagai wakil. Sementara
sudah dimaklumi bahwa wikalah atau penjaminan adalah perjanjian yang juga
dibolehkan ber-dasarkan kesepakatan ulama. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh
memaksa pihak lain untuk menuruti apa yang menjadi kei-nginannya di bawah
intimidasi. Demikian juga hukum asal dari sistem syirkah ini, karena syirkah ini juga
harus menggunakan penjaminan agar bisa berjalan, dan juga membutuhkan spon-
sorship agar bisa bertahan. Wikalah atau penjaminan menjadi syarat dalam sistem
perniagaan ini, untuk memulainya dan agar tetap bertahan. Kalau penjaminan itu
terputus dengan pemba-talan dari salah satu pihak, maka hak-hak kepemilikan bagi
masing-masing pihak untuk mengoperasikan modal pihak lain juga hilang.

Inilah hukum asalnya. Dan itulah yang menjadi konsekuensi dari berbagai kaidah
umum yang kalangan Malikiyah sendiri juga tidak membantahnya, sehingga
pendapat mereka yang menya-takan bahwa syirkah itu berlangsung hanya dengan
sekedar adanya transaksi saja menjadi perlu dicermati dan dipertanyakan.
328

Hanya saja terkadang kita mendapatkan di hadapan kita berbagai pelajaran praktis
yang mendorong kita untuk kembali meneliti persoalan ini, dan memberikan
pertimbangan dan sudut pandang terhadap pendapat Malikiyah. Dimisalkan syirkah
itu telah dimulai. Masing-masing anggotanya telah mulai mempersiap-kan dan
mengatur segala sesuatunya. Modal telah mulai dilun-curkan untuk membeli
berbagai bahan dan kebutuhan dagang. Dan pada umumnya, untuk memulai usaha
itu membutuhkan kerja keras, banyak tanggungan dan biaya yang besar sekali. Tiba-
tiba salah seorang pihak yang bekerja sama secara mengejutkan menganggap bahwa
pasangannya itu dengan menghanguskan modal dalam sekejap dan menuntut untuk
berhenti dalam usaha tersebut dan meminta ganti rugi serta menerima kembali mo-
dalnya dan mengundurkan diri dari syirkah. Dan perbuatannya itu bagi pasangannya
bisnisnya adalah tindakan yang melumpuhkan bahkan menghancurkannya.

Bagaimana sikap fiqih Islam terhadap kondisi semacam ini? Di sini fiqih Malikiyah
menunjukkan satu sinyal terang yang dapat menerangi jalan, namun tetap korektif
dan lentur.

Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa kerja sama itu harus berlangsung dengan
sekedar adanya perjanjian. Ganti rugi modal itu persoalannya dikembalikan kepada
hakim, dikiyaskan dengan hutang. Namun mereka tidak menyatakan bahwa hutang
bisa berlaku hanya dengan adanya perjanjian, namun dengan mulainya usaha yang
merupakan sebab yang diperkirakan akan berbahaya bagi perjanjian. Hal itu
seharusnya diberlakukan juga pada syirkah. Wallahu a”lam.

Syirkah berakhir dengan kematian salah satu pihak yang beraliansi, atau karena gila,
karena idiot dan sejenisnya.

Apakah Syirkah itu Batal dengan Habisnya Modal Salah Satu Pihak?
329

Apabila modal salah satu pihak yang beraliansi dagang habis sebelum dicampurkan,
secara hukum atau nyata, syirkah dengan sendirinya batal. Namun kalau modal itu
habis setelah itu, itu sebagai akibat yang harus diterima oleh syirkah, sehingga tidak
langsung terhenti karena sebab itu. Syirkah mereka tetap berjalan sebagaimana
adanya.

Bagaimana Cara Memfungsikan Syirkah Agar Dapat Meng-gantikan Posisi


Pengembangan Modal Berbasis Riba?

Dunia syirkah adalah dunia yang luas merambati seluruh penjuru ufuk, seluruh
penjuru dunia. Bentuk dan formatnya bisa bermacam-macam. Sektor dan pola yang
tersentuh bentuk usaha ini juga bercorak-ragam. Kalau metode pengelolaan dana ini
dilirik oleh pengelola dana muslim, berarti ia telah menggerakkan diri-nya menuju
lembah yang subur, sumber air yang kaya yang tidak habis airnya, tidak pernah
berhenti memberikan karunianya. Ia bisa menciduk keuntungan darinya sesuka hati
dalam naungan metodologi rabbani, dalam bingkai ajaran syariat dan memulainya
dari niat yang suci, untuk meraih tujuan dan target yang mulia.

Kita akan mengulas berbagai format kerja sama ini sebagai contoh saja, bukan secara
menyeluruh. Dan kesempatan masih terbuka bagi yang ingin menciptakan format-
format lain, selama berada dalam rambu-rambu ajaran syariat dan kaidah-kaidahnya
yang menyeluruh.

Syirkah Simultan

Yakni dengan melayangkan modal para pengelola modal muslim ke dalam sebuah
musyarakah yang simultan pada ber-bagai proyek yang sudah berdiri atau proyek-
proyek yang sedang dalam perencanaan. Kerja sama mereka tersebut terlaksana de-
ngan bersama-sama menanggung untung ruginya acara sama.

Musyarakah dengan Kriteria Khusus


330

Yakni dengan mengarahkan para investor untuk bekerja sama dalam mendanai satu
proyek tertentu, seperti mengimpor sejumlah komoditi tertentu, atau untuk
menyelesaikan proyek pemborongan, kemudian hasilnya dibagi-bagikan, untung
atau pun rugi.

Musyarakah Non Permanen

Yakni semacam syirkah di mana salah seorang yang terlibat di dalamnya


memberikan hak kepada pihak lain untuk menem-pati posisinya dalam kepemilikan
secara langsung atau secara bertahap sesuai dengan persyarakatan yang disepekati
dan sesuai dengan karakter usahanya. Yakni dengan cara penyusunan kon-sep yang
menyisihkan sebagian devisa yang dihasilkan menjadi semacam cicilan untuk
menutupi nilai konstribusi pihak yang menyerahkan haknya.

Bentuk syirkah semacam ini diminati oleh kalangan penge-lola yang tidak
menginginkan berkesinambungannya peran serta pemberi modal terhadap mereka.
Mereka berharap bahwa pada akhirnya kepemilikan proyek-proyek itu pada akhirnya
kembali kepada mereka yang biasanya proyek-proyek itu memang tidak memiliki
potensi untuk dicampurtangani, seperti mobil, atau sebagian sub produksi dalam
berbagai pabrik, perum dan lain sebagainya.

Sebagian perusahan misalnya, ingin menambahkan pada salah satu usahanya sebuah
produksi lengkap satu komoditi ko-mersial tertentu. Maka seorang investor bisa saja
mengadakan negoisasi untuk bekerjasama dalam mendanai sub produksi ba-rang
tersebut, mengatur produksi dan berbagai biaya khusus pada sub produksi barang
tersebut secara terpisah. Kemudian baru mengadakan negoisasi pembagian
keuntungan, dengan menyisih-kan sebagian pemasukan sebagai cadangan menutupi
biaya proyek tersebut. Dengan demikian, syirkah itu dapat memiliki sub produksi
tersebut pada akhirnya.
331

Dalam sebuah Muktamar Ekonomi Islam di Dubai tahun 1399 H./ 1976 M., para
peserta muktamar membahas bentuk jual beli semacam ini. Akhirnya mereka
memutuskan bahwa bentuk perjanjian usaha yang berakhir dengan penetapan
kepemilikan ini terbentuk menjadi salah satu dari gambaran berikut:

Gambaran pertama:

Pihak investor dengan pengelola bersepakat untuk menetapkan jumlah jatah masing-
masing ber-kaitan dengan saham dan syarat-syaratnya. Lalu saham-saham investor
dijual kepada pengelola setelah syirkah berakhir dengan perjanijian baru, dimana si
investor berhak menjual sahamnya kepada si pengelola sebagai patner usahanya,
atau kepada orang lain. Demikian juga yang berlaku bagi seorang penanam saham
terhadap bank yang mengelola modalnya. Ia berhak menjual sa-hamnya itu kepada
bank sebagai patner usahanya atau kepada pihak lain.

Gambaran kedua:

Hendaknya investor dengan pengelo-lanya bersepakat dalam syirkah itu untuk


pendanaan penuh atau sebagian sebagai biaya pelaksanaan proyek yang memiliki
pros-pek keuntungan. Yakni berdasarkan kesepakatan bank dengan penanam saham
lain, di mana pihak bank memperoleh prosentase keuntungan bersih yang berbukti
secara riil, di samping haknya untuk tetap menyimpan sisa dana dari yang telah
dikeluarkan, yakni jumlah khusus yang telah disepakati untuk disisihkan (dana
tertahan) untuk menutupi kekurangan pendanaan bank yang dilakukan oleh pihak
bank.

Gambaran ketiga:

Ditentukan bagian bagi pihak investor dan pengelola serta penanam saham lain
dalam satu cara pem-bagian saham yang dapat menggambarkan total harga barang
penjualan sebagai objek syirkah Masing-masing pihak mendapat-kan jatah
332

keuntungan dari keuntungan yang pasti. Pihak penanam modal bisa membeli
sejumlah saham yang masih dikuasai bank tersebut setiap tahunnya, sehingga
saham-saham yang masih di tangan bank itu berkurang sedikit demi sedikit, dan
pada akhir-nya pihak penanam modal itu dapat memiliki seluruh saham yang ada
dan menjadi pemilik tunggal dari syirkah tersebut.

Gambaran pertama jelas dibolehkan berdasarkan kesepa-katan para ulama. Karena


perjanjian usaha ini mengandung dua akar yang terpisah yang masing-masing secara
terpisah hukum-nya dibolehkan. Sedangkan keduanya adalah perjanjian syirkah dan
perjanjian jual beli, sehingga tidak diharamkan dan tidak ada hal yang diragukan.
Demikian juga dengan gambaran ketiga yang tidak berbeda dengan gambaran
pertama, hanya penjualannya saja yang dilakukan secara bertahap, sementara dalam
gambaran pertama dilakukan secara langsung satu kali saja. Namun kedua-nya tidak
diragukan kehalalannya, selama penjualan itu dila-kukan setelah selesainya syirkah
dengan perjanjian terpisah.

Adapun gambaran kedua, masih diselimuti beberapa keran-cuan. Karena pihak bank
telah bekerja sama semenjak pertama dengan persyaratan modal itu akan kembali
kepadanya dengan prosentase tertentu dari keuntungan proyek.

Yang menyebabkan terjadinya kerancuan tergabungnya dua halsyirkah dan jual beli
dalam satu perjanjian. Kita tidak menga-takan secara pasti bahwa itu termasuk riba.
Karena kalau modal itu hangus, berarti menjadi kerugian bersama, bukan menjadi
tanggung jawab pengelola saja. Inilah yang membedakan secara signifikan antara
perjanjian usaha ini dengan peminjaman yang menjadi tanggung jawab peminjam
saja. Demikian pula halnya ketika terjadi kerugian, kerugian itu ditanggung secara
bersama.

Di antara hal yang membedakan perjanjian usaha dengan riba secara signifkan pula
adalah bahwa permintaan investor untuk meminta kembali modal yang telah
333

diberikannya, tergantung pada keberhasilan proyek dan keuntungan yang


didapatkan. Kalau ke-untungan itu tidak terbukti, si investor tidak bisa mengambil
ke-untungan sedikitpun. Hal itu tidak berpengaruh pada perjanjian usaha syirkah
yang dilaksanakan di antara kedua belah pihak. Jatah bank tetap ada dalam bentuk
saham. Dan pemasukannya juga tetap dalam bentuk jumlah tertentu dari keuntungan.

Hanya saja kerancuan tersebut tetap terlihat kental melalui pencampuradukkan


antara dua perjanjian tersebut, demikian juga keikutsertaan bank dari semenjak awal
dengan persyaratan akan mengambil kembali modalnya secara utuh ditambah
prosentase keuntungan. Oleh sebab itu demi menjaga kehormatan dasar dan
menghindari syubhat agar kedua bentuk usaha itu dipisahkan saja, yakni bahwa
persoalan jual beli itu diserahkan kepada hak pilih kedua belah pihak.

Hukum-hukum Syirkatul Abdan (Usaha)

Yakni kerjasama dua pihak atau lebih dalam hasil kerja tangan mereka.

Seperti kesepakatan para pemilik usaha dan kerajinan untuk menerima pekerjaan dan
berserikat dalam hasilnya. Di antara contohnya misalnya kesepakatan beberapa
orang tenaga medis untuk mendirikan poliklinik dan menerima perawatan orang-
orang sakit. Masing-masing bekerja sesuai dengan spesialisasinya. Kemudian
akhirnya mereka membagi keuntungan bersama. Atau kesepakatan sekelompok
mekanik untuk mengerjakan satu pro-yek perbaikan mobil, masing-masing bekerja
sesuai dengan ketrampilannya, baru kemudian mereka membagi keuntungan
bersama.

Syirkah ini dinamakan juga syirkah shana’i, syirkah taqabbul dan syirkah ‘amal.

Disyariatkannya Syirkatul Abdan


334

Para Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang disyariatkannya syirkah semacam ini:
“Mayoritas ulama membolehkannya, yakni dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hambaliyah, Se-dangkan Imam Syafi’i melarangnya.

Alasan pendapat mayoritas ulama adalah sebagai berikut: Riwayat Abu Ubaidah
Ibnu Abdillah, dari ayahnya Abdullah bin Mas”ud diriwayatkan bahwa ia
menceritakan, “Saya dan Sa’ad serta Ammar melakukan kerja sama pada hari
Badar. Namun saya dan Ammar tidak memperoleh apa-apa, sementara Sa’ad mem-
peroleh dua orang tawanan.”

Nabi membenarkan apa yang mereka lakukan. Imam Ahmad berkata, “Nabi sendiri
yang mengesahkan kerja sama/ syirkah yang mereka lakukan. ”

Alasan yang diambil oleh Imam Syafi”i adalah bahwa syirkah itu dilakukan tanpa
modal harta sehingga tidak akan mencapai tujuannya, yakni keuntungan. Karena
syirkah dalam keuntungan itu dibangun di atas syirkah dalam modal. Sementara
modal di sini tidak ada, maka syirkah ini tidak sah.

Namun alasan Syafi”i di sini dibantah dengan alasan lain, bahwa tujuan dari syirkah
adalah memperoleh keuntungan dengan syirkah tersebut. Tidak hanya didasari
dengan modal harta, namun juga dibolehkan dengan modal kerja saja, seperti dalam
sistem penanaman saham. Bisa juga dilakukan dengan sistem penja-minan. Yakni
masing-masing menjadi penjamin bagi yang lain untuk menerima usaha pasangan
bisnisnya seperti menerima usa-hanya sendiri. Masing-masing menjadi penjamin
dalam setengah usaha dari penjaminan pihak lain, dan setengah usaha lain dari hak
asli yang dimiliki. Sehingga terealisasilah syirkah dari keun-tungan yang dihasilkan
dari usaha tersebut.

Rukun-rukun Syirkah Usaha


335

Ada tiga rukun yang dimiliki oleh Syirkah Abdan, sebagaimana syirkah jenis lain:
Dua transaktor, masing-masing harus memiliki kompetensi beraktivitas. Objek
transaksi, yakni usaha dan keuntungan. Pelafalan akad/perjanjian. Yakni indika-tor
terhadap adanya keridhaan masing-masing pihak terhadap perjanjian, dengan serah
terima.

Demikianlah, telah dijelaskan banyak hukum-hukum ten-tang rukun-rukun ini ketika


kita membahas Syirkatul “Inan. Karena kesemuanya adalah hukum-hukum umum,
sehingga tidak perlu dibahas ulang dalam kesempatan ini. Kita akan mengulas
kembali objek transaksi, karena ada sebagian hukum khusus berkaitan dengan
syirkah ini.

Pertama: Usaha.

Para ulama berbeda pendapat tentang ditetapkannya kesa-tuan usaha sebagai syarat
sahnya kerja sama ini. Kalangan Hana-fiyah dan Hambaliyah dalam salah satu
riwayat pendapat mereka berpendapat bahwa kesatuan usaha itu tidak disyariatkan.
Karena tujuan dari syirkah tersebut adalah memperoleh keuntungan. Tak ada
bedanya antara keuntungan dari satu jenis usaha atau dari beberapa jenis usaha.
Tidak ada alasan sama sekali untuk mene-tapkan kesatuan usaha sebagai syarat
sahnya syirkahini.

Berbeda halnya dengan kalangan Malikiyah dan juga kalangan Hambaliyah dalam
riwayat lain. Mereka menyatakan disyariatkannya kesatuan usaha sebagai syarat
sahnya syirkahini. Karena konsekuensi syirkah ini adalah bahwa usaha yang
diterima oleh masing-masing pihak juga ditekankan kepada yang lain. Kalau usaha
yang dilakukan berbeda, hal itu tidak mungkin terjadi. Karena bagaimana mungkin
seseorang akan melakukan usaha yang dia sendiri tidak mampu melakukannya atau
tidak terampil mengerjakannya?
336

Dan dalil terakhir ini dibantah bahwa komitmen seseorang atas suatu usaha tertentu
tidak mesti dia melakukannya langsung, bisa saja dia mengupah orang, atau ada
orang yang membantunya tanpa upah. Dan di antara hal yang memperjelas lemahnya
pen-syaratan ini adalah bila seandainya salah satu dari keduanya ber-kata, “Saya
menerima saja dan engkau yang bekerja,” maka syirkah ini sah padahal kerja
masing-masing itu berbeda.

Kedua: Keuntungan.

Keuntungan dalam syirkah ini adalah berdasarkan kesepa-katan semua pihak yang
beraliansi, dengan cara disamaratakan atau ada pihak yang dilebihkan. Karena
usahalah yang berhak mendapatkan keuntungan. Sementara perbedaan usaha dalam
syirkah ini dibolehkan. Maka juga dibolehkan juga adanya per-bedaan jumlah
keuntungan.

Berdasarkan hal ini, kalau mereka pempersyaratkan usaha dibagi dua (1-1) dan
keuntungannya 1-2, boleh-boleh saja. Karena modal itu adalah usaha dan
keuntungan adalah modal. Usaha bisa dihargai dengan penilaian kualias, sehingga
bisa diperkirakan harganya dengan prediksi kualitasnya, dan itu tidak diharamkan.

Dasar Kerja Sama dalam Keuntungan Pada Syirkah Ini

Asas kerja sama antar sesama mitra usaha dalam syirkah ini adalah jaminan atau
garansi. Karena setiap usaha yang diterima masing-masing pihak berada dalam
jaminan semua pihak. Ma-sing-masing bisa menuntut dan dituntut oleh usahanya
sendiri. Karena syirkah ini terlaksana hanya dengan adanya jaminan ini. Tidak ada
hal yang berarti yang dapat dijadikan dasar tegaknya perjanjian kerja sama ini selain
jaminan. Seolah-olah syirkah ini berisi jaminan masing-masing pihak terhadap yang
lain dalam komitmen dan hak yang dimiliki. Kalau mereka bersekutu dalam
337

jaminan, berarti mereka juga harus berserikat dalam keuntungan. Mereka berhak
mendapatkan keuntungan sebagaimana mereka memukul jaminan secara bersama.

Oleh sebab itu, kalau salah seorang di antara mereka beru-saha sendirian, maka
usaha itu menjadi milik keduanya. Dengan catatan, pihak yang tidak berusaha bukan
karena menolak mela-kukan usaha. Kalau ia menolak berusaha, maka mitra
usahanya berhak membatalkan perjanjian/kerja samanya. Bahkan sebagian kalangan
Hambaliyah berpendapat, bahwa ketika salah seorang di antara dua pihak yang
bermitra usaha itu tidak melakukan usaha tanpa alasan, maka mitra usahanya berhak
untuk mengambil sen-diri keuntungan dari usahanya tersebut. Karena mereka menja-
lankan syirkah usaha dengan catatan keduanya melakukan usaha bersamaan. Kalau
salah di antara mereka tidak melakukan usaha tanpa alasan, maka berarti dia tidak
menunaikan syarat kerja sama antara mereka berdua, sehingga ia tidak berhak
menda-patkan keuntungan sebagai imbalannya.

Jaminan dalam Syirkah Usaha

Para anggota syirkah ini memiliki satu tanggung jawab. Setiap usaha yang dilakukan
masing-masing, mendapatkan jaminan dari pihak lain. Masing-masing dituntut untuk
melakukan usaha. Dan masing-masing juga berhak menuntut mitra usahanya untuk
mendapatkan keuntungan. Orang yang membayar upah misalnya, cukup
menyerahkan pembayaran kepada salah satu dari kedua pihak tersebut. Kalau uang
pembayaran tersebut hangus di tangan salah seorang di antara mereka bukan karena
faktor keteledoran, maka menjadi tanggungjawab mereka berdua sehingga menjadi
keuntungan mereka yang hilang. Karena masing-masing di antara mereka menjadi
wakil atau penjamin bagi pihak lain dalam memegang keuangan atau dalam
menuntut keuntungan. Semen-tara sudah jelas bahwa tangan seorang penjamin
adalah tangan amanah yang hanya bertanggung jawab bila melakukan ketele-doran
atau melampaui batas.
338

Berakhirnya Syirkah Ini

Syirkah usaha ini berakhir dengan berakhirnya kerjasama dengan berdasarkan


kriterianya secara umum, misalnya dengan pembatalan oleh salah satu transaktor,
atau kematian salah satu dari pihak yang bekerja sama, atau karena gila, karena
sudah ter-cekal akibat bangkrut terlilit hutang, karena idiot dan sejenisnya.

Dengan kenyataan itu, maka tidaklah logis apa yang dinyatakan oleh kalangan
Malikiyah untuk diterapkan di sini yaitu bahwa dalam usaha dengan sistem
penanaman modal, ben-tuk usaha ini berlangsung dengan mulainya usaha. Karena
syirkah usaha ini berkaitan erat dengan pribadi para pelaku, sehingga tanpa
kehadirannya, tidak bisa dibayangkan bagaimana kerja sama ini bisa berjalan.

Syirkatul Wujuh

Syirkah wujuh adalah akad yang dilakukan dua pihak atau lebih untuk membeli
sesuatu dengan mempergunakan nama baik mereka secara berhutang. Bila
menghasilkan keuntungan, mereka bagi berdua.

Syirkah jenis ini mengikat dua orang pelaku atau lebih yang tidak memiliki modal
uang. Namun mereka memiliki prestige atau nama baik di tengah masyarakat
sehingga membuka kesempatan buat mereka untuk bisa membeli secara berhutang.
Mereka ber-sepakat untuk membeli barang secara berhutang dengan tujuan untuk
dijual, lalu keuntungannya jual beli itu mereka bagi ber-sama.

Sebab Disebut Sebagai Syirkatul Wujuh

Syirkah ini disebut dengan syirkah wujuh karena para ang-gotanya tidak bisa
membeli barang dengan hutang bila tidak memiliki prestige (nama baik) di tengah
masyarakat. Para anggota kerja sama ini sama sekali tidak memiliki modal uang.
Namun mereka memiliki koneksi dan prestige yang menyebabkan mereka
339

berkesempatan baik membeli dengan hutang. Jah(kehormatan) dan wajh(prestige


atau nama baik) artinya sama. Dikatakan misalnya, si Fulan memiliki nama baik.
Artinya, memiliki kehormatan. Oleh sebab itu Allah berfirman:

“Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat disisi Allah.” (Al-
Ahzab: 69).

Disyariatkannya Syirkah Ini

Para ulama berbeda pendapat tentang disyariatkannya atau tidaknya kerja sama ini.
Kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah membolehkannya secara mutlak. Kalangan
Syafi”iyah dan Mali-kiyah melarang sebagian bentuk aplikatifnya, namun membo-
lehkan sebagian bentuk lainnya.

Mereka membolehkan kalau kedua pihak tersebut berse-pakat membeli satu


komoditi yang sama. Mereka melarang apabila masing-masing berhak terhadap apa
yang dibeli oleh mitra bisnis kerja sama mereka dengan nama baiknya sendiri secara
mutlak.

Alasan mereka yang membolehkanya secara mutlak adalah sebagai berikut: Karena
syirkah itu mengandung unsur membeli dengan pembayaran tertunda, serta untuk
memberikan penjaminan kepada pihak lain untuk berjual beli, dan keduanya
dibolehkan. Ka-rena umumnya manusia telah terbiasa melakukan perjanjian kerja
sama usaha tersebut di berbagai tempat tanpa pernah dibantah oleh ulama manapun.

Dalam Badai”ush Shanai” disebutkan, “Dalil kami adalah bahwa umumnya kaum
muslimin telah terbiasa melakukan kedua jenis usaha tersebut di berbagai masa tanpa
ada ulama yang me-nyalahkannya.”

Kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah telah membantah pendapat mereka yang


melarang syirkah ini dengan alasan tidak adanya modal yang bisa dikembangkan,
340

dengan ucapan mereka: “Kalau syirkah dengan modal uang dibolehkan untuk
mengembang-kan modal tersebut, maka syirkah dengan usaha dan nama baik juga
disyariatkan dengan tujuan menghasilkan modal uang. Kebutuhan terhadap modal
uang itu lebih besar dari kebutuhan terhadap pengembangan modal uang yang sudah
ada.”

Ini pembahasan yang berkaitan dengan definisi syirkah ini, asal muasal
penamaannya sebagai syirkah wujuh dan disyariat-kannya syirkah ini.

Adapun hukum-hukum lain yang berkaitan dengan kerja sama ini sama dengan
bentuk-bentuk syirkah lainnya, silahkan me-rujuk kepada pembahasan-pembahasan
sebelumnya.

Syirkatul Mufawadhah

Definisi Syirkatul Mufawadhah

Al-Mufawadhah secara bahasa artinya adalah syirkah dalam segala hal.

Secara terminologis artinya yaitu: Setiap syirkah di mana para anggotanya memiliki
kesamaan dalam modal, aktivitas dan hutang piutang, dari mulai berdirinya syirkah
hingga akhir. Maka masing-masing menyerahkan kepada mitranya untuk secara
bebas mengoperasikan modalnya, baik ketika ia ada atau tidak. Sehingga ia dengan
bebas pula dapat mengoperasikan berbagai aktivitas finansial dan aktivitas kerja
yang menjadi tuntutan se-mua bentuk kerja sama, namun dengan syarat, tidak
termasuk di dalamnya usaha-usaha yang fenomenal atau berbagai macam denda.

Definisi Aplikatif

Syirkatul Mufawadhah adalah sebuah syirkah komprehensif yang dalam syirkah itu
semua anggoga sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti
341

“inan, abdan dan wujuh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain
hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama
tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima
tenaga kerja, dan sejenisnya.

Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang
didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-
masing tidak menanggung ber-bagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang
dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.

Alasan Penamaan Itu

Para Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang alasan mengapa dinamakan syirkah ini
dengan Syirkah Mufawadah.

Ada pendapat bahwa itu diambil dari kata tafwied yang artinya penyerahan. Karena
masing-masing menyerahkan kepada mitranya untuk melakukan operasional seluruh
modal dagang-nya. Ada juga yang berpendapat bahwa itu diambil dari kata
istifadhah yang artinya menyebar. Karena syirkah ini ditegakkan di atas dasar
penyebaran dan ekspos seluruh aktivitas.

Sementara kalangan Hanafiyah menyatakan bahwa arti Mufawadhah adalah


penyamaan. Oleh sebab itu syarat sahnya ker-ja sama ini adalah adanya kesamaan
modal, aktivitas dan hutang piutang. Namun pendapat ini lemah. Yang tepat adalah
yang pertama.

Disyariatkannya Syirkah Ini

Para ulama kembali berbeda pendapat tentang hukum syirkah ini: Kalangan
Hanafiyah, Malikiyah dan Hamba-liyah membolehkannya. Sedangkan Imam Syafi’i
5 mela-rangnya.
342

Alasan pendapat mayoritas ulama adalah sebagai berikut:

* Karena syirkah ini menggabungkan beberapa macam bentuk syirkah yang masing-
masing dari syirkah itu dibolehkan secara terpisah, maka demikian pula hukumnya
bila dikombi-nasikan.

* Karena masyarakat di berbagai tempat dan masa telah terbiasa melakukan bentuk
syirkah semacam ini tanpa ada pula ulama yang menyalahkannya.

Sementara alasan Imam Syafi’i melarangnya adalah sebagai berikut: Karena syirkah
ini sebentuk perjanjian usaha yang me-ngandung penjaminan terhadap jenis hal yang
tidak diketahui, dan juga jaminan terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Keduanya
sama-sama rusak secara terpisah, apalagi bila digabungkan.

Dalil yang dikemukakan Imam Syafi”i ini dibantah bahwa hal yang tidak diketahui
itu dimaafkan karena timbul sebagai konsekuensi. Sebuah aktivitas terkadang sah
bila merupakan konsekuensi, tetapi tidak sah bila merupakan tujuan, seperti hal-nya
syirkah “inan dan penanam modal. Masing-masing syirkah itu juga mengandung
unsur penjaminan terhadap dalam pembelian sesuatu yang tidak diketahui, namun
keduanya dibolehkan ber-dasarkan kesepakatan para ulama.

Syarat-syarat Syirkah Mufawadhah

Kalangan Hambaliyah menetapkan syarat sahnya syirkah ini bahwa tidak boleh
dimasukkan ke dalamnya berbagai hasil sam-pingan dan denda-denda. Kalau
keduanya dimasukkan dalam perjanjian, syirkah itu batal, karena ada unsur
manipulasi. Karena masing-masing akan menanggung kewajiban yang lain. Bisa jadi
ia akan menanggung sesuatu yang tidak mampu ia lakukan, apa-lagi itu merupakan
perjanjian yang tidak ada contoh yang menye-rupainya dalam ajaran syariat.
343

Sementara kalangan Hanafiyah memberikan syarat bagi sahnya syirkah ini sebagai
berikut:

1. Kesamaan modal, aktivitas dan keuntungan. Maka harus dibuktikan dahulu


kesamaan dai awal sampai akhir dalam beberapa hal tersebut. Karena menurut
mereka al-Mufawadhah itu sendiri artinya adalah penyamaan. Kalau kesamaan itu
tidak di-miliki salah satu pihak, maka syirkah itu batal.

2. Keumuman dalam syirkah Yakni diberlakukan dalam semua jenis jual beli.
Jangan sampai salah satu di antara mereka melakukan jual beli yang tidak dilakukan
pihak lain.

3. Agar salah satu pihak yang terlibat tidak memiliki saham dalam syirkah lain, dan
tidak juga ikut dalam perjanjian syirkah lain, karena hal itu menyebabkan
ketidaksamaan.

4. Hendaknya dengan pelafalan mufawadhah. Karena mufa-wadhah mengandung


banyak persyaratan yang hanya bisa diga-bungkan dalam pelafalan itu, atau dengan
cara pengungkapan lain yang bisa mewakilinya. Namun jarang sekali masyarakat
awam yang memahami hal itu.

Demikianlah. Berkurangnya salah satu dari persyaratan ini menyebabkan syirkah ini
berubah menjadi syirkah “inan menurut kalangan Hanafiyah. Karena syirkah ini
memang sudah mengan-dung unsur syirkah “inan bahkan lebih dari itu. Batalnya
syirkah mufawadhah, tidak berarti syirkah itu batal sebagai syirkah “inan, karena
syirkah “inan tidak memerlukan syarat-syarat tersebut.

Satu hal yang perlu diingat, bahwa kalangan Malikiyah dan Hambaliyah tidak
menganggap kesamaan dalam modal dan keuntungan sebagai syarat syirkah ini.
Mereka membolehkan adanya perbedaan dalam kedua hal itu, sebagaimana halnya
Syir-katul “Inan.
344

Untung Rugi Dalam Syirkatul Mufawadhah

Para ulama Ahli Fiqih telah bersepakat bahwa kerugian dalam Syirkah Mufawadhah
dan dalam seluruh jenis syirkah lainnya harus diukur dengan jumlah modal. Artinya,
kerugian itu dibagi-bagikan untuk ditanggung bersama sesuai dengan prosentasi
modal yang tergabung dalam syirkah. Namun mereka berbeda pendapat dalam soal
keuntun-gan:

* Kalangan Hambaliyah membolehkan keuntungan itu dibagikan sesuai dengan


persyaratan. Mereka tidak membedakan antara syirkah komprehensif dengan yang
lainnya.

* Kalangan Malikiyah mempersyaratkan agar keuntungan disesuaikan dengan


jumlah modal.

* Sementara kalangan Hanafiyah mengharuskan keuntungan dalam Syirkatul


Mufawadhah untuk disamaratakan, berdasarkan alasan yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa modal, keun-tungan dan yang lainnya adalah rambu-rambu
paling mendasar, dalam syirkah ini dan juga dalam syirkah-syirkah lain, menurut
mereka.

Telah pula dijelaskan sebelumnya bahwa pendapat yang terpilih adalah bahwa
keuntungan itu bisa saja berdasarkan persyaratan. Karena usaha itu adalah salah satu
sebab memper-oleh keuntungan. Ukurannya bisa berbeda-beda, sehingga harus
diukur.
345

Fasal

Wakalah (Perwakilan)

Berkata Syaikh Abu Syujak “ Segala sesuatu yang manusia boleh bertindak dengan
dirinya sendiri, ia boleh diwakilkan orang lain (untuk bertindak), dan dapat
menerima perwakilan).

Wakalah menurut Bahasa adayang berarti penyerahan dan ada yang berarti
pemeliharaan.

Hukum wakalah adalah masyru’ (disyariatkan). Dalam Alquran disebutkan:

Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini, (Terj. Al Kahfi: 19)

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang


miskin, pengurus-pengurus zakat, (QS. At Taubah: 60)

Dalam kedua ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan mewakilkan


untuk mengurus sesuatu.

Sedangkan dalam hadis, disebutkan dari Urwah bin Ja’d ia berkata, “Ditawarkan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam barang-barang yang baru datang dari luar
daerah, lalu Beliau memberiku satu dinar dan bersabda, “Wahai Urwah, datangilah
barang-barang itu dan belilah seekor kambing untuk kita.” (HR. Bukhari)

Beliau juga pernah menjadikan Abu Raafi’ wakil dalam pernikahan Beliau dengan
Maimunah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengirimkan para pemungut
zakat, Beliau juga pernah mengangkat wakil untuk membayarkan hutangnya, Beliau
juga pernah mengangkat wakil untuk menegakkan hudud, Beliau mengangkat wakil
untuk menyembelih unta-untanya dan agar dibagi-bagikan.
346

Kaum muslimin juga sepakat tentang kebolehan wakalah secara garis besar, karena
kebutuhan menghendaki hal itu.

Bahkan wakaalah dianjurkan, karena termasuk ta’aawun ‘alal birri wat taqwa
(tolong-menolong di atas kebaikan dan ketakwaan, lihat Al Maa’idah: 2). Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

‫د فِي عَوْ ِن أَ ِخي ِه‬ºُ ‫َوهَّللا ُ فِي عَوْ ِن ْال َع ْب ِد َما َكانَ ْال َع ْب‬

“Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut mau menolong


saudaranya.” (HR. Muslim)

C. Apakah wakalah merupakan niyaabah (memposisikan diri) atau walayah


(memberikan kekuasaan)?

Dalam hal ini ada dua pendapat ulama; ada yang mengatakan bahwa wakaalah
adalah niyaabah karena haramnya menyelisihi orang yang mewakilkan, dan ada juga
yang berpendapat bahwa wakalah merupakan walaayah karena boleh menyelisihi
jika ke arah yang lebih baik seperti jual beli dengan dipercepat dimana ia
diperintahkan untuk melakukannya dengan ditunda.

D. Rukun wakalah

Wakalah merupakan salah satu akad yang tidak sah kecuali jika terpenuhi rukunnya
yaitu ijab dan qabul, namun tidak disyaratkan untuk ijab dan qabul ini memakai lafaz
tertentu. Bahkan dianggap sah dengan semua  yang menunjukkan ijab dan qabul baik
berupa ucapan maupun perbuatan.

E. Tanjiz dan Ta’liq


347

Akad wakalah dianggap sah baik tanjiz (langsung) maupun ta’liq (dikaitkan dengan
syarat) atau dihubungkan ke masa yang akan datang sebagaimana sah juga dibuatkan
jangka waktu atau dengan melakukan perbuatan tertentu.

Wakaalah juga bisa sifatnya tabarru’ (suka rela) dari wakil, dan bisa juga dengan
upah karena hal itu merupakan tindakan yang dilakukan untuk orang lain yang tidak
mesti dilakukannya. Oleh karena itu, diperbolehkan dengan bayaran. Tentunya
ketika seperti ini, si muwakkil (pengangkat wakil) boleh mensyaratkan agar si wakil
tidak keluar dari lingkaran pekerjaan itu kecuali jika telah selesai waktu yang
ditentukan, jika tidak demikian, maka ia harus menanggung ganti. Jika dalam ‘akad
disebutkan dengan upah untuk si wakil, maka si wakil dianggap sebagai ajiir (orang
yang diupah) dan berlaku baginya hukum-hukum tentang ajir.

F. Syarat dan hukum-hukum yang terkait dengan wakalah

1. Disyaratkan bagi masing-masing wakil dan muwakkil (yang mengangkat wakil)


harus orang yang ja’izut tasharruf (boleh bertindak), baligh, berakal dan cerdas.

Tentang yang menjadi muwakkil adalah anak-anak yang mumayyiz

Disebutkan dalam Fiqhus Sunnah pada bagian wakalah, “Adapun jika anak kecil
tersebut mumayyiz (bisa membedakan), maka sah pengangkatan wakil yang
dilakukannya dalam tindakan-tindakan yang bermanfaat baginya seperti
pengangkatan wakil untuk menerima hadiah, sedekah dan wasiat. Namun, apabila
tasharruf (tindakan) yang dilakukan merugikannya seperti talak, hibah dan sedekah
maka pengangkatan wakil yang dilakukannya tidak sah.”

Tentang yang menjadi wakil adalah anak-anak yang mumayyiz

Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz (mampu membedakan), maka sah
diangkat sebagai wakil menurut ulama madzhab Hanafi, hal itu karena anak kecil
348

yang mumayyiz seperti anak yang sudah baligh yang sudah mengetahui masalah
keduniaan. Hal itu, karena Umar puteri Ummu Salamah pernah menikahkan ibunya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ia anak kecil yang belum
baligh sebelumnya.

2. Disyaratkan untuk sesuatu yang diwakilkan harus diketahui oleh wakil atau jika
majhul (tidak diketahui), maka tidak terlalu majhul sekali, kecuali jika muwakkil
menyebutkan secara mutlak dengan kata-kata “Belikanlah untukku apa saja yang
kamu mau.”

3. Wakalah dianggap sah dalam hal yang bisa dilakukan wakalah, seperti jual beli
dan seluruh akad serta semua pembatalan seperti talak dan khulu’.  Imam Bukhari
meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah punya hutang kepada seseorang berupa unta umur tertentu, orang itu pun
datang untuk menagihnya, maka Beliau bersabda, “Berikanlah kepadanya,” maka
para sahabat mencari unta usia tersebut namun tidak menemukan selain usia yang di
atasnya, maka Beliau bersabda, “Berikanlah kepadanya,” maka orang tersebut
berkata, “Engkau telah membayar hutangmu, semoga Allah membayarkan
hutangmu,” lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang
terbaik di antara kamu adalah orang yang terbaik dalam membayar hutangnya.”

Demikian pula wakalah sah dalam ibadah yang boleh dilakukan di dalamnya
wakalah, seperti mengeluarkan zakat, membayar kaffarat, nadzr, haji, umrah dsb.
karena adanya dalil tentang bolehnya hal itu.

4. Tidak sah wakalah yang di sana tidak berlaku wakalah dalam pemenuhan hak-hak
Allah Ta’ala, seperti bersuci dan shalat.
349

5. Wakil memiliki hak bertindak sesuai yang diizinkan muwakkil (pengangkatnya)


atau sesuai uruf yang berlaku di antara manusia, dengan syarat perizinan tersebut
tidak merugikan muwakkil.

6. Tidak sah bagi wakil mengangkat orang lain menjadi wakil menggantikan dirinya
kecuali jika diizinkan oleh muwakkilnya atau si wakil tidak mampu melakukannya
atau tidak bagus dalam melakukannya, sehingga ia angkat orang yang terpercaya
sebagai wakil yang menggantikan posisinya sebagai wakil dalam perkara yang
diserahkan kepadanya.

7. Wakil adalah orang yang diamanahi dalam hal yang diwakilkan kepadanya, ia
tidaklah menanggung kecuali jika ia meremehkan atau melampaui batas. Dan ucapan
wakil adalah diterima sebagaimana ucapan orang-orang yang diamanahi lainnya
dalam hal kerusakan.

Di antara contoh meremehkan adalah seorang menjualkan suatu barang dagangan


dan menyerahkan barang tersebut kepada pembeli, tetapi ia belum menerima
pembayarannya, atau memakai barang untuk kepentingan pribadi atau
menyimpannya di tempat yang tidak terjaga.

8. Wakalah merupakan akad yang ja’iz (boleh), dimana bagi masing-masingnya


(wakil dan muwakkil) berhak membatalkannya.

9. Barang siapa yang mewakilkan kepada orang lain untuk menjualkan sesuatu, ia
pun menyebutkan secara mutlak wakalah tanpa menentukan harga tetentu, demikian
juga tanpa menerangkan dijual dengan bayaran segera atau ditunda, maka bagi wakil
tidak boleh menjual kecuali dengan harga mitsl (standar), ia juga tidak boleh
menjualnya dengan bayaran ditunda. Makna “secara mutlak” tidaklah berarti bahwa
wakil boleh berbuat semaunya, bahkan maksudnya adalah hendaknya ia menjual
350

dengan penjualan yang biasa berlaku di kalangan para pedagang dan lebih
bermanfaat bagi muwakkil.

Abu Hanifah berkata, “Boleh menjualnya bagamana saja caranya yang ia mau tunai
atau memakai tempo,  (meskipun) tanpa harga mitsil (standar), dengan bayaran yang
biasanya orang-orang tidak merasa tertipu, dengan alat bayar yang biasa dipakai di
negeri itu atau selainnya, karena itulah arti “mutlak.” Dan terkadang orang lain
menginginkan agar sebagian miliknya ditiadakan walaupun ia rugi sekali. Hal ini,
tentunya jika wakalahnya mutlak. Namun jika tidak mutlak (muqayyad), maka wajib
bagi wakil membatasi diri sesuai batasan yang ditentukan muwakkil dan tidak boleh
menyelisihinya kecuali jika menyelisihi kepada yang lebih baik bagi muwakkil.

Sebaliknya, jika menyelisihi muwakkil kepada yang kurang baik bagi muwakkil,
maka tindakan wakil tersebut batal menurut Imam Syafi’i, sedangkan ulama
madzhab Hanafi berpendapat bahwa tindakan tersebut tergantung keridhaan
muwakkil, jika dibolehkan olehnya maka sah, jika tidak maka tidak sah..

10. Wakil yang disuruh membelikan sesuatu jika telah dibatasi dengan syarat-syarat
yang ditetapkan muwakkil, maka wakil wajib memperhatikannya syarat-syarat itu
baik syarat-syarat itu berkaitan dengan sesuatu yang dibeli atau berkaitan dengan
harganya. Jika ternyata ia menyelisihinya dengan membeli apa yang tidak diminta
untuk dibeli atau membeli dengan harga lebih dari yang ditentukan muwakkil, maka
barang yang dibeli itu untuk si wakil bukan muwakkil. Tetapi, jika menyelisihi
kepada yang lebih baik, maka boleh berdasarkan hadis Urwah Al Baariqi yang
diminta membelikan satu kambing dengan harga satu dinar, lalu ia membeli dua
kambing seharga satu dinar, kemudian kambing yang satu dijual, sehingga ia datang
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa satu dinar dan seekor kambing.
(HR. Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi).
351

11. Wakalah menjadi batal karena salah satu pihak (wakil atau muwakkil)
meninggal, atau gila, atau membatalkannya atau dipecat oleh muwakkil atau dihajr
karena kurang akalnya.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa


shahbihi wa sallam.

Ulama madzhab Hanbali berkata: Jika seorang berkata, “Juallah barang ini seharga
sepuluh, selebihnya maka untukmu,” maka sah jual beli itu dan tambahannya untuk
si wakil. Ini merupakan pendapat Ishaq dan lainnya. Bahkan Ibnu Abbas
memandang hal itu tidak masalah, karena seperti mudhaarabah.

Fasal

Ikrar (Pengakuan)

Berkata Syaikh Abu Syujak Muqar Bin (hal yang menjadi pokok Iqrar ) ada dua
macam yaitu ha katas Allah Ta’ala dan hak anak Adam. Apablia mengenai hak Allah
Taala, muqir (orang yang berikrar) boleh menarik kembali ikrar nya. Sedangkan jika
mengenai hak anak adam, muwir tidak sah menarik kembali ikrarnya.

Ikrar menurut bahasa berarti itsbat (menetapkan). Ini berasal dari kata “ qarra asy –
syaia, yaqirru “. Menurut syara’ ikrar bearti pengakuan terhadapa apa yang di
dakwakan. Ikrar merupakan dalil yang terkuat untuk menetapkan dakwaan si
pendakwa. Oleh karena itu mereka berkata : “ Ikrar adalah raja dari pembuktian “.
Dan dinamakan pula kesaksisan diri.
352

2. Legalitasnya

Para ulama telah bersepakat bahwa ikrar itu disyari’atkan oleh kitab dan sunnah.
Allah SWT berfirman:

“ wahai orang – orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar – benar
penegak kebenaran, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri”
( An – nisa : 135 ).

Sabda rasulullah saw.

“ pergilah wahai unais, kepada isteri orang ini. Bila dia mengakui ( bahwa dia telah
berzina ), maka rajamlah dia.”

3. Syarat dan Sahnya Ikrar

Disyaratkan untuk sahnya ikrar ada beberapa hal berikut;

Berakal, balig, ridha, dan boleh bertasharuf ( bertindak ); dan agar orang – orang
yang berikrar itu tidak main – main dan tidak mengikrarkan apa yang menurut akal
dan adat kebiasaan mustahil.

Maka tidak sah sebuah ikrar dari orang yang terkena penyakit gila, anak kecil, orang
yang dipaksa, orang yang dibatasi tindaknya, orang yang main – main, dan orang –
orang yang mengikrar dengan apa yang mustahil menurut akal dan adat kebiasaan
karena kedustaannya dalam hal demikian ini jelas ; sedang hukum tidak halal bila di
tetapkan berdasarkan kedustaan.

4. Ruju’ ( Menarik kembali ) Ikrar

Apabila ikrar itu benar, maka ia wajib ditetapkan oleh orang yang berikrar, dan tidak
sah baginya untuk menarik kembali ikrarnya itu, bilamana ikrar berhubungan dengan
353

salah satu diantara hak – hak manusia. Adapun bila pengakuan berhubungan dengan
salah satu diantara hak hak Allah, seperti had ( tuduhan ) terhadap zina dan minum –
minuman keras, maka orang yang berikrar itu boleh mennarik kembali ikrarnya
sebab sabda Rasulullah saw;

“ hindarkanlah Hudud dengan masalah syubhad”; dan karena apa yang terdapat
didalam hadis Ma’iz pada bab Hudud.

Aliran Zhahiri menentang yang demikian ini dan meraka menolak keabsahan
penarikan ikrar baik dalam hak Allah maupun pada hak manusia.

5. Ikrar itu Hujjah yang terbatas

Ikrar itu adalah hujjah yang terbatas, ia tidak melampaui selain orang yang berikrar.
Seandainya ia berikrar mengenai orang lain, maka ikrarnya mengenai orang lain ini
tidak di perkenankan. Hal itu berada dengan bukti, karena ia menjadi hujjah yang
mengenai orang lain pula.

Seandainya seorang pendakwa mendakwakan hutang pada orang lain, sedang dari
sebagian mereka mengakui dan sebagian lain mengingkari, maka pengakuan
( kikrar) itu tidak mengenai kecuali terhadap orang yang mengikrarnya. Dan
seandainya pendakwa mengajukan dakwaan yang demikian ini denga disertai bukti,
maka bukti ini mengenai terhadap semua orang yang terdakwa.

6. Ikrar itu tidak dapat dibagi – bagi

Ikrar itu ialah dianggap satu pembicaraan; ia tidak diambil sebagiannya dan di tolak
akan bahagian yang lain.

7. Pengakuan ( ikrar ) mengenai Hutang


354

Apabila seserorang manusia berikrar terhadap salahsatu dari ahli warisnya mengenai
hutang, maka jika ia dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematian, tidak sah
pengakuannya itu sehingga di benarkan oleh semua ahli waris. Hal itu disebabkan
keadaannya yang sakit memungkinkan pengakuannya ini menjadikan ahli waris lain
tidak mendapatkan bagian, disebabkan keadaannya diwaktu sakit. Adapun bila
ikrarnya itu dalam keadaan sehat, maka ikrar itu diperbolehkan. Dan kemungkinan
keinginan untuk menjauhkan ahli waris yang laindari warisan itu hanyalah semata –
mata kemungkinan dan dugaan yang tidak menghalangi kehujjahan pengakuan itu.

Bagi mazhab Syafi’i, pengakuan dari orang yang sehat itu Syah, sebab tidak ada
halangan bagi terwujudnya syarat – syarat kesehatan. Sedangkan ikrar dari orang
yang sedang sakit yg menyebabkan kematian, maka bila ia berikrar kepada seorang
asing, maka ikrarnya sah, baik yang di ikrar itu hutang ataupun barang. Dikatakan
pula bahwa ikrar itu tidak lebih dari sepertiga.

Apabila ikrarnya itu terhadap ahli waris, maka menurut pendapat yang kuat diantara
mereka ikrar itu sah; sebab orang yang berikrar itu dalam keadaan dimana orang
yang pendusta berbicara benar, dan orang yang berdosa bertaubat. Pada
kenyataannya dalam keadaan seperti ini orang itu tidak berikrar kecuali untuk
terwujudnya warisan dan bukannya untuk menjauhkannya. Dalam hal ini pula
mereka mempunyai pendapat lain, yaitu tidak sah pengakuan, sebab pengakuan itu
mungkin untuk menjauhkan sebagian ahli waris dari warisan.

Bagi mereka, apabila seorang berikrar tentang hutang yang ada waktu dia sehat,
kemudian dia mengikrarkan yang lainnya diwaktu dalam keadaan sakit; maka
ikrarnya itu berbagi dua. Dan ikrar yang pertama tidak di utamakan atas ikrar yang
kedua. Ahmad berkata : “ orang yang sakit itu tidak boleh ikrar kepada ahli waris
secar mutlak”. Dia beralasan bahwa tidak dapat dijamin sesudah diharamkannya
wasiat terhadap ahliu waris, kalau wasiat itu di jadikan sebagai ikrar.
355

Akan tetapi Al-Auzai’i dan sekumpulan para ulama memperbolehkan orang yang
sakituntuk mengikrarkan sebagiandari hartanya bagi ahli waris, sebab orang yang
hampir mati itu dijauhkan dari tuduhan, dan bahwa perputaran hukum itu adalah
menurut zhahirnya; sehingga dia tidak akan membiarkan ikrarnya menjadi dugaan
yang di perkirakan, dan bahwa urusannya itu kembali kepada Allah.

Fasal

‘Ariyah (Pinjaman)

Ariyah berasal dari kata i’arah yang berarti meminjamkan.

Dalam istilah ilmu fiqih, para ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan dua definisi
yang berbeda. Ulama hanafiyyah dan malikiyyah mendefinisikan ‘ariyah sebagai
berikut:

‫تمليك منفعة مؤقتة بال عوض‬

“Menyerahkan kepemilikan manfaat (suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa


imbalan.”

Sedangkan ulama Syafi’iyya, Hanbilah dan Zahiriyyah mendefinisikan ‘ariyah


sebagai berikut:

‫إباحة االنتفاع بما يحل االنتفاع به مع يقاء عينه بال عوض‬

“Izin menggunakan barang yang halal dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap
dengan wujudnya tanpa disertai imbalan.”

Masing-masing dari kedua definisi di atas menghasilkan konsekuensi hukum yang


berbeda. Hanfiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ‘ariyah adalah penyerahan
356

kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu artinya,
peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan atau
menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik barang.
sebab dia dianggap memiliki hak guna barang tersebut.

Sedangkan Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah memandang bahwa ‘ariyah hanya


sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna barang
tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau menyewakan kepada
pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.

B. Hukum Taklifi

‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada kondisi


yang menyertainya. Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika peminjam
(musta’ir) merasakan manfaat dari pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan
mudarat bagi pemilik barang (mu’ir). Ditambah, peminjam tidak menggunakan
pinjamannya untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang makruh.

Meminjamkan barang juga bisa menjadi wajib, jika peminjam dalam keadaan darurat
sedangkan pemilik barang tidak mendapatkan kemudaratan jika meminjamkannya.
Contohnya, pada saat cuaca dingin ada orang yang telanjang, atau hanya memakai
pakaian seadanya sehingga merasakan kedinginan. Maka, jika ada orang yang bisa
meminjamkan baju untuknya hukumnya menjadi wajib karena orang tersebut bisa
saja meninggal atau terkena penyakit seandainya tidak dipinjami baju.

Menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, pinjam-meminjam hukumnya bisa menjadi


makruh, jika berdampak pada hal yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya
untuk bekerja kepada seorang kafir.
357

‘Ariyah juga bisa menjadi haram jika berdampak pada perbuatan yang dilarang.
Seperti meminjamkan senjata untuk membunuh orang, atau meminjamkan
kendaraan untuk melakukan maksiat, dan lain-lain.

C. Syarat Barang Pinjaman

Suatu barang menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika memenuhi dua
syarat berikut:

Pertama, barang tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau
menghabiskannya. Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika yang dipinjamkan adalah
barang yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin dan sebagainya. Meminjamkan
barang yang habis pakai disebut dengan qardh.

Kedua, barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan
dan tidak digunakan untuk tujuan yang diharamkan.

D. Hak dan Kewajiban Peminjam

Ketika seseorang meminjam barang sedangkan pemiliknya tidak memberikan


batasan-batasan atau ketentuan tertentu dalam pemakaiannya, maka peminjam boleh
memakai barang tersebut untuk keperluan apa pun yang dibenarkan secara ‘urf
(kebiasaan). Dengan kata lain, peminjam bebas menggunakannya untuk tujuan apa
pun selama penggunaannya masih dalam batas kewajaran. Hal ini senada dengan
kaidah fiqih :

ً ‫المعروف عرفا ً كالمشروط شرطا‬

“Sesuatu yang dianggap sebagai kebiasaan kedudukannya seperti syarat.”

Contohnya, seseorang meminjam mobil sedan kepada temannya. Selama temannya


itu tidak memberikan batasan atau ketentuan pemakaian, si peminjam boleh
358

menggunakannya untuk keperluan apa pun, selama itu dianggap sebagai pemakaian
wajar. Contohnya dipakai untuk jalan-jalan, mengantar teman dan lain-lain.

Tetapi peminjam tidak boleh menggunakan mobil tersebut untuk mengangkut beras
misalnya, atau mengangkut hewan qurban. Karena, secara ‘urf  hal tersebut sudah
keluar dari batas kewajaran.

Jika pemilik barang memberikan syarat atau batasan-batasan tertentu dalam


pemakaian barangnya, maka peminjam harus patuh terhadap syarat tersebut. Jika
tidak, si peminjam dianggap sebagai ghasib. Contohnya, pemilik mobil hanya
memperbolehkan mobilnya dipakai di dalam kota, atau hanya siang hari, atau selama
dua hari dan lain sebagainya. Maka peminjam tidak boleh menyelisihi apa yang
disyaratkan oleh pemilik barang.

E.  Waktu Pengembalian Barang Pinjaman

Kapankah pemilik boleh mengambil kembali barangnya yang dipinjam? Apakah


boleh mengambil sewaktu-waktu, atau hanya boleh mengambil pada waktu yang
sudah disepakati? Dalam hal ini para ulama terbagi ke dalam dua pendapat.

1.  Pendapat Pertama

Ulama dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zhahiriyyah


memandang bahwa pemilik barang boleh meminta barangnya dari peminjam kapan
pun dia mau. Dengan syarat tidak menimbulkan mudarat bagi si peminjam.

2. Pendapat Kedua

Sedangkan Malikiyyah berpendapat, pemilik barang tidak boleh meminta barangnya


kecuali setelah jangka waktu yang telah disepakati. Atau setelah jangka waktu yang
sewajarnya, jika tidak ada ketentuan berapa lama batas waktu peminjaman dari
359

pemilik barang. Atau setelah barang pinjaman tersebut selesai digunakan untuk
keperluan peminjam.

Malikiyyah mendasari pendapatnya ini dengan perintah untuk melaksanakan akad


atau perjanjian yang telah disepakati, sebagaimana tertuang dalam surat al-Maidah
ayat 1 berikut ini:

‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَوْ فُوا بِ ْال ُعقُو ِد‬

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”

Juga atas dasar sabda Nabi Muhammad ‫ﷺ‬:

‫المسلمون عند شروطهم‬

“Muslim itu terikat dengan syarat-syarat (yang disepakati di antara mereka)

F.  Barang Pinjaman Rusak, Apakah Peminjam Wajib Mengganti?

Dalam kitab-kitab fiqih, para ulama mengaitkan masalah ini ke dalam pembahasan
tentang status peminjam dalam kegiatan pinjam-meminjam (‘ariyah) apakah sebagai
yad amanah atau yad dhaman.

Yad amanah adalah pihak yang berstatus hanya sebagai pemegang amanah dari
pihak lain. Di mana jika terjadi hal yang tidak diinginkan pada amanah yang
dipegangnya, dia terlepas dari tanggung jawab untuk mengganti selama hal tersebut
tidak disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya.

Sedangkan yad dhaman adalah pihak yang berstatus sebagai penjamin terhadap
barang milik orang lain. Di mana jika terjadi kerusakan atau kehilangan --apa pun
alasannya-- dia bertanggung jawab atas barang tersebut.
360

Dalam kegiatan pinjam-meminjam (‘ariyah), para ulama berbeda pendapat, apakah


peminjam berlaku sebagai yad amanah atau yad dhaman.

1.  Hanafiyyah, Riwayat Marjuh dari Imam Ahmad & Zahiriyyah

Kelompok pertama yang diwakili oleh ulama dari kalangan Hanafiyyah, Zahiriyyah
dan riwayat marjuh dari Imam Ahmad berpandangan bahwa peminjam berlaku
sebagai yad amanah.

Sehingga, jika terjadi sesuatu pada barang pinjaman, peminjam tidak berkewajiban
untuk mengganti barang tersebut. Selama tidak disebabkan oleh kecerobohan atau
kelalaiannya sendiri atau peminjam menolak untuk mengembalikan ketika diminta
oleh pemilik barang.

Landasan pendapat ini adalah hadis riwayat ad-Daruquthni :

‫ليس على المستعير غير المغل ضمان‬

  “Peminjam yang tidak berkhianat tidak wajib menjamin/menanggung kerusakan


(barang pinjaman).”

Juga secara logis, Malikiyyah berpendapat bahwa peminjam sudah mendapatkan izin
yang sah untuk menggunakan barang pinjaman dari pemiliknya, sehingga peminjam
tidak berkewajiban untuk menanggung kerusakan atau kehilangan yang tidak
disebabkan oleh kesalahan peminjam. Sebab pada umumnya setiap barang itu akan
mengalami kerusakan jika dipakai berulang-ulang.

2.  Syafi’iyyah dan Pendapat Rajih dari Imam Ahmad

Sedangkan kelompok kedua yang diwakili oleh ulama Syafi’iyyah dan pendapat
rajih dari Imam Ahmad memandang bahwa peminjam berlaku sebagai yad dhaman.
Itu artinya, peminjam wajib bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada
361

barang pinjaman dalam kondisi apa pun. Tidak peduli apakah disebabkan oleh
kelalaiannya atau bukan.

Dalil pendapat kedua ini adalah hadis berikut ini :

‫ استعار منه أدراعه يوم حنين‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ أن النبي‬: - ‫ رضي هللا عنه‬- ‫ عن أبيه‬،‫عن أمية بن صفوان‬
‫ أغصبا يا محمد؟ قال "بل عارية مضمونة‬: ‫ فقال‬، "

“Dari Umayyah bin Shafwan, dari ayahnya r.a bahwasanya Nabi Muhammad ‫ﷺ‬
meminjam tameng darinya pada waktu perang Hunain, kemudian ia berkata,
“Apakah engkau mengambilnya begitu saja wahai Muhammad?”, Nabi berkata,
“Tidak, melainkan ini menjadi pinjaman yang dijamin (kembali).”

Dalam hadis di atas Nabi menyatakan bahwa pinjaman itu dijamin oleh beliau,
sehingga dipahami bahwa menjamin barang pinjaman merupakan sifat dasar dari
‘ariyah (pinjam-meminjam).

3.  Malikiyyah

Ulama Malikiyyah membedakan jenis barang yang dipinjam. Jika barang pinjaman
itu berupa barang yang bisa disembunyikan (‫اب عليه‬ºº‫ا يغ‬ºº‫ )م‬seperti pakaian dan
perhiasan, maka peminjam wajib menjamin segala bentuk kerusakan atau kehilangan
kecuali jika dia bisa menghadirkan bukti bahwa kerusakan itu bukan akibat
kesalahannya.

Sedangkan jika barang pinjaman berupa barang yang tampak dan tidak bisa
disembunyikan seperti rumah atau kios, maka peminjam tidak berkewajiban untuk
menanggung kerusakan atau kehilangan. Kecuali jika ada bukti yang menyatakan
bahwa kerusakan itu adalah akibat dari kesalahannya.
362

Rusak Karena Pemakaian wajar

Yang perlu digarisbawahi ketika membahas penyebab kerusakan barang pinjaman


yang menentukan apakah peminjam wajib mengganti atau tidak, adalah bahwa jika
kerusakan barang itu terjadi karena pemakaian normal, semua ulama sepakat bahwa
peminjam tidak wajib mengganti.

Sebab izin pemilik kepada peminjam untuk menggunakan barangnya, berarti juga
mengizinkan terjadinya kerusakan akibat pemakaian wajar terhadap barang tersebut.

G.  Hukum Menyewakan Barang Pinjaman Tanpa Izin Pemilik Barang

Bolehkah peminjam menyewakan barang pinjaman kepada orang lain? Para ulama
dalam hal ini terbagi ke dalam dua pendapat.

1.  Pendapat Pertama

Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat tidak boleh peminjam


menyewakan barang pinjaman yang ada padanya kepada orang lain tanpa izin dari
pemilik barang. Hal tersebut untuk menjaga hak pemilik barang agar bisa menarik
barangnya sewaktu-waktu. Sebab dengan disewakan kepada orang lain, barang
tersebut tidak bisa ditarik kecuali setelah selesai masa penyewaannya.

Di samping itu, pada umumnya, pemilik barang ketika meminjamkan barangnya


kepada orang lain, izin untuk menggunakan barang itu hanya ditujukan bagi si
peminjam semata, tidak untuk orang lain.

2.  Pendapat Kedua

Sedangkan ulama Malikiyyah membolehkan peminjam menyewakan barang


pinjaman kepada orang lain meskipun tanpa seizin dari pemilik barang.
363

Hal tersebut berdasarkan pemahaman mereka bahwa ‘ariyah itu adalah penyerahan
kepemilikan manfaat suatu benda (‫)تمليك المنفعة‬. Sehingga, selama kepemilikan itu
berada di tangan peminjam, dia boleh menggunakannya untuk keperluan apa pun
termasuk untuk disewakan kepada orang lain.

Di samping itu, menurut Malikiyyah, pemilik barang hanya boleh menarik barang
yang dipinjam pada saat jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan di awal. Sehingga
tidak masalah barang itu disewakan selama belum jatuh tempo.

H.   Hukum Meminjamkan Emas

Para ulama sepakat, boleh hukumnya meminjamkan emas jika digunakan untuk
perhiasan, atau untuk tujuan pameran dan lain sebagainya. Selama emas tersebut
tidak digunakan sebagai alat tukar yang habis pakai.

Namun, jika emas tersebut dipakai sebagai alat tukar sehingga emas tersebut tidak
lagi berwujud emas yang sama dengan pada saat dipinjam. Maka itu termasuk qardh

Fasal

Ghasab (Rampasan)

Berkata Syaikh Abu Syujak, barangsiapa yang mengdhasab (merampas) suatu harta,
dihukum agar dikembalikan harta itu dengan ganti rugi terhadap kekurangan harta
itu serta menanggung perongkosan kembali.’

Ghasab atau merampas hak orang lain termasuk dosa besar, moga-moga Allah
menyelamatkan kita dari melakukannya supaya kita terhindar dari kemurkaanNya.

Menurut bahasa ghasab adalah mengambil sesuatu secara paksa dan terang-terangan.
Sedangkan menurut istilah, ghasab berarti menguasai harta (hak) orang lain dengan
364

tanpa izin (melampaui batas). Ghasab ini dilakukan secara terang-terangan, hanya
saja tanpa sepengetahuan pemiliknya. Berbeda dengan pencurian yang memang
dilakukan secara diam-diam. Ghasab juga tidak harus berbentuk pada barang yang
konkret, hal yang abstrak seperti kemanfaatan juga masuk didalamnya. Mulai dari
duduk didepan teras rumah orang lain tanpa izin sampai numpang bercermin di kaca
spion motor milik orang lain.

Hal ini memang tidak mengurangi kualitas dan kuantitas barangnya secara langsung,
namun tetap saja kita telah mengambil manfaat dari barang yang dighasab. Karena
yang dimaksud ghasob secara definitive adalah mengambil manfaat suatu barang
tanpa idzin dari pemilik barang.

Hukum Melakukan Ghasab

Berdasarkan sejumlah ayat, hadis, dan pendapat ulama’, ghasab itu hukumnya
haram.  Dalam kitab Kifayatu al-Akhyar, pekerjaan ghasab pada salah satu dosa
besar. Adapun firman Allah Swt. yang menjadi rujukan hukum ghasab ini adalah
Surat Al-Baqarah [2]: 188,

َ‫ َوأَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬ ‫بِاإْل ِ ْث ِم‬ ‫اس‬ ِ ‫أَ ْم َو‬ ‫ ِم ْن‬ ‫فَ ِريقًا‬ ‫لِتَأْ ُكلُوا‬ ‫ ْال ُح َّك ِام‬ ‫بِهَا إِلَى‬ ‫ َوتُ ْدلُوا‬ ‫بِ ْالبَا ِط ِل‬ ‫بَ ْينَ ُك ْم‬ ‫أَ ْم َوالَ ُك ْم‬ ‫تَأْ ُكلُوا‬  ‫َواَل‬
ِ َّ‫الن‬ ‫ال‬

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain
itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

Imam At-Thabari dalam kitabnya (Jami’ul Bayan Fi tafsir Al-Qur’an Lith-thobari)


menjelaskan bahwa maksud kata memakan dengan batil dari ayat tersebut adalah
dengan cara memakan yang tidak diperbolehkan oleh Allah Swt.
365

Jadi, dapat ditarik simpulan bahwa ghasab (menggunakan milik orang lain tanpa
izin) berdasarkan ayat tersebut hukumnya haram dan sangat dilarang oleh Allah.
Entah ghasab pakaian, sandal, bantal, gayung, payung, dan barang-barang yang lain,
hukumnya sama-sama tidak boleh. Bahkan berdasarkan ayat tersebut ketika dilihat
dari kaca mata ushul fiqh maka ada 2 (dua) hal yang dapat kita simpulkan. Pertama,
larangan (nahyi) tersebut menunjukkan keharaman dari pekerjaan ghasab. Kedua,
larangan tersebut mewajibkan kita untuk menjahui perkara ghasab.

Lantas, bagaimana jika kita sudah terlanjur melakukan ghasab atau sudah terbiasa
dengannya? Maka, jawabannya segera bertobat dan berhenti dari kebiasaan ghasab.
Semua barang atau benda yang pernah kita ghasab harus dikembalikan dan meminta
maaf pada pemiliknya. Namun jika barang yang dighasab telah mengalami
kerusakan sebab pemakaian kita, maka hukumnya wajib mengganti sesuai kondisi
barang saat dighasab. Ini berdasarkan hadist Nabi Muhammad Saw yang terdapat
dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (Hal 227 Juz 14 versi Maktabah
Syamilah),

‫ فإذا أخذ أحدكم عصا أخيه فليردها‬،‫ال يأخذ أحدكم متاع أخيه العبا أو جادا‬

Janganlah diantara kalian mengambil barang milik saudaranya, baik secara main-
main atau sungguh-sungguh. Apabila salah satu dari kalian mengambil tongkat
milik saudaranya maka hendaklah ia mengembalikannya.

Pertama, pengertian dan batasan ghasab

‫الغصب هو االستيالء على حق الغير ماالً كان أو اختصاصا ً قهراً بغير حق‬

Ghasab adalah menguasai hak orang lain, baik bentuknya harta atau hak guna, yang
dilakukan secara paksa, tanpa alasan yang benar.

‫الغصب شامل لجميع األموال والمختصات‬


366

Ghasab berlaku untuk semua harta dan hak guna.

Ghasab hukumnya haram.

Kedua, batasan nanggung resiko

‫من‬ºº‫أن األموال التي غصبت فإنها تضمن إذا تلفت وأما المختصات فموضع خالف بين العلماء واألقرب أنها تض‬
‫ »ألن عندنا قاعدة« أن الغاصب يعامل بأضيق األمرين‬.

Harta yang dighasab, semua resiko kerusakan ditanggung orang yang mengghasab.
Sedangkan hak guna, ada perbedaan pendapat ulama. Dan pendapat yang kuat,
resiko tetap ditaggung yang ghasab. Berdasarkan kaidah: ‘Orang yang melakukan
ghasab, disikapi dengan keadaan yang paling berat baginya.’

‫ يجب رد العين المغصوبة ولو كلفت أضعاف القيمة‬: -‫وهذا الضابط على المذهب – مذهب الحنابلة‬

Batasan ini sesuai madzhab Hambali, orang yang ghasab, wajib mengembalikan
benda yang dighasab, meskipun dia harus memberikan ganti rugi berlipat-lipat.

‫بيت‬ºº‫ذا ال‬ºº‫ول يجب أن تنقض ه‬ºº‫ة أدوار نق‬ºº‫ه خمس‬ºº‫نى علي‬ºº‫بيت وب‬ºº‫اس ال‬º‫ه في أس‬ºº‫داً وجعل‬ºº‫ونفرض أنه غصب حدي‬
)‫ وتخرج الحديد وتعطيه صاحبه واستدلوا (ليس لعرق ظالم حق‬.

Sebagai contoh: Ada orang meng-ghasab besi. Kemudian dia gunakan untuk
membuat pondasi rumah. Di atas pondasi ini, dia membangun 5 rumah. Aturan yang
berlaku: wajib membongkar semua rumah ini, kemudian besinya dikeluarkan, dan
diberikan kepada pemilik. Ulama Hambali berdalil dengan hadis: ‘Hasil usaha dari
perbuatan orang dzalim, tidak ada hak.’

‫ا لمالكها‬ºº‫وم قيمته‬ºº‫ا يق‬ºº‫اء وإنم‬ºº‫أن ينقض البن‬ºº‫زم ب‬ºº‫ه ال يل‬ºº‫ا فإن‬ºº‫نى عليه‬ºº‫اجة ثم ب‬ºº‫ب الس‬ºº‫ إذا غص‬: ‫اني‬ºº‫ول الث‬ºº‫الق‬.
‫ ولهذا نقول يجب رد العين المغصوبة ما لم يترتب على ذلك ضرر فاحش‬.
367

Pendapat kedua mengatakan, apabila ada orang yang meng-ghasab beton, kemudian
dia gunakan untuk pondasi bangunan, tidak wajib baginya untuk merobohkan
bangunan. Dia hanya wajib mengganti rugi berupa uang senilai barang itu kepada
pemiliknya.

Berdasarkan pendapat ini, berarti wajib mengembalikan barang yang dighasab


selama tidak menyebabkan kerugian yang besar.

Ketiga, wajib mengembalikan semuanya

‫يجب على الغاصب رد زيادة المغصوب سواء كانت متصلة أو منفصلة‬

Orang yang ghasab wajib mengembalikan tambahan pada barang yang dighasab.
Baik tambahan itu melekat (nyambung) dengan barang yang dighasab, maupun
terpisah darinya.

Misalnya: orang ghasab kambing, kemudian kambing itu beranak. Maka kambing
dan anaknya wajib dikembalikan.

Keempat, pengurangan nilai juga ditanggung

‫عر‬ºººººººººººººººººººº‫و نقص الس‬ºººººººººººººººººººº‫ة ول‬ºººººººººººººººººººº‫ب نقص القيم‬ºººººººººººººººººººº‫من الغاص‬ºººººººººººººººººººº‫يض‬.


‫ غصب الكتاب وكانت قيمته تساوي مئة لاير وبعد ساعة أصبحت تساوي تسعون لاير فتقول أنه يضمن‬: ‫مثال‬

Orang yang ghasab wajib menanggung pengurangan nilai barang, meskipun


harganya turun.

Sebagai contoh, ada orang yang meng-ghasab kitab, yang harganya sekitar 100 real.
Setelah satu jam, harganya menjadi 90 real. Aturan yang berlaku: wajib ditanggung.

Kelima, ghasab tanah


368

‫ إذا غصب األرض وبنى عليها عمارة أو غرس فيها نخالً نقول يترتب عليها أمور إذا لم يتراضيا‬:

Apabila ada orang yang ghasab tanah, kemudian dia bangun properti di sana atau
ditanami pohon. Aturan yang berlaku, ada beberapa konsekuensi apabila tidak terjadi
kesepakatan,

1- ‫اقلع الغراس وانقض البناء‬

2- ‫يضمن النقص‬

3- ‫تسوية األرض‬

4- ‫عليه التوبة‬

5- ‫عليه األجرة‬

1. Mencabut pohon yang ditanam, atau membongkar bangunan yang dibangun

2. Mengganti rugi biaya penurunan nilai

3. Meratakan tanahnya

4. Wajib taubat

5. Wajib bayar nilai sewa tanah

Keenam, hasil benda yang di ghasab

‫إذا كسبت العين المغصوبة فالكسب للمالك وإن كسب الغاصب والعين المغصوبة وسيلة فالكسب للغاصب‬.

‫ غصب كلب صيد وصار به فالصيد للمالك لكن إذا غصب منجالً وقطع به شجراً فهي للغاصب‬: ‫مثال‬
369

Apabila benda yang dighasab diguakan untuk bekerja, maka hasilnya menjadi hak
pemilik benda. Dan apabila orang yang ghasab bekerja sementara benda yang
dighasab hanya sebagai wasilah, maka hasil kerja tetap menjadi mililk yang ghasab.

Sebagai contoh, seseorang meng-ghasab anjing buruan, dan dia gunakan untuk
berburu, maka hasil buruannya menjadi hak pemilik anjing. Namu jika dia ghasab
parang atau celurit, dan dia gunakan untuk menebang pohon, maka kayu tetap
menjadi milik yang ghasab.

‫ك‬ºº‫الم أن المال‬ºº‫ إن المالك مخير بين األجرة والكسب وهناك قول لشيخ اإلس‬: ‫ ذهب بعض أهل العلم‬: ‫القول الثاني‬
‫ الغاصب يشتركان في الكسب بقدر نفعهما‬.

Ada juga ulama yang berpendapat, pemilik benda yang dighasab memiliki hak pilih,
antara meminta biaya sewa barangnya yang dighasab atau merampas hasil pekerjaan
orang itu.

Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, bahwa pemilik dan
orang yang ghasab menjadi kongsi dalam usaha itu, yang nilainya sesuai
manfaatnya.

Ketujuh, konsekuensi memanfaatkan benda yang dighasab

‫ نسج الغزل نقول يلزمه أشياء‬: ‫مثال‬. ‫ إذا عمل الغاصب في العين المغصوبة‬.

1- ‫أن يرد العين المغصوبة‬

2- ‫ يرد النقص إن نقصت العين المغصوبة‬.

3- ‫ إذا زادت العين المغصوبة فالزيادة للمالك‬.

4- ‫ال أجرة على عمله‬


370

Apabila orang yang ghasab memanfaatkan benda yang dighasab untuk bekerja, maka
ada beberapa konsekuensi yang harus dia kerjakan,

1. Dia kembalikan benda yang dighasab

2. Dia mengembalikan nilai pengurangan benda yang dighasab

3. Jika harganya naik, tambahan harga menjadi hak pemilik

4. Tidak ada upah untuk pekerjaannya

Fasal

Syuf’at (Mengambil Alih)

Syaikh Abu Syujak berkata Syufa’at (mengambil alih) diwajibkan dalam harta
perkongsian, tidak pada harta yang bertetanggaan, yang merupakan harta yang boleh
dibagi, tidak pada harta yang tidka boleh dibagi dan juga pada harta yang tidak boleh
dipindahkan dari muakl bumi, seperti bangunan dan sebagainya.

Syuf’ah diambil dari kata dasar asy-syaf’i bermakna mengumpulkan. Dipahami dari
susunan kata syafa’tu asy-syaia’ yakni dhamamtuhu (saya mengumpulkan sesuatu).
Kata syafa’a al-adzân juga diambil dari kata dasar itu. Disebut demikian karena
syuf’ah adalah bagian hak milik seorang rekanan dikumpulkan ke bagian hak milik
syafi’ (orang yang mengadakan akad syuf’ah ).
371

Sedangkan menurut syariat, syuf’ah adalah kewenangan pengambilalihan hak


kepemilikan secara paksa oleh rekanan lama atas rekanan baru atas barang yang
dikuasai melalui tukar-menukar.

2. Pensyariatan Syuf’ah

Dasar hukum pensyariatan syuf’ah ialah hadits Imam Bukhari dan Imam Ahmad
melalui jalur Jabir bin Abdullah ra, dia berkata, “Rasulullah memutuskan akad
syuf’ah atas barang yang tidak dapat dibagi-bagi sehingga ketika batas-batas itu telah
dipastikan dan wa shurrifat aththuruq , tidak ada hak syuf’ah ,” maksudnya ketika
batas-batas barang jualan telah dibagi-bagi, dan dengan pembagian itu masing-
masing bagian yang telah diukur menjadi jelas, dan tempat pengalokasian barang
sudah diketahui dengan jelas. Sepertinya kata shurrifat diambil dari kata at-tashrif
atau at- tasharruf .

Dengan demikian, hak syuf’ah hanya dimiliki akibat terjadinya pembauran (syarikat)
hak milik, bukan karena berdampingan. Pernyataan ini merupakan pendapat
mayoritas ulama selain ulama Madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa hak syuf’ah
juga dimiliki akibat adanya hak milik yang berdampingan.

3. Hukum Syuf’ah

ialah kewenangan pengambilalihan kepemilikan barang jualan ketika barang berupa


tanah pekarangan dan barang yang ada di permukaannya seperti bangunan,
pepohonan, dan buahnya yang tidak terawat, karena diikutsertakan dengan tanah.
Oleh karena itu, hak syuf’ah tidak diberlakukan dalam barang bergerak seperti
hewan, dan berbagai jenis kain, sesuai dengan hadits yang telah dikemukakan.
Karena barang bergerak tidak langgeng, berbeda dengan barang tak bergerak seperti
pekarangan, dan dampak kerugian akibat persekutuan bersifat kontinu.
372

Hadits lain melalui Jabir, “Rasulullah menetapkan akad syuf’ah di setiap


persyarikatan yang tidak dapat dibagi-bagi, rumah (rab’ah) atau pagar keliling
perkebunan, bagi seorang pemilik tidak diperkenankan menjual, kecuali rekanannya
mengizinkan, sehingga apabila dia menghendaki, dia berhak menariknya, dan
apabila dia menghendaki, dia boleh membiarkannya sehingga apabila dia telah
menjualnya, sementara rekanannya tidak mengizinkan, rekanan itu lebih berhak
mendapatkan barang tersebut.”

Hikmah disyariatkannya syuf’ah ialah menghindari dampak kerugian akibat


persyarikatan, dan dampak kerugian yang timbul dari biaya pembagian, atau
kerugian akibat pengadaan perlengkapan misalnya pembuatan lift, lampu
penerangan, dan selokan dalam bagian hak milik yang didesain demikian.

Syaikh Izzuddin bin Abdussalam berkata, “Pengampunan dari syuf’ah lebih utama
kecuali pembeli menyesal atau merugi.”

Dalam berbagai kitab karangan fuqaha, syuf’ah diulas setelah pembahasan ghashab
karena syuf’ah mengambil alih secara paksa, seakan-akan syuf’ah itu merupakan
bentuk pengecualian dari pengambilan kekayaan orang lain secara paksa yang
diharamkan, dan syuf’ah merupakan salah satu bentuk pengambilalihan hak
kepemilikan secara paksa.

Rukun syuf’ah ada tiga macam: barang yang diambilalih ( masyfu’ fih ), pengambil (
syafi’ ), dan orang yang diambil haknya ( masyfu’ ‘alaih ), dan ditambah rukun
keempat, yaitu shighat , dan Shighat hanya wajib dalam penyerahan hak milik.

4. Objek Akad Syuf’ah

Syuf’ah ditetapkan hanya dalam barang tak bergerak (yaitu suatu barang yang
menurut adat tidak dapat dipindahkan seperti tanah, bangunan dan pepohonan yang
diikutsertakan dengan tanah tersebut), dan setiap bagian dari tanah yang menjadi
373

milik bersama yang memungkinkan untuk dibagi. Syuf’ah tidak berlaku atas barang
bergerak (yaitu barang yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain serta
kondisi dan bentuk barang tetap utuh, seperti barang dagangan, perlengkapan rumah
tangga, kain, hewan, dan lain sebagainya). Sebuah kamar dan segala hal yang tidak
dapat dibagi-bagi, seperti kamar mandi, gilingan, bagian atas kamar yang dijual
tanpa mengikutkan pondasinya, dan rumah yang relatif kecil, tidak berlaku dalam
kepemilikan. Hal ini sesuai dengan komentar sahabat Utsman ra, “ Syuf’ah tidak
diberlakukan dalam kepemilikan sumur.”

Syuf’ah berlaku atas bangunan dan kebun apabila dijual bersamaan dengan tanah.
Namun, jika dijual tersendiri, akad syuf’ah tidak dapat diberlakukan.

Syuf’ah dapat diberlakukan dalam kepemilikan berupa jalan setapak atau jalan yang
lebar sekiranya jalan itu dapat dibagi-bagi, sementara rumah yang dijual mempunyai
jalan yang lain. Karena jalan tersebut merupakan tanah milik bersama yang dapat
dibagi-bagi, dan tidak ada dampak kerugian yang menimpa seseorang dalam hal
pengambilalihan hak atas jalan itu melalui syuf’ah , sehingga status jalan tersebut
serupa dengan hak milik selain jalan.

Syuf’ah tidak dapat diberlakukan terhadap jalan yang sempit. Ilustrasinya ketika
jalan itu dibagi-bagi, masing-masing dan kedua rekanan tidak mendapat jalan
menuju hak miliknya melalui jalan sempit tersebut.

Syuf’ah diberlakukan ketika pembeli menerima sebagian hak milik dengan sistem
tukar-menukar, dengan kepemilikan yang didahului oleh kepemilikan syafi’ ,
sehingga seorang rekanan atau para rekanan berwenang mengambil alih sebagian
hak milik itu sesuai dengan kadar bagiannya masing-masing dengan nilai tukar yang
telah ditetapkan dalam akad. Pernyataan yang dibenarkan terkait kadar besaran nilai
tukar ialah pernyataan pembeli.
374

Contoh barang yang dapat dimiliki dengan sistem tukar-menukar ialah barang
jualan, meskipun masih dalam masa khiyar yang menjadi milik pihak pembeli.
Barang Jualan merupakan barang yang dimiliki dengan sistem tukar-menukar murni,
sedangkan maskawin merupakan barang yang dapat dimiliki dengan sistem tukar-
menukar tidak murni, uang pengganti khulu’ , uang pengganti dalam mediasi yang
berhubungan dengan jiwa dalam tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, uang
sewa manfaat, dan harga pokok pemesanan barang.

Ketika uang pengganti itu merupakan balasan atas hibah , atau situasi tentang adanya
persyaratan khiyar yang berhubungan dengan nilai tukar itu menjadi hak penjual,
atau hak penjual sekaligus pembeli, atau uang pengganti itu telah menjadi milik
syafi’setelah adanya tukar-menukar, maka syafi’ tidak memiliki hak syuf’ah .

• Kesimpulan

Ketika hak milik nyata-nyata telah dibagi-bagi, atau bangunan dan kebun dijual
terpisah dari tanah, atau nilai guna barang jualan yang menjadi tujuan termasuk
kategori barang yang hilang akibat dibagi-bagi, misalnya sumur dan jalan setapak,
atau barang yang dimiliki tanpa proses tukar menukar seperti barang yang
dihibahkan, atau barang yang tidak diketahui besaran harganya, misalnya sebagian
uang pembelian telah rusak sebelum diserahkan, dan kadar sebagian barang tidak
diketahui, atau barang yang dijual dengan harga borongan, dan uang penjualan rusak
sebelum diketahui kadarnya, maka dalam semua kasus yang telah diutarakan itu
tidak dapat diberlakukan syuf’ah .

Apabila pembeli menemukan kecacatan yang menimpa bagian hak milik yang dijual,
dan dia menghendaki mengembalikan barang akibat cacat, sementara itu syafi’
menghendaki pengambilalihan barang melalui syuf’ah , serta dia rela dengan kondisi
barang yang cacat, menurut pendapat azhar, keinginan syafi’ harus dipenuhi,
sehingga hak syuf’ah yang menjadi kewenangannya tidak batal, karena haknya itu
375

mendahului hak pembeli. Sebab, haknya ada akibat penjualan, sedangkan hak
pembeli dalam mengembalikan barang akibat cacat ada disebabkan melihat
kecacatan tersebut.

Apabila ada dua orang melakukan pembelian sebuah rumah atau sebagian rumah,
maka salah seorang dari mereka tidak memiliki hak syuf’ah terhadap pihak lain,
karena mereka memperoleh hak milik tersebut dalam kurun waktu yang sama.

Apabila barang yang dijual milik bersama antara tiga orang, menurut pendapat ashah
, rekanan yang berstatus sebagai pembeli bagian hak milik rekanannya berwenang
menarik bagian barang miliknya yang dijual, dalam contoh ini adalah sepertiga
bagian. Tidak hanya itu, bahkan dia berwenang menarik bagian miliknya yang
diperoleh dari rekanannya, dalam contoh ini adalah seperenam bagian, karena posisi
pembeli dengan syafi’ setara.

5. Shighat dan Pelaksanaan Syuf’ah

a. Shighat yang Dianjurkan

Shighat ( ijab qabul ) hanya wajib dilakukan pada saat penyerahan hak milik antara
pembeli dan syafi’ . Misalnya syafi’ berkata, “Saya menerima hak milik tersebut,
atau saya mengambil alih hak milik itu melalui syuf’ah ” dan pembeli menerima hal
tersebut. syafi’ dapat memiliki masyfu’ fih dengan cara mengambilalihnya, karena
hak syuf’ah merupakan proses memperoleh hak milik atas kekayaan secara paksa,
sama seperti memperoleh hak milik atas barang yang mubah. Dalam proses
memperoleh hak milik tidak ditetapkan hak khiyar syarat , karena masyfu’ fih
diambil alih dengan paksa, sehingga tidak dapat dibenarkan mengajukan khiyar
syarat . Bahkan an-Nawawi men shahih kan, bahwasannya khiyar majelis juga tidak
berlaku.
376

Shighat ini harus diucapkan oleh syafi’ , seperti penjelasan yang telah dikemukakan.
Ucapan Shighat itu disyaratkan adakalanya pada saat menyerahkan uang pengganti
terhadap pembeli atau pelepasan antara hak milik dengan pembeli jika dia menolak
menerima uang pengganti, atau hakim memaksa pembeli agar menerima uang
pengganti; adakalanya pembeli merelakan uang pengganti tetap berada dalam
tanggungan syafi’ jika uang pengganti tidak mengandung riba.

Menurut pendapat ashah adakalanya hak syuf’ah diperoleh melalui putusan hakim,


sehingga pada saat situasi demikian syafi’ dapat memiliki bagian hak milik melalui
secara legal. Karena pertimbangan perolehan hak milik menjadi kuat melalui
keputusan hakim.

Menurut al-madzhab, syafi’ tidak dapat menguasai bagian hak milik yang belum
pernah dilihatnya, karena menjual barang yang tidak terlihat tidak dibenarkan.

b. Alat Tukar untuk Mengambil Alih Bagian Hak MiIik yang Dijual

Alat tukar adakalanya memiliki padanan dan ada pula berupa taksiran harga. Jika
alat tukar berupa padanan, seperti takaran dan timbangan, syafi’ dapat mengambil
alih bagian hak milik itu menggunakan alat tukar yang sepadan dengannya. Apabila
alat tukar berupa taksiran harga, seperti barang dagangan, kain, dan berbagai jenis
perkakas rumah tangga, syafi’ dapat mengambilalihnya menggunakan harga yang
setara pada saat penjualan.

Menurut pendapat qaul jadid, apabila alat tukar yang dipergunakan dalam pembelian
dibayar dengan sistem kredit, syafi’ berhak menentukan pilihan antara membayar
uang pembelian secara cash serta mengambil alih barang yang dijual tersebut
seketika itu juga. Atau, dia bisa menunggu sampai masa pelunasan tiba, guna
menghindari dampak kerugian yang menimpa pembeli andaikan kita
membenarkan syafi’ mengambil alih secara jatuh tempo, dan harga dibayar tunai.
377

Atau, dampak kerugian menimpa syafi’ apabila kita mengharuskan syafi’ mengambil


alih barang seketika itu juga, sementara harga ditangguhkan pembayarannya hingga
masa tertentu.

Apabila bagian dari barang tak bergerak seperti pekarangan dijual beserta barang
lain yang tidak dapat diberlakukan syuf’ah dari jenis barang bergerak seperti
tambang emas dan perak, atau tanah lain yang tidak dapat diberlakukan syuf’ah ,
syafi’ berwenang mengambil alih bagian hak milik sesuai besaran harga pembelian
dengan mempertimbangkan harga pada saat pembelian, karena waktu pembelian itu
merupakan waktu pertukaran antara masyfu’ fih dengan lainnya.

Apabila uang pengganti berupa maskawin atau pengganti khulu’ , syafi’ wajib
membayar mahar mitsli terhadap seorang perempuan pada waktu menikahinya, atau
pada waktu khulu’ yang dilakukan oleh seorang istri, baik nilai maskawin itu lebih
kecil atau lebih besar daripada harga barang.

Ketika seseorang membeli suatu barang dengan alat tukar secara borongan (baik
berupa barang berharga atau bukan seperti barang yang diukur atau ditakar), dan alat
tukar mengalami kerusakan sebelum kadarnya diketahui, maka dia dilarang
mengambil alih barang dengan syuf’ah , karena kesulitan menetapkan besaran alat
tukar, dan pengambilalihan barang yang tidak diketahui harganya tidak mungkin
terjadi. Sehingga ketika syafi’ menentukan besaran harga bagian hak milik yang
dijual, misalnya dia berkata terhadap pembeli “Saya membelinya seharga 100
dirham,” dan pembeli menjawab, “Nilai tukar barang itu kadarnya tidak diketahui,”
pembeli dimohon untuk melakukan sumpah tentang tidak diketahuinya besaran nilai
tukar. Sebab, pada dasarnya dia tidak mengetahui besaran nilai tukar tersebut.

Menurut pendapat ashah , apabila syafi’ menggugat pembeli yang mengetahui


besaran nilai tukar, sementara dia tidak menentukan besaran nilai tukar terhadap
378

pembeli, gugatannya tidak dapat dikabulkan, karena dia tidak menggugat hak
miliknya.

c. Kepastian Pengambilalihan Hak Milik melalui Syuf’ah

Ketika bagian hak milik sudah diketahui, lalu Pemilik yang berstatus sebagai
rekanan menjadikan bagian hak miliknya sebagai maskawin yang besarannya tidak
diketahui, calon istri berhak memperoleh mahar mitsli, dan dia tidak memiliki hak
syuf’ah , karena barang yang telah dijadikan maskawin besarannya tidak diketahui.

Ketika nilai tukar telah dipastikan menjadi hak milik seseorang selain pembeli
melalui saksi atau pembenaran dari pihak penjual, pembeli, dan syafi’ -apabila nilai
tukar telah ditentukan besarannya, misalnya dia membeli dengan 100 dirham
tersebut- maka hukum jual beli dan syuf’ah jelas batal, karena syuf’ah bergantung
terhadap jual beli tersebut.

Apabila nilai tukar berada dalam tanggungan pembeli, dan dia telah menyerahkan
nilai tukar itu, lalu hak atas nilai tukar yang telah diserahkan itu telah berpindah,
maka nilai tukar yang telah diserahkan itu diganti, yakni diganti dengan nilai tukar
yang lain. Jual beli dan syuf’ah tetap terus dilakukan, karena pemberian nilai tukar
oleh pembeli sebagai pengganti nilai tukar yang berada dalam tanggungan tidak
sesuai tempatnya sehingga keberadaan nilai tukar pengganti sama seperti tidak ada
pergantian nilai tukar.

Apabila syafi’ telah menyerahkan nilai tukar yang hak kepemilikannya telah
berpindah terhadap seseorang selain syafi’ , hak syuf’ah dipastikan tidak batal
apabila dia tidak mengetahui bahwa nilai tukar hak kepemilikan telah berpindah
terhadap seseorang selain syafi’ . Misalnya nilai tukar serupa dengan kekayaan
miliknya di mata syafi’ , dia harus menggantinya. Begitu juga jika dia mengetahui
nilai tukar hak kepemilikan telah berpindah, menurut pendapat ashah , hak syuf’ah
379

tidak batal. Demikian itu, apabila bentuk nilai tukar telah ditentukan, misalnya dia
berkata, “Saya menerima hak kepemilikan atas bagian hak milik ini dengan beberapa
dirham ini.” Sebab, dia tidak melakukan kelalaian dalam menuntut syuf’ah dan
pengambilalihan hak milik.

Walhasil syafi’ berwenang mengambil alih barang yang dijual dengan nilai tukar
yang dipergunakan pada saat akad jual beli dilakukan.

d. Pelaksanaan Permohonan Hak Syuf’ah

Menurut pendapat yang azhar, permohonan syuf’ah dilakukan seketika itu juga


setelah syafi’ mengetahui adanya jual beli. Sesuai dengan hadits, “ Syuf’ah sama
seperti melepas tali Pengikat , ” dan hadits, “ Seseorang yang memiliki hak syuf ‘ah
harus segera melaksanakannya. “

Syuf’ah merupakan hak yang ditetapkan untuk menghindari dampak kerugian


sehingga harus dilakukan seketika itu juga, seperti halnya pengembalian barang
akibat cacat. Ketika syafi’ telah mengetahui terjadinya Penjualan, dia harus segera
melakukan pembelian dengan mengajukan permohonan syuf’ah sesuai dengan adat
yang berlaku. Sebab tindakan yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai
bentuk kelalaian atau penundaan dapat menggugurkan hak syuf’ah . Sedangkan
tindakan yang tidak dianggap demikian tidak dapat menggugurkan hak syuf’ah . Hal
ini terjadi ketika syafi’ menunda permohonan syuf’ah padahal dia mampu
melakukannya, maka hak syuf’ah batal.

Apabila syafi’ memiliki udzur, misalnya sakit sehingga menghalangi permohonan


syuf’ah -bukan sekadar sakit kepala ringan- atau dia berstatus tahanan kriminal dan
atau terjerat utang, sementara dia dalam situasi melarat dan tidak mampu
mendatangkan keterangan saksi, atau dia jauh dari tempat tinggal pembeli dengan
jarak logis yang menghalangi dirinya untuk melaksanakan tuntutan syuf’ah , atau dia
380

takut terhadap ancaman musuh syafi’ hendaknya mengirim perwakilan dalam


melaksanakan permohonan syuf’ah jika dia mampu mengirim wakil dalam
mengatasi hal tersebut. Karena hal itu yang mungkin dapat dilakukan.

Apabila dia tidak mampu mengirim wakil, hendaklah dia memberi kesaksian tentang
permohonan syuf’ah di hadapan dua orang lelaki adil, atau seorang lelaki adil
ditambah dua orang perempuan. Karena, sebagian hakim pengikut Madzhab Hanafi
tidak berani memutuskan suatu perkara hanya dengan seorang lelaki untuk
melakukan sumpah bersamanya, sehingga dia tidak dapat menguatkan diri syafi’ .

Apabila syafi’ mengabaikan hal di atas, maka menurut pendapat azhar, hak syuf’ah
nya menjadi batal, karena dia telah melakukan kelalaian. Kepasifan syafi’ menjadi
indicator kerelaan syafi’ meninggalkan syuf’ah .

Apabila pemilik hak syuf’ah sedang shalat, berada di kamar mandi, sedang makan,
atau membuang hajat, dia boleh meneruskan hajatnya, dan dia tidak boleh dipaksa
untuk menghentikan hajatnya tersebut.

Jika dia menunda permohonan melakukan syuf’ah , dan dia berkata “Saya tidak
percaya terhadap pembawa berita tentang penjualan bagian hak milik oleh
rekanannya,” maka dia dipastikan tidak mempunyai ruang untuk beralasan jika hal
itu diceritakan oleh dua orang lelaki yang adil atau seorang lelaki yang adil ditambah
dua orang perempuan. Karena kesaksian mereka merupakan kesaksian yang dapat
diterima. Begitu juga ketika dia mendapat berita dari orang yang tepercaya, menurut
pendapat ashah , karena penjualan itu berupa berita, sementara berita dari orang yang
tepercaya dapat diterima. Dia boleh beralasan jika berita yang sampai kepadanya
berasal dari seseorang yang tidak dapat dibenarkan beritanya, seperti orang fasik dan
anak-anak, karena dia memiliki udzur.
381

Apabila syafi’ menerima berita penjualan barang sebesar 1000 dirham misalnya, lalu
dia mengabaikan permohonan syuf’ah , ternyata kenyataan penjualan itu lebih kecil,
misalnya hanya 500 dirham, maka syafi’ tetap memiliki hak syuf’ah , karena
pengabaian berita bukan karena zuhud, tetapi syafi’ berharap agar harga bertambah
mahal, sehingga syafi’ tidak layak disebut orang yang lalai.

Jika ternyata penjualan lebih tinggi daripada harga yang diceritakan kepadanya, atau
dia menerima berita penjualan semua bagian sebesar 1000 dirham, ternyata dia
hanya menjual sebagian barang sebesar 1000 dirham, maka haknya batal, karena
ketika dia senang dengan harga yang lebih kecil, dia akan lebih senang lagi dengan
harga yang lebih tinggi.

Haknya juga batal ketika dia menerima berita tentang penjualan bagian hak milik
sebesar sekian dirham dengan sistem kredit, lalu dia mengabaikannya, ternyata nilai
tukar dibayar tunai, karena nilai tukar mungkin saja dibayar tunai jika dia
menginginkannya.

Apabila syafi’ bertemu pembeli, lalu dia mengucapkan salam kepadanya dan
berkata, “Semoga Allah memberkahi kesepakatan bisnismu” maka haknya tidak
batal. Karena mengucapkan salam hukumnya sunah dan dia berdoa dengan
keberkahan itu agar dia memperoleh kesepakatan bisnis yang diberkahi.

Apabila syafi’ menjual atau menghibahkan bagian hakmiliknya dalam kondisi tidak
mengetahui adanya hak syuf’ah , menurut pendapat ashah , hak syuf’ah batal karena
telah kehilangan faktor syuf’ah , yakni adanya persekutuan.

Di dalam menerima hak kepemilikan melalui syuf’ah tidak harus menunggu


keputusan dari hakim, karena syuf’ah ditetapkan berdasarkan hadits Nabi dan ijma’
ulama. Begitu pula dengan menghadirkan nilai tukar, pembeli, dan kerelaannya,
tidak menjadi persyaratan syuf’ah , sama seperti pengembalian barang akibat cacat.
382

e. Berbagai Tindakan Pembeli Terkait Masyfu’ fih dan Hal yang Menimpanya

Apabila pembeli telah mengelola bagian hak miliknya, misalnya dia mendirikan
bangunan, atau berkebun di atas bagian hak miliknya, syafi’ dituntut menentukan
pilihan antara mengambil alih kepemilikan atas barang yang telah dibangunnya
dengan nilai tukar yang setara, dan membongkar barang yang telah didirikannya atau
yang telah ditanamnya serta menanggung pengganti kekurangan yang menimpa
tanah akibat pembongkaran tersebut.

syafi’ berwenang membatalkan sesuatu yang di dalamnya tidak dapat diberlakukan


syuf’ah , misalnya wakaf. Di antaranya barang tersebut dibuat masjid hibah dan
menyewakannya, lalu dia mengambil alih melalui syuf’ah , karena haknya yang
berkenaan dengan barang yang dijual tetap utuh serta keberadaannya lebih dulu
dibandingkan tindakan tersebut, sehingga haknya tidak batal hanya karena adanya
tindakan semacam ini.

Dalam ibarat lain disampaikan, apabila pembeli menghibahkan, mewakafkan,


menjual, atau mengembalikan bagian hak miliknya akibat cacat, syafi’ berwenang
membatalkan perbuatan hukum pembeli tersebut dan dia berwenang mengambil alih
barang dari pembeli kedua dengan menggunakan alat tukar yang dipergunakan pada
saat pembelian, sehingga dia dituntut menentukan pilihan antara mengambil alih
dengan Jual beli kedua, atau membatalkan penjualan dengan cara mengambil alih
melalui syuf’ah , dan dia mengambil alih dengan jual beli pertama. Karena hukum
kedua perbuatan itu sah, yakni perbuatan hukum pembeli yang telah disebutkan,
karena perbuatan hukum itu secara kebetulan berkenaan dengan hak miliknya, sama
seperti perbuatan hukum seorang anak yang berkenaan dengan sesuatu yang telah
dihibahkan oleh ayahnya terhadap dirinya.

Sedangkan apabila masyfu’ fih tiba-tiba mengalami pertambahan yang tidak dapat
dipisahkan di tangan pembeli sebelum syafi’ mengambil alihnya, seperti dahan
383

ketika memanjang dan mengembang, syafi’ berwenang mengambil alih barang


beserta pertambahannya, karena sesuatu yang tak terpisahkan turut serta dengan
pangkalnya dalam kepemilikan, sama seperti turut sertanya dalam pengembalian
barang akibat cacat.

Apabila pertambahan itu dapat dipisahkan -seperti buah misalnya- dan buah itu
terlihat dengan jelas, syafi’ mempunyai hak memiliki buah tersebut, karena buah
yang terlihat dengan jelas tidak turut serta dengan pangkalnya. Apabila buah tidak
terlihat dengan Jelas, menurut pendapat qaul jadid, buah tersebut tidak turut serta
pangkalnya, karena hal tersebut merupakan pengambilalihan hak tanpa ada unsur
saling merelakan, sehingga syafi’ tidak berwenang mengambil alih barang, kecuali
sesuatu yang telah disepakati pada saat akad.

6. Persaingan dan Sengketa Syuf’ah

a. Persaingan Para Pemegang Hak Syuf’ah

Apabila pemegang hak syuf’ah terdiri dari sekelompok orang, mereka dapat
mengambil alih sesuai dengan bagian atau kepemilikan masing-masing. Karena
Pengambilalihan itu merupakan kewenangan yang diperoleh melalui kepemilikan.
Hak itu dibagi-bagi sesuai besaran kepemilikan, sama seperti uang sewa dan buah,
karena masing-masing pemilik berwenang mengambil alih sesuai besaran
kepemilikannya dari uang sewa dan buah.

Apabila salah seorang dari kedua rekanan menjual separuh miliknya terhadap si A,
kemudian sisanya dijual terhadap si B, maka hak syuf’ah untuk separuh pertama (si
A) menjadi milik rekanan lama. Menurut pendapat ashah , jika rekanan lama dapat
merelakan dari separuh pertama (si A) pasca penjualan separuh kedua (si B),
pembeli pertama (si A) bersekutu dengan rekanan lama dalam separuh kedua (si B).
Karena, kepemilikan pembeli pertama (si A) lebih lulu dibandingkan penjualan
384

kedua (si B). Hak pembeli pertama (si A) tetap utuh akibat pengampunan rekanan
lama dari separuh pertama, sehingga dia mempunyai hak untuk bersekutu dengan
rekanan lama. Apabila rekanan lama tidak mengampuni dari separuh hak milik yang
dibelinya, bahkan dia mengambil alih hak milik itu darinya, pembeli pertama (si A)
tidak bersekutu dengan rekanan lama, karena dia telah kehilangan kepemilikan.

Kata “kemudian” menunjukkan bahwa masalah ini terjadi ketika kedua penjualan itu
dilakukan secara berurutan. Apabila kedua penjualan itu dilakukan secara
bersamaan, sudah diketahui jawabannya bahwa hak syuf’ah menjadi milik bersama,
khususnya pembeli pertama.

Menurut pendapat ashah , apabila salah seorang dari kedua orang yang memiliki hak
syuf’ah memberi ampunan, haknya gugur, dan syafi’ yang lain diperkenankan
memilih antara mengumpulkan semua dan meninggalkan semuanya. Dia tidak dapat
dibenarkan hanya mengambil miliknya saja, supaya akad yang dilakukan pembeli
tidak terpecah-pecah.

Menurut pendapat ashah , ketika syafi’ menggugurkan sebagian haknya, seluruh


haknya menjadi gugur, sama seperti qishas. Andaikan kedua pemegang hak syuf’ah
datang sendirian, dia berhak mengambil alih semua hak milik seketika itu juga,
ketika tiba-tiba pemegang hak syuf’ah yang lain datang, dia bersekutu dengannya.
Menurut pendapat ashah syafi’ yang hadir lebih dulu boleh menunda
pengambilalihan hak milik sampai syafi’ yang belum hadir tiba.

Apabila ada dua orang yang melakukan pembelian bagian milik dari satu orang,
syafi’ berwenang mengambil alih bagian milik mereka berdua atau hanya
mengambil alih bagian salah satunya, karena dia tidak boleh memisah akad.

Menurut pendapat ashah , apabila ada satu orang melakukan pembelian bagian milik
dari dua orang, syafi’ berwenang mengambil alih bagian salah seorang dari kedua
385

penjual tersebut. Sebab, jumlah akad tergantung jumlahnya penjual sehingga kasus
ini seperti ketika seseorang memiliki sebuah barang dengan dua akad.

b. Mediasi Hak Syuf’ah

Mediasi hak syuf’ah hukumnya tidak sah dalam situasi apa pun, seperti
pengembalian barang karena cacat. Hak syuf’ah miliknya batal apabila dia
mengetahui bahwa mediasi itu hukumnya batal. Apabila dia melakukan mediasi
dengan meninggaikan hak syuf’ah yang termuat dalam keseluruhan hak milik
dengan mengambil alih sebagian hak milik, mediasi hukumnya batal, karena syuf’ah
tidak dapat ditukar dengan uang pengganti, dan hak syuf’ah yang dimilikinya batal
jika dia mengetahui bahwa mediasi itu hukumnya batal. Jika tidak demikian maka
syuf’ah tidak batal.

c. Berakhirnya Syuf’ah

Hak syuf’ah tidak gugur akibat syafi’ meninggal dunia, dan hak pengambilalihan
melalui syuf’ah berpindah ke tangan ahli warisnya. Jika sebagian dari mereka
mengampuni, sebagian ahli waris yang lain berwenang mengambil alih keseluruhan
hak milik. Mereka tidak dibenarkan hanya mengambil alih milik yang khusus
menjadi bagian mereka, atau mereka meninggalkan pengambilalihan melalui syuf’ah
.

Hak syuf’ah menjadi gugur dalam situasi seperti di bawah ini.

Pertama, terjadi penundaan permohonan syuf’ah , dengan mempertimbangkan hal-


hal pokok yang ditetapkan dalam bagian inti dari pembahasan tentang pelaksanaan
syuf’ah .
386

Kedua, pengunduran diri syafi’ dari permohonan hak syuf’ah , baik secara konkret;
misalnya dia berkata, “Saya tidak tertarik melakukan syuf’ah ,” atau secara tersirat,
misalnya dia meninggalkan tuntutan syuf’ah seketika itu juga tanpa disertai udzur.

Ketiga, syafi’ telah menjual barang tak bergerak yang dimilikinya sebelum
keputusan hak syuf’ah menjadi miliknya, atau sebelum rekanan menjual bagian
miliknya. Sebab, faktor yang memberi kewenangan melakukan syuf’ah telah hilang,
yakni kepemilikan yang ditakutkan menimbulkan dampak yang merugikan. Syafi’
tidak dibenarkan mewakilkan penjualan hak miliknya terhadap orang lain yang dapat
menggugurkan hak syuf’ah , sebagaimana penjelasan yang telah dikemukakan.

Keempat, masyfu’ fih telah dibagi-bagi, karena hak syuf’ah merupakan kewenangan


yang tidak dapat dibagi-bagi, guna menghindari dampak kerugian yang menimpa
pembeli akibat adanya pemilahan akad, yakni terpecah-pecahnya akad.

d. Persengketaan dalam Syuf’ah

Persengketaan antara kedua rekanan mungkin terjadi dalam berbagai hal, di


antaranya sebagai berikut.

1) Persengketaan Jenis Hak Milik

Ketika dua rekanan bersengketa dalam kasus kepemilikan rumah, salah seorang dari
mereka menggugat rekanan yang lain dengan mengklaim telah membeli bagian hak
miliknya, dan rekanan yang lain berkata, “Tidak demikian, tetapi kamu telah
mewariskannya, atau menghibahkannya, sehingga kamu tidak mempunyai hak
syuf’ah ,” maka pernyataan yang dapat dibenarkan adalah pernyataan penggugat
dengan disertai sumpah. Karena, dia menggugat tentang perolehan hak milik
melalui syuf’ah terhadap tergugat sehingga pernyataan dia yang dibenarkan. Hal ini
sama seperti kasus ketika dia menggugat bagian miliknya terhadap pihak lain tanpa
melalui syuf’ah .
387

2) Persengketaan Tanggal Kepemilikan

Apabila salah seorang dari kedua rekanan menggugat rekanannya bahwa dia telah
membeli bagian hak miliknya setelah dia menjualnya, sehingga dia berwenang
mengambil alih melalui syuf’ah, maka masing-masing gugatan dari kedua pihak
dapat dibenarkan dengan disertai sumpah. Karena masing-masing pihak berstatus
sebagai tergugat, dan masing-masing menggugat tentang perolehan hak miliknya
melalui syuf’ah , sehingga pernyataan yang dapat dibenarkan adalah keduanya.
Namun, apabila salah seorang dari kedua rekanan lebih dulu mengajukan gugatan
dan penggugat telah melakukan sumpah, barang tersebut tetap menjadi miliknya.
Kemudian jika orang yang telah bersumpah menggugat pihak lain, dan jika pihak
lain juga bersumpah, maka barang tersebut juga tetap menjadi miliknya. Apabila
tergugat menolak untuk bersumpah, sumpah dikembalikan kepada penggugat.

3) Persengketaan Besaran Nilai Tukar, Terjadinya Pembelian, atau Kepemilikan


Lebih Awal

Apabila Pembeli dan syafi’ bersengketa dalam hal besaran nilai tukar, maka
pembelilah yang dibenarkan dengan disertai sumpah, karena dia lebih mengerti
dengan tindakan yang dilakukannya dibandingkan syafi’ .

Begitu juga Pembeli dapat dibenarkan dengan disertai sumpah ketika dia
mengingkari pembelian bagian hak milik. Misalnya dia berkata, “Saya tidak pernah
membelinya,” atau dia mengingkari bahwa pemohon hak syuf’ah bukan rekanannya,
atau kepemilikannya lebih awal daripada kepemilikan pembeli. Pembeli juga dapat
dibenarkan dengan disertai sumpah, karena pada dasarnya perbuatan hukum tersebut
tidak ada.

Apabila rekanan lama mengakui, sementara dia berstatus sebagai penjual dengan
penjualan terhadap pembeli yang mengingkari pembelian, dan masyfu’ fih berada di
388

tangannya, atau di tangan pembeli, dan dia berkata bahwa masyfu’ fih merupakan
titipan terhadapnya, pinjaman,atau barang lainnya, menurut pendapat ashah, syafi’
tetap memiliki hak syuf’ah (Pemohon bagian atau sepotong hak milik). Karena,
pengakuan penjual mengandung kepastian hak pembeli sekaligus syafi’ , sehingga
hak syafi’ tidak batal hanya karena pembeli mengingkarinya, sebagaimana
pengingkaran syafi’ tidak membatalkan hak pembeli.

Nilai tukar diserahkan kepada penjual apabila dia tidak mengaku menerimanya dari
penjual. Namun apabila dia mengakui telah menerima nilai tukar dari pembeli
menurut pendapat ashah , nilai tukar dibiarkan berada di tangan syafi’ .

4 Persengketaan Rusaknya Nilai Tukar yang Berwujud Barang

Apabila ada seseorang membeli bagian hak milik dengan nilai tukar berupa barang
niaga (barang dagangan atau perlengkapan rumah), lalu barang tersebut rusak
sementara pembeli dan syafi’ bersengketa dalam hal besaran nilai tukar, maka
pernyataan yang dapat dibenarkan adalah pernyataan Pembeli. Karena bagian itu
telah menjadi hak miliknya. Tidak ada alasan untuk mencabut hak miliknya hanya
karena pernyataan penggugat.

Fasal

Qiradh

Berkata Syaikh Abu Syujak, dibolehkan Qiradh (pinjaman Kongsi) dengan empat
syarat : hendaklah qiradh itu berupa uang tunai dirham atau dinar, hendaklah pemilik
uang tersebut memberi kuasa penuh untuk tasharruf (tindakan jual beli) secara
mutlak pada barang-barang yang tidak terkendala kebiasannya.
389

Qiradh ialah pemberian modal dari seseorang kepada orang lain untuk dijadikan
modal usaha, dengan harapan memperoleh keuntungan yang akan dibagi sesuai
perjanjian bersama.

Qiradh hukumnya mubah, bahkan dianjurkan dalam ajaran Islam. Sebab pada qiradh
terdapat unsur tolong menolong. Nabi saw penah mencontohkan ketika beliau diberi
modal oleh Siti Khadijah untuk berdagang ke Syam, keuntungannya dibagi bersama
sedangkan modal tetap milik pemberi modal.

Dengan adanya qiradh, seseorang yang mempunyai keahlian usaha tetapi tidak
memiliki modal, akan dapat tertolong. Begitu pula sebaliknya, pemilik modal yang
tidak mempunyai keahlian usaha dapat tertolong, sehingga modalnya tidak habis dan
memperoleh keuntungan bersama. Sabda Nabi saw:

(‫واهلل ىف هون العبد ما دام العبدىف عون اخيه (روه مسلم وابوداودوالرتمذى‬

Artinya: "Dan Allah selalu menolong hambaNya selama hamba itu menolong
saudaranya". (HR. Muslim, Abu Daud, dan Turmidzi).

Keberhasilan qiradh sangat tergantung pada kepercayaan pemodal dan kejujuran


pekerja. Pemilik modal harus percaya sepenuh hati menyerahkan modalnya untuk
dikelola. Pekerja harus berusaha sungguh-sungguh dan jujur memegang amanah itu.

Apabila suatu ketika terjadi kerugian, maka diketahui dahulu penyebabnya. Jika
penyebabnya karena kelalaian pekerja atau penyalahgunaan modal, maka pekerja
harus menanggung kerugian tersebut. Tetapi bila penyebabnya di luar kemampuan
pekerja, maka kerugian itu ditanggung pemilik modal. Namun agar kedua belah
pihak tidak terjadi perselisihan, hendaknya disepakati terlebih dahulu perjanjiannya.
390

Modal yang diberikan dalam qiradh dapat berupa uang, emas, atau benda lain yang
dapat dihargakan. Adapun batas waktu pengembaliannya sesuai dengan perjanjian.

Qiradh dapat dilakukan antara orang per orang, sekelompok orang, atau badan usaha.
Dalam kehidupan saat ini, praktek qiradh sudah umum dilakukan bersama bank.
Bank memberikan pinjaman modal kepada seseorang atau badan usaha dan
memperoleh laba dari pinjaman tersebut. Dari sebagian laba itu disisihkan oleh bank
untuk memberikan jasa simpanan kepada para penyimpan uang di bank.

Rukun qiradh terdiri dari:

1. Ada modal usaha


2. Ada pemberi modal
3. Ada pekerja atau pelaku usaha
4. Peluang atau jenis pekerjaannya jelas
5. Pembagian keuntungan disepakati bersama
6. Ijab qabul.

Larangan bagi orang yang menjalankan qiradh:

1. Melanggar perjanjian atau aqad qiradh


2. Menggunakan modal untuk kepentingan diri sendiri
3. Menghambur-hamburkan modal usaha
4. Menggunakan modal untuk perdagangan yang diharamkan syara'
391

Fasal

Musaqah (Mengairi Tanaman)

Sheikh Abu Syuja berkata, Muasaqah ( mengairi tanaman) hukumnya jaiz (boleh)
keatas pepohonan korma dan anggur, dan baginya ada syarat-syarat yaitu hendaknya
ditetapkan kerja itu ke suatu masa tertentu , hendaknya pengusaha itu
mengendalikankerja itu sendirian dan hendaklah tidak diikutkan pemelik dalam
kerjaan itu bagi pengusaha yang mendapatkan bagian tertentu dari buah-buahan dan
pepohonan.

Musaqah dilihat dari definisinya memiliki pengertian menyerahkan pohon kurma


atau anggur kepada seseorang agar dikelola dan disirami serta melakukan tindakan
yang dianggap perlu untuk menjaga agar tetap baik selama pertumbuhannya dengan
perjanjian bahwa sebagian dari hasilnya akan diberikan kepada pengelola dan
sebagian lainnya milik pemilik kebun. Sebenarnya akad ini sama saja dengan akad
muzara’ah. Bedanya terletak pada konteks penyerahan. Jika musaqah, yang
diserahkan adalah berupa pohon yang sudah ditanam dan siap untuk dirawat.
Sementara itu untuk muzara’ah, penyerahan masih berupa benih yang masih harus
disemaikan dan disiapkan untuk penanamannya.

Kalangan Syafi’iyah menetapkan rukun akad musaqah ada 5, yaitu: 1) dua orang
yang bertransaksi, 2) adanya shighat (kalimat yang menyatakan akad), 3) hal yang
berhubungan dengan amal (perkebunan), 4) buah atau yang semakna (menurut qaul
qadim Imam Syafii), dan 5) pekerjaan (amal) menambahi rukun yang ke-6, yaitu
masa berlakunya akad. Kesemua rukun ini juga terdapat di teks-teks fuqaha’
Malikiyah dan Hanafiyah. Tetapi, masing-masing dibedakan menurut dasar
perinciannya. Kalangan Hanafiyah bahkan menyebut terdapat satu rukun saja, yaitu
392

shighat akad (Badai‘us Shana-i’, juz VI, halaman 176). Namun, jika diuraikan, pada
hakikatnya ia juga memenuhi kelima rukun di atas. Sampai di sini, kita jangan
sampai rancu dalam memahaminya.

Adapun hasilnya, sama-sama dibagi menjadi dua, yaitu sebagian untuk pemilik, dan
sebagian lainnya untuk pengelola. Muzara’ah dan mukhabarah memiliki konsep
yang sama, hanya beda jenis tempat menanamnya. Muzara’ah memiliki jenis tanah
berupa lahan basah, sementara mukhabarah lebih tepatnya merupakan jenis tanah
ladang atau tadah hujan. Sampai di sini, harap para pembaca bisa mencermatinya.
Sementara waktu, kita konsentrasi pada penerapan akad musaqah.

Sebagaimana definisi di atas, musaqah berfokus pada penyerahan obyek tanaman


yang sudah siap rawat dan siap dikelola. Tanaman ini berupa jenis tanaman
menahun, seperti digambarkan dalam definisi, yaitu berupa tanaman kurma dan
anggur, dalam hal ini para ulama semua sepakat akan kebolehannya. Namun, ketika
permasalahan ini dikembangkan, yakni apakah akad ini hanya berlaku untuk kedua
jenis tanaman itu, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Pertama,
Mazhab Hanafi Kalangan Hanafiyah bersepakat bahwa akad musaqah boleh
diterapkan untuk semua jenis tanaman, baik jenis tanaman buah atau bukan. Menurut
kalangan ini, akad musaqah tetap sah berlaku untuk kedua jenis tanaman tersebut.

Tidak ada ketentuan harus berupa jenis tanaman khusus dan tanaman tertentu.
Bahkan termasuk jenis tanaman yang tidak diambil berupa hasil buahnya semacam
karet, atau getah kina. Atau jenis tanaman yang hanya dimanfaatkan kayunya saja,
semisal pohon jati, mahoni, sengon, dan sejenisnya. Seluruhnya bisa masuk akad ini.
Yang menarik dari pendapat kalangan hanafiyah adalah, bahkan akad musaqah tidak
harus berupa tanaman menahun. Jenis tanaman berumur pendek pun juga bisa
dijadikan obyek akad musaqah, seperti mentimun, semangka, tomat dan sejenisnya.
Ketika ditanya, lantas bagaimana cara membedakan antara akad musaqah dan akad
393

muzaraah jika akad ini juga berlaku untuk jenis tanaman berusia pendek? Mereka
menjawab sebagai berikut:

َ‫ َكان‬،‫) فَإ ِ ْن َساقَى َعلَ ْيهَا قَبْل ْال ُج َذا ِذ‬1( ‫ب َوال َّسفَرْ َجل َو ْالبَا ِذ ْن َجا ِن‬ ِ َ‫يخ َوالرُّ َّما ِن َو ْال ِعن‬
ِ ِّ‫َوال ِّرطَابُ َك ْالقِثَّا ِء َو ْالبِط‬
‫صحُّ ْال َع ْق ُد‬ ِ َ‫ فَي‬،‫ َوإِ ْن َساقَى بَ ْع َد ا ْنتِهَا ِء ُج َذا ِذهَا َكانَ ْال َم ْقصُو ُد ه َُو ْالبَ ْذ َر‬،‫َّطبَةَ فَيَقَ ُع ْال َع ْق ُد َعلَى أَوَّل َج َّز ٍة‬ ْ ‫ْال َم ْقصُو ُد الر‬

ُ‫ق إِ َذا َكانَ ْالبَ ْذ ُر ِم َّما يُرْ غَبُ فِي ِه َوحْ َده‬
ُ َّ‫ َوهَ َذا إِنَّ َما يَتَ َحق‬،‫ص ُد الثَّ َم َر ِمنَ ال َّش َج ِر‬ ِ ‫ َك َما يَ ْق‬،‫ار قَصْ ِد ْالبَ ْذ ِر‬
ِ َ‫بِا ْعتِب‬

Artinya, “Ruthab (kurma hijau) diserupakan untuk mentimun, semangka, anggur,


buah pir, terong. Jika akad musaqah pada jenis-jenis tanaman tersebut sebelum siap
dipetik, maka yang dituju dengan akad tersebut adalah menyerupai akad musaqah
anggur hijau (bagi hasilnya dibagi menjadi dua, sebagian untuk pemilik dan sebagian
untuk pengelola, ditambah hak pengelola atas kepemilikan pohon). Dengan
demikian, akad (bagi hasilnya) juga disesuaikan menurut awal kali tanaman tersebut
diserahkan. Namun, bila tanaman tersebut diserahkan setelah siap dipetik, maka
yang dituju dari akad tersebut adalah benih semata. Dengan kata lain, sahnya akad
adalah bergantung pada pertimbangan maksud dari penyebar benih, sebagaimana
maksud dari pemilik pohon yang sudah berbuah atas penyerahan pohon tersebut
kepada pengelola (pengelola tidak memiliki hak atas pohon). Hal ini tampak jelas
pada praktik akad musaqah dengan jenis tanaman yang hanya khusus disukai
buahnya,” (Al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, 23771).

Menurut kalangan Hanafiyah, cara membedakan antara akad musaqah dan


muzara’ah dengan obyek tanaman berupa jenis tanaman usia pendek, adalah dengan
melihat sisi penyerahannya. Jika diserahkan sebelum siap panen, maka akadnya
adalah musaqah. Jika tanaman diserahkan setelah siap panen, maka akadnya adalah
muzara’ah dengan cara bagi hasil berupa hasil buahnya saja. Kedua, Menurut
Malikiyah Menurut kalangan Malikiyah, dilihat dari pohonnya, maka pohon yang
bisa dijadikan obyek akad musaqah ada dua dua. Pertama, adalah jenis pohon yang
memiliki pokok batang yang bersifat tetap. Dalam hal ini, ada dua syarat yang harus
dipenuhi dalam akad musaqah. Pertama, jenis tanaman yang diperkenankan hanya
394

jenis tanaman buah-buahan dan bisa berbuah setiap tahunnya, dan tanaman tersebut
sudah siap berbuah. Untuk itu, menurut Malikiyah, akad musaqah tidak sah
dilakukan pada tanaman yang masih belum siap buah, meski pun dari jenis tanaman
buah-buahan.

َْ َْ
ِ ºَ‫اق ْال ُم ْنتَف‬
‫ا‬ººَ‫ع بِه‬º ِ ‫وْ َر‬ºَ‫ار َواْأل‬º
ِ ºَ‫ ْزه‬ºَ‫ت اْأل‬
ِ ‫اهُ ِم ْن َذ َوا‬ººَ‫ا فِي َم ْعن‬ºº‫صحُّ ِإالَّ فِي أَصْ ٍل ي ُْث ِم ُر أَوْ َم‬
ِ َ‫ أَنَّهَا الَ ت‬:‫ِم ْن ُشرُو ِط ْال ُم َساقَا ِة‬
‫َك ْال َورْ ِد َو ْاليَا َس ِمي ِن‬

Artinya, “Sebagian dari syarat musaqah adalah sungguh akad ini tidak sah kecuali
berlaku atas tanaman yang sudah berbuah atau yang semakna dengan buah, misalnya
bunga, atau daun yang manfaatnya memang dikhususkan untuk daun dan bunga
tersebut. Misalnya bunga mawar dan melati,” (Al-Mausu’atul Fiqhiyyah, 23771-
23772). Kedua, sebagaimana harus berupa tanaman buah-buahan atau yang semakna
dengan buah, tidak sah pula akad musaqah ini berlaku atas tanaman buah yang sekali
petik langsung habis, salah satunya buah pisang. Bila pohon pertama pisang sudah
dipetik, biasanya akan tumbuh tunas baru di sampingnya sehingga membuat
pengelola harus bekerja ekstra kembali untuk membuahkannya. Kedua, jenis
tanaman yang tidak memiliki pokok yang bersifat tetap. Yang masuk jenis tanaman
kategori ini adalah tanaman timun-timunan dan tanaman umur pendek. Menurut
kalangan Malikiyah, akad ini sah berlaku atas jenis tanaman tersebut dengan catatan:
1. Akad dilakukan setelah tanaman tersebut ditanam.

2. Akad dilaksanakan sebelum tanaman tersebut masak di pohon.

3. Pemilik tanah dan tanaman bisa turut serta menentukan cara pengelolaan tanaman
tersebut.

4. Jenis tanaman bukan termasuk jenis yang sekali petik langsung habis. Buah
muncul dari pohon yang baru dan bukan pohon yang pertama kali dirawat.

5. Jenis tanaman mudah mati jika tidak dikelola dengan benar.


395

Fasal

Ijarah (Sewaan)

Berkata Syaikh Abu Syujak, setiap benda yang boleh dimanfaatkan dengan
mengekalkan zatnya, sah menyewakannya, jika diukur manfaatnya dengan salah satu
dua perkara ini yaitu masa dan kerja.

Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama yang lain.
Ketika salah satu membutuhkan dan tidak memiliki apa yang ia butuhkan, maka
yang lain bisa membantu untuk memenuhinya. Inilah di antara hikmah ijarah
(persewaan) yang disyariatkan di dalam islam.

Habib Hasan bin Ahmad al-Kaaf berkata:

‫ارة‬º‫وزت اإلج‬º‫تريها فج‬º‫تطيع أن يش‬º‫الحكمة منها أنها ليس لكل أحد مركوب وسكن وخادم وغير ذلك وقد يحتاج لها وال يس‬
‫“ لذلك‬

Di antara hikmah dari ijarah adalah, sesungguhnya tidak setiap orang memiliki
kendaraan, tempat tinggal, pelayan dan selainnya, sedangkan ia membutuhkan
semua itu namun tidak mampu membelinya, maka ijarah (sewa menyewa)
diperbolehkan karena hal itu.”

Akad ijarah dilegalkan di dalam syariat berdasarkan nash Al-Qur’an, Hadits dan
Ijma’ sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Zakariya al-Anshari, Allah
subhanahu wata’ala berfirman:

‫ض ْعنَ لَ ُك ْم فَآتُوه َُّن أُجُو َره َُّن‬


َ ْ‫“ فَإِ ْن أَر‬
396

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah


kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thalaaq: 6)

Ayat ini menunjukan tentang akad ijarah sebab bentuk kalimat ‫ فَآتُوه َُّن أُجُو َره َُّن‬adalah
bentuk kalimat perintah dan perintah di dalam ushul fiqh menunjukkan wajib. Upah
hanya bisa diwajibkan/ditetapkan oleh akad (transaksi). Sehingga ayat ini secara
pasti diarahkan pada menyusui yang disertai dengan akad (ijarah).

Di dalam sebuah hadits disampaikan:

ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ا ْستَأْ َج َرا َر ُجاًل ِم ْن بَنِي الد‬


‫ِّيل يُقَا ُل لَهُ َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ اأْل ُ َر ْيقِ ِط‬ ِ ‫ق َر‬ ِّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوال‬
َ ‫صدِّي‬ َّ ِ‫“ أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

Sesungguhnya baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar Shiddiq ra
pernah menyewa seorang lelaki dari Bani ad-Diil yang bernama Abdullah ibn al-
Uraiqith.” (HR. Bukhari)

Di dalam hadits yang lain juga disebutkan:

َ ْ‫ال اَل بَأ‬


‫س بِهَا‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى ع َْن ْال ُمزَ ا َر َع ِة َوأَ َم َر بِ ْال ُمؤَا َج َر ِة َوق‬
َ ُ‫“ أَنَّه‬

Sesungguhnya baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang muzara’ah dan


memerintahkan muajjarah (akad sewa). Beliau bersabda, ‘Tidak apa-apa melakukan
muajjarah’.” (HR Muslim)

Definisi Ijarah Secara bahasa ijarah memiliki arti nama untuk sebuah upah.
Sedangkan secara istilah syariat adalah

‫“ عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل واإلباحة بعوض معلوم‬

Akad (transaksi) terhadap kemanfaatan yang maqshudah, maklum, bisa untuk


diserahkan dan mubah dengan ‘iwadl (upah) yang maklum”

Maksud ‘manfaat maqshudah’ adalah manfaat menurut pandangan syariat maka


tidak boleh menyewa uang untuk hiasan. Maksud ‘manfaat yang maklum’ adalah
manfaat yang jelas dan dibatasi seperti menyewa orang untuk menjahit baju dengan
397

ukuran dan model tertentu. Maksud ‘bisa untuk diserahkan’ adalah mungkin untuk
diserahkan, maka tidak boleh menyewakan Al-Qur’an kepada orang kafir, sebab Al-
Qur’an tidak bisa diserahkan kepada orang kafir. Maksud ‘manfaat yang mubah’
adalah manfaat yang tidak haram, maka tidak boleh menyewa alat-alat musik yang
diharamkan.

Rukun-rukun Ijarah Transaksi ijarah hukumnya sah jika memenuhi rukun-rukun


yang ada di dalamnya. Adapun rukun ijarah ada lima: Pertama, shigat (kalimat yang
digunakan transaksi) seperti perkataan pihak yang menyewakan “Saya menyewakan
mobil ini padamu selama sebulan dengan biaya/upah satu juta rupiah.” Dan pihak
penyewa menjawab “Saya terima.” Kedua, ujrah (upah/ongkos/biaya) Ketiga,
manfaat (Kemanfaatan barang atau orang yang disewa) Keempat, mukri/mu’jir
(pihak yang menyewakan) Kelima, muktari/musta’jir (pihak yang menyewa)

Masing-masing dari kelima rukun ini memiliki syarat-syarat tertentu yang harus
terpenuhi agar transaksi ijarah yang dilakukan bisa sah dan legal menurut syariat.
Shighat: Sebagaimana transaksi-transaksi yang lain, di dalam ijarah juga disyaratkan
shigat dari pihak penyewa dan pihak yang menyewakan dengan bentuk kata-kata
yang menunjukan terhadap transaksi ijarah yang dilakukan sebagaimana contoh di
atas. Ujrah/upah/ongkos: Ujrah di dalam akad ijarah harus diketahui, baik dengan
langsung dilihat ataupun disebutkan kriterianya secara lengkap semisal ‘seratus ribu
rupiah.’ Manfaat: harus mutaqawwamah (bernilai secara syariat), maklum, mampu
diserahkan, manfaat dirasakan oleh pihak penyewa, manfaat yang diperoleh pihak
penyewa bukan berupa barang. Penyewa dan pihak yang menyewakan: Baligh,
berakal, tidak terpaksa

Hanafiyah dan Malikiyah yang mengatakan bahwa  kepemilikan, kekuasaan atau


kewenangan (wilayah) adalah syarat (nufuzd) bagi kontrak untuk bisa dilaksanakan.
Menurut Hanafiyah dan Malikiyyah akad ijarah fudhuli (mentasharufkan harta orang
lain tanpa izin pemilik)  mauquf, tergantung pada pemiliknya. Jika persetujuan akad
398

fudhuli terjadi sebelum barang (manfaat barang) digunakan maka akadnya sah dan
pemilik barang berhak atas upahnya (harga sewa).

Syarat sah

1. Kerelaan dari kedua pihak.


2. Objek akad yaitu manfaat yang disewa itu diketahui dengan jelas. Hal ini
mencakup beberapa point:
3. Penjelasan tempat manfaat yaitu mengetahui barang yang disewakan. Barang
yang disewakan harus dijelaskan. Jika seseorang mengatakan: saya sewakan
motor ini tanpa menjelaskan motor yang mana, padahal saat itu ada banyak
motor ditempa itu maka akad seperti ini tidak sah.
4. Penjelasan waktu sewa, ini khusus untuk kadar sewanya yang tidak jelas
kecuali ditentukan dengan waktu, seperti menyewa rumah, toko, apartemen,
dan wanita untuk menyusui karena kalau tidak dijelaskan batas waktunya
bias menimbulkan perselisihan sehingga maksud dari akad tidak tercapai.
Menurut jumhur penyewaan perbulan (ijarah musyaharah) dibolehkan, tapi
pada bulan pertama saja, untuk bulan selanjutnya akadnya tidak mengikat.
Dan menurut syafi’iyyah akad ijarah musyaharah tidak sah. Hukum ijarah
tanpa menjelaskan batasan waktu memang sah karena tidak ada batasan yang
diberikan syari’at dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Termasuk
syafi’iyyah dalam pendapat yang shahih.
5. Penjelasan objek kerja (manfaat atau pekerjaan), objek kerja harus dijelaskan
agar tidak ada jahalah (ketidakjelasan), karena jahalah (ketidakjelasan) bisa
menimbulkan perselisihan yang merusak akad. Maka harus dijelaskan jenis,
tipe, kadar dan sifatnya. Seperti: menyewa orang untuk menggali sumur,
maka harus dijelaskan loksinya, kedalamannya, dan lebarnya.

Tidak dibolehkan menggabungkan waktu dan objek kerja dalam ijarah


a’mal/pekerjaan (mengupah orang), seperti menyewa seorang selama tiga hari untuk
399

membuat satu rumah. Hal ini karena mengandung gharar yaitu, terkadang
pekerjaannya sudah selesai sebelum habis waktu yang disepakati. Dan jika perkerja
yang disewa ini terus dipekerjakan maka ada penambahan atas apa yang disepakati
dalam akad.

Terkadang pula, pekerja yang disewa (upah) tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya
selama tiga hari (batas waktu yang disepakati), dan jika ia menyelesaikan
pekerjaannya maka ia telah bekerja diluar waktu yang disepakati dan jika ia tidak
melakukannya maka ia tidak menyelesaikan pekerjaan yang disebutkan dalam akad
dan ini adalah gharar. Menurut Syafi’iyyah dan Malikiyyah menyewa barang untuk
dimanfaatkan harus dijelaskan batas waktunya sedangkan mengupah orang untuk
bekerja tidak boleh menggabungkan waktu dan objek kerja.

1. Objek akad dapat diserahkan secara nyata atau syar’i, objek akad ijarah tidak
boleh berupa sesuatu yang tidak bisa diserahkan secara nyata atau syara’.
secara hakiki contohnya menyewa unta yang lepas, orang yang bisu untuk
bicara, dan secara syara’ sperti mengupah wanita haid untuk membersihkan
masjid, menyewa kepemilikan bersama fasid menurut abu hanifah dan boleh
menurut Menurut abu Hanifah , Zufar dan ulama Hanabilah tidak boleh
menyewakan barang milik bersama selain pada mitranya, dan dalam riwayat
yang masyhur abu Hanifah membolehkan begitu juga dengan Shahibani serta
mayoritas fuqaha`.
2. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dibolehkan secara syar’i.
3. Pekerjaan yang ditugaskan bukan kewajiban bagi penyewa sebelum akad
ijarah. Tidak sah ujrah dari mengerjakan sebuah kewajiban karena
melakukan kewajiban tidak berhak mendapat upah, seperti: tidak sah
mengupah orang untuk melakukan shalat, puasa, haji dan kewajiban yang
lain.
400

4. Orang yang disewa/diupah tidak boleh mengambil manfaat dari


pekerjaannya. Maka tidak sah jika seorang menyewa penggiling gandum
dengan dengan upah dari gandum yang digilingnya. Jika ia mengambil
manfaat dari pekerjaannya, maka tidak dibolehkan, ini juga kesepakatan
ulama Syafi’iyyah karena tidak mampu menyerahkan upah ketika akad. Tapi
Malikiyah dan Hanabilah membolehkannya karena hadist yang melarang ini
tidak shahih.
5. Manfaat dari akad itu harus dimaksudkan dan bisa dicapai melalui akad.
Maka tidak sah menyewa pohon untuk menjemur baju dan untuk berteduh.
Karena manfaat ini bukan maksud dari kegunaan pohon.

Syarat objek akad

Jika ojek akad termasuk barang yang bergerak maka harus terjadi serah-terima
menurut Abu Hanifah jika tidak ada serah-terima maka tidak sah. Karena Rasulullah
melarang jual-beli yang belum diterima. Tapi jika objek akad ijarahnya berupa
barang yang tidak bergerak (‘iqar) maka tidak harus ada serah-terima menurut Abu
Hanifah berbeda dengan Syafi’iyyah.

Syarat-syarat ujrah (upah)

1. Upah harus berupa harta yang mutaqawwim dan diketahui. Maka tidak sah
jika seseorang mengupah penenun dengan upah tertentu ditambah makannya.
Karena upah seperti ini akan menimbulkan jahalah pada upah.
2. Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dari objek akad. Misalnya ijarah
(menyewa) tempat tinggal dibayar dengan tempat tinggal dan jasa dengan
jasa. Seperti seseorang mengupah tukang kupas kulit dengan kulit yang ia
kuliti, tukang giling tepung dengan upah dari tepung yang dia giling. Hal ini
dilarang karena tidak diketahui apakah kulit itu bisa dipisahkan dengan baik
atau bahkan rusak sehingga tidak bisa diharagai.
401

Syarat lazim ijarah.

1. Barang yang disewakan bebas dari cacat yang bisa merusak pemanfaatannya.
Maka jika terjadi kerusakan pada barang sewaan penyewa memiliki hak
khiyar untuk melanjutkan sewaan (dengan membayar uang sewa) atau
membatalakan akad sewanya. Dan ini jika terjadi sebelum penerimaan
barang sewa.
2. Tidak terjadi udzur yang membolehkan memfasakh (membatalakan) ijarah.
Adapun udzur yang bisa membatalakan akad ijarah ada tiga: pertama, udzur
dari pihak penyewa. Misalnya jika penyewa bangkrut. Kedua, udzur dari
orang yang menyewakan (pemilik barang), misalnya orang yang
menyewakan barang memilki hutang besar dan tidak dapat melunasinya
kecuali dengan menjual barang yang dia sewakan dan membayar hutangnya
dengan barang yang dijual tadi. Ketiga, udzur dari barang yang disewakan,
misalanya seorang menyewa rumah dan ternyata rumahnya roboh, maka akad
ijarah boleh difasakh dalam keadaan sperti ini.

Sifat dan Konsekuensi Akad Ijarah

1. Sifat Akad Ijarah

Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang sifat ijarah, apakah bersifat mengikat
kedua belah pihak atau tidak.  Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah itu
mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu
pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan
bertindak hukum. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu
bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.

Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabila salah seorang meninggal
dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi,
402

jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk
harta (al-mal). Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad tidak
membatalkan akad ijarah.

1. Konsekuensi Akad Ijarah

Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah
bagi pekerja atau orang yang menyewakan, sebab ijarah termasuk jual beli
pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.

Adapun hukum  ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah
mendapatkan manfaat maka ia wajib membayar upah yang sesuai dengan yang
ditentukan. Ini bila kerusakan tersebut disebabkan syarat fasid. Akan tetapi, jika
kerusakan disebabkan ketidak jelasan dan jumlah ujrah tidak disebutkan maka wajib
membayar sebesar apa pun upah itu.

Ja’far dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah  fasid sama dengan jual beli
fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang
sewaan.

Jaminan barang yang disewakan

Penyewa tidak wajib mengganti barang sewaan yang rusak kecuali jika dia lalai dari
mejaganya. Karena hal-hal yang menjadikan penyewa itu bertanggungjawab
mengganti barang sewaan ketika ia lalai dari menjaganya atau memang sengaja
merusaknya dan melanggar syarat orang yang menyewakan (pemilik barang).

Tapi Malikiyah dan kedua murid besar imam Abu Hanifah -abu yusuf dan asy-
syaibani- berpendapat penyewa tetap harus bertanggungjawab terhadap barang
sewaan meskipun rusaknya tidak disengaja, kecuali jika karena kebakaran umum,
403

atau tenggelam dan sejenisya, sebagaiman yang dilakukan Umar untuk kehati-hatian
terhadap harta orang lain.

Berakhirnya Ijarah

Adapun hal-hal yang yang bisa menyebabkan batal atau berakhirnya akad Ijarah
menurut Hanafiyah, yaitu:

1. Salah satu pihak meninggal dunia. Ini merupakan pendapat ulama mazhab
Hanafi. Bagi mazhab ini manfaat yang diperoleh dari Ijarah adalah sesuatu
yang terjadi secara bertahap dan ketika meninggalnya salah satu pihak,
manfaat tersebut tidak ada dan tidak sedang dimilikinya. Maka mustahil
untuk bisa diwariskan. Sedangkan menurut Jumhur Ulama, akad Ijarah tidak
batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena menurut Jumhur
Ulama manfaat itu boleh diwariskan dan Ijarah sifatnya mengikat kedua
belah pihak.
2. Terjadinya kerusakan pada barang sewaan, seperti: Rumah terbakar atau
mobil hilang.
3. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad Ijarah telah berakhir. Apabila
yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya
dan apabila yang disewa itu jasa seseorang maka ia berhak menerima
upahnya.
4. Menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan akad Ijarah itu
hanyalah apabila objeknya mengandung cacat atau manfaat yang dituju
dalam akad itu hilang, seperti kebakaran atau dilanda banjir. Sedangkan
menurut Ulama Hanafiyah apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti
rumah yang disewakan disita Negara karena terkait hutang yang banyak,
maka akad Ijarah menjadi batal.
404

5. Berakhir dengan Iqalah yaitu pembatalan akad atas dasar kesepakatan antara
kedua belah pihak. Hal ini karena Ijarah merupakan akad pertukaran harta
dengan harta yang diambil manfaatnya

Fasal

Ja’alah (Upahan)

Syaikh Abu Syujak berkata yaitu Ja’alah (mengupah) itu jaiz hukumnya,
yaitu mensyarakatkan bila dapat dikembalikan binatangnya yang hilang akna dibayar
upahannya yang tertentu. Maka apabila ada siapa yang mengembalikan, dia berhak
menerima upahan yang disyaratkan itu.

Kata ju’alah secara bahasa artinya mengupah. Secara syarak sebagaimana


dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, artinya “sebuah akad untuk mendapatkan materi
(upah) yang diduga kuat dapat diperoleh.” Istilah ju’alah dalam kehidupan sehari-
hari diartikan oleh fukaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat
menemukan barangnya yang hilang, mengobati orang yang sakit, orang yang
menggali sumur hingga memancarkan air atau seseorang yang menang dalam sebuah
kompetisi. Jadi, jua’lah bukan hanya terbatas pada barang yang hilang namun setiap
pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.

Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ju’alah telah


dipraktikkan. Dalam sahih Bukhari dan Muslim terdapat hadis yang menceritakan
tentang seorang Badui yang disengat kalajengking kemudian dijumpai oleh seorang
sahabat dengan upah bayaran beberapa ekor kambing.
405

B. Landasan Hukum
Jumhur fukaha sepakat bahwa hukum ju’alah mubah, karena ju’alah
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Ju’alah merupakan akad yang sangat
manusiawi. Karena seseorang dalam hidupnya tidak mampu untuk memenuhi semua
pekerjaan dan keinginannya, kecuali jika ia memberikan upah kepada orang lain
untuk membantunya. Contohnya, orang yang kehilangan dompetnya maka sulit
baginya untuk mencari sendiri dompetnya yang hilang tanpa bantuan orang lain.
Maka, ia meminta kepada orang lain untuk membantunya mencari dompetnya yang
hilang itu dengan iming-iming upah dari peerjaannya itu.

a. Alquran
Dalam hal lain, yang masih termasuk ju’alah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallammembolehkan memberikan upah atas penggobatan yang menggunakan
bacaan Alquran dengan surah Al-Fatihah.

Dalam Alquran dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada


orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu ditegaskan
dalam Alquran,
٧٢ ‫يم‬ٞ ‫ير َوأَن َ۠ا بِ ِۦه َز ِع‬ ِ ِ‫وا ن َۡفقِ ُد ص َُوا َع ۡٱل َمل‬
ٖ ‫ك َولِ َمن َجٓا َء بِ ِۦه ِحمۡ ُل بَ ِع‬ ْ ُ‫قَال‬
Penyeru-penyeru itu berkata, "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku
menjamin terhadapnya." (QS. Yusuf: 72)

b. Hadis
Dalam hadis diriwayatkan, bahwa para sahabat pernah menerima hadiah atau
upah dengan cara ju’alah berupa seekor kambing karena salah seorang di antara
mereka berhasil mengobati orang yang dipatuk kalajengking dengan cara membaca
surah Al-Fatihah. Ketika itu mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah, karena
takut hadiah yang didapat tidak halal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun
406

tertawa seraya bersabda, “Tahukah kamu sekalian, bahwa itu adalah jampi-jampi
(yang positif). Terimalah hadiah itu dan beri saya sebagian.” (HR. Jama’ah,
mayoritas ahli hadis kecuali An-Nasa’i)

C. Rukun dan Syarat Ju’alah


a. Rukun Jua’lah
1. Sighot (kalimat hendaknya mengandung arti memberi izin kepada yang akan
bekerja).
2. Ja’il (orang yang menjanjikan upah, boleh bukan orang yang kehilangan).
3. Pekerjaan mencari barang yang hilang.
4. Upah/hadiah.

b. Syarat Ju’alah
1. Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk
melakukan tindakan hukum, yaitu balig, berakal dan cerdas.
2. Upah atau hadiah yang dijanjikan harus tediri dari sesuatu yang bernilai harta dan
jelas juga jumlahnya.
3. Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan
boleh dimanfaatkan menurut hukum syarak.
4. Mazhab Syafi’i dan Maliki menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu,
ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti mengembalikan
(menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Mazhab Hambali membolehkan
pemabatasan waktu.
5. Mazhab Hambali menambahkan syarat, bahwa pekerjaan yang diharapkan
hasilnya itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulang kali seperti
mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak.
6. Akad ju’alahbersifat suka rela.
407

D.  Pelaksanaan Ju’alah


Teknis peaksanaan ju’alah dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama
ditentukan orangnya misalnya Budi. Maka, Budi dengan sendirinya berusaha
mencari barang yang hilang. Kedua, secara umum artinya, orang yang diberi
pekerjaan mencari barang bukan satu orang, tetapi bersifat umum yaitu siapa saja.
Misalnya, seseorang berkata, ”Siapa saja yang dapat mengembalikan binatangku
yang hilang maka akan aku berikan imbalan sekian.”

            Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa dalam ju’alahtidak disyaratkan
datang dari pemilik barang yang hilang. Siapa saja yang mengatakan, “Siapa yang
dapat mengembalikan barang hilang kepunyaan Fulan maka ia akan kuberikan upah
sekian.” Kemudian, ada orang yang mengembalikan barang ini baik dia mendengar
berita ini dari yang mengatakan tadi atau pun berita itu disampaikan oleh orang lain
ke telinganya maka ia berhak menerima ju’alah (upah).

Hal tersebut, dapat dibenarkan karena dalam ju’alahtidak disyaratkan


kehadiran dua pihak yang berakad, namun disyaratkan besar jumlah upah yang harus
ia terima artinya ia harus tahu berapa jumlah yang akan ia terima jika ia berhasil
mengembalikan barang karena hal ini sama dengan sewa-menyewa. Jika upah yang
akan diberikan itu majhul (tidak diketahui) maka hukumnya fasid (rusak). Apabila
orang yang membalikan barang yang hilang itu jumlahnya banyak bukan hanya satu
orang. Maka upahnya dibagi rata karena mereka sama-sama bekerja meskipun
kualitas kerjanya tidak sama.

E.  Sifat Akad Ju’alah


Mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali memandang bahwa akad ju’alah bersifat
sukarela, sehingga apa-apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan oleh kedua belah
pihak. Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan pendapat. Mazhab Maliki
408

berpendapat bahwa ju'alah hanya dapat dibatalkan oleh pihak pertama sebelum
pekerjaan dimulai oleh pihak kedua.

Sedangkan menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali, pembatalan itu dapat


dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu, selama pekerjaan itu belum selesai
dilaksanakan. Namun jika pihak pertama membatalkannya sedangkan pihak kedua
belum selesai melaksanakannya, maka pihak kedua harus mendapatkan imbalan
yang pantas sesuai dengan kadar pekerjaan yang telah dilaksanakannya.

F. Aplikas Ju’alah
Ju’alah biasa diaplikasikan dalam membuat pengumuman akan suatu barang
yang hilang dan menginformasikan hal itu ke baliho-baliho, surat kabar, media
telekomunikasi dan lain-lain, serta akan memberikan upah bagi siapa yang
menemukan barang tersebut.

  G. Pembatalan Ju’alah
Pembatalan ju’alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang
kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan ju’alah atau orang yang
mencarikan barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang
bekerja mencari barang, maka ia tidak dapat upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi,
jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja
berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang telah dilakukan.

H. Perbedaan Ju’alah dengan Ijarah


Akad ju’alah berbeda dengan akad ijarah, terutama terkait dengan
kesepakatan yang ada di dalamnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari beberapa
poin di bawah ini:
1. Pemilik pekerjaan (ja’il) baru akan merasakan manfaat, ketika pekerjaan telah usai
dilakukan. Berbeda dengan ijarah, penyewa (musta’jir) bisa menerima manfaat
409

ketika mu’ajjir telah melakukan sebagaian pekerjaannya. Konsekuensinya, pekerja


dalam akad ju’alah tidak akan menerima upah jika pekerjaanya tidak selesai.
Sedangkan dalam ijarah, mu’ajjir (pekerja) berhak mendapat upah atas pekerjan
yang telah dikerjakan walaupun pekerjaannya belum selesai.
2. Akad ju’alah mengandung unsur gharardi dalamnya, yakni ketidakjelasan jenis
pekerjaan atau jangka waktu yang dibutuhkan dan hal ini diperbolehkan. Berbeda
dengan ijarah, jenis pekerjaan, upah dan jangka waktu yang diperlukan harus
dijelaskan secara detail. Akad ijarah harus dibatasi dengan waktu berdeda dengan
ju’alah. Yang terpenting adalah selesainya sebuah pekerjaan, tidak tergantung
kepada pembatasan waktu.
3. Dalam akad ju’alah tidak diperbolehkan mensyaratkan adanya pemberian upah di
muka. Berbeda dengan akad ijarah, upah bisa dipersyaratkan untuk dibayar di muka.
4. Akad ju’alah bersifat jaiz ghair lazim (diperbolehkan dan tidak mengikat),
sehingga boleh untuk dibatalkan. Berbeda dengan akad ijarah yang bersifat lazim
(mengikat), yakni tidak bisa dibatalkan sepihak

I. Hikmah Ju’alah
Ju’alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi
karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu barang yang
berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang), mengembalikan kesehatan
atau membantu seseorang menghafal Alquran. Hikmah yang dapat dipetik adalah
dengan ju’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan
sikap saling tolong menolong dan bahu membahu. Dengan ju’alah akan terbangun
suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.

            Terkait dengan ju’alah sebagai satu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan
bahwa Allah selalu menjanjikan balasan surga bagi mereka yang mau melaksanakan
perintah-Nya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan baik yang ia
kerjakan. Allah berfirman,
410

٧ ُ‫فَ َمن يَ ۡع َم ۡل ِم ۡثقَا َل َذ َّر ٍة خ َۡي ٗرا يَ َر ۥه‬


“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya” (QS. Al-Zalzalah: 7)

J. Bentuk Akad Ju’alah dan Waktu Penyerahan Upah


Ulama yang membolehkan akad ju’alah sepakat bahwa akad ini adalah akad
yang tidak mengikat, berbeda dengan akad ijarah. Oleh karena itu, dibolehkan bagi
ja’il dan ‘amil(pelaksana akad) membatalkan akad ju’alah ini. Akan tetapi, para
ulama tersebut berbeda pendapat tentang waktu dibolehkannya pembatalan itu.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa boleh membatalkan akad ju’alah sebelum
pekerjaannya dimulai. Menurut mereka, akad ini mengikat atas ja’il bukan ‘amil
dengan dimulainya pekerjaan itu. Adapun bagi ‘amil yang akan diberikan upah, akad
ini tidak mengikat atasnya dengan sesuatu apa pun, baik sebelum bekerja,
sesudahnya, maupun setelah dimulai pekerjaan.

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa boleh membatalkan akad


ju’alahkapan saja sesuai dengan keinginan ja’il dan ‘amil khusus (yang ditentukan).
Hal ini seperti akad-akad yang bersifat tidak mengikat lainnya, seperti akad syarikah
dan wakalah, sebelum selesainya pekerjaan yang diminta itu. Jika yang
membatalkan akad adalah ja’il atau ‘amilkhusus sebelum dimulainya pekerjaan yang
diminta atau yang membatalkannya adalah ‘amil sesudah pekerjaanya dimulai, maka
‘amil tidak berhak mendapatkan apa pun dalam dua keadaan tersebut. Hal itu karena
pada keadaan pertama ia belum mengerjakan apa pun dan pada keadaan yang kedua
belum tercapai maksud ja’ildalam akad itu.

Adapun ja’ilmembatalkannya setelah pekerjaan itu dimulai, maka dia wajib


memberikan upah pada ‘amil sesuai dengan pekerjaannya menurut ulama Syafi’iyah
dalam pendapat yang paling benar (al-ashahh), karena itu adalah pekerjaan yang
berhak mendapatkan imbalan dan ja’il belum menyerahkan pada ‘amilupah
411

kerjanya. Hal ini sama seperti jika pemilik harta membatalkan akad
mudharabahsetelah pekerjaannya dimulai dan ‘amil berhak mendapatkan upah
tertentu dengan selesainya pekerjaan itu. Namun, jika ‘amil membatalkannya
sebelum pekerjaannya selesai, maka dia tidak berhak mendapatkan apa pun.

Jika ja’il menentukan suatu tempat untuk mengembalikan barang yang hilang
dan ‘amilmengembalikannya di suatu tempat yang dekat dengan tempat yang sudah
ditentukan itu, maka dia berhak mendapatkan bagiannya dari upah tersebut. Jika
yang mengembalikan barang itu dua orang secara bersama-sama, maka keduanya
berhak mendapatkan upah secara bersama pula, karena barang tersebut dikembalikan
oleh mereka berdua secara bersama-sama.

‘Amil tidak berhak mendapatkan upah kecuali dengan izin yang memiliki
pekerjaan itu dan dengan menyelesaikan pekerjaannya. Sehingga, jika ‘amil bekerja
tanpa seizin pemilik pekerjaan itu, maka dia tidak berhak mendapatkan apa pun. Jika
‘amil belum menyelesaikan pekerjaannya, maka dia tidak berhak mendapatkan upah.

Sementara itu, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa boleh bagi
ja’il menambah atau mengurangi upah, karena ju’alah adalah akad yang tidak
mengikat. Hanya saja ulama Syafi’iyah membolehkan yang demikian itu sebelum
pekerjaannya selesai, baik sebelum dimulai maupun sesudahnya, seperti jika dia
berkata, “Barang siapa yang dapat mengembalikan barang milik saya, maka dia akan
mendapatkan sepuluh.” Kemudian dia berkata lagi, “Dia akan mendapatkan lima,”
atau sebaliknya.

Faedah masalah ini terlihat setelah dimulainya suatu pekerjaan, maka ketika itu
wajib memberikan upah yang berlaku secara umum, karena perubahan dengan
menambah atau mengurangi itu merupakan pembatalan (fasakh) atas pengumuman
yang dahulu. Pembatalan dari ja’il menyebabkan akad itu dikembalikan pada
412

ketentuan upah umum. Adapun ulama Hanabilah membatasi perubahan ini dengan
sebelum dimulainya pekerjaan, maka perubahan ini boleh dan berlaku

Fasal

Muzara’ah (Bercocok Tanam)

Berkata Syaikh Abu Syuja, perihal Muzara’ah dan Mukhabarah, dan kalua orang
menterahkan sepotong tanah untuk bercucuk tanam dan mensyarakatkan bagi si
pengusaha sebagian tertentu dari hasil tanaman itu, tidak diperbolehkan. Dan kalua
disewa pengusaha itu dengan membayar emas atau perak (nilai uang) atau
mensyaratkan dia mendapat makanan yang ditentukan atas dzimahnya
(tanggungannya) dibolehkan.

Menurut Iman Rafi’I yang shalih dan menurut nash Imam Syafi;I yaitu merupakan
dua akad yang berlainan.

Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, pertama adalah tharh al-zur’ah
(melemparkan tanaman), maksudnya adalah al-hadzar (modal). Makna yang
pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki. “Al-
Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah terhadap tanah dengan (imbalan)
sebagian apa yang dihasilkan darinya”. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah
memberikan tanah kepada orang yang akan menggarapnya dengan imbalan ia
memperoleh setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya.
Menurut istilah muzara’ah didefiniskan oleh para ulama seperti yang dikemukakan
oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, yang dikutif oleh Hendi Suhendi adalah sebagai
berikut:
413

“Menurut Hanafiah muzara’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian
yang keluar dari bumi. Menurut Hambaliah muzara’ah adalah pemilik tanah yang
sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.
Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa
tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan menurut Syaikh Ibrahim
al-Bajuri bahwa muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa
yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah”.
          Menurut Sulaiman Rasyid, muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain)
seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga
atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik
tanah. Sementara mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah
atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau
seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang
mengerjakannya.
           Jadi muzara’ah menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan sebagian
yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzara’ah berarti kerjasama antara
pemilik lahan dengan petani penggarap dimana pemilik lahan memberikan tanah
kepada petani untuk digarap agar dia mendapatkan bagian dari hasil tanamannya.
Misalnya seperdua, sepertiga, lebih banyak atau lebiih sedikit daripada itu.

B. Dasar hukum muzara’ah


          Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
‫ا أو‬º‫ه أرض فليزرعه‬º‫انت ل‬º‫لم (من ك‬º‫ه و س‬º‫لى هللا علي‬º‫ول هللا ص‬º‫ال رس‬º‫ ق‬:‫ال‬º‫ه ق‬º‫ي هللا عن‬º‫عن أبي هريرة رض‬
) ‫ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa
yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada
saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat
Muslim)
ُ‫َت لَهُ أَرْ ضٌ فَ ْليَ ْز َر ُعهَا فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْز َر ْعهَا فَ ْليَ ْز َر ْعهَا أَخَاه‬
ْ ‫َم ْن َكان‬
414

Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau


hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat
Bukhari)
          Dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas,
bahwa bagi hasil dengan sistem muzara’ah itu dibolehkan.

C. Rukun dan syarat muzara’ah


           Menurut Hanafiah rukun muzara’ah  ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara
pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja,
modal dan alat-alat untuk menanam”         
Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:

1. Pemilik tanah
2. Petani penggarap
3. Objek al-muzaraah
4. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
       
          Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:
a. Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
b. Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan
macam apa saja yang ditanam.
c. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-
masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik
bersama.
d. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah
dan batas tanah.
e. Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
f. Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam
muzara’ah.
415

          Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad
telah memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
a. Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan
pertanian tersebut
b. Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan
tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan
persentase bagian masing-masing.
c. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
d. Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila
tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
e. Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap
berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya.
Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah
akan diteruskan atau tidak.

D. Perbedaan pendapat tentang muzara’ah


          Munculnya Hadis tentang muzara`ah dari Rafi` bin Khudaij yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. telah melarang dilakukannya muzara`ah setelah sebelumnya
ia memperbolehkannya, dengan dalil Hadis yang menceritakan bahwa telah datang
kepada Rasulullah dua orang yang berselisih tentang muzara`ah yang mereka
lakukan hingga menjadikan mereka berusaha untuk saling membunuh, maka untuk
permasalahan mereka ini Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian halnya yang
terjadi maka sebaiknya mereka tidak melakukannya (muzara`ah). Bunyi Haditsnya
sebagai berikut:
ْ ‫ض َعلَى اَ َّن لَنَا هَ ِذ ِه فَ ُربَ َما أَ ْخ َر َج‬
‫ت هَ ِذ ِه َولَ ْم تُ ْخ ِرجْ هَ ِذ ِه‬ َ ْ‫ار َح ْقالً فَ ُكنَّا نُ ْك ِرىاْالَر‬
ِ ‫ص‬َ ‫ْج قَا َل ُكنَّااَ ْكثَ َر ْاالَ ْن‬
ِ ‫ع َْن َرافِ ِع ْب ِن َخ ِدي‬
َ‫فَنَهَانَاع َْن َذلِك‬
Artinya: Dari jalan Rafi’ bin Khadij, ia berkata: “Kami kebanyakan pemilik tanah
di Madinah melakukan muzara’ah, kami menyewakan tanah, satu bagian
daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah maka kadang-kadang si pemilik tanah
416

itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang
tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya
kami dilarang.
              (H.R. Bukhari).
ُ‫لَّى هللا‬º ‫ص‬ َ ‫ ِد النَّبِي‬º‫ض َعلَى َع ْه‬ َ ْ‫ رُوْ نَ األَر‬º‫ي أَنَّهُ ْم َكانُوْ ا يَ ْك‬
َ ‫ َح َدثَنِّ ْي َع َّما‬:‫ْج قَا َل‬
ٍ ‫س عن َرافِ ِع ْب ِن خَ ِدي‬ ٍ ‫ع َْن َح ْنظَلَةَ ْب ِن قَ ْي‬
. َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن َذلِك‬ ِ ْ‫صا ِحبُ األَر‬
َ ‫ فَنَهَى النَّبِ ُّي‬,‫ض‬ َ ‫ُت َعلَى األَرْ بِ َعا ِء أَوْ َش ْي ٍء يَ ْست َْثنِ ْي ِه‬
ُ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ َما يَ ْنب‬
َ ْ‫ْس بِهَا بَأ‬
‫س بِال ِّد ْين َِر َو الدِّرْ ه َِم‬ َ ‫ لَي‬:ٌ‫ال َرافِع‬ ُ ‫فَقُ ْل‬.
َ َ‫ فَ َك ْيفَ ِه َي بِال ِّد ْين َِر َو الدِّرْ ه َِم؟ فَق‬:‫ت لِ َرافِ ٍع‬

Artinya:“Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata, pamanku
telah menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan tanah pada zaman
Nabi  dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran air atau sesuatu yang telah
dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi shollallohu ,’alaihi wa sallam melarang
hal itu. Aku bertanya kepada Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?,
maka Rafi’ menjawab, tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.
(HR Bukhari)

‫عن كثير بن فرقد عن نافع أن عبد هللا بن عمر كان يكري المزارع فحدث أن رافع بن خديج يأثر عن رسول هللا‬
‫ول هللا‬ºº‫ أنه نهى عن ذلك قال نافع فخرج إليه على البالط وأنا معه فسأله فقال نعم نهى رس‬: ‫صلى هللا عليه و سلم‬
‫صلى هللا عليه و سلم عن كراء المزارع فترك عبد هللا كراءها‬
Artinya: “Dari Katsir Ibnu Farqad dari Nafi’ berkisah, bahwasanya Abdullah Ibnu
Umar dulu biasa menyewakan tanah, kemudian ia mendengar Rafi’ ibnu Khadij
meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw telah melarang hal itu. Maka ia datang
kepada Rafi’ bersamaku dan bertanya mengenai hal tersebut. Jawab Rafi’: “Benar,
Rasulullah saw telah melarang seseorang menyewakan sawah”. Sejak itu Abdullah
tidak lagi mau menyewakannya.”(Hadits Riwayat: An-Nasa’i)
          Dari beberapa Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw melarang
menyewakan tanah pertanian, berarti pemberian upah atau bagi hasil dari hasil
pertanian itu tidak dibolehkan sebagaimana hadits yang disampaikan oleh Rafi’ ibnu
Khadij. Namun hadits ini dibantah oleh Yazid ibnu Tsabit, yang mengatakan bahwa
417

hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’ ibnu Khadij tidak sempurna sebagaimana yang
telah disampaikan oleh Rasulullah. Nafi’ ibnu Khadij hanya mendengarkan sepotong
dari sabda Rasulullah yaitu “Janganlah kamu menyewakan tanah” Sementara dia
tidak tahu apa masalah yang sebenarnya atau melatarbelakangi masalah tersebut
sehingga Rasulullah saw melarangnya. Yazid ibnu Tsabit lebih mengetahui hadits
tersebut dari pada Nafi’ ibnu Khadij, dimana Rasulullah melarang menyewakan
tanah dikarenakan pada suatu hari ada dua orang saling bunuh membunuh
disebabkan masalah penyewaan tanah yang tidak adil tersebut, maka keluarlah hadits
tersebut. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Urwah ibnu Zubair sebagai berikut:
‫ا رجلين‬ºº‫ا كان‬ºº‫ يغفر هللا لرافع بن خديج أنا وهللا أعلم بالحديث منه إنم‬: ‫عن عروة بن الزبير قال قال زيد بن ثابت‬
‫اقتتال فقال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم إن كان هذا شأنكم فال تكروا المزارع فسمع قوله ال تكروا المزارع‬

Artinya: Dari Urwah ibnu Zubair berkata: “Semoga Allah mengampuni Rafi’ ibnu
Khadij. Demi Allah, Aku lebih mengetahui hadits daripada ia. Rasulullah saw
melarang menyewakan tanah, dikarenakan pada suatu hari ada dua orang yang
bunuh membunuh sebab masalah penyewaan tanah, maka dari itu beliau bersabda:
“Jika kamu bertengkar seperti ini, janganlah kamu menyewakan tanah” Rupanya ia
hanya mendengar sabda beliau: “Janganlah kamu menyewakan tanah”.” (H.R. An
Nasa’i)
          Jadi munculnya hadis tentang muzara’ah dari Rafi’ bin Khudaij yang
mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melarang dilakukannya muzara’ah setelah
sebelumnya ia memperbolehkannya, itu memang benar. Namun hal itu tidak bisa
dijadikan hujah larangan menyewakan tanah (muzara’ah) karena hadits tersebut
yang diriwayatkan Rafi’ ibnu Khadij tidak semata-mata dilihat dari apa yang
disampaikan rasulullah saw saja, namun kita lihat dari latar belakng sehingga
dikeluarkan hadits tersebut, dengan kata lain harus dilihat secara kontektual atau
dilihat dari asbabul wurudnya dulu.
          Dengan adanya bantahan dari Yazid ibnu Tsabit ini, maka telah jelas bahwa
tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya muzara’ah.
418

          Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa larangan Rasulullah SAW tentang
muzara’ah dalam hal ini bersifat kasuistik, di mana beliau memandang bahwa orang
tersebut kurang tepat dalam melakukan akad muzara’ah, sehingga larangan itu
bukan berarti melarang hukum muzara’ah secara hukum, melainkan arahan beliau
kepada orang seseorang tertentu untuk menggunakan sistem lain yang lebih tepat.
:‫ فذكرت لطاوس فقال‬،‫ إن رسول هللا نهى عنها‬:‫ما كنا نرى في المزارعة بأسا حتى سمعت رافع بن خديج يقول‬
‫ذ‬ºº‫ ألن يمنح أحدكم أرضه خير من أن يأخ‬:‫قال لي أعلمهم (يقصد ابن عباس) إن رسول هللا لم ينه عنها ولكن قال‬
‫عايها خراجا معلوما – رواه الخمسة‬

“Kami tidak memandang bahwa di dalam muzara’ah itu ada larangan, hingga aku
mendengar Rafi’ bin Khudaij berkata bahwa Rasulullah SAW melarangnya. Maka
aku bertanya kepada Thawus dan beliau berkata,”Orang yang paling mengerti
dalam masalah ini telah memberitahukan ku (maksudnya Ibnu Abbas
ra),”Sesunguhnya Rasulullah SAW tidak melarang muzara’ah, beliau hanya
berkata,”Memberikan tanah kepada seseorang lebih baik dari pada meminta pajak
tertentu.” (HR. Bukhari, Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah)
          Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila bentuk
kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati,
pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 400
m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada
600 m tertentu.
Perbedaannya dengan bentuk muzara’ah yang halal di atas adalah pada cara
pembagian hasil, yaitu:
a. Dimana bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan
terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase.
b. Dimana bentuk yang terlarang itu adalah sejak awal lahan sudah dibagi
dua bagian menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani berkewajiban untuk
menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m itu
419

saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi yang
400 m, menjadi hak pemilik lahan.
          Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti larangannya ada
pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya,
bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan.
Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan
dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan
terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.
          Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu
dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu
banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit,
kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau sama sekali tidak
menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian.

Fasal

Ilya’ul Mawat (Menghidupkan Tanah Mati)

Berkata Syaikh Abu Syuja, menghidupkan tanah mati itu dibolehkan dengan dua
syarat yaitu hendaklah si Muhyi (yang menghidupkan tanah mati) itu seorang
muslim. Hendaklah tanah itu bebas, tidak pernah menjadi mmilik muslim.

Mawat atau tanah yang mati maksudnya tanah yang tidak ada pemiliknya.

Para fuqaha’ (Ahli Fiqh) memberikan ta’rif bahwa mawat adalah tanah yang terlepas
dari kekhususan dan kepemilikan yang terpelihara. Ada pula yang memberikan
ta’rif, bahwa Ihyaa’ul mawaat adalah menyiapkan tanah yang mati yang belum
420

digarap oleh yang lain dan menjadikannya bisa dimanfaatkan baik untuk dipakai
tempat tinggal maupun dipakai bercocok tanam dsb. Dan ada pula yang memberikan
ta’rif, bahwa tanah yang mati adalah tanah yang tidak dimiliki seseorang, tidak ada
bekas penggarapan, atau tidak ada bekas kepemilikan dan penggarapan, dan tidak
diketahui pemiliknya.

Dari ta’rif fuqaha’ di atas dapat diketahui, bahwa tidak termasuk ke dalam mawat
(tanah yang mati) dua masalah ini:

1. Pertama, jika masih dalam kepemilikan yang terpelihara dari orang muslim dan
orang kafir dengan adanya jual beli, pemberian, atau cara lainnya sehingga
memilikinya.

2. Kedua, yang terkait dengan maslahat milik orang yang terpelihara, seperti jalan,
halaman, saluran air atau terkait dengan maslahat penduduk suatu desa seperti untuk
penguburan mayit, tempat pembuangan sampah, lapangan khusus shalat ‘Iedain, area
kayu bakar dan ladang rumput untuk gembala. Maka semua ini tidak bisa dimiliki
dengan menghidupkannya.

3. Dengan demikian, jika suatu tanah lepas dari kepemilikan yang terpelihara dan
dari pengkhususan untuk hal tertentu, kemudian ada orang yang menghidupkannya,
maka tanah itu menjadi miliknya. Hal ini berdasarkan hadits Jabir secara marfu’:

ُ‫فَ ِه َي لَه‬  ً‫َم ْن أَحْ يَا أَرْ ضًا َميِّتَة‬

“Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi
miliknya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, ia menyatakan “Hasan shahih”, dan
dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

Islam mencintai manusia meluaskan bagiannya dalam menggarap dan bertebaran di


muka bumi serta menghidupkan tanah yang matinya sehingga kekayaan mereka
421

banyak dan mereka menjadi kuat. Oleh karena itu, Islam menyukai pemeluknya
mendatangi tanah yang mati lalu menghidupkannya, menggali kebaikannya dan
memanfaatkan keberkahannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫فَ ِه َي لَه‬  ً‫َم ْن أَحْ يَا أَرْ ضًا َميِّتَة‬

“Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi
miliknya.”

Urwah pernah berkata, “Sesungguhnya bumi adalah milik Allah dan hamba-hamba
juga hamba Allah. Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka dia lebih
berhak kepadanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  datang membawa ajaran ini.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

َ ُ‫ فَه َُو لَه‬ ‫ َو َما أَ َكلَهُ ْال َع َوافِ ُّي‬،ٌ‫َم ْن أَحْ يَا أَرْ ضًا َميِّتَةً فَلَهُ فِ ْيهَا أَجْ ر‬
ٌ‫ص َدقَة‬

“Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka di sana ia akan


memperoleh pahala dan tanaman yang dimakan binatang kecil (seperti burung atau
binatang liar), maka hal itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Darimiy dan Ahmad
dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ (4/6))

Syarat Menghidupkan Tanah Yang Mati

Disyaratkan untuk sebuah tanah agar bisa dikatakan mati adalah dengan jauh dari
keramaian, agar bukan termasuk milik mereka dan tidak ada dugaan milik mereka.
Untuk mengetahui jarak jauh dari keramaian adalah dengan mengembalikannya
kepada ‘uruf.

Umumnya para fuqaha di setiap negeri berpendapat bahwa tanah itu dapat dimiliki
dengan dihidupkan, meskipun mereka berselisih tentang syarat-syaratnya. Dan
422

bahwa bukan termasuk mawat adalah tanah haram dan ‘Arafah, maka tanah ini tidak
bisa dimiliki dengan dihidupkan, karena dapat mempersempit manasik.

Menurut penyusun al-Fiqhul Muyassar hal. 261, bahwa untuk sahnya menghidupkan
tanah yang mati disyaratkan dua hal:

1. Bukan milik seorang muslim. Jika ternyata milik seorang muslim, maka tidak
boleh dihidupkan kecuali dengan izin yang syar’i.
2. Orang yang menghidupkan tanah yang mati adalah seorang muslim. Oleh
karena itu, orang kafir tidak boleh menghidupkan tanah yang mati di wilayah
Islam.

Tentang Izin Dari Hakim

Para fuqaha’ sepakat bahwa menghidupkan merupakan sebab memiliki, namun


mereka berselisih tentang apakah perlu izin hakim dalam menghidupkan tanah yang
mati. Kebanyakan para ulama berpendapat, bahwa menghidupkan merupakan sebab
memiliki tanpa ada syarat adanya izin dari hakim. Oleh karena itu, siapa saja yang
menghidupkan, maka ia menjadi pemiliknya tanpa perlu izin dari hakim. Seorang
hakim bahkan wajib menyerahkan haknya ketika ada laporan terjadi perselisihan
kepadanya. Hal ini, berdasarkan riwayat Abu Dawud dari Sa’id bin Zaid bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menghidupkan tanah
yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.”

Berbeda dengan Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa menghidupkan memang


menjadi syarat memiliki, akan tetapi disyaratkan harus ada izin dari imam atau
pengakuannya.

Sedangkan Imam Malik membedakan antara tanah yang berdampingan dengan


keramaian dengan tanah yang jauh dari keramaian. Jika berdampingan, maka harus
423

ada izin dari hakim, namun jika jauh maka tidak disyaratkan izinnya, bahkan
menjadi milik orang yang menghidupkannya.

Barangsiapa yang menahan tanah dan memberinya tanda atau memagarinya dengan
dinding, namun dia tidak menggarapnya, maka haknya menjadi gugur setelah lewat
tiga tahun.

Dari Salim bin Abdullah, bahwa Umar bin Khaththab  radhiyallahu ‘anhu pernah
berkata di atas mimbar,

ِ َ‫ق بَ ْع َد ثَال‬
َ‫ث ِسنِ ْين‬ َ ‫ َولَي‬،ُ‫َم ْن أَحْ يَا أَرْ ضًا َميِّتَةً فَ ِه َي لَه‬
ٌّ ‫ْس لِ ُمحْ تَ ِج ٍر َح‬

“Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi
miliknya, dan bagi pemberi batas tidak memiliki hak  setelah tiga tahun. ”

Yang demikian, karena beberapa orang mudah membatasi, namun tidak mau
menggarapnya.”

Menghidupkan Tanah Orang Lain Tanpa Sepengetahuannya

Sesungguhnya yang berjalan di masa Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdul
‘Aziz adalah apabila seseorang menggarap tanah karena mengira bahwa tanah itu
termasuk tanah yang mati, yakni tidak dimiliki siapa-siapa, lalu ternyata ada orang
lain dan memastikan bahwa tanah itu miliknya, maka ia diberi pilihan, bisa menarik
tanahnya dari si penggarap setelah diberikan upah garapannya atau memindahkan
hak milik kepadanya setelah mengambil harganya.

Tentang hal di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

ٌّ ‫ق ظَالِ ٍم َح‬
‫ق‬ َ ‫ َولَي‬، ُ‫َم ْن أَحْ يَا أَرْ ضًا َميِّتَةً فَ ِه َي لَه‬
ٍ ْ‫ْس لِ ِعر‬
424

“Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi
miliknya, dan bagi keringat yang zalim tidak ada hak.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
Tirmidzi, dan Adh Dhiyaa’, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul
Jami’ no. 5976)

Tercapainya Menghidupkan Tanah Yang Mati

Menghidupkan tanah yang mati itu tercapai dengan beberapa hal berikut:

1. Jika ia memagarinya dengan dinding yang dapat menghalangi secara uruf, maka ia
dikatakan telah menghidupkan. Hal ini berdasarkan hadits Jabir secara marfu’:

ٍ ْ‫َم ْن أَ َحاطَ َحائِطًا َعلَى أَر‬


ُ‫ فَ ِه َي لَه‬, ‫ض‬

“Barangsiapa yang memagari tanah dengan sebuah dinding, maka tanah itu
menjadi miliknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Adh Dhiyaa’ dan dishahihkan oleh
Ibnul Jaarud dan Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5952. Hadits serupa ini
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Samurah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
dalam al-Irwaa’ (1554)).

Hadits ini menunjukkan bahwa memagari tanah menjadikan dirinya memilikinya.


Ukuran yang dianggap dalam hal ini adalah yang bisa disebut sebagai pagar atau
dinding.

Adapun jika hanya menaruh di sekeliling tanah bebatuan, tanah atau dinding kecil
yang masih bisa dilalui atau menggali parit di sekelilingnya, maka ia masih tidak
bisa memiliki, namun ia lebih berhak menghidupkannya daripada yang lain. Dan ia
tidak boleh menjualnya kecuali setelah dihidupkannya.

2. Jika dilakukan penggalian sumur di tanah yang mati tersebut, sampai ditemukan
air, maka ia dianggap telah menghidupkannya. Namun jika ia gali sumur, tetapi
425

belum sampai menemukan airnya, ia masih belum bisa dikatakan memilikinya.


Hanyasaja ia lebih berhak menghidupkan daripada yang lain, karena dialah yang
memulai ingin menghidupkannya.

3. Jika ia mengalirkan air ke tanah yang mati dari mata air atau sungai, maka ia
dianggap telah menghidupkannya, karena pemberian manfaat dengan air itu lebih
besar manfaatnya daripada sekedar memberi dinding.

4. Jika ia menahan air yang senantiasa membanjiri tanah tersebut, sehingga tidak
bisa digarap, lalu ia halangi masuknya air ke tanah itu sehingga bisa digarap, maka
berarti ia telah menghidupkannya.

5. Jika ia menanam pohon, sedangkan sebelumnya tanah itu tidak bisa ditanami
pepohonan, lalu ia membersihkannya, kemudian menanamnya.

Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa menghidupkan tanah yang mati tidak
hanya dengan cara seperti di atas saja, bahkan kembalinya ke ‘uruf (kebiasaan yang
berlaku). Jika orang-orang menganggap bahwa perbuatan ini atau itu dianggap
menghidupkan tanah yang mati, maka berarti ia boleh memiliki tanah itu. Pendapat
ini dipegang oleh para imam madzhab hanbali dan lainnya. Hal itu karena syara’
datang menggantungkan memiliki dengan “menghidupkan” dan tidak
menerangkannya, maka dalam hal ini dikembalikan kepada ‘uruf.
426

Fasal

Waqaf

Berkata Syaikh Abu Syuja, waqaf dibolehkan dengan 3 syarat, yaitu hendaklah
benda yang diwaqafkan itu dari jenis yang boleh dimanfaatkan dengan syarat
kekalnya zat yang diwaqafkan.

Istilah waqaf di dalam syarak yaitu menahan suatu harta yang boleh dimanfaatkan
dengan syarat kekal zatnya. Yang dikarang tasharuf (tindakan) pada zatnya itu,
dibelanjakan kemanfaatannya itu pada jalan kebajikan untuk tujuan taqarrub
(pendekatan diri kepada Allah).

Ulama sepakat bahwa wakaf merupakan ibadah yang dianjurkan syariat. Sebelum
ijma’ (konsensus ulama), terdapat banyak dalil yang menjelaskan pensyariatan dan
keutamaan wakaf.

Di antaranya firman Allah:

ْ ُ‫وا ِم َّما تُ ِحبُّونَ َو َما تُنفِق‬


‫وا ِمن َش ْي ٍء فَإ ِ َّن هللاَ بِ ِه َعلِي ٌم‬ ْ ُ‫وا ْالبِ َّر َحتَّى تُنفِق‬
ْ ُ‫لَن تَنَال‬.

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS Ali Imran: 92).

Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar,
lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah
memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh
yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya
untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan
sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh
427

dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir


miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di
jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan
cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi
makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”

Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam
Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia
itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber,
yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan
anak soleh yang mendoakannya.”

Sahabat Abu Thalhah saat mendengar ayat tersebut bergegas mewakafkan kebun
“Bairuha”, kebun kurma miliknya yang paling ia sukai. Nabi pun sangat
mengapresiasi apa yang dilakukan Abu Thalhah, hingga beliau bersabda “Bagus
sekali. Itu adalah investasi yang menguntungkan (di akhirat)” (HR al-Bukhari).

Nabi bersabda:

َ ‫ إِ َذا َماتَ اإْل ِ ْن َسانُ اِ ْنقَطَ َع َع ْنهُ َع َملُهُ إِاَّل ِم ْن ثَاَل ثَ ٍة‬: ‫ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ رضي هللا عنه أَ َّن َرسُوْ َل هللاِ قَا َل‬
ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬
‫اريَ ٍة‬
ُ‫ح يَ ْد ُعوْ لَه‬ َ ‫أَوْ ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه أَوْ َولَ ٍد‬
ٍ ِ‫صال‬

“Ketika anak Adam mati, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya” (HR Muslim). Anak
saleh yang dimaksud dalam hadits tersebut minimal adalah seorang Muslim yang
mendoakan kedua orang tuanya. Lebih sempurna lagi bila ia juga merupakan pribadi
yang memenuhi hak-hak Allah dan hamba-hamba-Nya, saleh secara spiritual dan
saleh secara sosial. Menurut para ulama sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya)
dalam konteks hadits di atas, diarahkan kepada makna wakaf, karena wakaf adalah
428

satu-satunya bentuk sedekah yang dapat dimanfaatkan secara permanen oleh pihak
penerimanya, sebab syariat memberi aturan agar benda yang diwakafkan dibekukan
tasarufnya; murni untuk dimanfaatkan oleh pihak yang diberi wakaf. Semisal
mewakafkan tanah menjadi masjid, pahalanya akan terus mengalir untuk pewakaf
seiring dengan kelestarian pemanfaatan masjid oleh orang-orang Islam selaku pihak
yang berhak memanfaatkan masjid tersebut. Hal ini berbeda dengan sedekah atau
hibah biasa, misalnya menghibahkan tanah kepada pihak tertentu, pahalanya tidak
dapat dijamin bisa lestari, sebab bisa saja pihak penerima hibah menjualnya. Di sisi
lain, kepemilikan tanah tersebut menjadi hak penerima hibah, berbeda dengan harta
wakafan yang status kepemilikannya kembali kepada Allah.

Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:

‫له‬º‫ا أص‬º‫ وأم‬. ‫ول‬º‫ال القب‬ºº‫ول على كم‬º‫ذا محم‬º‫ل ه‬ºº‫ ولع‬، ‫والولد الصالح هو القائم بحقوق هللا تعالى وحقوق العباد‬
‫يره من‬ºº‫إن غ‬ºº‫رافعي ف‬ºº‫ه ال‬ºº‫ والصدقة الجارية محمولة عند العلماء على الوقف كما قال‬، ‫فيكفي فيه أن يكون مسلما‬
‫ملها‬º‫افع وإن ش‬º‫ية بالمن‬º‫ا الوص‬º‫ وأم‬.‫اجزا‬º‫ا ن‬º‫ا ومنافعه‬º‫ه أعيانه‬º‫دق علي‬º‫ك المتص‬º‫ل يمل‬º‫ ب‬،‫الصدقات ليست جارية‬
‫الحديث فهي نادرة فحمل الصدقة في الحديث على الوقف أولى‬.

“Anak saleh adalah orang yang memenuhi hak-hak Allah dan hamba-hamba-Nya.
Mungkin saja ini diarahkan kepada kesempurnaan diterimanya doa. Adapun inti
diterimanya doa, maka cukup anak yang muslim. Sedekah jariyah diarahkan kepada
wakaf menurut para ulama seperti yang dikatakan imam al-Rafi’i, sesungguhnya
selain wakaf dari beberapa sedekah tidak mengalir pahalanya, bahkan pihak yang
diberi sedekah memiliki benda dan manfaatnya secara langsung. Adapun wasiat
dengan beberapa manfaat meski tercakup oleh hadits, akan tetapi jarang diterapkan.
Maka mengarahkan sedekah dalam hadits atas arti wakaf lebih utama” (Syekh
Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2 hal. 485).

Setelah anjuran wakaf disabdakan Nabi, para sahabat sangat gemar mewakafkan
hartanya. Bahkan menurut catatan sejarah, wakaf menjadi ibadah yang nge-trend dan
sangat populer di kalangan mereka. Hingga sahabat Jabir menuturkan tiada sahabat
429

yang memiliki kemampuan finansial kecuali mewakafkan hartanya. Imam al-Syafi’i


menegaskan ada 80 sahabat Anshar yang bersedekah wakaf.

Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji keterangan sebagai berikut:

- ‫ول هللا‬ºº‫حاب رس‬ºº‫د من أص‬ºº‫ ما بقى أح‬:‫ حتى قال جابر رضي هللا عنه‬،‫وقد اشتهر الوقف بين الصحابة وانتشر‬
‫ار‬ºº‫حابيا ً من األنص‬ºº‫ بلغني أن ثمانين ص‬:‫ وقال الشافعي رحمه هللا تعالى‬.‫ له مقدرة إال وقف‬- ‫صلى هللا عليه وسلم‬
‫ والشافعي رحمه هللا يطلق هذا التعبير (صدقات محرمات) على الوقف‬.‫تص ّدقوا بصدقات محرمات‬.

“Dan telah masyhur berwakaf di antara sahabat dan menyeluruh, sehingga sahabat
Jabir berkata; tidaklah tersisa dari para sahabat Nabi yang memiliki kemampuan
(finansial) kecuali mewakafkan hartanya. Al-Imam al-Syafi’i berkata; telah sampai
kepadaku bahwa 80 sahabat dari Anshar bersedekah dengan sedekah yang
diharamkan (dijual dan dihibahkan). Al-Syafi’i mengucapkan redaksi ‘sedekah yang
diharamkan’ ini untuk arti wakaf”

Wakaf pertama kali dalam sejarah Islam adalah wakaf yang dilakukan Sahabat Umar
atas sebidang tanah Khaibar yang dimilikinya. Hal itu beliau lakukan atas perintah
Nabi. Sahabat Umar memberi beberapa syarat atas pewakafan tanah tersebut, di
antaranya tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan. Sahabat Umar juga
memberi syarat agar pengelolanya diperkenankan memakan atau memberi makan
kerabatnya dari hasil bumi tanah tersebut dengan sewajarnya, tidak berlebihan dan
bebas layaknya orang yang memiliki hak kepemilikan secara pribadi. Riwayat lain
menyebutkan wakaf pertama kali dalam Islam adalah wakafnya Nabi atas harta yang
beliau terima dari Mukhairiq, seorang alim dari Bani Nadlir. Nabi menerima
pemberian harta wasiat dari Mukhairiq di tahun ketiga Hijriyyah, kemudian selang
beberapa waktu Nabi mewakafkannya

Fasal
430

Hibah (Pemberian)

Berkata Sheikh Abu Syujak, setiap yang boleh dijual boleh di hibahkan.

Ketahuilah, bahwasanya memilikan yang lain tanpa diganti atau bayaran, yaitu
mengkhususkan pemberian itu baginya karena menuntut pahala daripada Allah
Taa’ala

Hibah, hadiah, dan wasiat adalah istilah-istilah syariat yang sudah menjadi
perbendaharaan bahasa Indonesia, sehingga istilah-istilah ini bukan lagi suatu yang
asing. Hibah, hadiah dan wasiat merupakan bagian dari tolong menolong dalam
kebaikan yang diperintahkan agama islam. Dalam hukum Islam, seseorang
diperbolehkan untuk memberikan atau menghadiahkan sebagian harta kekayaan
ketika masih hidup kepada orang lain. Pemberian semasa hidup itu sering disebut
sebagai hibah. Allâh Azza wa Jalla mensyariatkan hibah karena mendekatkan hati
dan menguatkan tali cinta antara manusia, sebagaimana disabdakan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ ابَوْ ا‬º‫ا ُدوْ ا ت ََح‬ººَ‫ تَه‬Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR. Al-
Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad no. 594.
Oleh karena itu, permasalahan hibah ini perlu diperhatikan dalam rangka
mewujudkan rasa cinta diantara kaum Muslimin yang sangat perlu sekali terus
dipelihara dan ditumbuh kembangkan.
Kata hibah berasal dari bahasa Arab dari kata ( ُ‫ )ال ِهبَة‬yang berarti pemberian yang
dilakukan seseorang saat dia masih hidup kepada orang lain tanpa imbalan
(pemberian cuma-cuma), baik berupa harta atau bukan harta. Diantaranya kata ini
digunakan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
ۖ ‫وب‬ºَ ºُ‫ث ِم ْن آ ِل يَ ْعق‬
ُ ‫ر‬º ِ ºَ‫﴾ ي‬٥﴿ ‫ا‬ººًّ‫ ُد ْنكَ َولِي‬ºَ‫اقِرًا فَهَبْ لِي ِم ْن ل‬ºº‫ت ا ْم َرأَتِي َع‬
ِ ºَ‫رثُنِي َوي‬º ِ َ‫ت ْال َم َوالِ َي ِم ْن َو َرائِي َو َكان‬
ُ ‫َوإِنِّي ِخ ْف‬
‫ضيًّا‬ِ ‫َواجْ َع ْلهُ َربِّ َر‬
431

Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku


adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra
yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya´qûb; dan jadikanlah
ia, ya Rabbku, seorang yang diridhai [Maryam/19:5-6].
Sedangkan pengertian hibah menurut para Ulama ahli fikih, disampaikan syaikh
ِّ ‫ع بِ ْال َما ِل فِ ْي َحالَ ِة ْال َحيَا ِة َو ال‬
Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah dengan ungkapan: ‫ص َّح ِة‬ ٌ ُّ‫تَبَر‬
Pemberian harta cuma-cuma dalam keadaan hidup dan sehat. [Minhâjus Sâlikin, hlm
175].
Dengan demikian pengertian hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang
kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan dalam keadaan sehat.
Serah terima harta yang diberikan itu dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang hibah sebagai pemberian cuma-
cuma (tabarru’) dengan menyatakan, “Imam as-Syâfi’i rahimahullah membagi
pemberian dengan menyatakan, ‘Pemberian harta oleh manusia tanpa imbalan
(tabarru’) kepada orang lain terbagi menjadi dua (yaitu) yang berhubungan dengan
kematian yaitu wasiat dan yang dilaksanakan dalam masa hidupnya. Yang kedua ini
terbagi menjadi dua jenis; salah satunya adalah murni pemberian (at-tamlîk al-
mahdh) seperti hibah dan sedekah. Yang kedua adalah wakaf. Pemberian murni ada
tiga jenis yaitu hibah, hadiah dan sedekah tatawwu’ (sedekah yang hukumnya tidak
wajib). Cara membedakannya adalah pemberian tanpa bayaran adalah hibah, apabila
diiringi dengan memindahkan barang yang diberikan dari tempat ke tempat orang
yang diberi sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan maka itu dinamakan
hadiah.
Apabila diiringi dengan pemberian kepada orang yang membutuhkan (miskin) dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan mencari pahala akhirat
maka dinamakan sedekah. Perbedaan hadiah dari hibah adalah dengan dipindahkan
dan dibawa dari satu tempat ketempat lainnya. Berdasarkan ini, pemberian hewan
onta buat tanah haram disebut hadiah (‫)اِ ْهدَا ُء ْالنَ َع ِم إِلَى ْال َح َرم‬. Oleh karena itu, tidak bisa
menggunakan lafaz hadiah pada pemberian bumi dan bangunan sama sekali.
432

Seseorang tidak boleh mengatakan: ‫ أَ ْهدَى إِلَ ْي ِه دَارًا و الَ أَرْ ضًا‬Dia menghadiahinya rumah
atau tanah Hadiah hanya digunakan pada pemberian harta yang bisa diangkat dan
dipindah-pindah seperti baju atau yang lainnya. (Raudhatuth Thâlibîn 5/364).
Berkaitan dengan hibah ini, dapat disimpulkan: Hibah merupakan perjanjian sepihak
yang dilakukan oleh penghibah ketika hidupnya untuk memberikan suatu barang
dengan cuma-cuma kepada penerima hibah.; Hibah harus dilakukan antara dua orang
yang masih hidup;
Hibah ini disyariatkan Allâh Azza wa Jalla sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an
dan as-Sunnah serta sudah menjadi kesepakatan para Ulama. Adapun dalil dari al-
Qur`an adalah firman Allâh Azza wa Jalla : ‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۚ فَإ ِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء‬
َ ‫َوآتُوا النِّ َسا َء‬
‫ا َم ِريئًا‬ººً‫وهُ هَنِيئ‬ººُ‫ا فَ ُكل‬º ‫هُ نَ ْف ًس‬º ‫ ِم ْن‬Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya [An-Nisâ’/4:4] Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menghalalkan
memakan sesuatu yang berasal dari hibah. Ini menunjukkan bahwa hibah itu boleh.
sedangkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali,
diantaranya sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‫ ابَوْ ا‬º‫ا ُدوْ ا تَ َح‬ººَ‫ تَه‬Saling
memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR. Al-Bukhâri dalam al-
Adâbul Mufrad no. 594. Hadits ini dinilai sahih oleh al-Albâni dalam kitab al-Irwa’,
no. 1601]
ِ ‫العائِ ُد في ِهبَتِ ِه َك ْال َك ْل‬
Demikian juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‫ب يَعُوْ ُد فِي‬
‫ ِه‬ºِ‫ قَ ْيئ‬Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat kembali
muntahnya [HR. Al-Bukhâri] Larangan menarik kembali hibah dalam hadits ini
menunjukkan secara tegas bahwa hibah ini disyari’atkan. Demikian telah ada ijma’
atas pensyariatannya. [Lihat Durar al-Hukâm Syarh Majallâh al-Ahkâm,1/396].
Mayoritas Ulama memandang bahwa hibah memiliki empat rukun yaitu orang yang
memberi (al-wâhib), orang yang diberi (al-mauhûb lahu), benda yang diberikan (al-
mauhûb) dan tanda serah terima (shighat). (lihat Mughni al-Muhtâj, 2/397 dan
433

Kasyâf al-Qanâ’ 4/299). Sedangkan mazhab Hanafiyah memandang rukunnya hanya


satu yaitu shighat saja. (lihat al-Mabsûth 12/57 dan Badâ’i ash-Shanâ’i 6/115).
Pemberi (al-Wâhib) Dalam hibah disyaratkan al-Waahib beberapa syarat berikut:
Pemberi adalah seorang yang merdeka bukan budak. Pemberian yang dilakukan oleh
seorang budak itu tidak sah. Karena dia dan semua miliknya adalah milik tuannya.
Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Seorang hamba sahaya tidak boleh
memberi hibah kecuali dengan izin tuannya, karena dia adalah milik tuannya.
Diperbolehkan bagi sang budak menerima hibah tanpa izin tuannya.” (al-Mughni
8/256). Pemberi adalah seorang yang berakal dan tidak sedang dilikuidasi (al-hajr)
karena kurang akal atau gila. Pemberi telah mencapai usia baligh. Pemberi adalah
pemilik sah barang yang dihibahkan (diberikan). Tidak boleh menghibahkan harta
orang lain tanpa izin karena si pemberi tidak memiliki hak kepemilikan pada barang
yang bukan miliknya. [diringkas dari al-Fiqhul Muyassar, hlm 297-298 dan lihat
lebih lengkap pada Badâ’i ash-Shanâ’i 6/118; al-Qawânîn al-Fiqhiyah hlm 315;
Mughni al-Muhtâj 2/397; al-Mughni 4/315] Penerima Pemberian (al-Mauhûb lahu)

Tidaklah terdapat persyaratan tertentu bagi pihak yang akan menerima hibah,
sehingga hibah bisa saja diberikan kepada siapapun dengan beberapa pengecualian
sebagai berikut : Bila hibah terhadap anak di bawah umur atau orang yang tidak
waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengampu yang sah
dari mereka. Barang yang dihibahkan (al-Mauhuub). diantara syarat-syarat
berkenaan dengan harta yang dihibahkan adalah: Barangnya jelas ada pada saat
dihibahkan Akad hibah (pemberian) suatu barang dinyatakan tidak sah, jika saat
hibah, barang yang dihibahkan tidak ada. Misalnya, menghibahkan buah kebun yang
akan ada dan berbuah tahun depan atau janin yang belum ada. Inilah pendapat
mazhab Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah
berkata, ‘Tidak sah hibah janin yang ada dalam perut dan susu yang masih belum
diperas. Inilah pendapat Abu Hanîfah rahimahullah, asy-Syâfi’i rahimahullah dan
Abu Tsaur rahimahullah, karena sesuatu yang dihibahkan itu belum ada dan tidak
434

bisa diserahkan. (al-Mughni, 8/249). Barang yang dihibahkan sudah diserah


terimakan. inilah pendapat mayoritas Ulama. Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata, “Orang yang diberi hibah tidak bisa memiliki hibah tersebut kecuali setelah
serah terima.” [al-Majmû’, Syarhul Muhadzdzab, 16/351] Benda yang dihibahkan
adalah milik orang yang memberi hibah Tidak boleh menghibahkan milik orang lain
tanpa izin pemiliknya. Syarat ini adalah syarat yang telah disepakati para ulama.
Shighat. Shighat, menurut para Ulama fikih ada dua jenis yaitu shighat perkataan
(lafazh) yang dinamakan ijab dan qabul dan shighat perbuatan seperti penyerahan
tanpa ada ijab dan qabul. Para Ulama fikih sepakat ijab dan qabûl dalam hibah itu
mu’tabar (diperhitungkan), namun mereka berselisih tentang shighat perbuatan atau
al-mu’athah dalam dua pendapat. Mayoritas para Ulama mensyaratkan adanya ijab
dan qabûl dalam hibah, sedangkan mazhab Hanabilah memandang al-mu’athah
(serah terima tanpa didahulu kalimat penyerahan dan penerimaan-red) dalam hibah
itu juga sah selama menunjukkan adanya serah terima, dengan alasan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Beliau pada zaman dahulu juga
memberikan hibah dan menerimanya. Namun tidak dinukilkan dari mereka adanya
syarat ijab dan qabûl dan sejenisnya, sehingga tetap diberlakukan semua bentuk
shighat boleh dalam hibah.
Telah dijelaskan bahwa akad hibah tidak sah kecuali setelah diserah terimakan
menurut pendapat mayoritas Ulama. Hal ini menghasilkan akad hibah dari sisi
kepermanenannya melalui dua fase: Fase sebelum diserah-terimakan. Ketika itu,
hibah belum bersifat permanen. Mayoritas Ulama berdalil dengan hadits Ummu
Kultsum binti Abu Salamah Radhiyalahu anhuma yang menyatakan:
َّ ِ‫اش ِّي حُ لَّةً َوأَ َواق‬
ٍ ‫ي ِم ْن ِمس‬
،‫ْك‬ ِ ‫ْت إِلَى النَّ َج‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أُ َّم َسلَ َمةَ ق‬
ُ ‫ ِإنِّي قَ ْد أَ ْه َدي‬:‫ال لَهَا‬ َ ِ ‫لَ َّما تَ َز َّو َج َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ َو َكانَ َك َما ق‬:‫ قَا َل‬، »‫ك‬
‫ال‬ ِ َ‫ي فَ ِه َي ل‬ َّ َ‫ت َعل‬ ْ ‫ فَإ ِ ْن ُر َّد‬،‫ي‬ َّ َ‫ َواَل أَ َرى إِاَّل هَ ِديَّتِي َمرْ دُو َدةً َعل‬، َ‫ي إِاَّل قَ ْد َمات‬ َّ ‫َواَل أَ َرى النَّ َجا ِش‬
َ‫ َوأَ ْعطَى أُ َّم َسلَ َمة‬،‫ك‬
ٍ ‫ فَأ َ ْعطَى ُك َّل ا ْم َرأَ ٍة ِم ْن نِ َسائِ ِه أُوقِيَّةَ ِم ْس‬º،ُ‫ت َعلَ ْي ِه هَ ِديَّتُه‬
ْ ‫ َو ُر َّد‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬َ ِ ‫َرسُو ُل هَّللا‬
َ‫ك َو ْال ُحلَّة‬
ِ ‫بَقِيَّةَ ْال ِم ْس‬
Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Salamah
Radhiyallahu anhuma, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
435

“Sungguh aku telah memberikan hadiah kepada Najasyi berupa pakaian dan
beberapa botol misk dan saya yakin Najasyi sudah wafat dan hadiahku tersebut akan
dikembalikan kepadaku.
Apabila dikembalikan kepadaku maka itu menjadi milikmu.” Ummu Kultsum
Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan terjadilah seperti yang Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam katakan dan dikembalikan hadiahnya kepada Beliau, lalu Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan setiap istrinya sebotol minyak misk dan
memberikan sisa minyak misk dan pakaian kepada Ummu Salamah.

Juga karena hibah adalah akad tabarru’ (nirlaba), seandainya sah tanpa serah terima,
tentulah yang diberi hibah memiliki hak untuk menuntut pemberi hibah agar
menyerahkan hadiah tersebut kepadanya, sehingga menjadi seperti akad dhamân
(ganti rugi). Ini tidak sesuai. Ditambah lagi penarikan hibah sebelum terjadi serah
terima menunjukkan si pemberi hibah tidak ridha dengan pemberian tersebut.
Apabila dipaksa harus menyerahkan, maka sama dengan mengeluarkan harta tanpa
keridhaan. Ini bertentangan dengan tabiat hibah itu sendiri.
Fase setelah terjadi serah terima. Hibah dalam keadaan seperti ini bersifat permanen
dan mengikat sehingga tidak boleh ditarik kembali, sebagaimana dilarang Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‫العائِ ُد‬
ِ ‫ في ِهبَتِ ِه َك ْال َك ْل‬Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang
‫ب يَعُوْ ُد فِي قَ ْيئِ ِه‬
menjilat kembali muntahnya [HR. Al-Bukhâri]. Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam : ُ‫ َده‬ºَ‫ا يُ ْع ِطي َول‬ºº‫ َد فِي َم‬ºِ‫ إِال ْال َوال‬،‫ا‬ººَ‫ َع فِيه‬º‫ ثُ َّم يَرْ ِج‬،ً‫ة‬ºَ‫ أوْ ِهب‬،ً‫أن يُ ْع ِط َي َع ِطيَّة‬
ْ ‫ ِل‬º‫ لُّ لِ َر ُج‬º‫ ال يَ ِح‬Tidak
diperbolehkan bagi seorang yang memberikan pemberian atau hibah kemudian ia
menarik kembali pemberiannya kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.

Anda mungkin juga menyukai