Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HADIST II

CARA MENGHILANGKAN NAJIS

Dosen Pengajar : Nadiah, M.Pd

DI SUSUN OLEH :

AHMAD AFIF ARHAMI (31.18.186)

SHOFA AZZAHRA (31.18.205)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA

2019 / 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan kepada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah materi mata kuliah Hadist
II kami yang berjudul “Cara Menghilangkan Najis”. Sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.
Makalah ini menjelaskan tentang pengertian najis, Benda-benda yang termasuk
najis, Jenis-Jenis Najis, Istinja’, Najis yang dimaafkan, cara mencuci benda yang
terkena najis. Dengan demikian materi makalah ini diharapkan dapat membantu
proses belajar mahasiswa.
Teriring ucapan terima kasih kepada Ibu Nadiah selaku pembimbing kami
dalam pembelajaran mata kuliah Hadist II, juga kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan serta motivasi kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan
dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun guna perbaikan dan peningkatan kualitas makalah di masa yang akan
datang dari pembaca adalah sangat berharga bagi kami.
Demikian makalah ini kami susun, semoga makalah ini bisa menambah
keilmuan dan bermanfaat bagi kita semua serta menjadi tambahan referensi bagi
penyusunan makalah dengan tema yang senada diwaktu yang akan datang. Aamiin
yaa robbal ‘alamin.

Jakarta, 2 Oktober 2019

Penulis
A. Latar Belakang Masalah

Bersih atau suci dan najis bergantung pada pandangan syariah karena manusia
terkadang menganggap baik sesuatu yang keji dan menganggap keji sesuatu yang
baik. Oleh sebab itu, asal segala sesuatu itu adalah suci. Jadi, orang yang mengatakan
sesuatu itu najis, ia harus membuktikannya dengan tepat. Sebaliknya, orang yang
mengatakan sesuatu itu suci, tidak perlu memaparkan dalil.
Apabila sesuatu itu diciptakan untuk kita, dapat disimpulkan bahwa kita boleh
memanfaatkannya sesuai dengan kemauan kita. Sedangkan, suatu yang najis tidak
dimanfaatkan bagaimanapun bentuknya. Sesuatu yang najis adalah semua hewan
yang tidak dapat dimakan selain manusia, hewan yang darahnya tidak mengalir, dan
binatang yang sulit dimakan, seperti kucing.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan


untuk terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan makalahnya sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Najis?
2. Apa dalil-dalil yang menjelaskannya?
3. Apa Saja Jenis-Jenis Najis?
4. Bagaimana Cara Istinja’?
C. Pembahasan

CARA MENGHILANGKAN NAJIS

Najasah atau najis secara bahasa artinya kotoran. Najasah atau


najis dalam istilah syariat adalah segala sesuatu yang dianggap kotor oleh
syariat. Dalam Ar Raudhatun Nadiyyah disebutkan,

‫النجاسات جمع نجاسة‬, ‫و هي كل شيئ يستقذره أهل الطبائع السليمة و يتحفظون عنه و يغسلون الثياب إذا‬
‫أصابهم كالعذرة و البول‬

“Najasah adalah bentuk jamak dari najasah, ia adalah segala sesuatu yang dianggap
kotor oleh orang-orang yang memiliki fitrah yang bersih dan mereka akan berusaha
menjauhinya dan membersihkan pakaiannya jika terkena olehnya semisal kotoran
manusia dan air seni”.

PERINTAH MEMBERSIHKAN NAJIS

Syariat memerintahkan kita untuk membersihkan diri dari najis dalam


banyak dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Diantaranya firman Allah Ta’ala:

َ َ‫َوثِيَابَكَ ف‬
‫ط ِِّهر‬

“dan pakaianmu sucikanlah” (QS. Al Mudatsir: 4).

Allah Ta’ala juga berfirman:

َّ ‫ي ِلل‬
‫طائِفِينَ و‬ َ ‫ِيم َوإِس َما ِعي َل أَن‬
َ ِ‫ط ِ ِّه َرا بَيت‬ َ ‫ع ِهدنَا ِإلَى إِب َراه‬
َ ‫ََو‬ ُّ ‫الر َّكعِ ال‬
َ ‫س ُجو ِد‬ ُّ ‫العَا ِكفِينَ َو‬
“Dan kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk mensucikan rumah-Ku
bagi orang-orang yang ber-thawaf, ber-i’tikaf dan orang-orang yang rukuk dan
sujud” (QS. Al Baqarah: 125).

Hadist

dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi


Wasallam bersabda:

َ‫ير أ َ َّما أَ َحدُهُ َما فَ َكان‬


ٍ ِ‫ان فِي َكب‬ ِ َ‫سلَّ َم َعلَى قَب َري ِن فَقَا َل أ َ َما إِنَّ ُه َما لَيُ َعذَّب‬
ِ َ‫ان َو َما يُعَذَّب‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا ُ َعلَي ِه َو‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َم َّر َر‬
‫يَم ِشي بِالنَّ ِمي َم ِة َوأ َ َّما اآل َخ ُر فَ َكانَ ال يَستَتِ ُر ِمن بَو ِل ِه‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melewati dua kuburan. Lalu beliau


bersabda: “kedua orang ini sedang diadzab, dan mereka diazab bukan karena dosa
besar. Orang yang pertama diadzab karena berbuat namimah (adu domba).
Adapun yang kedua, ia diadzab karena tidak membersihkan diri dari sisa
kencingnya”” (HR. Muslim no. 292).

CARA MEMBERSIHKAN NAJIS

Para ulama membagi najis dibagi menjadi tiga:

1. Najasah mughallazhah (berat) atau najasah tsaqilah


2. Najasah mukhaffafah (ringan)
3. Najasah mutawashitah (pertengahan)

1. Cara membersihkan Najis Mugholadzhoh / Tsaqilah


Misalnya najis dari anjing dan babi, maka membersihkannya dengan tujuh
kali cucian, dan cucian yang pertama menggunakan tanah atau semacamnya. Syaikh
As Sa’di menyatakan: “Najis dari anjing dan semua yang berasal dari babi cara
mencucinya harus dengan tujuh kali cucian, dan cucian yang pertama menggunakan
tanah atau semacamnya”.

Dalilnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

َ ُ ‫ أَن يَغ ِسلَه‬، ُ‫َاء أ َ َح ِد ُكم إِذَا َولَ َغ فِي ِه الكَلب‬


‫سب َع َم ِّر‬ ِ ‫ور إِن‬ َ ََ ‫ب‬
ُ ‫ط ُه‬ َ ُ‫ت أ‬
ِ ‫واله َُّن بِالت ُّ َرا‬ ٍ ‫ا‬

“cara mensucikan bejana dari seseorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah
dengan mencucinya tujuh kali, cucian yang pertama menggunakan tanah” (HR. Al
Bukhari no. 182, Muslim no. 279).

Dan babi juga demikian, berdasarkan qiyas min baabil aula. Karena babi
lebih buruk dari pada anjing.

Kosakata Hadits

 kata ‫(طهور‬thuhur) merupakan isim mashdar.


 kata ‫(ولغ‬walagho) = menjilat, artinya meminum dengan ujung lidah, dan ini
cara minum anjing dan hewan-hewan buas lainnya.
 kata ‫(التراب‬at-turob) = debu, yaitu sesuatu yang halus di permukaan tanah.
 kata ‫(فليرقه‬falyuriqhu) yaitu hendaknya ia menumpahkannya (air) ke tanah.
 kata ‫ أو أوالهن‬,‫(أخراهن‬ukhoohunna aw uulahunna) = yang pertamannya atau
yang terakhirnya. Yang rajih bahwa ini adalah keraguan dari perawi hadits,
bukan maksudnya boleh memiliih (antara yang pertama atau yang terakhir),
riyawat “ulaahunna” (yang pertamanya) lebih rajih karena banyaknya riwayat
tentangnya, dan karena diriwayatkan oleh Bukhori Muslim (syaikhoin), dan
juga karena debu jika digunakan pada cucian pertama maka itu lebih bersih
(dibandingkan jika debunya digunakan pada cucian yang terakhir).

Faedah Hadits

1. Anjing itu najis, demikian juga anggota tubuh dan kotorannya, seluruhnya
najis.
2. Najisnya adalah najis yang paling berat.
3. Tidak cukup untuk menghilangkan najisnya dan bersuci darinya kecuali
dengan tujuh kali cucian.
4. Jika anjing menjilat ke dalam wadah, maka tidak cukup membersihkan
jilatannya dengan dibersihkan saja, tetapi mesti dengan menumpahkan isi di
dalamnya kemudian mencuci wadah tersebut sebanyak tujuh kali, salah
satunya dengan debu.
5. Wajibnya menggunakan debu sekali dari tujuh kali cucian, dan yang lebih
utama pada cucian pertama sehingga air digunakan untuk cucian selanjutnya.
6. Penggunaan debu tidak boleh digantikan dengan pembersih lainnya karena:
o Dengan debu dihasilkan kebersihan yang tidak diperoleh jika
menggunakan bahan pembersih lain.
o Tampak dari kajian ilmiah bahwa debu memiliki kekhususan dalam
membersihkan najis ini, tidak seperti pada bahan pembersih lainnya.
Ini merupakan salah satu mukjizat ilmiah pada syariat Muhammad ini
yang beliau tidak berbicara dari hawa nafsunya, melainkan
berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.
o Sesungguhnya debu adalah kata yang tercantum di dalam hadits, wajib
kita mengikuti nash. Seandainya ada benda lain yang boleh
menggantikannya maka tentu telah datang nash yang menjelaskannya.
“Dan tidaklah Rabb-mu lupa” (al ayah).
7. Menggunakan debu boleh dengan mencampurkan air dengan debu atau
mencampurkan debu dengan air atau dengan mengambil debu yang telah
bercampur dengan air, lalu tempat yang terkena najis dicuci dengannya.
Adapun dengan mengusap tempat najis dengan debu saja, maka tidak sah.
8. Telah tetap secara medis dan terungkap melalu alat mikroskop dan alat
modern lainnya bahwa di dalam air liur anjing terdapat mikroba dan penyakit
yang mematikan dan air saja tak dapat menghilangkannya kecuali disertai
dengan debu. Tidak ada cara lain. Maha suci Allah Yang Maha Mengetahui
lagi Memberi tahu.

2. Cara membersihkan Najis Mukhoffafah

Najasah yang mukhaffah ada 3 macam di lihat dari cara membersihkannya:

a. Dengan cara memercikkan air sekali percikan

Syaikh As Sa’di menyatakan: “air kencing anak laki-laki yang belum memakan
makanan karena syahwat (untuk makan) maka ini semua cukup dipercikkan air
sekali saja, ini merupakan salah satu pendapat dari madzhab (Hambali),
sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits shahih. Demikian juga muntahnya anak-
anak, itu statusnya lebih ringan daripada air kencingnya. Demikian juga madzi,
menurut pendapat yang shahih, ia juga cukup dipercikkan air saja, sebagaimana
terdapat dalam hadits, dan ini semua selaras dengan hikmah keringanan dalam
masyaqqah”.

Berikut perincian dalilnya:


 Air kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan
Hadits dari Abu Samh Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

‫ش ِمن بَو ِل الغُالَ ِم‬ ِ ‫س ُل ِمن بَو ِل ال َج‬


ُّ ‫اريَ ِة َوي َُر‬ َ ‫يُغ‬

“Air kencing anak perempuan itu dicuci, sedangkan air kencing anak laki-
laki itu dipercikkan” (HR. Abu Daud 377, An Nasa’i 303, dishahihkan Al
Albani dalam Shahih An Nasa’i).

 Muntahnya anak laki-laki yang belum memakan makanan, diqiyaskan


dengan air kencing.
 Madzi
Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, ia berkata:

‫اإلنسان‬
ِ ُ ‫فسألَه عن ال َمذي ِ يَخ ُر‬، ‫سلنا ال ِمقدَّاد َ بنَ األسو ٍد إلى رسو ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬
َ‫ج ِمن‬ َ ‫أر‬
َ‫وانضَّح فَر َجك‬، ‫ ت ََوضَّأ‬: ‫كيف يَفعَ ُل به ؟ فقال رسو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬َ

“Miqdad bin Al Aswad mengutusku kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi


Wasallam. Lalu aku bertanya mengenai madzi yang keluar dari seseorang,
bagaimana menyikapinya? Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: ‘berwudhulah dan percikkan kemaluanmu dengan air‘” (HR.
Muslim 303).

b. Dengan menyiramnya sekali siram atau secukupnya hingga hilang inti


objeknya

Ini berlaku pada semua najis yang ada di atas permukaan lantai atau
tanah. Syaikh As Sa’di menyatakan: “Najis jika berada di atas permukaan tanah
atau lantai maka cukup disiram dengan sekali siraman yang membuat ‘ainun
najasah (inti dari objek najis) hilang, sebagaimana perintah Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam untuk menyiram air kencing orang badwi dengan seember air” 7.
Dalilnya hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

َ َ‫سلَّ َم فَلَ َّما ق‬


ُ ‫ضى بَولَه‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَي ِه َو‬ ُّ ‫ «فَنَ َهاهُ ُم النَّ ِب‬،‫اس‬
َ ‫ي‬ ُ َّ‫ فَزَ َج َره ُ الن‬،ِ‫طائِفَ ِة ال َمس ِجد‬ ٌّ ِ‫َجا َء أَع َراب‬
َ ‫ي فَبَا َل فِي‬
‫ب ِمن َماءٍ فَأُه ِريقَ َعلَي ِه‬ ٍ ‫سلَّ َم بِذَنُو‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَي ِه َو‬
َ ‫ي‬ ُّ ِ‫«أ َ َم َر النَّب‬

“Seorang arab badwi kencing di satu bagian masjid, maka orang-orang pun hendak
memarahinya. Namun Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mereka. Ketika ia selesai
kencing, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk menyiram air
kencingnya dengan seember air” (HR. Bukhari no. 221, Muslim no. 284).

Dari hadits ini jelas bahwa najis yang ada di permukaan lantai atau tanah
maka cukup hingga hilang ‘ainun najasah (inti dari objek najis), tidak harus hilang
100%. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hanya memerintahkan untuk
menyiram air kencing orang badwi tersebut dengan air seember yang tentu belum
menghilangkan semua najisnya 100%.

c. Dengan menyentuhkan pada debu atau tanah

Yaitu najis yang ada pada bagian bawah sepatu dan alas kaki lainnya, juga
pada bagian bawah pakaian wanita yang terkena tanah. Syaikh As Sa’di
menjelaskan: “Najis yang ada pada bagian bawah sepatu dan alas kaki lainnya,
cukup disentuhkan pada permukaan tanah atau pada debu, sebagaimana terdapat
dalam hadits shahih. Dan ini yang sesuai dengan hikmah syar’iyyah”.

Dalilnya hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu:

َ‫ فَلَ َّما َرأَى ذَلِك‬،ِ‫اره‬


ِ ‫س‬ َ ‫ص ِلِّي ِبأَص َحا ِب ِه إِذ َخلَ َع نَعلَي ِه فَ َو‬
َ َ‫ضعَ ُه َما َعن ي‬ َ ُ‫سلَّ َم ي‬ َ ُ ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ ‫َّللا‬ ُ ‫بَينَ َما َر‬
ِ َ‫ « َما َح َملَ ُكم َعلَى إِلق‬:‫ قَا َل‬،ُ‫ص َالتَه‬
‫اء‬ َ ‫سلَّ َم‬َ ‫صلَّى هللا ُ َعلَي ِه َو‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِ ‫َّللا‬ ُ ‫ضى َر‬ َ َ‫ فَلَ َّما ق‬،‫القَو ُم أَلقَوا نِعَالَ ُهم‬
‫ ” ِإ َّن ِجب ِري َل‬:‫سلَّ َم‬ َ ُ ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَي ِه َو‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬،‫ َرأَينَاكَ أَلقَيتَ نَعلَيكَ فَأَلقَينَا نِعَالَنَا‬:‫ قَالُوا‬،»‫نِعَا ِل ُكم‬
َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬
‫ ” إِذَا َجا َء أ َ َحد ُ ُكم إِلَى ال َمس ِج ِد‬:‫ أَذًى – ” َوقَا َل‬:‫سلَّ َم أَت َانِي فَأَخبَ َرنِي أ َ َّن فِي ِه َما قَذ َ ًرا – أَو قَا َل‬ َ ُ ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َ
‫ص ِِّل فِي ِه َما‬ َ ‫ فَإِن َرأَى فِي نَعلَي ِه قَذَ ًرا أَو أَذًى فَليَم‬:‫ظر‬
َ ُ‫سحه ُ َولي‬ ُ ‫“ ف َ ل ي َن‬

“Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat bersama para sahabatnya,


beliau melepaskan kedua sandalnya dan meletakannya di sebelah kirinya. Ketika
para sahabat (yang bermakmum) melihat hal itu, mereka pun melemparkan sandal-
sandal mereka. Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selesai shalat beliau
bertanya: ‘Mengapa kalian melemparkan sandal-sandal kalian?’. Para sahabat
menjawab: ‘Kami melihat anda melemparkan sandal anda, maka kami pun
melemparkan sandal kami’. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat Jibril ‘alaihissalam mendatangiku dan
mengabarkanku bahwa pada kedua sandalku ada najis (dalam riwayat lain:
kotoran)’. Lalu beliau bersabda: ‘Jika salah seorang dari kalian datang ke masjid
maka perhatikanlah kedua sandalnya, jika ia melihat ada najis atau kotoran maka
sentuhkanlah (ke tanah) lalu shalatlah dengan keduanya‘” (HR. Abu Daud no. 650,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Juga hadits dari Ummu Salamah radhiallahu’anha. Dari jalan Ummu Walad
(disebut juga: Hamidah), ia berkata:

:‫سلَّ َم‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ‫َّللا ُ َعلَي ِه َو‬ ِ ‫ إِنِِّي ام َرأَة ٌ أ ُ ِطي ُل ذَي ِلي َوأَم ِشي فِي ال َمك‬:َ‫سلَ َمة‬
ُ ‫ قَا َل َر‬:‫َان القَذ ِِر؟ فَقَالَت‬
َ ِ‫سو ُل هللا‬ َ ‫قُلتُ أل ُ ِ ِّم‬
َ ُ‫ي‬
ُ‫ط ِِّه ُره ُ َما بَعدَه‬

“Aku bertanya kepada Ummu Salamah: ‘saya ini wanita yang panjang gaunnya dan
saya biasa berjalan di tempat yang kotor’. Ummu Salamah berkata: ‘Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘tanah yang setelahnya sudah
membersihkannya””(HR. Tirmidzi 143, ia berkata: “hadits ini shahih”).
3. Cara membersihkan Najis Mutawassithoh

Yaitu yang bukan termasuk kedua jenis di atas, misalnya air kencing secara
umum, kotoran manusia (feces), bangkai, darah haid, dll. Maka cara
membersihkannya bisa dengan berbagai cara yang bisa menghilangkan semua
najisnya hingga tidak tersisa warna, bau dan rasanya. Bisa dengan menyiramnya,
atau membasuhnya, atau mencucinya, atau menyikatnya, atau menggunakan sabun,
atau menggunakan alat-alat kebersihan.

Syaikh As Sa’di menjelaskan: “Najasah (mutawashitah) ketika ia bisa hilang


dengan cara apapun, dengan alat apapun, maka itu sudah cukup untuk
mensucikannya. Tanpa disyaratkan adanya jumlah bilangan dan tidak harus
menggunakan air. Ini yang ditunjukkan oleh zhahir nash dalil-dalil. Karena syariat
dalam hal ini hanya memerintahkan untuk menghilangkan najis. Dan najis itu
terkadang hilang dengan menggunakan air, kadang dengan membasuhnya, kadang
dengan istijmar (menggunakan batu, kayu atau semisalnya), dan terkadang dengan
cara yang lain. Dan syariat tidak memerintahkan untuk menghilangkan najis
sebanyak tujuh kali, kecuali najis anjing. Sebagaimana juga pendapat ini juga
merupakan kelaziman dari nash dalil-dalil syar’i, karena pendapat ini memiliki
kesesuaian yang tinggi dengan nash. Karena penghilangan najis itu adalah
penghilangan sesuatu yang mahsuusah (bisa diindera)”
D. Kesimpulan

Najis adalah bentuk kotoran yang setiap muslim diwajibkan untuk


membersihkan diri darinya atau mencuci bagian yang terkena olehnya. Benda yang
termasuk najis antara lain : Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat
manusia, Darah, Nanah, Segala benda cair yang keluar dari dua pintu, Arak, Anjing
dan Babi dll.
Najis terbagi menjadi tiga yaitu : Najis Mughalladhoh (tebal), Najis
Mukhaffafah (ringan), Najis Mutawassitah (pertengahan). Dan najis pertengahan
terbagi menjadi dua yaitu : Najis hukmiah, yaitu yang kita yakini adanya. Najis
‘ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa, dan baunya, kecuali warna atau bau
yang sangat sukar menghilangkannya.
Apabila keluar kotoran dari salah satu dua pintu tempat keluar kotoran, wajib
istinja’ dengan air atau dengan tiga buah batu. Yang lebih baik, mula-mula dengan
batu atau lainnya, kemudian dengan air. Dalam beristinja’ dengan batu, hendaklah
dengan tiga batu (ganjil), atau satu batu bersegi tiga. Adapun istinja’ menggunakan
benda licin seperti kaca tidak disahkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai